Pertemuan di Kotaraja Bab 15 : Matinya sang harimau di ladang salju

15. Matinya sang harimau di ladang salju.

"Omong kosong!" tukas Thian Toa-ciok tiba-tiba dengan suara nyaring, "kau tidak membunuh aku ketika masih dalam penjara, untuk itu aku amat berterima kasih, tapi kenapa kau tak mau mengampuni Seng tua? Kenapa kau bunuh Seng Itpiau dalam penjara? Apakah perbuatanmu itu tidak busuk?

Tidak jahat?"

Angin kencang berhembus menerbangkan bunga-bunga salju, dengan wajah tertegun Sim In-san berteriak, "Tidak! Aku tidak membunuh Seng It-piau! Di antara kalian bertiga, hubunganku dengannya jauh lebih akrab ketimbang siapa pun”

Tiba-tiba Liu Ing-peng mengumpat dengan suara keras, wajahnya merah padam karena menahan emosi yang menggelora, "Sudah membunuh masih mau menyangkal? Aku harus membalaskan dendam bagi kematian Seng-toako!"

Mendadak ia merangsek maju ke muka dan sepasang goloknya langsung dihujamkan ke tubuh orang itu.

Tak ada orang yang menduga Liu Ing-peng bakal melancarkan serangan, paling tidak ada empat orang yang segera turun tangan mencegah, mereka adalah si Tangan besi, Ciu Leng-liong, Ciu Pek-ih dan Pek Huan-ji.

Tangan besi sudah pasti harus turun tangan, Ciu Leng-liong memang wajar turun tangan, sementara Ciu Pek-ih dan Pek Huan-ji turun tangan lantaran mereka ingin mendengar perkataan selanjurnya dari Sim In-san dan karena perasaan simpatik serta tak tega.

Tentu saja gerakan tubuh mereka jauh lebih cepat daripada ayunan golok Liu Ing-peng, namun entah sedari kapan ternyata Liu Ing-peng sudah berada begitu dekat dengan Sim In-san, hanya sekali ayun saja, sepasang goloknya sudah dihujamkan ke dada Sim In-san. 

Saat itu Sim In-san hanya tinggal memiliki sebuah kaki yang masih utuh, jelek-jelek dia masih terhitung seorang jagoan tangguh dari penjara besar besi berdarah, berbicara soal ilmu silat, kepandaiannya bahkan setingkat di atas Liu Ing-peng.

Maka dengan cepat dia angkat kakinya, langsung menendang ke arah golok di tangan kanan lawan.

Sayang dia hanya memiliki sebuah kaki. Golok yang berada di tangan kiri Liu Ing-peng seketika menghujam di dadanya hingga tembus ke punggung.

Ketika Tangan besi, Ciu Leng-liong, Ciu Pek-ih, dan Pek Huan-ji tiba di situ, keadaan sudah terlambat. Ketika si Tangan besi membangunkan badannya, dengan mata melotot besar Sim In-san berteriak serak, "Aku ... aku tidak ... tidak membunuhnya

Dia masih berbicara terus, sayang deru angin dan salju menenggelamkan kata-kata selanjurnya.

Dalam pada itu Ciu Leng-liong juga telah menegur, "SiauLiu, kau kelewat emosi”

"Aku ... aku benci kepadanya karena setelah membunuh masih tak mau mengaku!" sahut Liu Ing-peng sambil menundukkan kepala.

"Dia bukan menyangkal, karena bukan dia yang membunuh," mendadak si Tangan besi menyela.

Liu Ing-peng tampak terkesiap hingga badannya bergetar keras, sementara Thian Toa-ciok berteriak lantang, "Apa? Kau bilang bukan dia yang membunuh Seng tua?"

Tangan besi mengangguk, ujarnya sepatah demi sepatah, "Komandan Seng It-piau bukan tewas di tangannya."

"Aneh, sungguh membingungkan," gumam Ciu Leng-liong dengan kening berkerut.

"Sebetulnya sudah sejak lama aku mencurigai persoalan ini," kata si Tangan besi lebih jauh, "aku sudah curiga pembunuhnya bukan Sim In-san, pasti ada orang lain yang melakukan perbuatan ini."

"Lalu siapa pembunuhnya?" seru Liu Ing-peng agak emosi, "tunjukkan siapa orangnya, biar kubunuh bedebah itu."

"Kau tak mungkin bisa membunuhnya," dengus Tangan besi dingin, dengan sorot mata setajam sembilu ditatapnya wajah Liu Ing-peng lekat-lekat, kemudian terusnya, "Karena pembunuhnya adalah kau!"

Semua orang berdiri tertegun, melengak dan tidak habis mengerti.

Begitu juga dengan Liu Ing-peng, agak tercengang, serunya, "Saudara Tangan besi, jangan bergurau, urusan gawat macam begini lebih baik jangan dibuat bahan gurauan."

"Komandan Thian," pelan-pelan Tangan besi berkata lagi, "sewaktu Sim In-san membawa orang menyerbu ke dalam penjara besar besi berdarah, waktu itu jalan darahmu sudah tertotok, namun ketika delapan manusia cacad ingin membunuhmu, bukankah Sim In-san yang mencegah perbuatan mereka?"

"Benar," Thian Toa-ciok manggut-manggut.

"Aku dengar cerita dari orang-orang penjara besar besi berdarah, konon tabiat Seng It-piau kurang baik, bukan saja ia pernah bentrok dengan Sim In-san, konon hubungannya dengan Liu Ing-peng juga kurang baik, hubungannya dengan komandan Thian saja yang paling akrab, bukankah demikian?"

"Betul," Ciu Leng-liong mengangguk membenarkan, "aku masih ingat, di antara keempat orang ini, pertarungan antara komandan Seng melawan komandan Liu berlangsung paling sengit dan hebat ... pada hari-hari biasa, komandan Liu jarang bentrok dengan komandan Thian maupun komandan Sim."

Tangan besi manggut-manggut. "Aku pun telah menyelidiki persoalan ini dan aku merasa sedikit kurang beres dengan kenyataan yang ada, komandan Sim bersedia melepaskan komandan Thian, tak ada alasan baginya untuk membunuh komandan Seng, karena itu aku pun segera menelusuri kasus ini dan melakukan penyelidikan lebih jauh."

Paras muka Liu Ing-peng tiba-tiba berubah memucat, kini wajahnya telah berubah jadi pucat pias bagai mayat.

Terdengar Tangan besi berkata, "Setelah melakukan pemeriksaan, aku pun berhasil menemukan beberapa titik kecurigaan, menurut laporan komandan Liu kepada Cukatsianseng, katanya dia tidak berada di tempat sewaktu komandan Sim membebaskan narapidana, ketika dia balik lagi ke situ, katanya segera dia melakukan pengejaran. Padahal dia juga yang telah membebaskan jalan darah komandan Thian yang tertotok, dia bilang ketika menyerbu masuk ke penjara nomor tiga, komandan Seng telah ditemukan tewas. Komandan Liu, bukankah demikian pengakuanmu waktu itu?"

"Benar," sahut Liu Ing-peng sambil tertawa dingin, "aku memang pernah berkata begitu, memangnya kenapa? Kau anggap bagian perkataanku mana yang mencurigakan?" "Kau berhasil membebaskan pengaruh totokan itu?" "Tentu saja, sekali turun tangan, jalan darah yang tertotok

telah bebas," sahut Liu Ing-peng tertawa dingin.

"Boleh aku tahu jalan darah apa yang tertotok waktu itu?" "Ketika membebaskan jalan darah yang tertotok, kujumpai

Seng-toako telah tewas, dalam panik dan kalutnya, mana mungkin aku ingat jalan darah apa yang kubebaskan waktu itu."

"Jadi begitu menjumpai kematian komandan Seng, kau langsung melakukan pengejaran?"

"Benar."

"Tapi kenyataan, setelah totokan jalan darahnya dibebaskan, komandan Thian tidak langsung melakukan pengejaran, mula-mula dia mengatur dulu keselamatan seorang wanita, kemudian baru pergi mengejar Sim In-san, semua penjaga penjara mengetahui dan melihatnya dengan jelas, begitu kau keluar, komandan Thian segera menyusul juga keluar dari situ. Atau dengan perkataan lain ada selisih jarak waktu yang cukup lama ketika komandan Thian harus menyelesaikan dulu urusannya dengan wanita itu, berarti waktumu ketika berada dalam penjara nomor tiga pun jadi lebih lama dan panjang, aku ingin tanya, apa yang kau lakukan saat itu? Membebaskan totokan jalan darah? Atau mencaci maki komandan Seng habis-habisan sebelum membunuhnya untuk balas dendam?"

Paras muka Liu Ing-peng sebentar pucat sebentar menghijau, sepasang kepalannya digenggam erat sementara sekujur badannya mulai gemetar keras.

"Selain itu," kembali Tangan besi berkata, "seluruh sipir penjara tewas lantaran tergigit ular beracun milik delapan manusia cacad, hanya Seng It-piau seorang yang tewas karena luka sabetan golok, mulut lukanya pipih tapi lebar, jelas terluka oleh golok pendek bukan karena golok panjang, padahal golok yang digunakan para sipir penjara maupun golok Sim In-san tak mungkin akan mengakibatkan mulut luka semacam itu." Kini pandangan setiap jago sudah dialihkan ke atas golok pendek Liu Ing-peng yang sempat ditendang Sim In-san tadi.

Sambil menuding mulut luka di dada Sim In-san, Tangan besi berkata lagi, "Mulut luka yang tertinggal di dada komandan Seng waktu itu, persis sama seperti mulut luka ini!"

Sinar mata penuh amarah dan dendam mulai memancar keluar dari mata setiap orang, mereka bersama-sama menatap wajah Liu Ing-peng tanpa berkedip.

"Ya, benar!" mendadak Thian Toa-ciok berteriak keras, "Siau-liu pernah bertarung sengit melawan Seng-lotoa, pertarungan itu terjadi gara-gara Seng-lotoa mengumpatnya sebagai banci, biar ilmu meringankan tubuh Siau-liu hebat, namun peluru besi Seng-lotoa jauh lebih hebat, ketika peluru itu menghajar di atas betis Siau-liu, maka Siau-liu pun tak sanggup terbang lagi, Seng-lotoa bilang...”

"Dia bilang aku banci, kumis pun tak mau tumbuh di wajahku," teriak Liu Ing-peng tiba-tiba dengan wajah merah membara, "dia bilang lebih baik aku jadi bini peliharaannya!"

"Memang begitulah cara Seng-toako mengumpat orang,"

Thian Toa-ciok segera menjelaskan, "bukan hanya terhadap kau, dengan aku pun dia mengumpat hal yang sama, anak jadah yang dipelihara anjing, hanya manusia macam kau yang pendendam, selalu menyimpan kata semacam itu di dalam hati."

Tangan besi menghela napas panjang. Bisa dimaklumi bila seorang lelaki akan mendendam dan mengingatnya dalam hati setelah diumpat dengan kata-kata semacam ini, mungkin Seng It-piau pun mengumpat Thian Toa-ciok dengan kata-kata yang kasar, tapi yang jelas tentu bukan perkataan itu, sehingga kalau sampai jengkel dan sakit hati pun tak akan separah perasaan Liu Ing-peng.

Sementara itu Liu Ing-peng sudah dapat menenangkan kembali hatinya, sambil tertawa dingin ia berkata, "Benar, aku memang pendendam, aku memang selalu mengingat sakit hati ini, tapi bukan berarti akulah yang telah membunuhnya." Tiba-tiba Tangan besi menyela, "Semua sipir penjara besar besi berdarah di Ciang-ciu mengatakan bahwa suara jerit kesakitan komandan Seng berkumandang justru bertepatan di saat Sim In-san melangkah keluar dari penjara besar, apakah mungkin Sim In-san mempunyai kepandaian membelah diri”

Paras muka Liu Ing-peng berubah makin pucat.

"Siau-liu!" mendadak Ciu Leng-liong menghardik, "tidak seharusnya kau mengutamakan kepentingan pribadi ketimbang kepentingan umum, gara-gara perbuatanmu itu bukan saja para narapidana terlepas dan kabur, bahkan telah mencelakai pula nyawa Si-ciangkun

"Aku tetap menyangkal tuduhan ini," teriak Liu Ing-peng sambil berusaha menenangkan hatinya, "kalian hanya mencurigai aku, mana buktinya?"

"Kau tidak seharusnya membunuh Sim In-san untuk membungkam mulutnya," sela Tangan besi tiba-tiba, "kau pun tidak perlu menuduhnya dan menjadikan dia sebagai kambing hitmu, karena semua perbuatanmu telah disaksikan seseorang dengan mata kepala sendiri."

"Siapa orang itu?" seru Liu Ing-peng tanpa sadar dengan wajah berubah hebat.

"Seng It-piau!"

"Seng It-piau? Hahaha... mustahil, dia sudah mampus!" Liu Ing-peng tertawa tergelak.

"Siapa bilang dia sudah mati? Dia belum mati, tusukan golokmu hanya melukai dada dekat bahunya, tak sampai melukai jantung atau hulu hatinya."

"Hahaha ... omong kosong, benar-benar omong kosong," teriak Liu Ing-peng sambil tertawa makin keras, "sudah jelas aku menusuk hulu hatinya waktu itu...”

Mendadak ia tutup mulut dan tak sanggup tertawa lebih lanjut, ia saksikan sorot mata semua orang sedang tertuju ke arahnya, sorot mata yang begitu dingin, begitu muak, begitu sebal ... ia jadi menyesal, sangat menyesal kenapa banyak bicara, dia ingin menghajar mulut sendiri, agar tak sanggup berbicara lagi. Dengan sinar mata bagaikan api Liu Ing-peng melototi wajah Tangan besi, begitu membara sorot matanya seakan kalau bisa dia ingin membakar tubuh opas itu, agar hancur berkeping-keping

Terdengar Ciu Pek-ih berkata setelah menghela napas, "Tak heran orang bilang empat opas jarang menggunakan alat siksa, tapi setiap tersangka yang jatuh ke tangan mereka, jarang ada yang bisa bicara bohong. Hari ini, aku benar-benar telah menyaksikan sendiri kehebatan ini."

"Menyiksa orang dengan alat siksaan kelewat kejam dan tidak berperi-kemanusiaan," Tangan besi menerangkan, "seandainya sampai salah menuduh, bukankah kita akan mencelakai orang lain dengan percuma? Memangnya dengan main gebuk dan siksa lantas mereka akan mengaku terus terang? Menurut pendapatku, khususnya untuk para anggota Lak-san-bun, kurangilah penggunaan alat siksaan terhadap para tersangka."

"Wah, wah, luar biasa, luar biasa," puji Pek Huan-ji sambil tertawa, "bila setiap opas mempunyai pikiran seperti Sianseng, Lak-san-bun pasti takkan menyandang nama busuk dan menyeramkan."

Dalam pada itu Ciu Leng-liong telah berpaling ke arah Liu Ing-peng, setelah menatapnya tajam, ujarnya, "Siau-liu, walaupun Si-ciangkun telah gugur, bukan berarti kau bisa lolos dari hukuman atas perbuatan kejimu itu, sebab perbuatanmu sudah kelewatan, aku percaya siapa pun pasti segan mengampuni ulahmu itu."

Liu Ing-peng tertunduk sedih, agak seseunggukan menahan isak tangis, bisiknya, "Aku ... aku tahu salah...”

Hujan salju masih turun dengan derasnya, angin kencang berhembus serasa menyayat tulang. Tangan besi maupun Ciu Pek-ih sekalian hanya bisa menghela napas panjang setelah melihat adegan itu.

Hidup sebagai manusia, janganlah sekali-kali melakukan kesalahan besar, karena satu kali kau salah melangkah, menyesal di kemudian hari pun tak ada gunanya. Namun kadangkala ada orang yang walaupun sudah tahu salah, seringkah dia masih juga melakukan kesalahan yang lain.

Tiba-tiba Liu Ing-peng melejit ke udara, bagaikan burung walet terbang di angkasa, mendadak dia melancarkan sebuah tendangan keras ke jenazah Sim In-san.

Jenazah Sim In-san segera mencelat ke depan, langsung menumbuk tubuh Tangan besi, sementara dia sendiri memanfaatkan peluang itu dan segera meluncur mundur dengan gerakan Sin-siong-kiau-juan-in (dada ramping menembus awan).

Lekas Tangan besi menerima jenazah Sim In-san yang menumbuk badannya, karena harus berbuat begitu, dengan sendirinya dia pun tak sanggup menghalangi jalan pergi Liu Ing-peng.

Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Ciu Leng-liong maupun Thian Toa-ciok masih jauh di bawah kepandaian Liu Ing-peng, sementara Pek Huan-ji nampak gelagapan, sedang Ciu Pek-ih pun tidak menyangka sampai ke situ, meski demikian ia tetap melesat ke depan untuk melakukan pengejaran.

Sebuah tusukan pedang, secepat sambaran kilat langsung dilepaskan ke depan.

Liu Ing-peng berjumpalitan beberapa kali di udara, dengan gerakan An-cu-sam-biau-sui (Walet tiga kali mendulang air), dia melesat lebih cepat lagi ke belakang.

Ketika serangan Ciu Pek-ih mengenai sasaran kosong, tubuh lawannya tahu-tahu sudah melesat beberapa kaki lebih jauh dari posisi semula.

Tampaknya dia segera akan berhasil kabur dari tempat itu....

Mendadak terdengar desingan tajam bergema dari arah belakang, Liu Ing-peng merasakan pandangan matanya kabur, tahu-tahu seseorang telah menghadang persis di hadapannya, bahkan menghalangi dengan menggunakan jurus Tong-sanliu-khek (menahan tetamu di Tong-san). Bila Liu Ing-peng terhitung jagoan tangguh dalam hal ilmu meringankan tubuh, maka Ngo Kong-tiong adalah nenek moyangnya ilmu meringankan tubuh.

Sementara itu Ciu Leng-liong ikut merasa panik ketika melihat Liu Ing-peng segera akan meloloskan diri dari situ, sepasang tangannya diayunkan berulang kali, delapan jenis senjata rahasia langsung menyambar ke tubuh lawan.

Merasa jalan perginya dihadang Ngo Kong-tiong, segera Liu Ing-peng mengegos ke samping lalu melepaskan satu tusukan golok dengan jurus Kok-kwan-jan-jiang (melewati kota menjagal panglima), di tengah jalan jurus serangan itu diubah lagi jadi Lan-cou-jui-pak-hay-hwat (sampan kecil meluncur lepas), dan ketika mata golok hampir mengenai tubuh Ngo Kong-tiong, jurus serangannya diubah lagi jadi To-put-liu-lang (babatan golok tak kenal ampun).

Dalam satu jurus mengandung tiga perubahan, sebuah serangan maut yang luar biasa dan menakutkan.

Ngo Kong-tiong sama sekali tidak merubah gerak jurusnya, sebuah pukulan dahsyat tetap dilontarkan ke depan, segulung angin pukulan yang dahsyat bagai hembusan topan langsung menumbuk tubuh lawan.

Belum lagi tusukan golok itu mengenai sasaran, angin pukulan sudah tiba lebih dulu, dalam keadaan terancam segera Liu Ing-peng membatalkan serangan sambil melompat mundur, ia berusaha menghindari dulu tenaga pukulan lawan yang dahsyat itu.

Pada saat bersamaan, senjata rahasia yang dilepaskan Ciu Leng-liong telah menyambar tiba, namun karena deru angin pukulan Ngo Kong-tiong sangat memekikkan telinga, dengan sendirinya desingan angin tajam yang ditimbulkan senjata rahasia itupun tertutup.

Liu Ing-peng tidak mendengar desingan senjata rahasia yang mengancam, dengan bergerak mundur, sama artinya dia telah menyongsong datangnya ancaman itu dengan menggunakan punggungnya. Menanti ia sadar akan datangnya bahaya, sebatang piau baja, sebatang paku penembus tulang telah menghajar telak di punggungnya.

Tergopoh-gopoh ia membalikkan badan dengan jurus Yaucu-huan-sin (burung belibis membalik badan), baru saja badannya berputar, lagi-lagi sebatang Kim-ce-piau dan sebatang panah pemutus sukma telah menghajar dadanya.

Liu Ing-peng segera memutar goloknya rapat-rapat, sedemikian rapatnya hingga hujan angin tak mampu menembus, kembali ada empat batang senjata rahasia yang terpental jatuh, namun dia sendiri sudah kehabisan tenaga, luka yang dideritanya membuat dia kelelahan dan lemas.

"Bruk!", kembali sebatang Liu-yap-hui-to menghajar lambungnya.

Tubuh Liu Ing-peng segera terjatuh dari udara, menjelang ajalnya dia sempat mengajukan satu pertanyaan, "Apakah Seng It-piau benar-benar sudah mati?"

"Ya, dia sudah mati," dengan mantap Tangan besi mengangguk.

Mendengar jawaban itu, dengan senyum di kulum Liu Ingpeng menghembuskan napasnya yang terakhir.

Tangan besi menghela napas panjang, biarpun kematian Seng It-piau penasaran, namun umpatannya memang kelewatan batas sehingga sampai mati pun orang tetap tak bisa melupakannya.

Tiba-tiba Tangan besi teringat akan satu hal, tegurnya kemudian, "Mana Coh Siang-giok?"

"Dia sudah terkena dua batang senjata rahasia," sahut Ciu Leng-liong sambil tertawa getir, "namun dalam kekalutan dia telah menyusup ke dalam gundukan salju, membantai empat orang anak buah kita dan hingga sekarang jejaknya belum ditemukan, dia seakan lenyap ditelan bumi."

Sewaktu menyusul ke arena tadi, lantaran tidak menjumpai Coh Siang-giok, dia menduga si Raja pemusnah telah berhasil meloloskan diri, karena itulah dia mendahulukan masalah yang menyangkut kasus Liu Ing-peng. Tapi setelah mendengar penjelasan ini, paras mukanya segera berubah hebat, ia sadar, masalah itu penting dan gawat, dengan sorot mata tajam dia segera mengawasi sekejap mayat prajurit yang tergeletak di atas salju, kemudian serunya tertahan, "Ah, dia berada di antara kita, cepat ”

Belum selesai perkataan itu diucapkan, seseorang telah berkata dengan suara perlahan, "Benar sekali, aku memang berada di sini."

Semua orang segera berpaling ke arah asal suara itu, benar juga, di antara kelompok prajurit yang berkumpul di samping arena, terlihat Coh Siang-giok dengan mengenakan seragam prajurit ikut berdiri di situ.

Sembari perlahan-lahan melepaskan seragam prajurit yang dikenakan, kembali Coh Siang-giok berkata sambil tertawa, "Tajam benar sepasang matamu, benar, sewaktu menerjang ke tengah kerumunan orang banyak, secara beruntun aku telah membunuh empat orang, orang pertama yang kubunuh kuambil bajunya, orang kedua kuambil celananya, orang ketiga mengambil topinya dan orang keempat kuambil sepatunya. Setelah berseragam lengkap aku baru membaur ke dalam kerumunan orang banyak sebagai seorang prajurit kecil, seumpama aku langsung melarikan diri meninggalkan tempat ini, kalian pasti segera akan mengetahui jejakku, tapi bila menyusup ke dalam kerumunan orang banyak, sulitlah bagi kalian untuk mengetahui kehadiranku, apalagi ”

Semua orang segera mengalihkan perhatian ke tubuh keempat prajurit yang tergeletak di atas permukaan salju, betul saja, ternyata pakaian yang dikenakan jenazah-jenazah itu sudah tidak lengkap.

Melihat hal ini, diam-diam Ciu Leng-liong mengumpat akan kebodohan sendiri, selain bersembunyi di balik kelompok tentaranya, Coh Siang-giok memangnya bisa kabur kemana lagi? Ternyata hal semacam inipun tidak terpikirkan olehnya, sungguh merupakan satu kejadian yang patut disesalkan.

Kembali si Tangan besi berkata sambil tertawa, "Apalagi kau sudah terkena obat pemabuk, dengan badan lemas tak bertenaga, mana kau mampu kabur lagi? Sebaliknya dengan menyamar sebagai prajurit dan pura-pura ikut melakukan pencarian, kau malah bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk memaksa keluar pengaruh obat pemabuk”

"Tebakanmu memang tepat sekali, bukan hanya soal penyamaranku, juga tentang penyamaranku, kini pengaruh obat pemabuk memang sudah keluar dari badanku," kata Coh Siang-giok sambil tertawa lebar.

Sambil berkata dia mulai melepas seragam prajurit yang dikenakan hingga kelihatan pakaian ringkasnya yang berwarna merah menyala, malah senyuman yang amat ramah dan lembut sudah tersungging di ujung bibirnya.

Orang ini selain hebat dalam ilmu silat, kecerdasan otaknya pun sangat mengagumkan, boleh dibilang sudah mencapai taraf kesempurnaan.

Dari balik pakaian ketatnya yang berwarna merah menyala, terlihat dua bagian tempat yang warna merahnya lebih menyala, satu di bahu kiri dan yang lain berada di kaki kanan.

Tangan besi segera mendengus dingin, "Hm, boleh saja pengaruh obat pemabuk sudah bersih dari tubuhmu, tapi bagaimana dengan lukamu? Aku kira tak akan secepat itu sembuh?"

Coli Siang-giok tetap bersikap acuh tak acuh, katanya sambil tertawa hambar, "Asal badan sudah tak lemas, biar kaki kaki tangan terluka pun masih bukan halangan bagiku untuk mengalahkan kalian."

Seraya berkata dia mulai menggerakkan kaki tangannya sambil melemaskan otot.

Suasana menjadi gempar, semua orang berteriak gusar, mereka tak tahan melihat kejumawaan musuhnya itu, dari ucapannya yang santai, dia seolah memberitahu kepada semua orang bahwa baginya mengalahkan mereka hanya merupakan suatu perbuatan yang amat gampang, segampang merogoh barang di saku sendiri. Dengan penuh amarah Ciu Leng-liong membentak nyaring, "Coh Siang-giok, jangan sombong dulu! Kami bersumpah akan menyeretmu kembali ke dalam penjara!"

Coh Siang-giok memperhatikan Ciu Leng-liong sekejap, lalu jengeknya, "Jadi kau yang disebut orang persilatan si Monyet sakti berlengan tiga Ciu Leng-liong? Bagus, bagus sekali, kini Si Ceng-tang sudah mati, asal kau dapat membawaku pulang ke kotaraja, dapat dipastikan pangkatmu akan dinaikkan jadi komandan."

Kemudian setelah tertawa terkekeh-kekeh, lanjurnya, "Hanya sayang kau tak bakal mampu berbuat begitu, bukan kau yang membawaku pulang, justru kau yang bakal pulang bersamaku."

“Hmm!, kalau begitu mari kita buktikan saja, kau yang akan membawa aku pulang atau aku yang akan menyeretmu pulang!"

"Hehehe ... sekali kau berani turun tangan, berarti itulah saat kematianmu, sayang aku enggan menyeret pulang mayatmu”

Tak terlukiskan rasa gusar Ciu Leng-liong mendengar ejekan itu, namun Coh Siang-giok tidak menggubris dirinya lagi.

Setelah tertawa lebar, kembali dia berkata, "Kelihatannya kepandaian silatmu cukup tangguh, terbukti tadi bersama Si Ceng-tang kau berhasil membokong aku dengan senjata rahasia, kebetulan saat ini aku pun sedang membutuhkan seorang panglima tangguh, bagaimana kalau kutawarkan jabatan ini kepadamu? Hahaha ... ketika kalian membantai Sim In-san tadi, aku memang sengaja tidak turun tangan, pertama lantaran pengaruh obat pemabuk masih belum selesai kupaksa keluar dari tubuhku, kedua karena aku pun berharap kalian mau membantu perjuanganku. Aku tahu Sim In-san adalah musuh bebuyutan kalian, selama dia belum mampus, tak nanti kalian akan melepaskan dirinya, oleh sebab itu terpaksa kubiarkan kalian membantainya dulu kemudian baru menawarkan jabatan kepada kalian."  Bergidik juga perasaan para jago setelah mendengar penuturannya, mereka tidak menyangka orang itu bersikap begitu tega terhadap anak buahnya yang setia.

Sambil tertawa seram Ngo Kong-tiong segera berseru, "Sim In-san memang punya mata tak berbiji, siapa suruh sepasang matanya adalah mata anjing hingga mau berbakti kepadamu!"

"Kau anggap aku kejam? Tega? Tak berperasaan?" sela Coh Siang-giok sambil tertawa, "tujuan utamaku adalah membangun sebuah kerajaan yang besar, agar sukses dalam menjalankan urusan besar, mana boleh kita berhati lemah macam perempuan? Mana boleh kita tak tegas dan tandas dalam mengambil keputusan? Cho Beng-tek, Han Ko-cou semuanya adalah Kaisar besar pendiri sebuah dinasti yang luar biasa, bukankah tindakan mereka pun sama seperti apa yang kulakukan sekarang?"

Berubah hebat paras muka semua orang.

Sambil tertawa dingin si Tangan besi berseru, "Berani amat kau bicara lancang, apa kau tidak kuatir dikutuk Sin-beng dan dibabat hukum kerajaan?"

Coh Siang-giok tertawa keras. "Hahaha ... dikutuk Sinbeng? Dibabat hukum kerajaan? Omong kosong, mana ada manusia di dunia ini yang jadi kaisar sejak dilahirkan? Dunia harus diperoleh dari perjuangan, bukan didapat dengan percuma karena pelimpahan, akulah Sin-beng yang dipuja berjuta-juta umat, akulah Kaisar, apa yang kukatakan, itulah hukum, hukum kerajaan!"

Dengan sorot mata memancarkan sinar tajam, kembali Coh Siang-giok melanjutkan kata-katanya, "Sebenarnya aku adalah saudara misan Kaisar, karena sejak muda sudah bercita-cita akan melakukan suatu pekerjaan besar yang menggetarkan kolong langit, maka aku rajin berlatih silat, rajin belajar taktik perang. Gara-gara itu dia menjadi iri, jadi banyak curiga, disangkanya aku berniat merampas kedudukan kaisar, maka dia perintahkan jago-jago lihai dari istana terlarang untuk membantai anak biniku dalam semalaman!" Bicara sampai di situ ia mengertak gigi, sinar buas kembali memancar keluar dari balik matanya, hawa pembunuhan bahkan menyelimuti seluruh tubuhnya, hawa pembunuhan yang begitu dingin melebihi salju, seakan menghujam di hati setiap orang.

"Itulah sebabnya aku bercita-cita akan mendongkel dia dari jabatannya sebagai kaisar, bahkan aku ingin membunuhnya dengan tanganku sendiri, kaisar macam apa dia itu, hm!

Akulah kaisar sejati! Siapa bilang dia putra langit? Akulah putra langit sejati! Aku ingin dia mati konyol, mati telantar tanpa liang kubur, lima telaga empat samudra semua adalah anak buahku, jika kalian pintar, lebih baik segeralah menyerahkan diri, kalau tidak, jangan harap kalian bisa pergi meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup!"

Mendengar Coh Siang-giok mencaci maki kaisar, Tangan besi dan lainnya hanya bisa berdiri terbelalak, untuk sesaat mereka tak sanggup membantah, bahkan tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.

Dengan sorot mata setajam sembilu kembali Coh Sianggiok menatap si Tangan besi lekat-lekat, kemudian tegurnya, "Apakah kau adalah salah seorang dari empat opas yang tersohor di kolong langit itu?"

"Betul. Aku adalah si Tangan besi."

"Dari kemampuanmu membongkar penyamaranku sebagai prajurit tadi, dapat kusimpulkan bahwa kecerdasanmu memang luar biasa, aku percaya kungfumu pasti hebat juga, lebih baik bergabung saja denganku, di kemudian hari aku pasti akan memberi jabatan tinggi kepadamu, jabatan yang tidak lebih rendah dari Cing Sau-song."

"Aku pun ingin memberitahu satu hal kepadamu," ujar si Tangan besi pula sambil tertawa dingin.

"Katakan!"

"Tak seorang pun anak didik Cukat-sianseng yang berbakat menjadi pengkhianat, kebetulan aku adalah salah seorang di antara empat pembantu utama Cukat-sianseng" Menyinggung nama Cukat-sianseng, sekali lagi paras Coh Siang-giok berubah hebat.

Selama hidup Coh Siang-giok sudah banyak terlibat dalam pertempuran sengit, namun belum pernah sekali pun menderita kekalahan.

Dalam tiga kali usahanya membunuh kaisar, pertama kali dia berhasil lolos dari kepungan beribu orang prajurit pilihan, kedua kalinya dia pun berhasil melarikan diri setelah bertarung seimbang melawan dua puluhan orang jago lihai dari istana terlarang, tapi ketiga kalinya dia benar-benar menderita kekalahan total di tangan seseorang, waktu dia mencoba membunuh kaisar untuk ketiga kalinya, kebetulan ia berjumpa dengan Cukat-sianseng, setelah bertarung seratus gebrakan, akhirnya ia menderita kekalahan total hingga tertangkap.

Menderita kekalahan di tangan orang lain, bagi Coh Sianggiok boleh dibilang merupakan satu penghinaan besar, satu peristiwa yang sangat memalukan.

Sebab itulah setiap kali ada orang berani mengungkit peristiwa itu, belum pernah Coh Siang-giok melepaskan orang itu dalam keadaan hidup.

Paras muka si Tangan besi turut berubah hebat, sebab begitu menyinggung soal Cukat-sianseng, dia sendiri pun lantas teringat dengan pertarungan di istana kaisar tempo hari, waktu itu Cukat-sianseng butuh seratus jurus gebrakan sebelum berhasil mengalahkan Coh Siang-giok, padahal kepandaian silat yang dimiliki Cukat-sianseng jauh di atas kepandaian sendiri, selain itu, kekalahan Coh Siang-giok waktu itupun ada sangkut-pautnya dengan situasi yang dihadapinya, waktu itu empat arah delapan penjuru terdapat beribu orang pasukan pengawal istana yang mengepungnya rapat, ketidakmampuannya untuk berkonsentrasi merupakan salah satu penyebab kekalahannya.

"Coba kalau bukan lantaran soal itu," demikian Cukatsianseng pernah berkata kepada si Tangan besi, "paling tidak dia masih mampu bertarung sebanyak seratus lima puluh jurus melawan diriku, dia adalah musuh paling tangguh yang pernah kujumpai selama ini!"

Dari perkataan itu, bisa dibayangkan betapa dahsyat dan hebatnya kepandaian silat yang dimiliki Coh Siang-giok, Tangan besi sama sekali tak yakin dengan tenaga gabungan mereka semua, mampu merobohkan si Raja pemusnah.

Kembali paras muka Coh Siang-giok berubah, mendadak ia tertawa dan berkata lagi, "Lantaran kau adalah seorang yang berbakat, aku anggap ucapanmu tadi tidak disengaja, asal mau bergabung denganku, aku pun tak akan mengusut lagi perkataanmu tadi."

Tangan besi segera mendongakkan kepalanya dan tertawa nyaring.

Si Cong-ji sejak tadi sudah tak bisa menahan diri, tiba-tiba menyela, "Coh Siang-giok, jangan takabur dulu, hari ini belum tentu kau bisa lolos dari sini dalam keadaan hidup."

Sambil tersenyum Coh Siang-giok menyapu sekejap sekeliling arena, lalu satu per satu ditatapnya kawanan jago itu, dua puluh orang prajurit, dua puluh orang opas, Si Congji, Goan Kun-thian, Pek Huan-ji, Ciu Pek-ih, Ngo Kong-tiong, Ciu Leng-liong, Thian Toa-ciok, Say Hong-ki dan si Tangan besi.

Mendadak jengeknya, "Jadi kalian anggap dengan kemampuan kalian cukup untuk membekukku?"

"Kenapa tidak dicoba saja?" sahut Goan Kun-thian. "Sepanjang hidupku, aku mempunyai dua macam ilmu silat

yang paling ternama” ujar Coh Siang-giok sambil mengelus jenggotnya yang panjang, tiba-tiba ia berhenti bicara.

"Peng-pok-han-kong-ciang (pukulan cahaya tajam sukma dingin)!" sambung Ciu Pek-ih.

"Dan Liat-hwe-ci-yan-ciang (pukulan cahaya merah bara api)!" Pek Huan-ji menambahkan.

Coh Siang-giok melirik dua orang itu sekejap, lalu tertawa dingin.

"Hebat juga pengetahuan kalian," jengeknya, "ilmu yang kulatih pada tangan kiriku adalah tenaga pukulan berhawa dingin, sementara tangan kananku melatih tenaga pukulan berhawa panas, nah, kalian dengarkan baik-baik, bila bertarung melawanku nanti lebih baik sedikitlah lebih berhatihati... sekarang aku akan membunuh orang itu ... silakan kalian turun tangan untuk mencegahnya!"

Sembari berkata Coh Siang-giok segera menuding sembarangan ke depan, menunjuk seorang opas yang berdiri di kejauhan sana.

Seketika paras muka opas itu berubah jadi hijau kepucatpucatan, untuk sesaat dia tak tahu apa yang mesti diperbuat.

Tangan besi tahu, maksud Coh Siang-giok adalah dia akan membunuh orang itu dan mempersilakan mereka untuk menghalanginya bila mampu, maka tanpa banyak bicara dia segera melesat ke depan menghadang di depan opas tadi.

Sungguh hebat si Raja pemusnah, baru selesai dia bicara, serangan dahsyat telah dilancarkan secepat kilat.

Walaupun di tengah arena hadir empat puluh delapan orang, ternyata tak seorang pun di antara mereka yang melihat jelas dengan cara apa pihak lawan melancarkan serangan.

Ketika bayangan merah melesat di udara, perasaan setiap orang langsung terkesiap, semua takut dirinya yang dijadikan sasaran serangan itu, hingga buru-buru mereka gerakkan tangan untuk menangkis.

"Plak!", saat itulah terdengar suara benturan nyaring, tahutahu telapak tangan Coh Siang-giok yang masih melambung di udara sudah menghantam perlahan dada opas itu.

Diiringi jeritan tertahan, tampak sekujur tubuh opas itu mengejang keras, bagaikan disambar kobaran api yang luar biasa panasnya ia menggeliat berulang kali, tak lama kemudian nyawanya sudah melayang meninggalkan raganya.

Begitu opas itu roboh tewas ke tanah, kawanan jago lainnya segera mundur dan menyebar kembali, mereka mengepung rapat Coh Siang-giok.

Raja pemusnah tertawa dingin, setelah melirik sekejap mayat sang opas yang terkapar di tanah, ujarnya, "Pukulan itu adalah pukulan hawa panas, sekarang akan kutunjukkan pukulan hawa dingin. Kali ini yang mati adalah ... dia!"

Mendadak Coh Siang-giok menuding seorang prajurit yang berada di tepi arena, seketika prajurit yang dituding ketakutan setengah mati hingga tubuhnya jadi kaku.

"Lindungi dia dengan sepenuh tenaga!" bentak Tangan besi cepat.

Dengan sekali lompatan Ciu Pek-ih, Ngo Kong-tiong dan Ciu Leng-liong melompat ke hadapan prajurit itu, lalu dengan membentuk barisan setengah lingkaran mereka menyambut datangnya serangan lawan, sementara Si Cong-ji dan Goan Kun-thian melompat ke sayap kiri dan kanan, mereka siap menghadang jalan pergi si Raja pemusnah bila berniat lewat situ.

Pek Huan-ji,Thian Toa-ciok serta Say Hong-ki tidak tinggal diam, mereka ikut melompat ke samping dan belakang tubuh prajurit itu, semua orang bersiap menghadapi datangnya ancaman dengan sepenuh tenaga.

Hingga detik ini, belum pernah ada jagoan yang sanggup merobohkan orang yang berada dalam perlindungan sembilan orang jago tangguh.

Sayang Coh Siang-giok mampu!

Coh Siang-giok tidak melayang ke depan, juga tidak melancarkan serangan secara langsung, telapak tangannya secara tiba-tiba menghantam permukaan salju, tahu-tahu prajurit yang berada sepuluh depa di hadapannya itu sudah menjadi beku dan kaku, tubuhnya mencelat ke udara dan sewaktu rontok ke tanah, sudah berubah menjadi sesosok mayat beku, darah segar bercucuran keluar dari tujuh lubang indranya.

Rupanya Coh Siang-giok telah menyalurkan tenaga pukulannya melalui permukaan salju untuk menghantam prajurit itu, ketika hawa dingin menumbuk sepasang kaki prajurit itu, tenaga pukulan langsung menghantam jantungnya dan membekukan seluruh isi perutnya. Dalam jangkauan kecil, ilmu "meminjam benda memancarkan tenaga" bisa menggunakan seruling atau pit sebagai senjata, dalam jangkauan menengah bisa menggunakan bulu atau ranting sebagai senjata sedangkan yang lebih besar, orang bisa melukai musuh dengan menggunakan daun, membunuh manusia dengan bunga atau kertas, melukai orang dengan percikan air dan lain sebagainya.

Namun belum pernah orang menyaksikan cara "ilmu meminjam benda memancarkan tenaga" seperti apa yang dilakukan Coh Siang-giok saat ini, bukan saja ketepatannya, juga kecepatannya, pada hakekatnya tidak banyak orang dalam dunia persilatan yang sanggup melakukan hal semacam ini.

Paras muka si Tangan besi, Ngo Kong-tiong, Ciu Pek-ih serta Ciu Leng-liong Seketika berubah hebat.

"Nah, apa aku bilang?" seru Coh Siang-giok kemudian dengan wajah serius, "kepandaianku masih cukup mampu bukan untuk menjadi seorang pemimpin negara? Aku tak bakal membohongi kalian."

Untuk sesaat si Tangan besi sekalian tak mampu berkata, mereka terbungkam dalam seribu basa.

Ketika petugas opas pertama tewas terbunuh, waktu itu mereka masih bisa beralasan karena serangan lawan dilancarkan secara tiba-tiba, tapi kematian sang prajurit kali ini, bukan saja mereka telah berusaha mencegah dengan sepenuh tenaga, bahkan jauh sebelum serangan dilancarkan mereka telah bersiap, namun kenyataan prajurit itu tetap tewas tanpa mereka sanggup berbuat apapun.

Ciu Leng-liong tidak banyak bicara lagi, dia segera memberi tanda, kesembilan belas orang prajurit itu serentak mundur belasan langkah dari posisi semula, begitu juga dengan Say Hong-ki, ia pun memberi tanda dan kesembilan orang opasnya turut mundur sejauh sepuluh depa dari situ.

Semua tahu kemampuan kawanan prajurit dan petugas opas itu masih tertinggal jauh bila dibandingkan kemampuan Coh Siang-giok, jika mereka diharuskan menyerang si Raja pemusnah, ibarat laron yang menubruk jilatan api, mati siasia!

Dengan mundurnya kawanan jago, pertarungan sengit melawan Coh Siang-giok tergantung pada kemampuan kesembilan orang jago tangguh itu.

Agaknya Coh Siang-giok juga mengetahui akan hal ini, ejeknya kemudian, "Jadi kalian tetap ngotot ingin bertarung melawanku? Sayang, sungguh sayang, aku malah merasa sayang kalau terpaksa harus membunuh kalian semua!"

"Hm, bekas pecundang di tangan Cukat-sianseng pun berani bicara takabur, apa kau tidak merasa malu?" tiba-tiba Tangan besi berteriak keras.

Paras muka Coh Siang-giok berubah hebat, mendadak ia menyerbu ke depan, bagaikan segulung angin topan berwarna merah dia langsung melancarkan serangan mematikan.

Tangan besi tak berani bertindak gegabah, lekas dia ikut menerjang ke depan.

Menghadapi terjangan angin topan yang begitu dahsyat, si Tangan besi bukannya berkelit, dia justru maju menyongsong.

Ia sengaja berbuat demikian karena tahu, sewaktu angin puyuh menyambar datang, biarpun menghindar juga tak ada gunanya, sebaliknya bila dilawan sama artinya seperti seekor belalang yang berusaha menahan lajunya kereta.

Tak seorang pun di antara para jago yang lebih memahami arti perkataan "di balik kematian terdapat jalan hidup" ketimbang si Tangan besi.

Itulah sebabnya jagoan opas yang termashur ini justru merangsek ke muka menyongsong datangnya bayangan merah itu.

Sebenarnya Ngo Kong-tiong,Ciu Pek-ih serta Pek Huan-ji ingin sekali ikut turun tangan, namun mereka tetap berdiam diri, karena bagi mereka, kalau bukan dipaksa oleh keadaan, maka siapa pun tak ingin main kerubut untuk mencari kemenangan. Dalam pada itu si Tangan besi telah berkelit sebanyak delapan kali, sementara bayangan hitam delapan kali pula berkelebat mengejar lawan.

Peluh sebesar kacang kedelai telah bercucuran membasahi jidat Ngo Kong-tiong, Ciu Pek-ih serta Pek Huan-ji, seandainya berganti dengan mereka, mungkin dalam delapan gebrakan nyawa mereka sudah melayang di tangan si Raja pemusnah.

Tangan besi memang terbukti sangat ampuh, tiba-tiba dia menerobos ke udara dan menjebol lingkaran bayangan merah yang mengurungnya.

Namun bayangan merah itu turut menerobos ke udara, gerak tubuhnya jauh lebih cepat, lagi-lagi dia berhasil mengurung tubuh si Tangan besi.

Berubah hebat paras muka Ciu Pek-ih menyaksikan kejadian ini, ketika ia bersama si Pengejar nyawa bertarung melawan Bu-tek Kongcu tempo hari, walaupun ilmu silat lawan sangat tangguh dan tenaga pukulannya tiada tandingan, namun kelemahannya justru terletak pada kedua kakinya, itulah sebabnya dengan kerja sama mereka berdua akhirnya musuh tangguh itu berhasil dibunuh.

Tapi sekarang, keadaan Coh Siang-giok jauh berbeda, kehebatan ilmu meringankan tubuhnya jauh di atas kemampuan Butek Kongcu, boleh dibilang semua kelemahan yang ada di tubuh orang lain tidak ditemukan pada dirinya, kepandaian silat yang dimiliki si Raja pemusnah boleh dibilang telah mencapai tingkat kesempurnaan.

Tampaknya si Tangan besi segera akan tertelan dan tenggelam di balik bayangan merah lawan, di saat yang kritis itulah mendadak Tangan besi meluncur turun ke bawah dengan kecepatan tinggi.

Lagi-lagi bayangan merah turut meluncur ke bawah, sekali lagi bayangan tubuh si Tangan besi lenyap dari pandangan mata, yang tersisa hanya bayangan merah yang berkelebat kian kemari serta angin pukulan yang menderu-deru.

Melihat kenyataan itu, Ciu Pek-ih segera berseru, "Kita tak boleh mengurus soal peraturan dunia persilatan lagi, kita semua masih bukan tandingannya, bila kita berpeluk tangan terus, saudara Tangan besi bisa berbahaya”

Tiba-tiba semua deruan angin pukulan dan desingan angin tajam lenyap tak berbekas, suasana tercekam dalam keheningan.

Dengan perasaan tercekat segera kawanan jago itu berpaling.

Terlihat Coh Siang-giok dengan senyum di kulum sedang mengawasi si Tangan besi, tangan kanannya telah mencekik tengkuk lawan.

Sebaliknya si Tangan besi juga sedang memandang ke arah lawannya, ia tidak berteriak kesakitan, juga tidak berteriak minta ampun, bahkan kening pun sama sekali tidak berkerut.

Sambil tertawa Coh Siang-giok segera berkata, "Dalam dunia persilatan saat ini, sudah tidak banyak orang muda yang sanggup menerima dua puluh lima jurus seranganku, anak muda, kau hebat dan sangat mengagumkan."

Kemudian setelah berhenti sejenak, tiba-tiba hardiknya, "Sekarang kau menyerah tidak?"

"Tidak!"

Coh Siang-giok segera mendongakkan kepala dan tertawa tergelak, nampaknya dia bangga sekali. "Kau tetap tak mau menyerah?"

"Tidak!"

"Jadi kau ingin melanjutkan pertarungan ini?" seru si Raja pemusnah melengak.

"Ya, tarung terus!"

"Mungkin kau lupa, nyawamu sudah berada di tanganku jengek Coh Siang-giok tertawa.

Kembali semua jago bermandikan peluh dingin, siapa pun tak ada yang berani maju untuk memberi pertolongan, sebab mereka tahu, tengkuk si Tangan besi sudah berada dalam cengkeraman lawan, bila mau, Coh Siang-giok dapat mematahkan leher Tangan besi segampang mematahkan leher seekor bebek panggang. Tangan besi mendongakkan kepala dan tertawa keras, ujarnya pula, "Sebagai seorang lelaki sejati, selama masih bisa bernapas, perlawanan tetap akan dilakukan!"

Beberapa kali paras muka Coh Siang-giok berubah hebat, tiba-tiba ia melepas tangan sambil mundur ke belakang, jengeknya, "Tahukah kau, kenapa aku melepaskan dirimu?"

"Tidak tahu," Tangan besi menggeleng sambil meraba tengkuknya yang sakit.

"Selama hidup aku sangat menyayangi orang berbakat, terutama orang yang tak takut mati macam kau, bisa jadi anak buahku, jelas akan sangat membantu dalam menyukseskan rencana besarku. Tadi bukankah kau sengaja memancing amarahku agar turun tangan hingga temantemanmu bisa melihat jelas aliran jurus seranganku? Kau anggap dengan mengetahui aliran ilmu silatku lantas lebih gampang menghadapiku? Bagus, bagus sekali, anak buah hebat macam kau memang sangat langka, kemana lagi aku mesti mencari?"

Setelah berhenti sejenak, dia melirik Ciu Leng-liong sekejap, lalu lanjutnya, "Baiklah, akan kubantai dulu temantemanmu itu, akan kulihat kau bakal menyerah tidak?"

"Mau bunuh, bunuhlah aku lebih dulu!" bentak si Tangan besi nyaring.

"Wes!", sebuah pukulan langsung dilontarkan ke depan.

Begitu pukulan dilepas, satu pukulan segera berubah jadi dua pukulan, dari dua pukulan berubah jadi empat pukulan, ketika tiba di hadapan Coh Siang-giok, serangan itu telah berubah jadi delapan buah pukulan sekaligus.

Kalau orang lain yag menghadapi serangan macam begini, dapat dipastikan dia akan tercecar hebat, sayang musuhnya kali ini adalah Coh Siang-giok.

Tiba-tiba bayangan tubuh si Raja pemusnah lenyap dari pandangan mata, seluruh pukulan yang dilontarkan Tangan besi pun mengenai tempat kosong.

Dengan satu dua kali lompatan, tahu-tahu Coh Siang-giok sudah tiba di tengah kerumunan petugas opas, dimana angin pukulan menyambar, dua orang opas seketika mati terbakar sementara dua lainnya mati beku bagaikan balok es.

Ngo Kong-tiong membentak dengan suara keras bagai geledek, dia yang pertama-tama menerjang ke hadapan Coh Siang-giok, sebuah tusukan pedang langsung dilontarkan, kemudian secara beruntun diikuti dengan jurus demi jurus serangan secara ketat.

"Wouw, sebuah serangan pedang yang amat cepat!" puji Coh Siang-giok dengan wajah agak berubah, sambil berkata dia balas melancarkan empat puluh delapan pukulan berantai, sekaligus membinasakan lagi dua orang opas yang tak sempat menghindarkan diri.

Dari tengah udara kembali melesat dua garis cahaya bianglala berwarna putih, gerakannya cepat lagi gencar, sama sekali tidak berada di bawah kecepatan serangan Ngo Kongtiong.

Ternyata Ciu Pek-ih dan Pek Huan-ji telah turun tangan bersama.

Tampak bayangan merah berputar sambil melayang kian kemari, sementara dua cahaya putih dan sebuah cahaya hitam tiada hentinya berputar sambil mengurung bayangan merah itu dengan ketat, setiap saat tampak tiga kilas cahaya pedang menembus kepungan menggempur bayangan merah itu.

Bila diambilkan perbandingan, maka dua kilas cahaya putih itu persis seperti dua ekor kupu kupu putih sementara bayangan hitam itu tak lebih hanya seekor burung beo, sedang bayangan merah adalah orang yang menangkap kupukupu atau penangkap burung.

Setelah memperhatikan sekejap situasi dalam arena pertarungan, Tangan Besi segera ikut menerjang maju ke muka dan melibatkan diri dalam pertarungan yang amat seru itu.

Tak lama kemudian, bayangan merah yang melayang kian kemari semakin leluasa menguasai lapangan, sementara empat sosok bayangan manusia lain mulai tercecar hebat dan terperosok dalam situasi yang amat berbahaya. "Minggir!" mendadak Ciu Leng-liong membentak keras.

Dua sosok bayangan putih, sesosok baju besi dan sesosok jubah hitam serentak menyingkir ke samping, dalam waktu singkat di tengah arena hanya tertinggal Coh Siang-giok seorang.

Berbareng puluhan batang anak panah bak hujan badai langsung meluncur ke tengah arena.

Rupanya secara diam-diam Ciu Leng-liong telah mengatur kesembilan belas prajuritnya untuk menyiapkan anak panah, begitu rekan-rekannya sudah menyingkir, dia segera mengarahkan pemanahnya untuk membidikkan panah yang mengandung obat pemabuk ke tubuh Raja pemusnah.

Menghadapi serangan hujan panah ini, Coh Siang-giok tertawa keras, jengeknya, "Hahaha ... memangnya setelah berhasil dalam bokongan pertama, maka bokongan yang kedua akan meraih hasil yang sama?"

Dengan melayang sejajar tanah, tiba-tiba ia menerjang ke muka, sepasang tangannya bergerak silih berganti, semua anak panah yang dibidikkan ke arahnya tahu-tahu sudah dipukul rontok semua, bahkan sebelum para prajurit sempat membidikkan anak panah kedua kalinya, dia sudah menerjang masuk ke dalam barisan.

Jeritan ngeri yang memilukan hati bergema susul menyusul, dalam waktu singkat enam sosok mayat prajurit sudah mencelat.

Si Cong-ji melintangkan badannya ke tengah arena, dengan kuda-kuda yang kuat dia setengah berjongkok lalu melontarkan satu pukulan dahsyat ke punggung Coh Sianggiok dengan jurus Tui-juang-wan-gwe (membuka jendela menengok rembulan).

Gempuran yang dilakukan Si Cong-ji ini paling tidak memiliki tenaga gempuran sebesar lima ratus kati, namun tubuh Coh Siang-giok hanya terdorong maju selangkah, bahkan dengan meminjam tenaga dorongan itu, lagi-lagi dia membacok mampus dua orang prajurit. Si Golok tanah Goan Kun-thian tidak tinggal diam, dia bungkus sekujur badannya dengan selapis cahaya golok kemudian langsung membabat kaki Coh Siang-giok.

Merasakan datangnya ancaman dari permukaan tanah, Coh Siang-giok segera melejit ke udara bagaikan burung rajawali, kemudian sambil menukik ke bawah, dia tendang batok kepala Goan Kun-thian dengan kaki kanannya sementara kaki kirinya menginjak perutnya.

Sungguh kasihan Goan Kun-thian, belum sempat menjerit kesakitan, nyawanya sudah melayang meninggalkan raganya.

Ciu Pek-ih dan Pek Huan-ji segera merangsek maju dari kiri dan kanan.

Coh Siang-giok segera merentangkan telapak tangannya ke samping kiri dan kanan, benturan tangan yang terjadi membuat tubuh Ciu Pek-ih dan Pek Huan-ji kembali mencelat mundur ke belakang.

Ngo Kong-tiong membentak gusar, dengan mata merah membara karena gusar dia ikut menerjang maju, pedangnya langsung membacok tubuh lawan.

Coh Siang-giok mendengus dingin, lagi-lagi sepasang telapak tangannya diayunkan bersama, "Trang!", ketika menghajar di atas pedang Ngo Kong-tiong yang tebal, senjata itu seketika hancur berkeping-keping.

Semua peristiwa itu berlangsung hanya sekejap saja, selama ini Ngo Kong-tiong mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan Si Cong-ji maupun Goan Kun-thian, tak heran kematian Goan Kun-thian yang begitu mengenaskan membuat amarahnya memuncak, bagaikan banteng terluka dia menerjang lagi ke depan, "Bluk, bluk!", secara beruntun dia lontarkan dua pukulan dahsyat ke dada Raja pemusnah.

Mimpi pun Coh Siang-giok tidak menyangka kalau kakek itu selain cepat dalam ilmu pedang, gerakan tubuhnya juga cepat sekali, sementara ia masih tertegun, dua pukulan dahsyat itu telah bersarang telak di dadanya. Berubah hebat paras muka Coh Siang-giok, ia merasa hawa dalam dadanya bergolak keras, namun penampilannya tetap tenang, seakan sama sekali tak terjadi sesuatu apapun.

Waktu itu sebetulnya Ngo Kong-tiong merasa sangat girang karena melihat serangannya bersarang telak ditubuh lawan, namun rasa girangnya segera berubah menjadi kaget bercampur terkesima setelah menyaksikan lawannya seakan tidak cedera.

Ngo Kong-tiong tersohor sebagai "Tiga kesaktian satu suara geledek", kecepatan pedangnya termasuk salah satu kesaktiannya, namun kenyataan sekarang pedangnya hancur berkeping-keping terkena pukulan lawan, tenaga dalamnya juga terhitung salah satu andalannya, tapi sekarang pukulan keras yang bersarang di tubuh Coh Siang-giok seakan tidak menimbulkan akibat apapun, dalam putus asa dan kecewanya, tiba-tiba muncul niatnya untuk mengadu jiwa.

Coh Siang-giok dengan mengandalkan ilmu pukulan hawa panas dan dinginnya telah merajai kolong langit, Cukatsianseng sendiri pun butuh delapan pukulan berantai sebelum berhasil melukai dirinya, maka kemampuan Ngo Kong-tiong yang dapat membuat hawa darahnya bergolak saat ini, sebenarnya sudah termasuk satu jagoan yang luar biasa.

Akibat serangan ini, hawa napsu membunuh kembali berkobar dalam dada Coh Siang-giok.

Gagal dengan gempuran pertama, Ngo Kong-tiong berusaha mencengkeram dada Coh Siang-giok dengan cakar mautnya.

Di saat Ngo Kong-tiong melancarkan cengkeraman maut, berbareng kepalan si Tangan besi telah meluncur tiba di belakang punggungnya.

Mendadak Coh Siang-giok melancarkan sebuah tendangan, tendangan ini datangnya sangat aneh, tahu-tahu tubuh si Tangan besi telah tertendang hingga mencelat ke belakang.

Dalam pada itu cengkeraman Ngo Kong-tiong telah berhasil mencengkeram dada lawan, dia berniat mengangkat dan memutar tubuh musuhnya, siapa tahu betapapun dia mengerahkan segenap kekuatan yang dimiliki, tubuh Coh Siang-giok sama sekali tidak bergerak!

Memanfaatkan peluang itu, sepasang telapak tangan Coh Siang-giok langsung didorong ke iga lawan.

Ngo Kong-tiong tidak menyangka musuh bertindak begitu, dalam paniknya tiba-tiba muncul akal dalam benaknya, dia lepas cengkeramannya kemudian menubruk ke muka dan memeluk tubuh musuh kuat-kuat.

Karena gerakan ini, maka kedua pukulan Coh Siang-giok terhalang oleh badan sendiri hingga tak mungkin dilanjutkan.

Namun si Raja pemusnah memang hebat, ilmu pukulannya sudah dilatih hingga mencapai puncak kesempurnaan, begitu terhadang, segera dia alihkan sasarannya dengan menghajar punggung Ngo Kong-tiong.

Pada saat bersamaan serangan pedang Pek Huan-ji dan Ciu Pek-ih telah menyambar tiba, dengan cekatan Coh Siang-giok segera memutar balik badannya kemudian dengan menggunakan punggung Ngo Kong-tiong sebagai tameng untuk menyongsong datangnya tusukan maut itu.

Ciu Pek-ih berdua jadi terkesiap, buru-buru mereka menarik kembali serangannya sambil melompat ke samping, mereka kuatir serangan itu malah melukai rekan sendiri.

Pada saat itulah pukulan yang dilontarkan si Raja pemusnah bersarang telak di punggung Ngo Kong-tiong.

Sejak mematahkan pedang milik Ngo Kong-tiong, menerjang maju, melepaskan pukulan, mencengkeram lalu membalik tubuh lawan, hampir semua gerakan dilakukan dalam sekejap, menanti si Tangan besi, Ciu Pek-ih dan Pek Huan-ji berniat memberikan pertolongan, serangan Coh Sianggiok sudah keburu menghantam punggung orang tua itu.

Tak seorang manusia pun yang bisa bertahan hidup setelah terhajar pukulan hawa dingin dan pukulan hawa panas Raja pemusnah, begitu juga dengan Ngo Kong-tiong.

Dengan satu gerakan kilat, Say Hong-ki melepaskan sebuah tusukan maut ke tenggorokan Coh Siang-giok. Dalam keadaan begini, seharusnya Coh Siang-giok dapat melepaskan Ngo Kong-tiong, kemudian memusatkan perhatian untuk membantai Say Hong-ki, siapa tahu sebelum dia sempat melakukan sesuatu, mendadak dadanya terasa panas bercampur dingin, hal ini membuat hatinya amat terperanjat.

Rupanya ketika Ngo Kong-tiong sadar jiwanya tak mungkin tertolong lagi, dia pun tidak mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan, sebaliknya segenap tenaga dalam yang dimiliki justru dihimpun di punggungnya, begitu serangan musuh bersarang telak di punggungnya, sesaat sebelum menghembuskan napas terakhir, dia tumbukkan tenaga dalam itu ke atas dada sendiri lalu disalurkan langsung ke dada Coh Siang-giok.

Padahal waktu itu tubuh Ngo Kong-tiong saling menempel ketat dengan tubuh Coh Siang-giok, karenanya meski dia sendiri kehilangan nyawa, namun sebagian besar tenaga pukulan lawan yang menghantam badannya justru berhasil dialihkan ke tubuh lawan.

Tenaga dalam yang dialirkan keluar itulah yang langsung menghajar dada Coh Siang-giok secara telak.

Raja pemusnah Coh Siang-giok sama sekali tak menyangka akan terjadinya peristiwa ini, andaikata ia tidak terlalu pandang enteng musuhnya hingga membiarkan tubuh lawan menempel begitu dekat dengan dirinya, bagaimana mungkin lawan bisa mengalihkan tenaga pukulan itu ke dada sendiri menjelang ajal.

Dengan kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki Coh Siang-giok, semestinya dia masih sanggup menerima gempuran yang bagaimana pun hebatnya, tapi sayang serangan yang harus dia hadapi sekarang bukan tenaga pukulan biasa, serangan itu tak lain adalah tenaga pukulan hawa panas dan pukulan hawa dingin milik sendiri.

Betapapun sempurnanya tenaga dalam yang ia miliki, tak urung wajahnya berubah juga setelah termakan dua pukulan itu, segulung tenaga pukulan yang amat dingin dan segulung tenaga pukulan yang panas seketika berkeliaran di dalam badannya.

Bila saat itu tidak berlangsung pertarungan sengit, Coh Siang-giok hanya butuh waktu sepeminuman teh lamanya untuk mendesak keluar hawa serangan itu.

Tapi kini pertarungan yang dihadapi bukan pertarungan satu lawan satu, pertarungan ini justru pertempuran keroyokan yang amat mengerikan.

Sementara Coh Siang-giok masih terkesima, tusukan pedang Say Hong-ki sudah menyambar tiba dengan kecepatan luar biasa.

Tergopoh-gopoh Coh Siang-giok mengegos ke samping, serangan pedang Say Hong-ki segera miring ke samping dan langsung menusuk lengan kanannya.

Coh Siang-giok meraung keras, sebelum tusukan pedang itu menembus lengan kanannya, ia sudah membalikkan badan langsung mencengkeram batok kepala Say Hong-ki hingga hancur.

Pada saat itulah Pok Lu-ci dan Leng Ki-cong dengan andalan golok serta tongkatnya sudah menyerang tiba.

Coh Siang-giok segera menepuk tangan kirinya, mayat Ngo Kong-tiong langsung menerjang ke tubuh Pok Lu-ci, tidak menyangka datangnya serangan semacam ini, Pok Lu-ci tak sempat berkelit, ia segera tertumbuk telak hingga muntah darah dan tewas seketika.

Tapiserangan Leng Ki-Cong tiba bersamaan waktunya, toyanya langsung menusuk ke bawah.

Biarpun sudah terluka parah, hal ini tidak membuat Coh Siang-giok panik, dengan pengalamannya yang luas, dalam waktu singkat ia telah berhasil menguasai diri, baru saja dia hendak mengerahkan pukulan hawa dingin Peng-pok-hankong-ciang dan pukulan hawa panas Liat-hwe-ci-yan-ciang untuk menghadapi lawan, mendadak sekujur tubuhnya bergetar keras, hawa darah menerjang ke atas tenggorokan, kepala seketika pusing tujuh keliling dan badan terasa lemas tak mampu berkutik. Ternyata setelah badannya terhajar oleh pukulan hawa panas dan pukulan hawa dingin miliknya, dia belum sempat memaksa keluar hawa racun itu, selama dia tidak menggunakan lagi ilmu pukulan itu, keadaan masih rada mendingan, tapi begitu hawa murninya dihimpun, langsung saja tenaga pukulan hawa dinginnya menyusup ke dalam pukulan hawa panasnya, sementara hawa pukulan panasnya justru menyusup ke dalam pukulan hawa dinginnya, hal ini menimbulkan rasa sakit dan siksaan yang luar biasa dalam tubuhnya, apalagi ketika dia hendak menggunakan kedua macam ilmu pukulan itu lagi, rasa sakit yang timbul serasa merasuk hingga ke tulang sumsum.

Kedua macam ilmu pukulan ini, yang satu bersifat keras sedang yang lain bersifat lunak, karenanya Coh Siang-giok hanya mampu melatih satu macam ilmu pukulan untuk setiap lengannya, dia tak pernah berani mencampur adukkan kedua macam ilmu pukulan itu menjadi satu.

Tapi sekarang senjata makan tuan, dia justru terhajar sendiri oleh tenaga pukulan panas dan dinginnya, kedua macam tenaga pukulan itu sudah bercampur aduk menjadi satu, akibatnya ia merasakan siksaan yang luar biasa.

Masih untung tenaga dalamnya cukup sempurna, coba kalau tidak, mungkin sejak tadi ia sudah terserang Cau-hwejip-mo (jalan api menuju neraka) dan terkapar lumpuh di tanah.

Karena itulah dia sama sekali tak mampu menghindarkan diri dari datangnya tusukan maut toya Leng Ki-cong.

Toya panjang itu langsung menjebol pertahanan lambung si Raja pemusnah, namun tusukan itu hanya mampu menembus sedalam tiga inci dan tak sanggup menembus lebih jauh.

Biarpun hawa murni Raja pemusnah sudah tak terkontrol hingga dia kehilangan kemampuan untuk melakukan perlawanan, namun tubuhnya masih tetap kebal bagaikan lapisan baja, ditambah lagi tenaga dalam yang dimiliki Leng Ki-cong masih jauh dibanding Say Hong-ki, dengan sendirinya dia pun tak mampu melanjutkan lagi tusukan mautnya.

Coh Siang-giok tidak berpangku tangan, ia menerjang ke muka lalu mematahkan toya panjang itu, lantaran tangan kanannya sudah lumpuh, Coh Siang-giok menggunakan tangan kirinya mencekik leher Leng Ki-cong dan diremasnya.

Saat itulah si Tangan besi, Ciu Pek-ih dan Pek Huan-ji telah menyusul tiba.

Kini Coh Siang-giok sudah terluka parah, kesempatan emas sudah muncul di depan mata, siapa pun tak ingin melepaskan peluang itu dengan begitu saja, siapa pun tak ingin melepaskan lawannya dalam keadaan hidup.

Bila kesempatan emas ini tidak dimanfaatkan, mungkin mereka tak akan mampu lagi pulang ke Ciang-ciu dalam keadaan hidup.

Bukan hanya para jago utama saja yang segera bertindak, termasuk ketiga belas orang opas dan sebelas prajurit pun ikut menyerbu dengan taruhan jiwa, biarpun kemampuan Coh Siang-giok membantai dua puluh orang sambil tertawa membuat perasaan hati mereka bergidik bercampur ngeri, namun mereka pun mengerti, bila si Raja pemusnah tidak dilenyapkan, mereka sendiri jangan harap bisa lolos dari situ dalam keadaan selamat.

Keadaan yang dialami si Raja pemusnah saat ini boleh dibilang bagaikan "Raja hutan yang dikeroyok anjing di daerah kota".

Meski begitu, raja hutan tetap raja hutan, tak sembarangan orang bisa mempermainkan sekor harimau secara gampang.

Dengan gerakan tubuh yang sangat mudah Coh Siang-giok telah menghindarkan diri dari tujuh tusukan pedang yang dilancarkan Ciu Pek-ih dan lima bacokan pedang Pek Huan-ji.

Sementara itu si Tangan besi dengan mengandalkan kepalan besinya masih menyerang terus tanpa belas kasihan, namun dengan satu gerakan cepat Coh Siang-giok berhasil mencengkeram pergelangan tangan kanan opas kenamaan itu, sementara tangan yang lain berbalik mencekal pergelangan tangan kirinya.

Walaupun saat ini Coh Siang-giok sudah tak sanggup lagi menggunakan kedua jenis ilmu pukulan andalannya, namun dasar tenaga dalamnya amat sempurna, gerak serangannya juga hebat dan di luar dugaan, dengan kemampuan semacam ini, dia masih mampu berhadapan dengan kawanan jago sehebat apapun.

Kini dia berencana mencengkeram kedua tangan lawan, begitu sepasang tangan opas itu terpegang, maka dengan satu tendangan kilat dia akan menghabisi nyawa si Tangan besi.

Jika Tangan besi sudah ditendang, berarti dia punya kesempatan untuk menghembuskan napas. Asal dia mendapat peluang untuk mengatur kembali pernapasannya, maka semua lukanya akan segera teratasi, posisinya yang asor pun segera akan berbalik menjadi posisi di atas angin.

Sebetulnya apa yang dia harapkan tidak kelewat muluk, dia hanya berharap bisa memperlambat datangnya serangan atau paling tidak memperlunak datangnya tekanan dan himpitan atas dirinya.

Dia memang hebat, dengan kepandaian yang dimilikinya, mungkin tak ada tangan musuh yang berhasil lolos dari cengkeraman mautnya.

Sayang ada pengecualian, kecuali sepasang tangan itu, tangan milik si Tangan besi!

Tangan itu keras lagi licin, lebih keras dari baja dan lebih licin dari belut.

Baru saja tangan Coh Siang-giok menempel di atas tangannya, tangan itu sudah menggeliat dan tahu-tahu sudah lolos dari cengkeramannya, bahkan sepasang kepalan itu masih melanjutkan kembali serangannya.

Seandainya saat itu Coh Siang-giok mempunyai tangan kedua, mungkin dia masih bisa menghadang datangnya serangan sehingga mendapat kesempatan untuk menghindarkan diri. Sayang tangan kanan Coh Siang-giok nyaris lumpuh akibat tusukan pedang Say Hong-ki yang menembusi tulangnya, sementara tangan kirinya baru saja siap berubah jurus, tibatiba dia merasakan badannya jadi kaku, rupanya pengaruh obat pemabuk yang belum hilang seratus persen ditambah kehilangan banyak darah membuat kondisi badannya melemah, hingga tak kuasa lagi gerakan tubuhnya pun melambat.

Dengan satu kecepatan luar biasa, kepalan kanan si Tangan Besi langsung menghajar bahu kiri Coh Siang-giok, satu pukulan telak!

Seketika Coh Siang-giok mendengar suara tulang bahu sendiri yang remuk terhajar pukulan maut itu!

Tergopoh-gopoh si Raja pemusnah melancarkan sebuah tendangan kilat.

Kecuali ilmu pukulan hawa panas Liat-hwe-ci-yan-ciang dan ilmu pukulan hawa dingin Peng-pok-han-kong-ciang, sepasang kaki Coh Siang-giok mampu melancarkan lima jenis ilmu tendangan yang paling sulit di kolong langit, salah satu di antaranya adalah ilmu tendangan lima harimau pemutus nyawa, Ngo-hou-toan-hun-tui.

Ditinjau dari namanya, tentu saja ilmu tendangan lima harimau pemutus nyawa berasal dari aliran Ngo-hou-bun (perguruan lima harimau), tapi selama ini Ngo-hou-bun tersohor dalam dunia persilatan karena ilmu golok lima harimau pemutus nyawanya.

Lantaran ilmu tendangan Ngo-hou-toan-hun-tui tidak begitu tersohor, lagi pula tidak banyak orang yang mengetahui tentang ilmu tendangan ini, maka begitu banyak korban yang tewas di ujung kakinya.

Setiap musuh cuma menaruh perhatian khusus menghadapi ilmu golok lima harimau, siapa pun tidak menyangka di balik bacokan golok akan muncul serangan tendangan yang mematikan, tak heran musuhnya kebanyakan kalau bukan tewas tentu terluka parah. Dan kini Coh Siang-giok telah menggunakan ilmu Ngo-houtoan-hun-tui untuk menghadapi musuhnya, sudah pasti kepandaiannya jauh di atas kemampuan orang-orang Ngohou-bun sendiri.

Tapi sayang tendangannya kali ini dilancarkan dengan menggunakan kaki yang salah, dia semestinya menendang dengan kaki kanan, bukan kaki kiri, sama seperti tangan kirinya, lantaran kehilangan banyak darah dan pengaruh obat pemabuk yang belum hilang, kaki kanannya nyaris lumpuh dan tak sanggup digunakan lagi.

Itulah sebabnya tendangan yang dia lancarkan pun jauh lebih lamban.

Pertarungan antara dua jago silat paling pantang gerak serangan melamban, sebab seringkali kejadian semacam ini bisa berakibat kematian.

Begitu tendangan Coh Siang-giok melamban, kepalan tangan kiri si Tangan besi langsung menghajar dada si Raja pemusnah.

Coh Siang-giok mengira dia mampu menahan pukulan yang dilancarkan lawan, siapa sangka tenaga pukulan si Tangan besi sangat dahsyat, bahkan satu kali lipat lebih hebat dari apa yang dibayangkan semula.

Tak ampun lagi tubuhnya langsung mencelat, sementara badannya masih terlempar ke belakang, darah segar berulang kali memancar keluar dari mulutnya.

Dengan begitu tendangan yang dilontarkan juga mengenai tempat kosong.

Begitu tubuh Coh Siang-giok mencelat ke belakang, Tangan besi segera menyusul tiba dengan cepat, sementara Ciu Pek-ih melepaskan satu tusukan ke depan menyongsong datangnya tubuh lawan.

Tusukan itu dilancarkan persis menyongsong kedatangan tubuh Coh Siang-giok yang mencelat, dengan kata lain, tubuh si Raja pemusnah justru menumbuk ke ujung pedang lawan.

Ujung pedang yang dingin bagaikan es langsung menempel di tubuh Coh Siang-giok, menembus punggungnya. Bagaimanapun juga Coh Siang-giok sudah banyak pengalaman dalam menghadapi pelbagai situasi dan pertarungan, ia berusaha keras menghimpun tenaganya, berjaga agar tidak jatuh pingsan, dia enggan jatuh tak sadarkan diri sebelum mengeluarkan seluruh jurus silat andalannya.

Lekas sepasang kakinya direntangkan sejajar ke samping, kemudian dia melepaskan tendangan ke kiri dan kanan dengan jurus Lam-wan-pak-ciat (selatan bergabung utara berpisah), sebuah ilmu tendangan aliran Bu-khek-pay.

Ketika tendangan itu menyambar tiba, mata pedang sudah menembus punggungnya sedalam dua setengah inci, Ciu Pekih tidak menyangka tendangan musuh datang begitu cepat, begitu dadanya terhajar telak, badannya langsung mencelat.

Tangan besi yang menyusul tiba juga tak berhasil menghindari tendangan yang menyerang secara tiba-tiba itu, "Duk!", dadanya langsung terhajar telak.

Untung Tangan besi bukan jagoan kemarin sore, dalam keadaan tak siaga, hanya satu tindakan yang dia lakukan untuk menyelamatkan diri, tiba-tiba tangannya dilintangkan di depan dada, dengan demikian tendangan yang datang tidak langsung menghajar dadanya, tapi menghajar dulu di atas tangannya.

Tubuh si Tangan besi ikut mencelat ke belakang.

Sambil melayang ke belakang, kedua orang itu memuntahkan darah, bahkan darah yang memancar keluar jauh lebih banyak ketimbang Coh Siang-giok, begitu telentang di atas permukaan salju, untuk sesaat mereka tak sanggup merangkak bangun.

Sementara itu Si Cong-ji sudah menerjang maju, setelah kematian Ngo Kong-tiong dan Goan Kun-thian, jagoan inipun memilih mengadu jiwa dengan lawannya.

Coh Siang-giok tertawa seram, "Bluk!", sepasang pedang ditambah sebilah golok yang semula menancap di lengan, punggung dan lambungnya mendadak mencelat ke udara dan meluncur ke tubuh Si Cong-ji. Sekuat tenaga Si Cong-ji menyambar sebilah pedang dan sebilah golok, sayang masih ada sebilah pedang lagi yang lolos dari genggamannya, pedang itu langsung menumbuk tenggorokannya.

Si Cong-ji menjerit tertahan, tubuhnya jadi lemas dan langsung roboh ke tanah.

Kini kedua lengan Coh Siang-giok sudah patah, dadanya termakan dua bacokan golok dan terkena pukulan, perut terluka oleh Am-gi, punggungnya terluka oleh sabetan pedang ditambah dua luka senjata rahasia.

Walaupun dalam keadaan demikian, ia masih berhasil membantai Si Cong-ji, namun darah semakin deras mengucur keluar membuat badannya semakin lemas, bagaimanapun juga lubuhnya bukan terbuat dari besi baja, dia mulai tak mampu menahan diri.

Tapi Raja pemusnah enggan menyerah begitu saja, dalam keadaan terluka parah, dia melakukan satu tindakan.

Melancarkan serangan balasan!! '

Padahal kenyataan dia memang hanya mempunyai sebuah jalan ini saja, tak seorang pun tahu jelas kondisi badannya ketimbang Coh Siang-giok sendiri, dia sadar, bila sekarang tidak melancarkan serangan balasan, hal ini sama artinya seperti menunggu kematian saja.

"Serang!!" mendadak Ciu Leng-liong membentak keras. Kembali puluhan batang anak panah meluncur ke depan,

menghajar tubuh Coh Siang-giok.

Sembari berkelit sebisanya Raja pemusnah menerjang maju terus ke depan, biarpun tangannya lumpuh namun dia tetap menerjang bagaikan banteng terluka.

Menghadapi kenekatan lawannya, kawanan prajurit dan opas itu jadi tertegun, terkesima dibuatnya, selama hidup belum pernah mereka jumpai manusia yang begitu menakutkan.

Kembali Coh Siang-giok terhajar tiga batang panah, tubuhnya telah menerjang masuk ke tengah kerumunan orang, dia mulai menerjang ke kanan menumbuk ke kiri, setiap orang yang kena ditumbuk olehnya kalau bukan mati terbakar hangus, tentu roboh kaku jadi mayat beku.

Tak seorang pun mampu menghindari kecepatan gerak Coh Siang-giok, dalam waktu singkat kembali ada delapan orang tewas mengenaskan.

Coh Siang-giok sadar, sistim pertarungan semacam ini bukan merupakan serangan balasan, sebab setiap kali dia menumbuk tubuh seseorang maka dia bisa melimpahkan dua jenis aliran hawa murni yang bergolak di tubuhnya ke tubuh lawan.

Kendatipun dengan cara begini ia tak bisa mengurangi luka dalamnya, paling tidak ia dapat membuang hawa murni yang tak terkendali keluar dari badannya sehingga pada akhirnya dia dapat menggunakan lagi ilmu andalannya Peng-pok-hankong-ciang dan Liat-hwe-ci-yan-ciang untuk mengalahkan lawan.

Memang sepasang tangannya terluka parah hingga sulit digunakan, namun begitu kedua macam ilmu pukulannya pulih kembali, bila orang ingin membunuhnya, mungkin hal ini akan lebih sulit ketimbang mendaki langit

Dalam waktu singkat kembali Coh Siang-giok menumbuk roboh enam orang, sekarang dia tinggal menumbuk dua orang lagi sebelum tenaga dalamnya pulih kembali.

Mendadak ia ditubruk seseorang dari depan lalu dipeluk erat, orang itu sangat besar tenaganya, bahkan Coh Sianggiok nyaris mendengar suara gemerutuk tulang tubuhnya yang remuk.

Dengan cepat dia mendongakkan kepala lalu menumbuk dada orang itu dengan keras.

Orang itu segera muntah darah, namun pelukannya bukan terlepas, malah makin lama semakin kencang, dia tak lain adalah si Tangan pemisah emas Thian Toa-ciok.

Bersamaan waktunya, Ciu Leng-liong menerjang maju ke depan, tangan kirinya memegang pedang sementara tangan kanannya menggenggam golok. Menyaksikan hal ini, Coh Siang-giok jadi panik, dengan mengerahkan segenap tenaga dalam yang dimilikinya dia gempur tubuh Thian Toa-ciok.

Sungguh dahsyat gempuran tenaga dalam itu, Thian Toaciok seketika merasa hawa darah dalam rongga dadanya bergolak keras.

Coh Siang-giok sendiri pun merasakan seluruh badannya jadi lemas tak bertenaga, segenap otot badannya serasa kendor mau lepas, tenaga dalamnya pun nyaris tinggal setengah, bahkan tak mungkin pulih kembali dalam waktu singkat.

Waktu itu pelukan Thian Toa-ciok memang sudah mengendor tapi bukan berarti terlepas, biarpun begitu, ternyata Coh Siang-giok pun tak sanggup melepaskan diri dari pelukannya, ia sadar sisa tenaga dalam yang dimilikinya sekarang sudah tinggal tak seberapa.

Dalam sekejap mata Ciu Leng-liong sudah menerjang tiba, golok dan pedangnya langsung diayunkan bersama membacok tubuh lawan.

Coh Siang-giok sadar akan datangnya ancaman yang membahayakan jiwanya, keinginan untuk mempertahankan hidup segera bangkit kembali, biarpun tenaga dalamnya nyaris punah, bukan berarti kungfunya telah hilang, secara beruntun dia melancarkan tendangan dengan kedua kakinya.

Dalam keadaan amat gawat, ternyata Coh Siang-giok masih mampu menendang secara jitu, golok dan pedang di tangan Ciu Leng-liong segera mencelat ke udara.

Tapi sayang dia telah melupakan satu hal.

Ciu Leng-liong tersohor sebagai Monyet sakti bertangan tiga, dia masih memiliki tangan ketiga yang bisa melancarkan serangan.

Tiba-tiba dari balik pakaiannya muncul tangan ketiga yang mencabut keluar sebilah pisau pendek, pisau itu langsung dihujamkan ke hulu hati Coh Siang-giok hingga tinggal tangkainya saja. Coh Siang-giok menjerit kesakitan, suaranya keras hingga memekakkan telinga, sekali lagi sepasang kakinya melejit ke depan bagai ular sanca dan langsung menjepit tengkuk Ciu Leng-liong, setelah itu dengan sekuat tenaga ia memuntirnya.

Tak ampun tengkuk Ciu Leng-liong seketika patah.

Saat itulah Thian Toa-ciok mulai mengendorkan pelukannya, ketika melihat tusukan pisau Ciu Leng-liong menghujam telak di hulu hati Coh Siang-giok, ia sadar musuh besarnya tak mungkin bisa hidup terus, maka dia pun menghembuskan napasnya yang terakhir dengan perasaan lega.

Dengan terlepasnya pelukan Thian Toa-ciok, tubuh Coh Siang-giok pun roboh terkapar di tanah, kebetulan Ciu Lengliong pun roboh persis di sampingnya, darah segar segera berhamburan membasahi seluruh permukaan salju.

Mereka berdua sama-sama belum tewas, setelah mengatur napasnya yang tersengal, Coh Siang-giok bertanya, "Kenapa kau memiliki tiga buah tangan?"

"Sebenarnya aku dilahirkan sebagai anak kembar dempet, tapi saudaraku mati, padahal tangannya tumbuh di badanku, oleh sebab itu aku mempunyai tiga buah tangan, selama ini aku takut orang menganggap diriku sebagai makhluk aneh, maka tangan ketiga ini selalu kusembunyikan di dalam baju."

Tak heran dia dijuluki Monyet sakti bertangan tiga, julukan ini memang sangat tepat. Hanya saja orang pertama yang memberi julukan itu kepadanya sama sekali tidak tahu kalau Ciu Leng-liong benar-benar memiliki tiga buah tangan.

Tanya jawab antara Coh Siang-giok dengan Ciu Leng-liong saat ini berlangsung damai, tidak ada nada permusuhan, tak ada nada ejekan, semua pertanyaan diajukan secara tulus dan semua dijawab secara jujur, karena tanya jawab itu merupakan percakapan mereka yang terakhir kalinya, setelah itu mereka tak pernah bisa bertanya jawab lagi.

Angin puyuh dan hujan salju masih turun dengan derasnya, udara terasa makin dingin mencekam. Sejak si Raja pemusnah kabur dari penjara besar besi berdarah, hingga terjadinya pertempuran sengit ini, salju dan angin masih menderu tiada hentinya, seakan alam merasa gusar.

Tapi sayang betapapun marahnya alam, Raja pemusnah tak pernah mendengarnya lagi.

Kini di arena tinggal lima orang prajurit dan lima orang opas yang masih berdiri terkesima karena ketakutan, wajah mereka masih pucat, tubuh mereka menggigil, mereka masih kuatir Coh Siang-giok akan melompat bangun lagi dan membantai mereka satu per satu. 

Di situ pun masih berdiri sesosok bayangan manusia berbaju putih, sejak Ciu Pek-ih kena tendangan hingga roboh, ia sudah kehilangan semangat tempurnya, saat itu juga dia telah memburu ke sisi suaminya dan merawat lukanya, orang itu tak lain adalah Pek Huan-ji.

Saat ia membangunkan Ciu Pek-ih, lelaki itu hanya membisikkan beberapa patah kata, "Aku tak bakal mati!" Kemudian ia pun jatuh tak sadarkan diri.

Ciu Pek-ih memang tak mungkin mati, karena pedangnya menghujam dulu di tubuh si Raja pemusnah, pedang memang selalu lebih panjang ketimbang tangan atau kaki, tendangan Coh Siang-giok meski menghajar telak di dadanya, namun karena tendangan itu dilontarkan setelah ia terluka dulu oleh tusukan pedang, tentu saja tendangan tadi berkurang banyak daya penghancurnya, ditambah lagi Coh Siang-giok keburu terluka dan tidak mengejarnya lebih jauh, dengan demikian nyawanya pun terselamatkan dari ancaman kematian.

Sekalipun begitu, tendangan itu cukup membuat Ciu Pek-ih menderita luka dalam yang sangat parah.

Bagaimana dengan si Tangan besi?

Waktu itu Tangan besi masih tergeletak di tanah, anggota badannya terasa lemas tak bertenaga, dia memang tak sanggup merangkak bangun, dadanya terasa sakit sekali bagaikan diiris dengan golok, sekalipun begitu dia tak sampai kehilangan nyawa. Dalam keadaan yang amat kritis tadi, rentangan tangannya telah menyelamatkan jiwanya dari kematian, sepasang tangan besinya telah menerima tendangan maut dari Coh Siang-giok, oleh sebab itu dia hanya terluka dalam karena getaran tendangan itu dan tidak mati tertendang.

Sebaliknya si Raja pemusnah Coh Siang-giok tak mampu meloloskan diri dari kematian, dia mati secara mengenaskan.

Begitu banyak orang mengepungnya seorang diri... beribu li ditempuh hanya untuk mengejarnya ... membokong dan menyergapnya ... pihak pengejar harus kehilangan dulu banyak jago-jago pilihannya sebelum berhasil mencabut nyawanya...

Dengan termangu-mangu si Tangan besi mengawasi lapisan salju yang menggunung di hadapannya, ia terbayang kembali perkataan Cing Sau-song, terbayang kembali cita-cita si Raja pemusnah yang setinggi langit....

Untuk sesaat dia tak tahu, semua perbuatan yang telah dilakukannya selama ini sebenarnya benar atau salah?

Ia merasa sangat lelah, belum pernah perasaan hatinya kosong dan sedih seperti kali ini dia tahu sebenarnya Coh

Siang-giok sanggup menghabisi nyawanya, tapi...

Kini dia hanya berharap dirinya bisa berbaring tenang di atas permukaan salju, berbaring terus entah sampai kapan ....

Bunga salju masih beterbangan di angkasa, menutupi wajahnya, kepalanya, mulutnya bunga salju nan putih

melayang turun tiada hentinya, seakan hendak membersihkan dunia ini dari seluruh bercak darah ....

oooOooos

Cahaya lilin yang terang benderang menerangi sebuah ruangan yang indah, dalam ruangan duduk dua orang, seorang kakek dan seorang anak muda, mereka duduk berhadapan dengan papan catur di sebuah meja kecil, sudah semalaman mereka saling menyerang dan bertahan.

Tampaknya kedua orang itu menaruh perhatian yang sangat besar dalam permainan catur itu, meski mereka saling berbicang, namun suara pembicaraan amat rendah.

Terdengar kakek itu berkata setelah menghela napas panjang, "Put-cing (Tanpa Perasaan), tampaknya permainan caturmu bertambah maju."

Pemuda itu termenung sesaat, kemudian baru menjawab, "Bila sejak awal aku diserang, dapat dipastikan tak sampai sepeminuman teh aku sudah menderita kekalahan."

Kembali kakek itu tertawa. "Put-cing, usiamu baru dua puluhan tahun, tapi jalan pikiranmu amat cermat, jauh melebihi orang yang telah berusia empat puluhan tahun. Cuma kau mesti pandai mengendalikan diri, kalau tidak, orang muda dengan pikiran dewasa justru akan mendatangkan penderitaan bagi diri sendiri."

"Boanpwe bukannya kelewat kesengsem dengan watak begini, hanya saja sulit rasanya untuk melanggar kebiasaan," jawab sang pemuda dengan sangat hormat.

Kembali kakek itu tertawa. "Napsu membunuhmu kelewat tebal, tentu saja sulit bagimu untuk tidak melanggar kebiasaan."

Sementara pembicaraan masih berlangsung, tiba-tiba daun jendela dijebol orang, kemudian tampak tiga orang lelaki kekar berbaju hitam menerobos masuk ke dalam ruangan, begitu berada dalam ruangan serentak mereka memencarkan diri dan mengepung tua muda itu dengan rapat.

Di bawah cahaya rembulan yang memancar masuk lewat jendela, terlihat sinar tajam memancar keluar dari balik mata pemuda itu, hanya sekejap kemudian sambil menundukkan kembali kepalanya ia berkata, "Bagaimana mungkin bisa melenyapkan napsu membunuh bila sulit menghindari urusan duniawi?" "Bagaimana caranya hilangkan napsu membunuh?" ujar kakek itu lagi dengan nada sangat tenang, "kenapa harus dirisaukan?"

Dalam pada itu tiga lelaki berbaju hitam yang menerobos masuk ke dalam ruangan mulai tak dapat menahan diri, hawa membunuh makin menebal, tampaknya mereka makin naik darah setelah melihat kedua orang tua muda itu sama sekali tak menggubris kehadiran mereka.

Salah seorang di antaranya segera membentak nyaring, "Kau adalah Cukat-sianseng?"

Kakek itu menghela napas panjang, diambilnya sebiji catur putih, kemudian sambil meletakkan di papan catur katanya perlahan, "Hai, nampaknya yang mesti dibunuh tetap harus dibunuh."

"Benar!" sahut pemuda berbaju putih itu tanpa bergerak, hanya bibirnya yang tipis bagaikan pedang yang bergetar pelan.

Lelaki yang membuka suara itu semakin gusar dibuatnya, kembali ia membentak keras, "Aku tak peduli siapa kau, jangan salahkan aku bertindak keji kepadamu!"

Goloknya segera dilolos dari sarungnya kemudian diiringi deru angin tajam langsung membabat belakang kepala kakek itu.

Bacokan golok ini dilancarkan dengan tujuh bagian tenaga, tiga bagian lainnya melakukan pertahanan, dalam satu gerakan terdiri dari lima perubahan. Setiap saat dia bisa maju atau mundur sekehendak hati.

Dari gerak serangan ini, dapat disimpulkan bahwa orang itu tentulah seorang jago golok kenamaan dalam dunia persilatan.

Kakek itu masih juga tidak bergerak. Ketika mata golok nyaris membabat belakang tengkuk sang kakek, tiba-tiba pemuda berbaju putih mengernyitkan alis, hawa napsu membunuh menyebar di wajahnya, sekali kelebatan cahaya putih tahu-tahu terdengar manusia berbaju hitam menjerit kesakitan lalu roboh di lantai tak bernyawa Sementara pemuda berbaju putih seolah sama sekali tak bergerak, dia masih duduk di tempat semula.

Dari tenggorokan mayat lelaki berbaju hitam yang tergeletak di lantai, terlihat ada sebatang paku pengejar nyawa (Pek-kut-tui-hun-ting) yang berwarna kebiru-biruan menancap telak di situ.

Dua orang lelaki berbaju hitam sisanya segera saling bertukar pandang sekejap dengan perasaan amat kaget, sesaat kemudian mereka segera melolos ruyung kelabang sembilan ruas (Kiu-ciat-wu-kong-pian) dan sebilah golok tipis dari sakunya, kemudian dari kiri dan kanan menyerang kakek dan pemuda itu.

"Hm!" kembali pemuda berbaju putih itu mendengus dingin, "berani kurangajar terhadap Cukat-sianseng berarti mampus!"

Waktu itu ruyung kelabang sembilan ruas itu sudah menyambar tiba dan mengancam kepala Cukat-sianseng, pemuda itu segera menggetarkan tubuhnya, lagi-lagi setitik cahaya putih berkelebat.

Walaupun serangan yang dilakukan lelaki berbaju hitam itu dengan ruyungnya ditujukan ke arah Cukat-sianseng, namun karena ia tahu kehebatan pemuda berbaju putih itu, apalagi setelah melihat rekannya tewas dalam sekali gebrakan saja, maka seluruh perhatiannya tertuju ke arahnya.

Begitu melihat pemuda itu menggetarkan badannya lekas ruyung kelabang sembilan ruasnya diubah dari serangan menjadi pertahanan, siapa tahu belum habis ingatan itu melintas, cahaya putih telah menyambar tiba, dadanya terasa sakit sekali, begitu ia menundukkan kepala, terlihat sebatang piau baja telah menancap dalam dadanya.

Lelaki itu menjerit kesakitan, teriaknya terbata-bata, "Kau

... kau adalah Put-cing si Tanpa Perasaan?"

Pemuda berbaju putih itu tidak menjawab, perhatiannya seolah sedang terpusat di papan catur di hadapannya. Sementara Cukat-sianseng telah berpaling sambil menghela napas panjang, sahutnya, "Dia memang selalu turun tangan Tanpa Perasaan!"

Lelaki itu segera roboh terjengkang ke tanah dan tamat riwayatnya.

Rekannya yang bersenjata golok jadi ketakutan setengah mati, cepat dia urungkan serangannya lalu setelah menengok kiri kanan sekejap, tanpa banyak bicara lagi dia melarikan diri lewat jendela

"Balik!" bisik Cukat-sianseng tiba-tiba sambil menghela napas.

Ketika mengucapkan kata "ba" tadi, tubuhnya masih duduk di depan meja catur, namun ketika mengucapkan kata "lik", tahu-tahu badannya sudah menghadang di depan jendela, hal ini membuat lelaki bersenjata golok tipis itu nyaris menumbuk dadanya.

Lelaki bersenjata golok jadi kelabakan, dalam gugupnya dia mengayunkan goloknya melancarkan sebuah bacokan, serangan yang dilancarkan dalam keadaan panik memang sangat berbahaya dan sulit dibendung.

Siapa tahu belum sampai setengah jalan, tiba-tiba golok itu patah jadi tiga bagian, bagian tengah goloknya yang patah masih berada dalam jepitan jari tengah dan telunjuk Cukatsianseng, sementara bagian kiri dan kanannya sudah rontok ke tanah.

"Kau adalah si Golok cepat Cho Keng-hiong dari kota Siciu?" tegur Cukat-sianseng sambil tersenyum.

Sadar niatnya untuk kabur mustahil terlaksana, lelaki itu menghela napas panjang, sambil membuang kutungan goloknya ke tanah, sahutnya jengkel, "Kau tak usah pedulikan siapa aku, mau bunuh mau bantai lakukan saja sesuka hatimu!"

Cukat-sianseng menepuk bahunya pelan, lalu katanya sambil tertawa, "Pulang dan beritahukan kepada Mo-kouw (bibi iblis), bila dia menginginkan batok kepalaku, suruh dia datang dan mengambil sendiri, jangan mengirim orang hanya untuk mengantar kematian saja, kalau tidak, Lohu yang akan pergi mencarinya."

Untuk sesaat Cho Keng-hiong hanya berdiri termangu dengan biji mata berputar tiada hentinya, dia tak tahu apa yang mesti dilakukan.

"Pergilah!" kembali Cukat-sianseng berkata sambil mendorong tubuhnya keluar.

Seketika itu juga badan Cho Keng-hiong mencelat keluar dari jendela dan roboh terjerembab di luar sana, sesaat kemudian baru terdengar ia merangkak bangun dan kabur terbirit-birit meninggalkan tempat itu.

Put-cing menunggu sesaat lamanya, ketika mendengar langkah Cho Keng-hiong sudah pergi agak jauh, baru ia berbisik, "Biar kukuntit dia!"

Cukat-sianseng tersenyum "Cho Keng-hiong adalah anak buah Mo-kouw, tak nanti utusan Peronda dari Mo-kouw membiarkan orang lain menguntit kepergiannya."

"Ooh, kalau begitu dengan cepat Cho Keng-hiong bakal balik lagi kemari?" ujar Tanpa Perasaan setelah berseru tertahan.

Cukat-sianseng tidak menjawab, dia hanya menghela napas panjang.

Mendadak dari luar jendela berkumandang datang suara deruan angin puyuh yang sangat kencang, deruan angin tajam itu serasa membelah ketenangan malam, tampak sesosok bayangan merah melintas di luar jendela.

Dengan cekatan Cukat-sianseng menundukkan kepalanya, sebatang gurdi terbang tampak menyambar masuk melalui jendela dan menghajar dinding ruangan.

"Duk!", dinding itu seketika hancur berantakan diiringi suara gemuruh keras.

Di ujung gurdi terbang itu tampak seutas kawat baja, ketika kawat itu disentak keras, sang gurdi terbang pun meluncur balik melalui daun jendela, bayangan hitam itu segera lenyap sementara di lantai terbanting tubuh seseorang.

Sesaat kemudian suasana pulih kembali dalam keheningan. Terdengar Cukat-sianseng berkata sambil tertawa hambar, "Yang datang adalah utusan Peronda berbaju merah dari arah timur, Yu-hun-soh-pok-jui (Gurdi pembetot sukma penghancur nyawa) Cong Ki-ko."

Tanpa Perasaan segera bangkit berdiri siap melakukan pengejaran, tapi Cukat-sianseng segera mencegah, "Tidak usah dikejar, cepat atau lambat urusan ini toh bakal kuserahkan kepadamu untuk diselesaikan."

Si Tanpa Perasaan mengalihkan sorot matanya ke tubuh orang yang tergeletak di lantai, tampak lambungnya jebol terhajar gurdi, ceceran darah dan daging berserakan dimanamana, kematiannya sangat mengenaskan, orang itu tak lain adalah Cho Keng-hiong.

Sambil tertawa dingin Tanpa Perasaan segera berseru, "Kejam dan telengas amat sikap Mo-kouw terhadap anak buah sendiri!"

"Asal-usul Mo-kouw memang merupakan misteri hingga kini, belum ada yang tahu asal-usulnya, dari keempat iblis langit Su-toa-thian-mo yang terdiri dari Kouw (bibi), Tauw (pentolan), Sian (dewa) dan Sin (malaikat), meskipun kepandaian silat Mo-sin (malaikat iblis) Cun Yu-siang menjagoi kolong langit, namun dia masih bukan tandingan dari Mo-sian (dewa iblis) Lui Siau-jut. si Dewa iblis meski hebat, namun tidak sehebat Mo-tauw (pentolan iblis) Si Ku-pei, sedang Mokauw (bibi iblis) konon jauh lebih tangguh daripada ketiga orang ini, bahkan pandai sekali menggunakan ilmu merayu hingga membuat ketiga jagoan ampuh ini tunduk seratus persen di bawah perintahnya, rela dan ikhlas bekerja untuknya. Sementara siapakah bibi iblis yang sebenarnya tak seorang pun yang tahu jelas, semua orang hanya tahu dia adalah seorang wanita setengah umur ... setiap jago yang pernah bertarung melawannya, tak seorang pun yang bisa lolos dengan selamat, konon mereka semua mati secara mengerikan”

"Lantas apa alasannya ingin membunuh paman?" sela Tanpa Perasaan. Kembali Cukat-sianseng tertawa. "Aku adalah paman empat opas yang termashur di kotaraja, kalau dia tidak membunuhku lantas ingin membunuh siapa?"

"Kalau dia berani datang sendiri untuk membunuhmu, sama artinya mencari kematian buat diri sendiri."

"Keliru besar, tiga orang pembunuh gelap yang dia kirim malam ini hanya merupakan bagian dari siasat 'suara di timur menggempur di barat' yang sedang dia jalankan, sebab saat ini dia sedang melakukan pekerjaan yang bakal mencelakai orang banyak di wilayah seputar Pak-shia (benteng utara), salah satu di antara empat keluarga kenamaan dalam dunia persilatan."

"Apa yang sedang ia lakukan?" "Menciptakan manusia obat!" "Menciptakan manusia obat?"

"Benar," Cukat-sianseng mengangguk, "selain ilmu silatnya lihai dan luar biasa, Mo-kouw juga sangat menguasai ilmu racun yang berasal dari perguruan Ciat-yu-bun di lautan timur, yang lebih menakutkan lagi adalah dia bisa menghilangkan kesadaran dan watak seseorang dengan menggunakan obat beracun, pengaruh racun itu akan membuat korbannya kehilangan pikiran dan keinginan, sepanjang hidup jadi budaknya, setia kepadanya dan rela mati demi dirinya, orangorang semacam itu hanya taat pada perintah Mo-kouw seorang, manusia jenis inilah yang dinamakan manusia obat."

"Masa ia berani mengincar Pak-shia?"

"Bukan hanya benteng utara saja yang menjadi sasaran mereka, dia bahkan berencana mengumpulkan kawanan iblis untuk menciptakan manusia-manusia obat dari anggota Benteng utara kemudian menyerang juga Tang-po (benteng timur), Lam-ce (benteng selatan) dan Pak-tin (kota barat)!"

"Permusuhan apa yang terjalin antara dia dengan empat keluarga kenamaan dunia persilatan?" tanya Tanpa Perasaan heran.

"Sepuluh tahun berselang, kawanan iblis itu sudah sering melakukan keonaran dalam dunia persilatan, maka Lam-cecu, Say Tin-cu dan Pak-shiacu bekerja sama membasmi Mo-kouw dari muka bumi. Dalam kerubutan itu, iblis wanita itu berhasil melarikan diri meski menderita luka dalam yang cukup parah. Maka sepuluh tahun kemudian, Mo-kouw bangkit kembali, tentu saja tujuannya adalah untuk menuntut balas. Karena orang yang melukai dia paling parah sepuluh tahun berselang adalah Lo-shiacu dari benteng utara, maka kali inipun dia jadikan Lo-shiacu sebagai sasaran pertamanya dalam usaha balas dendam."

"Shiacu baru dari benteng utara Ciu Pek-ih adalah seorang jago yang sempurna baik Gwakang maupun Lwekang, ilmu pedang yang dimiliki pun luar biasa, biar masih muda namun bukan orang yang gampang diganggu, apalagi masih didukung para jago dari Tang-po, Say-tin dan Lam-ce, belum tentu Mokouw, Mo-tauw, Mo-sian dan Mo-sin bisa memperoleh keuntungan secara mudah."

"Ketika terjun kembali ke dalam dunia persilatan, empat gembong iblis Su-toa-mo-ong telah sesumbar mengatakan akan menggantikan posisi empat keluarga kenamaan dari dunia persilatan. Tentu saja langkah ini mereka lakukan dengan perencanaan yang cermat dan sempurna. Saat ini, kawanan jago dari Say-tin maupun Lam-ce sedang menghadapi kesulitan besar di wilayah Soat-say dan sekitarnya, jelas kekuatan mereka mustahil bisa digeser dari tempat itu. Sementara Pocu dari benteng timur, Kim-to-bu-tek (golok emas tanpa tandingan) Ui Thian-seng telah mengirim kawanan jago lihainya untuk membantu, sementara dia sendiri akan menyusul ke Pak-shia untuk memberikan bantuan. Jelas Su-toa-mo-ong sudah memperhitungkan dengan cermat kalau empat keluarga kenamaan sedang menghadapi kesulitan hingga mustahil datang membantu Pak-shia, maka mereka memanfaatkan peluang ini untuk bertindak."

"Jadi tujuan Mo-kouw mengirim anak buahnya untuk membunuh kita malam ini adalah agar kita mengira dia ada di kotaraja, karena dia berada di sini maka kita berdua jadi tak mungkin berangkat ke Pak-shia untuk memberikan bantuan?" "Benar," Cukat-sianseng mengangguk, "dia yakin kita pasti akan mengutus orang untuk membantu pihak Pak-shia. Sutoa-mo-ong memang sudah terlalu banyak melakukan kejahatan, mereka sering menculik lelaki kekar untuk dijadikan manusia obat, bagaimanapun juga, tanggung jawab kasus besar ini sudah terjatuh ke pundak kita berdua, jadi mau tak mau kita memang harus mencampurinya”

Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya, "Apa yang ia lakukan malam ini seakan memberitahu kepada kita bahwa dia pun sudah tiba di Pak-shia, padahal beberapa hari mendatang Baginda Raja akan melakukan perjalanan jauh, dia seperti memberitahu kepada kita bahwa setiap saat dia bisa berbuat sesuatu yang tidak menguntungkan bagi keselamatan Baginda, maka ia peringatkan agar kita jangan turut campur urusan ini, paling baik jika tetap berada di kotaraja untuk melindungi keselamatan kaisar”

"Hm, apa dia lupa kau mempunyai empat orang murid?" jengek Tanpa Perasaan sambil tertawa dingin.

"Lupa sih tidak mungkin, tapi dewasa ini si Darah dingin, Pengejar nyawa dan Tangan besi sudah berada di wilayah Soat-say, terlibat dalam perseteruan yang melibatkan Say-tin dan Lam-ce, sementara di sini walaupun masih ada seorang anak muridku yang paling tangguh, tapi sayang gerakgeriknya tidak leluasa”

"Orang lain mungkin tidak tahu, tapi paman pasti tahu dengan jelas, walaupun sepasang kakiku lumpuh, namun masalah pelacakan dan penyelidikan kasus besar masih tak akan menyulitkan aku."

"Benar, aku tahu akan hal ini. Aku sengaja memberitahukan semua ini kepadamu karena aku memang berniat mengirim kau ke sana, tapi kau harus ingat, perjalanan kali ini sangat berbahaya dan penuh dengan ancaman maut.

Aku pun tahu meski kakimu sudah lumpuh namun ilmu meringankan tubuhmu sangat hebat, kau pun sangat menguasai ilmu senjata rahasia sehingga mengabaikan kepandaian silat lainnya, bagi pihak lawan, mungkin saja mereka akan memandang remeh dirimu karena kelumpuhan itu, kelihaian ilmu meringankan tubuhmu justru akan memberi peluang kepadamu untuk menyerang secara tak terduga.

Orang juga tahu kalau tenaga dalammu telah punah, maka jurus serangan terakhirmu yang sangat mematikan, kalau bisa jangan digunakan secara sembarangan apabila bukan terdesak oleh keadaan. Siasatmu jauh melebihi si Darah dingin dan lainnya, satu-satunya kelemahanmu hanya kau tak bisa benar-benar Tanpa Perasaan, kau tak bisa melupakan perasaan, hal inilah yang membuat kau banyak tersiksa."

"Terima kasih banyak atas nasehat paman," kata Tanpa Perasaan kemudian dengan kepala tertunduk, "kini keadaan sudah mendesak, ada baiknya aku segera berangkat."

"Bila kau menggunakan jalan negara menuju Suchuan, perkiraanku ketika tiba di seputar wilayah Soat-say kau akan berjumpa dengan Ui Thian-seng dari Benteng timur. Kawanan jago yang menyertainya antara lain terdiri dari Hong-ta-pit-pay (tiap bertarung pasti kalah) Khong Bu-ki, Hui-sian (dewa terbang) Ci Yau-hoa, Siau-thian-san-yan, Chi Ang-kiok dan

lain-lain”

"Hong-ta-pit-pay Khong Bu-ki?" senyuman mulai menghiasi wajah Tanpa Perasaan, "konon kungfu yang dimiliki orang ini sangat hebat, dia terhitung jago lihai andalan Tang-po, sangat pemberani, besar nyalinya dan setia sampai mati. Sayang nasibnya kurang mujur hingga setiap kali giliran dia turun tangan, musuh yang dihadapi selalu lebih tangguh dari kemampuannya. Walau begitu, pihak lawan pun tak pernah berhasil membunuhnya, setiap kali di saat yang paling kritis ia selalu berhasil meloloskan diri. Semakin tinggi kungfu yang dimiliki, semakin hebat pula musuh yang harus dihadapi sehingga tiap kali bertarung harus menelan kekalahan. Konon semenjak terjun ke dunia persilatan, dia sudah seratus dua puluh empat kali keok di tangan orang lain. Walau tiap kali bertarung selalu kalah, namun kekalahan tak sampai menyurutkan semangatnya, malah dia pun tak pernah mau mencari musuh yang memiliki kungfu jauh di bawah kemampuannya untuk diajak bertarung ... lambat-laun orang mulai menaruh hormat kepadanya. Tiap kali berhasil mengalahkan dia, selalu tak tega membunuhnya. Kalangan Pek-to menghormati keberanian dan kesetia-kawanannya, kalangan Hek-to menaruh hormat karena keberaniannya menantang maut ... yang mengherankan justru Toa-mongliong, Kim-to-bu-tek (naga ganas, golok emas tanpa tandingan) Ui Thian-seng yang konon lebih menghormati lelaki ketimbang wanita, kenapa kali ini bisa berangkat bersama Ci Yau-hoa dan Chin Ang-kiok...?"

"Aku dengar dua orang saudara seperguruan Ci Yau-hoa telah ditangkap Mo-kouw untuk dijadikan manusia obat.

Saudara tua Chin Ang-kiok yang dijuluki Jian-li-it-tiam-heng (seribu li setitik noda) Chin Sam-kong juga kena dikerjai Mokouw hingga tewas mengenaskan di atas salju, kebetulan Chin Ang-kiok sedang pergi mencari Mo-kouw untuk membuat perhitungan! Kau sendiri tahu keusilan dan ketajaman mulut Ci Yau-hoa, Ui Thian-seng sebagai lelaki lugu, mana mungkin bisa menangkan ketajaman mulutnya?"

"Besok pagi aku akan berangkat, kalau tak ada aral melintang, menurut perkiraanku dalam tiga hari aku pasti sudah berkumpul dengan Ui-lopocu dan lainnya di jalan raya menuju Soat-say."

Mendadak paras muka Cukat-sianseng berubah serius, bisiknya, "Orang itu datang lagi, kelihatannya bajingan ini memang sedang mengintai dan mengawasi gerak-gerik kita."

Belum selesai ia berkata, dari balik deruan angin malam di sebelah depan sana, tiba-tiba bergema suara gemuruh angin topan yang amat kencang dan nyaring, suara itu berasal dari arah timur, namun dalam sekejap telah tiba di depan jendela dan ... "Wes!", sebuah benda telah ditimpukkan masuk melalui daun jendela.

Cukat-sianseng segera melejit ke udara, gurdi terbang itu segera menyambar melalui bawah kakinya dan menghajar dinding ruangan. Ketika sang gurdi menghajar dinding, rantai gurdi menegang lurus, Cukat-sianseng segera menutulkan ujung kakinya di atas rantai itu dan meluncur keluar jendela menelusuri rantai tadi.

Gagal dengan serangannya, segera orang itu menarik kembali gurdinya, meski senjata berhasil ditarik balik namun disertai kehadiran Cukat-sianseng.

Begitu melihat Cukat-sianseng sudah berdiri di hadapannya, orang itu nampak terperanjat hingga tanpa terasa berseru tertahan.

Dengan gerakan cepat Cukat-sianseng mencakar tubuh lawan, lekas orang itu melompat mundur sambil berkelit, "Breet!", di bawah sinar rembulan tampak dalam genggaman Cukat-sianseng telah bertambah dengan selembar kain merah, sementara di kejauhan sana terlihat manusia berbaju merah itu menyelinap ke balik kegelapan dan lenyap dari pandangan.

Sesaat Cukat-sianseng berdiri tegak di situ, kemudian baru berjumpalitan dengan gerakan Si-siung-juan-kiau-in (pinggang ramping menembus awan) dan balik kembali ke dalam ruangan.

Kini ruangan sudah kosong, tak nampak bayangan tubuh Tanpa Perasaan, tapi di atas dinding tertera beberapa baris huruf yang berbunyi: "Sudah dua kali anak buah Mo-kouw melancarkan percobaan pembunuhan, untuk menghilangkan ancaman ini, sang utusan harus dibungkam lebih dulu".

Di bawah cahaya lilin, Cukat-sianseng termenung sambil berpikir sejenak, kemudian gumamnya sambil tersenyum, "Tanpa Perasaan, dalam perjalananmu ke barat menuju benteng Pak-shia, tak bisa dihindari berbagai pertempuran sengit harus kau lalui, memang tak ada salahnya bila kau habisi dulu si Gurdi pencabut nyawa Yu-hun-soh-po-jui.

Bagaimanapun Cong Ki-ko memang seorang jago yang tersohor karena sepasang gurdi mautnya, sekarang aku telah merebut salah satu gurdinya, meski begitu bukan berarti gurdinya yang tinggal sebelah bisa dipandang enteng. Padahal sejak kecil kau menderita asma, kau tak akan tahan bila mesti bertarung lama, semoga saja dalam usahamu menumpas kaum iblis ini, semuanya bisa berjalan lancar dan pulang dengan selamat, kalau tidak, bagaimana mungkin perasaan hatiku bisa tenang?"

Yu-hun-soh-po-jui Cong Ki-ko sudah dua puluh lima tahun berkelana dalam dunia persilatan, di antara sekian waktu, ada tujuh belas tahun lamanya dia mengikuti Mo-kouw si Bibi iblis, banyak sudah jagoan yang tewas di tangannya, tapi selama hidup baru malam ini untuk pertama kalinya salah satu gurdi andalannya berhasil direbut orang dalam satu gebrakan.

Peristiwa itu sungguh menggidikkan hatinya, dia masih ingat adegan sewaktu Cukat-sianseng tahu-tahu muncul di hadapannya sambil mencengkeram salah satu gurdinya, kegagahan, kewibawan serta keangkeran jago itu sungguh membuat hatinya tercekat dan bergidik, seandainya ia tidak mengambil keputusan tegas tepat pada waktunya, bila ia tidak segera melepaskan salah satu senjata andalannya, sulit rasanya untuk lolos dari cengkeraman lawan.

Tapi ada satu hal lain yang membuat hatinya semakin tercekat, sebagai seorang Utusan Timur yang memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa, ternyata saat ini telah diikuti orang secara ketat, bagaimanapun juga ia mencoba melepaskan diri, ternyata dia tak pernah bisa lolos dari penguntitan orang.

Bukan saja ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu hebat dan aneh, bahkan seolah seekor binatang terbang saja, sebentar melayang di udara sebentar lagi menempel di tanah lalu melayang lagi di udara, tubuh orang itu tampak begitu ringan hingga terkesan seakan melayang-layang di angkasa.

Mula-mula Cong Ki-ko hanya mendengar ada suara perlahan menyentuh tanah, suara itu berasal setengah li jauhnya di belakang tubuhnya, awalnya ia tidak menggubris bahkan tidak memperhatikan suara itu, namun lambat-laun suara itu semakin mendekat, bahkan jaraknya tinggal beberapa ratus kaki, dia mulai berpikir, mungkinkah suara sentuhan ringan itu berasal dari pemuda tanpa kaki yang tadi berada dalam ruangan bersama Cukat-sianseng?

Cong Ki-ko nyaris tidak percaya, pemuda itu begitu pucat wajahnya, begitu kurus badannya bahkan kaki pun tidak tumbuh sempurna, mungkinkah dia mampu menyusulnya hanya mengandalkan sepasang tangan?

Satu ingatan segera melintas dalam benaknya, Cong Ki-ko mulai berpikir, "Konon Cukat-sianseng punya empat orang murid, salah satunya adalah Put Cing si Tanpa Perasaan, jangan-jangan pemuda itu adalah orang yang dimaksud?"

Tiba-tiba Cong Ki-ko menghentikan larinya, sekulum senyuman licik tersungging di ujung bibirnya, kalau memang Cukat-sianseng susah dibunuh, kenapa tidak membunuh si Tanpa Perasaan? Asal salah seorang di antara mereka terbunuh, bukankah dia sama saja dapat memberikan pertanggung jawaban terhadap Mo-kouw si Bibi iblis?

Apalagi selama hidup dia paling pantang dikuntit orang secara diam-diam!

Seluruh badan Tanpa Perasaan mendadak berdiri membeku, menjadi kaku di tengah kegelapan malam dan hembusan angin dingin.

Tiba-tiba saja dia kehilangan jejak Cong Ki-ko ... suara desingan angin topan yang tajam, cepat dan nyaring itu mendadak hilang lenyap, mendadak hening dan tidak bersuara lagi.

Tanpa Perasaan ragu-ragu sesaat, lalu sepasang tangannya kembali menepuk tanah, dengan tiga kali loncatan tubuhnya meluncur sejauh puluhan kaki, namun dengan cepat tubuhnya membeku untuk kedua kalinya.

Dia segera merasakan munculnya hawa pembunuhan yang amat tebal menyerang tubuhnya, nyaris menembus tulangnya

....

Sepanjang kariernya, Yu-hun-soh-po-jui Cong Ki-ko sudah kelewat banyak membunuh orang, akibatnya walaupun sekarang dia belum turun tangan, namun manusia macam Tanpa Perasaan segera dapat merasakan betapa hebatnya hawa pembunuhan yang menyelimuti seluruh arena.

Tanpa Perasaan segera menghentikan gerak tubuhnya.

Sekeliling tempat itu berupa sebidang tanah luas dengan beberapa batang pohon tumbuh di empat penjuru, di bawah cahaya sinar rembulan terlihat dedaunan bergoyang tiada hentinya.

Dia sadar, Cong Ki-ko pasti bersembunyi di balik salah satu pohon di sekeliling sana, menanti saat yang tepat untuk menyergap, siap melancarkan serangan mematikan.

Tinggal satu hal yang belum jelas, Tanpa Perasaan tak bisa memastikan pohon yang mana, pada dahan pohon mana musuhnya menyembunyikan diri.

Dia tak ingin bertindak gegabah, ia sadar dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sekarang, bukan pekerjaan mudah untuk menghindarkan diri dari serangan gurdi pencabut nyawa yang dilancarkan lawan.

Cong Ki-ko tak lebih hanya salah seorang di antara empat orang utusan yang dikirim Mo-kouw si Bibi iblis, jika manusia macam Cong Ki-ko saja tak mampu dia atasi, bagaimana mungkin ia bisa mengimbangi kepandaian yang dimiliki si Bibi iblis bila terjadi pertarungan nanti?

Dalam keadaan begini Tanpa Perasaan hanya bisa menunggu, menunggu kedatangan serangan mematikan, menunggu pihak lawan melancarkan serangan mautnya terlebih dulu.

Dipihak lain, Cong Ki-ko sendiri pun merasa kaget bercampur tercengang ketika melihat si Tanpa Perasaan selangkah demi selangkah menghampirinya dengan mengandalkan sepasang tangannya, dia tak menyangka orang yang lumpuh kakinya ternyata memiliki ilmu meringankan tubuh sehebat ini.

Setiap orang persilatan tahu bahwa Put-cing si Tanpa Perasaan adalah seorang pemuda yang banyak akal dan pandai mengatur siasat, senjata rahasianya tiada tandingan, bahkan telah melengkapi tandu yang dia gunakan dengan berbagai macam alat rahasia, konon tak ada jagoan yang mampu mendekatinya sampai jarak satu kaki, malah konon keempat orang kacungnya pun memiliki ilmu silat yang luar biasa.

Dia sudah banyak mendengar tentang kehebatan lawannya, hanya satu yang belum pernah ia ketahui, Tanpa Perasaan memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat.

Diam-diam ia mulai menaruh rasa kasihan kepada si Tanpa Perasaan, sebab bila gurdinya dilontarkan, pemuda cacad itu seketika akan tercabut nyawanya, dari potongan badan serta gerak-gerik pemuda itu, ia telah melihat dengan jelas bahwa pemuda itu meski memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat, namun tenaga dalamnya tidak sempurna, kekuatan tubuhnya masih belum sanggup menerima serangan mautnya.

Apalagi sekarang dia berada di tempat gelap, sementara lawan berada di tempat terang, asal dia melancarkan serangan lebih dulu, bisa dipastikan si Tanpa Perasaan tak akan bisa meloloskan diri.

Bagaimanapun juga si Tanpa Perasaan bukanlah Cukatsianseng yang ditakuti orang persilatan!

Diam-diam Cong Ki-ko mulai menghimpun tenaga dalamnya sambil mempersiapkan serangan, dia akan melepaskan serangan gurdinya di saat si Tanpa Perasaan sekali lagi melambungkan tubuhnya ke udara.

Serangan mautnya harus berhasil mengenai sasaran, karena dia tinggal memiliki sebuah gurdi saja, gurdi yang lain telah direbut Cukat-sianseng.

Dalam waktu singkat itulah tiba-tiba si Tanpa Perasaan menghentikan seluruh gerakannya, setiap jengkal tubuhnya, setiap inci pori-pori tubuhnya seakan sudah berada dalam kesiagaan penuh.

Begitu berhenti, dia tidak melakukan gerakan lagi, seluruh tubuhnya seolah sudah meleburkan diri ke dalam cahaya rembulan, melebur jadi satu bagian hingga tak mungkin bisa dipisahkan kembali. Jangan-jangan ... pemuda itu sudah mengetahui tempat persembunyiannya dan siap melancarkan serangan?

Diam-diam Cong Ki-ko bermandikan peluh dingin, padahal selama hidup, kecuali sedang berhadapan dengan Cukatsianseng, dia tak pernah merasa panik seperti saat ini, tak pernah terpengaruh rasa percaya dirinya seperti apa yang terjadi ketika berhadapan dengan si Tanpa Perasaan seperti sekarang ini.

Sebenarnya dialah sang Pemburu, atau justru si Tanpa Perasaan lah yang telah menjadi pemburu?

Lalu siapa yang menjadi hewan buruan? Dia? Atau dirinya?

Tanpa Perasaan tidak mendongakkan kepala, tapi telinganya mendengarkan dengan seksama, jangan kan suara manusia, daun yang bergerak di dahan pohon sepuluh kaki dari tubuhnya pun dapat ia dengar dengan jelas, tapi anehnya dia justru tidak mendengar suara napas Cong Ki-ko.

Padahal dengusan napas sendiri justru bertambah cepat, bertambah memburu, perasaan tegang memang selalu mendatangkan tekanan batin yang amat besar bagi seseorang dengan tenaga dalam cetek.

Biarpun tegang, biarpun mulai gelisah, penampilan si Tanpa Perasaan tetap dingin, tenang dan Tanpa Perasaan.

Rembulan sudah mulai condong ke langit barat, kentongan keempat sudah lama berlalu, Tanpa Perasaan sadar, ia tak bisa menunggu lebih lama lagi di situ, sebab dia berada di tempat terang sedang musuh berada di tempat gelap, kecuali bila dia bisa memaksa pihak lawan berada di tempat terang.

Tentu saja Cong Ki-ko tak bakal menmpakkan diri secara sukarela, asal pihak lawan mengeluarkan sedikit suara, si Tanpa Perasaan segera dapat menetapkan tempat persembunyiannya.

Mendadak ejeknya dengan suara dingin, "Hm, orang bilang Yu-hun-soh-po-jui Pak-hay sangat hebat, ilmu gurdi pencabut nyawanya luar biasa dan tanpa tandingan, tapi malam ini ... aku sungguh kecewa, ternyata kau hanya manusia tak bernyali, beraninya hanya bersembunyi macam sukma gentayangan, kau sungguh amat mengecewakan!"

Suasana tetap hening, sepi, tak terdengar suara apapun, bahkan suara daun yang jatuh pun tak terdengar.

Kembali si Tanpa Perasaan menjengek dingin, "Ternyata anak buah Mo-kouw yang disebut orang empat peronda besar tak lebih hanya manusia begitu, bisa jadi yang disebut Bibi iblis pun cuma manusia tak berguna."

Suasana tetap hening, tak ada suara manusia, tak ada suara dedaunan, yang ada hanya cahaya rembulan yang semakin redup.

Tanpa Perasaan berkata lebih lanjut, "Tapi aku rasa peronda selatan, peronda barat dan peronda utara jauh lebih mendingan ketimbang kau si utusan peronda timur yang tak lebih cuma manusia kurcaci, manusia penakut macam kurakura, sungguh bikin malu saja."

0oo0

Suasana tetap hening, sepi, tak ada suara barang sedikitpun. Peluh sebesar kacang kedelai mulai membasahi jidat si Tanpa Perasaan.

"Cong Ki-ko!" seru Tanpa Perasaan kemudian sambil tertawa, "kalau kau tak punya keberanian untuk menampakkan diri, baiklah, Siauya akan segera pergi."

Mendadak deru angin tajam bergema memecah keheningan, membelah kegelapan malam yang masih mencekam.

Deru angin tajam itu muncul dari atas sebuah pohon besar, pohon ketiga yang berada di posisi tengah, selain menimbulkan desingan tajam yang memekakkan telinga, kecepatan dan kedahsyatannya luar biasa, sebuah serangan gurdi terbang pencabut nyawa!

Waktu itu sebenarnya si Tanpa Perasaan berdiri menghadap ke selatan, begitu desing angin tajam menderu, tangannya telah diayunkan ke arah timur. Begitu tangannya diayunkan, wajahnya ikut berpaling ke timur, tampak sebuah gurdi terbang meluncur dengan kecepatan luar biasa, nampaknya sulit untuk dihindari.

Bersamaan dengan ayunan tangannya, tampak cahaya putih berkelebat, menyusul kemudian terdengar jeritan ngeri yang memilukan hati bergema memecah keheningan, serangan gurdi terbang itupun rontok di tengah jalan, terjatuh ke tanah persis beberapa depa di hadapan si Tanpa Perasaan.

"Bruk!", sesosok tubuh manusia rontok dari atas pohon, seorang lelaki berbaju merah, tapi pakaian di bagian dadanya kelihatan jauh lebih merah, merah karena darah!

Sebilah pisau tipis lagi lembut telah menghujam di dada Cong Ki-ko, menghujam ke dalam tubuhnya hingga tersisa gagangnya.

Memang hanya pisau sepanjang ini yang bisa menghancurkan tenaga dalam Cong Ki-ko, merontokkan tubuhnya dari atas pohon.

Cong Ki-ko roboh terkapar di tanah, rasa tidak percaya, putus asa dan penasaran masih memancar dari balik wajahnya, sekuat tenaga dia mengangkat wajahnya, berusaha memandang ke arah lawan.

Tampak pemuda berbaju putih itu, si Tanpa Perasaan berjalan menghampirinya, meletakkan gurdi terbang itu ke samping tubuhnya, kemudian baru bertanya, "Apa lagi yang ingin kau katakan?"

Dengan rasa sakit yang luar biasa Cong Ki-ko memandang sekejap pisau yang menghujam di dadanya.

Tanpa Perasaan segera mengerti apa yang dimaksud, dia cabut keluar pisau terbangnya, darah segar pun menyembur keluar dari lukanya, berhamburan kemana-mana.

Dengan suara parau karena menahan rasa sakit, Cong Kiko berbisik, "Bibi iblis pasti akan membalaskan dendam atas kematianku”

Dengan pandangan hambar si Tanpa Perasaan mengangguk. Suara Cong Ki-ko yang parau dan mengenaskan pun seketika terputus di tengah jalan, terputus di tengah hembusan angin malam yang dingin, tewas dalam keadaan mengenaskan!

Tanpa Perasaan mendongakkan kepalanya memandang angkasa, dia tahu, masih ada jalan yang lebih panjang, lebih jauh dan lebih sulit yang harus ditempuh, harus dilaluinya.

oooOOooo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar