Pertemuan di Kotaraja Bab 14 : Penyergapan

14. Penyergapan.

Tauke pemilik losmen 'Ko-seng' secara tiba-tiba ditangkap dua orang tamu yang menginap dalam losmen miliknya dan diseret keluar melalui beberapa jalan raya, ketika tiba di sebuah rumah, kedua orang itu segera membuka pintu dan menyeretnya masuk.

Dalam ruangan telah berkumpul dua tiga puluhan orang berpakaian ringkas, ada yang berdandan sebagai petugas pengadilan, ada pula yang memakai baju perang berlapis baja.

Dengan ketakutan tauke losmen segera berlutut sambil memohon ampun, "Tayjin ampun ... hamba Sun Thian-hong tidak bersalah”

"Tutup mulutmu!" Ketika tauke losmen melihat bupati pun ikut hadir di sana, dia semakin ketakutan hingga tak berani mengangkat wajah.

"Jangan berteriak!" tegur sang bupati, "kalau sampai terdengar orang, terlepas kau salah atau tidak, yang pasti losmenmu sudah dicurigai terlibat dalam kejahatan”

Pucat pias wajah tauke losmen itu, dengan agak tergagap ia berbisik, "Ham ... hamba benar-benar tak tahu duduk persoalan yang sebenarnya, mohon Toa-loya memberi keadilan”

Bicara sampai di situ, sekujur badannya mulai gemetar keras.

Bupati itu baru berusia empat puluhan tahun, mukanya merah dengan jenggot panjang berwarna hitam, wajahnya angker lagi berwibawa, tak dipungkiri keberhasilannya memangku jabatan sebagai Bupati di tempat ini tak lain adalah berkat promosi Si Ceng-tang, memang dia terhitung salah seorang murid andalan Si Ceng-tang, lihai dalam mengumpulkan informasi dan terhitung seorang mata-mata unggulan, orang memanggilnya Say Hong-ki.

Kemarin, secara tiba-tiba Si Ceng-tang mengirim surat rahasia dan minta Say Hong-ki segera menyusul ke rumah penginapan malam itu juga untuk bertemu, setelah mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan merundingkan cara yang tepat untuk menangkap lawan, dia pun mengutus orang untuk mengundang datang Sunciangkwe, tauke pemilik losmen Ko-seng, sebab Si Ceng-tang tahu, urusan dengan rakyat bawah paling tepat bila diselesaikan sendiri oleh Bupatinya, karena jauh lebih gampang dan leluasa.

Begitulah, dengan suara serius sang bupati Say Hong-ki segera menghardik, "Di tempat ini tak ada urusannya dengan kau pribadi! Kami sedang memburu buronan kelas kakap sehingga mau tak mau kami terpaksa harus membakar rumah penginapanmu. Tiga hari kemudian, kau boleh datang ke kantor bupati untuk mengambil uang ganti rugi sebesar dua ratus tahil perak, anggap saja sebagai ganti rugi terbakarnya penginapan ini, dengan uang sejumlah itu, kau bisa mendirikan lagi penginapan yang baru”

"Terserah kemauan Tayjin," buru-buru Sun-ciangkwe menanggapi, "bagaimana pun penginapan bobrokku memang merugi, dibakar malah kebetulan."

Say Hong-ki segera berpaling memandang Si Ceng-tang, ketika panglima perang itu mengangguk, dia pun berkata lebih lanjut, "Sun Thian-hong, aku sengaja memberitahu rahasia ini kepadamu tak lain karena bermaksud agar kau bisa memberi kisikan kepada para pelayan, keluarga dan tamu-tamu tertentu, agar segera membenahi barang berharga dan diamdiam menyingkir dari sini, sementara tugas pelayan biar sementara kami tangani. Tapi ingat baik-baik dan peringatkan juga kepada yang lain, jangan gugup, jangan panik, kalau sampai kedua belas buronan itu mendapat kabar angin, hm!

Kau mesti bertanggung jawab!"

Bentakan Say Hong-ki itu seketika membuat Sun-tauke makin ketakutan, dia menyembah berulang kali sambil berbisik dengan suara gemetar, "Ba ... baik ... baik ... hamba pasti akan sangat hati-hati ... sangat hati-hati, tidak sampai ketahuan para ... para buronan”

Ciu Pek-ih dan Pek Huan-ji saling bertukar pandang sekejap, lalu tersenyum penuh arti. Tampaknya kedudukan seorang Bupati di mata rakyat rendah memang amat menakutkan dan berwibawa, sementara Say Hong-ki sendiri pun tahu kalau rakyatnya jeri terhadapnya, tak heran bila bertemu pejabat korup, rakyat kecillah yang hidup sengsara dan menderita.

Melihat Si Ceng-tang sudah mengeringkan arak dalam cawan, Say Hong-ki segera berkata, "Baiklah, segera laksanakan perintahku, sebelum kentongan pertama, kalian semua harus sudah mundur dari rumah penginapan dan jangan membuat kegaduhan."

Setelah menyembah lagi beberapa kali, dengan tergopohgopoh Sun-tauke mengundurkan diri dari situ. Sebelum orang itu berlalu, tiba-tiba Say Hong-ki menghardik lagi, "Kedua belas orang buronan itu tinggal dalam tiga bilik kamar kelas satu, dua belas orang masuk bersama, delapan orang cacad, dua orang berwajah kembar dan dua yang lain selalu jalan bersanding. Asal kau menjumpai mereka berdua belas, tak salah lagi, merekalah sasarannya!"

Begitu dibentak Say Hong-ki, kembali Sun-tauke menjatuhkan diri berlutut sambil menyembah berulang kali.

"Akan hamba ingat terus, akan hamba ingat terus," sahutnya gugup, "kedua belas orang itu bertampang bengis dan buas, sekilas pandang saja hamba sudah tahu kalau mereka bukan orang baik-baik”

Dengan perasaan tak sabar Say Hong-ki mengulap tangan, petugas di kiri dan kanannya segera menyeret tubuh Suntauke dan menariknya keluar dari ruangan.

Sepeninggal pemilik losmen itu, Say Hong-ki baru berkata lagi pada Si Ceng-tang dengan sikap menghormat, "Siciangkun, di bawah komando hamba tersedia ratusan orang opas yang bisa digunakan tenaganya, perlukah diundang datang semua guna membantu Ciangkun?"

"Tidak usah," tampik Si Ceng-tang sambil menepuk bahu anak buahnya, "terlalu banyak orang malah merepotkan, cukup pilih tujuh puluh orang di antaranya yang paling handal dan tangguh. Oya, Hong-ki, aku merasa sangat tak enak karena tanpa pemberitahuan lebih dulu, kami sudah datang kemari bahkan membuat kau bertambah sibuk ... aku tak mengira kalau akan menjumpai peristiwa semacam ini."

Say Hong-ki tertawa. "Nyawaku adalah pemberian Ciangkun, jabatanku juga merupakan jaminan Ciangkun, bila malam ini aku bisa menyumbangkan sedikit pikiran dan tenaga, hal ini merupakan satu kebanggaan yang luar biasa. Aku siap memimpin sendiri pasukan pengepungan dan siap mati demi Ciangkun."

"Adik Ki jangan berkata begitu," Si Ceng-tang ikut tertawa, "kau sudah berulang kali membuat jasa, sepantasnya kalau dihadiahkan pangkat dan kedudukan, andaikata kau tak becus dan tak punya kemampuan apapun, mana bisa aku membantumu? Adik Ki, dulu kau tersohor sebagai Tui-hongkiam (pedang pengejar angin) dalam dunia persilatan, bila kau bersedia turun tangan sendiri, tentu saja aku pun ikut merasa lega."

"Baik, kalau begitu aku segera menyiapkan pasukan, menyiapkan anak panah serta bahan peledak!"

"Bagus!"

"Sebentar Say-sianseng," tiba-tiba si Tangan besi menyela.

Say Hong-ki sudah diperkenalkan oleh Si Ceng-tang dan tahu akan nama besar si Tangan besi, buru-buru ia bersoja sambil bertanya, "Ada apa Tiat-sianseng?"

"Siapa nama asli Sun-tauke? Apakah dia penduduk pribumi di sini?"

"Agaknya dia baru pindah kemari tiga bulan berselang, konon berasal dari kotaraja, tak ada sanak tak punya keluarga, beberapa orang pelayan itupun aku dengar masih familinya, dia bernama Sun Thian-hong."

Say Hong-ki memang tak malu menjadi murid andalan Sin Ceng-tang, bahkan urusan yang menyangkut seorang Ciangkwe losmen kecil pun dia berhasil menyelidiki dan mengumpulkan datanya secara lengkap.

"Sun Thian-hong?" Tangan besi termenung sejenak, "apakah dia mempunyai tempat usaha lain?"

"Rasanya tidak ada. Tempat usahanya hanya ada satu yakni losmen itu."

"Ooh

"Say-lote," tiba-tiba Ciu Leng-liong menyela, "bila pasukan berkudamu sudah tiba nanti, harap semua pasukan mengenakan ikatan tali merah di tangannya, agar dalam pertempuran nanti tidak menjadi korban salah sasaran."

"Untung Ciu-ciangkun mengingatkan," seru Say Hong-ki sembari mengangguk, "bila Tiat-sianseng tidak mengajak bicara tadi, hamba memang sudah melaksanakan tugas itu." "Ooh, kalau begitu silakan Sianseng melaksanakan tugas, maaf telah mengganggu," ujar Tangan besi sambil tertawa.

Say Hong-ki segera menjura kepada semua jago yang hadir, kemudian buru-buru beranjak pergi dari situ, sedemikian cepatnya dia berlalu membuat cahaya lilin bergoyang tiada hentinya.

"Aku lihat kita harus merubah semua rencana," tiba-tiba Ciu Pek-ih berkata dengan suara dalam.

"Pendapat saudara Ciu memang tepat," seru Tangan besi sambil mengangguk, "kelihatannya tanpa janji kita punya pemikiran yang sama."

"Jadi bagaimana menurut pendapat saudara Tiat?" "Kita gunakan tombak untuk meyerang tameng!"

Kentongan pertama telah berlalu, petugas kentongan dengan langkah gontai telah lenyap di ujung tikungan sana.

Si tukang kentongan sudah bertahun-tahun hidup sebagai penabuh kentongan, tiap bulan tiap hari tiap malam selalu bekerja tanpa jemu, setiap sudut jalan, setiap lorong ditelusuri hingga biarpun harus berjalan dengan mata terpejam pun tetap bisa menelusuri setiap tempat dengan tepat, oleh karena itu dia tak pernah celingukan kian kemari karena tahu di sepanjang jalanan itu tak ada sesuatu yang menarik untuk diperhatikan.

Tentu saja dia tidak mengira kalau malam ini, di kedua sisi jalanan itu telah bersembunyi lima puluhan opas yang terlatih.

Begitu si tukang kentongan pergi jauh, Say Hong-ki segera melompat keluar dari tempat persembunyiannya, selembar kain berwarna merah darah terselempang di atas bahu kanannya, ketika pedang diayunkan ke udara, kelima puluhan orang opas itu serentak melompat keluar dari balik kegelapan, di bahu kanan mereka semua terikat secarik kain merah.

Begitu keluar dari kegelapan, kawanan jago itu serentak menyebar ke delapan penjuru dan mengepung rumah penginapan itu rapat-rapat.

Lamat-lamat Say Hong-ki dapat melihat suasana di dalam rumah penginapan itu sunyi senyap tak nampak sesosok bayangan manusia pun, mungkin seluruh penghuninya sudah melarikan diri, namun suasana di dalam ketiga bilik kamar di atas loteng masih terang benderang bermandikan cahaya.

Di dalam kamar pertama terdapat delapan orang, mereka duduk berkumpul mengelilingi sebuah meja, di atas meja tertaruh sebuah lentera kecil yang redup sinarnya, mereka duduk dengan mulut membungkam dan sama sekali tidak melakukan gerakan apapun.

Suasana dalam kamar kedua jauh lebih terang, namun tak nampak ada penghuninya.

Di dalam kamar ketiga duduk dua orang, mereka sedang duduk bersila sambil mengatur pernapasan, yang seorang menggembol golok panjang yang amat tajam, dialah Sim Insan salah seorang di antara dua belas komandan penjaga Penjara besar besi berdarah di kota Ciang-ciu.

Say Hong-ki termasuk seorang panglima perang yang sudah banyak pengalaman dalam pertempuran, tapi entah mengapa, saat inipun dia merasakan peluh dingin membasahi telapak tangannya.

Semua orang mulai tiarap, tutup mulut dan tak bersuara. Perlahan-lahan Say Hong-ki mencabut keluar pedangnya,

cahaya tajam yang menggidikkan membias keluar dari badan pedang di tengah kegelapan malam.

Lima belas orang opas sudah memasang panah-panah berapi pada busurnya, lima belas opas lainnya menggembol karung yang penuh berisi obat mesiu, sementara dua puluh orang opas yang lain bersiap di setiap jalan keluar yang ada di sekeliling tempat itu dengan senjata terhunus, mereka menanti kehadiran musuh dengan suasana hening.

Asal panah berapi mulai dilepas hingga losmen itu terbakar hebat, semua penghuni penginapan pasti akan berusaha melarikan diri, maka mereka akan melumpuhkan semua orang yang muncul dari losmen itu dengan hujan panah, asal sudah terkena panah hingga tubuh jadi kesemutan, mereka akan menyergap dan membelenggunya. Seandainya ada yang berhasil lolos dari serangan panah, kawanan petugas yang bersembunyi di sepanjang jalan serentak akan menyergap dan menghajarnya habis-habisan.

Mereka semua tahu si Raja pemusnah Coh Siang-giok bukan jagoan yang gampang dihadapi, sepasang manusia bengis dari Leng-lam pun bukan orang yang gampang dihadapi, sedang kedelapan manusia cacad itu, cukup melihat dari tampang dan sepak terjang mereka pun sudah membikin pecah nyali siapa pun, apalagi di sana masih ada si Golok panjang Sim Insan yang tersohor di kota Ciang-ciu.

Strategi perang kali ini ibarat musuh di tempat terang dan kekuatan sendiri di tempat gelap, jelas pada posisi di atas angin, tentang hal ini Say Hong-ki mengetahui sangat jelas.

Walau begitu, dalam operasinya kali ini dia hanya boleh berhasil dan tak boleh gagal, sebab sekali menemui

kegagalan maka kesempatan baik semacam ini akan sulit diperoleh kembali. Apalagi siapa pun jagoan dalam dunia persilatan, boleh dibilang merasa jeri dan ngeri berhadapan dengan si Raja pemusnah.

"Begitu kentongan kedua berbunyi, segera lancarkan serangan!" demikian perintah Si Ceng-tang.

Kentongan kedua telah tiba!

Tak ada yang bisa membayangkan, rumah penginapan yang nampak hening dan tenang itu sebentar saja telah berubah menjadi lautan api.

Kecuali suara api yang berkobar menjilat benda apa saja yang ada dalam rumah penginapan itu, hanya suara desingan anak panah yang terdengar. Tapi anehnya, tiga buah lentera yang ada di atas loteng masih tetap bersinar terang, kawanan manusia yang berada dalam kamar seakan tidak tahu telah terjadi kebakaran.

Say Hong-ki makin terkesiap. Padahal jilatan api sudah semakin mendekati loteng, anak tangga malah sudah terbakar habis, tapi kenapa tak ada reaksi dari ketiga belas orang itu? Kenapa mereka tidak berusaha menerjang lautan api untuk menyelamatkan diri? Jangan lagi orang yang berilmu silat tinggi, orang biasa saja pasti telah mendusin dan berusaha meloloskan diri.

Khususnya lagi dengan si Raja pemusnah, masakah seorang jagoan tangguh macam dia bisa ketiduran macam babi dungu?

Jelek-jelek Say Hong-ki masih terhitung jagoan tangguh kalangan Hek-to maupun Pek-to, begitu merasa gelagat tidak beres, buru-buru dia memberi tanda dan kemudian melompat duluan menerjang masuk melalui daun jendela.

Ternyata kedelapan orang yang duduk mengelilingi meja itu sudah mampus semua, bukan cuma itu saja, bahkan mereka semua adalah kawanan opas yang diperintahkan berjaga di sepanjang jalan, delapan orang di antara dua puluhan jago opas yang siap menyergap si Raja pemusnah bila berusaha menerjang keluar kepungan.

Setelah terbunuh mati, kedelapan orang opas itu telah ditukar pakaiannya dengan pakaian bekas delapan manusia cacad, Thian-jan-pat-hui, kemudian diatur seakan duduk mengelilingi meja, delapan butir batok kepala yang terpenggal berserakan di lantai.

Melihat keadaan ini, Say Hong-ki berani bertaruh, keadaan di kamar si Raja pemusnah maupun kedua kamar yang dihuni Sim In-san pasti keadaannya sama dengan tempat ini.

Bila ditambah lagi dengan empat orang itu, jumlahnya persis dua puluh orang, berarti dari kedua puluhan jago opas yang dipersiapkan, tak seorang pun lolos dalam keadaan hidup.

Say Hong-ki mulai merasakan tangannya dingin bagaikan es, peluh sebesar kacang kedelai jatuh bercucuran membasahi jidatnya, baru saja dia akan menerjang keluar ruangan, tibatiba terdengar beberapa kali jeritan ngeri bergema memecah keheningan, beberapa orang opas yang melepaskan panah berapi terlempar masuk ke dalam kobaran api dan berteriak minta tolong. "Sret, sret, sret", beruntun Say Hong-ki melancarkan beberapa bunga pedang untuk melindungi sekeliling tubuhnya, lalu bentaknya nyaring, "Hati-hati sergapan musuh!"

Mendadak bergema suara tertawa seseorang yang amat menyeramkan, dari balik kobaran api muncul sesosok bayangan manusia, dia adalah seorang lelaki buruk rupa yang kehilangan sebuah kaki kirinya dan dalam genggaman membawa sekor ular berwarna hitam besi, Tiat-sian-coa.

Orang dengan kaki tinggal satu sanggup bergerak secepat itu, bisa dibayangkan bagaimana kalau sepasang kakinya masih utuh, mungkin ilmu meringankan tubuhnya paling top di kolong langit.

Say Hong-ki sadar saat ini bukan waktu yang tepat untuk bicara tapi saatnya menggunakan pedang. Sebuah tusukan kilat langsung dilontarkan ke depan, tusukan ini menyertai segenap tenaga yang dimilikinya, baru terdengar suara desiran tajam, tahu-tahu ujung pedang telah tiba di hadapan lawan, tak heran ia mendapat julukan Tui-hong-kiam, si pedang pengejar angin.

Orang itu sama sekali tidak menghindar, meski mau berkelit pun belum tentu gerakan tubuhnya bisa melebihi kecepatan tusukan pedang si pedang pengejar angin.

Tampak si kaki tunggal menggeser tubuh sedikit ke samping, lalu menyodokkan senjata ular bajanya ke depan sambil menggulung pedang lawan, kemudian dengan menggunakan kepala sang ular dia berusaha mematuk pergelangan tangan lawan yang menggenggam pedang.

Say Hong-ki tahu bahaya dan tak berani ayal, buru-buru dia batalkan serangan sambil mengegos ke samping.

Ketika ular itu gagal mematuk tangannya, Say Hong-ki segera memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya, dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk dia sentil tubuh bagian tiga inci di belakang kepala ular itu.

Ular itu segera menarik mundur badannya sambil melepaskan lilitan pada tubuh pedang, begitu senjata itu terjatuh ke tanah, Say Hong-ki segera menyambar kembali senjatanya dan menggunakan ilmu pedang pengejar angin untuk melindungi diri sendiri.

Pertarungan ini berlangsung hanya dalam waktu singkat, sejak muncul, menusuk, menggulung, mematuk, melepaskan lilitan, menyentil jari tangan, menyambar balik senjatanya sambil melancarkan jurus serangan perlindungan, hampir semuanya dilakukan secara beruntun, si manusia aneh berkaki tunggal itu sama sekali tidak menyangka gerak tubuh Say Hong-ki begitu cepat, sebaliknya Say Hong-ki juga tidak menyangka manusia aneh itu berusaha merebut senjatanya dalam gebrakan pertama.

Selain itu, manusia aneh berkaki tunggal itupun tidak menyangka kalau senjata lawan yang telah berhasil dirampas dapat direbut kembali oleh lawan, sementara Say Hong-ki sendiri pun tidak menyangka sentilan jarinya untuk menyingkirkan tubuh sang ular tidak membuat binatang itu mati, bahkan lamat-lamat dia merasa jari tangannya amat sakit.

"Siapa kau?" tanpa terasa Say Hong-ki menegur. "Ular besi bergaris (Tiat-sian-coa)!"

Mendadak dari balik asap tebal muncul seorang lelaki buruk rupa yang kehilangan kaki kanannya, dalam genggamannya terdapat sekor ular berwarna hijau.

Sembari menampakkan diri, serunya pula sambil tertawa seram, "Masih ada pula aku, si Ular bambu hijau (Cing-tiokcoa)!"

Sementara Say Hong-ki masih terperanjat atas kemunculan dua manusia cacad itu, terdengar jerit kesakitan telah bergema silih berganti, kembali ada beberapa orang opas yang terlempar masuk ke dalam kobaran api. Dari kawanan petugas yang melolong minta tolong itu, kalau bukan pada pergelangan tangannya terdapat dua bekas pagutan hitam berdarah, tentu di atas tengkuk, kaki atau badannya ditemukan bekas pagutan ular beracun, bahkan kondisi kematian delapan orang petugas yang' duduk berkerumun pun tak jauh berbeda. "Delapan manusia cacad?" teriaknya tanpa sadar.

"Tepat sekali," sahut seorang sambil tertawa seram, "aku adalah si Ular berkaki empat."

Tampak seorang manusia aneh yang kehilangan mata kirinya muncul dari balik kobaran api, dalam genggamannya terlihat seekor ular berkaki empat yang besar sekali badannya.

Jeritan ngeri kembali berkumandang susul menyusul, lagilagi beberapa orang opas terlempar ke dalam kobaran api, tampaknya jalan mundur di empat penjuru sudah tertutup semua.

Say Hong-ki coba membesut jidatnya, air keringat segera membasahi tangannya, entah disebabkan udara di sekitar sana kelewat panas atau karena hal lain? Tapi ada satu yang jelas, sekarang ia sudah bukan pemburu lagi melainkan sasaran perburuan.

Pelan-pelan Say Hong-ki coba bergeser mundur, mendadak seorang menegur dari arah belakang dengan suara dingin, "Percuma kau berpaling, aku si Ular garis merah sudah lama menantimu di belakang."

Secepat kilat Say Hong-ki berpaling, tampak seorang manusia aneh yang kehilangan mata kanannya sedang memegang sekor ular bergaris merah darah sedang menunggunya sambil mengobat-abitkan binatang andalannya.

Jeritan ngeri kembali bergema silih berganti, kembali beberapa orang opas kehilangan nyawa.

Dalam pada itu bala bantuan dari pihak musuh makin lama berkumpul semakin banyak, padahal Say Hong-ki sadar, siapapun dari kedelapan manusia cacad itu sudah cukup memaksanya untuk bertarung imbang, apalagi bila pihak lawan mengerubutnya berempat, jelas ajalnya tinggal menunggu waktu.

Ternyata yang muncul bukan hanya berempat, tiba-tiba terdengar lagi suara aneh seorang berseru, "Akulah Kim-coacu si Ular emas, pemimpin manusia cacad!" Say Hong-ki sama sekali tidak berpaling, tiba-tiba saja badannya melejit ke udara langsung menjebol atap ruangan, maksudnya akan kabur dari situ.

Siapa tahu baru saja dia menggerakkan badannya, empat orang manusia aneh itu sudah merangsek maju bersama dari depan, belakang, kiri dan kanan, empat ekor ular beracun langsung menutup jalan keluarnya.

Tentu saja Say Hong-ki tak ingin terpagut ular-ular jahat itu, "sret, sret, sret, sret", empat sapuan pedang berantai dilontarkan, langsung menusuk pinggang empat manusia cacad yang mengepungnya.

Serangan ini cepat dan di luar dugaan siapa pun, sebab sudah ia perhitungkan secara matang, bila keempat manusia cacad itu menghadang jalan perginya, otomatis pinggang mereka dalam keadaan terbuka, itulah titik kelemahan yang harus dijadikan sasaran serangannya.

Benar saja dugaannya, keempat manusia cacad itu segera dipaksa melayang turun lagi ke bawah.

Kelihatannya Say Hong-ki segera akan berhasil menjebol atap bangunan dan kabur dari kurungan, mendadak tangannya terasa mengencang lalu terseret sebuah tenaga yang amat besar ke bawah, ternyata tangannya sudah dililit sekor ular emas, ular emas itu berada di tangan seorang manusia aneh yang kehilangan lengan kirinya, waktu itu si manusia aneh itu sedang tertawa menyeringai sambil memandang wajahnya.

Lagi-lagi jeritan ngeri bergema dari mulut beberapa orang opas.

Terdengar seorang berseru lagi dengan suara keras, "Aku adalah si Ular sanca, mau coba kehebatanku?"

Say Hong-ki merasa pandangan matanya jadi gelap dan otaknya serasa mau meledak, pekiknya dalam hati, "Habis sudah riwayatku kali ini!"

Tiba-tiba suara pertempuran di luar ruangan terhenti, kecuali suara api yang sedang membakar bangunan, yang tersisa hanya semacam suara pertarungan yang khas, deru angin pukulan yang kencang melawan desing angin yang berasal dari tubuh ular yang sedang meliuk-liuk.

Si Ular emas yang kehilangan lengan kirinya segera berseru tertahan.

"Hehehe ... kelihatannya kita sudah kedatangan seorang lawan tangguh," ujar si Ular sanca yang kehilangan lengan kanan pula dengan suara seram.

"Lebih baik kita habisi dulu monyet muda ini sebelum membereskan yang lain," seru ular kaki empat yang kehilangan mata kirinya.

"Benar," si Ular bambu hijau yang kehilangan kaki kanan menimpali, "cukong butuh bantuan, kita harus menghabisi monyet ini secepatnya."

Berbareng dengan selesainya perkataan itu, lima ekor ular beracun serentak menyerang Say Hong-ki secara bersamasama.

Waktu itu pedang Say Hong-ki sudah terlilit oleh ular emas hingga sama sekali tak mampu bergerak, padahal dia harus membendung datangnya ancaman yang datang bersamaan itu, sadar tak mungkin lolos dari ancaman, terpaksa sambil memejamkan mata dia siap menanti datangnya kematian.

"Wes, wes!", mendadak terdengar suara desingan tajam berkelebat, dua sosok bayangan manusia menerobos masuk ke dalam ruangan sambil melepaskan pukulan dahsyat, menyusul deru angin mendesing, seorang manusia berbaju besi bagaikan seekor burung rajawali telah menerjang datang, gerakan tubuhnya cepat bagaikan kilat, dalam waktu singkat dia telah melepaskan tiga buah pukulan telapak tangan dan dua sodokan tinju.

Say Hong-ki hanya merasakan bau amis, tahu-tahu orangnya telah lenyap dari hadapannya disusul terdengar ada orang menjerit kaget, ketika dia membuka kembali matanya, terlihat seorang jagoan muda telah berdiri persis di hadapannya, siapa lagi kalau bukan si Tangan besi, salah seorang dari empat opas kenamaan. Sementara itu di atas loteng telah bertambah lagi dengan dua orang manusia, yang satu berwajah penuh codet bekas bacokan, sedang yang lain kehilangan sepasang telinganya. Yang depan membawa ular perak sementara yang belakang membawa ular kembang, dengan napas tersengal-sengal mereka sedang mengawasi si Tangan besi dengan mata penuh kegusaran, jelas sedang keteter hebat oleh serangan lawan, mereka dipaksa Tangan besi untuk mundur ke atas loteng itu.

Ketika memeriksa pula keenam orang lainnya yang mengembut dirinya tadi, tampak olehnya selain ular emas yang masih melilit di atas pedangnya, kepala ular bambu hijau dan ular bergaris merah sudah kena dihajar oleh tinju maut si Tangan besi hingga gepeng, walaupun ekornya masih bisa bergerak namun jelas kedua binatang itu tinggal menunggu saat mampusnya. Sementara ular bergaris besi, ular berkaki empat dan ular sanca sudah terpental jauh oleh pukulan lawan.

Say Hong-ki nyaris tidak percaya dengan pandangan mata sendiri, dia yang menusuk ular lawan dengan pedang pun tak berhasil melukai binatang itu, kenapa si Tangan besi yang bertangan kosong justru berhasil membuat mampus binatang melata itu? Memangnya tangan besi miliknya jauh lebih tajam dari pedang atau lebih keras dari baja?

Gara-gara pikirannya bercabang, lilitan ular emas seketika berhasil memaksa pedangnya terlepas dari genggaman dan jatuh ke tanah.

"Kau si Tangan besi?" tegur si Ular emas dingin.

"Benar!" sahut Tangan besi sambil tertawa dingin, "rupanya ada orang yang telah membocorkan rahasia operasi ini hingga kalian sempat mengganti orangmu dengan orang lain, lalu membokong kami secara diam-diam. Hm! Kalian anggap dengan cara begini maka ada kesempatan bagi si Raja pemusnah untuk melarikan diri? Sayang rencana busuk kalian telah terbongkar, kami sudah mengetahui dengan jelas semua akal busukmu itu." Si Ular emas menarik kembali sorot matanya, lalu tertawa dingin, "Baiklah, kalau memahg begitu, lebih baik kami habisi dulu dirimu kemudian baru membereskan yang lain."

"Wus!", cahaya emas berkelebat, ular emas dibabatkan ke arah wajah lawan.

Ular emas ini memiliki kecepatan gerak di atas kecepatan ular lainnya, sayang gerak serangan si Tangan besi jauh lebih cepat lagi, dia sambut datangnya babatan itu dengan sebuah sodokan tinju, langsung menghajar tubuh bagian tiga inci di belakang kepala sang ular.

"Wes!", ular emas itu melejit keluar kemudian melejit lagi ke dalam, dengan mulut terpentang lebar, binatang melata itu siap mematuk musuh.

Ternyata jotosan maut yang dilancarkan si Tangan besi gagal membinasakannya.

Diam-diam si Tangan besi ikut terperanjat, sebelum ingatan kedua melintas, tubuh sang ular kembali membelit lengannya, sambil mengangkat kepala siap menggigit.

Waktu itu si Tangan besi telah berhasil mencengkeram kepala ular bagian mematikan itu, ketika sang ular siap mematuk, cepat dia kerahkan tenaga untuk meremas, namun ular emas itu meronta sekuat tenaga, membuat remasan si Tangan besi gagal menghancurkan badannya.

Pada saat itulah ular sanca, ular bergaris besi dan ular berkaki empat menyambar bersama.

Si Tangan besi meraung nyaring, begitu dia kendorkan cengkeramannya, ular emas itu cepat mengeluyur pergi, sementara sepasang tangan si Tangan besi berganti menyambar ular sanca dan ular bergaris besi.

Say Hong-ki tidak tinggal diam, menggunakan kesempatan itu dia tepis serangan yang dilancarkan ular berkaki empat.

Berhasil dengan cengkeramannya, si Tangan besi segera meremas tubuh ular bergaris besi hingga gepeng, siapa tahu meski badannya sudah gepeng bukan berarti ular itu mati, tiba-tiba binatang melata itu membalikkan kepala sambil mematuk. Si Ular sanca yang digencet kuat seketika hancur diikuti semburan darah segar, namun daya hidup ular jenis ini memang kuat sekali, biarpun badan sudah hancur namun tubuhnya yang besar dan kuat tetap melilit tubuh si Tangan besi.

Berbareng dengan lilitan itu, ular perak dan ular kembang bersama-sama merangsek sambil memagut.

Waktu itu seluruh badan si Tangan besi sudah terlilit hingga tak sanggup bergerak, beruntun dia lancarkan dua tendangan kilat menghajar tubuh ular perak dan ular kembang. Kemudian sambil menarik napas, dia meronta sekuat tenaga ....

"Plok!", tubuh ular sanca yang melilit badannya seketika hancur berkeping-keping dan mencelat ke empat penjuru.

Begitu berhasil menghancurkan ulat sanca, sepasang tangan Tangan besi kembali membetot ke kiri kanan dengan sepenuh tenaga, akhirnya setelah bersusah-payah ia berhasil juga membetot tubuh ular bergaris besi itu hingga putus jadi dua.

Mendadak cahaya emas kembali berkelebat, ular emas lagilagi menyambar ke wajahnya sambil menggigit, ketika Tangan besi mengayunkan tangannya menyambar, dengan cekatan ular emas berkelit ke samping, tampaknya dia amat takut menghadapi Tangan besi hingga berusaha menghindarkan diri.

Sejak terjun ke dunia persilatan, delapan manusia cacad sudah banyak mengandalkan kedelapan ekor ular berbisanya untuk malang melintang di sungai telaga, bukan saja sudah banyak enghiong hohan yang tewas di tangan mereka, jagoan ahli racun pun banyak yang keok di tangan mereka, hal ini disebabkan kedelapan ekor ular berbisa andalan mereka memiliki tubuh yang kebal terhadap berbagai senjata, selain pintar dan gesit, bisa mereka pun sangat mematikan, siapa pun akan tewas seketika bila terpagut.

Namun si Tangan besi memiliki tenaga dalam yang amat sempurna, sepasang tinju miliknya pun jauh lebih keras ketimbang tangan orang kebanyakan, bukan saja sulit digigit oleh sang ular, sebaliknya secara beruntun malah berhasil membunuh ular garis merah, ular sanca, ular bambu hijau dan ular garis besi, tak heran kalau kedelapan manusia cacad itu menjadi gusar, sedih bercampur kaget.

Yang lebih mengejutkan lagi adalah ular emas, milik pemimpin delapan manusia cacad, tampaknya binatang melata inipun jeri menghadapi si Tangan besi, suatu kejadian yang belum pernah dialami sebelumnya.

Ular emas itu berasal dari negeri Thian-tok (India), binatang melata yang amat langka dan merupakan ular paling berbisa yang memiliki kemampuan hidup luar biasa pula, pada hari biasa bukan saja badannya tidak gepeng walau dihajar dengan batu cadas, dihantam dengan martil besar pun tak bakal hancur, namun hari ini, ternyata ular itu begitu ketakutan sewaktu berhadapan dengan sepasang tangan milik si Tangan besi.

Ketika ular emas itu menghindar, ular kembang dan ular perak kembali menyerang tiba, kali ini ketiga ekor ular beracun itu bergerak lebih hati-hati dan penuh waspada, mereka tidak berani lagi menyerang secara sembarangan.

Tangan besi sendiri pun untuk kedua kalinya gagal menangkap ular berbisa itu.

Say Hong-ki yang berada di lain arena juga mulai keteter hebat, karena tanpa senjata sementara ular berkaki empat menyerang dengan keempat kakinya ditambah gigitan mulut, ini sama artinya ada lima jenis senjata yang mengancam tubuhnya, tak heran sebentar kemudian ia sudah keteter dan terjerumus dalam posisi yang amat berbahaya.

Kobaran api yang membakar bangunan losmen telah menghancurkan seluruh bangunan, bahkan memutus jalan mundur menuju ke pintu ruangan, namun kesepuluh orang jagoan itu masih terlibat dalam pertempuran yang amat seru.

Sementara itu ada dua orang opas telah memburu tiba, yang seorang langsung mengayunkan golok membabat tubuh ular berkaki empat, sementara yang lain buru-buru menyodorkan sebilah pedang ke tangan Say Hong-ki. Saat itulah si opas yang menggunakan golok gagal membabat tubuh ular berkaki empat, sementara dia masih tertegun, manusia aneh bermata tunggal itu telah merangsek maju sambil mengayunkan ular berkaki empatnya.

Buru-buru petugas itu berkelit ke samping, pagutan sang ular berhasil dihindari, siapa tahu ular itu mendadak membalikkan badan mencakar dengan keempat kakinya.

Seketika petugas itu tercakar telak, begitu tersambar cakar, racun ganas segera menyerang ke otaknya, tak selang lama kemudian orang itu sudah roboh tewas seketika.

Kembali ular berkaki empat itu menggigit petugas opas lain, merasa tidak bersenjata dengan tergopoh-gopoh opas itu berkelit ke samping, baru selangkah dia berkelit tiba-tiba pandangan matanya menjadi kabur, sekilas benda besar telah menyapu ke wajahnya.

Opas itu kaget, buru-buru mundur sambil pasang mata, ternyata ekor ular berkaki empat itu yang mengancam tiba.

Sedikit saja perhatiannya pecah, ular berkaki empat itu segera memanfaatkan peluang dengan menggigit tengkuk jagoan itu, diiringi jeritan ngeri yang menyayat hati, petugas itu roboh terkapar ke tanah.

Pada saat yang bersamaan terlihat cahaya pedang berkelebat cepat langsung menghantam tubuh ular berkaki empat, manusia aneh bermata tunggal merasa tangannya bergetar keras, karena ularnya sedang menyerang musuh maka gempuran keras ini membuat genggamannya pada tubuh binatang melata itu mengendor.

Tak ampun ular berikut pedang terlempar masuk ke tengah kobaran api, terdengar ular berkaki empat berpekik berulang kali, namun tak selang berapa lama kemudian suasana kembali dalam keheningan.

Rupanya Say Hong-ki yang sadar pedangnya tidak mempan melukai kulit tubuh ular itu, segera mengambil keputusan untuk menyambit tubuh ular berkaki empat berikut pedangnya ke dalam kobaran api, dengan demikian matilah binatang melata yang sangat hebat itu. Dengan tangan kosong kembali ia menerjang manusia aneh bermata satu itu, karena sudah kehilangan senjata andalan, serta merta kekuatan serangannya menjadi lemah, tak lama kemudian ia mulai keteter hebat dan terdesak di bawah angin.

Untuk ketiga kalinya si Tangan besi melancarkan serangan kembali.

Kali ini sepasang tangannya mencengkeram tubuh ular kembang, ternyata ular itu tidak berusaha menghindari datangnya ancaman, malah dengan satu gigitan maut ia berusaha mematuk lengan lawan, sebuah serangan kilat untuk menyelamatkan diri sendiri.

Tangan besi mendengus dingin, dia lebih suka lengannya digigit ular itu ketimbang kehilangan peluangnya untuk menjepit remuk kepala ular kembang itu. Dalam sekejap ular kembang itu telah menggigit di atas lengannya, sayang gigitannya tak mempan melukai kulit tubuh lawan, memanfaatkan kesempatan ini si Tangan besi kembali menggencet tubuh ular perak.

Kini ular bambu hijau, ular garis merah, ular garis besi, ular sanca, ular kembang, ular perak serta ular berkaki empat sudah mampus semua, melihat itu ular emas buru-buru menyusup ke belakang dan ingin menyembunyikan diri di balik baju longgar yang dikenakan manusia aneh berlengan kanan.

Walaupun geraknya cepat, si Tangan besi jauh lebih cepat, ia tangkap ular emas itu dengan kedua tangannya, kali ini dia tidak mencoba menggencet, meremas atau menghantam dengan tenaga penuh, tapi memelintir badannya kuat-kuat.

Tak ampun tubuh ular emas itu seketika terpelintir hingga hancur, apalagi si Tangan besi menggencet kepala ular itu kuat-kuat, membuat binatang melata itu nyaris tak berkutik lagi.

Menyaksikan semua ini, delapan manusia cacad sangat terperanjat, sambil berpekik nyaring serentak mereka mundur ke belakang, maksudnya mau kabur dari arena, sayang kobaran api yang membara telah menyumbat jalan mundur, hal ini membuat mereka jadi panik, terlihat peluh sebesar kacang kedelai jatuh bercucuran.

Sekarang jalan mundur tinggal satu, yaitu melalui daun jendela yang masih terbuka lebar, hanya sayangnya justru si Tangan besi telah siap berdiri tegak di depan jendela.

Sadar keadaan bertambah gawat dan lagi memang tak punya pilihan lain, kedelapan manusia cacad itu serentak membentak sambil bergerak maju, tanpa mempedulikan segala resiko lagi, mereka menerkam ke depan dan berusaha kabur melalui jendela.

Kehebatan yang selama ini diandalkan delapan manusia cacad adalah kemampuan delapan ekor ular berbisa peliharaan mereka, begitu senjata andalannya musnah, habislah seluruh kemampuan yang mereka miliki, apalagi dalam keadaan begini mereka sudah panik dan kalut, nyaris setiap orang hanya berpikir untuk keselamatan jiwa sendiri, tentu saja serangan mereka jadi lemah dan kedodoran.

Sambil memutar sepasang tinjunya, si Tangan besi menyongsong kedatangan mereka, hardiknya, "Kalianlah yang harus bertanggung jawab atas kematian kelima puluh orang opas yang diutus keresidenan Hau-wi-sian! Sekarang, serahkan nyawa anjing kalian sebelum pergi dari sini."

Di tengah deru angin pukulan, manusia aneh yang cacad kaki kirinya muntah darah dan roboh terkapar di tanah, manusia aneh bermata kanan terjungkal ke dalam lautan api, manusia cacad telinga kiri dihajar Say Hong-ki hingga terbakar jadi abu, sementara manusia aneh penuh codet di wajah yang dihajar Tangan besi hingga terguling ke bawah loteng segera dicincang oleh kedua puluh orang opas yang menanti di bawah dengan penuh kemarahan hingga hancur.

Dalam waktu singkat, sisa empat manusia cacad itu terlibat dalam pertempuran sengit melawan si Tangan besi.

Api yang membara masih berkobar dengan hebat, membakar semua bahan bangunan yang tersisa hingga hancur luluh. Di tengah kobaran api yang membumbung tinggi hingga ke angkasa itulah tampak Sun-tauke yang berada dalam sebuah hutan, tak jauh dari tempat kejadian sedang tertawa

terbahak-bahak, tiga orang pelayannya ikut tertawa pula dengan penuh gembira.

"Coba kalian lihat ujar Sun-tauke sambil tertawa terpingkal, "kawanan manusia dungu itu berniat membakar rumah, siapa tahu awak sendiri yang terbakar”

"Sayangnya, mereka tak bakal mati terbakar, justru kau yang bakal mampus dalam waktu singkat," mendadak terdengar seorang menimpali dengan suara dingin.

Sun-tauke tertegun seketika, perkataan itu datang dari belakang mereka, sementara ketiga orang anak buahnya sedang tertawa, jelas ucapan itu bukan berasal dari mereka bertiga, lalu siapa yang bicara?

Tenaga dalam yang dimiliki Sun-tauke terhitung cukup tangguh, namun kali ini ternyata dia sendiri pun tidak tahu berasal darimana datangnya suara itu.

Terdengar suara seorang wanita yang lembut merdu kembali berkata, "Sun Teng-hong, kau bukan Sun Teng-hong, Sun-tauke, kau adalah Sun Teng-hong seorang pembunuh kenamaan dari Pakkhia, aku yakin ketiga orang pelayanmu itu tentu anak muridmu bukan, Coat-to-sam-hau, tiga harimau golok sakti?"

Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, dua sosok bayangan melayang turun dari atas pohon, seorang pemuda berjubah panjang warna putih dan seorang nona berpakaian ringkas warna putih pula.

Senyuman yang menghiasi wajah Sun Teng-hong dan ketiga orang anak buahnya berubah jadi kaku seketika, lama sekali mereka tertegun, kemudian Sun Teng-hong baru menegur, "Kalian adalah Pak-shia Shiacu dan Sian-cu Lihiap?"

"Betul, aku adalah Ciu Pek-ih," jawab pemuda berbaju putih.

"Dan aku, Pek Huan-ji," sambung si nona. Kembali Sun Teng-hong terbungkam beberapa saat lamanya, kemudian baru berkata lagi, "Darimana ... darimana kalian tahu ...?”

"Ada dua hal yang sangat mencurigakan," ujar Ciu Pek-ih dengan wajah serius, "pertama, ketika mendengar kami akan membakar rumah penginapan Ko-seng, kau justru tampak sangat gembira, tak ada perasaan sedih barang sedikitpun, seorang tauke pemilik losmen mustahil akan menampilkan sikap seperti ini. Kemudian kau bilang sudah membuka usaha cukup lama di sini, tapi kenyataan kau baru datang beberapa bulan berselang. Kau bilang usaha di sini kurang menarik, losmenmu tidak ramai dan tidak menguntungkan, tapi kenyataan yang berhasil kami selidiki justru bertolak belakang. Aneh, benar-benar sangat aneh, ketika mendengar ada orang mau membakar tempat usahanya, bukan sedih malah gembira setengah mati, terus terang, kalau bukan opas si Tangan besi yang menemukan kejanggalan ini, siapa pun tak akan menduga sampai ke situ."

Sun Teng-hong menghela napas panjang, pelan-pelan dia melolos golok dari pinggangnya.

Terdengar Ciu Pek-ih berkata lebih jauh, "Selain itu, tanpa bertanya secara jelas siapa buronan kelas kakap yang sedang kami buru, kau langsung menyetujui permintaan kami dan membubarkan semua tamu yang sedang menginap, tindakan macam begini jelas bukan langkah yang biasa diambil seorang pedagang. Sebaliknya justru lebih mirip tindakan seorang jagoan Lak-san-bun yang tegas mengambil keputusan. Sunsianseng, hawa pembunuhan dari kota Pakkhia yang kau bawa sama sekali tak berhasil menyembunyikan identitasmu, itulah sebabnya sepak terjangmu segera berhasil cayhe ketahui."

"Ciu-shiacu ...!" tiba-tiba Sun Teng-hong berbisik lagi. "Ya, ada apa?"

"Bersediakah kau membuka satu peluang untukku? Selama hidup, aku Sun Teng-hong pasti tak akan melupakan budi kebaikan ini."

"Baik!" jawab Ciu Pek-ih cepat. Sun Teng-hong melengak, dia tak menyangka secepat itu permintaannya dikabulkan.

Belum sempat mengucapkan sesuatu, Ciu Pek-ih telah melanjutkan kembali kata-katanya, "Tentu saja aku tak akan membunuhmu sekarang, cuma kau harus ikut aku menghadap Si-ciangkun”

"Itu kan sama artinya mengantar kematianku, bagaimana kalau aku dilepas saja”

"Kau telah membantu buronan kelas kakap, mencelakai pasukan kerajaan, dosa dan kesalahanmu sangat besar, mana boleh kuampuni dosa dan kesalahanmu itu? Lebih baik serahkan dirimu agar diselesaikan secara hukum."

"Secara hukum? Hukum apa?" Sun Teng-hong tertawa dingin.

Ciu Pek-ih menghela napas panjang, "Mustahil bagiku untuk membebaskan kau...”

Mendadak mencorong sinar buas dari balik mata Sun Tenghong, teriaknya tiba-tiba, "Bunuh!"

Sejak tadi tiga harimau golok sakti memang sudah muak melihat tingkah laku Ciu Pek-ih, begitu mendapat perintah, mereka segera mencabut golok dan menerjang ke depan.

Begitu menurunkan perintah untuk melancarkan serangan, Sun Teng-hong bukannya maju membantu, sebaliknya malah melesat mundur dari arena pertarungan, bagaikan burung walet terbang di angkasa, dalam waktu singkat dia sudah melampaui dua-tiga puluh batang pohon, gerak tubuhnya cepat luar biasa.

Biasanya para pembunuh bayaran dari kota Pakkhja memang mahir berjalan cepat dan merayap di dinding, apalagi Sun Teng-hong termasuk seorang pembunuh bayaran yang amat termashur.

Namun dengan cepat ia jumpai ada sesosok bayangan menempel ketat di belakangnya, gerak tubuh orang itu sama sekali tidak menimbulkan suara, tapi kecepatan dan kelincahannya luar biasa, ternyata dia tak lain adalah Pek Huan-ji. Kecepatan golok ketiga harimau golok sakti sudah cukup lama menggetarkan sungai telaga, hampir setiap orang di kota-raja mengetahui kehebatannya, namun kini setelah bertemu Ciu Pek-ih, mereka baru sadar apa arti kecepatan yang sebenarnya.

Belum sempat tiga harimau golok sakti melolos senjatanya, di antara kilatan cahaya pedang, salah seorang di antara mereka sudah roboh terkapar. Kemudian ketika golok baru saja dilolos dari sarungnya, kembali seorang di antara mereka roboh terjengkang tersambar kilatan cahaya pedang.

Sementara sisa yang terakhir, baru saja berniat mengayunkan senjatanya, dia pun ikut roboh terjengkang, malah kali ini tubuhnya terjengkang duluan sebelum cahaya pedang menyambar.

Hanya dalam waktu singkat, tiga harimau golok sakti sudah roboh tak berkutik di tanah karena tertusuk jalan darahnya, kini mereka baru sadar, biar berlatih tiga puluh tahun lebih lama pun belum tentu mereka sanggup melebihi setengah dari kecepatan pedang petir Ciu Pek-ih.

Dalam pada itu Sun Teng-hong telah membentak, sambil membalik badan dia melancarkan sebuah bacokan maut, bacokan ini bukan hanya cepat, tenaga bacokan pun luar biasa hebatnya, dibandingkan kemampuan golok tiga harimau, jelas kemampuannya ibarat pohon berbanding rumput ilalang.

Serangan bacokannya kali ini diarahkan ke pinggang Pek Huan-ji, seakan dia yakin pasti akan berhasil merobohkan gadis itu.

Begitu ayunan golok menyambar tiba, Pek Huan-ji segera menggetarkan pedangnya untuk menangkis.

Serangan Pek Huan-ji ini dilancarkan tanpa menimbulkan suara, cukup ditinjau dari kemampuannya ini, dapat diketahui bahwa kecepatan serangannya sedikitpun tidak berada di bawah kemampuan lawan.

Kalau seorang nona kemampuannya sudah begitu ampuh, bisa diduga seberapa hebatnya kepandaian yang dimiliki Ciu Pek-ih, karena berpikir demikian, Sun Teng-hong memutuskan untuk menghabisi dulu nyawa Pek Huan-ji kemudian baru sepenuh tenaga menghadapi Ciu Pek-ih.

Siapa tahu bacokan goloknya yang dilancarkan dengan kekuatan bagaikan geledek, ternyata tak sanggup mematahkan pedang Pek Huan-ji yang menangkis serangan secara lemah gemulai, malah sebaliknya ancaman yang datang berhasil dibuang ke samping tanpa terjadi benturan keras.

Tak terlukiskan rasa kaget Sun Teng-hong menghadapi kejadian ini, bisiknya tanpa sadar, "Siok-li-kiam-hoat, pedang gadis perawan?"

Pek Huan-ji tidak menjawab, ia memberi tanggapan dengan sebuah serangan pedang. Hawa pedang yang lembut dingin seketika mengurung seluruh badan Sun Teng-hong.

Menghadapi ancaman yang begitu hebat, Sun Teng-hong membentak keras, tubuhnya segera menyatu dengan golok, lalu dengan menciptakan selapis cahaya golok, ia menerjang jaring pedang lawan dan berusaha menjebolnya.

Yang ada di dalam dunia persilatan selama ini adalah 'ilmu mengendalikan pedang', belum pernah ada 'Ilmu mengendalikan golok', meski serangan golok Sun Teng-hong kali ini belum mencapai taraf sempurna, namun daya kekuatan yang terpancar telah mencapai tingkat yang mengerikan.

Pek Huan-ji menjerit kaget, kecuali melancarkan serangan mematikan, dia terpaksa harus membiarkan musuhnya lolos dari kepungan, sementara hatinya sedang bimbang, jaring pedangnya seketika saja gagal mengurung tubuh lawan.

Cepat Sun Teng-hong memanfaatkan kesempatan itu untuk menerjang keluar dari kepungan, baru saja dia menutul kakinya untuk kabur ke dalam hutan, tiba-tiba sekilas cahaya pedang kembali menyambar lewat, tampak sekilas cahaya putih mengancam datang dengan kecepatan mengerikan, ilmu mengendalikan pedang!

Tak berhasil meloloskan diri, terpaksa Sun Teng-hong keraskan kepala menyongsong datangnya serangan pedang itu dengari goloknya. "Tring!", benturan nyaring bergema memecah keheningan.

Sun Teng-hong segera memutar badan sambil melancarkan bacokan, sayang tusukan pedang Ciu Pek-ih jauh lebih cepat, tahu-tahu desingan angin tajam menembus lewat bawah ketiak, sebuah tusukan maut langsung menghujam ke dada jagoan she Sun itu.

Tiada jerit kesakitan yang keluar dari mulut Sun Tenghong, tahu-tahu jari tangannya tak bertenaga, golok dalam genggamannya segera terjatuh ke tanah, belum sempat dia melancarkan bacokan, nyawanya sudah keburu mencelat keluar dari badan kasarnya.

Pelan-pelan Ciu Pek-ih mencabut keluar pedangnya, ketika mayat Sun Teng-hong roboh terjungkal ke tanah, ia baru menyarungkan kembali pedangnya sembari berkata, "Sebetulnya dia tak bakal mati, sebab aku hanya menjebol ilmu mengendalikan goloknya dengan ilmu pedangku, kalau mau aku bisa menusuk mati dia sejak awal, ai ... siapa suruh dia berniat membacok mati aku, kecuali menusuk mati dirinya, aku memang tak punya pilihan lain lagi."

Pek Huan-ji ikut menghela napas panjang, "Padahal ilmu silatnya bagus, tidak seharusnya dia melakukan perbuatan seperti ini, sungguh tak kusangka ada begitu banyak jago tangguh dari dunia persilatan yang rela menjual nyawa demi si Raja pemusnah."

"Entah bagaimana nasib Si-ciangkun dan Ngo-cecu sekalian? Berhasilkah mereka menghadang jalan lari Coh Siang-giok?" gumam Ciu Pek-ih.

Kobaran api masih nampak membumbung tinggi ke angkasa, cahaya kemerahan yang menyelimuti angkasa seterang cahaya sang surya yang terang menderang, namun ketika memantul di atas permukaan salju, terbias cahaya merah seperti ceceran darah.

Bunga salju menyelimuti seluruh permukaan bumi, di atas sebuah jalan setapak yang kecil dan sulit dikenali, terlihat empat sosok manusia berjalan mendekat dengan langkah amat ringan. Biarpun sedang menempuh perjalanan di tengah lapisan salju yang tebal, namun keempat orang itu dapat berjalan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, mereka menelusuri jalan setapak itu dengan sangat ringan dan amat mudah, seakan hawa dingin yang merasuk tulang sama sekali tidak mereka rasakan.

Orang yang berjalan paling depan adalah seorang lelaki berwajah bersih bagai pualam, tenaga dalamnya sudah mencapai puncak kesempurnaan, di sampingnya mengikut seorang lelaki berperawakan tinggi kurus dengan sebilah golok lengkung panjang tersoren di pinggangnya, golok itu tanpa sarung.

Dua orang yang mengikut di belakangnya mempunyai raut wajah sangat mirip, hanya saja yang seorang tinggi kurus sedang yang lain gemuk pendek, hawa sesat menyelimuti wajahnya, walaupun perawakannya rada aneh namun tidak menutupi auranya sebagai seorang jagoan tangguh.

Orang pertama adalah si Raja pemusnah Coh Siang-giok, ia mengenakan jubah besar berwarna hitam, namun wajahnya bersih dan cerah bagai pualam.

Orang kedua adalah opas yang mengkhianati penjara besar besi berdarah, si golok panjang Sim In-san, orang ketiga adalah Si Ceng-jong dan orang keempat adalah Si Ceng-hong.

Gabungan kedua orang ini disebut Si-ke-siang-ok, sepasang manusia buas dari keluarga Si, mereka disebut juga sebagai

Si-toa-ok (manusia buas besar) dan Si-siau-ok (manusia buas kecil), orang menyebut juga Leng-lam-siang-ok, sepasang manusia bengis dari Leng-lam yang bergelar Thian-kiam-coatto (pedang langit golok sakti).

Ketika empat orang ini berjalan bersama, mungkin tak ada orang di dunia persilatan yang sanggup menghadapi mereka.

Dari keempat orang ini, tentu saja Sim In-san yang memiliki ilmu silat paling lemah, namun ia nampak sangat gembira, sambil tertawa ringan ujarnya, "Cukong, kali ini kita pasti berhasil kabur dari sergapan Si Ceng-tang. Selewatnya lima puluh li, bekas anak buahmu akan datang menjemput, saat itulah kau bisa mulai menghimpun kekuatan dengan menaklukkan tiga perkumpulan enam partai dua belas cabang, lalu mengirim pasukan untuk menyerbu kotaraja. Aku Sim In san tak mau ketinggalan, aku pasti akan membantu usaha cukong hingga berhasil."

Tentu saja apa yang diucapkan Sim In-san tidak didengar Si Ceng-tang, karena selisih jaraknya dengan mereka berempat sangat jauh.

Sepanjang mata memandang, hanya tumpukan salju yang terhampar di sepanjang jalan, tapi di balik setiap tumpukan salju yang menebal itu ternyata bersembunyi sekawanan jago tangguh, setiap jago membawa sebuah gendawa dengan tiga batang anak panah yang siap dibidikkan, pada ujung anak panah itu hampir semuanya dilumuri obat pemabuk yang sangat ganas.

Obat pemabuk itu dibuat oleh Manusia beracun kedua, Thian-he-te-ji-tok, jangan kata manusia biasa, orang dengan ilmu silat tangguh pun asal aliran darahnya kemasukan setetes obat pemabuk ini, sekujur badannya pasti akan kaku dan mati rasa sampai setengah harian lamanya.

Sedangkan kedua puluh enam orang ini adalah sisa dari keempat puluh laskar yang dibawa Si Ceng-tang dari kota Ciang-ciu.

Kawanan jago ini sesungguhnya bukan manusia sembarangan, setiap orang memiliki keberanian dan kemampuan bertempur yang hebat, ilmu silatnya juga tangguh, baru pertama kali ini mereka mengintai empat orang manusia dengan cara seperti ini.

Bukan hanya para prajurit yang berpendapat demikian, bahkan Ngo Kong-tiong pun mempunyai perasaan yang sama, mengintai orang dengan cara begini membuat perasaan hatinya sangat tak tenang, sampai Si Ceng-tang sendiri pun ikut merasakan hal ini.

Tampaknya Ciu Leng-liong dapat merasakan jalan pikiran orang, sebagai orang yang jauh lebih licik ketimbang Ngo Kong-tiong, lebih cerdas daripada Si Ceng-tang, maka setelah menyapu sekejap pada rekan-rekannya, dia pun berbisik, "Ciangkun, Ngo-cecu, saudara Tangan besi minta kita menyergap si Raja pemusnah, mungkin hal ini dilakukan karena keadaan terpaksa, bagaimanapun juga dia adalah seorang opas, dia tentu lebih tahu bagaimana cara membekuk seseorang. Apalagi ilmu silat yang dimiliki Raja pemusnah sangat tangguh, bila dirobohkan dengan panah pemabuk, mungkin korban yang berjatuhan bisa ditekan serendah mungkin."

"Benar," sambung Liu Ing-peng pula, "apalagi saudara Tangan besi hanya minta kita membidik si Raja pemusnah seorang dengan panah pemabuk itu, dia tidak menyuruh kita membidik yang lain, jadi aku rasa tak bakalan salah membunuh tiga orang yang lain."

Liu Ing-peng memang seorang yang cekatan, pintar dan tahu melihat gelagat, melihat kemurungan yang menyelimuti wajah Si Ceng-tang, dia mengira panglima perang itu kuatir bidikan panahnya salah sasaran hingga melukai kedua orang saudaranya, oleh sebab itu dia sengaja berkata demikian.

Si Ceng-tang menghela napas panjang. "Hai, sebenarnya bukan masalah ini yang kurisaukan, aku hanya merasa main membokong dengan cara begini tidak mencerminkan perbuatan seorang lelaki sejati, tapi ... semua orang juga tahu kalau ilmu silat si Raja pemusnah sangat lihai, sementara saudara Tangan besi, nona Pek serta Ciu-lote belum kembali, rasanya kita terpaksa harus menggunakan cara ini untuk menghadapi mereka."

Ngo Kong-tiong mendengus dingin. "Hm, arahkan semua panah ke tubuh si Raja pemusnah, apa bukan begitu yang dimaksud si Tangan besi? Cuma ... kita memang harus mengakui, kungfu si Raja pemusnah memang luar biasa, serangan yang seluruhnya ditujukan padanya belum tentu bisa merobohkan dia, apalagi kalau serangan panah terpecah dalam empat sasaran berbeda, aku rasa usaha kita bisa gagal, kalau dibilang ada hasil, paling banyak kita hanya bisa melukai atau membunuh Sim In-san, urusan jadi tidak bagus. Aku pikir, lebih baik kita tetap pusatkan seluruh pikiran dan kekuatan untuk merobohkan Coh Siang-giok. Ai ... sayang aku tak punya kesempatan untuk mengajak si Raja pemusnah ini berduel, padahal kepandaian silatnya sangat hebat."

"Ssttt ...!" tiba-tiba Si Ceng-tang mendesis lirih, "mereka semakin mendekat, siapkan senjata rahasia."

Ngo Kong-tiong, Ciu Leng-liong, Goan Kun-thian, Liu Ingpeng serta Thian Toa-ciok segera menggenggam senjata rahasia dan bersiap melancarkan sergapan.

Semua orang bertiarap di atas lapisan salju, dengus napas yang panas membuat bunga salju mencair, biarpun salju masih melayang di angkasa, namun saat ini semua orang hanya merasakan hawa yang panas, sama sekali tidak merasa dingin.

Tak selang berapa saat, Coh Siang-giok, Sim ln-san dan dua bersaudara Si sudah berjalan semakin dekat.

Terdengar Coh Siang-giok dengan suara rendah, berat dan serius sedang berkata, "Jangan kelewat memandang rendah kemampuan Si Ceng-tang Ciangkun, aku yakin api yang membakar losmen itu akan mendatangkan kerugian yang fatal bagi delapan manusia cacad, Cuma ... aaai, hawa napsu membunuh kedelapan orang itu memang kelewat berat, ada baiknya juga bila tertumpas dari muka bumi ... ada baiknya kita bertindak lebih hati-hati!"

Dalam keheningan yang mencekam seluruh jagad, tiba-tiba terdengar seseorang membentak nyaring, "Serang!"

Dalam waktu singkat berbagai senjata rahasia dan anak panah berhamburan di angkasa, sedemikian rapatnya serangan itu hingga sepuluh kali lipat lebih rapat daripada bunga salju yang sedang berguguran.

Ada senjata rahasia yang membawa desingan suara yang amat nyaring ada yang menggelegar seperti suara geledek, yang datang sambil berputar kencang, ada pula yang sama sekali tak bersuara, yang paling lihai adalah deretan anak panah yang meluncur datang begitu rapat bagaikan terpaan air hujan. Ketika Coh Siang-giok mendongakkan kepala dan melihat dari angkasa seolah muncul hujan deras yang luar biasa, paras mukanya seketika berubah hebat, dengan satu gerakan cepat dia lepaskan jubah merahnya hingga tampak pakaian ringkasnya yang berwarna merah pula.

Serangan Am-gi itu datang bagaikan hujan lebat, jangankan manusia dengan dua lengan, biarpun punya delapan tangan juga belum tentu bisa menghadapi ancaman seperti ini.

Bagi Coh Siang-giok sendiri-sebenarnya dia bisa mengandalkan tenaga dalam untuk merontokkan senjata rahasia yang mendekati tiga depa dari tubuhnya, namun berhubung senjata yang mengancam tiba beragam banyaknya, lagi pula dilancarkan bersamaan waktunya, maka sulitlah bagi si Raja pemusnah untuk menghimpun tenaga dalam, apalagi para pemanah adalah jago-jago yang memiliki tenaga dalam amat sempurna.

Sim In-san ikut tertegun, ia sadar, bila anak panah itu seluruhnya menghujam ke tubuhnya, maka dia sudah berubah jadi sekor landak.

"Bruk!", sebuah piau bersisik hijau menyambar ke depan dada Coh Siang-giok, lekas Raja pemusnah memiringkan badan ke samping untuk mengegos, senjata rahasia itu langsung menghajar bahu kirinya.

Ternyata senjata rahasia sisik hijau ini dilancarkan oleh Ciu Leng-liong.

Setelah dihajar dua batang senjata rahasia, tiada senjata rahasia ketiga yang sanggup menghantam tubuh Coh Sianggiok lagi.

"Cret!", tiba-tiba berkelebat cahaya emas, sebilah golok emas tahu-tahu sudah menghujam kaki kanan Raja pemusnah, ternyata hui-to (pisau terbang) itu dilancarkan oleh Si Ceng-tang.

Dengan satu lompatan kilat Coh Siang-giok segera melambung ke udara, sekujur badannya berubah seakan selapis awan hitam gelap. Kini dia telah melepas jubah hitamnya, dengan benda itu dia ciptakan selapis awan hitam untuk melindungi terjangan senjata rahasia lawan. "Trak, trak, trak", sebagian besar Am-gi menghantam jubah hitam itu seakan menghantam selembar lempengan baja, hampir semuanya mencelat balik ke belakang.

Kecuali hui-to Si Ceng-tang dan piau sisik hijau Ciu Lengliong yang berhasil menghajar telak tubuh Raja pemusnah, semua senjata rahasia lainnya berhasil digulung dengan jubah hitamnya sebelum sempat mendekat.

Baru saja gelombang pertama senjata rahasia itu dilancarkan, gelombang kedua kembali siap dilontarkan ke udara.

Tapi kali ini si Raja pemusnah sudah bersiap, ia tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk melepaskan senjata rahasia gelombang kedua.

Tubuhnya bagaikan selapis awan hitam menerjang masuk ke balik tumpukan salju di sisi jalan, bersamaan dengan terjangan itu, jeritan ngeri bergema silih berganti, mayat empat orang prajurit melayang ke udara dan terkapar di atas permukaan salju, ceceran darah segar berhamburan kemanamana.

Bersamaan waktunya Si Ceng-jong dan Si Ceng-hong ikut menerjang pula ke arah rombongan yang dipimpin Ngo Kongtiong, sedemikian cepat gerak tubuh mereka membuat Monyet sakti bertangan tiga Ciu Leng-liong pun tak sempat lagi melepaskan senjata rahasia.

Empat orang prajurit maju serentak dan menghadang jalan pergi mereka berdua, namun hanya sekejap saja tinggal dua orang yang masih hidup.

Kini dalam genggaman Si Ceng-hong sudah bertambah dengan sebilah pedang, tetesan darah masih menodai ujung pedangnya, sementara dalam genggaman Si Ceng-jong telah bertambah sebilah golok, mata golok pun basah berlumuran darah. Dua orang prajurit yang berhasil melarikan diri adalah Leng Ki-cong dan Pok Lu-ci, coba kalau bukan ilmu silat mereka sedikit lebih tangguh dibanding dua rekannya, mungkin mereka pun sudah ikut tewas sejak tadi.

Untuk sesaat lamanya mereka berdua hanya bisa berdiri tertegun, sebab kecepatan serangan pedang dan golok yang dilancarkan Si Ceng-jong dan Si Ceng-hong benar-benar telah membuat nyali mereka pecah.

Sementara mereka belum sempat melakukan sesuatu, Si Ceng-jong dan Si Ceng-hong kembali menerjang ke balik gundukan salju, tampaknya nyawa kedua orang itu tak bisa diselamatkan lagi.

Pada saat itulah mendadak terdengar Si Ceng-tang berseru dengan suara berat tapi penuh tenaga, "Cepat bekuk Coh Siang-giok! Ngo-cecu, Toa-ciok, mari kita bersama-sama menghadapi mereka bertiga."

Begitu ucapan Si Ceng-tang berkumandang, semua orang merasa kaget dan bergetar hatinya, mereka tahu Coh Sianggiok sudah terkena senjata rahasia pemabuk, berarti saat inilah kesempatan yang terbaik bagi mereka untuk membekuknya, kalau sampai diganggu oleh Pedang langit golok sakti hingga urusan terbengkalai, itu baru runyam namanya.

Bagaikan sebatang anak panah yang terlepas dari busurnya, Ngo Kong-tiong meluncur maju, pedang peraknya dengan jurus Sian-jin-ci-lok (dewa sakti menunjuk jalan) diiringi kekuatan yang luar biasa langsung menusuk tubuh Si Ceng-hong.

Si Ceng-tang sendiri langsung memutar tombak seberat empat puluh delapan katinya begitu selesai bicara tadi, "wes!", setelah membuat tiga guratan garis melingkar di atas tanah, dengan jurus Thian-hwe-sam-hui (api langit bercahaya tiga) ia menerjang Si Ceng-jong.

Thian Toa-ciok meraung keras, sepasang telapak tangannya direntangkan ke kiri kanan, dengan jurus Sui-siban-toan (melumat mayat selaksa keping) ia menerkam Sim In-san.

Si Ceng-hong berteriak nyaring, goloknya diputar sambil membabat ke depan, dengan jurus serangan yang cepat, aneh dan di luar dugaan, dia mengancam tubuh Ngo Kong-tiong.

Si Ceng-jong memutar pedangnya menusuk miring dari samping, ia balas menusuk ke tubuh Si Ceng-tang, serangannya dahsyat dan mematikan. Begitu dua bersaudara ini saling bertemu, masing-masing pihak berusaha menghabisi nyawa lawan.

Di pihak lain, Sim In-san sudah dibuat keder karena datangnya ancaman, melihat sepasang tangan Thian Toa-ciok mengancam badannya, "cring", buru-buru Sim In-san melolos golok panjangnya, kemudian membabat pinggang lawan dengan jurus Heng-sau-jian-cin (menyapu rata selaksa prajurit).

Dalam waktu singkat keenam orang itu terbagi dalam tiga kelompok dan saling menyerang dengan hebatnya.

Mendadak Ciu Leng-liong teringat kembali tujuan utama kedatangan mereka, buru-buru ia berpaling, ternyata Coh Siang-giok telah hilang tak berbekas.

Rupanya dalam suasana kalut tadi Coh Siang-giok menerjang masuk ke tengah arena dan kemudian telah membunuh empat orang prajurit, setelah itu secara tiba-tiba bayangannya hilang lenyap begitu saja, seolah menguap.

Padahal dia tidak menerjang keluar dari tumpukan salju, juga tak ada jalan mundur, bahkan tak lagi membunuh orang, tapi mengapa tiba-tiba hilang begitu saja?

Ciu Leng-liong tahu, mereka harus segera menemukan Coh Siang-giok yang masih lemas karena kehilangan tenaga, sebab kalau tidak, begitu pengaruh obat pemabuk hilang atau berhasil didesak keluar dari tubuhnya, maka tak akan ada jagoan lagi yang sanggup menaklukkan si Raja pemusnah ini.

Berpikir sampai di sini, Ciu Leng-liong merasa tubuhnya jadi panas dingin, jantungnya berdebar keras dan perasaan hatinya tak tenang, entah karena panik atau tegang? Lekas dia bertepuk tangan dua kali. Dua puluh orang prajurit yang bersembunyi di balik gundukan salju serentak melompat bangun.

Sebetulnya mereka membawa dua puluh enam orang prajurit, tapi lantaran ada empat orang telah tewas dibantai Coh Siang-giok dan dua orang lagi tewas dirajam sepasang manusia bengis dari Leng-lam, maka kini tinggal tersisa dua puluh orang.

"Kalian melihat Coh Siang-giok kabur kemana?" tegur Ciu Leng-liong kemudian.

"Aku melihat dia menerobos masuk ke balik gundukan salju."

"Dia telah membantai Che Si-yong."

"Ya, tadi dia melintas lewat di hadapanku, tubuhnya bergerak cepat seperti hembusan angin."

"Kami gagal membendung serbuannya, Kim Si-wi ikut tewas di tangannya."

"Kami lihat dia sudah terluka, banyak darah bercucuran dari tubuhnya!"

"Bukan, bukan darah, dia mengenakan baju ketat berwarna merah."

"Tapi sekarang dia lenyap”

"Coba lihat, jubah hitamnya tertinggal di situ."

Ciu Leng-liong sangat kalut pikirannya, begitu juga dengan kawanan prajurit itu, ketika ia berusaha maju menghampiri, terlihat jubah hitam milik Coh Siang-giok tergeletak di atas permukaan salju bagaikan seekor kelelawar, jubah itu penuh tertancap berbagai macam senjata rahasia, selain itu terdapat pula dua bercak darah yang sangat kental, kelihatannya si Raja pemusnah memang sudah terluka, malah tidak enteng luka yang dideritanya.

Tapi kemana orangnya pergi? Dia bersembunyi dimana?

Mau kabur dari sana atau bersembunyi di sekeliling tempat itu, semestinya emat puluh pasang mata melihat dengan jelas semua gerak-gerik dan sepak terjangnya. Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Ciu Leng-liong, seratus li di sekeliling tempat itu berupa batu karang yang dilapisi salju tebal, jangan-jangan seperti juga kawanan prajurit itu, Coh Siang-giok juga bersembunyi di balik gundukan salju?

Selewat gundukan salju itu terdapat tanah dasar yang sangat luas, semisal Coh Siang-giok benar-benar sudah kabur, tak ada alasan kalau bayangan tubuhnya tidak kelihatan, apalagi pakaian yang dikenakan berwarna merah cerah yang sangat mencolok, ditambah lagi ia sudah terluka dan kena obat pemabuk, jelas langkah dan gerak-geriknya sangat tidak leluasa

Coh Siang-giok pasti belum kabur dari situ, dia pasti sedang merawat lukanya sambil bersembunyi di balik gundukan salju, siapa tahu ia sedang berusaha untuk memaksa keluar pengaruh obat pemabuk dari tubuhnya?

Seperti juga sekor singa, si raja hutan, bila sedang terluka, dia pun akan mencari sebuah gua untuk merawat lukanya.

Ciu Leng-liong sudah lama mengikuti Si Ceng-tang, sikap tegas dan berani mengambil keputusan terpelihara sejak lama dalam dirinya, maka dengan suara dalam serunya, "Dia sudah terkena obat pemabuk, pasti bersembunyi di sekitar sini, periksa semua gundukan salju, teliti semua tempat yang mungkin bisa digunakan untuk bersembunyi, semuanya, periksa!"

Begitu perintah diturunkan, Liu Ing-peng mengajak lima orang mulai menggeledah di sebelah timur, Goan Kun-thian juga membawa lima orang memeriksa arah selatan, Si Cong-ji dengan membawa lima orang memeriksa ke arah barat, sementara sisanya yang lima orang mengikut di belakang Ciu Leng-liong menggeledah arah utara.

Sistim penggeledahan yang mereka lakukan merupakan sistim karpet, artinya setiap jengkal tanah tak terlewatkan untuk diperiksa dengan teliti, dalam keadaan begini, biar bersembunyi di tempat yang betapa rahasia pun, akhirnya jejaknya pasti akan ketahuan, atau paling tidak, pada akhirnya akan terdesak ke bagian tengah dan terkepung dari empat penjuru.

Seluruh anggota pasukan di bawah pimpinan Si Ceng-tang memang sudah mendapat pendidikan serta latihan yang sangat ketat, sementara dua orang jagoan tangguh dari benteng Lam-ce pun bukan orang sembarangan.

Penggeledahan yang mereka lakukan selain teliti, rapat, boleh dibilang hampir setiap jengkal salju ditusuk dengan pedang atau diobrak-abrik hingga sebagian terbongkar.

Dengan cara semacam ini, berapa banyak orang yang bersembunyi di balik gundukan salju, pada akhirnya pasti akan ketahuan juga.

Di atas permukaan salju hanya didapati empat sosok jenazah prajurit yang tewas bersimbah darah, seandainya mereka masih hidup, mungkinkah orang-orang itu bisa menunjukkan dimana Coh Siang-giok menyembunyikan diri?

Setiap jengkal tanah, setiap inci barang sudah mereka periksa dan geledah dengan seksama, namun bayangan Coh Siang-giok masih tetap menjadi tanda tanya besar.

Raja pemusnah seakan benar-benar sudah menguap ke udara, seolah betul-betul sudah lenyap tak berbekas.

0oo0

Pedang langit golok sakti bukan nama dua jenis senjata, tapi nama sejenis ilmu barisan yang mengutamakan serangan dengan menggunakan pedang dan golok.

Ketika melancarkan serbuannya tadi, Si Ceng-jong serta Si Ceng-hong telah mengandalkan ilmu barisan itu untuk mendobrak musuh.

Namun Si Ceng-tang seakan sudah memperhitungkan semua gerakan mereka dengan cermat, bersama Ngo Kongtiong dia memotong jalan pergi Si Ceng-hong, sementara tombak panjangnya langsung disodokkan ke samping mencegat gerakan Si Ceng-jong, dengan demikian dia telah berhasil menjebol kerja sama kedua orang itu. Serangan golok yang dilancarkan Si Ceng-hong benarbenar amat ganas dan aneh gerakannya, serangan golok yang belum pernah dijumpai Ngo Kong-tiong selama hidup.

Sebaliknya kecepatan serangan pedang Ngo Kong-tiong begitu cepat, begitu dahsyat bagai sambaran halilintar, juga belum pernah dijumpai Si Ceng-hong sebelumnya.

Begitu mereka berdua bertarung, berkobarlah suatu pertempuran yang amat sengit dan luar biasa.

Begitu menerjang maju ke muka, secara beruntun Si Cenghong menggunakan jurus-jurus serangan Jong-kui-cau-kui (Dewa Jong-kui menangkap setan), Cui-kay-ta-lou (pengemis mabuk memukul gembrengan), To-pit-hoa-san (membelah bukit Hoa-san) dan Kay-san-sui-sik (membelah gunung menghancur batu) untuk mencecar musuh.

Menghadapi desakan lawan, Ngo Kong-tiong sama sekali tidak menghindar, sebaliknya dia malah mendesak maju ke depan, dengan jurus serangan Tiang-coa-ji-tong (ular panjang masuk gua), Ci-to-ui-liong (menerjang langsung naga kuning), Tiang-gong-ban-li (angkasa tuas laksaan li) dan Bi-lok-ang-kin (hijau rontok di ujung merah), dia balas menusuk tubuh lawan.

Pertarungan pun berlangsung makin sengit, kedua belah pihak sama-sama tidak mundur, semua berusaha mendesak maju, dalam sekejap mata pertarungan jarak dekat pun berlangsung hebat, karena senjata tak dapat menjangkau tubuh lawan, kedua belah pihak menggunakan pukulan tangan kosong untuk saling menghantam.

Sebetulnya ilmu golok milik Si Ceng-hong ganas dan telengas, siapa tahu si kakek lawannya justru tangguh, garang dan kuat, selama pertarungan berlangsung lebih banyak melancarkan serangan daripada bertahan, dalam keadan begini, mau tak mau terpaksa dia harus menggunakan ilmu pukulan Kay-pi-ciang (ilmu pukulan pembelah batu) yang dilatihnya puluhan tahun untuk merobohkan lawannya.

Begitu pertempuran berkobar, Si Ceng-hong segera merasa bukan saja orang tua itu tidak lemah meski usianya sudah lanjut, bahkan tenaga pukulannya dahsyat, tenaga dalamnya sempurna, bagaimana pun dia berusaha mencecar dan merangsek dengan mengandalkan ilmu pukulan Kay-pi-ciang, semua serangannya selalu mengalami kegagalan.

Dalam terkejut bercampur ngerinya, lekas ia gunakan jurus Pek-hok-jiong-thian (bangau putih menembus langit) untuk menerobos naik ke udara.

Dengan jurus Kam-te-pat-jong (mencabut jahe di tanah kering), tiba-tiba dia ikut melambung ke udara, lalu "Wes!", kembali Ngo Kong-tiong melancarkan sebuah pukulan.

Biarpun Si Ceng-hong melambung duluan sedang Ngo Kong-tiong menyusul belakangan, ternyata yang menyusul belakangan justru sampai duluan, bahkan sedikitpun tidak ketinggalan, melihat hal ini tak terlukiskan rasa kaget Si Cenghong, satu ingatan segera melintas.

Menurut berita yang tersebar dalam dunia persilatan, konon benteng selatan Lam-ce dipimpin seorang kakek yang telah berusia di atas tujuh puluh tahun, namun tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh serta ilmu pedangnya tiada tandingan di kolong langit, jangan-jangan kakek bermuka merah ini adalah Cecu dari Lam-ce?

Si Ceng-hong sadar ilmu goloknya sama sekali tidak berada di bawah kemampuan ilmu pedang Ngo Kong-tiong, namun bicara soal tenaga dalam, dia masih ketinggalan satu tingkat, dalam soal ilmu meringankan tubuh pun ketinggalan satu langkah, karenanya meski tahu serangan lawan yang mengancam tiba sangat dahsyat, mau tak mau terpaksa dia tetap harus keraskan kepala untuk menerimanya juga.

Dalam arena lain, Si Ceng-tang dengan mengandalkan tombak panjangnya sedang bertarung sengit melawan pedang baja Si Ceng-jong.

Baik tombak panjang maupun pedang baja semuanya termasuk senjata berat dan besar, namun di tangan Si Cengtang, tombak panjang itu dapat dimainkan sedemikian ringan dan lincahnya seperti seekor naga sakti yang sedang meliuk di angkasa. Sebaliknya pedang baja yang dimainkan Si Ceng-jong pun sangat lincah dan cekatan, biarpun senjata itu berat, namun seakan sangat ringan dalam genggamannya, sebentar ia gunakan untuk menyerang ke kiri, sebentar ke kanan, sebentar keras, sebentar lunak, sebuah kombinasi serangan yang luar biasa.

"Sret, sret, sret", secara beruntun Si Ceng-tang melancarkan tiga tusukan maut dengan jurus Sam-jin-tonghang (tiga orang jalan bersama), jurus serangan ini pernah digunakan Tangan besi ketika bertarung melawan Cing Sausong tempo hari, namun ketika digunakan dengan tombak, kehebatan jurus serangannya justru makin kentara.

Jurus serangan ini memang sarat dengan perubahan yang tidak terduga, di antara tiga buah tusukan tombak itu, hanya satu tusukan yang merupakan serangan sesungguhnya, setiap gerakan setiap perubahan seakan serangan nyata tapi seperti juga serangan tipuan, membuat pihak lawan sukar meraba, entah berapa banyak panglima kenamaan yang telah tewas oleh jurus serangan Si Ceng-tang ini.

Berubah hebat paras muka Si Ceng-jong, cepat ia menarik napas sambil melancarkan sebuah tusukan pedang dengan sepenuh tenaga.

"Cring!", pedang dan tombak saling membentur hingga menimbulkan suara benturan yang amat nyaring.

Dengan begitu, serangan Si Ceng-tang pun segera terbendung.

Sebagaimana diketahui, Si Ceng-tang, Si Ceng-jong dan Si Ceng-hong sebenarnya adalah tiga bersaudara kandung, ilmu silat yang mereka andalkan disebut "tombak sakti, pedang langit, golok sakti", boleh dibilang mereka bertiga hapal dan menguasai jurus serangan lainnya.

Sejak tiga bersaudara bentrok dan bermusuhan, masingmasing pihak selalu berusaha untuk menciptakan jurus serangan baru guna menjebol serangan lawan, seperti apa yang dilakukan Si Ceng-jong barusan, jurus Pit-yu-wa-say (pasti ada guru sendiri) yang dia ciptakan memang khusus ditujukan untuk membendung serangan tombak Si Ceng-tang yang mematikan.

Benturan yang barusan terjadi membuat lengan mereka berdua jadi kaku dan kesemutan, hal ini menunjukkan bahwa tenaga dalam yang mereka miliki seimbang.

Dengan suara nyaring Si Ceng-tang segera membentak, "Buang pedangmu dan menyerah saja!"

"Menyerah?" sahut Si Ceng-jong sambil tertawa dingin, "lebih baik kau saja yang membuang tombakmu untuk menyerah, hari ini aku tak bakal melepaskan dirimu."

"Kau ... berani amat kau bicara begitu terhadap kakak sendiri?" teriak Si Ceng-tang gusar.

Si Ceng-jong tertawa seram, suaranya tinggi melengking bagai teriakan kuntilanak, jengeknya sinis, "Kenapa tidak berani? Bapak ibuku saja berani kubunuh, apalagi kau!"

Sembari berkata, kembali ia melancarkan serangan, bahkan serangannya sangat mematikan dan sama sekali tak kenal belas kasihan.

"Kau memang bedebah yang tak bisa ditolong lagi, baik, hari ini akan kumusnahkan dirimu, agar arwah ayah dan ibu di alam baka bisa memperoleh ketenangan!"

Kembali Si Ceng-jong tertawa keras. "Hahaha ... mau bunuh, bunuhlah! Hari ini bila kau tak sanggup membunuhku, suatu hari nanti aku dan Ceng-hong pasti akan menyerbu ke kota Ciang-ciu dan membantai seluruh keluargamu."

"Bangsat, kau memang serigala tak berperasaan!" bentak Si Ceng-tang amat gusar.

Mendadak tombaknya direntangkan ke depan, lalu didorong kuat-kuat.

Untuk sesaat Si Ceng-jong tertegun, sejak kecil dia sudah hapal di luar kepala semua jurus serangan yang dimiliki Si Ceng-tang, setelah saling bermusuhan, beberapa kali mereka sempat terlibat dalam pertarungan sengit.

Pada pertarungan pertama kali, Si Ceng-tang berhasil mengalahkan dirinya namun tak tega mencabut nyawanya, waktu itu dia diminta menyesali perbuatannya dan hidup sebagai manusia baru, selesai memberi nasehat, dia pergi dengan sedih meninggalkan dirinya.

Pada pertarungan yang kedua, waktu itu Si Ceng-tang baru saja pulang dari pertempuran berdarah di medan laga, tahu kondisi badannya sedang letih dan kehabisan tenaga, ia manfaatkan peluang itu dengan melancarkan serangan bokongan, tapi pertarungan ini berakhir dengan seri, karena masing-masing pulang dalam kondisi terluka parah.

Pada pertarungan yang ketiga, Si Ceng-jong dan Si Ceng hong turun tangan bersama, waktu itu gabungan mereka berdua berhasil melukai Si Ceng-tang hingga terluka parah, tapi beruntung Si Ceng-tang berhasil diselamatkan jiwanya oleh para anak buahnya.

Sejak pertarungan yang ketiga, Si Ceng-jong belum pernah bertemu lagi dengan Si Ceng-tang, dan sekarang jurus serangan yang digunakan untuk menyerang dirinya juga belum pernah dilihat sebelumnya, jangan-jangan dia telah menciptakan jurus baru yang khusus untuk menjebol pedang langitnya? Demikian ia berpikir.

Dengan perasaan tercekat bercampur ngeri, lekas Si Cengjong melompat mundur dari arena pertarungan.

Jurus serangan Heng-ciong (tombak melintang) dari Si Ceng-tang memang khusus diciptakan untuk menjebol jurus pedang langit, tapi Si Ceng-jong tidak melayani pertarungan bahkan mundur berulang kali, hal ini menyebabkan kehebatan jurus Heng-ciong tak sanggup digunakan semaksimal mungkin.

Rasa benci dan sakit hati yang membara dalam hati Si Ceng-tang membuat ia semakin bernapsu untuk menghabisi lawannya, sambil memegang tombaknya kuat-kuat, "plak!", mendadak gagang tombaknya patah jadi dua bagian, saat itulah tiba-tiba Si Ceng-jong menerjang maju ke muka.

Perubahan ini terjadi sangat mendadak, tak ada yang bisa melukiskan betapa cepatnya gerak tubuhnya.

Dengan cepat Si Ceng-jong tahu kalau tombak andalan Si Ceng-tang patah jadi dua. "Ah, inilah kesempatan langka yang tak boleh kulepaskan begitu saja ” pikirnya dalam hati.

Tombak sakti andalan Si Ceng-tang patah jadi dua, hal ini sama artinya panglima perang itu sudah kehilangan senjata andalannya, siapa pun tentu tak ingin melepaskan peluang baik itu begitu saja.

Dengan satu gerakan yang luar biasa dia hentikan gerak tubuhnya yang sedang menyurut mundur, kemudian sambil berbalik badan, dari mundur dia berubah jadi maju, langsung menerjang ke muka.

Menyusul gerakan merangseknya, sekilas cahaya pedang berkelebat, langsung menusuk dada Si Ceng-tang!

Tapi dalam waktu singkat Si Ceng-jong sadar kalau dia sudah masuk perangkap.

Ternyata tombak sakti Si Ceng-tang yang patah jadi dua, kini telah berubah jadi sebuah toya dan sebuah tombak, toya digunakan untuk menangkis tusukan pedang, sementara tombaknya bagai seekor ular kobra langsung menusuk tenggorokan Si Ceng-jong.

Jurus serangan inilah yang sesungguhnya merupakan jurus yang sengaja diciptakan untuk mematahkan serangan pedang langit.

Si Ceng-tang sudah menduga, begitu melihat ada kelemahan di tubuhnya, dia pasti akan memanfaatkan peluang itu dengan melancarkan serangan mematikan, serangan yang dilancarkan dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, mustahil orang macam dia bersedia memberi jalan mundur bagi orang lain.

Tiada jalan mundur, seringkali merupakan sebuah jalan buntu.

Kalau sudah muncul jalan buntu berarti kalau bukan kau yang mati, pasti akulah yang mampus!

Kini Si Ceng-jong belum sampai mampus lantaran Si Cengtang memang tak tega turun tangan keji terhadap dirinya.

Biarpun begitu, akhirnya dia memahami juga satu hal, tombak sakti tidak jauh berbeda dengan pedang langit, keduanya sama-sama merupakan senjata luar biasa, namun bila tombak sakti tiba-tiba berubah jadi dua senjata, satu untuk menangkis pedang langitnya, maka yang lain bisa digunakan untuk membunuh orang yang membawa pedang langit itu.

Sementara Si Ceng-jong masih berdiri terbelalak, mendadak tampak sesosok bayangan berkelebat dan langsung menerjang punggung Si Ceng-tang.

Orang itu tak lain adalah Si Ceng-hong.

Rupanya waktu itu untuk kedua kalinya telapak tangan Si Ceng-hong telah saling beradu dengan telapak tangan Ngo Kong-tiong, padahal mereka berdua sama-sama menggunakan segenap kekuatan yang dimilikinya, karena berada di tengah udara, tubuh Ngo Kong-tiong terpental sejauh tujuh depa lebih, sedangkan tubuh Si Ceng-hong mencelat sampai beberapa kaki jauhnya.

Karena mencelat ke belakang, kebetulan badan Si Cenghong menumbuk persis di punggung Si Ceng-tang.

Dalam keadaan begini hanya ada dua pilihan yang bisa ditempuh Si Ceng-tang, menghindarkan diri atau meminjam tenaga tumbukan itu untuk menerjang maju ke muka, dengan begitu ia bisa melenyapkan sebagian besar kekuatan yang menghimpitnya.

Bila ia tidak berbuat demikian, maka paling tidak ada empat puluh persen tenaga pukulan yang dilancarkan Ngo Kongtiong akan menghantam tubuhnya.

Namun Si Ceng-tang tidak memilih jalan yang manapun, dia tak ingin berkelit agar tubuh Si Ceng-hong persis menerjang ujung pedang Si Ceng-jong, sebaliknya dia pun tak tega membiarkan ujung tombaknya langsung menusuk tenggorokan Si Ceng-jong.

Oleh sebab itu sambil keraskan kepala dia terima saja gempuran itu, karena dia pun tak tega mengerahkan tenaga dalamnya guna melukai Si Ceng-hong.

Sekalipun mereka saling bermusuhan, namun bagaimanapun juga mereka bertiga tetap saudara sekandung. "Blam!", benturan itu membuat Si Ceng-tang muntah darah, tapi dengan cepat tombak di tangan kirinya berbalik sambil me lancarkan serangan, dia totok jalan darah lemas di kedua lutut Si Ceng-hong.

Begitu tertotok, sepasang kaki Si Ceng-hong jadi lemas hingga ia jatuh berlutut di tanah, namun ia pantang menyerah, tubuhnya segera berputar, baru saja goloknya diangkat siap melancarkan serangan, tahu-tahu ujung tombak Si Ceng-tang sudah menempel di atas ubun-ubunnya.

Dalam keadaan begini, asal Si Ceng-hong berani bergerak sedikit saja, maka dia segera akan menghajar mati dirinya.

Dalam pada itu ekor tombaknya yang berada di tangan kanan masih tetap menempel di atas tenggorokan Si Cengjong tanpa bergerak sedikitpun.

Pucat pias wajah Si Ceng-jong, dia ketakutan setengah mati, sebab asal tombak itu disodokkan setengah inci ke depan, niscaya jiwanya akan melayang.

Sebenarnya waktu itu Ngo Kong-tiong sangat terperanjat ketika melihat tubuh Si Ceng-hong menumbuk ke arah Si Ceng-tang, tapi begitu melihat Si Ceng-tang dengan mengandalkan sepasang tombaknya berhasil menaklukkan sepasang manusia bengis itu, diam-diam ia merasa kagum sekali dengan kehebatan kungfunya.

Sambil berjalan mendekat, segera tegurnya, "Ciangkun...”

Belum selesai ia bicara, Si Ceng-jong sambil tertawa pedih telah berseru, "Sudahlah, toako, aku memang bukan tandinganmu, lebih baik aku mati saja."

Sambil berkata, ia mengangkat kepalanya sambil memejamkan mata, kemudian menumbukkan diri ke ujung tombak di tangan Si Ceng-tang.

Kejadian ini sama sekali di luar dugaan siapapun, Si Cengtang tidak menyangka adiknya yang kejam bisa bersikap begitu berani, dia pun tidak mengira saudaranya yang telah bermusuhan selama dua puluhan tahun akan memanggilnya toako, seketika hawa darah dalam dadanya bergolak keras, tak kuasa lagi dia muntahkan darah segar, otomatis tombaknya ikut melenceng sedikit ke samping.

"Sret!", ujung tombak itu menyambar lewat sisi leher Si Ceng-jong hingga meninggalkan sebuah garis luka berdarah yang memanjang.

Bersamaan waktunya itulah mendadak Si Ceng-jong mendorong pedangnya ke depan, "Buk!" pedang itu langsung menusuk ke dalam perut Si Ceng-tang hingga tembus ke punggung.

Tak terlukiskan rasa kaget Ngo Kong-tiong menyaksikan kejadian itu, melihat pedang di tangan Si Ceng-jong telah menembus punggung Si Ceng-tang hingga darah bercucuran keluar, sambil meraung gusar ia segera menerjang ke muka bagaikan seekor burung rajawali.

Sayang keadaan sudah terlambat.

Si Ceng-tang sendiri pun tidak menyangka kalau saudaranya, Si Ceng-jong, begitu tega turun tangan keji terhadapnya, tertusuk perutnya ditambah rasa sakit yang luar biasa membuat ujung tombaknya yang sudah terangkat di udara segera dihujamkan ke bawah dengan sepenuh tenaga.

Waktu itu Si Ceng-jong tak sempat lagi mencabut keluar pedangnya, ujung tombak seketika menghujam persis di atas otaknya, tahu-tahu pandangan matanya jadi gelap, tangannya mengendor, sambil meninggalkan pedangnya di lambung Si Ceng-tang, tubuhnya roboh terkapar ke tanah.

Si Ceng-hong yang masih berlutut lemas di tanah tiba-tiba memanfaatkan peluang itu dengan mencengkeram gagang tombak, lalu goloknya langsung dibacokkan ke depan menghajar punggung Si Ceng-tang, bacokan itu keras dan mengerikan, nyaris membelah punggung saudaranya jadi dua bagian.

Saat itulah Ngo Kong-tiong telah menyusul tiba, dengan jurus Hiat-cay-hiat-siang (hutang darah bayar darah) secepat kilat pedangnya menusuk ke depan.

Ketika mendengar desingan angin tajam menyambar ke tubuhnya, tergopoh-gopoh Si Ceng-hong berusaha menghindarkan diri, sayang kakinya masih lemas, tak ampun dadanya tertusuk hingga tembus ke punggung, tewaslah manusia bengis itu tanpa sempat mengeluarkan sedikit suara pun.

Lekas Ngo Kong-tiong berusaha membangunkan Si Cengtang, tapi sayang sorot mata panglima perang itu sudah mulai memudar, dengan tubuh berlepotan darah ia berusaha meronta bangun, lalu bisiknya terbata-bata, "Ka ... kalian ... ha ... harus ber... berhasil me ... menangkap Coh ”

Melihat Ngo Kong-tiong manggut-manggut, Si Ceng-tang tidak melanjutkan kembali kata-katanya, setelah mengatur napasnya yang tersengal dan menyapu sekejap mayat kedua orang saudaranya, kembali ia berbisik, "To tolong kuburkan

kami ber ... bertiga dalam sa satu liang, biar semasa hidup

ka ... kami tidak rukun, biarlah ... biarlah setelah mati kami

ber ... bersatu ... ba ... bagaimanapun ... ka kami adalah

saudara ”

Tiba-tiba suaranya jadi parau dan semakin lirih, akhirnya dia pun menghembuskan napasnya yang terakhir.

Pelan-pelan Ngo Kong-tiong membaringkan jenazah Si Ceng-tang ke atas tanah, mengawasi tangannya yang penuh berlepotan darah, untuk sesaat dia hanya berdiri termangu.

Tadi Si Ceng-tang sengaja mengutus Thian Toa-ciok untuk bertarung melawan Sim In-san karena meski dalam suasana kalut, jalan pikiran panglima perang ini sama sekali tak ikut kalut.

Dia mengetahui cukup jelas kemampuan silat yang dimiliki keempat komandan anak buahnya, dia tahu kepandaian silat Thian Toa-ciok paling tangguh disusul Seng It-piau, Sim Insan menempati posisi ketiga dan Liu Ing-peng berada di posisi keempat, jadi mengirim Thian Toa-ciok untuk bertarung melawan Sim In-san boleh dibilang tujuh puluh persen kemenangan berada di pihaknya.

Dan kini kemungkinan menang yang tujuh puluh persen telah meningkat menjadi seratus persen. Biarpun golok panjang Sim In-san menyambar kian kemari meninggalkan cahaya tajam, menerbangkan bunga salju yang berada satu kaki di sekeliling tempat itu, namun senjatanya tak pernah berhasil menyentuh baju emas Thian Toa-ciok.

Ketika pertarungan mulai memasuki jurus keseratus empat puluh dua, Thian Toa-ciok mulai melakukan satu tindakan, selangkah demi selangkah dia semakin mendekati Sim In-san.

Tiap kali Thian Toa-ciok melangkah maju satu tindak, daya pengaruh yang terpancar keluar dari golok panjang Sim In-san berkurang pula sepuluh bagian.

Biarpun di hari biasa Thian Toa-ciok gegabah, berangasan dan tidak sabaran, tapi begitu mulai bertarung melawan Sim Insan, bukan hanya garang, dia pun lebih mantap, tenang dan pandai menahan diri.

Semenjak dia berkenalan dengan Sim In-san, sudah tujuh kali mereka terlibat dalam pertarungan yang amat seru, dalam tujuh kali pertarungan itu, Thian Toa-ciok menang empat kali, seri satu kali dan kalah dua kali, dua kali dia menderita kalah lantaran saat itu dia tak sabaran dan ingin mencari kemenangan cepat, tindakan yang terburu napsu berakibat ia dikalahkan secara tragis.

Dengan pengalaman tujuh kali pertarungan, tentu saja Thian Toa-ciok jadi semakin mantap dan percaya diri dalam pertarungannya kali ini, biarpun Sim In-san telah mengeluarkan ilmu golok andalannya, Tiang-to-hwe-thiancian-te-si-cap-kau-si (empat puluh sembilan jurus golok panjang pembalik langit penggulung bumi), kenyataan semua serangannya tak pernah mendatangkan hasil.

Waktu itu Thian Toa-ciok sudah merangsek makin dekat, kini golok panjang yang diandalkan Sim In-san hakekatnya sudah tak sanggup digunakan lagi.

Menghadapi tekanan lawan yang begitu gencar, mau tak mau terpaksa Sim In-san mundur berulang kali.

Ketika Thian Toa-ciok merangsek maju lebih ke depan, lekas Sim In-san mengegos ke sisi kiri, ketika Thian Toa-ciok mendesak ke kiri, cepat dia berkelit ke kanan, tapi kembali Thian Toa-ciok menghadangnya di kanan, hal ini membuat Sim In-san nyaris tak pernah lolos dari ilmu Hun-kim-jiu (tangan sakti pembelah emas) yang dilancarkan Thian Toaciok.

Tahu keadaannya bertambah gawat, Sim In-san mulai bermandikan peluh dingin, dia mulai panik dan ketakutan.

Sementara itu Ciu Leng-liong dan Liu Ing-peng telah menyusul tiba, setelah menggeledah hampir setiap jengkal tempat itu dan ternyata gagal menemukan lawan, sebenarnya mereka datang untuk memberi laporan kepada Si Ceng-tang, tapi begitu tahu panglima perang itu sudah tewas, suasana pun seketika berubah jadi amat berduka dan murung.

Dalam pada itu Thian Toa-ciok sudah mulai balas melancarkan serangan dengan sekuat tenaga, kini tubuhnya nyaris menempel badan Sim In-san, dalam posisi seperti ini dia sudah tak perlu menguatirkan golok panjang lawan.

Di antara berkelebatnya bayangan manusia dari balik salju tebal, tampak dua orang manusia berbaju putih telah muncul di tengah arena, tapi begitu melihat mayat Si Ceng-tang yang membujur kaku di atas tanah, seketika mereka jadi tertegun dan berdiri melongo.

Kedua orang ini tak lain adalah Pek Huan-ji dan Ciu Pek-ih. Dalam arena pertarungan, Thian Toa-ciok dengan jurus

Hau-jiau-kim-hong (cakar harimau tajam mengkilap) telah berhasil mencengkeram golok panjang lawan, Sim In-san segera memutar badan sambil menyikut dengan tangan kiri, "Duk!", siku itu bersarang telak di hulu hati lawan.

Namun sebelum Sim In-san sempat menarik kembali sikunya, Thian Toa-ciok dengan ilmu kim-na-jiu telah berhasil menangkap tangannya dan "Krak ...!", tulang lengan kiri Sim Insan patah seketika, sedang Thian Toa-ciok memuntahkan darah segar.

Kembali terdengar suara langkah kaki manusia berkumandang tiba, Say Hong-ki dengan membawa kedua puluh orang jagoannya telah menyusul tiba di situ, sedang Tangan Besi mengikut paling belakang. Tampak paras muka Tangan Besi amat murung dan serius, sebab hari ini dia paling banyak membunuh orang, padahal biasanya dia hanya tahu membekuk buronan atau tersangka, amat jarang melakukan pembantaian secara besar-besaran seperti apa yang dilakukannya hari ini.

Namun sekarang, secara beruntun dia telah membunuh enam orang, enam orang manusia cacad.

Selain itu masih ada dua orang lagi, meski bukan tewas di tangannya namun kedua orang itu mati di tangan Say Hong-ki dan dua puluh orang jagoan adalah gara-gara dirinya.

Sementara itu Thian Toa-ciok makin bertarung semakin bertambah garang, dengan ilmu kim-na-jiu-hoat, untuk kedua kalinya dia menangkap golok panjang milik Sim In-san, ketika si golok panjang berusaha meronta sekuat tenaga, namun gagal melepaskan diri dari cengkeraman lawan, apalagi waktu itu Sim In-san hanya tersisa sebuah tangan.

Tiba-tiba dia mengayunkan kaki melancarkan satu tendangan kilat ke jalan darah Sut-si-hiat di punggung Thian Toa-ciok.

Kali ini Thian Toa-ciok sudah bersiap, sepasang lututnya segera dijepit kencang dan "Krak!", telapak kaki Sim In-san seketika terjepit hingga hancur.

Sim In-san menjerit kesakitan, peluh sebesar kacang kedelai bercucuran.

Thian Toa-ciok tidak tinggal diam, kembali dia babat ketiak kanan Sim In-san dengan telapak tangan kiri, sementara tangan kanannya membetot ke belakang sekuat tenaga, tak ampun lagi tulang tangan kanan Sim In-san terlepas dari engselnya hingga golok panjang itu terjatuh ke tanah.

Dalam keadaan begini, hilang sudah semangat tempur Sim In-san, apalagi rasa sakit yang luar biasa serasa mencekam sekujur badannya, membuat dia terjongkok ke tanah sambil merintih tiada hentinya, otot hijau di wajahnya menonjol keluar saking menahan sakit yang luar biasa.

Selama pertarungannya melawan Sim In-san sebanyak tujuh kali, baru kali ini Thian Toa-ciok berhasil meraih kemenangan secara gemilang, dengan mata melotot besar menahan amarah, teriaknya keras-keras, "Kau anjing sialan, pagar makan tanaman, kalau bukan gara-gara kau berkhianat, tak nanti Ciang-kun meninggal dunia, kau...”

Kembali dia mengepal tinjunya dan siap dihantamkan ke kepala lawan.

Tiba-tiba sebuah tangan menangkap kepalannya, cengkeraman ini sangat kuat bagaikan sebuah japitan dari baja.

Tentu saja orang yang menangkap kepalannya tak lain adalah si Tangan besi.

"Jangan bunuh dia," ujar Tangan besi kemudian, "kita harus mengadili dia sesuai dengan hukum yang ada."

Pelan-pelan Thian Toa-ciok menurunkan kembali tinjunya, sementara Ciu Leng-liong manggut-manggut tanda setuju.

Sim In-san yang tergeletak di tanah tiba-tiba menjerit keras, teriaknya, "Kalau kalian punya nyali, ayo cepat bunuh aku! Aku tak ingin kembali ke penjara besar, Coh Siang-giok pasti akan membalaskan dendam sakit hatiku, kalian pasti akan dibantai satu per satu ... dibunuh sampai habis”

Sim In-san pernah bertugas sebagai komandan di penjara besar besi berdarah, dengan mata kepala sendiri dia pun pernah menyaksikan keadaan serta suasana di penjara itu, karenanya dia lebih suka mati ketimbang dijebloskan ke dalam penjara besar, apalagi setelah terjadinya peristiwa ini, dia tahu, siapa lagi yang bakal mampu membongkar penjara besar untuk menyelamatkan para narapidana?

"Sim In-san!" dengan suara dalam Ciu Leng-liong menegur, "selama bertahun-tahun kau menerima gaji dari kerajaan, Ciang-kun pun menaruh budi kebaikan untukmu, mengapa kau begitu tega melakukan perbuatan terkutuk ini?"

Sambil berbaring di atas permukaan salju, Sim In-san tertawa tergelak, suaranya keras, nyaring dan menyeramkan bagaikan jeritan kuntilanak, kini sepasang tangan dan sebuah kakinya sudah remuk, badannya nyaris tak mampu bergerak lagi, yang tersisa hanya sorot matanya yang membara bagai api, mengawasi orang-orang di sekitarnya dengan buas dan liar, seakan biji matanya ingin melompat keluar dan menerkam orang-orang itu.

"Hahaha ... apa salahku? Apa salahku? Orang bilang kerajaan menganyomi rakyatnya, meskipun Si-ciangkun baik kepadaku, tapi ... kenapa kaisar membantai seluruh anggota keluargaku hanya gara-gara ibuku yang tua bersin saat mendengar firman kaisar? Coba kalau Si-ciangkun tidak berjuang keras melindungi nyawaku, mungkin aku sudah mati dua puluh delapan kali sejak dulu! Buat apa aku berjuang demi Kaisar lalim? Kenapa aku tak boleh bekerja untuk Coh Siang-giok? Coh Siang-giok baik kepadaku, menghargai kemampuanku, menghargai pribadiku, apa salahnya aku berbakti kepadanya? Apalagi bila berhasil, Coh Siang-giok berjanji akan mengangkat aku menjadi pejabat tinggi. Hahaha

... kenapa aku tak boleh melakukan apa yang ingin kulakukan?"

Mendadak pancaran sinar berapi semakin membara dari balik matanya, dia berteriak lebih jauh, "Aku tahu aku memang salah, membalas budi Si-ciangkun dengan air tuba, tapi terhadap kalian ...? Bukankah aku pun telah membayar hubungan persahabatan kita dengan tidak membunuh kalian ketika masih berada dalam penjara tempo hari?"

oooOOooo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar