Pendekar Bloon Jilid 32 Penemuan

Jilid 32 Penemuan

Saat itu Leng Siang In sedang sibuk menghadapi serangan pedang dari pengawal baju putih.. Leng Siang In bergelar Thay-goan It-kiam atau Pedang-tunggal dari Thay-goan. Ia telah mengeluarkan ilmupedang simpanannya Hoan-thian-to- kiam atau ilmupedang Membalik-langit-menjungkir-laut, sebuah ilmupedang buah ciptaannya sendiri.

Ilmupedang itu hebatnya bukan kepalang. Sesuai, dengan namanya bahwa jurus2 serangannya selalu berlawanan arah. Untuk beberapa saat pengawal Baju Putih yang mukanya bertutup kain cadar putih itu agak bingung. Tetapi beberapa saat kemudian ia merobah gaya permainannya dan sejak perobahan itu maka Leng Siang lnpun mulai terdesak. Semua serangannya dapat dihalau dan dihindari lalu balas diserang.

Pada saat itu Leng Siang In terpaksa harus bertahan. Ia tak mampu balas menyerang bahkan bertahanpun ia harus menumpahkan seluruh kepandaiannya.

Detik yang menegangkan segera menjelang ti ba. Tabasan pedang pengawal baju-putih yang melancar ke arah kepala Leng Siang In, tiba2 berganti dengan menusuk ke dada. Pergantian yang mendadak itu mengejutkan Leng Siang In... Ia sudah terlanjur menjungkatkan pedangnya keatas untuk melindungi kepalanya sehingga dadanya tak terlindung. Serangan itu meluncur cepat sekali dan sekalian orang sudah menjerit karena memastikan kalau jago dari Thay-goan itu tentu terluka kali ini.

"Gunakan jurus Thiat-pian kio dan tendangkan kaki kiri," tiba2 terdengar suara orang berseru.

Leng Siang In tak sempat meneliti siapakah yang berseru itu. Tetapi ia percaya bahwa apa. yang diajarkan orang itu memang satu2nya jalan, untuk lolos dari bahaya maut. Sambil ayunkan tubuh ke belakang dari gerak Thiat-piah-kio atau Jembatan-besi gantung, kaki kirinya menendang siku lengan lawan.

Pengawal baju putih itu terkejut karena lawan tiba2 rubuh kebelakang sehingga ujung pedang nya menusuk angin dan sesaat itu siku lengannya tersambar angin tendangan. Pengawal Baju Putih itu tak gugup. Menyurut mundur dua langkah, secepat kilat ia menabas kaki Leng Siang In. Tetapi Leng Siang In bukan jago sembarangan. Iapun bertekad untuk mengadu jiwa. Andaikata kakinya terpapas, iapun dapat melukai lawan. Dengan keputusan itu ia segera ayunkan kaki kanan untuk menendang bawah perut orang itu. Ditendangan yang disertai dengan tenaga-dalam penuh itu, dipercaya tentu akan menghancurkan alat vital lawan.

Rupanya pengawal Baju Putih itu terkejut juga menyaksikan tindakan lawan. Jarak keduanya amat rapat sehingga tak mungkin ia dapat menghindar.

Sring….

Karena sudah terlanjur membabat, ia terpaksa mengurangi tenaganya dan. terus loncat mundur.

"Leng Siang in berjumpalitan "beberapa kali kebelakang lalu melenting berdiri tegak. Memandang ke bawah, ia mengeluh. Ujung sepatunya yang kiri telah terpapas. Sehingga sebuah jari kelingking kakinya ikut terbabat kutung.

Setelah menyurut mundur, pengawal Baju-Putih hendak bergerak menyerang lagi tetapi saat itu sesosok tubuh loncat menamparnya. Orang itu bukan lain adalah Hong Hong tojin. Dialah.. ,yang meneriaki Leng Siang In supaya menggunakan jurus Thiat-pian-kio beserta Lian-hoan-thui atau tendangan berantai. Begitu melayang kepanggung ia segera memberi petunjuk kepada Leng Siang In dan kini melihat pengawal  Baju Putih hendak menerjang. Iapun cepat2 loncat menamparnya untuk menahan.

Pengawal Baju Putih itu terkesiap, ketika dirinya dilanda oleh angin pukulan yang tajam dan kuat. Terpaksa ia memutar pedang untuk menghapus angin tamparan itu.

"Cianpwe," seru Hong Hong tojin setelah berdiri tegak dihadapan pengawal Baju Putih itu. "Harap jangan salah mengerti. Aku tak bermaksud menyerangmu melainkan hendak menghentikan pertempuran ini."

Pengawal Baju Putih itu terkesiap, menatap wajah Hong Hong tojin.. Sinar matanya tampak hampa, Hong Hong tojin terkejut. Ia makin cenderung pada dugaannya.

"Cianpwe," serunya pula, "mohon tanya, jika tak salah ilmupedang yang cianpwe mainkah tadi adalah ilmu pedang Gun-goari-kiam-sut .

Ia berhenti sejenak untuk melihat reaksi orang, tetapi pengawal Baju Putih itu hanya terbelalak tanpa mengucap sepatah kata.

"Cianpwe" Hong Hong tojin berseru pula, "ilmu pedang Gun-goan-kiam-hwat adalah ilmupedang pusaka dari partai persilatan Go-bi-pay. Di kalangan murid2 Bu-tong-pay. tidak banyak yang menguasai ilmupedang tersebut. Angkatan murid yang sekarang ini, tak ada seorangpun yang mampu mempelajarinya. Hanya angkatan yang keduapuluh empat, ada seorang murid Go-bi-pay yang berhasil memahaminya ... "

HongHong tojin hentikan pula kata2nya. Ia memperhatikan bagaimana tanggapan pengawal Baju Putih. Tetapi ternyata orang itu tetap tertegun dengan mata yang hampa.

Diam2 Hong Hong tojin heran. Mengapa sinar mata pengawal Baju Putih itu tak memancarkan suatu reaksi apa2. Mengapa dia seperti sebuah patung bernyawa" ?

"Murid Go-bi-pay angkatan keduapuluh empat itu adalah sute dari ketua Go-bi-pay pada masa itu. Dan ketua dari Go- bi-pay angkatan keduapuluh empat itu bukan lain adalah suhuku, Dengan demikian sute dari guruku adalah paman guruku yang bernama Biau Hun totiang" Tetapi pengawal Baju Putih itu termangu hampa.

"Dan kalau tak salah, Biau Hun susiok itu adalah totiang sendiri " tiba2 Hong Hong tojin berseru.

Orang itu terkesiap tetapi tiba2 terdengarlah pengacara bersuit nyaring lalu berseru memberi perintah : "Pek-i sucia, usirlah imam itu dari panggung.”

Pek-i su-cia atau Duta Baju Putih itu segera memberingas lagi, Tanpa berkata apa2 pengawal itu terus taburkan pedang menyerang Hong Hong tojin.

"Susiok ... " teriak Hong Hong tojin seraya menghindar. Tetapi orang itu tak mempedulikan Diserangnya ketua Go-bi- pay itu dengan gencar.

Melihat itu Leng Siang In memberingas, lapun hendak membalas pertolongan Hong Hong tojin tadi. Pedang Ang- liong-kiam atau naga merah segera, ditaburkan menjadi lingkaran sinar pedang yang memercikkan be-ratus2 bunga api.

"Leng tayhiap, tahan" seru Hong Hong tojin seraya menampar kearah jago Thay-goan itu. Sudah tentu Leng Siang In terkejut. Ia tak tahu mengapa Hong Hong tojin malah menyerangnya. Cepat ia loncat kesamping untuk menghindar.

"Leng tayhiap, jika tak keliru dugaanku, orang berbaju putih itu adalah paman guruku Biau Hun tojin yang telah lama menghilang," kata Hong Hong tojin dengan menggunakan Coan-im-jip-bi a-tau ilmu Menyusup suara..

Leng Siang In terkesiap. Namun ia menurut juga permintaan orang. Dalam pada itu Hong Hong tojin harus melayani serangan pengawal Baju Putih yang makin lama makin gencar. "Leng tayhiap, silahkan turun dari panggung”, kembali Hong Hong tojin menggunakan ilmu Menyusup suara, "sukalah Leng tayhiap memandang muka pinto dan izinkan pinto yang menghadapi susiok pinto"

Sesungguhnya Leng Siang In berada dalam persimpangan. Jika ia lanjutkan menempur pengawal Baju Putih itu, tentulah ia akan menderita kekalahan yang hebat. Tetapi sebagai seorang ksatrya seorang jago nomor satu dari Thay-goan malu kalau harus mundur. Ia lebih suka memilih jalan maut. Kini setelah mendapat permintaan dari Hong Hong tojin, iapun mau juga menurut. Diam2 ia berterima kasih, kepada ketua Go-bi-pay itu yang telah menyelamatkan mukanya. Dan ia pun tak enak hati kalau berkeras hendak menempur  pengawal Baju Putih yang menurut dugaan adalah paman guru dari Hong Hong tojin atau ketua partai Go-bi pay yang sekarang.

Demikian dengan beberapa pertimbangan, itu, Leng Siang Inpun enjot tubuhnya melayang turun dari panggung. Memang bagi seorang tokoh semacam Leng Siang in tidaklah mudah untuk mundur dari suatu pertarungan besar yang disaksikan oleh be-ratus2 kaum persilatan. Tetapi dengan adanya Hong Hong-tojm turun tangan itu, Leng Siang In tak sampai menderita malu.

Pertempuran diatas panggung makin memuncak. Hong Hong tojin masih dapat melayani pengawal Baju Putih itu sampai duaratus jurus Semakin lama ia semakin yakin bahwa permainan pedang pengawal baju putih itu jelas berasal dari partai Go-bi-pay. Hanya walaupun jurus2nya telah diketahui tetapi setiap kali Hong Hong tojin masih harus terkejut dan peras keringat untuk menghindari. Walaupun jurusnya sudah diketahui tetapi dimainkan oleh pengawal Baju Putih itu, jurus itu menjadi berlipat ganda dahsyatnya. Diam2 Hong Hong tojin putar otak. Ia harus berusaha untuk membuktikan bahwa Pengawal Baju Putih itu adalah susioknya yang hilang beberapa tahun yang lalu. Tetapi bagaimana untuk melaksanakan rencananya itu, ia kehilangan akal.. Untuk mengalahkan dan menawannya, jelas tak mungkin. Ia merasa kepandaian susioknya itu jauh dua tingkat dari dirinya. Namun jika tak dapat menangkapnya. Tentu ia tak dapat membuktikan diri pengawal Baju Putih itu.

Dalam pada itu. Hong Hong tojinpun makin mendapat kesan bahwa Pengawal Baju Putih itu seperti seorang manusia yang tak wajar, tak sadar pikirannya. Berulang kali diajak bicara tak mau menyahut. Berapa kali diberi penjelasan, tetap saja menyerang.

"Ah, tentu terjadi sesuatu dengan susiok," akhirnya ia menarik kesimpulan, "menilik pandang matanya yang kosong dan sikapnya seperti manusia patung itu, ia tentu kehilangan kesadaran pikirannya. Jelas orang Thian-tong-kau tentu yang melakukan hal itu dan mempergunakannya sebagai alat pengawal mereka".

Akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri dulu. la hendak berunding dengan ketiga ketua partai rekannya. Ia duga keadaan barisan pengawal Baju Putih dan Baju Merah tentu tak jauh dengan susioknya.

Demikian setelah menghindar dari sebuah serangan yang berbahaya, Hong Hong tojinpun segera loncat turun ke bawah panggung. Hiruk pikuk para tokoh persilatan menyambut peristiwa itu. Mereka tak tahu-apa yang sesungguhnya terjadi. Mereka hanya mengira bahwa ketua Go-bi-pay itu naik panggung untuk menolong Leng Siang In yang terdesak.

"Bagaimana totiang" sambut Pengemis-sakti Hoa Sin kepada Hong Hong tojin, Ketua Go-bi-pay itu menghela napas: "Peristiwa ini menyangkut seluruh dunia persilatan. Jika dugaanku tak salah, pengawal Baju Putih tadi adalah susiokku."

Hoa Sin, Ceng Sian suthay dan Pang ToTik terkejut. Berkata Hoa Sin : "Jika demikian barisan pengawal Baju Putih dan Baju Merah itu tentu mengandung rahasia besar. Kemungkinan mereka tentu tokoh2 persilatan juga yang telah ditawan dan diperalat oleh Thian-tong-kau." . ??

"Tepat!”, seru Hong Hong tojin, "dugaanku memang begitu juga.”

"Hai !" tiba2 Pang To Tik menjerit sehingga ketiga rekannya terkejut memandangnya dengan penuh keheranan.

"Apa maksud Pang tayhiap ?" tegur Hoa Sin. "Adakah kematian Kam sute ciangbunjin itu layak diragukan?"

"Apa katamu!" kali ini Pengemis-sakti Hoa Sian terkejut. , "Dalam kematian Kam sute yang lalu seorang pemuda

bloon telah dituduh sebagai pembunuhnya. Tetapi menurut keterangan murid dan para tianglo Hoa-san-pay, tuduhan itu hanya didasarkan bahwa pemuda bloon itu berada diguha tempat sute melakukan semedhi dan mencekal pedang berlumur darah. Tetapi kalau menilik kepandaian pemuda itu, tak mungkin dia mampu melakukan pembunuhan kepada Kam sute.”

"Oh, Peng tayhiap hendak mengatakan bahwa kematian Kam pangcu itu mencurigakan sekali ?" tanya Hoa Sin-pula.

"Bukan mencurigakan, tetapi memang dia tidak mati!"

"Atas dasar apa Peng tayhiap menarik dugaan begitu," tanya Ceng Sian suthay." „Karena jenazah Kam sute itu sukar dikenali. Andaikata para tianglo dan murid2 Hoa-san-pay memastikan bahwa jenasah itu betul jenasah Kam sutepun, hal itu bukan sesuatu yang mustahil. Bisa saja dicarikan orang yang wajahnya mirip dengan Kam sute.”

"Dan Kam pangcu ?” seru Ceng Sian suthay.

"Diculik oleh gerombolan Thian-tong-kau, Hong Hong tojin bertegas menyahut.

“Jika demikian," kembali Pengemis-sakti Hoa Sin buka suara, "bukan mustahil pula beberapa tokoh dari beberapa partai persilatan yang menghilang jejaknya itu ternyata memang ditawan oleh Thian tong-kau."

"Adakah dalam partai Hoa pangcu juga terdapat tokoh yang hilang ?" cepat Hong Hong tojin bertanya.

"Dugaan bahwa toa-suheng Han-jiat-sin-kay Suma kian yang hilang tak berbekas itu layak dikaitkan dengan hilangnya beberapa tokoh2 partai persilatan lain dan timbulnya Thian- tong-kau dengan, barisan pengawalnya yang sakti”, sahut Hoa Sin.

"Jika demikian halnya," kata Pang To Tik, "kita harus membongkar rahasia besar itu."

Hong Hong tojin mendukung.

“Tetapi barisan pengawal Thian-tong-kau itu merupakan manusia2 yang sudah hilang kesadaran pikirannya. Mereka tak. kenal orang kecuali hanya mendengar perintah dari pengacara itu," kata Hong Hong tojin, “untuk menghadapi mereka, hanyalah dengan jalan mendapatkan obat atau ilmu untuk memulihkan kesadaran pikiran mereka. Jika dengan kesaktian ilmu silat, mungkin gagal." Tiba2 mereka dikejutkan oleh suara hiruk dari para tokoh2 yang berada disekeliling. Ketika memandaug ke muka, ternyata saat itu sesosok tubuh sedang melayang keatas panggung...

Bahwa seorang tokoh silat naik ke panggung, sudah terjadi beberapa kali. Tetapi tidaklah segempar kali ini. Keempat ketua partai persilatan cepat melihat apa yang menyebabkan kegemparan itu.

Seorang lelaki tua, rambutnya putih, jenggotnyapun putih menjulai kedada tetapi anehnya sepasang rambut alisnya masih hitam. Jika beberapa tokoh yang loncat ke atas panggung tadi menggunakan gerak ilmu ginkang, tidaklah demikian dengan pak tua itu. Dia membawa sebatang galah panjang menyerupai batang kail, dari bambu kuning. Ia mengayunkan bambunya keatas dan tubuhnya ikut melambung ke atas. Dengan dua tiga kali mencambukkan batang bambu kuning itu, tibalah sudah ia diatas panggung.

"Hola, Hong-ho-tiau-soh In Tiong Sik lohi-apsu hendak memulai melakukan upacara sembahyang!" tiba2 pengacara berseru nyaring.

Teriakan pengacara itu memberi keterangan kepada seluruh tokoh2 yang hadir, siapakah orang tua yang naik panggung saat itu. Benar, dia memang In Tiong Sik yang oleh kaum persilatan digelari sebagai Hong-ho-tiau-soh atau Tukang pancing ikan dari bengawan Sungai Kuning.

In Tiong Sik dikenal sebagai seorang tokoh silat yang aneh. Tak suka cimpur urusan dunia persilatan tetapi selalu hadir dalam setiap perselisihan sebagai juru damai. Dia tak suka diganggu orang tetapi sering mengganggu orang. Yalah orang2 jahat yang berani mengacau ketenangan daerah perairan Sungai Kuning. Setiap rayat nelayan perairan Sungai Kuning memujanya tetapi setiap kaum perompak dan penjahat, mengutuknya.

"Ha, ha." In Tiong Sik tertawa lebar, "saudara terlalu memuji aku situkang kail. Dan sudah tentu, aku harus tahu diri. Masakan tukang kail tua semacam diriku berani mempelopori melakukan upacara sembahyang pada dewa2 Thian-tong !"

"O," seru pengacara dengan nada yang menyembunyikan keheranan, lalu apakah yang lo-hiap su hendak lakukan disini

?"

"Ha, ha," Ih. Tiong Sik tertawa, "sekali menjadi tukang pancing, tetap tukang pancing. Dimana dan diwaktu apa saja."

Pengacara terbeliak : "Apakah lo-hiapsu juga akan memancing disini ?

"Betapa tidak?" seru In Tiong Sik, "dimana tempatpun aku dapat memancing."

"Ah, harap lo-hiapsu jangan bergurau," seru pengacara pula, "disini bukan Sungai Kuning tetapi panggung  kehormatan untuk melakukan upacara sembahyang masuk menjadi anggauta. Thian-tong-kau."

"Itulah," seru In Tiong Sik, "harap saudara ketahui bahwa aku tukang mancing tua ini memancing segala apa saja yang ada. Bukan melulu hanya ikan."

"O," desuh pengacara, "apakah lo-hiapsu hendak memancing orang disini ?"

"Jika yang ada orang, apa boleh buat," sahut In Tiong Sik, "akupun tak dapat menolak." Tiba2 pengacara itu tertawa gelak2.

"Bagus, bagus," serunya, "jika lo-hiapsu bermaksud begitu, itulah mudah. Diatas panggung ini banyak sekali orang yang dapat lohiapsu pancing. Silahkan pilih saja yang mana!"

"Terima kasih," seru In Tiong Sik; "tetapi bagaimana kalau aku hendak memancing saudara saja karena aku senang melihat pakaian saudara yang indah itu."

"Aku?" teriak pengacara terkejut tetapi pada lain saat ia tertawa, "jika lo-hiapsu hendak memancing aku, apakah lo- hiapsu tak sayang kalau upacara ini akan kacau ? Siapa yang akan memimpin upacara nanti ? "

"Ah, jangan saudara menguatirkan hal itu," kata In Tiong Sik," bukankah Thian-tong-kau masih mempunyai puluhan anggauta yang dapat menggantikan tempat saudara ?"

Pengacara terdiam sejenak lalu berseru : "O benar-benar. Tetapi apakah kail lo-hiapsu benar2 kuat untuk menampung tubuhku?”.

Sambil menggentak-gentakkan bambu kuning, In Tiong Sik berseru : "Jangan memandang bambu pengailku ini kecil dan lemas, tetapi jangankan tubuh manusia, sekalipun ikan paus dapat juga terkail. Jangan kuatir, tentu takkan mengecewakan hati saudara."

"In Tiong Sik, jangan berlaku kurang tata," bentak pengacara itu dengan nada bengis, "disini bukan panggung sandiwara untuk mempertunjukkan ilmu badut: "

Belum sempat ia meneruskan kata-katanya, tiba2 In Tiong Sik gerakkan bambu pancingnya. Singng..... terdengar angin mendesing tajam melanda pengacara; "Ah, jangan membadut, engkau !" seru pengacara seraya menampar. Tamparan itu tampaknya pelahan dan tak bertenaga. Tetapi diluar dugaan, galah bambu kuning dari In Tiong Sik terpental ke belakang:

In Tiong Sik terkejut. Ia merasakan angin tamparan pengacara itu bukan kepalang hebatnya. Dalam mengayunkan bambu kuningnya tadi, ia telah menggunakan tiga bagian dari tenaganya. Ia ingin menguji dulu sampai dimana tenaga orang itu. Ternyata pengacara itu memiliki tenaga-dalam yang hebat sekali.

“Bagus, ternyata engkau pandai juga untuk menjadi ikan. Memang biasanya kawanan ikan itu menggelepar-gelepar meronta dari kailku. Tetapi akhirnya mereka akan dapat juga kutangkap," seru In Tiong Sik.

la menutup kata-katanya dengan mengayunkan bambu kuningnya lagi. Kali ini desing suaranja lebih tajam.

"Ali, tukang pancing, mengapa keras sekali kepalamu !" seru pengacara seraya menampar pula. Setiap gelombang angin segera melanda. *Dan terjadi suatu adegan yang mengejutkan. Tangan In Tiong Sik masih tetap menjulurkan batang kail ke muka, tetapi ujung bambu itu melengkung ke belakang makin lama makin kebelakang.

Terkejut In Tiong Sik menderita hal itu. Itulah suatu adu tenaga-dalam yang hebat. Akibatnya, bambu kuninglah yang menderita. Jika In Tiong Sik tak mau melepaskan, jelas bambu itu pasti Jikan putus. Namun kalau ia melepaskannya, ujung bambu itupun tentu akan meluncur ke dadanya, pada jaraknya dengan dada hanya selengan jauhnya.

Sekalian tokoh2 di bawah penggungpun terkejut juga menyaksikan peristiwa itu. Mereka mengagumi ilmu lwekang dari Hong-ho-tiau-soh In Tiong Sik, tetapi lebih terkejut menyaksikan tenaga-dalam pengacara itu.

"In Tiong Sik," seru pengacara itu," jika engkau tetap tak mau melepaskan pancingmu, jangan menyesal kalau engkau sampai menderita malu !"

Tetapi In Tiong Sik tak menjawab. Rupanya ia sedang menumpahkan seluruh perhatian dan Jenaganya untuk mempertahanken bambu kuningi

Tiba2 pengecara itu ayunkan tangan kirinya, tarr. ujung

bambu meledak pecah dan In Tiong Sikpun terjungkal ke belakang, jungkir balik , boberapa kali baru dapat berdiri tegak lagi. Wajahnya merah padam tetapi pada lain saat ia tenang kembali.

"Seumur hidup baru pertama kali ini aku mengalami peristiwa begini, "katanya," ah, memang aku harus dapat menarik pelajaran dari Sungai Kuning, bahwa ombak sungai yang dibelakang itu seialalu mendampar ombak yang dimuka. Aku sudah tua, sudah seharusnya menyisiri ke samping …."

"Ah, lo-hiapsu tak usah kecewa. Thian-tong kau tetap akan menyambut kedatangan lo-hiapsu dengan penuh kehormatan," kata pengacara itu, "kita kaum tua, pun akan mendapat tempat yang sesuai dalam wadah Thian-tong-kau. Dengan kepandaian dan pengalaman lo-hiapsu, Thian-tong- kau yakin tentu dapat membangun sebuah dunia persilatan yang baru, bebas dari pertumpahan darah dan pembunuhan agar kita dapat hidup tenang dan damai menuju ke tempat tujuan terakhir di thian-tong."

"Terima kasih atas kebaikan budi Thian-tong kau," kata Hong-ho-tiau-soh lu Tiong Sik, "aku udah biasa hidup sebagai tukang cari ikan di Sungai Kuning. Akupun sudah tua pula. Aku ingin menikmati sisa hidupku dengan tenang dan bebas. Aku tak ingin cari nama. Karena apa guna nama itu, bukankah hanya kosong melompong? Aku hanya ingin bebas, ingin menikmati sisa hidupku bersama penghuni2 Sungai Kuning.,,”

"Ah, lo-hiapsu salah," kata pengacara itu, "kita manusia harus melakukan dharma. Hidup itu suatu kewajiban, suatu dharma. Sedetik kita masih bernafas, sedetik itu pula kita harus menunaikan dharma kewajiban itu. Lo-hiapsu ingin bebas, tetapi dunia penuh kekacauan! Lo-hiapsu ingin hidup tenang, tetapi dunia persilatan tetap pergolak. Lo-hiapsu tak ingin cari musuh, tetapi kaum persilatan tak pernah  melupakan lo-hiapsu terutama mereka yang pernah kalah dengan lo-hiapsu. Jika dulu lo-hiapsu menuntut penghidupan sebagai orang biasa. Itu lain soal. Tetapi karena lo-hiap sudah terlanjur berkecimpung dalam dunia persilatan, sukarlah lo- hiapsu untuk keluar. Daripada berdiam diri, lebih baik kita bergerak. Marilah lo-hiapsu, kita jadikan Thian-tong-kau sebuah wadah untuk menenteramkan dunia persilatan."

"Tidak," sahut In Tiong Sik, "aku tetap ingin bebas. Jika ada yang hendak memaksa mengikat kebebasanku, tua sekalipun In Tiong Sik, tetap akan menentangnya sampai tulang2 tua ini hancur lebur."

"Jika demikian silahkan lo-hiapsu melaksanakan peraturan Thian-tong-kau. Jika lo hiapsu dapat mengalahkan salah seorang anakmurid Thian-tong-kau, silahkan lo-hiapsu tinggalkan gunung Thay-san sini dengan bebas."

"Baik." sahut In Tiong Sik, "memang sebelum memperoleh ikan, aku tak mau pulang. Begitulah yang kulakukan selama berpuluh tahun menjadi tukang pancing di Sungai Kuning. Disinipun demikan juga." "Jika demikian, silahkan pilih saja mana engkau yang engkau senangi," seru pengacara.

“Seperti telah kukatakan tadi, aku senang ikan emas merah seperti pakainmu itu," seru In Tiong Sik.

"Hm," dengus pengacara itu. "memang orang yang keras kepala tentu tetap keras kepala... Baiklah, akan kulihat apakah tulang2 lo-hiapsu juga sekeras kepalamu."

"Engkau telah mematahkan bambu kuning yang menyertai aku selama berpuluh tahun, maka engkau harus menggantinya," seru In Tiong Sik seraya bergerak menyerang.

Pengail dari Sungai Kuning itu menyerang dengan tangan kosong. Gayanya aneh sekali. Tidak memukul atau menampar tetapi menutuk. Dan tutukannya itu menggunakan  jari telunjuk dan jari kelingking. Baik tangan kanan maupun tangan kiri juga demikian.

Pengacara terkejut menerima serangan ilmu tutukan jari yang seaneh itu. Sambil berlincahan untuk menghindar dan menampar, ia masih sibuk mempelajari ilmusilat yang dimainkan kawan itu. Belum pernah ia melihat dan mendengar nama ilmusilat semacam itu.

Sekalian tokoh2 dibawah panggungpun tak kurang herannya. Mereka tak mengerti, ilmusilat apa dan aliran manakah yang dimainkan jago tua duri Sungai Kuning itu.

Memang In Tiong Sik telah mengeluarkan ilmusilat ciptaannya sendiri. Berpuluh-puluh- tahun ia duduk di tepi sungai mengail ikan,, dapatlah ia memperhatikan kehidupan binatang2 dalam sungai itu. Diantaranya yang menarik adalah binatang yuyu atau kepiting. Gerak kedua supit kepiting itu merupakan senjata ampuh bagi binatang itu, baik berburu makanan maupun dalam menghadapi lawan yang hendak membunuhnya. Setelah memahami gerak2 binatang itu, mulai ia menuangkan dalam sebuah ciptaan ilmusilat yang disebutnya He-sia-kun aiau ilmusilat Udang-kepiting. Unsur gerakan ilmu silat itu berdasarkan gerakan kepiting dan udang. Sebagai supit maka digunakannya dua buah jari, jari telunjuk dan jari kelingking pada tangan kanan dan tangan kiri.

Mulailah pengacara itu bingung menghadapi serangan yang aneh dan bertubi-tubi dan In Tiong. Sik. Tetapi In Tiong Sik sendiri diam2 juga terkejut mengetahui kesaktian pengacara. Ternyata pengacara itu memiliki tenaga-dalam yang hebat sekali. Dengan kelebihan itu, dia mampu menghalau setiap serangan berbahaya dari lawan.

Pertandingan itu cukup menarik dan amat seru. Sekalian tokoh2 persilatan menikmati suatu adegan pertempuran yang jarang mereka saksikan dalam dunia persilatan. .

Apabila In Tiong Sik dengan ilmusilat ciptaannya itu, menghidangkan suatu permainan yarg mempesonakan adalah pengacara itu dengan tenaga dalamnya yang luar biasa mampu membendungnya.

"Hoa pangcu", tiba2 Ceng Sian suthay berbisik. "kalau menilik kepandaian pengacara itu rasanya sukar dipercaya dia hanya seorang pengacara biasa."

"Benar, suthay" kata Hoa Sin, "memang kepandaiannya patut untuk disejajarkan dengan seorang ketua persiiatan partai."

"Siapa kiranya pengacara itu ?" tanya Ceng Sian suthay.

Hoa Sin menghela napas, "Ah, orang2 Thian tong-kau itu serba misterius. Untuk membongkar rahasia mereka tiada lain jalan kecuali harus dapat menangkapnya". "Ah," Hong Hong tojin mendesah keluhan, "rasanya kekuatan mereka di luar kekuatan kita, kecuali ... "

"Kecuali bagaimana, totiang?" tanya Hoa Sin "Kecuali semua tokoh2 silat yang berada di tempat ini bersatu padu untuk menyerang mereka.” Hoa Sin mengangguk.

"Suatu saran yang bagus tetapi sukar dilaksanakan,” katanya.

"Maksud Hoa pangcu ?"

"Pertama, kita belum tahu apakah sekalian tokoh2 itu mau mendukung ajakan kita. Kedua, adakah andai kita berhasil mempersatukan diri apakah mampu menandingi kekuatan Thian-tong-kau?"

"Ah, dalam perjuangan menentang keburukan tak  harus kita memperhitungkan, untung rugi," desuh Hong Hong tojin.

"Ini menyangkut kepentingan berpuluh bahkan beratus kaum persilatan dan nasib dunia persilatan. Untuk itu, mau tak mau kita harus memperhitungkan untung rugi. Bukan untung rugi karena takut mati tetapi untung rugi untuk menyelamatkan jiwa kaum persilatan dari bencana kehancuran".

"Hoa pangcu", tiba2 Pang To Tik ikut sambung, "adakah kalau kita menyerah pada Thian-tong-kau kita akan selamat dan terhindar dari kehancuran ? Apakah artinya terhindar dari kehancuran apabila kita harus mengenyam perbudakan ? Dan kedua-kalinya, apakah Hoa pangcu sudah yakin bahwa kekuatan dari sekalian tokoh yang berada di tempat ini akan kalah dengan Thian-tong kau. Jika sam-wi setuju, aku bersedia untuk naik panggung dan mengumumkan ajakan kita kepada para hohan dibawah panggung". "Terima kasih, Pang tayhiap" kata Hoa Sin dengan tenang, "memang ingin sekali aku menurut usul dari Hong Hong pangcu agar Thian-tong-kau lenyap. Dan untuk mengumumkan ajakan kepada para tokoh silat yang hadir disini, siapapan tentu dapat. Tetapi yang penting dia harus seorang tokoh yang berwibawa dari partai persilatan yang termasyhur. Dengan begitu baru dapat menggerakkan perhatian mereka. Tentang kekuatan Thian-tong-kau, bukan aku terlalu memuji mereka dan meremehkan kekuatan dari kawan2 kita sendiri tetapi marilah kita melihat kenyataan. Beberapa jago ternama tadi telah naik keatas panggung dan ternyata semua dikalahkan oleh murid Thian-tong-kau. Bahkan tadi. Hong Hong kaucupun telah menyatakan kecurigaannya bahwa pengawal Baju Putih mereka tadi, adalah susiok dan Hong Hong kaucu sendiri yang sudah ber-tahun2 menghilang. Lalu pengawal2 Baju Putih yang lainnya dan Pengawal Baju Merah itu? Siapakah mereka ?"

Bantahan Hoa Sin itu, telah membungkam Hong Hong tojin dan Pang To Tik.

"Kitapun wajib untuk menyelidiki, membongkar rahasia mereka dan menyelamatkan mereka, dari genggaman orang Thian-tong-kau. Untuk hal itulah maka aku mempergunakan perhitungan" kata Pengemis-sakti pula.

“Lalu bagaimana pendapat Hoa pangcu ?" akhirnya Hong Hong tojin mundur selangkah.

"Dalam hal ini kita harus menggunakan siasat." kata Hoa Sin.

"Adakah Hoa pangcu sudah memikirkan siasat itu ?"

Hoa Sin mengangguk. Tiba2 ia hentikan kata-katanya. Terdengar suara hingar dari sekalian hadirin yang memandang keatas panggung. Ternyata. pertempuran diatas panggung telah mengalami perobahan yang mengejutkan.

Walaupun In Tiong Sik tampak masih melakukan tekanan kepada lawan tetapi anehnya, gerakan jago dari Sungai Kuning itu, tampak lambat sekali," seolah seperti orang yang terhalang oleh tekanan tenaga berat.

Sedang pengacara itupun masih tetap mainkan kedua tangannya untuk menampar dan menghalau.

Memang agak membingungkan pertempuran itu. Tetapi bagi mata tokoh2 kelas satu, cepatlah hal itu dapat diketahui. Ternyata tamparan yang dilakukan pengacara itu menimbulkah suatu tenaga dalam yang menyedot tangan orang. Oleh karena In Tiong Sik berusaha untuk membebaskan diri dari tenaga sedotan itu, maka gerakannyapun tampak lamban dan lambat sekali.

Memang tenaga-dalam atau lwekang terdiri dari beberapa jenis. Di antaranya jalah yang dapat digunakan untuk menyedot tenaga Iawan.

In Tiong Sik berusaha keras untuk bertahan tetapi rupanya tenaga-dalam pengacara itu lebih unggul sehingga makin lama gerakan In Tiong Sik makin pelahan dan makin maju merapat pada lawan.

"Lo-hiapsu, mengapa engkau berkeras kepala? Jika kukehendaki, saat ini dapat kuhancurkan tubuhmu," kata pengacara itu dengan ilmu Menyusup-suara, “tetapi Thian- tong-kau bukan bermaksud membunuh melainkan hendak menerima anggauta. Marilah, lo-hiapsu, kita bekerja sama "

Tiba2 terdengar In Tiong Sik memekik keras dan terjungkal ke belakang. Gemparlah sekalian orang. Sesosok tubuh cepat melambung dan loncat keatas panggung. Tetapi pengacara sudah mendahului menyuruh pengawal baju merah untuk mengangkut In Tiong Sik kedalam.

Ternyata orang itu tak mau mengejar melainkan berseru kepada sekalian hadirin dibawah panggung.

“Saudara2 sekalian, marilah kita bersatu padu untuk menghadapi Thian-tong-kau, atau kita akan diperbudak mereka. Lihatlah, nasib dan beberapa tokoh persilatan ternama yang mereka jadikan pengawal Baju putih dan Baju merah itu !"

“Pengawal Merah, ringkuslah orang itu!" teriak pengacara. Dan seorarg pengawal Baju Merah segera menghampiri orang itu.

Ternyata orang itu adalah seorang lelaki berwajah hitam, tubuh gagah. Karena mengenakan pakaian orang persilatan warna hitam, tampaknya seperti setan hitam. Terdengar suara hiruk dari bawah panggung. Bukan suara pernyataan mendukung atau menolak tetapi rasa keheranan karena sebagian besar tak kenal kepadanya.

Pengawal Baju Merah tanpa mengucap apa2 terus menyerang dengan sebuah pukulan dahsyat. Orang hitam itu mencabut ruyung. Begitu ditebarkan ruyung itu menjulur panjang sampai setombak. Ternyata ruyung itu terdiri dari sembilan ruas, terbuat dari pada baja hitam dan dibentuk menurut ukiran seekor naga sembilan tubuh.

"Oh, Kiu-ciat-hek-hong-pian !" seru beberapa jago. silat dibawah panggung," dia tentulah Kui Hok."

Memang benar, jago berkulit hitam yang naik dipanggung dan mengajak semua tokoh silat untuk menggempur Thian- tong kau, bukan lain adalah Kui Hok gelar Kiu-ciat hek-liong- pian atau Ruyung-naga-sembilan ruas. Seorang, pendekar aneh yang tiada tempat tinggal tertentu melainkan mengembara ke mana2.

Hitam sekalipun orangnya tetapi pikiran dan pendiriannya tidak ikut hitam. Dia terkenal sebagai seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan. Ia marah setelah mengetahui sepak terjang orang Thian tong-kau yang hendak memaksa orang menjadi anggauta. Terutama ia marah karena beberapa tokoh silat telah dilukai oleh mereka. Cepat ia loncat naik ke atas panggung, Sesaat In Tiong Sik rubuh. Tetapi ia tak mau mengejar melainkan menggunakan kesempatan  selagi orang2 Thian-tong-kau memperhatikan Ih Tiong Sik, ia terus melancarkan tawarannya kepada sekalian tokoh dibawah panggung. Tetapi karena kebanyakan mereka belum mengenal, maka tawaran itupun tak bersambut sebagaimana yang diharapkan.

Tring, tring .... terdengar iuyung-naga-sembilan ruas itu bergemerincingan diudara untuk menghalau serangan orang dengan menghantam kepalanya. Tetapi pengawal Baju Merah itu tak mau menghindar. Ia mengangkat tangan kiri untuk menangkis ruyung dan tangan kanannya tetap maju memukul.

Kui Hok terkejut sekali karena pengawal Baju Merah itu mampu menangkis hantaman ruyung.

"Celaka, dia memiliki ilmu kebal Thiat-poh-san," keluh Kui Hok dalam hati. Namun karena sudah terlanjur berada diatas panggung tak mau ia mundur lagi.

"Bagus," serunya seraya menarik ruyung lalu ditebarkan ke udara. Dengan bergeliatan laksana seekor naga bercengkeraman di laut, ruyung sembilan ruas itu menyambar dada orang. Tetapi pengawal Baju Merah itu memang lihay sekali. Ia tetap tak mau menghindar dan tetap menangkis dengan tangan kiri. Andai orang, biasa, tulang lengannya pasti akan remuk hancur. Tetapi lengan pengawal Baju Merah tak menderita cedera apa.

Kui Hok cepat menghindar ke samping, tanpa menarik pulang ruyung. ia gentakkan ruyurg dengan lain jurus. Kali ini mengarah lambung orang.

"Hm " pengawal Baju Merah mendengus tetapi tak berkata apa2 lagi. Ia melindungi lambung dengan tangan kiri lalu tangan kanan tiba2 mencengkeram dada lawan.

Kui Hok terkejut melihat cara bertempur yang aneh dan nekad dari pengawal Baju Merah itu. Dengan penasaran ia tebarkan ruyung untuk menghalau cengkeraman orang.

Tetapi ternyata getak mencengkeram itu hanya gertak kosong. Yang sungguh adalah tendangan yang dilancarkan dengan kaki kanan. Tendangan itu mengarah siku lengan Kui Hok.

Kui Hok terkejut. Jika ia tetap memperlahankan ruyung, lengan tangannya tentu akan patah. Tetapi kalau melepaskan, berarti ia kehilangan senjata yang paling diandalkan.

Tetapi cepat ia dapat menemukan siasat. Ruyung dilepas dan ia menyurut mundur dua langkah. Secepat cengkeraman tangan lawan luput, ia segera maju dan gentakkan ruyung kebawah untuk menghantam kepala pengaval.

Pengawal Baju merahpun menyingkir ke samping lalu terjangkan pukulan lagi. Demikian serang menyerang itu dilakukan dengan cepat dan dahsyat dalam jurus2 ilmusilat yang tinggi dan mematikan. Pertempuran berjalan seru. Kui Hok penasaran. Cepat ia merobah jurus serangan dengan Heng-soh-cian-kun atau Menyapu seribu-lasykar. Ruyung menderu-deru naik turun, membabat kaki menyambar kepala.

Pengawal Baju Merah tetap melayani dengan tangan kosong. Sembari melepaskan pukulan, ia bergeliatan menghindar dengan suatu gerakan yang luar biasa.

Gagal menyerang dengan jurus itu, kembali Kuil Hok. mengganti dengan ilmu Ruyung-sembilan naga. Ruyung bergerak-gerak secepat angin, bertebaran menyerang dari empat penjuru. Sepintas pandang pengawal Baju Merah itu seperti dikelilingi oleh pagutan sembilan naga hitam.

Terkejut sekali tokoh persilatan menyaksikan permainan ruyung dari jago bermuka hitam itu. Mereka tak pernah melihat ilmu permainan ruyung semacam itu. Dan belum lagi kejut mereka hilang terdengarlah suara suitan tajam yang berhamburan meringkik-ringkik memekakkan telinga.

Ternyata yang memancarkan suara aneh itu adalah ruyung Nagu-hitam itu juga. Kui Hok telah menumpahkan seluruh kepandaiannya untuk menghancurkan lawan, ia tahu bahwa pengawal Baju Merah itu memiliki ilmu kebal maka diserangnyalah bagian jalandarah yang lemah.

Sekonyong konyong terdengar letupan pelahan. Serentak dari sembilan naga itupun menimbulkan beratus jarum ke arah tubuh pengawal Baju Merah.

"Uh .... pengawal Baju Merah itu mendesuh kaget dau terhuyung-huyung beberapa langkah kebelakang. Dari sekian ratus jarum, ada beberapa yang berhasil menyusup ke pusarnya. Jarum itu mengandung racun ganas. Betapapun sakti pengawal itu tetapi karena pusar merupakan tempat pemusatan tenaga-dalam maka hancurlah tenaga-dalamnya dan serentak dengan itu ilmu kebal Thiat-poh-sanpun lenyap.

Melihat berhasil merubuhkan lawan, Kui Hok loncat pula untuk menyelesaikan. Ia gemas dengan Thian-tong-kau, ia marah dengan setiap anakbuah perkumpulan itu. Beberapa tokoh persilatan telah dilukai, ia harus menuntut balas.

Saat itu pengawal Baju Merah sedang berdiri tegak dan pejamkan mata. Bagaimana wajahnya tak dapat terlihat karena tertutup kain cadar. Tetapi jelas dia sedang menjalankan pernapasan untuk menghalau racun dari jarum itu.

"Mampus engkau !" serta tiba, Kui Hok segera ayunkan ruyung menghantam kepala orang itu.

Prak ..... terdengar dua buah jeritan ngeri. Dua sosok tubuhnya rubuh. Hantaman ruyung Kui tepat mengenai batok kepala pengawal Baju Merah itu sehingga pecah. Tetapi sebelumnya, pengawal Baju Merah itupun sudah mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk menghantam dada Kui Hok. Kui Hok terhuyung-huyung mundur, muntah darah beberapa kali dan terus rubuh tak bangun untuk selama lamanya. Keduanya telah sama2 mati.

Peristiwa itu mengoncangkan seluruh tokoh2 yang hadir. Kembali seorang pendekar ternama dalam dunia telah mati. Tetapi merekapun diam2 terhibur karena Thian-tong-kau juga kehilangan seorang pengawal.

Kematian Kui Hok ternyata tak sia2. Melihat keperwiraan orangnya, sekalian tokoh pun segera teringat akan ajakannya tadi. Mereka malu hati kalau tak mati menerima tawaran itu. Lepas dari pengetahuan siapakah Kui Hok itu, tetapi tindakannya ternyata merupakan langkah dari seorang pendekar besar. Serentak bangkitlah hati nurani mereka. Berhamburan mereka segera loncat keatas panggung. Jumlahnya tak kurang dari tujuh orang "

"Saudara2, mari kita ikuti jejak mendiang Kui tayhiap tadi. Lebth baik binasa daripada menjadi budak Thian-tong-kau!" seru ketujuh orang.

Memang sebagian besar dari hadirin masih ragu2. Mereka tahu akan kekuatan diri dan kekuatan lawan. Thian-tong-kau memang mempunyai sejumlah besar anakbuah yang sakti.

"Hong Hong kaucu," kata Pang To Tik, "saran kaucu telah didahului oleh Kui Hok. Apakah kita tetap berpeluk tangan ?"

Hong Hong tojin memberingas.

"Harap jiwi jangan bertindak sembarangan, tiba2 Ceng Sian suthay berseru mencegah, "soal ini menyangkut nasib kaum persilatan dan merupakan mati hidupnya dunia persilatan. Bukan soal berani atau takut dan lain2, tetapi yang kita hadapi saat ini memang benar2 suatu masalah besar dan gawat. Kalau kita memburu nafsu, menuruti panasnya hati, dunia persilatan tentu hancur …. "

Berhenti sejenak Ceng Sian suthay melanjutkan pula : "Menurut wawasanku, jelas barisan pengawal Baju Putih dan Baju Merah itu tentu tokoh2 angkatan cianpwe yang telah menghilang sejak beberapa tahun. Kesaktian mereka diatas kita. Dengan menggunakan jalan keroyokan mengerahkah semua tokoh2 yang hadir disini, hanya akan menimbulkan banjir darah dan korban yang sia2."

"Adakah suthay bermaksud hendak mengajak kita menyerah dan masuk menjadi anakbuah Thian tong-kau ?" tanya Pang To Tik. "Hanya ada dua jalan, melawan atau menyerah, mati atau hidup. Melawan, kita mati. Menyerah, kita hidup," jawab ketua Kun-lun-pay itu, "menghadapi suatu perkumpulan yang telah tersusun rapi dan berkekuatan hebat seperti Thian-tong- kau, lebih baik, jangan menggunakan kekerasan. Tetapi siasat".

"Menyerah ?" Pang To Tik menegas. "Ya" sahut Ceng Sian suthay, "karena dengan jalan itu, dapatlah kita mengetahui seluk beluk, keadaan dan kekuatan Thian-tong-kau. Pengetahuan itu kita jadikan pegangan untuk menghancurkan mereka dari dalam."

"Ah, suthay," bantah Pang To Tik, "dunia persilatan mengakui dan memandang kita bertujuh partai persilatan sebagai pemuka2 kaum persilatan. Saat ini mereka menanti tindakan kita. Jika dalam saat2 yang segawat ini kita menyerah, bukankah mereka akan hilang kepercayaan kepada kita ? Bukankah untuk selama-lamanya ketujuh partai persilatan itu akan kehilangan muka? Melawan, memang mati. Tetapi kematian itu tetap akan mengharumkan nama ketujuh partai."

"Baik buruk, mulia hina, disanjung- dicelah, memang sudah jamak dalam kehidupan manusia. Tetapi apa guna mati disanjung tanpa menolong-keadaan, dengan hidup dicelah tetapi dapat menyelamatkan dunia persilatan ? Dan segala kekecewaan dan celahan itu tentu kelak akan hapus apabila kita berhasil menghancurkan mereka dari dalam. Kita menyerah bukan suatu penyerahan yang bulat tetapi hanya suatu siasat. Adakah penyerahan itu suatu hal yang memalukan?”, balas Ceng Sian suthay.

"Dalam permufakatan di Giok-ti-nia tempo hari, kitapun sudah mengadakan persiapan. Antara lain menulis semua ilmu kepandaian masing2 dalam buku dan kelak buku itu akan diberikan kepada anakmurid kita masing2, "katanya." dengan tindakan itu berarti kita sudah bersiap mati."

"Itulah Hoa pangcu," seru Pang To Tik "dengan demikian kita sudah membulatkan tekad untuk melawan Thian-tong- kau."

"Tetapi," kata Hoa Sin pula, "keputusan kita itu adalah untuk menjaga kemungkinan dari segala kemungkinan yang paling buruk. Artinya, apabila benar2 sudah tak ada jalan, dimana kita harus mengadu jiwa dan mati. Sudah tentu dengan sendirinya, hal itu mengandung arti, bahwa kita wajib berusaha untuk menghadapi peristiwa ini dengan cara yang sebaik-baiknya, agar kita jangan sampai menderita dan musuh dapat dihancurkan."

“Hoa Sin melirik sejenak. Dilihatnya Ceng Sian suthay. tenang2 saja.

"Dari berbagai macam cara, kita boleh menempuh. Yang penting kita dapat menghancurkan musuh tanpa menderita suatu kerugian apa2. Dalam hal itu, apabila kita mengadu kekerasan, jelas, Thian-tong-kau lebih kuat. Mereka menang, kita kalah. Oleh karena itu, baiklah kita mengambil jalan lunak, menggunakan siasat." .

"Menyerah ? * tanya Pang To Tik.

"Menyerah secara betul2, hina bagi Kay-pang" sahut Hoa Sin dengan tegas, "tetapi kalau penyerahan itu bersifat siasat, Hoa Sin setuju."

Pembicaraan mereka terputus karena suara teriakan hiruk- pikuk dari para tokoh2 persilatan.

Ternyata saat itu diatas panggung telah berlangsung pertempuran yang seru. Sedangkan tokoh2 dibawah panggung masih sibuk berbincang-bincang untuk menentukan keputusan ikut mendukung ketujuh orang yang naik di panggung atau tidak. Sampai pertempuran dipanggung pecah, masih mereka belum mengambil keputusan.

Ternyata ketujuh orang yang naik panggung itu adalah Shoa-tang Sam hiap atau Tiga-jago dari Shoatang, Tan Hwa, Tan Hong dan Tan tim.

Ho lam-ji-koay atau Sepasang manusia aneh dari Ho-Iam yani Utti Siang dan Uiti Ho. Serta ketua Kiro-coa-pang yang bernama Pui Tik dan Im Yang cinjin dari Lembah Im-yang-kok atau Lembah Ban ci, guha Cui-im-tong.

Ketujuh tokoh itu tak dapat menahan kemarahannya lagi ketika melihat pembunuhan yang terjadi pada diri Kiu-ciat- hek-liong-pian Kui Hok.

Mereka terus hendak menerjang untuk menyerang Kim Thian-cohg yang selama itu masih tetap duduk tenang di kursi. Tetapi cepat mereka segera dihambat oleh kawanan bocah Baju Kuning dan Baju Biru.

Rupanya pengacara mulai naik pitam. Jika tak lekas2 ditindas tentu akan menimbulkan akibat yang lebih luas. Kemungkinan seluruh tokoh di bawah panggung akan ikut naik panggung untuk bertempur. Maka ia segera memberi  lambaian tangan kepada barisan gadis cantik Baju Merah dan Baju Hijau.

Saat itu ketujuh jago silat telah diserbu dan dikepung oleh duabelas gadis baju Kuning, duabelas gadis baju Hijau, enam bocah baju merah dan enam bocah baju biru, atau tigapuluh enam anak-murid Thian-tong-kau.

Rupanya fihak Thian-tong kau hendak cepat2 mengakiri pertempuran itu. Pengacarapun lalu memberi isyarat kepada barisan pengawal baju Putih dan pengawal baju Merah untuk berjajar di muka panggung. Setiap orang melayang ke atas penggung, supaya segera dihancurkan.

Kembali pengacara bersuit nyaring. Sekalian orang tak tahu apa yang dimaksudkan orang itu.

Beberapa jenak kemudian terdengar pengacara berseru nyaring: "Thian- tong-kau telah menyambut dengan hormat kedatangan saudara2 sekalian di gunung Thay-san ini. Tetapi ternyata saudara2 bukan bersikap sungkan sebagai tetamu, kebalikannya malah mengacau dan hendak membatalkan upacara ini. Maka terpaksa kaucu kami telah menitahkan supaya mengambil tindakan keras. Sekarang saudara2 tinggal memilih, mau masuk menjadi anggauta atau dihancurkan. Lihatlah, sekeliling penjuru tempat ini telah dijaga ketat oleh anakbuah Thian-tong-kau: Secepat menerima perintah mereka segera akan bergerak. Hujan panah, hujan batu, hujan balok dan jika perlu tempat saudara2 itu akan diledakkan!"

Terkejut sekalian hadirin mendengar pernyataan itu. Mereka memandang sekeliling dan memang melihat berpuluh anakbuah Thian-tong-kau telah mengepung disekeiiling puncak karang yang melingkupi tempat pertemuan itu. Ternyata tempat pertemuan itu merupakan sebuah lembah yang empat penjuru dikelilingi dinding karang yang tinggi. Dari sepanjang puncak karang itu, anakbuah Thian-tong-kau memang dapat melepaskan hujan anak panah, menggelundungkan batu dan balok.

Berpaling ke belakang, ternyata mulut lembah pun telah dijaga oleh puluhan anakbuah Thian-tong-kau. Dengan begitu jelas mereka telah terkurung dalam lembah. Hanya ada dua pilihan bagi mereka. Mau menjadi anggauta Thian-tong-kau atau dihancurkan. Hoa Sin menghela napas : "Dengan keadaan yang kita hadapi saat ini, terlambatlah untuk melaksanakan saran Hong Hong totiang dan Pangtay hiap tadi. Sekalipun kita dapat mempersatukan para hohan disini, tetapi keadaan kita ibarat ikan dalam jaring ... "

"Tidak, Hoa pangcu " bantah Pang To Tik, "Aku masih mempunyai akal".

"Bagaimana maksud Pang tayhiap ?" tanya Hoa Sin. "Menangkap penjahat harus menangkap kepalanya", kata

Pang To Tik.

"Oh, maksud Pang tayhiap ... "

"Harap Hoa pangcu tunggu saja", kata Pang To Tik tanpa menjelaskan lebih lanjut rencana terus menyelinap pergi.

"Pang tayhiap" seru Hoa Sin hendak memburu. Tetapi Pang To Tik sudah melesat menghilang diantara kerumun orang.

Hoa Sin terpaksa hentikan langkah dan kembali kepada kedua rekannya.

"Aneh apakah yang hendak dilakukan Pang tayhiap ?" tanyanya.

"Kemungkinan dia hendak menyergap ke dalam markas Thian-tong-kau untuk membekuk ketuanya" kata Hong Hong tojin.

"Berbahaya" seru Hoa Sin, "sedangkan anak buah mereka saja sudah begitu sakti, apalagi ketuanya. Dan mengapa Pang tayhiap harus bekerja seorang diri ?"

"Ya," sahut Hong Hong tojin "aneh juga tindakannya. Atau

... apakah ia hendak menunjukkan kegagahan dan menonjolkan kesaktiannya ?" Tiba2 Ceng Sian suthay yang berdiam di menyelutuk ; "Kurasa tak begitu, tentu ada lain maksud mengapa ia  bekerja seorang diri"

"Apakah maksudnya?,” tanya Hong Hong tojin.

"Kita tunggu saja nanti" kata Ceng Sian suthay, "karena sebelum terbukti, tak baik kita menduga yang buruk kepada orang. Yang penting ia harus siap sedia menghadapi segala kemungkinan".

Teringat bahwa selama ini Ceng Sian suthay agak menaruh kecurigaan terhadap gerak gerik Pang To Tik, maka Hoa Sinpun merangkaikan tindakan Pang. To Tik sekarang ini dengan prasangka Ceng Sian suthay. Diam2 timbul pertanyaan dalam hati ketua Kay Pang itu : "Adakah Pang To Tik akan melakukan sesuatu yang merugikan tokoh2 persilatan ? Adakah ia itu anggauta Thian-tong-kau ?"

"Lalu bagaimana tindakan kita sekarang ?" tiba2 Hong Hong tojin bertanya.

"Kita sudah seperti ikan dalam jaring," kata Ceng Sian suthay, "tiada lain jalan kecuali hanya menunggu saja apa yang akan terjadi".

"Tetapi ingat" Hoa Sin menambahkan, "betapa pun yang akan terjadi, kita harus tetap berpijak pada landasan semula. Andai kita harus menyerah maka penyerahan itu harus  sebagai jalan untuk menyelidiki keadaanThian-tong-kau dan setelah itu kita mencari kesempatan untuk menghancurkannya"

"Dan kalau perlu, kitapun harus berani menempur mereka sampai titik darah yang penghabisan, bukan ?" ulang Hong Hong tojin. Ceng Sian suthay dan Hoa Sin mengangguk dalam2 sebagai pernyataan siap untuk menghadapi apa saja, bahkan mati sekalipun.

Bintang penyelamat

Peristiwa didunia memang aneh dan sukar di duga-duga. Apa yang tak diharapkan sering muncul. Apa yang diduga berbahaya ternyata telah berlalu tanpa suatu apa. Apa yang dianggap aman, ternya ta berbahaya.

Terutama dalam dunia persilatan dimana ilmusilat dengan segala kesaktian yang tak pernah diduga orang, sering menimbulkan peristiwa yang aneh.

Seperti apa yang terjadi di panggung pertemuan Thay-san, dimana saat itu tokoh2 persilatan, sedang menghadapi tekanan yang berat dari Thian tong-kau. Mereka harus menyerah masuk menjadi anggauta Thian-tong-kau atau dibinasakan. Pada saat sekalian orang kehilangan pegangan dan kepercayaan, dimana pada saat ketujuh tokoh silat yang naik panggung tadi telah dirubuhkan dan ditawan, dimana pada saat itu upacara sembahyang menyatakan masuk menjadi anggauta Thian-tong-kau, sudah dimulai, dan dimana berpuluh tokoh2 silat sudah melakukan upacara sembahyang masuk menjadi anggauta, tiba2 muncullah suatu peristiwa yang tak diduga-duga.

Sekonyong-konyong barisan anakbuah Thian-tong kau yang menjaga mulut lembah, hiruk pikuk tak keruan. Mereka berteriak berteriak kacau. Sebagian bahkan telah rubuh.

Tak berselang berapa lama, bobol lah pertahanan barisan itu dan muncullah seorang pemuda, yang aneh. Kepalanya gundul tidak gundul karena kalau- gundul tentu polos semua tetapi pada kedua samping kepala pemuda itu tumbuh dua gumpal rambut yang panjang dan diikat, menjungkit keatas. Sepintas pandang menyerupai sepasang tanduk.

Juga pakaiannya agak nyentrik. Terutama wajahnya, menampilkan sebuah wajah yang cakap tetapi hampa seperti orang tolol. Dengan sikap seperti orang kesima pemuda itu menerjang masuk. Berpuluh-puluh anakbuah Thian-tong-kau coba menahannya dengan pukulan ataupun bahkan dengan senjata tajam, Tetapi kesemuanya itu dapat dihalau dan diterjangnya.

Pemuda itu dengan suatu gaya gerakan yang lincah dan mengherankan dapat menghindari setiap serangan, bahkan setiap kali ayunkan tangan dan kaki, tentu ada musuh yang rubuh.

Karena barisan anakbuah Thian-tong-kau itu tetap berkeras hendak menghalangi, pemuda itu tampaknya marah. Ia menyambar seorang anakbuah Thian-tong-kau, diangkat lalu diputar-putar untuk menghantam barisan. Barisan gempar seketika, mereka berhamburan bubar.

Setelah berhasil membobolkan barisan anak buah Thian- tong-kau, pemuda itu terus langsung menuju ke panggung. Santai sekali gaya jalannya, seolah-olah tempat pertemuan yang berisi dengan beratus-ratus jago silat itu dianggapnya sepi saja.

Upacara sembahayangan menjelang selesai dimana sebagian besar dari tokoh2 yang hadir telah menusuk tangan, mengucurkan darah dan melakukan pernyataan masuk menjadi anggauta. Selanjutnya mereka telah disuruh berbaris berjajar-jajar untuk menghaturkan hormat kepada Kim Thian Cong pemimpin Thian-tong-kau. Kemunculan pemuda aneh itu, sempat pula diperhatikan oleh mereka. Seketika beratus-ratus mata mencurah kepada pemuda itu.

Pengacara yang hendak memimpin upacara menghadap kaucu, sempat pula memperhatikan pemuda itu.

"Tunggu dulu," serunya, "rupanya ada seorang pemuda yang hendak mengacau tempat ini."

Ia terus melangkah ke muka panggung dan berseru : "Hai, engkau, siapa dan tapa maksudmu datang kemari ?"

"Bukankah tempat ini menjadi orang dari perkumpulan Thian- tong-kau ? Bukankah pemimpin nya bernama Kim Thian Cong?" seru pemuda itu.

Pengacara itu terkejut.

"Engkau siapa ?" seru pengacara pula.

"Engkau tahu apa tidak, aku siapa ?" balas pemuda itu. Pengacara makin bingung.

"Aku tanya siapakah namamu ?" serunya. "Engkau siapa ?" tiba2 pemuda itu balas bertanya.

Sudah tentu pengacara makin terbeliak. Pada lain saat ia marah ; “Hai budak giia, jangan engkau gila-gilaan ditempat ini. Kalau tak mau mengatakan dirimu siapa, tentu akan kusuruh menghajarmu.”

"O," dengus pemuda itu, "siapa yang engkau suruh menghajar aku ? Tuh lihatlah, betapa tiada gunanya anakbuahmu. Masakan aku hendak masuk, mereka berani menghalangi. Dan akhirnya mereka harus bubar sendiri." "Engkau yang menghajar mereka?,” pengacara mulai terkejut.

"Kalau bukan aku, siapa lagi ?"

Pengacara segera menarik kesimpulan bahwa pemuda yang tampaknya tolol itu tentu memiliki ilmu kepandaian sakti. Kalau tidak masakan dia mampu menerobos pertahanan anakbuah Thian-tong-kau yang menjaga mulut lembah.

"Sekali lagi kutanya, siapakah namamu dan apa keperluan datang kemari ?"

Sahut pemuda itu dengan santai: "Kudengar digunung Thaysan sini sedang dilangsungkan pertempuran besar dari kaum persilatan guna meresmikan beidiri sebuah perkumpulan baru yang bernama Thian-tong-kau, benaikah itu ?"

"Ya" sahut pengacara ringkas.

"Dan katanya, pemimpin dan Thian-tong-kau itu bernama Kim Thian Cong, benarkah itu ?"

"Benar."

"Nah, aku kepingin bertemu dengan Kim Thian Cong itu," seru pemuda itu pula.

"Mengapa ?"

"Akan kulihat bagaimana tampang mukanya. Kalau sudah hendak ditantang berkelahi."

"Mengapa ? *

"Karena dia adalah ayahku. "

"Hai ! teriak pengacara itu, "engkau putera Kim kaucu ? Gila! Tidak mungkin! Masakan Kim kau cu yang cakap dan berilmu sakti mempunyai seorang anak yang macamnya seperti kura2 begitu!*

"Huh," dengus pemuda itu, “jangan kira dia mudah mengaku aku sebagai puteranya. Dan belum tentu, aku mau mengaku dia sebagai ayah. Aku harus menguji dulu kesaktiannya. Kalau dia dapat mengalahkan aku, baru aku menjadi puteranya. Kata orang, ayahku dulu adalah seorang jago nomor satu yaug menjadi pemimpin dunia persilatan. Benarkah itu ?

"Ya," kata pengacara, "memang Kim kaucu seorang jago silat tanpa tanding dalam dunia persilatan. Dan sekarang dia mendirikan perkumpulan Thian -tong-kau untuk mempersatukan kaum persilatan lagi."

"Gila !" tiba2 pemuda itu berteriak. "Mengapa ?" pengacara tercengang.

"Dulu ia sudah dianggap sebagai pemimpin dunia persilatan, perlu apa ia harus membentuk perkumpulan baru lagi ?"

"O, engkau tak tahu" kata pengacara itu, "dulu memang diangkat sebagai pemimpin dunia persiIatan tetapi kini kaucu tak mempunyai perkumpulan atau partai persilatan. Sekarang Kim kaucu hendak membentuk sebuah perkumpulan untuk wadah semua kaum persilatan." 

"Engkau ini siapa" tiba2 pemuda itu menegur.

"Aku pengacara yang memimpin upacara sembahyangan pemasukan anggauta dan meresmikan berdirinya Thian-tong- kau"

"Namamu ? Bukankah engkau mempunyai nama ?" tanya pemuda itu pula. Pengacara tertegun kemudian gelengkan kepala.

"Tak usah pakai nama, cukup sebut aku sebagai pengacara saja."

"Aneh. kiranya bukan melainkan hanya aku seorang diri yang tak punya nama," pemuda itu garuk2 gundulnya, "ada lain orang lagi yang juga tak punya nama."

"O, engkau tak punya nama?" teriak pengacara itu. "Ya"

"Lalu bagaimana hendak memanggilmu ?" "Anak, begitu saja. Atau panggil saja Bloon.

"Bloon ?" teriak pengacara itu, "gila, engkau memang sengaja hendak memperolok olok aku. Bocah baju Merah, gebuklah pemuda liar itu !"

Seorang bocah dari barisan Baju Merah segera tampil maju. Tetapi ketika ia hendak melayang turun ke bawah panggung, tiba2 terdengar suara orang berseru : "Hai, bocah, berhenti dulu"

Bocah itu terkejut dan berpaling. Demikian pula dengan pengacara dan sekalian tokoh2 yang berada, diatas panggung. Mereka terkejut bukan kepalang ketika melihat seorang lelaki berpakaian indah muncul dari dalam panggung. Kejut sekalian orang bukan karena kemunculan seorang lelaki yang secara tiba2 itu tetapi karena lelaki yang muncul itu pakaian dan wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan si pengacara tadi.

Sudah tentu bocah baju Merah itu tertegun.

“Kurang ajar, mengapa ergkau berhenti dan segera melakukan perintahkan,” sesaat kemudian pengacara itu membentak si bocah baju Merah. pengacara itu tahu bahwa pemuda aneh yang muncul di bawah panggung memiliki kepandaian sakti. Demikian pula lelaki yang muncul dari dalam panggung itu, ia duga tentu seorang tokoh yang misterius dan sakti. Maka ia suruh bocah baju Merah itu yang menahan pemuda di bawah panggung, sedang ia sendiri akan menghadapi orang yang memalsu seperti dirinya.

"Setan, engkau berani melanggar perintahku" teriak orang aneh itu.

Bocah baju Merah tertegun meragu. Perintah siapakah yang harus ia turut ? Keduanya mirip satu sama lain, sukar dibedakan mana pengacara yang tulen mana yang palsu.

"Bocah baju merah, apakah engkau benar2 tak mau mendengar perintah?" teriak pengacara dengan nada bengis dan terus mengangkat tangannya keatas kepala.

Bocah baju Merah itupun terkejut. Ia tahu bagaimana kedahsyatan tangan pengacara. Tetapi baru ia hendak bergerak, tiba2 lelaki yang mirip pengacara tadipun membentak.

"Awas, kalau engkau berani melanggar perintahku," katanya seraya juga mengangkat tangan ke atas siap hendak ditamparkan. "tak perlu engkau turun. Biar ia naik ke atas panggung baru nanti dihancurkan"

"Bocah baju merah, apakah engkau benar2 tak mau mendengar perintahku ?" teriak pengacara yang tulen.

"Tetapi ... tetapi in-su yang itu melarang ! Lalu aku harus menurut perintah siapa ? karena terdesak bocah baju merah itu berseru. Gi-su artinya pengacara. Blum ..... tiba2 pengacara itu ayunkan tangannya dan  bocah baju Merahpun terlempar sampai beberapa meter dan muntah darah beberapa kali.

"Kejam sekali engkau !" teriak orang yang muncul dari balik panggung tadi. Kemudian dengan cepat orang itu berpaling dan memberi perintah ke pada barisan bocah baju Merah, "kawan kalian telah terluka, hayo seranglah orang itu !"

Kawanan bocah baju Merah itu benar2 bingung. Memang orang yang muncul dari balik panggung itu menyerupai sekali dengan pengacara tadi. Karena suasana tegang, mereka sampai tak sempat berpikir bahwa pengacara yang sejak tadi berada di depan panggung itulah yang seharusnya dianggap yang tulen. Sedangkan orang yang muncul dari balik panggung, walaupun wajah dan pakaiannya persis, tetapi harus dicurigai.

"Hai, kalian", teriak orang itu pula, "mengapa kalian diam dan masih bersangsi? Apakah kalian tak memiliki rasa setia- kawan ? Bukankah anak itu juga saudara seperguruanmu sendiri ? Hayo, lekas, balaslah orang itu !"

"Hai, jahanam, besar sekali nyalimu berani menyaru seperti diriku !" pengacara dengan mata membara memandang dan memaki orang itu, "siapa engkau !"

"Aku adalah pengacara yang diberi tugas Kim caucu untuk memimpin upacara ini!" seru orang itu, "engkau telah memalsu diriku dan berkomplot untuk mencelakai diriku."

"Ngaco !" bentak pengacara itu."

"Hai, dengarkanlah semua anakbuah Thian-tong kau !" seru orang itu pula, "dalam ,tubuh Thian-tong kau telah muncul seorang pengacau yang hendak mengobrak-abrik dan menggagalkan upacara peresmian perkumpulan kita. Dia meracuni aku dan menyaru aku sebagai pengacara supaya upacara ini gagal. Dia tentu tak mengira kalau aku masih hidup. Hayo, anakbuah Thian-tong-kau, jika engkau benar2 setia kepada Thian-tong-kau, tangkaplah penghianat itu !.”

Timbul kegemparan di atas panggung. Sekalian anakhuah Thian-thong-kau, kecuali barisan Baju Merah dan Baju Putih yang tetap diam saja, barisan gadis cantik dan barisan bocah tampak berbisik diantara kawan-kawannya.

"Bangsat, engkau berani, mati sekali!" pengacara itu marah dan terus menghantam orang yang menyaru sebagai dirinya itu. Bum.....

Orang itu tergopoh lari ketempat barisan gadis cantik dan pukulan pengacara itu hanya mengenai tempat kosong. Sekalipun begitu, tanah dibawah panggung yang jaraknya beberapa belas tombak, seperti tertimpah batu besar, meletuk dan menghamburkan pasir dan batu keatas.

Biat-gong ciang atau pukulan Pembelah-angkasa yang dilepaskan pengacara itu, hebatnya bukan kepalang.

"Cong- thancu." kata salah seorang gadis- baju Hijau "jika pengacara itu palsu, mengapa than-cu tak berani menghajarnya ?"

Rupanya gadis itu tersadar akan keadaan yang dihadapannya. Cong-thancu atau Kepala dari thancu (bagian2), seorang tokoh yang sakti kepandaiannya. Ia heran mengapa cong-thancu tak berani menghadapi pengacara itu.

"Ah, engkau tak tahu," gumam orang yang dipanggil cong- thancu itu, "racun yang diberikan kepadaku telah menghancurkan tenaga-dalamku" "Ih"; gadis baju Hijau mendesih kejut. Ia dapat" menerima alasan itu dan seketika berseru, "tetapi sejak tadi dialah yang memimpin upacara dan kaucu pun" merestuinya. Sedang engkau baru saja ... muncul, sukar bagi kami untuk mempercayai keteranganmu".

"Sekarang tiada waktu untuk menjelaskan hal itu. Pokoknya, aku telah diracuni oleh penghianat itu hingga tenaga-dalamku lenyap. Dia hendak, memimpin upacara untuk mengacaukannya. Soal kaucu merestui, itulah karena kaucu tak dapat membedakan antara yang tulen dan yang palsu."

"Lalu bagaimana kehendak cong-thancu ?" tanya gadis itu pula.

"Tangkaplah penghianat itu." seru orang itu. Barisan gadis itu berunding. Tiba2 pengacara berteriak : "Hai. barisan Bi- jin-kun, ringkuslah penghianat itu !"

Bi-jin-kun atau barisan wanita cantik yang terdiri dari gadis2 Baju Kuning dan Baju Hijau itu terbeliak. Mereka bingung bagaimana harus bertindak. Orang yang muncul dari balik panggung itu memang seperti pinang dibelah dua, apabila keduanya dijajar, memang sukar untuk membedakan mana yang aseli mana yang palsu. Juga alasan orang itu dapat diterima.

"Cong-thancu, harap suka memberi ampun kepada kami", seru salah seorang gadis baju Hijau, "urusan ini benar2 membingungkan kami. Maka kami mohon sukalah cong- thancu bersabar dulu dan kita ajukan persoalan itu kehadapan kaucu...Bagai mana nanti keputusan kaucu, tentu akan kami lak sanakan.”

"Gila !" pengacara itu memaki, "engkau lebih-percaya ia  dari aku ?" "Maaf, cong-thancu, kami benar2 bingung," kata gadis itu pula.

"Tangkap dan geledah orang itu engkau tentu dapat membuktikan palsu atau tidaknya" seru pengacara.

"Jangan percaya kepadanya," kata orang itu, "bawalah aku kepada kaucu, biar kaucu yang memuluskan persoalan ini"

Cepat barisan gadis itu mengerumuni orang itu lalu mengawalnya hendak dihadapkan kepada Kim Thian Cong yang walaupun tahu ramai2 itu anehnya masih tetap diam saja.

Tiba2 pengacara itu mengacungkan tangan keatas dan bersuit nyaring. Pengawal Baju Merah dan Baju Putih serempak menghadang jalan rombongan berisan gadis2 itu.

"Kami hendak mengantar cong thancu kehadapan kaucu," kata salah seorang gadis. Tetapi Pengawal Baju Merah dan Baju Putih diam saja. Pun mereka juga tak mau menyingkir.

Setelah menerangkan maksudnya gadis itu terus hendak melangkah maju tetapi tiba2 salah seorang Pengawal Baju Putih yang didepan sendiri, menamparkan tangannya. Wut.....

Gadis itu melengking kaget dan cepat loncat mundur. Gelombang angin yang dipancarkan tamparan orang Buju Putih itu tajam dan keras sekali. Ia tahu kalau tak mungkin mampu menandingi dan andaikata hendak adu kekerasan pun tak berguna. Karena barisan2 pengawal baik yang baju putih maupun yang merah memang tokoh2 silat yang lebih sakti  dari mereka.

"Hai, mengapa kalian menghantam kawan sendiri ?" seru gadis itu. Tetapi pengawal Baju Putih itu diam saja. Hanya sorot matanya yang berapi api memancarkan dendam kemarahan.

"Pek sucia." seru gadis itu pula, "jangan salah faham, kami hendak mengantar cong-than-cu kehadapan kaucu."

Barisan pengawal Baju putih itu diam saja. Karena bingung gadis itu berpaling ke arah orang yang mirip pengacara tadi, serunya : "Cong thancu, harap engkau suka memberi perintah kepada Pek sucia supaya memberi jalan".

Orang itu terkesiap, agak bingung Tetapi secepat itu ia tenangkan diri dan menjawab : "Ah, biasanya mereka hanya menurut dengan perintah yang dilancarkan dengan tenaga- dalam sakti. Sekarang karena tenaga-dalamku sudah lenyap, bagaimana aku dapat memberi perintah mereka ?"

Gadis itu terdiam tetapi seorang kawannya cepat melengking : "Cong-thancu, engkau cobalah saja, barangkali ia mau menurut !"

Terpaksa orang itu mengiakan lalu berseru : "Pek-sucia, berilah jalan, aku hendak menghadap kaucu !"

Dalam telinga barisan gadis2 itu, kata2 orang itu dilantangkan dengan nada yang datar, seperti. orang biasa. Tetapi di luar dugaan pengawal2 Baju Putih itu menyingkir ke samping dan kembali kedalam barisannya.

"Hai, mengapa engkau menurut perintahnya" teriak pengacara. Tetapi pengawal itu dan kawan2 nya diam saja. Melihat itu, terkejutlah pengacara itu. Cepat ia mengeluarkan sebuah bungkusan putih dan terus dilontarkan ke arah barisan pengawal itu. Bungkusan itu meletup dan menghamburkan asap tebal. Serentak barisan pengawal itu bergerak maju untuk menghadang jalan rombongan gadis itu.

Kemudian pengacara itupun segera berseru kepada rombongan gadis2: "Hai, budak2 barisan Bi-jin-kun, kenalkah engkau pada benda ini?"

Barisan gadis Baju Kuning dan Baju Hijau memandang ke tangan pengacara yang diacungkan ke arah mereka. Serentak mereka membungkuk tubuh memberi hormat.

"Tecu sekalian mohon maaf, karena tak menurut perintah,” seru mereka.

Ternyata telapak tangan pengacara itu memancar sinar swastika dan tahulah barisan gadis itu apa artinya. ?

"Tangkaplah pengacau itu ?" sesaat kemudian terdengar pengacara berteriak memberi perintah.

Barisan gadis baju Kuning dan Baju Hijau serentak berhamburan hendak menangkap orang itu.

"Hai, jangan kurang ajar kepadaku !" seru orang itu seraya songsongkan tangannya ke muka seperti orang mencegah.

Aneh, seketika barisan gadis itu terhenti gerakannya.

Seolah seperti terpancang oleh dinding yang tak kelihatan.

Sekalian tokoh2 silat yang hadir dibawah panggung termasuk Hoa Sin, Ceng Sian suthay dan Hong Hong tojin saat itu berkumpul diatas panggung. Mereka terpaksa menurut perintah untuk melakukan upacara tusuk tangan, masuk menjadi anggauta Thian-tong-kau.

Apa yang terjadi diatas panggung, mereka pun tahu. Tetapi mereka tak mau bergerak untuk membantu salah satu fihak. Jika membantu orang yang mengaku sebagai pengacara itu, mereka masih sangsi adakah orang itu benar2 berilmu tinggi.. Jika tidak, sia-sialah usaha mereka. Yang dibantu ternyata kalah, yang membantu akan menerima hukuman dari Thian- tong-kau. Pun kalau membantu pada Thian-tong-kau, merekapun segan. Oleh karena itu mereka hanya bersikap diam untuk menunggu apa yang akan terjadi.

Mereka terkejut ketika melihat gerakan orang itu. Entah dengan ilmu apa, tetapi hanya menyongsongkan tangannya kemuka saja, barisan gadis2 cantik yang berkepandaian tinggi itupun terhenti gerakannya.

"Hayo, majulah salah seorang Ang sucia untuk manangkap pengacau itu !" teriak pengacara.

Seorang pengawal Baju Merah segera melangkah maju. Dan tanpa berkata apa2 ia terus menghantam orang itu, desss

,......

Orang itu songsongkan tangannya dan pengawal Baju Merahpun terkejut, tegak terlongong-longong.

Apakah yang terjadi ?

Ternyata Pengawal Baju Merah itu terkejut karena pukulannya yang dilambari dengan tenaga dalam keras, telah lenyap ke dalam sebuah lautan kapas.

Orang itu tertawa.

"Mengapa, Ang sucia ?" serunya, "bukankah engkau menurut perintah seorang penghianat ?"

Pengawal Baju Merah itu diam saja. Ia tengadahkan kepala seperti orang merenung.

"Ang sucia" teriak pengacara pula, "mengapa berhenti.

Hayo, serang terus !" Kembali pengawal Baju Merah itu mulai memberingas. Tiba2 ia meraung keras dan terus loncat menerjang orang itu.

"Hai, engkau tetap berhamba pada penghianat?", seru orang itu seraya, loncat menghindar.

Kembali pengawal Baju Merah itu tertegun. Serangannya yang dilancarkan secepat angin dan sedahsyat halilintar, entah dengan gerak ilmu apa yang dipakai orang itu, ternyata hanya menerpa angin kosong.

Ia tertegun. Sedang barisan gadis2 cantik dan tokoh2 silat yang berada di panggung dan menyaksikan gerakan yang dilakukan orang itu, serempak berteriak kaget dan kagum.

Pengacara itu sendiripun terkesiap menyaksikannya. Namun ia terus memberi perintah lagi kepada seorang pengawal Baju Putih supaya membantu pengawal Haju Merah.

Seorang pengawal Baju Merah cepat loncat maju dan terus menyerang. Melihat itu pengawal Baju Merah tadipun segera ikut menyerang.

Orang itu tak gentar. Ia melayani serangan kedua pengawal Baju Merah dan Baju Putih. Memang ilmu kepandaian kedua pengawal itu bukan olah2 hebatnya. Bukan saja jurus ilmu serangannya aneh dan hebat, pun gerakan tangannya selalu menimbulkan deru angin yang dahsyat... Makin lama makin cepat sehingga orang itu seolah-olah dilingkupi oleh sinar merah dan putih.

Tiba2 terdengar suara mendesuh kejut disusul dengan erang tertahan dari kedua pengawal baju merah serta putih itupun menyurut mundur, beberapa langkah. Mereka mendekap, mukanya. Sekalian orang mengira kalau kedua orang itu tentu menderita luka, tetapi ternyata tidak. Hanya kain penutup muka merekalah, yang robek dan terbuka sehingga wajahnya kelihatan.

"Li lo-cianpwe, tiba2 terdengar salah seorang dari tokoh2 silat itu berteriak kaget ketika melihat wajah pengawal baju merah".

"Suhu…!? kembali terdengar seorang dari rombongan tokoh2 itu berteriak ketika melihat wajah pengawal baju putih.

Seorang lelaki bertubuh tinggi besar serentak loncat maju menghampiri pengawal putih. Tetapi alangkah kejutnya ketika tiba2 pengawal baju putih itu menghantamnya.

“Suhu, aku Go Kwi Lok, murid suhu sendiri !" seru orang itu seraya loncat menghindar. Mengira kalau orang itu sudah mendengar keterangannya, Go Kwi Tok pun maju menghampiri pula. Tetapi kembali pengawal Baju Putih itu menghantam.

Go Kwi Lok benar2 terkejut sekali. Dia adalah, ketua dari Hong-hwa-pang atau perkumpulan Bunga Merah di kotaraja Pakkhia. Jelas ia melihat bahwa wajah dari pengawal baju putih itu adalah suhunya atau ketua Hong-hwa-pang dahulu yang bernama Soh Swi Kiat bergelar Tok-hoa sin-jiu atau Tangan-sakti-bunga-berbisa.. Dia telah menghilang sejak beberapa tahun yang lalu. Karena dicari tak ketemu, terpaksa muridnya yang pertama, Go Kwi Lok menjadi ketua Hong-hwa- pang...

“Suhu yang sudah lama menghilang itu akhirnya diketemukan di panggung Thian-tong-kau. Sudah tentu Go  Kwi Lok gembira sekali.. Tetapi alangkah kejutnya ketika suhunya tak kenal lagi kepadanya bahkan telah menghantamnya.

Kwi-Lak tahu, bagaimana kepandaian suhunya. Pukulannya dapat memancarkan hawa beracun yang berbahaya... Maka ia tak berani menangkis dan hanya menyingkir lagi.

"Siapa engkau !" tegur orang yang menyaru sebagai pengacara lagi.

Setelah Go Kwi Lok memperkenal diri, orang itupun bertanya pula: "Apakah dia benar suhumu?”.

"Ya," sahut Go Kwi Lok, "dia sudah beberapa tahun menghilang tak ketahuan jejaknya. Tiba2 suhu berada disini."

"Benarkah itu ?" orang itu menegas.

"Eh, sahabat, siapakah engkau ini sesungguhnya? Mengapa aku harus bohong. Dia memang benar2 suhuku," Go Kwi Lok agak kurang senang.

"Baik, akan kutolongmu. Tetapi apakah engkau mampu membawanya pergi ?” tanya orang itu.

"Bila perlu biarlah aku mati asal suhu dapat diselamatkan," kata Go Kwi-Lok.

"Hm.", dengus orang itu, tiba2 ia gunakan ilmu Menyusup suara berkata; "saat ini suhumu sedang kehilangan kesadaran pikirannya." Dia tentu telah diracuni oleh orang Thian-tong- kau untuk dijadikan alat mereka. Terpaksa aku harus merubuhkan suhumu dulu, jangan engkau, salah mengerti."

Go-Kwi Lok terkejut. Buru2 iapun menjawab dengan ilmu Menyusup-suara: "Baik, aku akan berusaha sekuat tenagaku.” "Tetapi gunung Thay-san ini telah dijaga oleh anakbuah Thian-tong-kau. Sukar kiranya engkau dapat membawa suhumu lolos lari sini."

Go Kwi Lok tertegun. Ia memang mengakui kebenaran kata2 orang itu.

"Kurasa, biarlah suhumu mengalami penderitaan lebih lama sedikit. Masih banyak tokoh2 lain yang telah ditawan dan dijadikan pengawal baju merah dan baju putih oleh Thian- tong-kau. Kalau mau menolong, kita tolong dan bebaskan mereka semua. Kembalilah dulu ke rombongan tokoh2 silat dan tunggu perkembangan lebih lanjut.”

Pengacara itu diam2 memperhatikan. Dilihatnya orang yang menyaru sebagai dirinya dan Go-Kwik tegak berhadapan tanpa bicara apa2 tetapi bibir mereka bergerak-gerak. Jelas keduanya tentu menggunakan ilmu Menyusup-suara.

“Go pang-cu harap jangan ikut mengacau keadaan dan kembali ke tempatmu,” tiba2 pengacara berseru....

Go Kwi Lokpun menurut.

"Rupanya, pengacara itu tak sabar lagi terhadap orang yang menyaru sebagai dirinya.” Segera ia memberi perintah :

“Hayo barisan Ang sucia dan Pek sucia, serang dan dan ringkuslah pengacau itu !”

Empatpuluh pengawal baju Merah dan Baju Putih serempak berhamburan menyerbu orang yang dandanannya menyerupai pengacara itu ...

O^^odwo^^O
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar