Pendekar Bloon Jilid 02 L e n y a p

Jilid 2 L e n y a p.

Baik keenam ketua partai persilatan, maupun seluruh jago- jago persilatan yang berada dipeseban Wisma Perdamaian itu, terperanjat sekali mendengar kata-kata Hiang Hiang Niocu. Beberapa tokoh silat tua masih dapat mengenal siapakah wanita itu. Hiang Hiang niocu adalah isteri pemimpin perkumpulan rahasia Pek-lian-kau atau Teratai Putih yang pada masa keruntuhan pemerintah Coan (Kubilai Khan), muncul digelanggang percaturan perebutan kekuasaan dalam dunia persilatan.

Tetapi sudah sejak duapuluh lima tahun yang lalu, perkumpulan Teratai Putih berantakan dan Hiang Hiang niocupun lenyap.

Sungguh tak terduga sama sekali bahwa Hiang Hiang niocu si Puteri Harum itu akan muncul lagi dipuncak Giok-li-nia.

"Omitohud!" Hui Gong taysu ketua Siau lim-si berseru seraya rangkapkan kedua tangan ke dada, "Kim tayhiap seorang ksatrya yang perwira masakan dia ingkar janji ?"

"Hui Gong taysu," sahut Hiang Hiang niocu "bagi taysu dan mungkin seluruh kaum persilatan tentu akan menyanjung Kim Thian-cong sebagai seorang ksatrya luhur. Tetapi bagi Hiang Hia niocu, dia tak lebih dari seorang lelaki yang ber mulut culas, berbudi rendah !"

Dalam membawakan kata-katanya itu tampak kerudung muka yang menutupi wajah Hiang Hiang niocu bergetar-getar. Suatu pertanda bahwa batinnya sedang mengalami ketegangan hebat.

"Hiang Hiang niocu," seru Hui Gong tay pula, "apabila niocu tak keberatan sudilah men; laskan perihal diri Kim tayhiap yang niocu katakan tak berbudi itu."

Kedengaran suara helaan napas dari balik kain kerudung yang menutup wajah Hiang Hiang niocu. Wanita itu tegak mematung sampai beberapa waktu. Rupanya dia tengah mengenangkan ristiwa yang lampau .... Sesungguhnya peristiwa itu sudah amat lat pau sekali. Hampir seperempat abad lamanya. Namun bagi seorang wanita janji itu tetap akan selalu bersemayam dalam hatinya, bahkan akan di bawanya masuk keliang kubur ....

Hiang Hiang niocu berhenti sejenak lalu lanjutkan "Setelah kerajaan Goan runtuh maka timbulah gerakan-gerakan dan perkumpulan-perkumpulan rahasia dari kaum persilatan untuk merebut pengaruh da kekuasaan. Diantaranya yang paling besar dan kuat adalah perkumpulan Sorban Kuning dan Teratai Putih. Kim Thian-cong muncul, memusuhi Sorban Kuning dan Teratai Putih karena menganggap kedua perkumpulan itu tidak mempunyai tujuan yang baik. Ada gejala-gejala kearah aliran Hitam "

Kim Thian-cong berhasil menghancurkan Sorban Kuning tetapi gagal dalam menghadapi Teratai Putih. The Seng-kun, pemimpin Teratai Putih merupakan lawan yang tangguh. Selainkan memiliki ilmu silat yang hebat, pun dia seorang yang cerdik dan pandai menggunakan siasat. The Seng-kun mempunyai sebatang pedang pusaka yang luar biasa tajamnya. Pek-lian-kiam atau pedang pusaka Teratai-putih. Kim Thian-cong hampir melayang jiwanya dibawah pedang itu. Dia ketakutan setengah mati dengan pedang itu . "

Berhenti sejenak, wanita itu menghela napas: "Tahukah taysu. siapa The Seng-kun itu ?” tiba-tiba ia mengajukan pertanyaan yang membuat paderi ketua Siau-lim-si itu terbeliak kaget.

"Entah, niocu, pin-ni tak tahu," sahutnya gopoh. "The Seng-kun adalah suamiku !"

"Ah," Hui Gong tasyu mendesah, "lalu dalam hubungan apakah maka Kim tayhiap telah ingkar janji kepada niocu ?" "Disitulah letak ukuran peribadi Kim Thian cong !" seru Hiang Hiang niocu dengan keras, "kalah menggunakan senjata terhadap The Seng-kun dia beralih menggunakan senjata wajahnya yang tampan untuk menggaet isterinya ..."

"Omitohud!" seru Hui Gong taysu mengendap rasa kejutnya, "bukankah niocu itu isteri dari The Seng-kun kaucu

?"

"Pek-lian-kau menuju kearah aliran Hitam Aliran agama yang bermula menjadi unsur pokok dari perkumpulan itu, akhirnya berobah menjadi suatu aliran tahayul dan cabul. The Seng-kun gemar wanita cantik. Banyak gadis cantik yang diperisterikan dengan paksa dan ataupun dengan bujukan manis. Aku termasuk salah seorang korbannya, menjadi salah seorang isterinya yang paling disayangi "

"Tetapi aku jemu dengan kehidupan dan lingkungan orang Teratai Putih itu. Akupun mual kepada The Seng-kun yang tak pernah puas dengan wanita. Ia seorang lelaki yang besar sekali nafsunya. Aku sakit hati karena diriku dijadikan sekedar alat pemuas nafsu saja. Habis manis sepah dibuang "

Berhenti sejenak, Hiang Hiang niocu melanjutkan ceritanya, "tetapi apa dayaku. Aku hanya orang wanita yang lemah. Kulewatkan hari-hari yang sepi dengan helaan napas dan cucuran airmata. Lalu muncullah Kim Thian-cong. Dia mengisi kesepianku dan mencuri hatiku "

Hiang Hiang niocu berhenti berseri,  menengadahkan kepala, memandang kelangit dan berdiam diri sampai beberapa waktu. Rupanya ia tengah terkenang akan kenangan yang lampau.

Hui Gong taysu, Ang Bin tojin. Hong Hong totiang, Sugong In, Ceng Sian suthay dan pengemis Hoa Sin termangu-mangu mendengar kisah menarik yang tengah dibawakan Hiang Hiang niocu itu. Sejenak mereka lupa bahwa saat itu mereka tengah berdiri menjaga peti jenazah. Bahwa suasana saat itu adalah suasana berkabung.

"Dengan keberanian yang luar biasa. Kim Thian-cong menyelundup masuk kedalam markas Pek-lian-kau untuk mencuri pedang pusaka Pek-li-an-kiam. Tetapi suamiku The Seng-kun seorang yang cerdik dan cermat. Disekitar kamarnya telah dipasang alat pekakas rahasia sehingga perbuatan Kim Thian-cong itu ketahuan. Kawanan jago-jago silat anak buah suamiku segera bangun dan mengepung Kim Than-cong. Markas Pek-lian-kau yang luasnya beratus-ratus bahu dan terletak disebuah lembah gunung, memiliki penjagaan yang ketat rapat. Kim Thian-cong bingung karena tak dapat meloloskan diri dan akhirnya . , . . "

"Akhirnya bagaimana, niocu?" diluar kesadaran karena amat tertarik dengan kisah itu. Hui Dong taysu mendesak pertanyaan.

”Achirnya dia masuk kedalam .. , kamarku ah. . . . " Hiang Hiang niocu kembali menghela napas panjang, sepanjang pikirannya yang jauh melayang kepada kenangan lama.

Para ketua partai persilatan yang mendengar keterangan itu, serentak terbeliak.

"Adakah Kim tayhiap tak tahu kalau kamar itu milik niocu ?" tanya Hui Gong taysu pula.

"Bermula kuduga memang begitu. Tetapi menurut pengakuannya dibelakang hari, ia mengatakan kalau sudah tahu dan memang sudah direncanakan...”

"Omitohud ..." sela Hui Gong taysu. Tetapi Hiang Hiang niocu tak menghiraukan doa ucapan ketua gereja Siau -lim-si itu, ia melanjutkan ceritanya : "Aku terkejut dan hendak menjerit tetapi secepat itu ia mendekap mulutku dengan tangannya dan memandang wajahku rapat Ketika pandang mataku tertumbuk akan wajah dan sinar matanya, entah bagaimana, runtuhlah hatiku . . . . " kembali Hiang Hiang niocu berhenti sejenak, "ia melepaskan dekapannya lalu mencabut belati dan diberikan kepadaku. "Kalau nyonya hendak membunuh Kim Thian-cong, bunuhlah sekarang juga. Aku rela mati ditangan nyonya daripada mati ditangan, anakbuah Pek-lian-kau," katanya seraya membuka baju dan menyongsong dadanva yang terbuka ....

"Engkau . . engkau Kim Tliian-cong?" kataku dengan gemetar. Hampir aku tak percaya bahwa pendekar yang termasyhur disejuruh dunia persilatan, ternyata hanya seorang lelaki muda yang berwajah tampan. Sikapnyapun bukan menyerupai o-rang persilatan yang gagah perkasa tetapi lebih banyak mirip seorang sasterawan.”

"Kim Thian-cong hanya satu, yang dihadapan nyonyah ini." katanya.

Setelah mendapat .ketenangan hati, maka kutanyakanlah kepadanya mengapa ia berani masuk kedalam kamarku. Dengan terus terang ia menceritakan bahwa kedatangannya kedalam markas Pek-lian-kau itu ialah hendak mencuri pedang pusaka Pek-Iian kiam milik The Seng-kun tetapi gagal. Dan saat itu ia tengah dikejar anakbuah Pek-lian-kau.

"Nyonyah, daripada engkau menyerahkan diriku kepada mereka, baiklah engkau bunuh saja aku," katanya.

“Kutatap wajahnya dan mata kamipun saling beradu. Aku seorang wanita muda yang kesepian. Akupun sakithati kepada suamiku yang telah menelantarkan diriku. Rasa kesepian dan sakithati berpadu, bagai arus sugai yang mengalir dan mengalir untuk akhirnya masuk kedalam lautan . . . asmara.”

"Apakah engkau sudah beristeri?" diamuk oleh rasa asmara, aku tak malu-malu lagi menanyakan hal itu kepadanya.

"Belum tetapi, nyonyah," katanya tegang,

"kudengar derap kaki orang hilir mudik mencari diriku. Tak lama mereka tentu akan mencari kemari. Bersediakah nyonyah menolong diriku ?"

"Aku tak segera menjawab melainkan menatapnya lekat- lekat, lalu kutanya : "Apakah janjimu untuk pertolonganku itu

?"

"Asal aku mampu melakukan, tentu akan ku laksanakan permintaan nyonyah sekalipun nyonyah suruh aku masuk kedalam lautan api ..."

"Tak perlu," sahutku, "aku menghendaki engkau hidup dan bahagia bersama "

"Nyonyah, lekaslah, mereka benar-benar menuju kemari !" Kim Thian-cong menukas gopoh.

"Apakah engkau tak ingkar janji ?” aku masih meminta penegasan.

"Kim Thian-cong seorang lelaki, apa yang di-ucapkan tak pernah ditelan kembali !"

"Hm, baiklah," akupun puas mendengar jawabannya, "sekarang terpaksa engkau hendak ku-suruh memakai pakaian wanita. Ya, engkau harus menyamar sebagai seorang wanita dan akan kuakui sebagai bujangku "

"Ah, jangan. Aku tak dapat menjadi seoran wanita," cepat- cepat ia menolak. "Lalu apa dayaku untuk menolongmu ?"

"Waktu amat berharga. Harap nyonyah membungkus diriku dengan kain lalu masukkan aku ke dalam sarung guling. Aku akan menjadi guling . .

Aku terkejut dan membantah : "Ah, jangan! bergurau. Bagaimana mungkin tubuhmu yang sebesar itu akan menyusut sekecil guling ?

"Bisa!" sahutnya yakin, "lakukan saja menurut apa yang kukatakan dan baringkanlah aku diatas tempat tidur agar mereka mengira aku ini sebuah guling"

Baru Hiang Hiang niocu bercerita sampai di situ tiba-tiba terdengar suara melengking : "Ah, tak mungkin. Aku tak percaya kalau Kim tayhiap begitu bernyali seperti tikus. Mengapa dia tak berani menghadapi anakbuah Pek-lian-kau ? Bukankah dia tentu dapat mengatasi mereka ? Bukankah tak perlu dia harus main bersembunyi dikamar seorang wanita ?"

Hiang Hiang niocu berpaling kearah orang yang menyelutuk itu, lalu menegur: "Siapa engkau?"

"Hoa Sin pengemis tua," sahut ketua Kay-pang

Beberapa ketua partai persilatan berdebar-debar dan tegang perasaannya. Mereka kuatir Hiang Hiang niocu marah atas ucapan ketua Partai Pengemis yang tak percaya pada cerita itu.

"Hm, hidungmu setajam anjing !" dengus Hiang Hiang niocu.

"Memang Hoa Sin ini tukang gebuk anjing. Kalau hidungku kalah tajam dengan anjing, bagaimana mungkin aku dapat menggebuk binatang itu?" kembali sipengemis sakti Hoa Sin kumat adat kebiasaan. Ia gemar membanyol dan berolok-olok tak peduli dengan siapapun orangnya.

"Memang Kim Thian-cong seorang ksatrya yang perwira. Dan sesungguhnya ia memang tak takut menghadapi sergapan anakbuah Pek-lian-kau itu. Hal itu baru kuketahui beberapa waktu kemudian, setelah hubungan kita sudah sebagai suami isteri . . . "

"Amboi !" kembali pengemis sakti Hoa Sin melengking seperti anjing digebuk. "Kim tayhiap mau menggauli engkau? Ah, tidak, tidak. Dia bukan seorang hidung belang !"

Mungkin tentu merahlah wajah Hiang Hiang niocu mendengar bantahan pengemis itu. Tetap karena tertutup kain hitam, maka tak jelaslah bagaimana perobahan airmukanya. Yang jelas, kain kerudung mukanya itu bergetar-getat walau tak tertiup angin.

"Pengemis tua, tahukah engkau bahwa seorang ksatrya yang gagah berani pun akan jatuh di bawah telapak kaki seorang jelita ?" seru Hiang Hiang niocu.

"Tidak tahu!" bantah pengemis sakti Hoa Sin "buktinya aku sendiri tak pernah jatuh dikaki wanita"

"Cis, wanita manakah yang sudi melihat tampangmu seperti kuda meringis itu ?" hina Hi ang Hiang niocu.

"Ha, ha," tidak marah kebalikannya pengemis sakti itu malah tertawa gelak-gelak." salah, salah. Aku bukan seperti kuda meringis tetapi seperti serigala tertawa. Buktinya setiap anjing yang melihat, tentu akan lari terbirit-birit."

"Omitohud," kembali Hui Gong taysu berucap doa, "harap niocu suka melanjutkan ceritamu.” Dan ketua Siau-lim-si itupun berpaling memberi isyarat kepala kepada Hoa Sin agar ketua partai Pengemis itu jangan mengganggu.

"Karena melihat kesungguhan wajahnya akupun segera melakukan permintaannya. Kubungkus tubuhnya dengan kain lalu kuselubungi dengan sarung guling. Ah, ternyata tubuhnya

berobah sehingga cukup kumasukkan dalam selubung guling," Hiang Hiang niocu melanjutkan ceritanya.

"Ah, dia tentu menggunakan ilmu Su kang," kata Hui Gong taysu. Sut-kut-kang-nya Ilmu

menyurutkan tulang sehingga menjadi kecil.

"Ho, kaum Pengemispun mempunyai Kau-hoan-wi atau Anjing-menyurut- ekor," kata pengemis sakti

Hoa Sin gatal mulutnya.

"Benar, paderi Siau-lim-si, Hiang Hiang niocu tak mau menghiraukan ocehan Hoa Sin ”dia memang menggunakan ilmu Sut-kut kang. Dan akupun makin kagum akan kesaktiannya kawanan anakbuah Pek-lian-kau ternyata memang datang kekamarku untuk mencarinya Walaupun kutolak, tetapi mereka tetap memaksa hendak mau menggeledah kamarku. Itu perintah ketua Pek-lian-kau, kata mereka. Terpaksa kubiarkan mereka masuk. Hatiku berdebar keras ketika merereka menyingkap kain kelambu tempat tidur. Mereka tak dapat menemukan apa? kecuali bantal dan guling. Akhirnya mereka minta maaf lalu ngeloyor pergi.

Setelah kurasa aman, barulah kukeluarkan dia dari dalam selubung guling. Dia menghaturkan terima kasih kepadaku dan terus hendak pergi. Tetapi cepat kucegah.

"Jangan, diluar masih berbahaya. Anakbuah Pek-lian-kau masih giat mencarimu," kataku.

"Tetapi . . . bagaimana mungkin aku berada dalam kamar nyonyah ?" serunya terkejut.

"Mengapa tak mungkin. Bukankah engkau sudah masuk kemari ?" aku tersenyum, "bermalamlah disini untuk menghindari bahaya penangkapan”

"Tetapi nyonyah . . . aku seorang lelaki dan engkau seorang wanita yang sudah bersuami, bagaimana ..."

"Lelaki jodohnya perempuan. Perempuan pasangannya lelaki. Mungkin sudah ditakdirkan oleh Yang Kuasa, bahwa engkau akan datang kepadaku. Adakah aku ini jelek ?" tanyaku kepadanya.

"Ah . . . , " ia menghela napas, "sudah lama kudengar bahwa Hiang Hiang niocu itu seorang ratu dari So-ciu. Bukan melainkan cantik, pun juga keringatnya menyiarkan bau harum "

"Dan bagaimana kenyataan yang engkau lihat saat ini ?" tanyanya makin diluap oleh dendam asmara.

"Memang belum pernah kulihat seorang wanita yang lebih cantik dari engkau. The Seng-kun sungguh beruntung sekali

..."

”Aku merasa tersinggung dengan kata-kata itu. Dan bercucuranlah airmataku karena mengenangkan! nasibku yang celaka. Mengapa dahulu Thian-cong tak bertemu dengan aku? Mengapa aku harus menjadi isteri The Seng-kun ? Aku menangis tersedu-sedu. Dan tiba-tiba Thian-cong membelai- belai rambutku, menghibur kesedihanku.

Malam itu, ya malam itu . . . oh. alangkah indahnya .. alangkah bahagianya . . Belum pernah kunikmati malam yang seindah dan sebahagia seperti malam itu ketika Thian-cong mendekap tubuhku dan menciumi pipiku dengan mesra . . . Sejak malam itu aku telah dimiliki Thian cong. Kuserahkan jiwa dan ragaku kepadanya . . ”

"Omitohud ! Niocu adalah isteri The Seng kun kaucu " seru Hui Gong taysu.

"The Seng-kun mengambil diriku secara paksa, dibawah tekanan kekerasan ayahku terpaksa menyerahkan aku kepadanya. Tetapi tak pernah aku mencintainya. Bahkan diam-diam aku mulai membencinya. Tetapi Thian-cong telah mengajarkan kepadaku apa arti Asmara yang sejati. Kepadanialah hatiku kupersembahkan," kata Hiang Hiang niocu.

"Tidak, tidak !" tiba-tiba pengemis sakti Hoa Sin menjerit, "aku tak percaya Kim tayhiap begitu tipis imannya, mencintai seseorang wanitayang menjadi isteri orang !"

"Pengemis busuk !" teriak Hiang Hiang niocu dengan murka." engkau anggap aku ini wanita apa? Dihadapan para ketua partai persilatan dengan tanpa malu kuceritakan kisah hubunganku dengan Kim Thian-cong, kalau hal itu tidak benar, masakan aku tak malu mengatakannya ? Bukalah telingamu lebar-lebar, hai pengemis busuk ! Betapa buruk muka, betapa rendah budi dan betapa jahat seorang wanita itu, namun ia tetap memiliki perasaan halus dari wanita, tetap masih mempunyai rasa malu !" "Maaf, maaf, niocu," tergopoh pengemis sakti Hoa Sin membungkuk tubuh selaku pernyataan maaf," memang pengemis Hoa Sin ini bukan seorang wanita. Maka Hoa Sin tak punya malu, tetapi hanya wanitalah yang mempunyai rasa malu itu. Tetapi pengemis tua ini kenal baik akan peribadi Kim tayhiap seperti pengemis tua ini mengenal pada dirinya sendiri. Kim tayhiap memang tampan seperti Arjuna dan pengemis tua ini buruk seperti setan. Tetapi pengemis tua sungguh tak percaya kalau Kim tayhiay mau berbuat yang tak senonoh kepada isteri orang, apabila ”

"Apabila bagaimana?" desak Hiang Hiang niocu "Apabila tidak kena guna-guna atau jimat."

"Guna-Guna, jimat? Ih, mengapa harus memakai guna- guna atau jimat segala ? Ketahuilah hai pengemis busuk, guna-guna atau jimat yang ampuh dari wanita itu tak lain hanialah kecantikan wajahnya. Apakah engkau kira Thian-cong itu hatinya terbuat dari baja? Adakah engkau pandang Thian- cong itu seorang manusia istimewa ? Herankah engkau kalau dia jatuh hati kepadaku ?"

"Ya, memang heran, benar-benar pengemis buruk ini heran kalau Kim tayhiap sampai jatuh hati kepada Hiang Hiang niocu," seru Hoa Sin.

"Pengemis buduk, dengan cara apakah aku dapat melenyapkan keherananmu itu?" seru Hiang I Hiang niocu yang tanpa disadari makin ngotot melayani olok-olok  pengemis sakti.

Pengemis sakti Hoa Sin garuk-garuk kepala. Sesaat kemudian ia berkata tetapi seolah-olah mengoceh seorang diri

: "Kalau aku menggebuk anjing, makin anjing itu berbulu indah,  makin    keras  kugebuk.  Anjing  yang  jelek  bulunya, kugebuk ringan-ringan saja supaya enyah dari pandang matakul Ada orang bertanya kepadaku, mengapa aku mengadakan perbedaan dalam hal menggebuk anjing ? Kujawab, pengemis tua suka pada anjing yang langsing, yang molek, yang cantik bulunya, ha, ha."

"Ya, benar, niocu," serunya kemudian kepada Hiang Hiang niocu, "anjing itu juga bermacam-macam. Ada anjing belang, anjing putih, anjing hitam, anjing buduk. Anjing yang cantik bulunya! tentu kugebuk keras-keras."

"Pengemis gila, engkau ini," teriak Hiang Hiang niocu, "mengapa engkau malah menggebuk keras kepada anjing yang cantik ?"

"Setiap benda yang kusukai lebih baik kuhancurkan daripada jatuh kelain tangan !" seru pengemis sakti.

Rupanya Hiang Hiang niocu menyadari. Mengapa ia membiarkan diri terhanyut dalam ocehan sipengemis. Maka dengan nada bengis ia berseru : "Sudahlah, pengemis buduk, jangan mengoceh melulu Katakan dengan cara bagaimana engkau dapat percaya bahwa Kim Thian-cong memang jatuh hati kepadaku ?"

Pengemis sakti Hoa Sin garuk-garuk kepalanya lagi. Pada lain saat ia mengoceh sendiri: "Dia tahu Kalau wanita itu sudah bersuami . . . dia tahu kalau dirinya itu dihormati oleh segenap kaum persilatan . . dia tentu tak mau berbuat sesuatu yang mencemarkan namanya . . . kalau dia mau berbuat begitu . . . tentulah ada sebabnya. Kalau tidak mabuk kecantikan dan rayuan tentulah mabuk arak!"

"Niocu!" serentak pengemis sakti itu berteriak." sekarang aku sudah menemukan jawaban. Hanya dua hal . . . " "Baik, akan kuperlihatkan wajahku kepadamu agar engkau yakin bahwa Thian-cong memang jatuh hati kepadaku . . . !" kata Hiang Hiang niocu seraya maju menghampiri kehadapan pengemis tua.

"Harap yang lain suka menyingkir karena yang akan kusuruh melihat wajahku nanti hanya sipengemis buduk ini!" Hiang Hiang niocu memberi isyarat dengan kepada keenam ketua partai persilatan, agar berdiri dibelakangnya.  Merekapun menurut.

Kini berhadapanlah Hiang Hiang niocu dengan pengemis sakti Hoa Sin.

"Apakah engkau sudah siap melihat wajahku?" tegur Hiang Hiang niocu.

Mendengar ucapan itu, terlintaslah sesuatu pada benak Hoa Sin. Ia tahu Hiang Hiang niocu itu amat sakti. Bahkan tokoh semacam Thian-sat cu pun gentar juga kepada wanita itu. Tentu tak begitu saja wanita itu mau memperlihatkan wajahnya kalau tidak disertai dengan tindakan yang mungkin membahayakan jiwa orang. Memikir sampai disitu, diam-diam pengemis sakti itupun kerahku tenaga-dalam untuk menyambut setiap kemungkinah

"Sudah, niocu," kata Hoa Sin.

"Hm, lihat dan nikmatilah yang seksama” tiba-tiba tangan Hiang Hiang niocu membuka kerudung yang menutup wajahnya dan . . . seketika itu mata pengemis sakti Hoa Sin terbelalak lebar. Hiang Hiang niocu walaupun sudah setengah tua tetapi masih memancarkan bekas-bekas kecantikan yang luar biasa. Tak mengherankan kalau semasa masih gadis, dia telah disanjung orang sebagai Ratu Kembang kota So-ciu. Kota yang tersohj sebagai gudang wanita-wanita cantik. Tetapi serentak dengan itu, serangkum bau yang luar biasa harum telah melanda hidung pengemis tua itu. Darah pengemis tua itu melancar keras dan jantungnyapun berdetak gencar seksekali sehingga seakan-akan mau copot. Untunglah sebelumnya ia sudah membentengi diri dengan penyaluran tenaga-dalam.

Para ketua partai persilatan terkejut ketika dari belakang Hiang Hiang niocu mereka melihat wajah pengemis sakti Hoa Sin merah padam seperti kepiting rebus, kedua matanyapun merah dan melotot keluar. Tak tahu mereka apa yang telah terjadi.

"Pengemis buduk, sudah cukupkah engkau menikmati wajahku ?" tiba-tiba Hiang Hiang niocu berseru.

Hoa Sin tak menyahut melainkan menganggukkan kepala Dan ketika Hiang Hiang niocu menutup lagi kain kerudung mukanya, pengemis tua itu terus numprah duduk dilantai, pejamkan mata menyalurkan tenaga-dalam.

Hiang Hiang niocu tertawa cerah : "Nah, bolehlah engkau renungkan dulu sedalam-dalamnya, baru nanti engkau memberi jawaban kepadaku lagi."

Habis berkata Hiang Hiang niocu berpaling dan mempersilahkan para ketua partai persilatan itu kembali ketempat masing-masing.

Hui Gong taysu dan beberapa ketua partai persilatan itu tahu bahwa pengemis sakti tentu menderita sesuatu dan merekapun tak berani mengganggunya.

"Nah. sekarang aku hendak melanjutkan ceritaku lagi," kata Hiang Hiang niocu- "Hampir setengah bulan Thian-cong berada dalam kamarku. Kami hidup sebagai pengantin baru. The Seng-kun tak pernah datang dan anakbuahnya pun tak berani datang mengganggu

. . .

Pada suatu hari Thian-cong menyatakan keinginannya untuk mencuri pedang pusaka Pek-lian-kiam. Ia menyatakan, dalam ilmu silat ia dapat menundukkan The Seng-kun tetapi karena pedang pusaka itulah maka ia terpaksa harus melarikan diri. Apabila tak dibasmi, The Seng-kun dan perkumpulan Teratai Putih itu membahayakan dunia persilatan dan rakyat. Jelas partai itu sudah nye-leweng dari tujuan semula. Thian-cong rela menempuh bahaya asal dapat mengambil pedang it

Tetapi aku tak tega melihatnya terancam bahaya. Tetapi aku minta janji kepada Thian-cong Aku sanggup mengambilkan pedang itu asal Thiai cong benar-benar setia dan tak mensia-siakan diriku. Dia memberikan janjinya seraya menyerahkan s buah badik. Kalau ia ingkar janji, ia rela mati kucincang dengan badik itu," berkata sampai disitu Hiang Hiang niocu mencabut sebatang badik dari dalam baju, "inilah badik pemberian Thia-cong . . . !"

Hui Gong taysu dan para ketua partai persilatan mulai goyah keyakinannya demi melihat bukti badik dari Kim Thian- cong itu.

Sambil memasukkan badik itu lagi, Hiang Hiang niocu melanjutkan pula: "Kamipun segera mengatur renciana. Agar jangan sampai ketahuan The Seng-kun, Thian-cong menyarankan supaya aku menukar saja pedang pusaka itu dengan pedang yang bentuknya mirip. Aku setuju. Untuk keperluan mencari dan kalau perlu menyuruh tukang besi membuat sebatang pedang yang bentuknya sama dengan pedang" Pek-lian-kiam, maka Thian-cong tinggalkan markas Pek-lian-kiam. Setengah bulan kemudian dia kembali lagi dengan membawa pedang tiruan. Dia pergi lagi dan mengatakan sepuluh hari kemudian akan kembali untuk mengambil pedang pusaka Pek-Iian-kk.m.

Akupun segera bekerja menurut yang direncanakan. Kusuruh seorang bujang  mengundang  The  Seng-kun  supaya mengunjungi tempatku. Ku tahu The Seng-kun itu seorang yang penuh curiga. Kemanapun juga ia selalu membawa pedang Pek-lian-kiam. Waktu dia datang, aku pura- pura merajuk dan hendak bunuh diri. Dia kaget dan cepat mencegah. Dengan menangis tersedu-sedu kugugat dia sebagai seorang lelaki hidung belang yang lekas bosan kepada wanita. Daripada ditelantarkan, lebih baik aku bunuh diri atau dibunuh saja. Atau kalau memang sudah bosan, kuminta dia suka mengem balikan aku kerumah orangtuaku.

Berkat permainanku yang sempurna, akhirnya ia minta maaf. Malam itu dia menginap dikamar-ku. Kulolohnya dengan arak sehingga dia mabuk dan tak ingat diri. Lalu kutukar pedang pusaka Pek-lian-kiam dengan pedang dari Thian-cong. Wa-laupun ketika itu aku tak mengerti ilmu silat, tetapi ketika kupadu, kedua pedang itu memang serupa, sukar dibedakan mana yang aseli mana yangi tiruan

Sepuluh hari kemudian Thian-congpun datang dan kuserahkan pedang itu kepadanya. Setelah tinggal bersamaku lebih kurang setengah bulan, dia minta diri. Kuminta supaya dia membawaku lari tetapi ia menolak dan suruh aku tinggal dulu di markas Pek-lian-kau, agar jangan menimbulkan kecurigaan The Seng-kun. Kelak apabila dia sudahi berhasil membunuh The Seng-kun dan membubarkan Pek-lian-kau barulah dia akan menjemputku Aku percaya penuh  kepadanya. Lebih kurang sebulan kemudian, markas Pek lian-kau dikepung berpuluh-puluh jago-jago silat. Terjadi pertempuran besir. Kudengar The Seng-kun telah terbunuh dan anakbuahnya porak poranda. markas Pek-lian-kau dibakar. Saat itu keadaannya benar-benar kacau seperti kiamat. Tetapi aku tak takut kebalikannya malah diam-diam gembira untuk menyambut kedatangan Thian-cong.

Tetapi bukan Thian-cong yang datang kebalikannya si Macan-jidat-putih Li Kui. Dia pengawal peribadi dari The Seng- kun. Setelah The Seng kun mati, dia bergegas-gegas datang kepadaku dan dengan mengancam hendak membunuh aku, dia memaksa aku supaya ikut padanya melarikan diri. Aku dibawanya melintasi beberapa gunung lalu menetap disebuah pondok dalam hutan yang sunyi. Ternyata, sudah lama dia mendendam birahi kepadaku tetapi dia tak berani kepada majikannya. Kini The Seng-kun sudah mati dan kesempatan itu tak disia-siakannya. Bukannya dia ikut mati membela tuannya, tetapi malah lari dan membawa aku pergi - . . -

Ketika dia hendak melampiaskan nafsunya,  kutolak  dan aku mengancam hendak bunuh diri. ''Lihatlah, aku sedang mengandung jabang bayi ' dari The Seng-kun. Kalau engkau berani memaksa, aku akan membunuh diri. Nanti setelah jabang bayi itu lahir, baru aku mau menuruti kehendakmu," kataku dengan bengis. Rupanya dia masih gentar kepada pengaruh The Seng-kun maka dia mau menurut permintaanku.

Sebenarnya aku ingin minggat tetapi apa dayaku. Aku seorang wanita lemah, tak kenal jalan tak tahu arah. Kemanakah aku harus mencari Thian-cong ?

Setelah tiba saatnya, akupun melahirkan seorang anak, ya, seorang anak lelaki yang montok-Aku girang karena mendapat anak, si Macan. jidat-putih Li Kui gembira karena aku bakal menjadi isterinya.

Hari itu dia pamit hendak kekota membeli pakaian untukku dan berbelanja arak. Malam nanti dia akan menyiapkan makanan lezat dan arak untuk merayakan malam pengantin kita. Aku tak dapat berbuat apa-apa, kecuali menangis dalam hati.

Tetapi sampai malam belum juga dia pulang. Walaupun aku benci kepadanya tetapi aku merasa cemas juga. Tiba-Tiba muncul seorang kakek gundul yang kumis dan jenggotnya putih seperti salju. Dia mengatakan bernama Pek Lian lojin atau kakek Teratai Putih, pendiri dari perkumpulan Pek-lian kau dan guru dari The Seng-kun ....

Mendengar kabar Pek-lian-kau hancur, turun dari gunung dan menuju kemarkas Pek-lia kau. Tetapi markas sudah rata dengan tanah. The Seng-kun terbunuh mati. Dari salah seorang anak buah Pek-lian-kau yang berhasil diketemukan, ia mendapat keterangan bahwa aku sedang hamil tetapi di bawa lari oleh Li Kui. Kakek itu marah sekali d mencari jejak Li Kui. Secara kebetulan ketika Kui ke kota, dia telah berjumpa dengan kakek itu lalu dibunuhnya. Kakek itu menganggap Li Kui seorang penghianat. Kemudian ia datang kepadaku

"Hm, mana putera Seng-kun?" tegurnya dengan bengis. Begitu melihat anakku masih tidur dipembaringan, dia terus loncat menyambarnya," putera The Seng-kun muridku ini, harus diselamatkan agar kelak dapat membangun perkumpulan Pek-lian-kau lagi. Engkau seorang wanita yang serong, suamimu mati engkau malah ikut minggat dengan pengawal suamimu. Tak pantas wanita rendah semacam engkau menjadi ibu. Seharusnya engkau kubunuh tetapi mengingat engkau telah memberi putera kepada Seng-kun, maka kali ini kuampuni jiwamu."

Habis mendamprat, ia terus membawa bayi itu pergi. Aku pingsan. Ketika esok hari bangun, pikiranku berobah. Ya, aku gila dan lari kemana-mana, menangis, tertawa, menyanyi dan mengoceh. Untunglah aku bertemu dengan Bu Beng lojin, kakek Tanpa-nama, seorang sakti yang bertapa mengasingkan diri disebuah guha. Aku disembuhkan dari penyakit goncang urat syaraf dan diberi ajaran ilmu silat yang sakti. Beberapa tahun kemudian, kakek itu meninggal, ak -pun lalu turun gunung hendak mencari puteraku. Engkau tahu, paderi Siau- lim-si, siapakah sebenarnya puteraku itu ?"

"Omitohud", seru Hui Gong taysu, "dia adalah putera keturunan dari The Seng-kun kaucu."

"Bukan!" Hiang Hiang niocu menolak, "dia bukan anak dari The Seng-kun tetapi tetesan darah Kim Thian-cong ..."

"Omitohud !" agak keras Hui Gong taysu berseru karena terkejut mendengar keterangan itu, "bagaimana mungkin putera Kim tayhiap? Bukankah niocu isteri dari The Seng-kun kaucu ?"

"Benar, tetapi The Seng-kun tak pernah memberi keturunan. Isterinya banyak tetapi tidak seorangpun yang mempunyai anak. Dan aku tahu jelas bahwa bayi dalam kandunganku itu bukan dari The Seng-kun tetapi dari Thian- cong ..."

"Oh ..." kedengaran para ketua partai Persilatan itu mendesuh tertahan karena terkejut sekali.

"Adakah Kim tayhiap tahu hal itu ?" tanya Hui Gong taysu. "Tidak," Hiang Hiang niocu gelengkan kepala "sebulan setelah Thian-cong meninggalkan aku, aku mulai mengandung bulan yang pertama., Kemudian Pek-lian-kau dihancurkan, aku lari dibawa Li Kui sehingga tak sempat berjumpa lagi dengan Thian-conl ”

"Omitohud,"- ucap Hui Gong taysu dengan nada terharu, "kisah niocu sungguh mengharukah Pin-ni ikut perihatin. Lalu apakah maksud kunjungan niocu kemari ?"

"Duapuluh tahun lamanya aku meyakinkan ilmu yang diajarkan Bu Beng lojin sehingga dapat mencapai tingkat yang hampir sempurna. Aku sakit hati kepada Thian-cong yang walaupun sudah ku cari kemana-mana tetapi tak dapat kuketemukari. Aku benci kepada kaum lelaki. Kudirikan perkumpulan Ang-lian-kau atau Teratai Merah. Kuterima gadis-gadis cantik sebagai murid. Kutempuh perjalanan hidup yang gila. Setiap bertemu dengan pemuda tampan tentu kubawa kedalam markas. Setelah kupaksa dia menuruti nafsuku, lalu kubunuh. Kemudian kudengar berita Thian-cong mati maka bergegas-gegas aku datang kemari untuk menunaikan nazarku selama duapuluh tahun itu. Dengan badik pemberiannya dahulu, hendak kucincang tubuh Thian- cong manusia yang mengkhianati cintaku ..."

Kembali Hiang Hiang niocu mencabut badik

"Omitohud." seru Hui Gong taysu, "tetapi Kim tayhiap sudah meninggal. Pin-ni mohon sukalah niocu "suka memaafkannya

....

Hiang Hiang niocu tertawa hambar: "Engkau salah, paderi Siau-lim-si Janji itu Thian-cong sendiri yang mengucapkan. Jika tak kulaksanakan bukankah dia takkan beristirahat tenteram dialam baka ?" Hui Gong taysu terkesiap. Demikianpun dengan kelima ketua partai persilatan. Ucapan Hiang Hiang niocu memang tepat dan sukar dibantah. Merekapun diam-diam cemas karena takut kalau peti itu dibuka, Hiang Hiang niocu pasti akan mengetahui bahwa yang berada dalam peti itu bukan je- k nazah Kim Thian-cong tetapi sebuah orang-orangan terbuat daripada kayu. Mau tak mau para ketua partai persilatan itu gelisah bukan main.

"Tetapi ah, sayang sekali, "kedengaran Hiang Hiang niocu menghela napas, "keparat Bu-ing-kui Jadi telah mendahului menghancurkan mayat Thian-cong dengan pukulan Tanpa- bayangan. Terang aku tak dapat mencincang tubuh yang sudah hancur itu "

Hui Gong taysu dan kawan-kawan terperanjat sekali. Mereka tak mengira kalau jenazah Kim Thian-cong yang berada dalam peti itu sudah hancur. Mereka percaya apa yang diucapkan Hiang Hiang niocu Tetapi diam-diam merekapun girang karena lebih dulu telah menyembunyikan jenazah Kim Thian-cong dilain tempat.

"Karena jenazah Kim tayhiap sudah hancur, kiranya niocu tentu suka menghentikan maksud niocu untuk mencincangnya."

"Tetap!" sahut Hiang Hiang niocu dengan nada mantap, "setiap nazar harus dihimpaskan. Walaupun hanya scgores dua gores tetapi akan tetap kukerat mayat Thian-cong "

Dalam pada berkata-kata itu iapun terus meangkah maju menghampiri peti jenazah. Para ketua partai persilatan itu tegang bukan kepalang Bila hendak mencegah, terang  mereka bukan tanding wanita sakti itu. Apalagi para ketua partai persilatan itu masing-masing telah kehabisan tenaga- murni akibat menahan pukulan Bu-kek-coan-jit-hun daril durjana Thian-sat-cu tadi. Namun kalau membiarkan saja, tentulah rahasia tentang mayat dalam peti itu akan terbongkar

. . .

Tiba-Tiba terdengar lengking seorang gadis : "Tunggu  dulu, niocu !"

Ternyata yang berseru itu adalah Liok Sianli, murid perempuan dari Kim Thian-cong

Hiang Hiang niocu tertegun, tegurnya: "Mau apa engkau?” "Niocu beberapa hari sebelum suhu menutup mata. beliau

telah menyerahkan sebuah sampul kepadaku. Pesan beliau, apabila nanti dalam pemakaman terdapat tetamu wanita cantik yang mengaku sebagai kekasih suhu, supaya sampul surat ini diberikan kepadanya. Apakah sampul itu dapat kuterimakan, kepada niocu ?' ia mengakhiri kata dengan mengeluarkan sebuah sampul warna kuning muda.

Hiang Hiang niocu terkesiap. Cepat ia ulurkan tangan : "Berikan kepadaku !"

Setelah menyambuti sampul surat, Hianp, Hiang niocupun segera membukanya, Membaca . . .

Sekalian ketua partai persilatan hening serentak. Mereka memandang Hiang Hiang niocu dengan penuh perhatian.

"Ah, Thian-cong . . . , " tiba-tiba Hiang Hiang niocu mendesah panjang. Ia tegak seperti patung, terlongong- longong dengan kerut wajah hampa Sedemikian kehilangan semangat wanita itu hingga surat dalam sampul kuning itu terlepas dari tangannya dan bertebaran jatuh kelantai.

Rupanya saat itu pengemis sakti Hoa Sin sudah selesai menenangkan darahnya yang bergejolak. Karena suasana amat sepi sekali maka hamburan surat itupun dapat ditangkap telinganya. Dan secara kebetulan sekali, surat itu melayang jatuh ke atas pangkuannya. Secepat kilat ia membuka mala, mengambil surat dan membaca. Hanya dalam sekejab mata saja ia sudah mengerti isi surat itu.

Serentak berbangkitlah ketua partai Pengemis lalu tertawa : "Ha. ha, sekarang nyata bahwa dugaanku tadi memang benar. Kim tayhiap jelas terminum ..."

"Jahanam, jangan banyak mulut!" tiba-tiba Hiang Hiang memaki dan taburkan tangannya. Sebuah benda tipis sebesar bunga melati tetapi berwarna merah, melayang kearah pengemis itu. Itulah senjata rahasia Ang-lian-cu atau Biji Teratai merah. Tiada seorang lawan yang pernah lolos apabila Hiang Hiang niocu menaburnya dengan Ang-lian-ca.

Pengemis sakti Hoa Sin terkejut sekali. Karena tak menyangka akan gerakan Hiang Hiangl niocu yang sedemikian cepat sekali. Apalagi jaraknya amat dekat, hanya beberapa belas langkah. Betapapun sakti pengemis tua itu, namun Hiang Hiang niocu lebih sakti.

Cret . . . surat yang tengah dipegang pengemis Hoa Sin tertabur hancur, masih Ang-lian-cu itu melanda dadanya, tring

. . . terdengar dering macam keping baja tertimpah palu besi. Tubuh pengemis sakti Hoa Sin terjungkal kebelakang tapi secepat itu ia sudah berjumpalitan melonjak bangun.

Hiang Hiang niocu heran bahwa pengemis usil mulut itu masih hidup. Demikianpun para ke partai persilatan. Tetapi cepat mereka mengerti apa sebabnya. Bunyi mendering tajam tadi, jelas dari kepingan baja. Dengan begitu dapat ditarik kesimpulan bahwa pengemis saksi Hoa Sin  mengenakan papan baja pada dadanya. Dan teringat pula para ketua partai persilatan apa sebab tadi pengemis sakti itu begitu ngotot hendak menahan pukulan maut Bu kek-coan-jit-hun momok Thian-sat-cu. Dan nyatanya berkat lindungan keping baja itu, selamatlah ketua partai Pengemis itu.

Malu karena ang-lian-cunya tak mampu mencabut nyawa sipengemis sakti; Hiang Hiang niocu terus hendak lepaskan pukulan. Tetapi secepat itu Hui Gong taysu mencegah : . "Omitohud, harap niocu suka bermurah hati kepadanya. Hoa pangcu itu memang suka usil mulut tetapi dia bukan orang yang jahat."

Beda sikap Hiang Hiang niocu ketika baru datang dengan saat itu setelah membaca surat Kim Thian-cong. Rupanya ada sesuatu dalam surat itu sehingga Hiang Hiang niocu berobah ramah hati.

"Paderi Siau-lim-si," katanya kepada Hui Gong, "agar  jangan menumpahkan darah karena aku tak dapat mengendalikan kemarahan, harap engkau suruh dia pergi, jangan menyebalkan mataku. Kalau dia membangkang, terpaksa aku harus turun tangan !"

Karena Hoa Sin itu terus menerus mengganggu, Hui Gong taysu kuatir Hiang Hiang niocu akan marah dan benar-benar akan membunuh ketua Partai Pengemis itu. Maka ia menghampiri ketua Partai Pengemis itu lalu dengan pelahan ia memintanya agar suka menyingkir dulu untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan.

"Baiklah, taysu, kalau Hiang Hiang niocu sebal melihat tampangku, akupun akan menyingkir," kata pengemis sakti Hoa Sin tertawa-tawa sambil ayunkan langkah keruang belakang, tinggalkan surat dalam sampul kuning yang sudah hancur terkena senjata rahasia Ang-lian-cu.

Kemudian Hiang Hiang niocu meminta dupa dan bersembahyang dimuka peti jenazah : "Thian-cong, maafkan aku. Ternyata engkaupun amat menderita seperti aku . . . Engkaupun telah berusaha mati-matian untuk mencari aku tetapi tak berhasil sehingga engkau menganggap aku sudah mati dalami pembasmian markas Pek-lian-kau . . . Thian- cong,! sebenarnya saat ini juga aku ingin mati didepan peti jenazahmu, untuk menebus kesalahanku, agar aku segera berkumpul lagi dengan engkau dialam baka . . . ah, Thian- cong, hanya engkaulah pria satu-satunya yang benar-benar mengisi hatiku . . Thian cong, terpaksa aku belum dapat menyusul engkau karena aku masih ingin menyelesaikan tugas kewajibanku yang terakhir. Dan tugas itu demi untuk kepentinganmu dan kepentinganku. Ya, Thian cong, berilah aku kekuatan lahir dan batin agar dalam sisa hidupku yang terakhir ini aku berhasi mencari puteramu. Akan kuberinya keterangan si apa ayahnya dan akan kusuruh iya  berlutut  dide pan makammu "

Sekalian ketua partai persilatan mendengarkan doa Hiang Hiang niocu dengan penuh rasa haru dan belasungkawa. Mereka duga isi surat Kim Thian-cong itu tentu suatu penjelasan kepada Hiang Hiang niocu.

Beberapa saat kemudian tampak Hiang Hiang niocu dan ketujuh anakmuridnya berbangkit lalu wanita itu menghadap kearah Hui Gong taysu.

"Taysu," katanya dalam nada rawan, "akan ditanam dimanakah jenazah Thian-cong nanti ?"

Ketika ketua partai Siau-lim-pay itu menerangkan bahwa Kim Thian-cong sudah meninggalkan pesan agar jenazahnya dikubur dipuncak Giok-li-nia disamping makam isterinya, Hiang Hiang niocu terkait : "Ah. dia sudah beristeri ?"

"Ya, tetapi isterinya sudah mendahului meninggal lima tahun yang lalu," kata Hui Gong. "Adakah dia berputera ?"

"Ya, seorang Tetapi putera Kim tayhiap itu nakal dan malas sehingga karena jengkel, Kim tayhiap telah  mengusirnya," kata Hui Gong yang kemudian juga memperkenalkan Tio Goan-pa, Liok Sian-li serta Kwik Ing yang sedang bertugas dibelakang.

"Siapakah nama anak itu dan berapakah kita-kita umurnya sekarang ?"

"Namanya Kim Yu-yong. sudah berumur 15-16 tahun tetapi masih ketolol-tololan seperti unak kecil."

"Baiklah taysu," kata Hiang Hiang niocu," saut ini fajar sudah menjelang tiba. Aku tak dapat linggal lama disini. Aku masih harus menyelesaikan hcberapa urusan penting sehingga terpaksa tak dapat hadir dalam pemakaman Thian-cong.  Kelak dalam usahaku mencari puteraku yang hilang itu, akupun akan mencari putera Kim Thian-cong si Yu-yong yang blo'on itu. Taysu dan sekalian ketua partai persilatan. Walaupun aku bukan isteri Thian-cong yang resmi, tetapi aku adalah ibu dari seorang putera Kim Thian-cong. Maka terimalah hormatku sebagai pernyataan terima atas bantuan saudara-saudara dalam mengurus jenazah a-yah dari puteraku itu ... "

Hui Gong taysu dan para ketua partai per silatan melonjak kaget ketika Hiang Hiang niocu membungkuk tubuh memberi hormat kepada mereka. Tersipu-sipu mereka membalas hormat ke pada wanita itu.

"Omitohud." serta merta Hui Gong berseri "harap niocu jangan berlaku keliwat menghormat Pin-ni dan sekalian ketua partai persilatan merasa telah berhutang budi kepada Kim tayhiap yang dalam masa-masa yang gawat, telah menyelamatkan kaum persilatan di Tiong-goan dari kehancuran dan mempersatukannya kembali. Apa yang kami lakukan terhadap Kim tayhiap saat ini masih jauh artinya dari apa yang Kim tayhiap telah diberikan kepada kami . "

"Baik, taysu. Selamat tinggal, aku hendak pergi," kata Hiang Hiang niocu seraya ayun langkah mengajak anakmuridnya keluar.

"Niocu, tunggu dulu," tiba-tiba Ang Bin tosu ketua Bu-tong- pay berseru gopoh. Hiang Hiang niocu hentikan langkah, berpaling.

"Niocu" kata ketua partai Bu-tong-pay sambil memberi hormat, "kami merasa telah berhutang budi besar kepada Kim tayhiap. Maka apapun yang dapat kami lakukan tentu akan kami lakukan untuk membalas budi Kim tayhiap. Siapakah nama dan bagaimanakah ciri-ciri dari putera niocu yang hilang itu ? Siapa tahu, kalau Tuhan memberi jalan kepada kami untuk membalas budi kepada Kim tayhiap, mungkin kami akan menemukan putera Kim tayhiap dengan niocu itu."

Sejenak merenung Hiang Hiang niocupun menjawab : "Waktu direbut Pek Lian lojin, bayi itu baru berumur tiga bulan. Pada dada sebelah kiri terdapat tanda hitam sebesar buah kelengkeng. Dan kunamakan anak itu Sin-lui yang artinya tunas baru."

Demikian Hiang Hiang niocu lalu tinggalkan puncak Giok-li- nia dengan membawa kenangan yang tak mudah dilupakan.

Saat itu fajar sudah tiba. Ternyata pembicaraan Hiang Hiang niocu dengan para ketua partai persilatan itu telah memakan waktu hampir setengah malam. Dan diwaktu Hiang Hiang niocu bicara menururkan kisah jalinan hidupnya bersama Kini Thian-cong, tak ada seorang tetamu yang berani mengganggu peti jenazah.

Hari itu peti jenazah Kim Thian-cong, ditanam dipuncak Giok-li-nia disamping makam isterinya. Kemudian para wakil- wakil perguruan maupun partai persilatan dan perorangan, berbondong-bondong tinggalkan puncak Giok-li-nia pulang kembali ketempat masing-masing

Yang masih tinggal hanialah Hui Gong taysu dan keenam ketua partai persilatan yang memikul tugas mengurus pemakaman itu. Karena semalam suntuk tak tidur dan pagi harinya melangsungkan pemakaman, mereka letih juga. Setelah siang hari beristirahat, malam mereka baru berkumpul di paseban Wisma Perdamaian.

"Ah, syukurlah pemakaman telah berlangsung lancar. Memang apa yang kita kuatirkan, hampir menjadi kenyataan semua. Untunglah karena terjadi hal-hal yang tak terduga, maka muzibah itu dapat teratasi," kata Hui Gong taysu sambil menarik napas |onggar.

"Tetapi kurasa dalam peristiwa semalam, tidak seluruhnya hanya terjadi karena hal yang tali terduga. Sebagian memang kita atur sedemikian rupa sehingga tepatlah apa yang kuperhitungkan 'dengan racun mengobati racun' atau 'bahaya untuk menolah bahaya' ," kata pengemis sakti Hoa Sin.

"Hoa pangcu, apakah maksud ucapanmu ?” Hui Gong meminta penjelasan.

Ketua partai Pengemis itu tertawa : "Taysu siapakah yang paling berbahaya diantara tetamu semalam tadi ?"

"Thian-sat-cu," jawab Hui Gong taysu. "Dan yang paling sakti kepandaiannya Hiang Hiang niocu." Pengemis sakti Hoa Sin tertawa: "Benar, dan bukankah Hiang Hiang niocu telah menolak bahaya baik dari Thian-sat- cu maupun dari semua tokoh yang hendak mengganggu peti jenazah Kim tayhiap?"

"O, itukah sebabnya mengapa Hoa pangcu selalu menyela dan menukas pembicaraan Hiang Hiang niocu ?' tiba-tiba Ang Bin tojin berseru.

"Benar, totiang," sahut Hoa Sin, "memang sengaja kupancing kemarahannya agar mau adu mulut dengan aku sampai berkepanjangan. Dengan demkian dapatkah kita 'tahan' dia terus menerus di depan meja sembahyangan hingga fajar. Beradanya Hiang Hiang niocu didepan meja sembahyang,akan merupakan momok. Tak ada seorang persilatan musuh-musuh Kim tayhiap yang berani maju menghampiri ki-muka peti. Dan amanlah. Siasat itu kusesuaikan degan siasat 'dengan racun mengobati racun' atau 'menggunakan bahaya untuk menolak bahaya'."

"Ai, ai, sicu benar-benar cerdik seperti kancil, licin bagai belut," Hui Gong taysu tertawa memuji ketua partai Pengemis. Demikian para ketua partai persilatan yang lain, pun ikut memuji.

Kemudian keenam ketua partai persilatan itu makan malam bersama. Sehabis makan barulah Hia Gong mengajak mereka menuju ke kamar rahasia menjenguk keadaan jenazah Kim Thian-cong yang di simpan disitu dijaga muridnya nomor dua Kwik Ing dan wakil perguruan Hoa-san-pay si Naga-tidur Pang To-tik.

Kamar rahasia terletak dibawah tanah- Sebenarnya sebuah guha, lalu dibangun oleh Kim Thian-cong menjadi sebuah kamar, rahasia dimana ia biasa menggunakannya sebagai tempat semedhi. Ia' menyadari bahwa selama aktif dalam pergolakan dunia persilatan, ia banyak mengikat persahabatan dan permusuhan. Oleh karena itu demi penjagaan dan pengamanan, ia mendirikan kamar rahasia dari guha dibawah tanah itu. Memang tempatnya rapat dan sukar diketahui orang.

Goan-pa dan Sian-li mengikuti rombongan ketua partai persilatan yang tengah menuju ke ka mar rahasia gurunya.

Begitu masuk kedalam kamar itu, mereka agak heran karena tak melihat Pang To-tik. Sedang Kwik Ing duduk dilantai bersandar pada dinding dan pejamkan mata. Karena melihat keadaan dalam kamar itu tak ada sesuatu yang patut menimbulkan kecurigaan, para ketua partai persilatan itupun longgar perasaannya. Pang To-tik mungkin sedang ada keperluan keluar dan Kwik Ing karena lelah mungkin tertidur. Lampu yang menerangi kamar itupun masih memancar  terang. Peti yang berisi jenazah yang sesungguhnya dari Kim Thian-congpun masih terletak ditempat semula. Sedikitpun tak ada tanda-tanda terjadi suatu perobahan.

Goan-pa hendak membangunkan sutenya, Kwik Ing, yang tidur bersandar dinding. Tetapi dicegah Hui Gong: "Jangan, biarlah Kwik sicu tidur, dia tentu amat letih "

Demikian enam ketua partai persilatan dan dua anakmurid Kim Thian-cong berkerumun dike-dua samping peti. Hui Gong taysu minta agar Go-an-pa suka membuka penutup peti.

"Mengapa taysu ?" tanya Goan-pa, "apakah kita perlu melihat jenazah suhu lagi ?"

"Ya, kurasa demikian," sahut Hui Gong, "a-gar hati kita lebih tenteram."

"Tetapi kurasa kurang perlu," kata-kata Ceng Sian suthay rahib ketua Kun-lun-pay "peti ini tak mengunjuk tanda-tanda yang mencurigakan. Sebaiknya jenazah Kim tayhiap jangan dibuka. Makin berada di tempat yang tertutup rapat, makin daya tahan pembalsemannya lebih bagus. Bila ditempat yang terbuka, hawa dan angin dapat mengganggu ketahanannya."

Ang Bin tojin ketua Bu-tong-pay, Sugong In ketua Kong- tong-paypun mendukung pernyataan Ooan-pa dan Ceng Sian suthay. Apa boleh buat, Hui Gong taysu terpaksa mengalah. Karena keadaan kamar rahasia tampak aman, para ketua partai persilatanpun hendak kembali ke paseban Wisma Perdamaian.

Baru berjalan beberapa langkah, sekonyong-konyong sesosok tubuh melesat masuk dengan tegang.

"Pang sicu !" seru Hui Gong taysu demi melihat pendatang itu Pang To-tik, wakil Hoa-san-pay yang ditugaskan menjaga kamar rahasia disitu. Dia tampak menghunus pedang dengan wajah membe-ringas, "mengapa sicu menghunus pedang ? Dari manakah sicu tadi ?"

Pang To-tik tak cepat menjawab melainkan mengerling mata memandang kesekeliling. Demi di lihatnya Kwik Ing seperti tidur bersandar didinding dan kain hitam yang menutup peti tempat jenazah Kim Thian-cong masih seperti sediakala, ketegangan wajahnyapun menyurut

"Taysu, apakah taysu sekalian sudah lama berkunjung kemari ? Dan apakah tak ada sesuatu yang terjadi dalam kamar ini ?' Pang To-tik tidak menjawab melainkan malah balas mengajukan pertanyaan.

Hui Gong kerutkan kening: "Pin-ni dan sekalian ketua partai persilatan baru saja datang dan tak melihat suatu apa dalam kamar ini. Tetapi mengapa sicu tampak begitu tegang ?" Pang To-tik menghela napas untuk mengendorkan ketegangan uratsyarafnya. lalu menjawab "Aku baru saja mengejar seseorang yang hendak masuk kemari. Dia lari melintasi dua puncak dan menghilang ke dalam hutan. Walaupun sampai lama ku cari, namun tak dapat  kuketemukan lalu aku beri gegas lari pulang . . . eh, aneh," tiba-tiba ia berpaling memandang kearah Kwik Ing yang masih meram. ”Apakah sejak taysu sekalian datang, dia beluid juga bangun ?"

"Belum, memang pin-ni yang melarang jangan dibangunkan. Dia tentu lelah," ujar Hui Gong.

"Aneh," seru Pang To-tik, "tadi sewaktu musuh datang menganggu kemari, dia masih terjaga. Dan ketika aku mengejar orang itu. pun sebelumnya sudah kupesan supaya dia hati-hati menjaga peti. Belum setengah jam aku pergi, mengapa dia sudah tidur selelap itu," kata Pang Tp-tik seraya menghampiri ketempat Kwik Ing. Dipandangnya pemuda itu dengan seksama. Serentak timbullah lasa curiga dalam hati si Naga-tidur Pang To-tik. la memperhatikan dada dan tubuh pemuda itu tak bergoncang sebagai orang tidur.

Cepat ia mendekati dan merabah hidung Kwik Ing : "Celaka, dia sudah mati !" serentak ia berteriak keras sekali.

"Apa ...?!" hampir serempak para ketua partai persilatan itu berseru dan berhamburan loncat menghampiri. Hui Gong cepat mencekal pergelangan tangan pemuda itu dan : "Omitohud. " ia berseru berat, "Kwik sicu memang sudah tak

bernyawa "

Ketua partai Siau-lim-pay cepat memeriksa tubuh Kwik Ing tetapi ia tak menemukan suatu luka pada tubuhnya. "Hm, dia terkena pukulan tenaga-dalam sakti yang dapat memutuskan urat-urat jantungnya” akhirnya Hui Gong memberi kesimpulan.

"Bu ing-sin-ciang !" seru Ang Bin tojin. Bu-ing-sin-ciang artinya PukuIan-sakti-tanpa-bayang-an.

"Adakah Bu-ing-kui yang melakukan?" sambut Hong Hong tojin ketua Go-bi-pay.

"Mungkin," sahut Hui Gong. "Mungkin juga Hong-sat-koay- ceng sipaderi lhama aneh dari Mongolia yang memiliki pukulan Hong-sat-ciang (pukulan Pasir-kuning). Mengapa dia tak muncul di paseban Wisma Perdamaian karena mungkin dia menyelundup kemari ?" seru pengemis sakti Hoa Sin.

Ucapan ketua Partai Pengemis itu menimbul kan keraguan pada para ketua partai persilatan Kedua orang itu, Bu-ing-kui atau Setan-tanpa-bayangan dan paderi lhama Pasir-kuning, mempunyai kesaktian dan kemungkinan yang sama dalam pembunuhan terhadap Kwik Ing. 

"Baik si Bu-ing-kui atau lhama Pasir-kuning atau lain orang tetapi yang jelas Pang To-tik itulah yang bertanggung jawab akan kematian Kwik sicu", tiba-tiba rahib Ceng Sian suthay berseru, "sehingga seorang cianpwe mengapa begitu mudah terpancing musuh dan meninggalkan Kwik sicu seorang diri sehingga dapat dibinasakan oleh gerombolan musuh ?"

Hui Gong taysu. Ang Bin tojin, Hong Hong tojin. Sugong ln dan Ceng Sian suthay mencurahkan pandang mata kearah wakil dari Hoa-san-pay.

Seolah-olah hendak menuntut pertanggungan jawab dari tokoh Hoa-san-pay itu. Rupanya Pang To-tik menyadari itu. Diapun seorang jantan, serunya : "Baik, akulah yang bertanggung jawab akan kematian Kwik Ing. Tetapi kumohon taysu dan totiang sekalian dapat memberi waktu agar aku sempat untuk mencari sipem- bunuh. Apabila gagal, Pang To-tik akan menyerahkan diri kepada taysu sekalian untuk menerima hukuman !"

"Ah, mengapa Pang sicu sedemikian bersungguh," kata Hui

Gong taysu, "kami hanya ingin meminta penjelasan tentang kematian Kwik sicu. Sama sekali tak menuntut Pang sicu harus mengganti jiwanya."

"Jelas Kwik Ing telah dibunuh dengan pukulan tenaga-sakti. Dua pukulan sakti Bu-ing-sin-ciang dan Hong-sat-ciang, dapat kita curigai. Selain itu kita harus mencari pula tokoh-tokoh persilatan siapa yang memiliki ilmu pukulan-sakti setingkat

itu Setelah itu baru kita bertindak menyelidiki mereka ”

"Hai," sekonyong-konyong pengemis sakti Hoa Sin menjerit seperti dipagut ular, "jenazah Kim tayhiap "

Cepat ia loncat kesamping peti lalu membuka penutupnya dan menjeritlah ketua Partai Pengemis itu senyaring- nyaringnya : "Astaga '. Jenazah Kim tayhiap lenyap !"

Apabila saat itu petir berbunyi, tidaklah para ketua partai persilatan sampai begitu terkejut seperti waktu mendengar teriakan pengemis Hoa Sin. Rasa kejut itu cepat berobah menjadi perobah an warna muka yang pucat ketika mereka melongok kedalam peti. Pucat lesilah wajah para ketua partai persilatan ketika melihat peti itu kosong melompong, jenazah Kim Thian-cong hilang . . . !

Mereka saling berpandangan, saling bertukar pancaran mata bertanya, namun hanya kerut dahi yang mengernyut lipatan dalam-dalam saja yang tampak pada wajah para ketua partai persilatan.  Lipatan ! kerut dahi yang memantulkan  rasa heran dan kehilangan faham.

"Adakah peti ini benar peti yang kita gunakan untuk tempat jenazah Kim tayhiap?" kata Hong Hong tojin ketua Go-bi-pay seraya memeriksa peti.

"Ya,"jawab Hui Gong taysu, "maksud toheng?"

"Pinto kuatirkan, penjahat itu menukar peti yang berisi jenazah Kim tayhiap dengan sebuah peti yang kosong," kata Hong Hong tojin.

"Tidak," jawab Hui Gong, "penjahat itu hanya mengambil jenazah Kim tayhiap saja" Ketua partai Siau-lim-si itu segera alihkan pandang kepada Pang To-tik si Naga-tidur wakil dari Hoa-kan-pay. Demikianpun pandang mata dari para ketua partai persilatan sermpak mencurah kepadanya.

Tampak wajah si Naga-tidur Pang To-tik pucat seperti mayat Ia tahu bahwa para ketua partai persilatan itu menuntut pertanggungan jawab kepadanya. Ia tak takut soal itu, tetapi ia merasa telah melakukan suatu kesalahan besar sehingga menyebabkan timbulnya dua musibah besar: jenazah Ki Thian-cong hilang dan muridnya yang kedua Kwi Ing tewas.

Namun apa yang terjadi telah terjadi. Sebagai seorang ksatrya ia harus berani bertanggun jawab, baik atas nama perguruan Hoa-san-pay ma upun atas nama peribadinya. "Taysu dan totiang sekalian ..."

"Kutahu Pang sicu hendak mengatakan apa," cepat Hui Gong taysu menukas, "hal itu sudah terjadi. Yang penting bukan pernyataan dan ikrar, tetapi usaha-usaha untuk segera mencari jenazah Kim tayhiap. Sebelumnya, maukah Pang sicu menceritakaa, apa yang sicu alami sejak menjaga kamar rahasia ini ?"

"Hari pertama dan seterusnya, tidak terjadi suatu apa. Rupanya penjahat itu memang cermat dan tak mau buru-buru tangan turun. Dia hendak menunggu setelah perhatian kami lengah. Dan terus terang, aku sendiripun mulai berkurang keteganganku. Kuanggap musuh-musuh Kim tayhiap tentu tak tahu akan rahasia peti jenazah yang kita taruh depan meja sembahyang itu. Mereka tentu menui peti itu benar-benar terisi jenazah Kim tayhiap, PM To-tik mulai menuturkan apa yang dialaminya.

”Tiba-tiba tadi dua jam lalu, terjadi suatu peristiwa yang tak terduga-duga. Pintu tiba-tiba diketuk orang. Cepat kubuka dan ternyata seorang bujang lelaki setengah tua. Dia. mengatakan disuruh Hui Gong taysu untuk memanggil kami, berdua ke paseban, diajak makan malam bersama. Hampir saja aku menurut tetapi tiba-tiba terkilas sesuatu dalam pikiranku. Kuanggap tindakan taysu itu aneh. Demi menjaga rahasia tempat peti jenazah Kim tayhiap, tidak seorangpun diperbolehkan datang kesini kecuali Hui Gong taysu sendiri Dan ini telah kita mufakatkan lebih dulu."

"Benar," Hui Gong taysu mengiakan, "memang tiap hari, pin-ni sendiri yang datang mengantar makanan untuk sicu berdua."

"Tetapi bujang itu cerdik sekali. Rupanya ia tahu kalau aku curiga. Maka cepat ia menerangkan bahwa pagi tadi jenazah Kim tayhiap telah selesai dimakamkan. Taysu menganggap sudah tak berbahaya maka suruh dia yang mengundang aku. Walaupun alasan itu baik namun aku tak mau begitu percaja terus menghapus kecurigaanku. Kuberi isyarat supaya Kwik Ing datang. Kwik Ing cepat  dapat  mengatakan  bahwa bujang itu bukan bujang Kim layhiap. Tiba-Tiba bujang itu menghantam aku, terus loncat melarikan diri. Karena tak menduga dan jaraknya begitu dekat, bahuku kena terpukul sehingga aku  tersurut  mundur. Setelah itu kupesan Kwik   Ing supaya hati-hati dan akupun segera mengejarnya. Penjahat itu gesit sekali dan memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat. Walaupun sudah melintasi dua puncak gunung, tetapi tak dapat mengejar, kemudian tiba-tiba ia masuk ke dalam hutan dan menghilang. Setelah mencari sampai beberapa saat, akupun segera kembali dan dapatkan taysu sekalian berada disini ..."

"Dan Kwik Ing terbunuh dan jenazah Kim tayhiap hilang, bukankah begitu ?" tiba-tiba Ceng Sian suthay melengking dengan nada sinis. Sejak perta ma kali tiba, Ceng Sian suthay nampaknya kurang senang dengan Pang To-tik. Pang To-tiklah yangj mengusulkan supaya jenazah Kim Thian-cong di sembunyikan dan peti yang ditaruh dimuka paseban itu diisi dengan mayat dari kayu. Ceng Sian suthay tak setuju tetapi karena kalah suara, terpaksa ia diam saja.

Demikianpun setelah terjadi hilangnya mayi Kim Thian-cong saat itu, Ceng Sian suthay ngunjuk sikap yang curiga terhadap Pang To Entah ada ganjelan apakah antara Ceng Sian thay dengan Pang To-tik atau partai Kun-lun-pay dengan partai Hoa-san-pay. Mungkin kedua partai persilatan mempunyai dendam permusuhan. Pang To-tik merah mukanya. Ia kerling mata kearah rahib itu, sahutnya : "Memang begitulah. Bila suthay hendak menghukum. Orang Pang siap menerima dengan rela hati."

”Ih,” dengus rahib ketua perguruan Hoa san-pay itu. "hukuman pasti diberikan kepada orang yang bersalah Kalau engkau merasa dan tak terbukti bersalah, mengapa engkau minta dihukum ?"

"Kalau suthay mencurigai diriku, silahkan suthay memeriksa dan mengajukan pertanyaan ?" kata Pang To-tik.

"Hm, kalau engkau meminta, baiklah," kata Ceng Sian suthay, "akan kuminta engkau menjawab beberapa pertanyaanku. Pada waktu hendak mengejar musuh, apakah tak terlintas dalam pikiranmu bahwa engkau mungkin akan terjebak dalam perangkap musuh yang disebut 'memancing harimau tinggalkan sarang'. Begitu engkau pergi mayat Kim Tayhiap tentu akan disergap oleh komplotan penjahat itu ?"

"Tidak ..."

"Mengapa ?' desak Ceng Sian suthay. "Karena pikiranku hanya tertumpah untuk Membekuk penjahat itu !"

"Dan berhasilkah engkau meringkusnya ?" "Tidak."

"Mengapa ?"

"Karena dia menghilang kedalam rimba lebat."

"Setelah penjahat itu lenyap, apakah engkau segera kembali ke kamar rahasia ini ?"

"Tidak." "Mengapa ?" "Karena hatiku panas dan aku terus masuk ke dalam hutan untuk mencarinya sampai beberapa lama”

"O, karena engkau anggap kamar rahasia ini cukup aman ?"

"Bukan begitu, tetapi saat itu pikiranku benar-benar dirangsang oieh kemarahan untuk meringku penjahat itu," bantah Pang To-tik,

'"O, cukup," kata Ceng Sian suthay mengakhiri pertanyaan. "Ah, didalam menghadapi peristiwa hilangnya jenazah Kim

tayhiap,    kita    ibarat    'mendayung    dalam    satu perahu'.

Hendaknya bersatu hati dan seragam langkah. Hindari curiga- mencurigai diantara sesa ma kawan." kata Hui Gong taysu. Kemudian memutuskan, "yang kita hadapi saat ini ialah dua buah masalah. Pertama, mencari putera Kim tayhiap dan kedua mencari jenazah Kim tayhiap."

"Benar," sambut Sugong In ketua Kong-tong pay, "kuminta peristiwa hilangnya jenazah Kim tayhiap ini supaya dirahasiakan jangan sampai teruwar. Agar penjahat itu tak ketakutan dan tak mau unjuk diri."

"Ya. benar," seru Ang Bin tojin ketua Bu tong-pay, "dan juga menjaga gengsi kita ketua partai persilatan agar jangan dicemohkan orang karena tak mampu menjaga sebuah jenazah saja."

Demikian Hui Gong taysu lalu membagi tugas. Tugas mencari si blo'on Yu-yong. diserahkan kepada perguruan yang luas pengaruhnya ialah pengemis-sakti Hoa Sin dari Partai Pengemis, Cian Sian suthay dari perguruan Kun-lun-pay dan Su gong In dari Kong-tong-pay. Sedang tugas untuk vnencari jenazah Kim Thian-cong, dilakukan oleh Hui Gong taysu dari partai Siau-lim-si, Ang Bin tojin dari partai Bu-tong-pay, Hong Hong tojin dari partai Go-bi-pay dan Pang To-tik wakil dari Hoa-sah-pay yang bertanggung jawab atas hilangnya jenazah itu.

Masing-Masing partai akan bekerja secara berpencaran dan nanti tiga bulan lagi, supaya berkumpul di Wisma Perdamaian untuk memberi laporan.

"Bagaimana misalnya ada salah seorang dari kita yang dapat menemukan jejak pencuri jenazah Kim tayhiap ?" tanya Hong Hong tojin.

"Bawa langsung ke Wisma Perdamaian, jaga baik-baik sampai kawan-kawan yang lain datang semua, "kala Hui Gong taysu.

'Tetapi bagaimana kalau dalam usaha merebut jenazah Kim tayhiap itu kita mengalami kesukaran karena gerombolan pencuri itu lebih kuat?" lunya Hong Hong tojin pula.

"Kirim orang atau merpati untuk memberita-hu ke markas perguruan masing-masing, agar murid-murid perguruan yang bersangkutan itu dapat cepat memberi berita kepada suhu masing-masing," kata Hui Gong pula.

Demikian setelah mengurus penguburan KwiK Ing, para ketua partai persilatan itupun kembali ke markas kediaman masing-masing.

Tio Goan-pa dan Liok Sian-li tetap tinggal dipuncak Gjok-li- nia.

-oo0dw0oo-

Si Blo'on

Halimun pagi yang menyelubungi barisan puncak gunung yang terpisah satu sama lain dengan jurang yang curam, pelahan-pelahan mulai berarak menipis karena jeri akan kehadiran mentari pagi. Disalah sebuah puncak gunung itu, terdapati sebuah guha yang letaknya tersembunyi. Didalam guha itu samar-samar tampak dua sosok tubuh membujur ditanah.

Yang satu, seorang jejaka tanggung berumur 16 tahun. Romannya cakap, kulit bersih seperti seorang wanita jelita. Tetapi potongan rambutnya agak nyentrik. Bagian belakang gondrong, bagian muka masih disisakan sekepal rambut yang terus hinggap diatas jidatnya. Sepintas pandang mirip dengan jambul atau tengger ayam yang habis kalah bersabung ....

Pakaiannya dari kain cita kasar yang sudah kumal dan dia masih tidur pulas diatas lantai cadas. Tangannya kiri mencekal sebuah kerangka pedang yang isinya sudah kosong.

Sedang sosok tubuh yang lain, seorang lelaki setengah tua, berpakaian putih dan rebah dengan tubuh tengkurap. Pakaian putih yang dipakainya berhias warna merah. Bukan warna dari kain tetapi warna darah yang menghambur dari sebatang pedang yang tertanam pada punggungnya. Ya, lelaki setengah tua itu sudah mati dengan punggung tertusuk sebatang pedang hingga tangkai pedang itu saja yang masih tampak ....

Guha sunyi senyap dan sinar mentari pun mulai menyinari kedalam guha. Menimpah wajah anak muda yang masih tidur pulas.

Beberapa saat kemudian, anak muda itupun membuka mata. Pertama-tama yang tertumbuk pada pandang matanya ialah dinding karang guha yang berlekuk-lekuk penuh pakis. Kemudian sebuah lubang besar yang menghadap kearah alam terbuka. Serentak bangunlah pemuda itu dengan rasa kejut yang tak terhingga. la heran mengapa dirinya seperti berada dalam sebuah guha. Dan ketika menggerakkan tangan kanan, ia makin bertambah heran lagi. Sebuah kerangka pedang berada di tangannya.

"Hai . ... kerangka pedang siapakah ini ?" serunya, "aku tak punya barang semacam ini. Siapa yang memberikan kepadaku

. . . . ?"

Ia memandang pula bajunya dan matanya-terbelalak lebar- lebar. Lengan bajunya, ya lengan Bajunya berlumuran darah merah. Gila, pikirnya.

"Hai, apakah aku terluka ?" serunya seraya mengamat- amati sekujur tubuhnya. Tetapi tak ada suatu luka apapun dan memang ia tak pernah merasa sakit. '"Aneh, benar-benar aneh

. . dari mana ini? Aku tak terluka mengapa baju dan tanganku berdarah . . Ia berusaha untuk menggali ingatannya. Tetapi aneh, ya, benar-benar aneh sekali. Mengapa pikirannya terasa kosong melompong ? Mengapa ia tak dapat mengingat apa- apa lagi ?

Ia duduk numprah lagi ketanah dan masih mencoba untuk mengerjakan otaknya yang beku. Tetapi benar-benar ia tak mampu mengingat segala apa.

"Ah, mungkin aku sedang bermimpi," katanya lalu digigitnya lidahnya sendiri, "aduh ..” ia menjerit kesakitan, "mengapa masih terasa sakit. Kalau begitu aku ini bukan ngimpi tapi terjaga. Ia masih tak percaya, tangannya diayun menampar mukanya sendiri, plak . . Aduh, mak . kembali ia menjerit keras karena tamparan membuat matanya berkunaug- kunang, kepala pusing tujuh keliling. Masih belum puas, ia mencubit lagi pahati sendiri, idihh . . lagi-lagi ia menjerit tinggi ketika paha yang dicubitnya itu membegap meninggalkan tanda matang biru.

"Ah, sudahlah, minta ampun . .. aku memang melek, tidak ngimpi, "akhirnya ia mengoceh minta ampun pada dirinya sendiri. Lalu mulai ia mengajukan bertanya pada dia sendiri: "Hm, setan, kalau memang aku melek, berarti aku masih hidup. Dan orang hidup harus dapat bicara. Ya, engkau harus dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini," katanya kepada diri sendiri.

"Dimanakah aku? Apakah nama tempat ini?"

”. . entah . . , " ia gelengkan kepala. 'Mengapa aku berada disini ?"

”. . entah . . - ,"

'Eh, bodoh aku ini," gumamnya, "siapa namaku?”

”Namaku . . namaku . . eh, entahlah . . "

'Lho, engkau anak orang atau anak khewan?"

"Hah, bagaimana engkau tak kenal pada dirimu sendiri. Engkau kan anak orang?" katanya menjawab pertanyaan yang diajukan pada dirinya sendiri,

"Lalu siapa nama orangtuaku ?"

"Nama orangtua . . en . . tah . . celaka, mengrapa aku tak tahu nama orangtuaku!" plak, plak, ia menampar kepalanya supaya otaknya mau bekerja. Tetapi tetap macet. Ia lupa segala apa.

"Apa engkau gila ?" "Gila ? Mungkin, eh , . . gila itu bagaimana. ya ? Mengapa aku tak pernah merasa gila ? Apakah perasaan orang gila itu seperti yang kualami saat ini ? Entah, entah ..."

"Dari manakah asalmu ?" tanyanya pula.

"Aku? ... ih, aneh, aneh . . dari mana aku ya? Ih, tak tahulah karena tahu-tahu aku sudah ada disini . , . , " jawabnya sendiri pula. 'Nama tak tahu, orangtua tak tahu. tempat tak tahu. Habis aku ini orang apa ? Kalau bermimpi, mengapa lidahku masih sakit kugigit. Kalau melek mengapa akiu tak ingat apa-apa. Kalau mati, mengapa bisa bicara. Kalau hidup mengapa, pikiranku hilang ? Oh . i . "

Bluk, ia jatuhkan diri ketanah dan menangis: "Huh, hu, hu. hu . .. bagaimana aku ini .. 'Memang tiada suatu penderitaan yang lebih menyiksa daripada kehilangan diri sendiri. Melek tetapi tak tahu apa-apa. Hidup tetapi tak ingat apa-apa Bernyawa tapi tak punya pikiran.

Tiba-Tiba matanya tertumbuk lagi pada orangtua yang masih tidur ditanah itu. Ia berhenti menangis lalu merangkak menghampiri ketempat orang itu Ketika melihat keadaan orang itu, serentak menjeritlah ia sekuat-kuainya : "Hai, dia sudah mati

Memang setelah dekat, baru ia mengetahui bahwa tongkat yang terpaku pada punggungnya itu ternyata tangkai pedang. Karena masih tampak sisa batang pedangnya.

"Siapakah orang tua itu ?" serunya, "mengapa dia mati ditusuk pedang ? Siapa yang menusuknya ?"

Ia menghambur pertanyaan pada dirinya sendiri tetapi iapun tak dapat menjawab sendiri. Tiba-Tiba ia merasa tangan kirinya masih mencekal kerangka pedang yang kosong. Menjerit la ia senyaring- nyaringnya : "Hai ! Apakah pedang yang menancap pada punggungnya berasal dari kerangka ini ? Celaka ..." tiba-tiba ia melonjak lagi, "kalau begitu .... kalau begitu .. aku yang membunuhnya ? Oh, tidak, tidak! Aku bukan pembunuh ! Aku tak pernah melakukan pemnubuhan kepada orang tua itu ! Aku tak tahu siapa dia,!"

Ia coba mencabut pedang itu. Tetapi hatinya merasa ngeri ketika melihat darah mengucur deras Dilepaskannya lagi.

"Mengapa aku membunuhnya? Huss . . aku tidak membunuhnya!" ia membantah pertanyaannya sendiri.

'Tetapi pedang itu berasal dari kerangka yang engkau pegang, tentu engkaulah yang membunuh!" ia menuduh dirinya lagi.

"Jangan gila-gilaan engkau, bung! Apakah engkau merasa pernah melihat orang itu sebelumnya? Huh, jangan takut dituduh membunuh, engkau kan benar-benar tidak membunuh

. . . ," katanya membuat pembelaan sendiri.

Ia makin bingung dan bingung. Ia ingin marah tetapi dengan siapa ia harus menumpahkan kemarahannya. Ingin menangis, eh, bukankah tadi ia itulah menangis seperti anak kecil ? Ingin tertawa, eh, gila . Masakan dalam keadaan  seperti saat itu kau masih dapat tertawa ? lalu bagaimana ia harus bertindak ?

Duduk salah, berdiripun salah. Siapa dirinya ia tak tahu sendiri. Siapa namanya, juga tak tahu. Dari mana asalnya dan mengapa berada disitu, aduhai . . mengapa kepalanya macet .

.  Huh!"  karena  jengkel  ia  terus  loncat  ayunkan   tubuhnya keatas, duk, aduh . . . kepalanya terbentur langit guha karang dan terpelantinglah ia jatuh ketanah lagi.

Guha itu tingginya tiga meter. Biasanya tak mungkin ia dapat melonjak keatas sedemikian tingginya. Dan memang tak pernah berlonjakan. Tetapi saat itu ia dapat mencapai ketinggian yang begitu tinggi Seharusnya ia merasa aneh mengapa dirinya mendadak bisa begitu. Tetapi karena otak nya hampa, ia tak menyadari hal itu . . .

Karena membentur langit guha, kepalanya rasa pusing. Setelah berdiam diri beberapa saat ia mengeliarkan pandang, mata lagi. Secara kebetulan pandang matanya tertumbuk pada tangkai pedang yang menancap di punggung orang tua itu.

"Eh, ada tulisannya . . . ," ia menghampir merapatkan muka dan membaca : Wan-ong-kiam . . . , "ho apakah artinya Wan- ong-kiam? O, benar, benar. Karena pedang itu berasal dari kerangka yang berada ditanganku ini, tentulah Wan-ong-kiam itu nama dari yang empunya, aku . . hola . . !" berteriak kegirangan, "sekarang tahulah siapa namaku. Ya, namaku tentu Wan-ong-kiam, ha, ha”

Sebenarnya arti daripada Wan-ong-kiam ialah Pedang Penasaran. Tetapi karena otak anak itu sudah macet, dia tak menyadari hal itu

Tiba-Tiba dari luar guha terdengar suara orang bercakap- cakap. Yang seorang nadanya seperti a-nak perempuan.

"Hati-Hati, sumoay semalam habis hujan lebat, padas tentu licin. Kerahkan seluruh gin-kangmu agar jangan sampai tergelincir kebawah jurang;" seru seorang pemuda.

"Baik, suko," sahut kawannya yang bernada anak perempuan. Rupanya kedua orang itu suko dan sumoay atau kakak dan adik seperguruan. Terdengar angin menderu dan sesosok tubuh melayang ketepi seberang, dipuncak gunung yang terdapat guha itu.

"Bagus, sumoay, gerakanmu sungguh indah. Tak kecewa engkau diberi nama suhu 'burung Walet-kuning dari Hoa-san'," sipemuda berseru memuji.

"Ai, jangan menyanjung setinggi langit. Suko, lekaslah engkau melayang kemari," seru si dara. Terdengar deru angin meniup dan kembali diseberang karang bertambah dengan seorang pemuda.

"Bagus sekali, suko. Bukan hanya melompat biasa tetapi engkau dapat melompat sambil berjumpalitan diudara. Kalau suhu mengasih nama si Rajawali-bermata-biru kepadamu, itu memang tepat-sekali," kata dara itu pula.

"Ho, apakah biji mataku ini benar-benar biru, sumoay ?” kata pemuda itu sambil rentangkan kedua matanya lebar-lebar kemuka si dara.

"Hi, hi, hik," si dara tertawa geli, "memang berwarna biru. Engkau malu ? Salah. Seharusnya engkau bangga karena mempunyai sepasang mata yang berwarna biru."

"Mengapa sebabnya ?"

"Sebab didunia ini jarang orang yang mempunyai mata biru. Maka engkau harus menepuk-dada karena hanya engkaulah satu-satunya orang yang memiliki mata biru . . . ," kembali si dara tertawa mengikik.

"Budak kurang ajar, engkau berani mengerjai aku ?" pemuda itu tahu kalau diolok-olok, lalu mengangkat tangan hendak menampar. Tetapi secepat itu si darapun sudah loncat lari. Pemudi itupun mengejarnya. Rupanya kedua suko dan sumoay itu amat akrab sehingga dimana tempat, bahkan di tepi jurang puncak gunung yang tinggi, mereka masih bergurau saling berolok.

Dara itu mengenakan baju kuning, bertubuh kecil langsing. Wajahnya sesegar bunga mekar pagi hari, berseri cerah dan periang. Umurnya sekitar 15 tahun. Yang paling menonjol, adalah sepasang matanya yang lebar bundar berpagar bulumata yang lebat hitam.

Sedang pemuda itu bertubuh tegap, wajah cakap dan mata yang berkilat tajam. Umur sekitar -sekitar 0 tahun. Tiada yang tercelah pada pemuda itu kecuali sepasang alisnya yang menjungkat keatas, memantulkan sifat yang kejam.

"Hai, sumoay, berhentilah," serunya kepada si dara yang masih melesat-lesat di antara jajaran batu karang untuk menghindari kejaran suko-nya.

"Apa engkau tak marah lagi ?" seru sinona-

"Sudahlah. jangan bertingkah seperti anak kekecil. Lihat, matahari sudah makin menjulang, suhu tentu sudah bangun. Mari kita cepat menjenguknya !"

Dara yang disebut Walet-kuning dari Hoasan itu menurut. Memang demikian pekerjaan keduanya. Tiap pagi naik kepuncak dan menjenguk suhunya yang berada dalam guha itu.

Kini derap langkah kedua muda mudi itu makin dekat dan makin jelas. Anakmuda yang berada dalam guha dan merasa dirinya bernama Wan-ong-kiam itu makin terkejut gelisah

”Ah, bagaimana kalau kedua pendatang itu tahu aku berada disini ? Orang tua yang mati itu kemungkinan besar tentulah suhu mereka. Kalau mereka mendapatkan suhunya sudah mati dan yang ada disini hanya aku, bukankah mereka akan menuduh aku yang memmbunuh suhunya ..." ^

Namun guha itu hanya mempunyai sebuah pintu. Jika ia menerobos keluar dari pintu, tentu akan kesompokan dengan kedua muda mudi itu. Ia meneliti pula keadaan guha. "Ah, kemana aku harus bersembunyi . . . ?” belum selesai ia bertanya pada diri sendiri, tiba-tiba di pintu guha muncullah

dua orang muda mudi.

"Suhu . . . !" serentak terdengarlah sigadis menjerit kaget demi melihat keadaan orangtua yang teah bergelimangan darah itu. Keduanya menerobos masuk menghampiri mayat itu.

Sejenak kemudian, pemuda itu mengangkat muka dan menjerit kaget: "Hai, siapakah engkau!"

Serentak pemuda itu berbangkit, menghunus pedang lalu loncat menyerang : "Bangsat, tentu kau yang membunuh suhuku . . . !"

Pemuda yang berada dalam guha itu, terkejut, Sesaat ia tak dapat berbuat apa-apa kecuali hanya terlongong-longong saja

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar