Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 40 Hong-li-hoa

Jilid 40 Hong-li-hoa

Rasa seram makin mencengkam hati Haka, pangeran Boan yang tersesat dalam sebuah kuil diatas bukit. Namun sesaat kemudian dia menyadari bahwa kemungkinan besar suara tertawa mengikik itu bukanlah dari bangsa setan melainkan dari bangsa manusia jenis wanita. Tetapi baru pikirannya menduga begitu, terdengarlah suara bernada membatu roboh, "Ho, ho, hoooo "

"Hai, siapa kalian! Kalau berani hayo tunjukkan mukamu!" seru Haka yang sudah membulatkan tekad. Setan maupun manusia, toh dia harus menghadapi. Daripada mati ketakutan lebih baik dia melawan. Kalau memang harus mati, biarlah dia mati secara ksatrya.

Sebagai jawaban setiup angin halus berhembus menampar hidurgnya. Ah, harum, harum sekali .....

Haka cepat menyadari bahwa bangsa setan memang ada yang menebarkan bebauan harum. Tetapi segera dia merasa, bahwa bau harum itu telah mengikat pikirannya dan membawanya melayarg-layang ke suatu alam yang indah, penuh bunga2 mekar, gadis2 cantik dan kolam yang eok.

Sesaat terbawalah pikirannya melayang pada keadaan istana baginda dimana sekali dia pernah diajak masuk oleh ayahnya ketika ia masih agak muda.

Saat itu dia tak dapat merasakan keindahan yang tersimpul dalam taman istana yang penuh dengan dayang sahaya yang cantik2.

Namun sekarang ia merasa suatu daya pesona yang cepat menggelorakan darah mudanya Nafsu birahinyapun berkobar .....

"Celaka," cepat ia menyadari bahwa bebauan harum itu mengandung suatu daya yang tak wajar. Maka diapun segera menutup pernapasannya.

Tiba2 ia mendengar suara harpa mengalun lembut dan sejuk, dan sayup2 berkumandang suara yang merdu. Sesaat terlenalah ia dalam pesona yang memukau seluruh hati pikirannya. “Celaka," sesaat kemudian ia tersadar bahwa suara tawa, harpa dan nyanyian itu semuanya mengandung daya pesona yang menghanyutkan kesadaran pikirannya. Buru2 dia kerahkan tenaga dalam untuk menghalau tetapi ia terkejut. Sebahagian dari tenaga dalamnya telah hilang.

Menyadari bahwa dia telah terkena suatu serangan tenaga-dalam yang dipancarkan melalui tawa, harpa dan nyanyian, Haka mengerahkan seluruh sisa tenaga-dalam dan terus mengamuk.

Brakkk.............. brakkkk. ,

Meja sembahyangan diterjang, sekali babat terbelah menjadi dua kemudian dia menendang patung Dewi Koan Im yang setinggi orang. Patung mencelat dan seketika itu terang benderanglah ruangan.

Ternyata ruang kuil tua itu pada keempat sudutnya dipasangi lampu lilin. Saat itu menyala semua.

"Hai, siapa kalian...........!" seketika berteriaklah Haka setelah tahu bahwa dalam ruang kuil itu telah berjajar enam gadis cantik.

Salah seorang yang paling tua, berusia sekitar dua puluh tahun, menyahut, "Yang berhak bertanya adalah kami, bukan engkau. Siapa engkau mengapa engkau berani menginjak-injak kuil kami ?"

"Aku tak menginjak-injak, aku hendak meneduh untuk semalam ini."

"Siapa engkau ?"

"Aku adalah Haka pwelek… ”

"Seorang Boan ?" "Ya." "Hm, bagus," seru gadis itu, "susah payah kita mencari kemana-mana tak ketemu, ternyata sekarang malah datang sendiri."

"Apa ? Siapa yang engkau maksudkan itu ?" seru Haka. "Engkau." sahut gadis itu, "engkau seperti ikan yang

mencaplok pancing."

Haka makin tak mengerti, "Katakan yang jelas !" "Ketahuilah wahai pangeran Boan, kami adalah

anggauta Hong-li-hoa . , . ." "Apa itu Hong-li-hoa ?"

"Hong-li-hoa yalah perkumpulan dari gadis2 dan wanita2 yang telah menjadi korban keganasan prajurit Boan. Mereka telah mencemarkan kesucian kami, membunuh orangtua, saudara dan merampas harta benda kami."

Haka terkejut. Memang selama ini ia pernah mendengar tentang sepak terjang prajurit2 Ceng apabila berhasil merebut sebuah kota.

"Lalu bagaimana maksudmu ?" tanyanya.

"Sudah terang seperti burung bangau terbang di siang hari," sahut gadis itu. "bahwa setiap budi tentu berbalas. setiap dendam harus dihimpaskan."

Haka terkejut namun karena hanya berhadapan dengan kawanan gadis, diapun tenang kembali.

"O, maksud kalian hendak membalas dendam kepadaku

?"- tanyanya.

"Kepada siapa lagiIah dendam itu harus kita tagih ?" seru gadis itu dengan fasih, "bukankah engkau seorang pangeran Boan ? Bukankah keluargamu sekarang telah menduduki istana kerajaan Beng ? Bukankah engkau telah menikmati kehiduan diatas penderitaan rakyat kami ?"

"Ya." kata Haka, "itu hukum kodrat, siapa kuat menang, siapa lemah kalah."

"Ya, benar," sahut si gadis, "oleh karena itu mari kita adu kekuatan. Kalau engkau yang kuat, bunuhlah kami. Tetapi kalau engkau yang lemah, engkau harus menyerah."

"0, engkau hendak menangkap aku ?"

"Engkau seorang pangeran Boan, nilainya tinggi sekali bagi kami."

"Nilai apa ?"

"Kepada sekalian anggauta anak murid Hong-li-hoa telah dliberi pesan. Kalau dapat membunuh prajurit Boan, akan diberi hadiah uang. Kalau dapat membunuh perwira, dapat pelajaran ilmusilat. Membunuh jenderal dan mentri dapat pelajaran ilmupedang. Dan kalau membunuh pangeran atau raja Boan, dapat pusaka dan pelajaran ilmupedang yang sakti. Nah, kalau engkau memang mau menyerah, kami berjanji tak kan mengganggumu dan hanya membawamu menghadap ke tempat suhu. Kelonggaran ini kami berikan untuk membalas kesediaan dan bantuanmu sehingga kami berenam akan mendapat senjata pusaka dan ilmupedang."

Haka tertawa mengejek, "Ya, memang enak sekali bagi kalian. Tetapi sayang, kawanku tak mengidinkan kalau aku menyerahkan diri."

"Mana kawanmu?" seru gadis itu.

"Ini," Haka acungkan pedangnya, "dialah yang melarang aku. Kalau aku melanggar dia tentu marah."

"Hm, kematian sudah didepan mata, mengapa engkau masih berani jual aksi begitu macam. Di istana engkau seorang pangeran, tetapi disini engkau seekor babi yang akan dijadikan sesaji sembahyangan."

"Kejam! Buas benar kalian!" teriak Haka, "kalian kan kaum wanita mengapa hendak menjadikan diriku sebagai sesaji? Apakah kalian doyan daging manusia?"

"Gila!" bentak gadis itu, "siapa sudi menyentuh badanmu? Engkau akan dijadikan sesaji pada Makam Dendam dari perkumpulan kami."

"0, apakah Makam Dendam itu, makam dari mcreka2 yang menjadi korban perang ?" seru Haka.

"Ya, makam itu tempat kami memuja. Sesajinya adalah darah orang Boan !"

"Baiklah," akhirnya Haka berseru, "kalau kalian memang hendak menangkap aku, silakan saja kalau mampu !"

"Jadi engkau hendak melawan ?"

"Aku kan seorang lelaki, masakan mandah kalian tangkap seperti ayam saja," kata Haka.

"Baik, sekarang engkau boleh bersiap."

“Tunggu,” seru Haka, "sebelum bertempur agar kalau aku sampai kalah dan dibunuh aku jangan mati penasaran, aku ingin bertanya sesuatu kepada kalian."

"Hm, katakanlah."

"Mengapa lilin diatas meja itu dapat padam dan piring2 buah itu dapat bergerak ?" tanya Haka.

"Menurut engkau bagaimana ?"

"Kalau aku tahu aku tak perlu bertanya. Kukira setan karena kalau manusia sukar lepas dari perhatianku." "Baiklah, karena engkau toh akan mati, maka tak apa kalau kuberitahu tentang rahasia itu," kata gadis tersebut, “sebenarnya aku berada dalam patung Dewi Koan Im itu. patung itu berlubang dan dari lubang itu maka kuhembuskan napas untuk memadamkan lilin.”

"Dan bagaimana dengan piring buah itu?” tanya Haka. “Piring  itu  mempunyai  tali  pengikat  dari  kawat  yang

halus sekali sehingga tak kelihatan mata. Dapat ditarik kian

kemari."

"0," seru Haka." "Sudah jelaskah ?" "Ya"

"Nah, sekarang bersiaplah," seru gadis itu. Dan serentak dia memberi aba-aba maka kelima gadis itupun segera melolos sabuk pinggang masing2. Dan pada lain saat, merekapun menarikan ikat pinggangnya, menyerang Haka.

Seketika itu juga Haka rasakan hawa yang luar biasa harumnya bertebaran dari taburan kain pinggang mereka. Serentak ia menyadari kalau bau harum itu tentu mengandung obat pelelap pikiran tetapi sudah terlambat.

Pangeran Boan itu rasakan kepalanya pening dan tenaga lunglai. Plak.. sehelai ujung kain ikat pinggang dari kelima gadis itu menampar punggung dan seketika rubuhlah pangeran itu.

Tamparan selendang itu mengandung tenaga dalam yang kuat.

"Hm, pangeran Boan, engkau cari penyakit sendiri," dengus gadis yang tertua. kemudian dia memberi perintah kepada kelima kawannya untuk menggotong pangeran itu. Cepat sekali kelima gadis itu bekerja. Kaki, tangan dan tubuh pangeran itu diikat dengan ikat pinggang lalu diangkat bersama-sama, semisal orang menggotong harimau.

Mereka keluar dari kuil dan menuju ke arah bukit. Haka masih sadar tetapi tak bertenaga. Dia tak berkutik sama sekali. Dia tahu bahwa kawanan gadis aneh itu tentu menggunakan bebauan harum yang mengundang obat untuk menghilangkan tenaganya.

Dia menyesal mengapa tak lekas2 manyadari hal itu. Dan diapun menyesal mengapa sampai meninggalkan anak pasukannya. Kalau dia sampai mati, dia benar2 penasaran sekali. Bukan karena takut mati tetapi mati ditangan kawanan gadis, benar2 suatu kematian yang memalukan. Apalagi dia seorang pangeran.

"Hm, andaikata aku tak menurutkan emosi untuk mengejar Huru Hara, tentulah aku tak sampai mengalami nasib begini," keluhnya dalam hati.

Tetapi hal itu sudah menjadi suatu kenyataan. Dia tak dapa! berbuat apa2 lagi kecuali hanya mengharap akan timbul suatu keajaiban yalah anak-pasukannya akan menyusul dan menolongnya dari cengkeraman kawanan gadis misterius itu.

Saat itu sudah lewat tengah malam dan angin malampun makin dingin. Rombongan gadis dari perkumpulan Hong-li- hoa itu perjalanan beriring dengan menggotong tubuh pangeran Haka.

Sebagaimana diketahui Hong-li-hoa artinya adalah Bunga Penghibur. Suatu perkumpulan dari dan wanita yang telah menderita akibat keganasan pasukan Ceng. Mereka bersumpah akan membalas dendam. Mereka rela untuk mengorbankan kehormatannya, menjadi wanita penghibur pemuas nafsu prajurit Ceng. Tetapi mereka sebenarnya menjadi mata-mata untuk mencari tahu tentang rahasia militer dari pasukan Ceng. Bahkan kalau perlu mereka tak segan untuk meracuni tokoh2 pembesar Ceng.

Dengan pengorbanan itu mereka telah banyak berjasa untuk menyelamatkan rakyat dan terutama kaum wanita yang masih suci dari keganasan prajurit2 Ceng.

Hong-li-hoa, Bunga Penghibur. memang suatu nama yang cukup terkenal di kalangan pasukan Ceng.

Dan secara kebetulan pangeran Haka telah terjatuh ke tangan anakbuah Hong-Ii-hoa.

Tiba2 mereka dikejutkan oleh suara orang berbatuk- batuk. Serempak mereka berhenti.

"Cici, siapakah yang batuk2 itu ?" tanya salah seorang gadis yang berada di muka.

"Ya, terdengar suara orang batuk2 tetapi mengapa tak kelihatan orangnya ?" sahut kawannya.

"Jangan2 ada setan ”

"Jangan ngaco, Ah Ing," seru gadis yang tertua tadi, "dunia ini tak ada setan. Namun kalau memang ada, tentulah tak berani dekat dengan kita. Kita ini kan sudah menjadi setan juga, bukan ?"

"Ya, benar, cici, setan dunia !"

"Tetapi walaupun setan, pun bukan setan sembarangan setan. Kita menjadi setan bagi orang Boan, tidak bagi rakyat Beng."

"Diam !" tiba2 gadis yang tertua itu membentak, "coba dengarkan suara apa itu !" Ternyata memang ada suatu suara yang aneh, macam tubuh bergesek dengan pohon. Suara itu amat halus sekali, hampir tak terdengar. Tetapi dengan mencurahkan perhatikan kawanan gadis itu dapat menangkapnya. Jelas mereka tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Memang anggauta dari perkumpulan Hong-li-hoa itu, bermula hanya terdiri dari sepuluh gadis yang  dipimpin oleh seorang wanita setengah baya. Wanita itu berilmu kepandaian tinggi. Kepada anakmuridnya dia juga menurunkan kepandaian ilmusilat.

Kemudian perkumpulan itu makin lama makin bertambah luas. Hong-li-hoa menampung berbagai kalangan wanita yang menjadi korban keganasan pasukan Ceng. Ada gadis, ada janda muda. Mereka sudah terlanjur kaku dan tak diberi pelajaran. Mereka hanya diberi tugas khusus untuk menjadi wanita penghibur.

Ada pula yang bertugas sebagai pedagang, tani dan buruh bahkan budak. Organisasinya diatur begitu rapih dan tertib sehingga hubungan mereka dengan pimpinan selalu ada.

Sedangkan kesepuluh gadis2 yang menjadi murid inti dari wanita pimpinan Hong-li-hoa itu memiliki kepandaian silat yang tinggi. Keenam gadis yang menangkap pangeran Haka adalah murid inti dari Hong-li-hoa. Itulah sebabnya dengan mengerahkan perhatian mereka dapat menangkap suara berkeresekan yang lembut.

"Ho, kiranya ada manusia yang tidur diatas batang pohon," seru salah seorang dari mereka seraya memandang keatas dahan pohon yang besar.

Seorang gadis menjemput sebutir batu dan terus ditimpukkan pada tubuh orang itu. "Aduh. ," terdengar orang itu menjerit kesakitan

namun terus tidur lagi.

'Setan," gumam gadis yang lain. Diapun menjemput batu yang agak besar, terus di lontarkan.

"Aduhhhh," kembali orang itu menjerit, beringsut tubuh dan terus tidur lagi,

"Gila barangkali orang itu," kata salah seorang gadis, "masakan dilempari batu, juga tak bangun."

"Kalau begitu mari kita beramai-ramai melontarinya," kata gadis yang pertama menimpuk batu tadi.

"Ya, benar." sambut gadis kawannya. "aku yang mengarah kepala, engkau tengkuk, engkau punggung, engkau pantat, dan engkau kakinya. Lihat saja apa dia masih tak mau bangun !"

"Aduh, aduh, duhhhh," terdengar orang itu berteriak beberapa kali karena tubuhnya diserang lima butir batu. Namun setelah itu ia tetap tidur lagi.

Kelima gads itu heran ! Salah seorang berseru, "Katau begitu kita lepaskan hui-to (pisau ter-bang) saja, biar dia mampus

"Jangan," tiba2 gadis yang tertua tadi mencegah. "lihat, bagaimana akan kupaksanya supaya turun."

Dia mencabut pedang dan terus menabas batang pohon tempat orang itu melintang. Tajam sekali pedang nona itu sehingga dalam beberapa kejab, pohon berderak-derak rubuh, bum ...

Debu bertebaran tercampak dahan dan ranting. Setelah segalanya tenang dan terang kembali, rombongan gadis itu segera mencari orang yang tidur tadi. "Hai. mana orang tadi, ngo-ci ?" seru seorang gadis bertubuh langsing. Ngo-ci artinya taci nomor lima.

Keenam gadis itu saudara seperguruan. Gadis yang tertua tadi masih jatuh urutan nomor lima. Sedang kelima gadis yang lain adalah sumoainya.

Gadis yang dipanggil Ngo-ci itu menengadah kepala, "Sialan," serunya terkejut.

Kelima sumoaynyapun memandang keatas. Mereka terkejut, mendongkol dan penasaran, "Setan alas ! Dia sudah pindah ke lain pohon !"

Memang orang itu masih tidur melintang di atas dahan, tetapi lain pohon lagi. Beramai-ramai kelima gadis itu segera menebang pohon itu. Tetapi setelah pohon tumbang, orang itu pun sudah pindah ke lain pohon. Hingga sampai lima enam batang pohon telah ditebang, masih orang itu tidak mau turun.

Gadis yang tertua terkejut. Diam2 ia membatin bahwa orang yang tidur diatas dahan itu jelas seorang sakti. Kalau tidak, masakan mampu berpindah ke lain pohon tanpa diketahui orang.

"Jangan tebang pohon ini," kata gadis tertua, "tetapi tebanglah pohon2 yang berada di sekeliling. Kalau tak ada lain pohon lagi, mau lari kemana dia !"

Kelima gadis segera bekerja. Tak selang berapa lama, beberapa batang pohon di sekeliling pohon tempat orang itu tidur, sudah ditebang semua. Kini hanya tinggal pohon itu saja.

"Nah, sekarang babatlah pohon itu," seru gadis tertua itu.

Krek, krek, bum ..... beberapa saat kemudian karena ditebang secara beramai-ramai pohon itupun tumbang. Gadis2 itupun bingung mencari orang aneh tadi di dalam gerumbul ranting dan daun yang melintang di tanah. Tetapi tak melihatnya.

"Aneh benar," seru gadis itu, "apakah orang itu manusia atau setan ?"

Tiba2 salah seorang gadis menjerit kaget "Hai dia .... ..

Ketika kawan-kawannya berpaling, mereka pun ikut terkejut. Ternyata di tempat mereka meletakkan pangeran Haka, saat itu terdapat seorang lelaki tua yang kumis serta jenggotnya memutih dan menjulai pandang. Kakek itu tengah mengangkat Haka.

"Hai, lepaskan !" teriak kelima gadis seraya berhamburan loncat ketempat kakek itu.

Kakek tua itu sudah memanggul tubuh Haka dan memandang kawanan gadis, "Hai, kawanan budak liar, mengapa kalian berani menculik puteraku ini?"

Rombongan gadis anakmurid Hong-li-h tertegun, "Siapa anakmu?"

"Siapa engkau!" teriak yang lain.

"Anak ini adalah puteraku, si Put Hau."

"Put Hau?" gadis2 itu terkejut. Put Hau artinya Tidak- berbakti. Mengapa digunakan sebagai nama orang?

"Engkau salah," seru gadis yang tertua, "dia bukan Put Hau tetapi seorang pangeran Boan?"

"Ha, ha, ha," kakek itu tertawa gelak2, "dia seorang pangeran Boan? Dunia ini memang sudah tua. Anak boleh lupa bapak, tetapi mana bapak bisa lupa anak? Anak perempuan, pergilah. Mengingat anakku sudah ketemu dan tidak kurang suatu apa, maka kedosaanmu kepadaku tadi, kuhapus. Kalian boleh pergi melanjutkan perjalanan." Keenam gadis itu saling berpandangan sendiri, "Kakek, bukankah engkau ini bangsa manusia?" seru salah seorang.

"Mungkin," sahut si kakek, "tetapi aku sendiri tak menghiraukan soal itu. Manusia atau binatang sama saja. Sama2 mempunyai nyawa dan sama2 memenuhi jagad ini."

"Kakek, jangan engkau ganggu pangeran itu!' seru salah seorang gadis.

"Ganggu? Engkau gila, anak perempuan,” seru kakek aneh itu, "ini kan anakku, mengapa aku harus mengganggunya?"

"Siapa engkau, kakek?"

"Aku sendiri sudah lupa siapa diriku. Hanya orang2 dulu memberiku nama Bo-lang-bwe," kata kakek itu.

"Bo-lang-bwe? Aneh," gumam gadis itu, “bukankah bo- lang-bwe itu artinya tidak ada orang yang mau membeli?"

"Benar, memang tak ada manusia di dunia ini yang mau dekat dengan aku. Oleh karena itu mereka menggelari aku sebagai Bo-lang-bwe alias tidak laku. Memang susah juga hidup ini. Sudah dilahirkan menjadi manusia masih tidak laku. Karena tidak laku, akupun lalu hidup di hutan belantara."

"Mengapa engkau mengatakan kalau orang itu anakmu?" tanya si gadis pula.

"Dulu aku pernah mempunyai isteri dan anak. Eh, tahu2 isteriku kabur bersama lain lelaki dan anakkupun lenyap."

"Mengapa engkau mengaku dia anakmu?"

"Jelas dong," sahut kakek Bo-lang-bwe, "masa sebagai bapak tak tahu anaknya sendiri."

"Apa buktinya kalau dia itu anakmu?" "Punggungnya ada tembong merah," kata kakek itu dan bratttt . ... tahu2 dia terus menarik punggung baju Haka sehingga robek.

"Lihatlah, eh...... mengapa hilang ?" kakek itu berteriak, "Put Hau, mengapa tembong merah pada punggungmu engkau hapus ?"

"Aku aku .... tidak punya tembong merah," sahut Haka tergegap-gegap. Sebenarnya dia sudah berusaha untuk meronta tetapi tenaganya masih lumpuh.

"Apa? Engkau menyangkal kalau punya tembong merah

? Kurang ajar, engkau benar2 put-hau (tidak berbakti) kepada orangtua. Orantua memberimu ciri tembong, engkau hapus seenakmu sendiri, plak, plak . . ," kakek itu terus menampar pantat Haka sampai beberapa kali.

Haka meringis dan menjerit jerit kesakita tetapi tak dapat berkutik.

"Kakek gila, bunuhlah aku! Aku bukan anakmu !" teriak pangeran Boan itu.

"Kurang ajar! Engkau berani tidak mengakui aku sebagai ayabmu, plak, plak . . . ," kali ini si kakek menampar muka Haka.

Selama hidup belum pernah Haka menderita siksaan yang begitu hebat. Tenaganya hilang masih dihajar oleh seorang kakek tak dikenal. Saking marahnya, Haka pingsan.

"Berhenti !" gadis yang tertua tadi berseru. Setelah mendengar Haka tak kenal dengan kakek itu, makin besarlah dugaan nona itu kalau kakek itu ngawur sakali. Kalau sampai pangeran Boan itu mati sebelum dibawa menghadap suhunya, pastilah mereka akan kehilangan hadiah. "Kakek, sekali lagi kuperingatkan, lekaslah engkau pergi dan jangan mengganggu pemuda itu," seru gadis tertua.

"Anak perempuan." sahut kakek aneh itu, "karena kalian tetap mencampuri urusan ini maka aku hendak memperkitungkan perbuatan kalian tadi, Bukankah tadi kalian telah mengganggu tidurku ?"

"Ngo ci," seru salah seorang nona, "perlu apa harus tarik urat dengan kakek sinting itu ?"

"Benar, ngo-ci, kita hajar saja dia !" sambut gadis yang lainnya.

"Bagus, bagus," seru kakek itu dengan gembira, "kalau kalian mau berkelahi dengan aku sungguh senang sekali. Dengan begitu terang kalau di dunia ini masih ada yang sudi mendekati diriku "

Gadis tertua mengangguk dan kelima gadis itupun serentak meloloskan ikat pinggangnya. Mereka lalu berhamburan menyerang si kakek.

"Wah, harum sekali. bagus, bagus. anak perempuan, aku senang dengan bau yang harum," seru kakek itu.

Anakmurid Hong-li-hoa terkejut ketika melihat kakek itu tak kurang suatu apa, Pada hal mereka telah menaburkan bebauan wangi yang mengandung daya untuk melenyapkan tenaga orang.

"Bagus, bagus hayo, terus, hayo terus, biar aku berkeringat," seru kakek itu sambil berlonjak-lonjak kian kemari seperti anak kecil yang menari-nari kegirangan.

Beberapa saat kemudian tiba2 salah seorang dari anakmurid Hong-li-hoa itu muntah-muntah. Kemudian disusul oleh satu, dua, tiga dan semua kawan kawannya. Mereka terus menerus muntah tak henti-hentinya karena hidungnya diserang oleh suatu bau keringat yang luar biasa busuknya.

Karena terus menerus muntah2 saja, akhirnya keenam gadis itupun lemas dan rubuh.

"Ho, budak2 perempuan, rasain lu bagaimana lihaynya bau keringatku. Adalah karena bau keringatku ini maka orang tak mau mendekati aku," kata kakek itu seorang diri.

"Jangankan kalian. sedangkan isteriku sendiripun minggat karena tak tahan dengan bau keringatku," kata kakek itu pula dengan penuh kebanggaan.

Kakek Bo-lang-bwe lalu mengangkat tubuh Haka dan dibawanya pergi.

Ketika menuruni bukit dan melintai sebuah hutan, tiba2 kakek itu berpaling, "Lho, kurang ajar, siapa berani tidur di tempatku itu ?"

Dia terus menghampiri ke sebatang pohon dan berteiiak' "Hai, orang diatas dahan, turun !"

Sesosok tubuh melayang turun dan tegak di hadapan kakek itu. Dia terkejut ketika melihat kakek itu memanggul pangeran Haka. Namun sebelum ia sempat membuka mulut, kakek Bolang-bwe sudah membentak, "Kunyuk, mengapa engkau berani tidur diatas dahan pohon ?" 

"Lho, memangnya kenapa ?" orang itu terkejut. "Dahan pohon itu adalah tempatku !"

"Aneh," gumam orang itu, "siapa engkau ?" "Bo- lang- pwe"

"Bo-lang-bwe ?"

"Siapa engkau ?" balas si kakek, "Loan Thian Te," sahut orang itu yang bukan lain memang Huru Hara. Dia sedang tidur di atas dahan pohon karena takut kalau tidur dibawah, akan diganggu binatang buas atau ular.

"Loan Thian Te ?" ulang kakek itu seraya kerutkan dahi, "apa artinya nama itu ?"

"Dunia kacau atau mengacau dunia," jawab Huru Hara. "Lho, memangnya engkau hendak mengacau dunia atau

engkau ini dunia yang kacau ?" seru kakek Bo-lang-pwe.

"Akan kujawab," sahut Huru Hara, "tetapi engkau juga harus menjawab pertanyaanku, mau?"

"0, bagus, bagus. Aku mau."

"Dunia kacau atau mengacau dunia, sama saja." "Mengapa pakai nama saja koq begitu aneh?"

"Mengepa aneh ? Dunia ini tak ada barang yang aneh. Bukankah sekarang ini negara kita sedang kacau ? Musuh menyerang, rakyat menderita, raja dan mentri malah bersenang-senang. Apakah tidak kacau namanya ?"

"Musuh ? Musuh yang mana ?" seru kakek "Lho, engkau ini manusia atau bukan ?" "Jelas, manusia."

"Manusia hidup atau mati ?" "Hidup."

"Kalau hidup mengapa engkau tak tahu kalau negara kita sedang diserang oleh orang Boan ?"'

"0, jadi sekarang ini ada perang ? Mengapa aku tak tahu ?

0, benar, benar, karena aku tidak laku. Bo-lang-bwe " "Mengapa engkau menggunakan nama begitu aneh ?" balas Huru Hara.

"Apa engkau merasa heran ?"

"Tidak," Huru Hara gelengkan kepala, "aku hanya sekedar ingin tahu saja."

"Bo-lang bwe itu orang yang kasih nama. Karena kata mereka. aku tak layak campur dengan manusia. Maka akupun hidup seorang diri dihutan. 0, ya, aku ingat, mengapa engkau berani tidur didahan pohon ini ?

"Aku bebas untuk tidur dimana saja. Apa aku menyalahi engkau ?" balas Huru Hara.

"Ya, engkau berani meniru cara aku tidur. Karena kukira di dunia ini hanya aku seorang yang tidur diatas dahan pohon. Ternyata mash ada lain manusia seperti engkau yang juga tidur diatas dahan."

"0, kalau tidur engkau selalu diatas dahan pohon ?"

Bo-lang-bwe mengiakan. "Ya, memang begitu. Nah, sekarang engkau boleh bertanya kepadaku."

"Celaka," seru Huru Hara, "aku sudah mengajukan pertanyaan ini."

"Yang mana ? Mengapa aku tak terasa ?"

"Aku hendak menanyakan mengapa engkau bernama Bo-lang-bwe. Apakah engkau ini memang seorang budak belian yang diperjual-belikan ?"

Gila...... dengus kakek itu," aku bukan barang atau manusia yang diperdagangkan. Tetapi merekalah, manusia2 itu, yang tak mau dekat dengan aku."

"Lho, kenapa? Apakah engkau suka makan manusia?" "Tidak," kakek Bo-lang-pwe gelengkan kepala, "kata mereka keringatku bau sekali. Begitu aku berkeringat, mereka tentu muntah2 sampai pingsan. Pernah pada suatu hari, di kampungku ada orang punya kerja menikahkan anaknya..Aku juga diundang. Yang datang banyak sekali. Apalagi hidangannya arak keras. Wah, aku terus bercucuran keringat. Dan saat itu juga seluruh tetamu yang hadir muntah2 sampai pingsan. Bahkan mempelai berdua juga ikut pingsan ”

Huru Hara tertawa geli, "Lalu apakah engkau sendiri juga tidak ikut-ikutan pingsan?"

“Gila,” dengus Bo-lang-pwe, "mana aku mau ikut pingsan. Kan lebih enak, makan dan minum sampai puas."

Huru Hara tertawa.

"Sejak itu, aku diberi nama Bo-lang-pwe dan diusir dari desaku. Kemana saja aku pergi, orang tentu menolak. Bahkan isteriku "

"0, engkau pernah beristeri? Mengapa dia mau menjadi isteriku?"

"Itu ada ceritanya juga," kata kakek Bolang-pwe, "isteriku juga berkeringat busuk. Sudah cari jodoh sehingga jadi perawan kasip. Pada hal dia cantik dan anak orang kaya. Akhirnya diberikan kepadaku. Tetapi akhirnya dia minggat juga.”

"Kenapa?" tanya Huru Hara.

"Karena dia tak tahan dengan bau keringatku. Orang mengatakan kalau keringat istetiku itu baunya membikin pening kepala. Tetapi masih kalah dengan bau keringatku. Tiap hari begitu aku berkeringat, dia tentu muntah2.  Karena tak tahan lama2 dia melarikan diri." Huru Hara tertawa. Tiba2 dia berterlak kaget, "Hai, kakek, hendak kemana engkau?"

Kakek itu memang ayunkan langkah hendak melanjutkan perjalanan lagi. Dia tak menghiraukan Huru Hara.

Huru Hara mengejarnya, "berhenti dulu."

"Kenapa?" tanya kakek Bo-lang-bwe, "apakah engkau hendak mencoba keringatku?"

"Bukan," Huru Hara gelengkan kepala, "hanya pemuda yang engkau panggul itu. Hendak engkau bawa kemana dia?"

"Pulang."

"Siapakah dia, engkau tahu?" "Anakku."

Huru Hara terbelalak, "Anakmu? Kalau begitu, engkau ini seorang bangsawan Boan?"

"Gila," seru kakek itu, "aku bukan orang Boan."

"Tetapi mengapa engkau mengatakan pemuda itu anakmu? Engkau tahu siapa dia?"

"Dia anakku?" teriak kakek itu.

"Kalau begitu engkau ini jelas orang Boan. "Bukan, aku bukan orang Boan,"

"Aneh, padahal pemuda itu adalah pangeran Haka, seorang Boan."

"Hus, engkau gila. Dia anakku, bukan pangeran Boan." "Mengapa engkau mengatakan begitu?" "Karena kutahu anakku itu mempunyai ciri tembong merah pada punggungnya."

"Apakah dia mempunyai ciri begitu?"

"Dia memang anak edan. Ciri itu telah dihapusnya. Pada hal itu ciri pemberian orangtua.

"Siapa nama anakmu dan mengapa baru sekarang engkau ketemukan?"

"Waktu isteriku minggat, dia meninggalkan anaknya di rumah. Aku penasaran dan mencarinya kemana-mana tetapi tak ketemu dan terpaksa pulang. Uh, ternyata anakku juga lenyap. Untung sekarang setelah berselang duapuluh tahun, aku dapat menemukannya lagi."

Kini Huru Hara mulai mendapat kesan bahwa yang dihadapinya itu seorang kakek yang ling-lung. Mungkin benar kalau kakek itu mempunyai anak dan anak itu hilang. Tetapi jelas bukan pemuda yang dipanggulnya itu karena pemuda itu jelas pangeran Haka.

"Mungkin wajah pangeran Haka itu mirip dengan anaknya," pikir Huru Hara pula. Tetapi pada lain saat dia teringat bahwa anak dari kakek itu lenyap ketika masih kecil. Jelas tentu berbeda dengan wajah pangeran Haka yang sudah dewasa itu, "o, dia mengatakan tentang ciri tembong pada punggung."

"Apakah pemuda itu punya tembong pada punggungnya

?" tanya Huru Hara.

"Engkau ini memang linglung." Kata kakek Bo-lang-bwe, "aku kan sudah bilang kalau ciri itu telah dihapusnya. Kalau sudah dihapus, mana ada tembongnya lagi ?"

Kini Huru Hara menyadari bahwa kakek itu ngawur saja. "Kakek Bo-lang-bwe," kata Huru Hara, "pemuda itu bukan anakmu. dia adalah seorang pangeran Boan yang bernama ,. "

"Apa ? Engkau juga berani mengganggu aku seperti kawanan budak2 perempuan tadi ?" seru kakek Bo-lang- bwe.

Huru Hara terkejut, "Siapa yang engkau maksudkan kawanan budak2 perempuan itu ?"

"Tadi anak ini telah digotong oleh beberapa budak perempuan. Kurang ajar memang budak2 perempuan itu. Mereka mau menculik anakku. Hm, memang jaman sekarang, bukan anak laki yang menculik anak perempuan tetapi sebaliknya anak perempuan yang berburu anak laki, sialan ”

Samar2 Huru Hara mulai mengerti apa yang terjadi pada pangeran Haka, namun ia masih belum jelas sekali.

"Lalu bagaimana ?" tanyanya.

"Budak perempuan itu memang jahil. Aku sedang tidur diatas dahan pohon, mereka melontari batu dan menebang pohon itu hingga aku jatuh. Dan kebetulan kulihat budak lelaki yang mereka digotong itu adalah anakku maka kuambil. Budak2 perempuan itu hendak melawan tetapi waktu aku mengucurkan keringat, mereka muntah2 sampai pingsan semua. Sekarang aku hendak pulang, lagi2 engkau yang mengganggu, Apa engkau minta muntah2 seperti budak perempuan itu ?"

"Sudahlah, kakek," seru Huru Hara, "jangan gila-gilaan. Pokok, pemuda yang engkau panggul itu adalah pangeran Haka, bukan anakmu. Kecuali engkau memang seorang bangsawan Boan."

"Setan, aku bukan orang Boan !" "Kalau begitu, lepaskanlah dia dan biar dia kembali ke rumahnya."

"Kuraug ajar, engkau berani mengganggu aku ?" teriak kakek itu, "hayo, kalau berani, seranglah aku."

"Tetapi aku tak bisa berkelahi, engkau saja yang menyerang." seru Huru Hara.

"Baik," kakek Bo-tang-bwe terus menerjang Tetapi sampai beberapa saat, dia tetap belum mampu menyentuh Huru Hara.

"Wah, cialat nih," serunya. "Kenapa ?" tanya Huru Hara.

"Kalau aku yang menyerang, aku tak dapat berkeringat. Dan selama tak berkeringat aku tentu kalah. Hayo engkau saja yang menyerang . , . ."

"Baik," akhirnya Huru Hara berseru. Dia terus berloncatan menyambar-nyambar untuk menampar dan menabok gundul kakek Bo-lang-bwe.

Kakek itu marah dan terus berloncatan menghindar kian kemari. Lama kelamaan, dia mulai berkeringat.

"Huak. hauakkkk ..... ," seketika itu juga Huru Hara muntah2.

"Ha, ha, ha, rasain lu seka. . . . ," baru kakek Bo-lang- pwe berseru kegirangan, tiba2 huakkkk . . .. Huru Hara muntah dan menyemburkan isi perutnya ke muka Bo-lang- pwe.

"Aduh ..... ," kakek itu menjerit kesakitan karena mukanya seperti disemprot bubur panas,

Huak . . . . aduh .. , .. kembali Huru Hara muntah dan menyemprot kemuka si kakek. Kali ini kedua mata si kakek kena. Dia menjerit kesakitan, melemparkan pangeran Haka ke tanah dan terus kabur.

Huru Hara masih muntah2 tak keruan dan karena lemas diapun jatuh terduduk. Dia pejamkan mata untuk menenangkan diri. Selang beberapa saat kemudian, perutnya sudah tenang kembali.

Dia berbangkit dan menghampiri pangeran Haka yang mash menggeletak pingsan. Ditolongnya pangeran itu.

"Hai, engkau !" Haka menjerit ketika membuka mata ia melihat Huru Hara sedang mengurut-urut tubuhnya.

"Ya, memang aku. jangan takut, aku takkan mencelakai engkau," kata Huru Hara.

Demikian setelah diberi pertolongan beberapa waktu akhirnya Hakapun sudah sembuh. Dia teringat akan peristiwa yang dialaminya.

"Mengapa engkau menolong aku ?" tanya Haka.

"Aku tiada mempunyai permusuhan suatu apa dengan engkau. Mengapa aku harus membunuhmu?” balas Huru Hara.

"Tetapi. "

"Lupakanlah," sahut Huru Hara," aku bersumpah bahwa aku tak pernah mempunyai hati untuk mengganggu hati puteri Amila. Jangan engkau mencurigainya. Dia seorang putri yang baik."

Haka terlongong-longong.

"Aku seorang pangeran Boan dan engkau orang kepercayaan mentri Su Go Hwat. Bukankah kita sedang berperang ? Mengapa engkau tak mau membunuhku?” "Sudah pernah kukatakan, bahwa antara perang dan kemanusiaan, ada dua garis. Sekarang kita sedang berhadapan sebagai manusia dengan manusia. Engkau seorang manusia yang salah faham dan menuduh aku merebut hati gadis yang engkau cintai. Oleh karena itu engkau mengejar aku dan hendak membunuhku. Tetapi aku sebagai manusia yang tertuduh, ingin hendak membersihkan tuduhan itu. Dan sebagai rasa ketulusan hatiku bahwa aku tak mempunyai perasaan apa2 terhadap kekasihmu itu.  maka  engkau  kubebaskan.  Silakan  pulang. "

"Pangeran Haka tertegun.

"0, apakah engkau tetap hendak melampiaskan dendam kemarahanmu? Baiklah, agar engkau puas, aku bersedia untuk melayanimu," seru Huru Hara pula.

"Bukan begitu," kata pangeran Haka, "aku hanya merasa bahwa jarang sekali kudapati seorang manusia seperti engkau. Andaikata aku menjadi engkau dan engkau menjadi aku, belum tentu aku akan bertindak seperti yang engkau laku-kan sekarang."

"Sebenarnya manusia, baik dari suku atau bangsa  apapun juga, adalah sama. Yang tidak sama, adalah martabat kemanusiawiannya. Ada manusia yang lupa pada peri-kemanusiaannya karena mabuk akan kekuasaan, pangkat dan harta. Manusia2 semacam, adalah manusia2 yang khilaf, yang buta. Mungkin engkau tergolong sebagai manusia itu , . .”

Merah muka pangeran Haka, "Huru Hara engkau benar. Memang selama ini aku selalu dimanja oleh nafsu memburu pangkat, harta dan kekuasaan. Bahkan dalam soal cinta, akupun mempunyai pendirian, angkuh dan ingin menang. Gadis2 yang kuinginkan, harus jatuh ke tanganku. Barangsiapa berani mendekati dan mengganggu tentu akan kubunuh. "

Huru Hara mengangguk-angguk.

"Tetapi kini setelah menerima pelajaran dari peristiwa yang engkau lakukan sekarang, aku menjadi sadar. Bukan salahmu apabila engkau mendekati Amila karena Amilalah yang menghendaki. Kini akupun sadar, bahwa mungkin aku masih mempunyai kekurangan2 sehingga Amila tidak mau membalas cintaku dengan sepenuh hati. Baiklah aku takkan memaksa Amila harus mencintaiku. Akan kupersilakan dia menentukan pilihan menurut sekehendak hatinya. Dengan begitu, engkau bebas untuk bergaul dengan Amila "

Huru Hara tertawa, "Engkau salah paham, pangeran Haka. Cinta itu suatu perasan hati. Tak dapat dipaksa. Dalam hal ini bukan karena puteri Amila itu kurang cantik, atau karena dia puteri seorang panglima, dari kerajaan yang menjadi musuh negeriku, atau karena aku takut kepadamu. Tidak, bukan 'itu sebabnya. Tetapi karena aku memang tak mempunyai perasaan apa2 terhadap Amila siocia."

"Pangeran Haka, saat ini kita bukan berhadapan sebagai musuh melainkan sebagai seorang pemuda dengan seorang pemuda. Aku ingin menyampaikan pandanganku kepadamu. Bahwa puteri Amila itu seorang gadis yang baik budi, cantik dan pandai. Tidak sia2 apabila engkau mencurahkan harapanmu kepadanya. Dalam mencintai seseorang, janganlah engkau mendua hati. Cintailah dia dengan setulus hatimu Engkau benar, mungkin ada sesuatu kekurangan pada dirimu mengapa puteri Amila tidak dapat menerimamu. Tetapi janganlah engkau kuatir akan hal itu. Koreksilah dirimu dan perbaikilah apa yang masih kurang. Percayalah, puteri Amila tentu akan menerimamu." Pangeran Haka tertegun. Sebelum ia mengucap terima kasih. Huru Hara sudah mendahului berkata," jika engkau sudah tiada persoalau lagi, akupun hendak melanjutkan perjalanan."

Habis berkata Huru Hara terus ayunkan langkah. Beberapa saat kemudian paageran Haka tersadar dan cepat2 mengejarnya.

"Hohan, berhentilab dulu," serunya.

,4pakah, engkau masih belum puas?" tegur Huru Hara. "Tidak, bukan begitu," kata pangeran Haka, "aku hendak

menghaturkan terima kasih kepadamu.”

"Ah, tak perlu," kata Huru Hara, "lekaslah engkau kembali agar anak pasukanmu jangan kebingungan."

Kali ini Huru Hara terus loncat dan lari. Dalam sekejab saja dia sudah jauh.

Pangeran Haka terlongong-longong dalam bermacam kesan dan renungan. Ia merasa hari itu telah mengalami sesuatu yang amat berharga dalam hidupnya.

Ia merasa selama ini hanya penuh dengan, nafsu kegagahan, nafsu memburu kemenangan, nafsu mendirikan jasa, nafsu untuk mencita-citakan pangkat yang tinggi. Karena apabila dia dapat melaksanakan semua itu, bukankah panglima Torgun akan mengambilnya sebagai menantu?

Tetapi ah, ternyata Amila lain pandangannya. Bukan seorang pemuda yang berpangkat tinggi, bukan yang berjasa memenangkan peperangan, melainkan seorang pemuda yang mengerti dan memperhatikan perasaan hati seorang gadis. "Ya, memang hampir aku tak mempunyai waktu untuk memperhatikan perasaan hati Amila," diam2 dia mulai mengoreksi tindakannya selama ini terhadap Amila.

Tiba2 pasukannya datang untuk menjemputnya.

==oo00oo==

Ketika tiba diluar perbatasan kota Yang-ciu, Huru Hara terkejut ketika dihadang oleh pasukan Ceng.

"Tangkap mata-mata !" seru kawanan prajurit itu. Dan mereka terus hendak menyerang. Huru Hara mendongkol sekali.

"Aku diutus panglima Torgun untuk menyampaikan surat kepada mentri Su Go Hwat," katanya.

"Engkau ?" ejek seorang prajurit. "ha, ha, ha. masa

manusia semacam engkau akan dipakai panglima." "Dia tentu orang gila," seru prajurit yang lain.

"Ya, kalau tidak, masa kepalanya pakai tanduk rambut begitu macam," seru yang lain.

"Hm, kawanan prajurit cacing, kesabaranku ada batasnya." dengus Huru Hara.

"Wah, wah, engkau mau mengamuk ?" seru prajurit itu. "Kalau kalian tak mau memberi jalan, terpaksa aku akan

menerjang," kata Huru Hara pula

Huru Hara terus ayunkan langkah menerjang kawanan prajurit yang menghadang di muka. Dia hanya berjalan dan tidak memperlihatkan suatu gerakan memukul, seolah-olah seperti hendak menabrak saja. Ada beberapa prajurit yang bertubuh kekar, karena melihat Huru Hara seorang pemuda yang nyentrik, kurus dia dianggap serengah sinting, maka mereka sengaja diam. Ingin mereka mencoba apakah Huru Hara mampu mendobrak mereka.

Huru Hara tak peduli. Karena beberapa prajurit yang ditengah itu tetap tak mau menyisih, diapun terus maju saja.

Melihat itu, waktu tiba pada jarak hanya tinggal dua langkah. seorang prajurit kuatir juga melihat kenekadan Huru Hara. Tanpa disadari, prajurit itu terus dorougkan kedua tangannya untuk menghalau. Tetapi begitu membentur tubuh Huru Hara, prajurit itu menjerit kaget dan terpentai dua langkah ke belakang.

Melihat itu seorang kawannya juga langsung mendorong Huru Hara, tetapi diapun mengalami nasib yang sama bahkan lebih parah karena terpental lebih jauh ke belakang.

"Dua orang prajurit kaget. Serempak mereka memukul Huru Hara, "Aduhh . . . " merekapun menjerit kesakitan dan terlempar ke belakang.

Seketika gemparlah kawanan prajurit itu. Mereka tak menyangka bahwa pemuda nyentrik yang dianggap sinting itu ternyata seorang luar biasa. Betapa tidak. Ketika mendorong maupun memukul, mereka rasakan tubuh pemuda itu sekokoh gunung karang. Kemudian mereka menambah tenaganya dan mendorong atau memukul sekeras-kerasnya. Siapa tahu, dari tubuh pemuda itu telah memancar suatu tenaga tolak yang hebat sehingga tenaga dorong dan pukulan prajurit itu balik kepada mereka sendiri. "Huh, huh . .. . " beberapa prajurit loncat menyekap tubuh Huru Hara. Maksud mereka setelah dapat diringkus, biarlah kawan-kawannya menghajar pemuda itu.

Huru Hara diam saja dan membiarkan dirinya disekap. Benar juga. Beberapa prajurit yang terpental ke belakang tadi, segera menumpahkan kemarahan. Mereka berhamburan maju dan menghantam Huru Hara.

Duk .. . duk .. aduh, aduh ... terdengar pukulan menghunjani tubuh dan suara jeritan kesakitan disusul dengan tubuh2 yang rubuh.

Ternyata waktu prajurit2 itu memukul Huru Hara meronta dan prajurit2 yang menyekap tubuhnya itu terpental, tetapi disambut dengan tibanya pukulan kawan mereka sendiri.

Seorang prajurit bertubuh tinggi besar yang rasanya menjadi kepala kelompok. segera menggembor dan menusuk Huru Hara dengan tombak.

Huru Hara marah melihat keganasan prajurit itu. Loncat menghindar kesamping, dengan sebuah gerakan yang amat cepat, dia berputar tubuh dan menampar pipi prajurit tinggi besar itu, plak .....

Aduhhh . . . , . prajurit tinggi besar itu menjerit karena dua buah gigi depannya tanggal. Pada saat dia tengah mendekap mulutnya yang berlumuran darah, Huru Hara sudah mencengkeram tengkuk dan pantat prajurit itu terus diangkat dan diputar-putar untuk menghantam kawanan prajurit yang menghadang.

Gemparlab sekalian prajurit. Kepala kelompok mereka seorang bertubuh tinggi besar, gagah perkasa. Terkenal sebagai seorang sersan yang gagah berani. Dalam medan perang, dia laksana seekor singa yang ditakuti musuh. Tetapi pada saat itu, dia diangkat tubuhnya tanpa mampu berontak. Ditangan seorang pemuda nyentrik, prajurit tinggi besar itu tak beda seperti seorang anak kecil saja.

"Serang! Serang" teriak kawanan prajurit itu. Tetapi mereka hanya berkaok-kaok dengan mulut karena tiada seorangpun yang berani maju menyerang. Mereka kuatir akan melukai sersan mereka.

Pasukan Ceng yang berada ditempat berjumlah rihuan. Berita tentang seorang pemuda nyentrik yang mengamuk, cepat tersiar. Mereka lalu siap mengepung dengan senjata terhunus. Tetapi sampai sekian saat, tak ada yang berani turun tangan. Bahkan setiap tempat yang digasak Huru Hara, tentulah akan terbuka sebuah jalan. Kawanan prajurit itu jeri dan terpaksa menyingkir.

"Berhenti !" sekonyong-konyong terdengar seruan yang keras dan tegas. Kawanan prajurit pun berhenti, memberi jalan kepada seorang perwira yang tegap.

Perwira itu adalah kepala pasukan disitu. "Hai, berhenti engkau !" serunya kepada Huru Hara.

Huru Hara menurut.

"Kenapa engkau mengamuk dan menyiksa sersan kami

?" tegur perwira itu.

"Aku hendak ke Yarig-ciu tetapi mereka hendak menangkap aku," sahut Huru Hara.

"Ciangkun, dia seorang mata2." seorang pra jurit memberi laporan.

"Dia pura2 mengatakan kalau membawa surat dari Torgun tay-ciangkun untuk diberikan kepada mentri Su Go Hwat," seru prajurit yang lain. "Siapakah engkau ?" tegur perwira itu pula.

"Aku sedang membawa surat dari panglima Torgun kepada mentri Su tayjin di Yang-ciu," sahut Huru Hara.

Sejenak komandan itu memandang Huru Hara tajam2. Memang dia agak heran mengapa seorang pemuda yang dandanannya begitu nyentrik, dapat berkenalan dengan panglima Torgun bahkan disuruh mengantar surat kepada mentri Su Go Hwat. Tetapi setelah menyaksikan sendiri betapa kegagahan Huru Hara waktu mengamuk tadi, komandan itupun hilang kesangsiannya.

"Apa buktinya kalau engkau diperintah Torgun tay- ciangkun ( panglima besar )?" tanyanya.

"Aku membawa surat panglima." "Coba tunjukkan!"

Huru Hara bersangsi. Beberapa jenak kemudian dia menjawab, "Tempat ini bukan tempat yan sesuai."

"Baik, mari ke markas," komandan itu mengajak Huru Hara.

Setelah diajak masuk kesebuah kubu besar maka mulailah komandan itu mengu!ang pennintaannya tadi.

"Sebelumnya, aku hendak minta keterangan,” kata Huru Hara, "mengapa pasukan disini?"

"Kita mendapat perintah untuk kota Yang ciu. Jangan sampai ada yang lolos," kata komandan itu.

Huru Hara terkejut. Bukankah Torgun  mengatakan kalau masih memberi waktu lima hari?

"Apakah hanya diperintahkan untuk mengepung atau menyerang?" tanya Huru Hara pula. "Hanya suruh mengepung. Tetapi setiap saat perintah akan berobah. Siapa tahu kalau malam ini akan datang perintah untuk menyerang."

"Panglima Torgun mengatakan kepadaku, bahwa panglima masih memberi waktu lima hari kepada Su tayjin. Kalau dalam lima hari itu Su tayjin tidak mengadakan pernyataan apa2, barulah panglima akan bertindak."

"0, apakah engkau dengar sendiri dari tayciangkun?" Huru Hara mengiakan.

"Siapakah engkau? Mengapa engkau begitu dekat sekali dengan tay-ciangkun?"

"Aku utusan dari Su tayjin untuk menghadap panglima Torgun. Sekarang panglima suruh aku menyampaikan balasan kepada Su tayjin."

"Mana surat itu?"

"Untuk apa engkau memintanya?"

"Aku hendak melihat," kata komandan Ceng itu, "agar membuktikan bahwa engkau benar2 utusan tay-ciangkun."

"Baik, akan kutunjukkan. Tetapi. jangan sekali-kali engkau membukanya," Huru Hara berkata seraya mengambil sampul dari dalam bajunya.

Komandan itu menyambutinya dan memeriksa dengan teliti.

Tiba2 seorang prajurit masuk menghadap, "Komandan, Ko tayjin datang dan minta bertemu dengan komandan."

"Siapa ? Ko tayjin ?"

"Benar, sahut prajurit itu," beliau perlu bertemu dengan komandan." Komandan itu bergegas keluar. Huru Hara terkejut karena surat dari Torgun masih dibawa komandan itu. Dia hendak mengejar tetapi dihadang penjaga.

"Mengapa ? Aku hendak meminta kembali surat itu kepada komandan," kata Huru Hara.

"Tunggu saja disini. Nanti komandan tentu datang lagi kemari.". kata penjaga itu.

Huru Hara menganggap bahwa mungkin orang luar tak diperbolehkan berkeliaran dalam daerah markas mereka. Takut kalau mata?, Pikir2, toh nanti komandan itu akan kembali lagi, akhirnya Huru Hara menurut dan menunggu di kubu itu.

Tetapi sampai setengah jam kemudian belum juga komandan itu muncul. Dia heran. Kemana saja komandan itu.

Baru dia hendak berbangkit, muncul seorang prajurit dengan membawa minuman.

"Komandan minta supaya tuan menunggu dulu disini. Karena komandan sedang menerima. seorang tetamu penting. Dan silakan minum," kata prajurit itu.

Huru Hara kembali menahan kesabaran. Namun sampai beberapa saat kembali dia belum melihat komandan itu muncul. Dan sebagai gantinya, ia merasa ngantuk. Aneh, pikirnya. Tiba2 dia teringat bahwa kemungkinan minuman teh yang diminumnya itu memang sengaja diberi obat tidur,

"Akan kucicipi teh ini lagi," Huru Hara meneguk dan membaunya. Memang ada sesuatu bau yang berlainan tetapi hampir tak terasa. Namun rasa kantuk itu makin lama makin keras. Dan makin keras pula kecurigaannya bahwa teh itu telah diberi obat tidur.

"Hm, orang Boan itu hendak main curang." pikirnya.

Kemudian dia menemukan akal.

Beberapa saat kemudian kubu itu tampak sunyi senyap.

Dan penjagapun masuk menghampiri Huru Hara.

"Hm, dia sudah pulas," kata penjaga itu seraya bergegas keluar. Tak berapa lama dia kembali bersama komandan tadi.

"Bawa dia keluar dan ikat pada pohon didekat hutan," kata komandan.

Penjaga itu seorang prajurit yang kuat tenaga. Dipanggulnya Huru Hara dan dibawanya ke sebuah hutan tak jauh dari kubu pasukan Ceng.

Baru dia hendak meletakkan tubuh Huru Hara tiba2 dia rasakan tengkuk mengencang keras sekali seperti dicekik setan, sehingga napasnya sesak. Dan sebelum dia sempat bergerak,   tahu2   kepalanya   ditabok,   plak seketika

rubuhlah dia.

"Hm, lu mau main2, sekarang rasain saja," dengus Huru Hara. Ternyata Huru Hara memang menggunakan siasat. Dia pura2 tertidur pulas pada hal sebelumnya dia sudah makan buah som (Cian-lian-hay-te-som) yang khasiatnya dapat menolak segala racun, termasuk obat tidur.

Setelah dapat merubuhkan penjaga, Huru Hara bekerja cepat. Dilucutinya pakaian prajurit penjaga itu, lalu dipakainya. Setelah mengikat penjaga itu pada sebatang pohon dan menyumbat mu lutnya supaya jangan dapat berteriak barulah Huru Hara kembali ke kubu. Dia tak langsung masuk melainkan menjaga diluar pintu kubu. Tetnyata didalam kubu, terdengar orang sedang berbicara. Salah seorang dikenalnya sebagai komandan tadi.

"Ko tayjin, bagaimana rencana tayjin ?" tanya komandan itu.

"Surat itu memang benar dari Torgun tayciangkun. Tetapi kita harus mencegahnya supaya jangan sampai tiba ditangan Su Go Hwat" orang yang dipanggil Ko tayjin. Dia bukan lain adalah Ko Cay Seng, sasterawan jago menutuk jalandarah yang menjadi tangan kanan panglima Torgun itu.

Seperti telah dituturkan dibagian jilid2 terdepan, Ko Cay Seng dan pertapa Suto Kiat, ditugaskan panglima Torgun untuk menyusup kedaerah kerajaan Beng guna melakukan pengacauan, memata-matai gerak gerik pasukan Beng dan mengadakan perpecahan dikalangan pembesar sipil dan militer dari kerajaan Beng.

Dia baru saja menghadap Torgun untuk melaporkan hasil kerjanya selama ini. Dikatakan bahwa kekuatan Beng di daerah yang masih dikuasai sekarang, sudah lapuk. Banyak jenderal2 mereka yang sudah dibujuk untuk bekerja pada kerajaan Ceng.

Waktu mendengar keterangan Torgun bahwa panglima itu memberi waktu lima hari kepada Su Go Hwat, diam2 Ko Cay Seng terkejut.

"Mengapa tay-ciangkun masih begitu bermurah hati ? Keadaan pasukan Beng saat ini ibarat kayu dimakan bubuk. Diluar tampak garang tetapi didalamnya sudah lapuk. Sekali kita bergerak, mereka sudah musna," kata Ko Cay Seng. Namun panglima Torgun tetap menolak, "Su Go Hwat seorang mentri yang setya. Aku sangat menginginkan dia bekerja padaku."

Ko Cay Seng tak berani membantah tetapi diam2 dia kuatir juga.

Torgun begitu tertarik dan menghargai sekaIi kepada Su Go Hwat. Kalau Su Go Hwat sampai bekerja pada Torgun, tentulah dia (Ko Cay Seng) akan kalah. Torgun tentu lebih memperhatikan Su Go. Hwat.

Manusia yang mau bekerja kepada musuh seperti Ko Cay Seng, tentu manusia yang memiliki nafsu mengejar pangkat dan kekayaan. Dan orang yang bermental begitu, tentu buruk pikirannya.

Ko Cay Seng mengukur Su Go Hwat seperti dia sendiri.

Oleh karena itu diam2 dia merancang sebuah siasat.

Dia segera mengejar perjalanan Huru Hara dan kabetulan sekali dapat tiba diluar kota Yang-ciu tepat ada saat Huru Hara sedang berhadapan dengan komandan pasukan.

Demikian asal mula mengapa Ko Cay Sing dapat muncul dalam kubu komandan pasukan Ceng itu.

"Ko tayjin, bagaimana rencana tayjin ?" tanya komandan itu.

"Bunuh saya orang itu agar surat panglima kita jangan sampai jatuh ke tangan Su Go Hwat" kata Ko Cay Seng.

"Mengapa ?"

"Su Go Hwat itu seorang yang setya kepada kerajaan Bang. Kalau demi siasat dia pura2 mau bekerja kepada panglima Torgun, tidakkah itu membahayakan jiwa dan kedudukan kita? Coba bayangkan, Su Go Hwat itu seorang mentri yang pandai. Dengan kelihayannya, dia tentu dapat mempengaruhi panglima kita dan akibatnya kita pasti akan dicelakainya."

Komandan orang Boan itu, diam2 mengakui bahwa ucapan Ko Cay Seng memang beralasan.

"Tetapi tayjin, bagaimana kalau tay-ciangkun sampai mengetahui hal itu?" tanyanya camas.

"Kita hilangkan jejak pemuda itu dan terus menyerang Yang-ciu. Bagaimana ciangkun dapat mengetahui hal itu?" balas Ko Cay Seng.

Komandan itu berdiam diri.

"Perlu apa harus memberi kelonggaran kepada musuh. Saat ini keadaan mereka sudah lapuk. Sekali kita serang, mereka tentu ambruk. Tak usah ragu2, komandan. Apabila ciangkun sampai mengetahui hal ini, akulah yang bertanggung jawab "

"Hai, ada apa penjaga!" tiba2 komandan menukas pembicaraan Ko Cay Seng dan membentak penjaga yang menerobos masuk.

"Tidak apa2, hanya ingin ikut dalam pembicaraan yang panting ini," sahut penjaga palsu atau Huru Hara.

"Apa? Engkau mengatakan apa?" teriak komandan terkejut.

"Aku ingin mendengar dari dekat pembicaraan kalian,' seru Huru Hara.

"Kurang ajar!" bentak komandan, "apa pangkatmu?" "Penjaga." "Mengapa engkau berani lancang hendak turut mendengarkan pembicaraan kami? Tahukah engkau siapa yang hadir dalam ruang ini?"

"Tahu, Ko tayjin."

"Hm, kalau sudah tahu mengapa engkau masih berani membacot?"

"Pembicaraan komandan bersama tayjin tentu tak lepas dari soal pasukan. Aku juga seorang prajurit, mengapa dilarang untuk turut mendengarkan soal2 yang menyangkut gerakan pasukan?" bantah Huru Hara.

"Kurang ajar . .. komandan marah dan hendak menghajar tetapi cepat dicegah Ko Cay Sang, "Tunggu, komandan "

"Eh, rasanya aku pernah mengenali mukamu, tetapi entah lupa dimana. Apakah engkau pernah bertemu dengan aku?" seru Ko Cay Seng.

"Selama ini aku selalu menjaga komandan, bagaimana dapat bertemu dengan tayjin?" sahut Huru Hara.

"Tetapi menilik pembicaraanmu, jelas engkau tentu bukan prajurit biasa," kata Ko Cay Seng kemudian berkata kepada komandan, "Komandan, coba tulung komandan amat-amati, apakah dia betul penjaga disini?"

Komandan juga merasakan sesuatu yang ganjil pada penjaga itu. Dengan matanya yang tajam, ia sempat melirik ke wajah penjaga itu dan diam2 terkejut. Namun komandan itu seorang cerdik. Dia tak lekas terkejut atau menyatakan apa2.

"Ah, tidak apa2, tayjin. Dia memang prajurit yang menjaga kubu kami," kata komandan itu dengan  tersenyum. "Mengapa dia begitu lancang sekali? Apakah memang begitu sikapnya?"

"Perang memang kadang dapat merobah perangai seseorang. Mungkin karena sering menghadapi pertempuran, syarafnya menjadi tegang sehingga dia kadang berani bertindak lancang," kata komandan.

Mengira kalau komandan itu benar2 tak mengenalnya, diam2 Huru Hara gembira.

"Penjaga, bagaimana perintah yang kuberikan kepadamu tadi?" tanya komandan.

"Beres, komandan," sahut Huru Hara, "pemuda itu  sudah kuikat pada pohon dalam rimba."

"Bagus," seru komandan, "aku telah berunding dengan Ko tayjin, bahwa besok pemuda itu harus dihabisi nyawanya."

Diam2 Haru Htra terkejut, namun ia tetap bersikap tenang2 saja, "Baik, komandan."

Setelah berbatuk-batuk sejenak, tiba2 komandan itu berkata, "Tulisanmu bagus, dapatkah engkau meniru tulisan dalam surat ini?"-

Huru Hara terkejut. Dia merasa tak pandai menulis huruf kan-ji, mengapa komandan mengatakan tulisannya bagus?

"0, kemungkinan penjaga yang kuringkus dalam hutan itu memang pandai menulis," akhirnya ia menyadari.

"Maksud komandan aku disuruh menirukan tulisan dalam surat tay-ciangkun Torgun itu?" ia bertanya.

Komandan mengiakan. "Wah, tetapi tulisanku buruk sekali. Bagaimana aku dapat meniru tulisan tay ciangkun?"

"Kutahu engkau pandai sastera dan tulisanmupun bagus, jangan sungkan," kata komandan. Ia mempersiapkan alat tulis dan mengeluarkan surat dari Torgun tadi.

"Lekas kemari," perintahnya. Dan Huru Hara gopoh maju menghampiri. Pada saat menerima surat, dia sudah merencanakan hendak kabur.

Tetaoi pada saat komandan mengangsurkan surat tiba2 surat itu terlepas jatuh ke lantai, .. ... , " komandan mendesuh kaget.

Huru Hara cepat membungkukkan tubuh hendak memunggut surat itu. Tetapi pada saat itu punggungnya seperti ditusuk jari baja dan tengkuknya dihantam oleh sebuah tangan kuat.

"Ah . . ," Huru Hara mendesah tetapi sudah terlambat.

Dia tak dapat berkutik dan tegak seperti patung.

Ternyata mata Ko Cay Seng memang tajam sekali. Walaupun komandan mengatakan penjaga itu memang penjaga yang asli, namun Ko Cay Seng dapat menangkap kedip mata yang diberikan komandan.

Memang komandan itu juga lihay. Dia tahu kalau penjaga itu bukan penjaga yang biasanya. Namun dia tak mau cepat2 memberi reaksi. Dia hendak membuat Huru Hara jangan curiga, Maka dengan siasat menyuruhnya menulis, waktu menyerahkan surat dari Torgun, sengaja ia menjatuhkan surat itu ke lantai. Dia memperhitungkan Huru Hata tentu segera membungkukkan badan menjemput. Pada saat itulah baru dia turun tangan untuk merobohkannya. Semua perhitungan komandan orang Boan itu memang tepat. Hanya sedikit yang mengejutkan yalah ketika dia ayunkan tangan menghantam, sebelum mengenai tubuh Huru Hara. Huru Hara sudah rubuh.

"Ah, Ko tayjin memang tangkas," setelah sadar kalau kalah dulu, ia tertawa memberi pujian kepada Ko Cay  Seng.

“Maaf, komandan Yemu, atas kelancanganku," kata Ko Cay Seng

Memang Ko Cay Seng cerdik. Walaupun pangkatnya lebih tinggi dari komandan yang bernama Yemu itu, namun ia tahu diri. Bahwa dia seorang Han dan Yemu itu orang Boan. Betapapun tinggi kedudukannya. terhadap perwira orang Boan, dia tetap menghormati orang Boan, sekalipun lebih rendah pangkat. Dengan penampilan itu maka dia mendapat simpati dan disenangi oleh kalangan perwira Boan.

"Ah. tak apa tayjin, tak sama saja. Yang penting kita dapat membekuk mata2 ini," kata Yemu.

Ia menghampiri Huru Hara yang telah kena tertutuk jalandarahnya oleh Ko Cay Seng itu dan membuka peci prajurit yang dipakai Huru Hara.

"Ho, ternyata engkau !" dengus Yemu. "Siapa ?" tegur Ko Cay Seng.

"Dialah orang yang membawa surat dari panglima besar Torgun. Sebenarnya dia sudah kuberi minuman obat tidur lalu kusuruh mengikat dalam rimba. Entah bagaimana mengapa dia bisa muncul lagi disini."

"0, ya, aku ingat sekarang," seru Ko Cay Seng, "dia adalah pemuda yang pernah bertempur dengan aku. Dia orangnya Su Go Hwat. Mengapa dia bisa muncul lagi kemari ?"

Yemu lalu menuturkan keterangan Huru Hara apa sehab dia mendapat kepercayaan dari Torgun.

"Wah, orang ini memang lihay. Ibarat anakmacan kalau dibiarkan tumbuh besar tentu berbahaya."

"Bagaimana maksud tayjin ?" "Bunuh !"

"Ya, akupun juga sudah memerintahkan begitu. Hanya ternyata penjaga yang kusurun membawanya ke hutan itu malah dapat dirubuh. Tuh, dia pakai seragam dari prajurit penjaga yang membawanya ke hutan," kata Yemu. Dia terus mencabut pedang dan menghampiri kemuka Huru Hara terus menabas.

"Tunggu, komandan," tiba2 Ko Cay Seng berseru. Komandan terkejut," Bagaimana maksud tay jin ?"

"Aku menemukan suatu akal bagus," kata Ko Cay Seng seraya memberi isyatat kepada Ye-mu supaya mendekat. Kemudian dia membisiki ke telinga komandan itu.

Yemu mengangguk-angguk. Kemudian dia memanggil prajurit dan suruh memborgol kaki dan tangan Huru Hara dengan rantai yang kokoh. Setelah itu suruh membawa ke asrama.

"Jaga dan awasi dia baik2, jangan sampai dapat Iolos," kata komandan.

Setelah Huru Hara dibawa keluar, barulah komandan bertanya kepada Ko Cay Seng, "Ko tayjin, apakah tayjin merasa bahwa siasat itu akan berhasil ?" "Kuharap demikian," jawab Ko Cay Seng, karena Su Go Hwat itu seorang yang setya pada anakbuahnya. Dia adalah orang kepercayaannya, tentulah Su Go Hwat akan berusaha keras untuk menyelamatkan jiwanya."

"Lalu bagaimana cara kita menyampaikan surat peringatan itu kepada Su Go Hwat ?" tanya Yemu.

"Su Go Hwat seorang mentri yang jujur dan menghormati peraturan. Kirim saja seorang prajurit untuk menyampaikan surat kita. Tentulah Su Go Hwat takkan menganggu keselamatan prajurit itu."

Demikian setelah menulis surat, Yemu lalu mengutus seorang prajurit kepercayaannya untuk mengnadap Su Go Hwat dikota Yang-ciu.

Singkatuya, prajurit itu telah diterima Su Go Hwat dan menyerahkan surat dari komandan.

Agak tegang wajah mentri Su Go Hwat ketika membaca surat itu. Ternyata surat itu mengatakan bahwa Huru Hara yang diutus Su Go Hwat menghadap Torgun itu, sekarang sudah tertangkap. Huru Hara akan dibebaskan apabila Su Go Hwat bersedia untuk meninggalkan Yang- ciu.

Beberapa saat timbul pertentargan dalam batin Su Go Hwat. Ia tahu bahwa Huru Hara itu seorang pemuda pejuang yang setia. Seorang putera dari pendekar besar Kim Thian Cong yang pernah memberi pertolongan kepadanya.

Haruskah ia mengorbankan jiwa pemuda itu? Demikian pertanyaan yang timbul tenggelam dalam benak Su Go Hwat.

Waktu mendapat laporan dari mata2 yang berhasil menyusup kedalam daerah pendudukn bahwa Su Hong Liang telah dihukum panglima Torgun, bukannya terkejut kebalikannya mentri Su Go Hwat malah tertawa. "Hm, memang manusia lain dengan Harimau tentu beranak harimau, tetapi manusia belum tentu putera sama dengan bapaknya. Aku setya kepada kerajaan Beng, tetapi putra keponakanku, bekerja kepada orang Boan. Aku malu, bahwa keluarga Su ada yang menjadi penghianat bangsa. Oleh karena itu, biarlah dia mati dibunuh panglima musuh agar kelak aku dapat mempertanggung jawabkan noda keluarga kita itu kepada para leluhur yang sudah berada di alam baka,” pikirnya.

Jika Su Go Hwat sedang merenung, pun di kubu pasukan Ceng, Ko Cay Seng dan komandan Yemu juga sedang berbincang-bincang.

Mereka membicarakan tentang kemungkinan berhasilnya surat mereka kepada Su Go Hwat. Mereka tahu bahwa Su Go Hwat dan Huru Hara itu seorang pejuang muda yang setya dan jujur. Tentu mentri Su Go Hwat sayang mengorbankan dia."

"Belum tente tayjin," seru Yemu, "mentri Su Go Hwat seorang yang keras hati. Dia mengutamakan kepentingan negara lebih dari segala. Bahkan dari pemuda tadi, kudengar mentri Su sengaja suruh anak keponakannya yang bernama Su Hong Liang mengantarkan surat balasan kepada panglima Torgun. Pada hal surat balasan itu jelas berisi penolakan mentri Su terhadap tawaran panglima Torgun supaya bekerja pada kerajaan Ceng. Dengan begitu jelas mentri Su hendak menjerumuskan anak keponakannya sendiri supaya dibunuh panglima Torgun."

"0, Su Hong Liang kongcu itu ? Ya, benar, Su kongcu memang diam2 telah bekerja kepada kita. Kemungkinan mentri Su Go Hwat dapat mencium bau dan sengaja hendak meminjam tangan Torgun tay-ciangkun supaya memberi hukuman mati kepada Su koncu." "Nah, dengan pendirian seperti itu, dapatkah kita harapkan mentri Su Go Hwat akan menurut tuntutan kita ?" tanya Yemu.

Ko Cay Seng menghela napas.

"Memang tipis kemungkinannya. Tetapi tak salah kalau kita mencobanya. Karena kulihat ada perbedaan antara Su kongcu dengan si Huru Hara dalam pandangan mentri Su itu."

"0, perbedaan yang bagaimana?" tanya Yemu.

"Mentri Su adalah seorang pejuang dan patriot sejati. Telah kekatakan, dia mengutamakan kepentingan negara lebih dari segalanya. Jelas dia tentu sudah curiga kalau anak keponakannya, Hong Liang kongcu itu tidak beres. Dan diapun tentu sudah percaya penuh akan diri pendekar Huru Hara sebagai seorang pejuang yang setya. Oleh karena itu dia tentu lebih mementingkan keselamatan jiwa si Huru Hara daripada anak keponakannya sendiri. Maka diharap saja dia akan menurut tuntutan kita."

"Baiklah," kata Yemu.

Kembali pada mentri Su Go Hwat yang sedang mengalami pertentangan dalam batin itu, bermula dia cenderung untuk menyelamatkan jiwa Huru Hara.

"Peperangan ini masih lama, apabila aku nekad mati- matian mempertahankan' kota ini dan mengorbankan jiwa Huru Hara, tidakkah aku mengorbankan seorang pejuang muda yang sangat berharga tenaganya ? Ah, justeru saat ini negara sangat membutuhkan pejuang2 patriot seperti dia. Semua jenderal2 di daerah2 sudah berturut-turut menyerah pada musuh. Sedang di kotaraja kaum durna makin merajalela menguasai baginda. Tidakkah akhirnya, kaum durna itu juga akan menjual negara kepada musuh ?" Tertegun akan pemikiran itu, hampir saja mentri Su Go Hwat hendak memanggil komandan pasukan yang menjadi kota Yang-ciu, untuk diperintahkan bersiap-siap meninggalkan kota itu dan mundur ke daerah selatan.

Tiba2 masukiah seorang bujang perempuan kedalam ruang. Bujang itu masih gadis. Dia membawa penampan minuman teh.

"Tayjin, daharan sudah tersedia sejak tadi. Apakah tayjin tak berkenan untuk mendaharnya?" tanya gadis pelayan itu dengan hormat.

"0, engkau Hui-hoa," seru Su tayjin, "letakkan di meja.

Aku belum lapar."

"Tetapi tayjin," kata gadis pelayan yang bernama Hui- hoa itu pula. "hari sudah malam tayjin dan setiap malam tayjin selalu tidur sampai jauh malam sekali. Pagi2 tayjin sudah bangun. Apakah hal itu takkan mengganggu kesehatan tayjin?"

Su Go Hwat tertegun. Memang hubungan bujang Hui- hoa dengan keluarga Su, erat sekali. Mentri Su tidak memperlakukan Hui-hoa sebagai seorang bujang melainkan sebagai seorang pembantu.

"Ah Hui," kata Su Go Hwat, "apa engkau kira sekarang ini sudah waktunya kita harus bersenang-senang menikmati hidangan enak dan tidur pules?"

"Tidak, tayjin," kata Hui-hoa, Su tayjin biasa memanggilnya Ah Hoa saja, "sekarang kita sedang berperang. Apalagi saat ini musuh berada diambang pintu. Setiap saat mereka akan menyerbu kota kita ini."

Su Go Hwat tidak terkejut mendengar Hui hoa berbicara mengenai situasi perang. Karena sudah sering, gadis itu mengutarakan keadaan yang berlangsung pada dewasa itu. Dan setiap kali membicarakan tentang perang, tentulah Hui-hoa akan berapi-api semangatnya untuk menghancurkan musuh.

"Hui . . . eh, ya, mengapa engkau memakai nama Hui Hoa. Hoa artinya jelas kembang, tetapi apa arti kata Hui itu?" tiba2 mentri beralih pembicaraan.

"Ah, hamba pernah mengatakan kepada tay-jin," sahut Hui-hoa.

"0, apa benar? Tetapi mengapa sekarang aku lupa? Coba katakan lagi."

"Hui artinya terbuang. Hui-hoa artinya Bunga yang terbuang, tayjinl" seru Hui-hoa dengan mata berlinang- linang.

"Bunga yang terbuang?" ulang Su tayjin, "mengapa engkau memakai nama begitu?"

"Ah," Hui-hoa menghela napas, "kembali tayjin lupa siapa diri hamba ini. Bukankah hamba sudah sebatang kata ketika tayjin menemukan hamba telah menggeletak pingsan di tepi jalan karena keIaparan. ?"

"Ah, benar, benar," seru Su tayjin, "ya, kuingat waktu itu engkau memang menggeletak di tengah jalan. Kusuruh orangku untuk mengambil dan membawa pulang. 0, adakah karena nasib itu maka engkau menamakan dirimu Hui-hoa

?"

"Benar, tayjin," kata Hui-hoa, "dan nama itu juga mengandung arti, bahwa kekecewaan hidup hamba yang sekarang ini akan hamba tebus dengan melampiaskan dendam kesumat keluarga hamba kepada orang Boan. Merekalah yang telah membuat orangtua hamba binasa sehingga rumah tangga hamba hancur berantakan. Mereka harus bertanggung jawab atas penderitaan yang telah diterima oleh seluruh rakyat Beng."

Su Go Hwat terkesiap. Namun cepat ia tersentuh batinnya, "Baiklah, Ah Hui, sejak saat ini engkau tidak kuanggap sebagai pelayan tetapi anggauta keluargaku sendiri. Engkau akan kujadikan saudara angkat dengan Tiau Ing "

"Tayjin," serentak Hui Hoa berteriak, "manakah Su siocia ? Mengapa sampai sekarang tiada beritanya ?"

Su Go Hwat menyadari kalau kelepasan bicara. Dan diapun teringat akan keadaan puterinya.

"Ya, mengapa Tiau Ing sampai hari ini belum muncul?

Kemanakah anak itu?" gumamnya seorang diri.

Ia teringat akan sikap dan keterangan Su Hong Liang. Seketika timbullah rasa kecurigaan terhadap pemuda itu, kemudian timbul rasa cemas akan nasib Tiau Ing.

"Ah, jangan2 anak itu mengalami sesuatu yang tak diinginkan," kata Su Go Hwat, "Ah Hui, apakah engkau bersedia untuk mencari Tiau Ing?"

"Jiwa dan raga hamba ini adalah pemberian tayjin. Karena tayjinlah yang telah memberi hidup hamba. Jangankan hanya tayjin perintah untuk mencari Su siocia, bahkan tayjin suruh terjun ke lautan api, hambapun tentu akan melaksanakan "

"Hui Hoa, ternyata engkau berjiwa besar. Engkau tidak sebatang kara, karena masih banyak gadis2 yang menderita nasib seperti engkau. Engkau tidak sendirian karena banyak sekali kawan2 yang akan berjuang seperti engkau," kata Su tayjin lalu menulis beberapa kata pada sehelai surat dan setelah dimasukkan kepada sampul tertutup, diberikan kepada Hui-hoa, "apabila bertemu Tiau Ing, serahkan surat ini kepadanya."

Hui Hoa hati2 sekali menyimpan surat itu dalam bajunya. Setelah memberi hormat, ia lalu tinggalkan ruangan itu.

Su Go Hwat terlongong-longong. Kini pikiran untuk meninggalkan kota Yang-ciu sesuai dengap tuntutan lenyap bagai awan dihembus angin.

Ribuan bahkan jutaan rakyat telah menderita kesengsaraan akibat serangan pasukan Ceng. Apabila ia menarik pasukannya untuk meninggalkan Yang-ciu, rakyat Yang-ciu tentu akan menderita kesengsaraan dan siksaan dari pasukan Ceng yang akan masuk.

"Tidak !" serunya seraya mengepalkan tinju, "aku akan mempertahankan kota ini sampai titik darah yang pengabisan. Aku tak dapat berbuat apa2 untuk menyelamatkan jiwa Huru Hara. Dan kupercaya, dia tentu mengerti dan setuju akan pendirianku ini."

Su Go Hwat membulatkan tekad.

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar