Pendekar Bloon Cari Jodoh jilid 30 Kawan atau lawan.

jilid 30 Kawan atau lawan.

Dengan cara itu barulah Huru Hara berhasil mencapai tembok kota yang tinggi. Adalah karena Cian-li-ji dan Ah Liong membuat reaksi memancarkan tenaga, tenaga Ji-ih- ain-kang Huru Ha rapun memancar sehingga dapatlah ia melontarkan kedua orang itu keatas. Dan sekali tenaga-sakti Ji-ih-sin-kang memancar, diapun mampu untuk melayang ke udara. "Hai, jangan, aku bukan musuh!" teriak Cian li ji ketika seorang prajurit Beng hendak menombaknya.

Tring .... Cian-li-ji hanya menjerit-jerit tetapi prajurit itu tetap menusuknya. Untung Huru Hara cepat menyampok dengan pedangnya sehingga tombak prajurit itu melekat. Sekali tarik prajurit itu terjungkal dan tombakpun beralih ke tangan Huru Hara.

"Nih, paman Cian, pakailah untuk membelai diri," kata Huru Hara. Kemudian memerintahkan Ah Liong, "Ah Liong, sembunyilah dibelakangku.”

Tepat pada saat itu maka dari bawah, meluncurlah puluhan anakpanah. Cian-li-ji memutar tombaknya sederas angin kencang. Demikian pula Huru Hara. Hanya bedanya kalau anakpanah yang dibentur tombak Cian-li-ji tentu jatuh kebawah tetapi anakpanah yang ditangkis pedang Huru Hara tentu melekat pada pedang.

"Hai, prajurit, jangan memanah kami. Kami adalah kawan," seru Huru Hara.

"Paman Cian, mari kita loncat turun," Huru Hara terus melayang kebawah diikuti Cian-li ji dan Ah Liong.

Begitu tiba ditanah, puluhan prajurit segera mengepungnya. Huru Hara mengangkat tangani berseru, "Tahan kawan, kami orang Beng juga!"

"Hm, mau apa engkau menerobos masuk ka dalam kota?" tegur seorang perwira.

"Kami hendak mohon menghadap jenderal. Perwira itu terkejut, "Siapa engkau!"

"Aku utusan dari mentri Su Go Hwat tay-jin untuk menyampaikan berita kepada jenderal Ui." Perwira itu kerutkan dahi. Dia menatap tajam kepada Huru Hara lalu Cian-li-ji dan Ah Liong.

Kalau melihat wajah mereka, mereka itu orang-orang jujur walaupun seperti orang tidak waras. Tetapi kalau mempercayai mereka itu utusan dari mentri pertahanan Su Go Hwat memang sukar diterima, pikir perwira itu,

"Lekas, urusan ini amat penting," seru Huru Hara.

Akhirnya perwira itu mengambil keputusan Masakan ketiga orang itu mampu lolos kalau ia bawa menghadap jenderal Ui Tek Kong. Siapa tahu kalau memang ketiga orang itu utusan mentri pertahanan, kan dia akan mendapat teguran keras dari jenderal Ui apabila tidak membawa mereka menghadap.

"Baik," kata perwira itu lalu mengiring mereka menuju ke markas.

Sebenarnya Ce-lam merupakan kota yang ramai. Tetapi saat itu tampak seperti kota mati. Di jalan tak ada kesibukan penghidupan lagi. Pintu2 rumah tutup. Disana sini hanya tampak kelompok2 prajurit yang silang selisih melakukan tugas.

Markas pasukan Beng bertempat digedung tihu (residen) yang besar dan luas. Sekeliling markas itu dijaga ketat oleh prajurit2 berserjata.

Huru Hara bertiga langsung dibawa menghadap jenderal Ui.

"O, engkau pendekar Huru Hara," tegur Jenderal Ui Tek Kong yang mengenali Huru Hara sebagai orang yang pernah menghadapnya sebagai utusan jenderal Ko Kiat untuk mengantar peti berharga sebagai sumbangan jenderal Ko Kiat atas kematian dari ibunda jenderal Ui. "Benar ciangkun," kata Huru Hara. "Mengapa engkau kemari?"

"Bolehkah hamba bercerita ?" tanya Huru Hara. "Silakan."

Huru Hara lalu menceritakan tentang peristiwa bertemu dengan Bok Kian dan ditengah jalanbertemu pula dengan Su Tiau Ing. Karena Su Tiau Ing masih ada tugas lain maka Bok Kian mewakili nona itu untuk menyampaikan surat mentri Su Go Hwat kepada jenderal Ui. 

"Tetapi dalam perjalanan kami mendapat kabar kalau nona Su telah ditangkap pasukan Ceng yang mengepung kota ini. Maka kami berusaha menolong. Nona Su dapat ditolong dan sekarang diselamatkan Bok Kian. Dimana Bok Kian dan nona Su bersembunyi, kami tak tahu. Karena mengingat soal ini amat penting maka hamba perlukan menghadap ciangkun untuk menyampaikan pesan mentri Su tayjin."

"O, apakah pesan itu?"

"Bahwa mentri Su tayjin tak jadi mengajak ciangkun untuk menghukum jenderal Co Liang Giok tetapi ciangkun diminta supaya memperkuat daerah Shoatang ini yang sedang diserbu musuh."

"Benar, aku sendiripun memang mempunyai pendirian begitu. Soal jenderal Co Liang Giok adalah urusan dalam, boleh dipertangguhkan dulu demi memelihara persatuan. Yang penting harus menghadapi serangan pasukan Ceng dulu," kata jenderal Ui Tek Cong.

"Ciangkun benar2 seorang jenderal yang bijaksana," seru Huru Hara, "lalu apakah yang dapat kami lakukan untuk mempertahankan kota ini?” Jenderal Ui menghela napas.

"Sudah hampir setengah bulan kota ini telah dikepung musuh. Memang bermula musuh melancarkan serangan besar- besaran tetapi dapat kita kalahkan sehingga mereka berganti siasat. Mereka hendak mengepung kota ini agar puus hubungan dengan lain kota."

"Tetapi ciangkun dapat bertahan sampai setengah bulan," kata Huru Hara.

"Ah." kata Ui Tek Kong, "sekuat-kuat mental kita untuk bertahan tetapi perut kita pun harus diisi. "

"O, apakah persediaan bahan makanan di kota ini sudah berkurang?"

"Sekarang terpaksa kami adakan jatah makanan, baik dikalangan anak pasukan maupun rakyat. Seluruh persediaan makanan telah kuperintahkan untuk dipusatkan disebuah gudang, prajurit dan rakyat kami beri jatah tiap hari. Dengan demikian kami dapat mengendalikan bahan makanan dalam jangka waktu cukup lama."

Huru Hara mengangguk.

"Tetapi sekarang persediaan makanan sudah makin menipis dan mulai kemarin jatah makanan dikurangi dan dianjurkan supaya rakyat makan bubur," kata jenderal Ui pula.

"Ciangkun, apakah ciangkun belum pernah berusaha untuk menerobos kepungan mereka-?” tanya Huru Hara.

"Sudah, tetapi pasukan mereka terlalu besar sehingga beberapa kali usaha kita untuk menerobos keluar gagal."

"Lalu bagaimana tindakan ciangkun selanjutnya ?

Apakah akan tetap bertahan begini ?" "Aku sedang mempertimbangkan suatu langkah." kata jenderal Ui, "daripada harus mati konyol, mumpung tenaga anakpasukan masih kuat, kita serbu mereka."

"Bagus!" tiba2 Cian-Li-ji beiseru, "itu baru tindakan yang tepat. Apa sih pasukan Ceng itu? Buktinya tadi hanya tiga orang saja, kami dapat mengobrak-abrik markas mereka ?"

"Paman Cian !" seru Haru Hira.

"Lho. apakah kalian sudah pernah mengobrak-abrik markas musuh ?" buru2 jenderal Ui bertanya.

"Sudah," kata Cian-li-ji sambil busungkan dada, “panglima mereka yang bernama Bar itu sudah dapat kami bekuk dan seret keluar."

"Siapa penglima Bar?" jenderal Ui terkejut.

"Salah paman," kata Huru Hara, "bukan panglima Bar tetapi Barbak, harus pakai Bak, jangan cuma Bar saja."

"Panglima Barbak yang memimpin pasukan menyerang Shoa-tang itu ?" jenderal Ui makin kaget.

"Ya siapa lagi kalau bukan dia," seru Cian-li-ji, "coba keponakanku ini tidak kasihan kitakan sudah dapat membunuhnya."

"Coba kalian ceritakan kisahnya," perintah Ui Tek Kong.

"Untuk menolong nona Su. kami bertiga langsung menyerbu ke markas pasukan Eng. Aku dan Bok Kian lalu menyelundup kemana-mana untuk melepas api dan keponakanku Huru Hara langsung menyerbu kedalam markas "

"Engkong, aku dimana ?" tiba2 Ah Liong melengking karena namanya tidak ikut disebut. "O, engkau juga ikut. Benar, aku lupa," kata Cian li-ji "karena prajurit2 tak mampu menghadapi amukan Huru Hara mereka lalu mengundang pemimpinnya si Barbak itu. Huru Hara menantang Barbak untuk berkelahi satu lawan satu. Pakai taruhan besar, lho!"

"Apa taruhannya?" jenderal Ui terkejut. "Kepala manusia."

"Hai, jangan bicara sembarangan lopeh!" bentak jenderal Ui.

"Siapa yang bicara sembarangan. Aku bercerita dengan sungguh2. Memang pakai pertaruhan. Kalau Huru Hara kalah, dia akan menyerahkan kepalanya. Tetapi kalau Barbak kalah, dia harus membebaskan nona Su."

“O," desuh jenderal Ui.

"Masih ada pertarulan kedua," kata Cian-li-ji, "kalau pertandingan pakai senjata, Huru Hara kalah, dia sedia dipenggal kepalanya. Tetapi kalau dia menang dia minta supaya Barbak menarik mundur pasukannya dari sini."

"Oh, hebat sekali!" seru jenderal Ui, "apakah Barbak menerima tantangan itu?"

"Menerima."

"Lalu bagaimana kesudahannya?"

"Sudah tentu keponakanku Huru Hara yang menang. Tetapi ternyata nona Su sudah ditolong Bok Kian, jadi percuma. Tetapi untuk pertandingan kedua, waktu Barbak sudah hampir kalah dia curang. Dia suruh anakbuahnya menyerang kami

Terpaksa kami ringkus si Barbak dan kami seret keluar baru kami lepaskan " 'O, dia engkau jadikan sandera?"

"Benar, kami terpaksa menyandera si Barbak supaya kami dapat keluaf dari dalam markas."

"Ah, - sungguh hebat sekali tetapi sayang," kata jenderal.

Ui.

"Apanya yang sayang ciangkun?"

"Sudah dapat membekuk Barbak mengapa tak kalian suruh dia harus menarik mundur pasukannya."

"Soal itu memang sudah kupikir, ciangkun," kata Huru Hara, "tetapi pada waktu itu janjiku hanyalah supaya Barbak melarang anakbuahnya mengganggu jalan kami keluar dari markas."

"Tak apa, ciangkun," seru Cian-li-ji, "jika perlu kami dapat mengulangi lagi langkah itu. Nanti kami suruh si Barbak menarik mundur pasukannya dari sini."

Jenderal Ui geleng2 kepala, "Mana mungkin mereka mau menerima tawaran semacam itu lagi? Mereka sudah kalah tentu takkan menerima tantangan itu dan mereka akan menangkap kalian."

"Ya, tetapi kita dapat mencari lain cara untuk mengundurkan mereka, ciangkun," kata Huru Hara.

"Tiada lain jalan kecuali harus bertempur mati-matian melawan mereka," kata jenderal Tek Kong.

"Baik, jika ciangkun menghendaki demikian sambut Huru Hara, "tetapi yang penting kita harus mengungsikan wanita, anak2 dan orang2 tua dari kota ini, baru nanti kita lakukan pertempuran mati hidup dengan mereka."

Jenderal Ui garuk2 kepala, "Tetapi bagaimana kita mengungsikan mereka? Kota sudah dikepung dari empat penjuru. Kemanapun kita menerobos tentu akan disambut mereka."

"Ciangkun," kata Huru Hara, "aku tak tahu bagaimana keadaan kota ini. Rasanya tentu masih ada jalan yang terbaik untuk lolos."

"Baiklah, engkau boleh memeriksa keadaan kota ini dan nanti berilah laporan lagi cara bagaimana untuk lolos," kata jendral itu.

"Tetapi ciangkun, anak pasukan tak kenal hamba bertiga, mereka tentu akan curiga," kata Huru Hara.

"Akan kusuruh seorang perwira menemani engkau," jenderal itu seraya memerintah seorang perwira untuk mengikuti Huru Hara.

Demikian dengan diantar oleh seorang perwira, Huru Hara, Cian-li-ji dan Ah Liong segera berkeliling mengadakan pemeriksaan di seluruh kota.

Ternyata para wanita, anak dan orang2 tua ditempatkan disebuah gedung asrama. Sedangkan yang laki dan pemuda2 dikerahkan untuk membantu para prajurit menjaga di atas tembok kota.

Tiba2 Huru Hara sampai pada sebuah kuil besar yang terletak dipinggir kota. Kuil itu memakai papan nama Cian- hud-si atau kuil Seribu-buddha. Didalamnya banyak terdapat ratusan arca dewa2.

Hian Beng siansu, kepala paderi menyambut kedatangan Huru Hara.

"Maaf, siansu, apakah tindakan siansu menghadapi kepungan musuh selama ini?" tanya Huru Hara. "Apa daya kami, sicu," kata Hian Beng siansu, "kecuali hanya berdoa meminta kepada Hud-ya agar melimpahkan kemujijatan dapat menyelamatkan kota ini."

"Siansu, bagaimana tindakan siansu kalau pasukan Ceng dapat menduduki kota ini?"

"Kami akan meloloskan diri."

"Meloloskan diri? Dari mana siansu dapat meloloskan diri?"

"Sicu," kata paderi itu, "sebenarnya sudah lama kami memikirkan suatu jalan rahasia yang dapat kami jadikan jalan untuk meloloskan diri bilamana kota ini sampai diduduki pasukan Ceng."

"O, maksud siansu membuat sebuah terowongan ?"

"Ya, benar. Tetapi sayang masih belum dapat menembus ke luar tembok kota."

"Bolehkah aku melihatnya?"

"Tentu saja" kata Hian Beng siansu. Dia mengantarkan Huru Hara ke belakang. Di situ terdapat sebuah taman dan gunungan tiruan. Paderi mendorong gunungan palsu dan terbukalah sebuah lubang. Mereka turun kebawah.

"Berapa jauhnya lorong terowongan ini ?" tanya Huru Hara.

"Baru mencapai tembok kota saja." "Apakah diluar tembok kota terdapat hutan?" tanya Huru Hara.

"Apa," seru Hian Beng siansu, "kira2 satu li disebelah barat kota, terdapat sebuah hutan."

"Wah, satu li cukup jauh," kata Huru Hara, "apakah diluar tembok kota, ada tempat yang sunyi ?"

"Ya, disebelah barat laut." "Bagus," seru Huru Hara, "akan kusuruh berpuluh orang untuk, menggali supaya tembus kesana."

Huru Hara minta diri dan menghadap jenderal Ui Tek, "Ciangkun, apabila hamba boleh meminjam seratus orang untuk menggali terowongan itu, dalam dua hari hamba rasa tentu sudah dapat tembus keluar kota.

Ui Tek Kong meluluskan. Dan begitulah hari itu seratus orang pemuda yang masih kuat disuruh mengerjakan penggalian terowongan di belakang kuil Cian-kud-si.

Dua hari kemudian pekerjaan itu telah selesai dan Huru Hara menghadap jenderal Ui lagi, "Ciangkun, nanti malam hamba bertiga akan menyelundup kedalam terowongan itu dan langsung akan mengadakan pengacauan dari belakang pasukan musuh. Apabila nanti di kubu mereka sudah terbit kebakaran, harap ciangkun segera membuka pintu barat dan menerjang keluar."

"Baik, tetapi siapa yang jaga kota ini ?" tanya jenderal Ui.

"Kota ini sudah tak dapat dipertahankan lagi. Yang penting pasukan ciangkun harus dapat diselamatkan. Kelak ciangkun dapat menyusun kekuatan lagi untuk melakukan serangan balasan. Lalu kemanakah kiranya ciangkun hendak membawa pasukan ciangkun ?"

"Kupikir hendak menuju ke gunung Thaysan. Disana akan menyusun kekuatan lagi."

"Baik, kuminta ciangkun membawa para wanita, anak2 dan orang2 tua itu mengungsi sekali,'"

Jenderal Ui Tek Kong mengiakan. Kemudian ia berkata lagi, "Tetapi engkau hanya tiga orang, mampukah engkau mengacau mereka?" "Harap ciangkun jangan kuatir," kata Huru Hara, "aku tahu begaimana harus bertindak."

"Baik, akan kucatat jasamu agar kelak engkau mendapat pahala," kata jenderal Ui.

"Tidak perlu," sahut Huru Hara, "yang penting adalah lolos dari sergapan musuh dan kelak balas menyerang mereka. Soal jasa, aku tak mengharap."

Demikian malam itu, Huru Hara, Cian-li-ji dan Ah Liong menyusup melalui terowongan di kuil Gian-hud-si. Mereka tiba di luar tembok kota lalu menghampiri ke kubu pasukan Ceng.

"Paman Cian dan engkau Ah Liong, bakarlah kubu mereka dan aku yang akan menyerbu,” kata Huru Hara.

Saat itu sudah tengah malam. Karena sudah setengah bulan pasukan jenderal Ui tidak mengadakan gerakan suatu apa, maka seperti tiap malam, prajurit2 Ceng itu hanya tidur. Ada yang melewatkan malam dengan minum dan berjudi. Mereka yakin pasukan jenderal Ui tentu tak berani membuka pintu kota.

Tiba2 kesunyian malam dipecahkan oleh suara orang berteriak-teriak, "Api . . . api . . . ! "

Lebih terkejut ketika melihat seorang yang memakai tanduk, sedang mengamuk mengobrak-abrik kubu.

Cepat mereka lari menghampiri orang itu.

'Hai, siapakah engkau!" teriak seorang perwira Ceng yang mencekal tombak.

"Menyerah atau mati!'' teriak orang itu yang tak lain adalah Huru Hara seraya mengamuk dengan pedang. Beberapa orang yang berani menghadang tentu disabat roboh. Perwira itu loncat dan menyerang, uhh . . . ia terkejut ketika tombaknya melekat pada pedang orang itu. Dan sekali orang itu menarik, si perwirapun ikut tertarik, plok . .

. .ia mencelat sampai beberapa tombak ketika Huru Hara menendangnya.

Juga dari kanan dan kiri kubu, timbul kegaduhan yang hebat. Seorang kakek cebol dan seorang bocah kuncung juga ikut ngamuk. Kakek itu membawa sepotong besi dan si bocah kuncung sepasang sumpit.

"Setan cebol, mampus engkau!" teriak prajurit yang menyerang Cian-li ji. Tetapi kakek cebol itu berputar-putar dan menghantam kepala prajurit itu.

"Setan cilik, dari mana engkau!" prajurit yang menyerang Ah Liong menusuk dengan tombak tetapi Ah Liong menghindar lalu loncat dan, aduuuhhh ......prajurit itu segera menjerit karena sebuah biji matanya telah di sumpit oleh Ah Liong,

Dan beberapa prajuritpun menjerit karena hidung atau telinga mereka berlumuran darah Bahkan dalam pertempuran yang dahsyat itu masih sempat pula Ah Liong mempraktekkan keugal-ugalannya. Beberapa prajurit menjerit kaget dan mendekap pinggang celananya. Kemudian dengan enak saja Ah Liong mencabut rambut atau kumis atau bahkan bulu mata mereka sehingga mereka menjerit-jerit kesakitan.

Hanya tiga manusia nyentrik yang mengamuk tetapi cukuplah membuat kubu pasukan Ceng gempar tak keruan.

"Hm, engkau setan cilik,” sebuah suara yang menggeledek dan bertiuplah angin yang dahsyat. Ah Liong berpaling. Ternyata seorang perwira Ceng yang bertubuh tinggi besar tengah mengayunkan golok panjang membabatnya.

"Celaka !" teriak Ah Liong seraya loncat keatas, siungggg. golok panjang itu membabat di bawah kakinya,

hanya terpaut beberapa centi.

Perwira Ceng itu adalah pimpinan pasukan yang mengepung kota Ce-lam dari sebelah barat. Dia bernama Mohan, bertenaga besar dan pandai memainkan golok panjang.

Tabasannya luput, perwira tinggi pasukan Ceng itu, menggerung dan menyerang lagi dengan golok panjangnya. Dalam waktu singkat, Ah Liong telah menjadi bulan-bulan serangan pemimpin pasukan Ceng itu. Sedemikian gencar dan dahsyat serangan perwira Mohan sehingga Ah Liong kelabakan karena tiada kesempatan untuk memperbaiki diri. Untung dalam ilmu ginkang atau Meringankan-tubuh, bocah itu telah mencapai tataran yang tinggi, sehingga dia dapat terhindar dari bahaya maut.

Adalah berkat latihan keras yang diberikan neneknya waktu dia masih kecil, antara lain tiap pagi harus memanggul kerbau ke sungai, naik turun gunung mencari kayu bakar dan air, maka Ah Liong memiliki dasar ilmu Gin-kang yang kokoh sehingga dia mampu lari secepat kijang dan loncat setinggi beberapa meter.

Namun karena serangan golok panjang dari pimpinan pasukan Ceng sedemikian hebat, terpaksa Ah Liong harus mandi keringat berloncatan dan menghindar kian kemari.

“Matikkkk ....," tiba2 Ah Liong menjerit karena waktu hendak loncat mundur, kakinya terlanggar sesosok mayat prajurit Ceng sehingga dia terjatuh, Dan saat itu Mohanpun sudah ayunkan goloknya..... "Dukskkk . . .. , aduh.....tiba2 pula Mohan menjerit kesakitan karena kepalanya ditimpah sesosok tubuh manusia.

Sudah tentu peiwira Ceng itu terhuyung ke muka. Ternyata yang melemparkan mayat prajurit Ceng itu adalah kakek Cian-li ji. Dia habis membereskan seorang prajurit Ceng dan ketika berpaling kesamping, kejutnya bukan alang kepalang ketika melihat Ah Liong jatuh dan perwira Ceng hendak ayunkan goloknya. Karena jarak agak jauh dan tak sempat untuk mencegah maka Cian-li ji terus mengangkat prajurit Ceng itu dan dilemparkan kearah si perwira.

Melihat perwira Ceng itu jatuh ketempatnya, Ah Liong terkejut. Dia melenting bangun dan secara reflek, dia mencengkeram punggung celana si perwira itu, diserempaki dengan sebuah tendangan, plok perwira itu hampir jatuh

tersungkur, tetapi untung dia masih mampu berdiri tegak walaupun harus gentayangan sampai beberapa langkah.

"Uhhhh," tiba2 mulutnya mendesuh kejut dan cepat2 ia mendekap pinggang celananya. Wajahnya merah padam. Ia hendak membalas Ah Liong tetapi tali celana dalamnya putus.

Tepat pada saat itu, pasukan Ceng panik tak keruan. Mereka menjerit, berteriak dan lari berserabutan. Ternyata jenderal Ui Tek Kong dengan membawa pasukannya, menyerbu kubu pasukan Ceng. Sudah tentu keadaan makin kacau tak keruan.

Prajurit2 Ceng hendak melampiaskan kemarahannya kerena lebih dari setengah bulan dikepung. Mereka menyerang ganas membunuh setiap prajurit musuh yang dihadapinya.

Mengadapi serangan itu, pasukan Ceng benar2 tak berdaya. Mereka lari tanpa dapat dikendalikan lagi. Singkatnya, pasukan jenderal Ui Tek Kong berhasil menghancurkan pasukan Ceng yang mengepung di pintu barat. Kemudian jenderal Ui membawa pasukannya menuju ke gunung Thay-san.

"Ah Liong, paman Cian, lekas ikut aku," seru Huru Hara waktu menghampiri kedua orang itu.

Mereka bertiga tidak ikut pasukan jenderal Ui, melainkan kembali ke terowongan.

"Eh, mau kemana nih ?" seru Cian-li-ji. "Masuk ke kota Ci lam lagi."

"Lho, sudah dapat lolos mengapa masih kembali lagi ?" Cian Li-ji heran.

"Kita bakar mereka." "Mereka siapa ?" '"Pasukan Ceng."

"Eh, bukankah pasukan Ceng sudah dapat dihancurkan

?"

"Yang dari timur belum," kata Huru Hara.

Paderi Hui Beng juga terkejut ketika melihat Huru Hara

dan kedua kawannya muncul lagi.

"Mengapa sicu kembali kemari ?" tegurnya.

"Aku hendak mohon bantuan siansu. Maukan siansu membantu ?"

"Sudah tentu apa yang pinceng lakukan, pinceng tentu akan senang membantu sicu.

"Kuminta siansu membuka pintu timur dan mempersilakan Ceng masuk kota," kata Huru Hara. Kepala kuil Cian-hud-si itu terkejut, "Tetapi sicu. "

"Pasukan jenderal Ui sudah membukakan diri maka tiada halangan siansu membukakan pintu kota agar pasukan Ceng disebelah timur masuk."

Paderi itu tertegun.

"Sekali tepuk dua lalat," kata Huru Hara melanjutkan, "dengan membukakan pintu kota, selamatlah para paderi di kuil ini dari hukuman mereka, Dan disamping itu, usahakanlah agar sian su jangan menimbulkan kecurigaan mereka. Bahkan kalau dapat, siansu supaya bersikap bersahabat dengan mereka."

"Ah. "

"Kami akan bersembunyi dalam terowongan rahasia itu dan akan mengadakan pengacauan, pada fihak musuh."

Walaupun berat dalam hati tetapi paderi Hian Beng menyanggupi permintaan Huru Hara. Ia tahu bahwa pemuda nyentrik itu tentu mempunyai rencana terhadap pasukan Ceng.

Keesokan harinya pagi2 sekali Hian Beng siansu bersama seluruh paderi kuil Cian-hud-si yang berjumlah duapuluh orang, berbondong bondong membuka pintu kota sebelah timur. Kemudian mereka tegak berdiri diambang pintu kota dengan sikap penuh kedamaian.

Tak berapa lama dari fihak pasukan Ceng, muncul dua orang perwira penunggang kuda.

"Apalah maksud siansu membuka pintu kota ini ?" tegur kedua perwira itu.

"Omitohud ! Damai di dunia, damailah umat manusia," seru Hian Beng siansu, "pasukan kera jaan Beng telah meninggalkan kota ini maka kamipun memberanikan diri uatuk membuka pintu kotia menyambut kedatangan pasukan Ceng kedalam kota Cianlam," seru paderi itu.

Kedua perwira hu tampak terkejut, "Benarkah begitu, siansu ?" tanya mereka setengah bersangsi."

"Siancay ! Siancay ! Kami orang-orang beragama pantang berbohong. Silakan sicu memeriksa kedalam kota. Apabila kami berbohong, kami bersedia menerima hukuman."

Setelah berunding kedua perwira itu menyatakan akan masuk kedalam kota. Demikian dengan diantar rombongan paderi itu, kedua perwira lalu masuk kedalam kota.

Apa yang dikatakan Hian Beng siansu memang benar. Kota sudah kosong dari prajurit Beng. Atas pertanyaan kedua perwira, Hian Beng siansu mengatakan bahwa pasukan Beng dibawah pimpinan jenderal Ui Tek Kong semalam telah menerjang keluar melalui pintu kota sebelah barat dan sampai saat itu tak kembali lagi, "Kemungkinan mereka sudah meloloskan diri kearah barat," Hian Beng siansu menutup keterangannya

Demikian pasukan induk yang dipimpin panglima Barbak segera menduduki kota Celam. Malam itu diadakan pesta untuk merayakan kemenangan. Seluruh pasukan yang mengepung kota Celam dari empat jurusanpun memasuki kota, kecuali pasukan yang berjaga di pintu barat. Mereka menderita kerusakan besar karena diobrak-abrik Huru Hara bertiga dan diserang pasukan jenderal Ui Tek Kong.

"Tiga orang yang dandanannya seperti orang sinting ?" panglima Barbak terkejut ketika mendapat laporan tentang tiga manusia aneh yang mengobrak-abrik pasukan Ceng di pintu barat. Perwira Mohan membenarkan, "Mereka terlalu kurang ajar sekali, terutama si bocah lelaki kuncung dan kakek cebol. Bocah itu telah memutus tali celana prajurit2 kita "

"Apakah engkau juga dikerjain ?" tukas panglima Barbak.

Mohan tersipu-sipu merah mukanya, "Apabila kelak bertemu lagi, bangsat kecil itu tentu kucincang."

Panglima Barbak termenung-menung memikir ketiga manusia aneh yang mengacau pasukan Ceng.

"Siapa gerangan ketiga manusia sinting itu ?" tanyanya kepada para anakbuahnya.

Ada seorang prajurit yang memberi keterangan bahwa pemuda yang nyentrik itu bernama pendekar Huru Hara.

"Siapakah namanya yang sebenarnya ?"

"Hamba tak tahu. Tetapi konon kabarnya dia pernah menolong panglima Taras ketika diserang pasukan Beng."

Demikian pembicaraan yang dilakukan panglima Barbak dengan para anakbuahnya ketika sudah memasuki kota Celam, Dan untuk menghibur prajuritnya maka Barbak meluluskan untuk mengadakan perjamuan, merayakan kemenangan mereka.

"Kurang ajar," lengking seorang prajurit kepada kawan- kawannya, mengapa kota ini seperti sebuah kota mati ? Penduduknya tak tampak sama sekali. Juga kaum wanitanya, satupun tak ada."

"Mereka ikut pada pasukan jenderal Ui." kata prajurit yang lain.

"Ah, celaka kalau begitu. Kita kan tak dapat bersenang- senang dengan wanita." "Ah, lu, memang doyan sekali bermain perempuan. Setiap kali menduduki kota, pertama-tama engkau tentu mencari wanita cantik."

"Iya dong," sahut prajurit yang bertubuh kekar itu," perlu apa kita mengadu jiwa dalam medan peperangan kalau setiap kali menang tidak dapat menikmati hasil kemenangan itu. Kapan lagi kita mempunyai kesempatan untuk mencicipi wanita2 cantik kalau tidak dalam keadaan perang seperti ini ? Ha, ha, salahmu sendiri mengapa engkau tak mau menikmati kesenangan itu."

Demikian mental para prajurit Ceng. Setiap kali menduduki kota, mereka tentu memuaskan diri. Ada yang merampok harta benda rakyat, ada yang merampas isteri dan anak gadis orang, Adai pula yang memeras dan lain2 tindakan yang menindas rakyat.

Dengan sikap dan ucapan yang tenang dan ramah dapatlah Hian Beng siansu memperoleh kepercayaan dari pimpinan pasukan pendudukan Ceng.

Pada hari kedua dari pendudukan tentara Ceng, terjadilah suatu peristiwa hilangnya empat penjaga pintu kota barat. Waktu mendapat laporan, panglima Barbak terkejut.

"Ah, mungkin mereka melarikan diri," katanya.

Tetapi ternyata pada malam ketiga, empat penjaga pintu barat, hilang lagi. Kejadian itu berlangsung, sampai berturut-turut tiga malam.

Kali ini Barbak tak dapat meremehkan lagi, "Tentu ada sesuatu yang harus diselidiki. Tak mungkin mereka melarikan diri. Tentu ada penyebabnya."

Dia mengatur siasat. Penjagaan pintu kota tetap dilakukan empat orang prajurit. Tetapi diam-diam memerintahkan sepuluh prajurit bersembunyi di kejauhan untuk mengintai gerak gerik mereka.

Sampai tengah malam tiada terjadi apa2, Hampir kesepuluh prajurit yang bersembunyi itu akan merebahkan diri tidur karena kesal hati atau tiba2 terdengarlah suara burung hantu berbunyi. Karena merasa seram, rasa kantuk kesepuluh prajurit-itupun lenyap seketika.

Tiba2 mereka menyaksikan suatu pemandangan cukup membangkitkan rasa takut sehingga bulu kuduk mereka berdiri.

Entah dari mana datangnya, tahu2 muncullah tiga sosok mahluk hitam. Dari kepala sampai kaki tertutup oleh kain hitam. Hanya bagian mata saja yang diberi lubang.

Juga cara ketiga mahluk aneh itu berjalan, memang luar biasa. Yang bertubuh pendek, berputar-putar tubuh seperti gangsingan. Yang bertubuh kecil berjalan dengan berloncatan jungkir balik. Sedang yang bertubuh agak tinggi berjalan dengan cara loncat maju mundur. Tak henti- hentinya mulut mereka bercuat-cuit seperti setan.

"Setan......," teriak salah seorang penjaga pintu kepada kawan-kawannya. Ketiga kawan-nyapun tahu dan pucat seketika. Sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, ketiga mahluk aneh itu sudah melayang ke hadapan mereka dan, bluk, bluk, bluk.....keempat prajurit penjaga itu rubuh berjatuhan karena ditempeleng dan ditampar kedua mahluk aneh itu. Cepat keempat tubuh prajurit penjaga itu dijinjing dan terus dibawa pergi,

Melihat peristiwa itu kesepuluh prajurit yang bersembunyi dibalik gerumbul segera mengikuti. Ternyata ketiga mahluk aneh itu melemparkan tubuh2 prajurit penjaga kedalam sungai. "Setan dari mana berani menggangu orang ini!" seru kepala prajurit yang memimpin kelompok prajurit itu.

Cuwat-cuwit, demikian suara ketiga mahluk aneh itu dan merekapun terus menyerbu kawanan prajurit itu.

Karena terpengaruh oleh rasa seram dan ngeri maka kawanan prajurit itupun sudah runtuh morilnya. Apalagi menghadapi scrangan ketiga mahluk yang luar biasa cepatnya. Dalam beberapa menit saja, merekapun sudah rubuh dan terus dilempar kedalam sungai.

Keesokan harinya bukan main kelabakan panglima Barbak. Bukan saja keempnt penjaga pintu lenyap, pun kesepuluh prajurit yang ditugaskan untuk mengawasi mereka, juga turut hilang tak berbekas.

Barbak penasaran sekali. Malam itu sengaja pintu kota sebelah dijaga oleh seratus prajurit bersenjata lengkap. Coba saja apakah mereka juga akan lenyap, pikir Barbak.

Keseratus prajurit itu takut akan perintah Barbak. Mereka tak berani lengah dan tidur walaupun angin tengah malam mulai makin terasa dingin dan kantukpun menyerang hebat.

Tiba2 angin berkesiur membawa bau arak yang harum. Prajurit2 itu mulai ketakutan setengah mati. Hari dingin, minum arak harum, wah betapa nikmatnya.

''Gila, dari mana bau yang harum ini ? Tentulah ada orang minum arak," kata seorang pinjurit seraya ayunkan langkah.

"Hai, mau kemana tuh ?" tegur kawannya, "Cari orang itu," sahut si prajurit.

"Eh, lu mau cari anak sendiri ya ? Aku ikut,"! seru tiga kawannya. Tak berapa lama merekapun lenyap dibalik kegelapan malam.

"Hai, mengapa mereka tak kembali ?" seru lain prajurit," gila, mungkin mereka berpesta pora minum arak harum. Hm, mau main korupsi sendiri .....," prajurit itupun terus ayunkan langkah.

"Aku ikut." seru lima orang prajurit yang lain.

Tetapi sampai beberapa lama keenam prajurit yang menyusul keempat prajurit taai, juga belum kembali.

"Gila," kata seorang prajurit, "mengapa mereka kembali lagi ?"

Dia terus hendak menyusul tetapi dicegah oleh kepalanya, "Jangan ! Rupanya telah terjadi sesuatu kepada mereka."

Karena berkurang sepuluh prajurit maka pasukan prajurit Ceng yang menjaga pintu kota itu tinggal sembilan puluh orang. Pimpinan pasukan mengirim empatpuluh prajurit untuk mencari kesepuluh prajurit yang tak kembali tadi.

Beberapa saat kemudian kembali angin bertiup. Kali ini bukan bau arak harum tetapi bau daging bakar yang lezat. Dalam malam sedingin itu, perut mudah terangsang makan kalau diserang bau daging bakar atau masakan yang lezat.

"Aku lapar," kata seorang prajurit yang terus ngeloyor pergi ke arah bau sate bakar itu, Tanpa bilang apa2, empat orang kawannya segera mengikuti.

Lebih kurang dua ratus langkah dibalik sebuah  gerumbul, mereka melihat seorang, mahluk yang kepala dan tubuh berkudung kain hitam sedang membakar daging. Kelima prajurit itu menghunus senjata dan menghampiri, “Celaka, daging tikus. !" seru mereka ketika tiba ditempat

mahluk aneh itu.

Plok, plok, plok.....tiba2 mahluk aneh itu melontar sate tikus kearah mereka dan tepat mengenai mukanya. Tikus bakar itu masih panas. Dan ketika mengenai muka, sudah tentu panasnya bukan main, "Aduh . .. aduh ...." kelima prajurit itu berteriak mengaduh dan serempak melepaskan senjatanya terus mendekap muka masing2.

Plak, plak. plak. terdengar mahluk aneh itu loncat dan

ayunkan tangannya menampar muka- kelima prajurit itu. Seketika mereka tak sempat menjerit dan terus roboh. Cepat sekali mahluk aneh itu bekerja. Dalam beberapa kejap, kelima prajurit itu sudah diikat jadi satu dan mulutnya disumpal dengan tikus bakar.

Keempatpuluh lima prajurit yang masih menjaga pintu, sudah mulai curiga mengapa kelima kawannya tak kembali.

"Wah, jangan2 mereka hilang juga," kata seorang prajurit.

"Semua prajurit tak boleh meninggalkan tempat ini," perintah kepala kelompok, "rupanya kita bergahadapan dengan musuh yang berbahaya."

"Manusia atau setan,” tanya beberapa prajurit. "Kemungkinan besar bangsa manusia."

Demikian sisa prajurit yang masih berjumlah empatpuluh lima orang itu bersiap-siap. Beberapa waktu kemudian, sayup2 dari arah tempat yang gelap sekira duapuluhan tombak jauhnya, muncullah dua mahluk hitam yang pendek. Keduanya menari-nari dan menyanyi-nyanyi. Entah apa yang mereka nyanyikan karena yang kedengaran hanya suara cuwat-cuwit dan tertawa yang mengikik kadang meloroh.

"Setan. " seru beberapa prajurit.

"Hm, kita hajar," kata kepala pasukan seraya maju.

Sepuluh prajurit mengiringinya.

Tetapi mereka heran karena mereka tak pernah mendekat kedua mahluk itu. Mereka maju, kedua mahluk itupun mundur sehingga jaraknya tetap terpisah 20-an tombak.

"Kejar !” seru kepala pasukan seraya lari memburu kemuka. Kedua mahluk itapun juga lari.

Kepala pasukan itu makin penasaran. Dia dan anakbuahnya makin memburu keras. Tanpa disedari mereka telah terpancing meninggalkan posnya sampai jauh.

Tiba2 kedua mahluk aneh itu lari kedalam kuil Cian-hud- si. Serempak kawanan prajurit Ceng menyerbu kuil itu, sehingga para paderi kuil itu gelagapan bangun.

"Ah, ada keperluan apa maka sicu pada saat begini malam datang kemari ?" tegur Hian Beng siansu.

Semua prajurit Ceng tahu bahwa para paderi dari kuil Cian-hud-si itu karena berjasa membuka pintu kota, telah mendapat perlakuan baik dari panglima Barbak. Prajurit Ceng dilarang mengganggu paderi dari Cian-hud-si.

"Maaf, siansu," kata kepala prajurit, "kami diganggu oleh dua mahluk aneh dan ketika kami kejar mereka masuk kedalam kuil ini."

"Ah," Hian Beng terkejut, "masakan mereka berani berbuat begitu ?" "Benar siansu," seru sekalian prajurit memperkuat keterangan kepala mereka, "kami semua menyaksikan sendiri."

Hian beng siansu merenung sejenak, "Ah, mungkin bangsa mahluk gaib penunggu tempat ini.”

"Apa ?" seru kepala prajurit terkejut.

"Memang ditempai ini sering muncul mahluk2 aneh tetapi mereka tak berani mengganggu kami," ujar Hian Beng siansu,

Kepala prajurit kerutkan dahi, "Tetapi kami duga kedua orang itu tentu bangsa manusia biasa."

"Apakah sicu tak percaya bangsa setan ?"

"Kami memang hanya mendengar orang bercerita tentang setan tetapi seumur hidup kami tak pernah melihatnya."

"Lalu maksud sicu ?"

"Jika siansu tak keberatan kami hendak melakukan pemeriksaan kedalam kuil."

"O, sicu hendak menggeledah ?"

"Maaf, siansu, kami tak bermaksud mengotori  kuil siansu tetapi kebalikannya kami hendak membersihkan kuil ini dari gangguan setan atau manusia jahat yang pura2 menyaru jadi bangsa setan."

Setelah berdiam sejenak kepala kuil Cian-hud-si itu mengangguk, "Silakan."

Tetapi hasil pemeriksaan mereka ternyata nihil. Kedua mahluk aneh itu tak ada. Setelah menghaturkan maaf, merekapun kembali. Sampai ditengah jalan mereka terkejut ketika melihat sesosok tubuh bertutup kain hitam tegak di tengah jalan. Merekapun serempak bersiap.

"Siapa engkau !" bentak kepala prajurit. "Aku adalah penunggu jalan ini," seru mahluk itu.

"Ngaco !" bentak kepala pasukan itu, “di dunia ini tidak ada setan !"

"Siapa bilang? Coba saja engkau buktikan aku ini setan atau bukan." seru mahluk hitam itu.

"Mengapa engkau muncul disini ?" "Mintak pajak !"

"Gila ! Minta pajak apa ?"

"Setiap manusia yang lewat dalam ini harus memberi pajak kepadaku. Jika menolak, akan kubunuh !"

"Uh, enak saja kalau ngomong! Setan jahat semacam engkau harus diberantas !" seru kepala prajurit seraya memberi isyarat. Mereka sepuluh prajurit segera menyerang. Tetapi setan itu bergerak luar biasa cepatnya.

Dalam beberapa kejab lima enam prajurit terlempar jatuh sampai dua tiga meter. Dan entah dengan gerak apa, tahu2 kepala prajurit itupun sudah dibekuk dan dilempar kedalam semak berduri.

Empat orang prajurit segera lari ketakutan. Tetapi cepat sekali satu demi satu. mereka sudah diringkus dan dilempar kedalam semak belukar oleh mahluk aneh itu.

"Hm, untung tidak ada Ah Liong. Kalau anak itu disini mereka tentu sudah digunduli dan ditelanjangi," seru mahluk itu. Empatpuluh prajurit yang menjaga di pintu-pintu kota, kembali bergidik seram ketika mereka melihat kedua mahluk hitam pendek menyusul lagi.

"Hai, kemana kawan2 dan pimpinan kita ?" seru mereka. "Celaka, tentulah sudah dikerjai setan itu," kata prajurit

lain.

Dan kali ini kedua mahluk hitam pendek itu tidak mau menari-nari di kejauhan tetapi malah menghampiri ketempat kawanan prajurit itu.

Tiba2 salah seorang mahluk yang bertubuh kurus melemparkan dua buah benda kearah kawanan prajurit itu. Mereka terkejut dan menangkis, brek, brek.....

"Haya. celaka.....," serentak berpuluh-puluh prajurit itu menjerit keras ketika mereka diserang oleh ratusan ekor tawon. Juga ada yang menjerit-jerit seperti kerongsokan setan. Mereka lari sambil mengusap-usap muka, leher dan tubuh mereka.

Ternyata kedua benda yang dilempar oleh mahluk hitam kurus itu adalah sarang tawon dan sarang semut merah. Waktu ditangkis, sarang pecah dan tawon serta semutpun berhamburan mencurah ke arah kawanan prajurit Ceng itu.

“Minta ampuuuuunnnnn.....” bubarlah seketika berpuluh-puluh prajurit Ceng itu. Mereka lari pontang paming seperti dikejar setan.

"Ha, ha, hi, hi, hi ..... " kedua mahluk aneh itu tertawa mengakak dan mengikik. Mereka lalu berpelukan dan menari-nari kegirangan.

"Hai, Ah Liong, apa-apaan engkau itu?" tiba2 mahluk aneh.yang mencegat kawanan prajurit di tengah jalan tadipun muncul. "Cukup dengan dua macam po-pwe (pusaka) berpuluh- puluh prajurit Ceng itu sudah kabur tunggang langgang, engkoh Hok," seru mahluk bertubuh kecil kurus.

"Bagus, mari kita pulang," kata mahluk itu.

Ternyata ketiga mahluk aneh itu tak lain adalah Huru Hara, Cian-li ji dan Ah Liong. Mereka mempunyai rencana umuk menyaru sebagai setan, menggoda dan mengacau penjaga pintu kota.

Sudah tentu bukan kepalang marah panglima Barbak menerima laporan bahwa seratus prajurit yang dikirim untuk menjaga pintu kota sebelah barat telah lari kocar kacir karena diserang oleh tiga mahluk aneh.

"Tidak mungkin setan," seru panglima Barbak menggebrak meja ketika sisa prajurit yang bertugas di pintu barat pagi itu menghadap untuk melaporkan kejadian semalam.

Barbak perintahkan untuk mencari prajurit? yang lenyap itu. Yang diketemukan adalah kepala prajurit dan anakbuahnya yang dilempar kedalam semak berduri oleh setan penghadang jalan tadi malam. Mereka masih tak sadarkan diri, tubuh dan pakaian penuh guratan duri. Karena mereka semua belum dapat memberi keterangan maka Barbak tak tahu tentang bagaimana mahluk2 aneh itu menghilang masuk kedalam kuil Ciau-hud-si.

"Nanti malam tambahkan lagi dua ratus prajurit untuk menjaga pintu barat," kata Barbak, "dan nanti malam aku sendiri juga akan melakukan ronda."

Begitulah malam itu pintu sebelah barat dijaga ketat sekali seperti menjaga serangan musuh yang kuat. Dua ratus prajurit bersenjata lengkap berbaris dengan rapi. Tetapi malam itu tiada kejadian suatu apa. Merekapun dengan hati legah menghadap panglima Barbak untuk memberi laporan. Tetapi alangkah kejut mereka karena panglima Barbak sedang menerima seorang prajurit yang melaporkan bahwa empat prajurit di pintu timur telah bilang.

"Jahanam!" teriak Barbak marah sekali, "mereka benar2 hendak mempermainkan kita."

"Siapakah mereka itu ciangkun?" tanya seorang perwira. Dia seorang perwira bernama Mogli, kakak dari perwira Mohan yang digunduli Ah Liong tempo hari.

"Mereka tentulah ketiga manusia nyentrik yang pernah menyerbu markas kita tempo hari," kata Barbak, "siapkan penjagaan yang kuat di pintu timur juga. Akan kukeluarkan perintah untuk menangkap ketiga manusia gila itu. Barang- siapa dapat menangkap mereka, mati atau hidup, akan kuberi ganjaran !"

Demikian pada malam itu, pintu barat dijaga duaratus prajurit bersenjata dan pintu timur juga. Dan pada malam itu panglima Barbak sendiri mengadakan inspeksi, berkeliling meronda.

Malam itu tiada kejadian suatu apa. Barisan prajurit  yang menjaga dikedua pintu itupun pagi harinya melapor ke markas. Mereka mengira tentu akan mendapat pujian dari panglima Barbak. Tetapi apa yang dialaminya ketika tiba di markas, benar2 membuat mereka terlongong-longong melongo.

Keadaan dalam markas yang merupakan sebuah gedung besar bekas tempat tinggal tihu (residen) tampak porak poranda. Perabot2 ruangan, meja kursi dan pigura2 dinding, berantakan tak keruan. "Apakah yang terjadi," kepala pasukan penjaga pintu kota bertanya kepada seorang prajurit yang bertugas di markas.

"Semalam markas kita telah dikacaukan oleh puluhan ekor tikus," sahut prajurit itu.

"Tikus? Masakan tikus dapat melakukan penyerangan sampai begini rupa ?"

"Engkau tak tahu," sahut prajurit dalam markas itu, "entah dari mana datangnya, tahu2 pada saat itu ketika hampir mendekati pukul dua malam, ratusan ekor tikus yang ekornya menyala api, berhamburan jatuh kedalam ruangan dan terus lari kesegenap penjuru markas. Tikus itu rupanya kesakitan dan mengamuk. Ekornya yang terbakar itu, membakar juga kain gordyn sehingga menimbulkan kebakaran."

"O…."

"Bukan hanya kegitu saja, pun tikus itu menyerang setiap orang yang dijumpainya. Bahkan merekapun masuk kedalam kamar tidur dan menyerang orang yang sedang tidur. Seluruh prajurit yang berada dalam gedung markas menjadi panik tak keruan. Mereka lari tunggang langgang dan diburu oleh kawanan tikus yang marah itu."

"Apakah panglima tak berada dalam markas?"

"Saat itu panglima sedang keluar melakukan inspeksi. Memang waktu pulang dia terkejut dan marah sekali. Tetapi dia tak tahu kepada siapa kemarahannya harus ditumpahkan.

"Apakah ketiga manusia gila itu yang melakukannya ?"

Prajurit dari markas gelengkan kepala, "Tak ada orang yang tahu. Ketiga manusia gila itu tak menampakkan diri." "Lalu bagaimana tindakan panglima ?"

"Panglima benar2 marah sekali. Besok akan dilakukan penggeledahan besar-besaran dalam kota. Tiap rumah atau tempat yang mencurigakan akan dibakar dan- dimusnahkan. Ketiga manusia besok itu harus dapat ditangkap."

Memang yang mengacau markas pasukan Ceng itu adalah Huru Hara bersama Cian-li-ji dan Ah Liong. Huru Hara teringat akan pengalamanannya waktu membakar sate tikus di pagoda Suikong-tha atau pagoda Cahaya Indah.

Ia segera mengajak kedua kawannya untuk menangkap tikus. Huru Hara tak banyak mengalami kesukaran, demikian pula Ah Liong yang trampil sekali menggunakan sepasang sumpitnya untuk menangkap tikus. Hanya Cian-li- ji yang agak kewalahan.

Tetapi orangtua kate itu tak kurang akal. Ia menggunakan arak harum untuk memancing kedatangan tikus2, kemudian tikus itupun disemburnya dengan arak yang berada dalam mulutnya. Dengan cara itu dapatlah ia memperoleh berpuluh-puluh tikus.

Kemudian ekor tikus itu disiram dengan minyak, setelah ditempatkan dalam peti kayu, lalu dibawa ke markas. Empat penjaga pintu markas dibikin tak berdaya lalu mereka masuk kedalam markas dan melemparkan kotak yang telah disulut api, membakar ekor tikus2 itu. Karena kesakitan maka kawanan tikus itu menerjang dan mengamuk keseluruh sudut gedung markas, menimbulkan kebakaran dan kepanikan prajurit2.

Sehabis mengacau di markas besar pasukan Ceng, Huru Hara bertiga lalu pamit pada Hian Beng siansu, "Siansu, kami hendak meninggalkan kota ini Teruskanlah siasat siansu untuk pura2 maju bekerja-sama dengan mereka. Lain waktu aku tentu akan datang kemari lagi," kata Huru Hara.

"Ah, sebenarnya kamipun juga ingin pergi dari kota ini. Lebih baik tinggal di kuil yang sepi di puncak gunung daripada harus bercampur dengan orang2 dan prajurit Ceng," kata Hian Beng.

"Saat ini nasib kerajaan Beng sedang ditentukan oleh peperangan. Kalau menang, kerajaan Beng tetap akan tegak berdiri. Tetapi kalau kalah tentu akan dihancurkan orang Ceng. Oleh karena itu kuminta siansu mengesampingkan dulu segala perasaan suka tak suka untuk secara diam2 membantu perjuangan para pendekar pencinta tanah-air yang kini sedang berjuang melawan penjajah Ceng," kata Huru Hara.

Huru Hara lalu mengajak Ah Liong dan Cian-li-ji mengambil jalan dari terowongan rahasia dikebun belakang kuil Cian-hud-si.

"Engkoh Hok, mengapa kita tinggalkan kota ini ? Bukankah prajurit2 Ceng itu masih belum habis ?" kata Ah Liong.

"Memang sengaja kusisakan." "Lho, apa tidak dibasahi saja ?" "Tidak perlu."

"Eh, aneh lu Huru Hara," Cian-li-ji menyelutuk, "mengapa musuh masih disisakan ?"

"Kalau musuh habis, lalu dengan siapa kita akan bertempur?" enak saja Huru Hara menyahut.

"O, maksudmu supaya kita bisa latihan bertempur ?" "Ya." "Benar, engkoh Hok," teriak Ah Liong, "selama ini aku belum mendapat kesempatan untuk mempraktekkan ilmu kepandaianku. Tadi waktu bertempur dengan prajurit2 Ceng, banyak sekali aku harus menyesuaikan ilmu kepandaian itu dengan keadaan yang kuhadapi."

"Bagus, Ah Liong," seru Huru Hara, "sempurnanya ilmu itu kalau sering dipraktekkan."

"Benar engkoh Hok." sahut Ah Lioag, "ilmuku menerkam ikan, makin hebat,"

"Menerkam ikan ?" Huru Hara terkesiap.

"Ya, dulu waktu di gunung, nenek mengharuskan aku tiap hari menangkap ikan dengan tangan. Bertahun-tahun kulakukan perintah itu sehingga aku telah mencapai tingkat yang hebat. Sekali menerkam kedalam air, ikan yang sedang meluncur, pun dapat kutangkap."

"Lalu dimana engkau mempraktekkan ilmu itu ?" tanya Huru Hara.

"Bukankah setiap kali aku mencomot, tentu putus tali celana orang ?"

"Ha, ha, ha ," Cian-li-ji tertawa mengakak.

Huru Hara terpaksa tertawa juga. Tak berapa lama mereka keluar dari terowongan dan berada diluar tembok kota.

"Kemana kita sekarang ?" tanya Cian-li-ji.

"Memberi laporan pada mentri Su Go Hwat," jawab Huru Hara.

"Lho, apa tidak perlu mencari engkoh Bok Kian itu ?" tanya Ah Liong. "Ya sambil menuju ke tempat mentri Su Go Hwat, kitapun mencari Bok Kian."

"Bagaimana dengan jenderal Ui ?” tanya Cian li-ji. "Untuk sementara biarlah dia mengungsi ke gunung.

Nanti apabila sudah mendapat perintah dari Su Go Hwat, barulah aku akan ke sana untuk merundingkan rencana dengan jenderal itu."

"Eh, bagaimana dengan jenderal yang engkau katakan hendak memberontak itu ?" tanya Cian-li-ji.

"Jenderal Co Liang Giok, maksud paman?" "Ya, jenderal itu."

"Nanti setelah menghadap Su tayjin, aku memang ingin meninjau keadaan jenderal yang dituduh memberontak itu."

"Maksudmu ?"

"Aku akan mohon kepada Su tayjin supaya meluluskan aku untuk menangani jenderal itu. Kalau ia memang memberontak, akan kutangkap. Tetapi kalau tidak, tentu akan kubantu."

"Betul, engkoh Hok, kalau dia berhianat tentu akan kucomot tali celananya "

"Hus, jangan gila-gilaan engkau I" bentak Huru Hara," masa jenderal mau engkau comot tali celananya."

"Hai, Ah Liong, apa engkau tak tahu siapa nama engkohmu ini ?" tanya Gian-li-ji.

"Tahu."

"Mengapa tiap kali engkau memanggilnya engkoh Hok ?

Apakah namanya Hok ?" "Dulu kuanggap dia adalah Ah Hok, engkoh angkatku, cucu dari mendiang nenek itu. Dan dia memang mengaku begitu. Maka selanjutnya kuanggap dia adalah Ah Hok dan kupanggil engkoh Hok."

"Biarlah paman, mau panggil apa saja terserah. Yang malu bukan aku tetapi dia yang salah panggil, kan ?" seru Huru Hara.

Begitulah mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Yang-ciu mencari mentri Su Go Hwat.

Hari itu mereka melewati perbatasan Shoa-tang dan tiba di sebuah desa. Ah Liong minta makan karena lapar. Maka mereka bertigapun segera singgah disebuah rumahmakan.

Rumah makan itu walaupun tidak besar tetapi bersih dan terkenal masakannya. Maka banyaklah tetamunya.

Memang makanan disitu cukup membuat lidah orang bergoyang. Tengah ketiga orang itu menikmati hidangan maka masuklah seorang lelaki setengah tua, sekira berumur 35-an tahun. Dia hanya seorang diri dan mengambil tempat duduk tak jauh dari meja Huru Hara.

Sebenarnya Huru Hara tak mau mempedulikan tetamu lain-lainnya tetapi secara kebetulan saja ia sempat memperhatikan dua orang tetamu yang duduk disudut ruang. Kedua tetamu itu, yang satu berdandan seperti paderi dan yang satu seperti orang biasa. Yang menarik perhatian Huru Hara adalah mata kedua orang itu selalu berkilat-kilat memandang keerah tetamu yang baru datang lagi. Dan keduanya lalu bicara kasak kusuk dengan pelahan-lahan.

Tetamu yang baru datang itu tenang2 saja menghabiskan hidangannya. Setelah selesai makan dan minum dia terus memanggil pelayan. Tetapi ketika hendak mengeluarkan uang ia terkejut, wajahnya pucat seketika.

"Ah, uangku "

"Bagaimana tuan ?" tegur jongos yang kerutkan dahi. "Uangku telah hilang."

"Dimana ?"

"Entahlah, aku tak ingat."

"Apakah tuan ingat kalau membawa uang ?" kata pelayan. Nadanya sudah mulai mengejek.

"Tentu saja. Aku hendak menempuh perjalanan jauh, tentu saja membawa bekal. Kalau tak membawa bagaimana aku berani masuk kedalam rumah makan."

"Memang seharusnya begitu. Tetapi kenyataannya lain .

. .."

"Pelayan, engkau berani menghina aku ?" tetamu itu mulai marah.

"Tidak," sahut pelayan, "aku hanya bicara menurut apa adanya saja."

"Panggil pemilik rumahmakan ini," kata tetamu itu. “Untuk apa ?"

"Sudahlah jangan banyak tanya. Aku akan menyelesaikan urusan ini dengan pemilik rumahmakan sendiri."

Tak berupa lama pemilik rumahmakanpun datang dan memberi keterangan oleh pelayan.

"Maaf, disini kami menjual makanan secara kontan," kata pemilik rumahmakan itu. "Apakah ciangkui tak percaya. Kalau tidak percaya, biarlah aku menulis surat bon, "kata orang itu seraya mengeluarkan secarik kertas dan menulis, kemudian diserahkan kepada pemilik rumah nakan itu.

Membaca surat itu, pemilih rumah makan kerutkan dahi dan terus melemparkannya, "Sudah kukatakan, kami hanya menjual makanan secara kontan."

"Apakah engkau tak percaya ?" kata tetamu itu mulai tegang.

"Aku hanya percaya pada uang, bukan pada segala surat."

"Ho, ciangkui, engkau memang keterlaluan sekali. "

"Apa ?" ciangkui atau pemilik rumah makan itu deliki mata," engkau berani mengatakan aku keterlaluan. Engkau barani masuk ke rumah makan dan pesan hidangan tetapi tak punya uang masih berani mengatakan aku keterlaluan .,

." ciangkui terus hendak mengangkat tangannya memukul.

"Tunggu ! tiba2 kedua tetamu yang du duk di sudut

ruang tadi berseru dan menghampiri.

Huru Hara sebenarnya juga mau berbangkit tetapi kalah dulu dengan kedua orang itu. Tadipun dia melihat surat yang dilemparkan pemilik rumah-makan berhamburan ke lantai dan dipungut oleh kedua orang itu.

"Tak perlu ribut2, ciangkui," kata salah seorang dari kedua tetamu itu, "berapa rekeningnya saudara ini akulah yang membayar."

Ciangkui segera menghitung. Tetamu itupun mengatakan, suruh menghitungkan rekeningnya juga, "semua berjumlah berapa dengan rekening makananku," katanya. "Hanya tiga tail, tuan," kata ciangkui.

"Baik," kata lelaki itu seraya merogoh saku celananya.

Tetapi seketika dia juga pucat. "Kenapa?" tegur kawannya si paderi. "Uangku !"

"Hilang?" si paderi juga terkejut.

"Jelas tadi kumasukkan dalam kantong celana, mengapa sekarang hilang?" seru orang itu.

"Wah, celaka, pada hal aku tak pernah membekal uang," kata paderi itu.

Ciangkui kerutkan dahi, "Apa-apaan ini! Apakah kalian hendak main sandiwara?" tegurnya dengan tajam.

"Apa?" bentak lelaki itu, "engkau berani menuduh aku pura2!"

"Pokoknya tak usah ramai2, yang penting bayarlah rekening makanan yang telah kalian makan tadi."

"Tidak bayar, mau apa !" tiba2 paderi itu membentak dan terus mencengkeram leher baju ciangkui.

"Sabar, suhu," kali ini Haru Hara berbangkit dan menghampiri, "biarlah aku yang membayari semua rekening."

"Ah, terima kasih saudara," kata lelaki kawan paderi itu, "lain kali kalau berjumpa tentu akan kukembalikan."

"Jangan memikirkan soal sekecil ini, Sudah lumrah kalau kita kaum pengembara saling tolong menolong," kata Huru Hara seraya merogoh kedalam sakunya. Juga Huru Hara terkejut.

"Mengapa engkoh Hok ?" Ah Liong ikut kaget. "Uangku amblas!" seru Huru Hara.

"Lo-ji," tiba2 ciangkui berseru kepada lo-ji atau pelayan, "lekas panggil polisi. Laporkan kalau ada beberapa orang yang sengaja hendak mengacau rumahmakan kita."

Pelayan terus hendak berangkat tetapi tiba2 punggung celananya ditarik orang, "Tunggu dulu, bung !"

Pelayan itu terkejut dan cepat2 mendekap pinggang celananya karena talinya putus Dia berpaling, "Kurang ajar, engkau berani menarik celanaku sampai putus talinya ?"

"Mau kemana engkau ?t" seru orang yang menarik itu yang tak lain adalah Ah-Liong.

"Panggil polisi !"

"Engkohku adalah orang jujur. Dia tadi memang membawa uang. Entah mengapa sekarang hilang. Urusan begitu saja masa hurus panggil polisi segala ?"

"Eh, bocah, engkau masih berani buka bacot begitu?" ciangkui yang tadi kesakitan karena leher bajunya dicengkeram si paderi, sekarang hendak menumpahkan kemarahannya kepada Ah-Liong. Dia terus ulurkan tangan hendak mencekik leher Ah Liong.

Ah Liong menghindar kesamping dan mencomot pinggang celana ciangkui, uhhhh .... ciangkui terkejut dan gopoh mendekap celananya.

Melihat ciangkui dan pelayannya sibuk membenahi celananya yang talinya putus, paderi dan kawannya tadi tertawa.

"Sudahlah, ganti celanamu dulu," seru si paderi seraya menarik tangan kawannya, "mari kita semua tinggalkan tempat ini." Belum berapa langkah, dua orang tetamu yang lain berbangkit dan menghadang, "Jangan kalian seenakmu sendiri, habis melahap makanan terus mau ngacir pergi tanpa bayar!"

"Lho, engkau mau mencampuri urusan ini ?" seru si paderi.

"Aku bersahabat baik dengan ciangkui di rumah makan ini. Aku tak senang melihat dia menderita kerugian," kata kedua lelaki yang bertubuh tinggi besar.

Kawan si paderi berkata, "Harap jangan salah mengerti. Bukan kami tak mau membayar, tetapi uang yang berada dalam sakuku benar2 telah hilang."

"Ya, akupun juga begitu," kata Huru Hara, "pada hal jelas aku masih membekal uang. Kalau tidak masakan aku berani masuk kedalam rumah makan ini."

"Mengapa uang kalian hilang?"

"Siapa tahu? Kalau tahu apa sebabnya hilang, tentu akan kuurus," sahut lelaki kawan si paderi.

Lelaki tinggi besar itu kerutkan dahi, "Coba kalian ingat2. Apakah waktu dalam perjalanan menuju kemari, kalian bertemu dengan siapa saja?"

"Tidak bertemu dengan siapa2!"

"Engkoh Hok, bukankah tadi engkoh bertemu dengan seorang pengemis lumpuh yang minta belas kasihan kepada engkoh?" tiba2 Ah Liong berkata.

Belum Huru Hara menjawab, lelaki kawan si paderi itu sudah berteriak, "Betul, adik kecil, aku juga bertemu dengan seorang pengemis lumpuh yang minta belas kasihan."

"Pengemis lumpuh ?" lelaki tinggi besar terterkejut, "apakah bukan. " "Mengapa?" tegur lelaki kawan si paderi. "Orangnya tua?"

"Ya."

"Pakaiannya tambalan?"

"Benar," sahut lelaki kawan si paderi. "Bawa tongkat bambu kuning?" "Hai! Benar, apakah engkau tahu?"

"Sialan!" seru lelaki tinggi besar itu seraya banting2 kaki, "dimana dia sekarang?"

Sudah tentu lelaki kawan si paderi itu melongo, serunya, "Apakah engkau kenal kepadanya?"

"Kenal," seru lelaki tinggi besar itu, "dia adalah Ui-tiok- sin-jiu si Tangan-sakti bambu-kuning yang termasyhur sebagai pencuri nomor satu dalam dunia persilatan."

"Oh." seru lelaki kawan si paderi, "mengapa engkau hendak mencarinya?"

"Barangku juga dicurinya!" seru lelaki tinggi besar. "Barang apa?"

"Hm, tak perlu tahu," dengus lelaki tinggi besar itu.

"Nah, apakah sekarang engkau percaya kalau uangku dicuri orang?"

"Ciangkui," tidak menjawab pertanyaan itu sebaliknya lelaki tinggi itu terus berseru kepada pemilik rumahmakan, "semua rekening aku yang bayar!"

Ia terus mengeluarkan uang dan membayar semua rekening dan orang2 yang bersangkutan "Hayjo, bawalah aku ketempat pengemis itu," seru lelaki tinggi besar.

Mereka segera beramai-ramai keluar dan tiba2 lelaki kawan si paderi berseru, "Hai, aneh, dia tadi disini, mengapa sekarang menghilang?"

'Ya, benar, dia tadi duduk dibawah pohon itu," seru Ah Liong.

Sekalian orang heran karena pengemis lumpuh itu sudah tak berada ditempatnya.

"Apa ini?" tiba2 pula lelaki kawan si paderi berteriak seraya menjemput sepotong kayu dan dibacanya. Ternyata potongan kayu itu bergurat huruf yang berbunyi:

“Maaf, tuan2, aku mau tidur.”

"Kurang ajar sekali pengemis lumpuh itu." gumam lelaki tinggi besar, "dimanakah rumahnya?"

Mereka lalu menanyakan pada penduduk di sekeliling tempat itu tetapi mereka hanya mengangkat bahu, "Kami tak tahu dimana rumahnya. Pengemis itu memang aneh. Kadang muncul kadang sampai beberapa hari tidak kelihatan."

"Jika begitu," kata Huru Hara, "kita lanjutkan perjalanan kita masing2 sembari mencari tempat tinggal pengemis itu."

Orang2 itupun berpencar, masing2 menempuh jalan sendiri. Tetapi hanya lelaki dan paderi itu yang mengikuti perjalanan tetamu yang pertama-tama kehilangan uangnya tadi.

"Terima kasih atas perhatian saudara," kata orang itu kepada lelaki kawan si paderi. Dia memperkenalkan diri dengan nama Lim Siong. "Aku bernama Ih Jiang dan ini adalah Gong Goan taysu," kata lelaki kawah paderi itu mengenalkan diri. Dia lalu menanyakan hendak kemana Lim Siong menuju.

"Aku hendak ke kotaraja Lam-kia," sahut Li Siang.

'"O, kebetulan, kamipun hendak ke sana," kata Ih Jiang. Dan Lim Siongpun tak curiga bahkan dia senang karena mendapat kawan seperjalanan.

Sementara Huru Hara dan kedua kawannya berjalan pelahan-lahan. Bahkan Huru Hara malah berhenti dan duduk di tepi jalan.

"Kenapa ?" tegur Cian-li-ji.

"Aku masih heran memikirkan kenapa uangku bisa amblas."

"Bukankah dicopet oleh si pengemis lumpuh itu."

"Ya, tetapi heran, mengapa aku tak merasa sama sekali," kata Huru Hara.

"Dia kan bergelar pencuri nomor satu dalam dunia, sudah tentu kita tak merasa."

“Tetapi pengemis itu memang aneh," gumam Hu ru Hara.

"St," tiba2 Cian-li-ji memberi isyarat-dcngan jarinya menutup ke mulut, "aku mendengar suara orang berkelahi."

Huru Hara terkejut. Ia tahu kalau kakek cebol itu mempunyai keistimewaan dapat mendengar suara dari  jarak satu li. Dia segera berbangkit "Hayo. kita cari mereka

...."

Dengan menurutkan suara yang dapat ditangkap telinga Cian-li-ji, mereka bertiga naik kesebuah bukit dan turun kedalam sebuah lembah. "Hai, kemana kita ini ?" seru Ah Liong.

"Hus, diam!" bentak Cian-li-lt. Dia lari menuruti lembah kemudian mendaki keatas sebuah karang tinggi. Dari atas karang, dia berhenti.

"Tuh, lihat!" serunya sembari menuding ke bawah karang.

Ternyata dibawah karang itu merupakan sebuah air- terjun. Sekeliling air-terjun penuh dengan batu2 karang yang aneh bentuknya.

Di tepi kubangan air yang menampung jatuhnya air- terjun tampak seorang lelaki tengah menyerang seorang tua berpakaian compang-camping. Ada suatu hal yang membuat Huru Hara bertiga terbelalak. Lelaki itu adalah kawan si paderi tadi. Sedangkan saat itu si paderi hanya enak2 duduk diatas batu melihat kawannya bertempur.

Tampak kawannya yang bernama Ih Jiang itu tengah menyerang kalang kabut kepada sipengemis. Tetapi pengemis itu sambil duduk, berloncatan kian kemari untuk menghindar.

"Engkoh Hok, apakah itu bukan pengemis lumpuh yang minta belas kasihan kepada engkoh?" seru Ah Liong.

"Ya."

"Kurang ajar, kita ringkus saja dan paksa dia mengembalikan uang engkoh," kata Ah Liong seraya terus hendak menuruni karang. Tetapi bahunya dicekal Huru Hara, "Jangan terburu-buru. Lihat dulu apa sekab mereka berkelahi."

"Kita sendiri dapat berkelahi. Perlu apa melihat orang berkelahi ?" bantah anak itu. "Jangan bandel," bentak Huru Hara, "aku ingin tahu barang apa milik orang itu yang dicomot pengemis lumpuh itu."

"Pengemis lumpuh kembalikan kim - pay (lencana emas) itu, baru aku mau memberi ampun," seru Ih Jiang.

"Engkau harus mengatakan dulu dari mana engkau memperoleh lencana emas itu baru nanti kukembalikan. Kalau tidak, perlu apa kukembalikan ? Kan lebih enak kujual pada toko emas saja.”

"Gila," bentak Ih Jiang “engkau minta tebusan berapa, akan kubayar, tetapi jangan sekali-kali engkau jual kim-pay itu.”

"Sudah kukatakan," jawab pengemis lumpuh, "kalau engkau mau mengatakan dari mana engkau memperoleh lencana itu, tentu akan kukembalikan. Aku tak minta tebusan apa2.”

"Jangan mengurus urusanku.”

"Baik," seru pengemis lumpuh, “engkau cukup menjawab sebuah kata. Apa arti huruf yang tercetak pada lencana itu ?"

Kembali Ih Jiang tertegun.

"Ceng," seru pengemis lumpuh pula, apa artinya huruf Ceng itu ?"

"Itu bukan urusanmu !" bentak Ih Jiang.

"Bukankah ceng itu berarti kerajaan Ceng sekarang ?" "Tutup mulutmu !"

"Dengan begitu jelas engkau ini adalah kaki tangan kerajaan Ceng," seru pengemis pula Walaupun terpisah jauh dan berada di atas tebing karang yang tinggi tetapi Huru Hara dapat mendengar  pembicaraan mereka. Diam2 dia terkejut. “Hm, kaki tangan Ceng," gumamnya.

Sementara itu tampak In Jiang menghunus pedang, "Hm, pengemis lumpuh, berani sekali engkau menghina aku."

Diserangnya pengemis lumpuh itu dengan gencar tetapi pengemis lumpuh itu juga tak kalah gesitnya. Dia menghindar kian kemari dan ada kalanya melenting ke udara. Tetapi anehnya, pengemis lumpuh itu tak balas menyerang. Entah tak mampu atau entah masih menunggu kesempatan.

Ih Jiang makin gelisah. Dihadapan Gong Goan taysu, dia malu sekali karena tak mampu mengalahkan seorang pengemis tua yang lumpuh.

"Pengemis ini memang tak kecewa digelari sebagai Raja- copet di dunia persilatan," diam2 Ih Jiang membatin, wah, kalau aku tak mampu mengalahkannya,  betapalah  maluku. "

Sebenarnya dia hendak berseru meminta bantuan si paderi tetapi mulut rasanya amat berat. Ia dan paderi itu sama2 diundang Ko Cay Seng dan diangkat sebagai orang kepercayaan. Kalau dia kalah dengan seorang pengemis lumpuh saja, bukankah paderi itu akan memandang rendah kepadanya.

Tengah dia gelisah, tiba2 pengemis lumpuh itu berseru, "O, kalau engkau lelah, panggillah kawanmu. Majulah kalian berdua sekali," "Hai, paderi gemuk," serunya kepada si paderi," mengapa engkau diam saja melihat kawanmu kewalahan ? Hayo majulah engkau sekalian !"

Diam2 Ih Jiang girang karena pengemis itu menantang Gong Goan taysu. Dan ternyata paderi itupun panas hatinya.

“Pengemis lumpuh, engkau sendiri yang minta. Jangan salahkan aku," seru paderi Gon Goan seraya melangkah maju.

"Bagus," seru pengemis lumpuh gembira, "jangankan hanya engkau seorang, pun ditambah lagi dengan lima enam orang asal gemuk seperti engkau, aku pasti masih sanggup melayani ..."

Dalam berkata-kata itu dia sudah harus menghindari serangan si paderi yang menggunakan sepasang kepalannya yang besar.

Angin pukulan paderi itu menimbulkan suara menderu- deru yang amat keras. Bum . . . sebuah pukulannya yang luput telah menghantam segunduk batu karang sehingga hancur berantakan.

Tetapi beberapa waktu kemudian, tampak pengemis lumpuh itu makin kewalahan. Makin jelas bahwa dia memiliki ilmu gin-kang yang sempurna tetapi ternyata dia tak begitu lihay ilmu-silatnya.

Dikerubut dua jago tangguh dari kerajaan Ceng, mau tak mau pengemis lumpuh itu mulai terdesak juga. Dan pada suatu kesempatan ketika dia berhasil menghindari sabatan pedang Ih Jiang, tiba2 tinju si paderi berhasil membentur bahunya sehingga pengemis itu terhuyung-huyung.

"Mampus engkau setan lumpuh!" teriak Ih Jiang seraya loncat menyerang. "Hai, jangan main bunuh!" tiba2 terdengar suara orang berteriak seperti halilintar meletus di udara dan serempak tampak sesosok tubuh melayang turun dari ketinggian puluhan tombak. Sedangkan dua orang lagi dengan saling berpelukan juga ikut loncat turun.

Blungngng .... tepat pada saat terdengar orang itu berteriak maka si pengemis lumpuh tadipun sudah loncat kedalam telaga. Tetapi pada lain saat ketika orang pertama yang melayang turun tadi berdiri tegak di tanah, adalah kedua kawannya itu meluncur masuk ke . . . dalam kolam juga.

"O, engkau," seru Ih Jiang ketika melihat bahwa yang berteriak dan sekarang tegak dihadapannya itu tak lain adalah pendekar Huru Hara. Sedang kedua orang yang kecemplung kedalam kolam air tempat penampung air- terjun itu adalah kakek Cian-li-ji dan Ah Liong. Kedua orang itu hendak mengikuti gerak Huru Hara yang melayang turun tetapi mereka ngeri maka keduanya saling berpelukan dan meramkan mata. Karena karang tinggi itu tepat diatas kolam maka keduanyapun tercebur ke dalamnya.

Huru Hara terkejut dan berpaling. Dilihatnya kakek Cian-li-ji gelagapan terminum air. Untung dia dapat diseret Ah Liong yang pandai berenang, ke tepi dan naik ke darat.

"Mengapa engkau kemari?" ulang Ih Jiang.

"Engkau terlalu sewenang-wenang terhadap seorang pengemis lumpuh," sahut Huru Hara.

"Dia tak mau mengembalikan benda milikku yang dicopetnya, bukankah engkau sendiri juga di copetnya?"

"Ya, tetapi biarlah."

''Kenapa? Engkau merelakan uangmu?" "Ya," sahut Huru Hara, "karena itu kesalahanku dan kepandaiannya. Mengapa aku tak mampu menjaga uangku dan mengapa dia mampu mencopet uang yang berada dalam sakuku. Dia pantas menerima pujianku dan biarlah uang itu diambilnya."

Ih Jiang terbeliak, "Aneh sekali omonganmu itu. Ya, kalau engkau berpendirian begitu, terserah. Tetapi aku lain. Mengambil benda milik orang itu adalah jahat, harus dihajar."

"Aku tidak menghalangi engkau menghajarnya," jawab Huru Hara pula, "tetapi caramu bertindak itu keterlaluan sekali. Masakan engkau sendiri tak becus lalu mengajak kawanmu si paderi gemuk itu bersama-sama mengeroyoknya Pengemis lumpuh itu tak pakai senjata, sedang kalian berdua menyerangnya begitu ganas. Adilkah itu?"

Merah muka Ih Jiang. Sebelum dia menjawab si paderi Gong Goan sudah membentak, "Hai, pendekar sinting, jangan ikut campur urusan kami!"

"Ho, babi gemuk, kalau aku mau ikut campur, lalu bagaimana?" tantang Huru Hara yang tak senang melihat sikap paderi Gong Goan.

"Kalau begitu, inilah bagianmu!" Gong Goan terus menghantam kepala Huru Hara.

Huru Hara menyurut mundur selangkah sehingga pukulan paderi itu mengenai angin. Tetapi paderi itu makin ngotot. Dia loncat dan kali ini gunakan pukulan Lik-biat- ngo-gak atau Menghantam- dahsyat-lima-gunung.

Melihat itu Huru Hara tak mau menghindar. Dia mengangkat tangannya menangkis dan uh . . . terdengar mulut Gong Goan mendesuh kaget dan tubuhnya terpental sampai tiga langkah.

Huru Hara sudah terlanjur marah. Dia loncat menerkam dada si paderi, diangkatnya lalu di lempar kedalam kolam.

Blungugng .....

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar