Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 26 Musuh dalam selimut.

Jilid 26 Musuh dalam selimut.

Ko Cay Seng sudah dapat menduga bahwa putera residen Thay-goan itu tentu mau bekerja kepada pemerintah Ceng. Sebagai seorang yang sudah banyak makan asam, garam dalam pergaulan, dengan cepat Ko Cay Seng sudah dapat menilai watak dan hati orang. Dia tahu bahwa Sou Kian Hin itu seorang pemuda yang tak punya pendirian. Seorang putera residen yang biasa bermanja dalam kesenangan.

"Ya, Gok-ji-ki," katanya menjawab pertanyaan Sou Kian Hin, "tahukah kongcu apa arti Gok-ji-ki itu?"

"Harap tayjin suka menjelaskan."

"Gok-ji-ki artinya siasat ‘menyiksa diri’. Dalam peperangan sering dilakukan siasat semacam itu. Yalah seorang harus dilukai anggauta tubuhnya agar kembali kedalam induk pasukannya. Atau kalau dia musuh, agar dia menyeberang ikut pada musuhnya. Dengan begitu fihak yang menerima orang itu tentu akan percaya kalau orang  itu benar2 mau menyerah dan takluk. Pada hal dia tetap setia kepada fihaknya sendiri. Didalam pasukan musuh dia akan menjadi musuh dalam selimut untuk menghancurkan musuh dari dalam," Ko Cay Seng memberi penjelasan

"0, ya, aku tahu sekaarang. Maksud tayjin, aku akan menyandang luka2 dan kembali kedalam kota Thay-goan lagi "

"Kongcu sungguh cerdas sekali," seru Ko Cay Seng memuji, "memang begitulah yang kumaksudkan," nanti dalam kota Thay-goan, kongcu boleh mengadakan gerakan, membentuk kawan2 untuk merintangi pekerjaan anakbuah Han Bun Liong, memata-matai dan menghasut rakyat supaya memberontak terhadap Han Bun Liong. Sanggup- kah kongcu melakukan tugas itu?"

"Tetapi " Sou Klan Hin kerutkan dahi.

"Jangan kuatir, kongcu," cepat Ko Cay Seng menyanggapi, "cukuplah kalau kongcu membuat luka ringan. Dan kongcu boleh membawa beberapa anakbuah kongcu yang setya kepada kongcu untuk pura2 meloloskan diri dari tawanan disini. Nanti kamipun pura2 akan melakukan pengejaran kepada kongcu."

"Baik, jika begitu." kata Sou Kian Hin, "kapan dilaksanakan ?"

"Malam nanti."

Setelah mencapai persetujuan maka Ko Cay Seng lalu membawa Sou Kian Hin keluar. Sebelum meninggalkan tempat itu, panglima besar Torgun memberi pesan, "Kongcu, apabila kongcu benar2 dapat menyerahkan Han Bun Liong dan kota Thay goan, kongcu akan kuangkat sebagai residen kota itu."

Sou Klan Hin menghaturkan terima kasih.

"Lihatlah kongcu, betapa besar perhatian panglima kepadamu. Dia adalah panglima besar yang menguasai seluruh pasukan Ceng dan menjadi wali seri baginda raja Ceng yang masih kecil. Kalau engkau mendapat kepercayaannya, tentu kelak engkau dapat mencapai pangkat yang lebih tinggi bagi. Percayalah kongcu, bahwa tak mungkin kerajaan Beng menang melawan pasukan Ceng. Dan jelas bahwa yang akan menguasai tanah kita ini adalah kerajaan Ceng. Kalau sekarang kau tak berusaha mencari kedudukan, kelak kalau negara sudah aman, tentu sukar memperoleh kesempatan sebagus itu lagi,” kata Ko Cay Seng di tengah perjalanan.

Malam itu Sou Kian Hin mengumpulkan anak buahnya untuk berunding.

"Daripada menjadi tawanan toh juga tentu akan dihukum mati, lebih baik kita nekad meloloskan diri," kata Sou Kian Hin dengan garang. "Tetapi kongcu," kata salah seorang pemuda, "kita tak mempunyai senjata. Bagaimana mungkin kita dapat melawan apabila mereka melakukan pengejaran?"

'Yang penting aku hendak minta kesediaan saudara2 dulu. Apakah saudara2 berani menghadapi bahaya dan menanggung segala resiko apabila kita meloloskan diri?" tanya Sou Kian Hin.

"Tentu," seru beberapa pemuda, "kita berani masuk menjadi anakbuah pasukan itu, tak lain karena hendak mempertahankan kota kita dari serangan musuh. Dan kita tahu bahwa resiko seorang prajurit itu kalau tak menang tentu kalah. Kalau tak hidup tentu mati." 

"Bagus," seru Sou Kian Hin. "sekarang mari kita atur siasat. Aku akan pura2 pingsan dan kalian harus berteriak- teriak memanggil penjaga. Begitu penjaga masuk, ringkus dan lucutilah mereka. Kemudian kita menyerbu ke gudang senjata dan terus meloloskan diri."

Pemuda2 itu masih meragu tetapi segera Sou Kian Hin menjerit, "Aduhhhh, perutku ” dia terus rubuh.

Pemuda2 itu terkejut. Ada yang berteriak memanggil penjaga. Dua orang penjaga bersenjata pedang masuk. Tetapi pada saat itu juga, kedua penjaga itu dapat dihantam rubuh dan diringkus. Setelah melucuti senjata, Sou Kian Hin menuju ke sebuah ruangan. Dengan menyaru sebagai penjaga tadi, dia seorang diri menghampiri rumah itu.

"Kenapa?" tegur penjaga rumah yang bukan lain merupakan gudang penyimpan senjaga pasukan Ceng.

"Ada perintah dari ciangkun," kata Sou Klan Hin, "nih, terimalah .. . . duk " sekali pukul penjaga itupun rubuh.

Sou Kian Hin memberi isyarat kepada anakbuahnya untuk membuka gudang senjata itu dan mengambil senjata. "Mari kita lobos dari pintu belakang," kata Sou Kian Hut.

Kebetulan penjagaan di belakang tidak begitu kuat. Hanya ada dua orang penjaga yang sedang ngantuk. Keduanya dengan mudah dapat dihantam pingsan. Sebenatnya hal itu memang sudah diatur oleh Ko Cay Seng untuk memudahkan jalan lari bagi Sou Kian Hin tetapi jangan sampai kentara.

Setelah lolos dari markas, malam itu Sou Kian Hin terus melanjutkan perjalanan kembali ke kota Thay-goan. Tetapi sepasukan tentara Ceng mengejarnya.

"Kita tempur saja mereka !" kata Sun Kian Hin.

Pertempuran segera terjadi. Entah bagaimana tampaknya prajurit2 Ceng itu lamas dan banyak yang menderita luka, bahkan ada yang mati. Tetapi fihak anakbuah Sou  Kian Hin juga banyak terluka dan ada yang mati juga.

Dalam pertempuran seru itu tiba2, bahu Sou Kian Hin ditikam seorang 'prajurit Ceng dari belakang. Sou Kian Hin menjerit kesakitan tetapi pada saat itu telinganya mendengar suara seperti ngiang nyamuk, "Maaf, kongcu, lekas sabet aku dengan pedang . ."

Sou Kian Hin terkejut. Cepat ia menyabat prajurit itu. Prajurit itupun menjerit kesakitan dan terus melarikan diri.

Dengan semangat yang menyala-nyala akhirnya dapatlah anakbuah Sou Kian Hin memukul mundur pasukan Cang yang, mengejar mereka. Dengan membawa luka dan korban, pasukan Ceng itupun terpaksa mundur.

Keesokan harinya gemparlah kota Thay-goan ketika menyambut kedatangan Sou Kian Hin dengan sisa anakbuahnya, Penduduk mengelu-elu mereka sebagai pahlawan. Pada malam harinya, Sou Kian Hin diterima dalam sebuah perjamuan oleh Han Bun Liong. Atas permintaan Han Bun Liong, Sou Kian Hin menceritakan . pengalamannya salama ditangkap.

"Mereka memperlakukan kami dengan ramah tamah dan baik sekali," kata putera residen itu, 'kemudian mereka membujuk kami supaya mau bekerja kepada kerajaan Ceng dengan janji akan mendapat pangkat dan anugerah. Untuk siasat, kami pura2 menerima. Pada malam itu ketika penjagaan lengah, kami segera berontak. Membunuh penjaga dan membuka gudang senjata lalu melarikan diri. Mereka mengejar. Kamipun melawan dan berhasil memukul mundur musuh. Dalam pertempuran itu memang banyak saudara2 kita yang gugur dan terluka termasuk aku

..... " demikian Sou Kian Hin mengakhiri keterangannya.

Karena bahu kiri pemuda itu memang terluka dan dibalut dengan kain putih, semua orang pun percaya akan keterangannya. Han Bun Liong menghaturkan secawan arak untuk menghormati keberanian Sou Kian Hin.

Kota Thay-goan masih dikepung musuh. Musuh hanya mengepung dan tak melakukan serangan.

Malam itu Han Bun Long masih duduk seorang diri sebagaimana kebiasaannya setiap malam. Tiap malam dia tidur sampai jauh malam. Karena dia selalu keliling mengadakan inspeksi pada pos2 penjagaan kota. Setelah kembali ke markas, ia masih memikirkan rencana2 lain, dari soal pertahanan kota sampai pada kehidupan penduduk. Walaupun sedang perang menghadapi musuh, dia menghendaki agar kehidupan rakyat masih berlangsung seperti biasa. Kecuali perdagangan, semua lapangan kerja rakyat supaya tetap barjalan. Terutama lapangan pangan, rakyat dtanjurkan untuk tetap mengerjakan sawah, ladang dan kebun. "Kita akan menghadapi peperangan yang lama," katanya kepada penduduk, "perang bukan hanya tergantung dari persenjataan dan jumlah pasukan tetapi juga daya ketahanan. Daya ketahanan itu baru dapat berlangsung kokoh apabila persediaan makanan cukup dan peningkatan kesadaran dibina. Perang harus mempunyai dua bekal. Pikiran dan perut. Pikiran yalah kesadaran kita mengapa dan apa tujuan kita perang. Kesadaran tinggi, semangat berperang meningkat. Perut, yalah makanan. Perut yang terjamin, akan menimbulkan tenaga dan kekuatan berperang. Jika salah satu dari kedua hal itu kurang maka kita tentu kalah."

Beberapa hari sejak kembalinya Sou Kian Hin, ada beberapa peristiwa aneh yang terjadi dalam kota Thay- goan. Pertama, rakyat datang melaporkan bahwa ternak mereka banyak yang mati. Kemudian beberapa hari lagi, ada yang melapor kalau sawah mereka telah hancur. Padi yang sudah hampir berbuah, dicabuti orang. Lalu ada yang melapor bahwa keluarga dan tetangganya terserang penyakit perut secara mendadak, bahkan ada yang mati.

Han Bun Liong terkejut. Tiap malam ia rajin meronda tetapi selama ini belum dapat menemukan sesuatu yang mencurigakan.

Malam itu ketika Han Bun Liong sedang duduk di markas, tiba2 masuklah penjaga mengiring beberapa orang.

"Han thau-leng, celaka!" seru orang itu dengan gugup, "gudang beras kita telah dimakan api!"

"Apa?" serentak Han Bun Liong loncat bangun. "Gudang beras kita telah terbakar?" ulang orang nu.

Han Bun Liong cepat lari menuju ke gudang beras. Saat itu rakyat sedang sibuk memadamkan api yang mengganas buas. Hanya sebagian kecil dari persediaan beras yang  dapat diselamatkan.

Sudah tentu hal itu menimbulkan kegemparan besar. Penduduk mulai was2. Persediaan makanan hanya tinggal dua tiga hari saja. Untuk mencari bantuan makanan ke lain daerah, harus menerobos kepungan pasukan Ceng.

Malam itu Han Bun Liong mengadakan rapat. "Saudara2,  saat  ini  kita  sedang  menghadapi   bahaya,"

katanya, "persediaan makanan kita hanya tinggal dua tiga

hari. Kita harus berusaha untuk keluar dari kesulitan Kuminta saudara memberi pandangan."

"Satu-satunya jalan kita harus berani menerobos kepungan musuh," kata Sou Kian Hin.

"Benar, benar, kami setuju dengan pendapat Sou kongcu. Kalau kita diam saja, kita tentu mati kelaparan. Sejak hari ini kita hanya mendapat jatah makanan bubur. Lebih baik sebelum mati kita berpantang ajal. Dari pada mati kelaparan lebih baik kita serbu saja," seru beberapa pimpinan barisan.

Sebenarnya Han Bun Liong menyadari bahwa jika melakukan peperangan secara terbuka, fihaknya tentu kalah. Pasukan Ceng itu sudah terlatih baik, sedang fihaknya hanya lasykar rakyat yang tidak mendapat didikan perang.

"Tidak," ia menolak usul Sou Kian Hin, "kita harus tetap bertahan saja."

"Tetapi bagaimana dengan persediaan ransum kita ?" tanya Sou Kian Hin.

"Kita hemat. Kita tak makan nasi tetapi makan bubur saja. Kurasa keadaan musuh sudah mulai menunjukkan kelesuan. Beberapa hari lagi baru kita buka serangan," kata Han Bun Liong.

Rakyat mulai gelisah. Maklum mereka orang kota yang biasa hidup kecukupan. Sudah tentu mereka tak tahan menderita.

Sebenarnya bukan Han Bun Liong tak berusaha. Dia sudah berusaha mengirim beberapa orang jago silat untuk mengadakan hubungan dengan beberapa daerah agar dapat memperoleh bantuan ransum. Tetapi sampai hari itu belum juga ada yang kembali. Sudah tentu Han Bun Liong heran tetapi tak mengerti apa sebenarnya,

Dua hari kemudian, pendudukpun berbondong- bandong mendatangi markas dan minta supaya Han Bun Liong segera bertindak, Mereka sudah kelaparan. Bahkan ada yang melapor bahwa wabah penyakit perut yang meminta jiwa, mulai makin menjalar luas.

Han Bun Long makan gelisah. Kalau dia memutuskan untuk membuka pintu kota dan menyerbu musuh, jelas tentu akan mengantar jiwa. Saat itu semangat dan kesehatan rakyat sudah menutun. Jika beberapa hari yang lalu ia mengambil tindakan, memang masih ada harapan untuk berhasil.

Pun Han Bun Liong sendiri juga heran mengapa dalam waktu akhir2 ini semangatnya terasa lemah, semangatnya kendor, tubuhnyapun terasa lemas. Dia tahu bahwa hal itu bukan disebabkan karena kelaparan. Tetapi ada sesuatu sebab yang la tak mengerti.

Rupanya rakyat sudah tak dapat bersabar lagi! Melihat sikap Han Bun Liong yang masih segan2, meledaklah teriak sorak dari rakyat, "Han Bun Liong, mundurlah. Kami tak menghendaki engkau memimpin kami !" Han Bun Long terkejut, Satmur hidup baru kali itu dia menderita pukulan batin yang menghancurkan semangatnya. Kalau musuh berkata begitu, itu sih dapat dimengerti. Tetapi yang meneriakkan kata2 itu adalah rakyat kota Thay-goan. Rakyat yang selama ini menjunjung dan menghormatinya. Rakyat yang selalu diperhatikan kepentingannya, bahkan harta benda Han Bun Liong tak sedikit yang disumbangkan untuk mereka. Mengapa dalam menghadapi saat menderita seperti itu, rakyat lalu mencampakkannya seperti seekor anjing?

"Baik, aku akan mengundurkan diri. Tetapi siapakah yang akan melanjutkan perjuangan mempertahankan kota itu ?" serunya.

"Kami sudah mengangkat Sou kongcu menjadi pimpinan kami. Dan nanti malam kami akan membuka pintu untuk menyerbu musuh !" terteriak orang itu,

Han Bun Liong terkejut. Dia sih rela menyerahkau pimpinan kepada Sou Kian Hin. Tetapi tindakan rakyat hendak menyerbu musuh itu sungguh berbahaya sekali.

"Jangan bertindak begitu !" serunya.

"Terima kasih Han sianseng. Tetapi tuan sudah bukan pimpinan kami. Kami sudah mempunyai pimpinan baru !"

"Mengapa engkau mencegah ?" teriak sekelompok pemuda.

"Kuminta kalian tetap mempertahankan kota ini saja.

Biarlah aku yang akan menyerbu mereka !" "Engkau sendiri ?"

"Dengan beberapa orang yang mau ikut aku.

"Bukankah semakin banyak yang melakukan serbuan, semakin besar kekuatan kita ?" "Tidak," seru Han Bun Liong, "kalian adalah rakyat biasa dan musuh adalah prajurit2 yang telah mendapat didikan militer. Bertempur dengan mereka berarti seperti anai-anai yang menyerbu api.”

Begltulah malam itu Han Bun Liong telah mengumpulkan beberapa sahabat kaum persilatan untuk mengadakan penyerbuan ke dalam pasukan musuh.

"Rahasiakan tindakanku ini dan pertahankan kota. Jangan membuat suatu gerakan agar musuh jangan curiga," pesan Han Bun Liong pada saat hendak menyerbu.

Pada saat Han Ban Liong dan kawan2 sedang menuju ke tempat pasukan musuh, tiba2 ia melthat sebatang anakpanah api meluncur kearah kubu barisan musuh. Ia terkejut. Jelas panah berapi itu berasal dari dalam kota Tahy-goan,

Tetapi Han Bun Liong tak sempat meneliti lebih lanjut karena saat itu disebelah muka tampak beratus-ratus obor siap menanti.

Han Bun Long hanya ditemani oleh empat orang. Tiga sahabat jago silat dan yang seorang adalah Un Gi, bujangnya yang tua. Selain itu ada pula lebih kurang duapuluh rakyat yang ikut. Mereka adalah rakyat yang tetap setya kepada Han Bun Long.

Han Bun Liong memimpin kelompoknya untuk maju menyerbu. Tetapi alangkah kejutnya ketika tiba2 ratusan obor itu padam dan lenyap.

"Celaka, kita tertipu," seru Han Bun Liong yang segera memerintahkan mundur.

Ternyata dia benar. Di belakang tampak be ratus2 obor. Han Bun Liong bersiap-siap maju tetapi obor2 itu lenyap. Dan kini dari sebelah barat muncul beratus obor. Ketika hendak dihampiri obor2 itupun lenyap, berganti muncul di sebelah timur. Demikian beratus-ratus obor itu bergantian muncul lenyap, di empat penjuru.

"Ah, kita terjebak," keluh Han Bun Liong, "musuh sudah mengetahui tindakanku keluar menyerang ini "

"J ka begitu, kita masuk kedalam kota saja, loya," kata bung Ui Gi.

Oleh karena beberapa kawan menyetujui, terpaksa Han Bun Long meluluskan. Tetapi alangkah kejutnya ketika pintu kota ditutup dan dari atas pintu muncul Sou Kian Hin.

"Sou kongcu, bukalah pintu," seru kawan Han Bun Liong yang bernama Gui Tik.

"Engkau ikut paman Han menyerbu musuh, mengapa belum bertempur sudah hendak masuk kedalam kota lagi ?" seru Sou Kian Hin.

"Kita terjebak musuh dan dikepung dari empat jurusan !" "Itu sudah lumrah," sahut Sou Kian Hirt dengan santai.

"mengapa kalian tak menggunakan siasat juga ?" "Eh, Sou kongcu, aku tak tahu maksudmu."

"Kami akan mempertahankan kola ini dan kalian yang menyerbu musuh."

"Bantulah dengan anakpasukan lagi, kongcu."

"Tidak bisa," sahut Sau Kian Hin, "kota harus dipertahankan."

"Tetapi......... tetapi ini mengenai keselamatan Han lo- engbiong "

"Juga kelamatanmu, bukan ? Tetapi beribu ribu rakyat Thay-goan perlu diselamatkan juga bukan ?" "Sou kon-cu, apa maksudmu ?"

"Musuh telah mengadakan serangan besar-besarun. Jika pintu kota dibuka, mereka pasti akan menyerbu masuk."

“Lalu. ” seru Gui Tik.

"Berusahalah untuk menahan musuh agar jangan masuk kedalam kota," seru Sou Kian Hin.

Gui Tik hendak berkata lagi tetapi dicegah Han Bun Liong, “Sudahlah, saudara Gui, Sou kongcu benar. Kita harus menahan musuh."

Han Bun Long tenangkan diri sesaat memperhitungkan kalau menyerbu ke muka tentu akan berhadapan dengan berlapis- lapis pasukan musuh. Karena jalanan ke muka itu menuju ke kubu markas pasukan musuh.

"Saudara Gui," katanya sesaat kemudian, "kita pecah anakbuah kita menjadi dua. Engkau pimpin serangan ke selatan dan aku menyerang ke utara."

"Tetapi Han lo-enghiong," kata Gui Tik, "kita hanya membawa duapuluh anakbuah. Kalau dipecah dua, kan masih sedikit kekuatannya."

"Ini sudah resiko kita, saudara Gui."

"Tetapi kalau San kongcu mau membuka pintu dan mengeluarkan beberapa kelompok pasukan lagi, kita tentu lebih kuat."

"Jangan mengharapkan hal yang tak mungkin saudara Gui."

"Tetapi lo-enghiong yang pimpinan pertahanan kota Thay-goan. Mestinya mereka harus tunduk pada perintah lo- enghiong." "Rakyat sudah tak menghendaki aku. Mereka mengangkat Sou kongcu menjadi pimpinan."

"Ah, kurasa, dalam peristiwa itu memang tak wajar. Seperti halnya wabah yang telah membunuh ternak dan memakan korban beberapa penduduk serta terbakarnya gudang ransum."

"Apa maksud saudara Gui?"

"Rasanya hal itu memang digerakkan oleh tangan kotor yang hendak menghancurkan kita dari dalam."

Han Bun Liong terkejut.

"Lalu siapa yang saudara curigai?" "Aku curiga pada Sau kongcu "

"Ah, jangan saudara berprasangka begitu. Apakah saudara mempunyai bukti?"

"Sebenarnya aku sudah menyelidiki hal itu. Dan tahu siapa yang membakar gudang. Tetapi ketika orang itu hendak kutangkap di rumahnya, ternyata dia sudah mati."

"Dibunuh orang?" "Diracun!"

"Ahh "

"Dan aku sendiri beberapa hari yang lain hampir saja juga mati. Habis makan perutku terasa sakit sekali. Aku curiga kalau makanan diberi racun. Sisa makanan kuberikan kepada anjing. Ternyata anjing itu juga mati. Akhirnya kudapatkan kalau yang memasukkan racun kedalam hidanganku adalah juru masak. Kupanggil juru masak itu, dia tak ada. Katanya, malam itu dia pamit pulang. Kusuruh orang ke rumahnya ternyata dia tak pulang. Dan sampai kemarin, dia tetap tak kembali di rumahnya. "

"Ah, tetapi hal itu belum membuktikan bahwa Sou kongcu yang melakukan," sanggah Han Bun Liong. Dia memang tak percaya seorang putera residen yang dengan gagah berani menyerang musuh kemudian ditawan lalu dapat meloloskan diri dari tawanan, akan berbuat hal seperti yang dikatakan Gui Tik.

"Saudara2, sekarang marilah kita membuka serangan. Jika masih selamat, kelak kita akan berjumpa lagi. Tetapi kalau andaikata binasa, kelak kita bertemu di akhirat," kata Han Bun Liong dengan nada yang sarat.

Rupanya jago tua itu sudah mantap, akan menyerang musuh agar musuh jangan sampai menyerang kota. Biarlah dia gugur asal rakyat Thay goan selamat.

Keduapuluh orang itu dipecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama dipimpin Gui Tik, dan menyerang ke utara. Kelompok kedua dipimpin Han Bun Liong sendiri, menyerang ke selatan„

Tetapi sebagaimana yang tadi, tiba2 barisan obor di utara maupun selatan itu lenyap tiba2. Han Bun Liong terkejut. Ketika berpaling ke belakang, dilihatnya beratus-ratus obor sudah mengerumuni di muka pintu kota, Han Bun Liong dan Gui Tik telah dipotong sampai terpisah jauh satu sama lain.

"Ha, ha, ha, Han Bun Liong, Han Bun Liong engkau sudah tua mengapa masih ngotot seperti anakmuda ? Apa yang hendak engkau cari ?" tiba2 terdengar sebuah suara

yang nyaring dari dalam pasukan musuh. Han Bun Liong terkejut. Sebagai seorang jago silat dia tahu bahwa orang yang berseru itu memiliki tenaga-dalam yang kuat sekali.

"Hm siapakah engkau ?"

"Aku ? Aku ini musuh atau kawan, terganlung pada anggapanmu. Tetapi aku hanya melihat dan bicara menurut kenyataan. Bukankah engkau sudah tua ? Mengapa engkau tidak mau menikmati hari tuamu melainkan harus menyibukkan diri terjun dalam peperangan lagi ? Bukankah beberapa peti harta bendamu sudah engkau ungsikan keluar daerah ?"

Bukan kepalang kejut Han Bun Liong mendengar hal itu. Beberapa anakbuahnya-pun ikut terkejut. Mereka mengira selama ini Han Bun Liong seorang hartawan yang jujur dan murah hati. Segala harta bendanya hampir habis di sumbangkan dalam perjuangan menentang penjajah Ceng.

"Hm, siapa engkau ? Mengapa engkau takut unjuk diri ?" seru Han Bun Liong.

“Yang penting bukan siapa diriku tetapi benar atau tidaknya yang kukatakan itu."

"Jangan memfitnah!" seru Han Bun Liong.

"Fitnah lebih kejam dari pembunuhan! Fitnah memang jahat sekali. Tetapi apa yang kukatakan itu bukan fitnah melainkan kenyataan."

"Ngaco!" bentak Han Bun Liong.

"Baiklah, apakah engkau tak keberatan kalau kukatakan rahasiamu itu di depan orang banyak?"

Karena sudah terlanjur menginjak pembicaraan soal ini maka malu hatilah Han Bun Liong apabila tak berani menerima tantangan orang itu. Sebenarnya sejak pertama kali bertukar pembicaraan, Han Bun Liong sudah berusaha untuk mempertajam penglihatan menembus dalam kegelapan dan mencari orang yang bicara kepadanya itu. Tetapi karena malam gelap dan di fihak pasukan Ceng terdiri dari beratus- ratus prajurit, sukar bagi Han Bun Liong untuk menemukan orang itu.

"Hm, jika engkau seorang ksatrya, unjukkan lah siapa dirimu!" seru Han Bun Liong.

"Nanti engkau tentu akan mengetahui siapa diriku. Sekarang aku hendak membuka kedokmu dulu. Hai, rakyat Thay-goan, dengarkanlah kisah nyata siapa sesungguhnya Han Bun Liong itu. Kalian semua mengagumi dan menghormatinya sebagai seorang hartawan yang murah hati tetapi sebenarnya dia adalah seorang manusia berhati serigala. Harta kekayaannya itu sebenarnya bukan miliknya tetapi titipan orang. Dan dia tak mau mengembalikan kepada orang itu lagi. Harta benda itupun bukan milik orang yang titip kepadanya tetapi milik kerajaan Beng “

"O, harta curian! Harta curian!" teriak beratus-ratus orang. Yang berteriak itu adalah prajurit2 Ceng sendiri untuk menyambut pernyataan orang tadi.

"Benar," seru orang itu pula, "ada seorang perwira dari Lasykar Tani yang dipimpin pemberontak Li Cu Seng. Ketika Cu Seng berhasil menduduki kotaraja Pak kia, perwira itu berhasil masuk kedalam keraton dan mengambil beberapa peti intan permata yang berharga. Barang2 itu dititipkan kepada Han Bun Liong. Dan orang yang menitipkan itu sudah mati "

"Dimana harta karun itu?"

"Kembalikan harta karun itu, Han Bun Liong!" "Sabar, saudara, sabarlah. Tak mungkin saudara akan meminta kembali harta karun itu kepadanya, karena .. . "

"Sudah diludaskan!"

"Dihabiskan, dibagi-bagikan secara royal sekali.

"Tiap hari berpesta pora menjamu tamu!" Demikian teriak beberapa orang.

"Salah," seru orang itu pula, "harta karun itu tidak dihabiskan Han Bun L.ong. Dia sendiri cukup kaya."

"Lalu dimana harta karun itu ?" "Tanyakan sendiri kepadanya !"

Serentak dari empat penjuru, terdengar suara menggelagar, "Han Bun Liong, dimanakah harga karun itu

?"

Dalam suasana malam sunyi, teriakan beratus-ratus prajurit Ceng itu menggema dengan nyaring sehingga rakyat yang berada dalam kota Thay-goan dapat mendengar jelas.

Sepanjang hidup baru pertama kali itu Han Bun Liong menderita serangan amarah yang begitu hebat. Dia tak dapat mengendalikan diri lagi. Serentak dengan menggembor keras, dia terus mainkan pedang maju menyerang.

Tetapi pasukan Ceng yang hendak diserang tentu mundur. Dan serempak itu pasukan Ceng lain yang sudah siap di belakang Hun Bun Liong lalu tampil mengejar. Kalau dikejar akan menghilang dan dari belakang akan tampil pasukan lain lagi.

Dengan permainan itu, Han Bun Liong benar2 seperti dipermainkan. Ia sudah membulatkan tekad untuk mengadu jiwa tetapi yang diajak adu jiwa akan menghilang, Pancak dari pada luap amarahnya yang tak dapat dikendalikan lagi terjadi ketika dari atas pintu kota telah berktbar bendera kerajaan Ceng dan tampak beberapa perwira Ceng berdiri disitu.

"Han Bun Liong, apa yang engkau cari ? Lihatlah, rakyat Thay-guan sudah gembira menyambut kedatangan pasukan kerajaan Ceng. Mereka tahu kami datang bukan untuk menindas tetapi untuk mengembalikan keamanan dan kesejahteraan" terdengar seorang perwira Ceng berseru.

Han Bun Liong marah. Tetapi yang membuatnya hampir pingsan karena marah adalah seorang pemuda yang duduk disamping perwira Ceng itu. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Sou Kian Hin.

"Sou kongcu, engkau "

"Maaf, paman Han. aku hanya menurut suara rakyat saja, Rakyat sudah keliwat menderita kelaparan dan kecemasan. Mereka ingin mengenyam kehidupan yang tenang. Ternyata pasukan Ceng telah datang dengan membawa pengayoman dan ktsejahteraan bagi rakyat Thay- goan, Maka kuminta paman Han juga mau masuk ke kota. Para ciangkun dan pembesar Ceng akan menyambut kedatangan paman Han dengan rasa hahagia. "

“Hm, terima kasih Sou kongcu. Jika mau menakluk pada kerajaan Ceng, perlu apa aku harus mengorbankan segala harta benda dan jiwaku ? Bukankah dulu2 aku sudah dapat bekerja kepada mereka ?"

"Ah, paman Han," seru Sou Kian Hin, "keadaan memaksa kita harus melihat kenyataan. Pandangan kita terhadap kerajaan Ceng salah. Ternyata mereka baik sekali kepada kita." "Hm tak ada tuan yang tak baik kepada anjing peliharaannya. Silakan engkau menjadi anjing peliharaan orang Ceng, tetapi aku Han Bun Liong, tetap akan menjadi seorang rakyat Han yang bebas!"

Sudah tentu Sou Kian Hin malu dan marah karena dikatakan seperti anjing. "Han Bun Liong adalah karena mengingat engkau seorang tua yang banyak menanam kebaikan kepada penduduk Thaygoan maka aku masih bersikap mengbormat kepadamn. Ketahuilah, aku sekarang yang menjadi residen kota Thay- goan !"

"O, karena itulah maka engkau lalu berhamba kepada orang Boan ? Bagus, silakan saja. Tetapi jangan coba2 membujuk aku untuk menjadi budak Boan !" seru Han Bun Liong.

Keadaan Han Bun Liong saat itu benar2 seperti seekor harimau yang masuk kota. Dia di kepung dan ditonton oleh prajurit Ceng dan rakyat kota Thay-goan.

"Saudara2, aku akan menjemput mereka !" katanya kepada beberapa anakbuahnya. Dia terus mencabut pedang dan mengamuk.

Tetapi tampaknya prajurit2 Ceng yang diserang itu tak mau melayani dengan sungguh2. Mereka hanya menahan serangan sambil mundur.

Han Bun Liong mengamuk bagai seekor harimau mencium bau darah. Tetapi kearah mana ia mengamuk, tentulah barisan musuh yang diamuk itu akan mundur. Tetapi dari belakang. kanan dan kiri tentu mereka maju merapat lagi. Dengan demikian, Han Bun Liong tetap terkepung.

Pertempuran berjalan dengan seru sehingga sampai fajar. Saat itu Han Ban Liong sudah lemas. Peristiwa yang menyakiti hati, menimbulkan kemarahan besar. Dan karena semalam suntuk harus bertempur maka tenaganyapun habis.

"Ah, Han Bun Liong seorang lelaki. Daripada hidup herlumur nista, lebih baik aku mati," saat itu dia berdiri tegak seraya memandang ke sekeliling. Anakbuahnya sudah lunglai, rakyat duduk di tanah. Maklum, mereka adalah rakyat biasa, karena semalam suntuk bertempur, mereka sudah tak kuat berdiri lagi. Bulat sudah keputusannya untuk bunuh diri.

Tiba2 genderang bertalu riuh dan terdengar bunyi derap kuda lari mendatangi. Pasukan yang berada di sebelah depan Han Bun Liong menyisih ke samping dan muncullah dua orang penunggang kuda. Yang seorang mengenakan seragam militer yang gagah dan yang seorang adalah sasterawan setengah tua yang jelas bukan orang Boan. Sekalian anakpasukan Ceng segera berdiri tegak dan memberi hormat kepada kedua orang itu.

"Tay- ciangkun, ban-swe !" seru sekalian pasukan. Tay- ciangkun artinya panglima besar. Ban-swe artinya dirgahayu.

Kedua penunggang kuda itu berhenti pada jarak lima meter dari Han Bun Liong. Sasterawan setengah tua turun dari kudanya.

"Han wan-gwe, maaf, Han wan-gwe tentu menderita kejut," kata sasterawan itu dengan ramah.

"Siapakah anda ?"

"Aku orang she Ko nama Cay Seng." "Apakah anda juga orang persilatan ?" "Sebenarnya seorang bun (sasterawan) tetapi saterawan mogol. Juga seorang persilatan tetapi juga setengah matang. Bun mogol, Bu setengah matang."

"Hm, lalu apakah engkau bekerja pada kerajaan Boan."

Ko Cay Seng menghela napas, "Dibilang bekerja pada kerajaan Boan juga boleh, tidak juga boleh. Artinya, aku bekerja pada kerajaan Boan demi kepentingan rakyat kita."

'Ya, kutahu."

"O, apakah Han wan-ghee sudah mengetahui?"

'Sudah," sahut Han Bun Long, "karena memang bcgitulah jawaban setiap orang yang bekerja pada kerajaan Boan."

Merah muka Ko Cay Seng terkena sentila kata Han Bun Liong yang tajam itu. Namun dia tetap tenang, Setiap orang mempunyai pendirian hidup sendiri. Tetapi pendirian itu harus disesuaikan dengan kenyataan. Itu baru benar."

Han Bun Liong diam saja.

"Lalu apa maksud anda menemui aku? Bukankah aku sudah terkepung dan setiap saat dapat anda tangkap?"

"Ya, memang begitu, Han wan-gwe," kata Ko Cay Seng, "tetapi apakah Han wan-gwe tak merasakan sesuatu yang tak wajar?"

"Soal apa?"

"Selama Han wan-gwe bertempur semalam tadi?"

Han Bun Liong merenung sejenak, "Memang ada sesuatu yang tak wajar. Setiap kali kuserang pasukan Ceng tentu mundur dan tak mau balas menyerang." Ko Cay Song tertawa, "Benar, sebagai seorang jago tua tentulah Han wan-gwe dapat merasakan hal itu. Tetapi adakah Han wan-gwe dapat menduga apa sebabnya?"

"Coba engkau bilang."

"Jika mau menangkap atau membunuh Han wan-gwe, tentulah pasukan Ceng sudah dapat melakukannya dengan mudah. Tetapi mereka memang dilarang membunuh Han wan-gwe .. . "

"Siapa yang melarang?"

"Panglima besar kerajaan Ceng sendiri." Han Bun Liong terkesiap, "Mengapa?"

"Karena panglima besar sangat sayang dan menghargai Han wan- gwe. Han wan-gwe seorang tokoh yang tiada bandingannya, sayang mendapat tempat yang tidak sesuai dengan bakat Han wan-gwe. Ada sebuah pepatah yang mengatakan burung yang bagus harus memilih hinggap di pohon yang baik . tentulah Han wan-gwe sudah tahu' hal itu bukan?"

"Ko sian-seng," sahut Han Bun Liong, "memang benar kata-katamu itu. Karena bangsa burung hanya memikirkan soal kenikmatan saja. Mereka hanya pandai mengkibur majikannya dengar suaranya yang merdu atau bulunya yang indah. Bangsa burung tiada gunanya kecuali hanya untuk menyenangkan hati orang yang memeliharanya."

Ko Cay Seng terkesiap.

"Tetapi lain halnya dengan binatang anjing. Orang kalau dimaki sebagai anjing tentu marah. Tetapi sesungguhnya, tidak seluruh orang itu lebih baik dari anjing. Ada orang yang lebih rendah budinya dari anjing. Anjing dapat menjaga rumah, menjaga keselamatan keluarga tuannya Anjing adalah binatang yang tahu akan kesetyaan. Apa kata anda terhadap orang yang tak setya kepada negara dan bangsanya sendiri? Apakah orang semacam itu lebih baik daripada seekor anjing?"

Merah muka Ko Cay Seng. Tetapi cepat dia menenangkan, katanya, "Bagaimanapun juga manusia tetap lebih tinggi daripada anjing. Kesetyaan itu memang luhur. Tetapi kesetyaan yang buta adalah bodoh dan salah. Anjing tetap binatang yang tak dapat membedakan benar dan salah, kecuali hanya setya saja. Walaupun majikan mereka seorang penjahat, seorang pembunuh, seorang pembohong, dia akan tetap setya. Lain dengan manusia. Manusia tidak harus seperti anjing. Harus dapat membedakan mana yang salah dan yang benar. Jika tidak dapat membedakan, nah, barulah dia tepat disebut lebih rendah dari anjing."

Han Bun Liong tak mau meladeni.

"Han wan-gwe, seorang ksatrya harus pandai menycsuaikan diri dan tahu keadaan. Aku memang bekerja pada kerajaan Ceng karena kuanggap hal itu dapat membawa kebaikan kepada rakyat kita. Dan ketahuilah, bahwa dunia ini tidak langgeng sifatnya. Demikian pala dengan kejayaan sebuah kerajaan. Sudah berabad-abad kerajaan Beng berdiri. Memang raja2 Beng yang terdahulu bijaksana dan pandai mengurus negara. Tetapi raja Beng yang sekarang, lemah dan hanya gemar berfoya2. Ini suatu pertanda zaman bahwa sudah tiba waktunya kerajaan itu harus tenggelam dan diganti dengan sebuah kerajaan baru .

. . . "

"Hm," dengus Han Bun Liong.

"Suatu bukti lagi," kata Ko Cay Seng, "begitu cepat kotaraja Pak-kia jatuh ke tangan pasukan kerajaan Ceng. Bukankah hal itu sudah cukup menunjukkan bahwa memang bintang dari kerajaan Beng itu sudah waktunya pudar?" seru Ko Cay Seng.

"Hm, tak perlu panjang lebar memberi kuliah," tukas Han Bun Liong, "katakanlah, apa maksudmu menemui aku?"

"Seperti telah kukatakan tadi bahwa panglima besar kerajaan Ceng sangat menghargai Han wan-gwe sehingga beliau berkenan menyempatkan diri datang menjumpai wan-gwe. Apakah wangwe merasa lebih berharga sehingga tak mau menyambut panglima besar kerajaan Ceng?"

Han Bun Liong memang sudah menduga kalau perwira Ceng yang naik kuda bulu putih itu tentu seorang militer yang berpangkat. Tetapi dia tak sangka kalau penurggang kuda bulu putih itu adalah panglima besar kerajaan Ceng sendiri.

"O, maaf, tay-ciangkun. Aku tak tahu sehingga tak menghormat kedatangan tay-ciangkun," walaupun terhadap lawan tetapi dalam pembicaran, Han Bun Liong tetap menghormati kedudukan orang.

"Ah, Han sianseng sungguh seorang yang hebat," seru panglima besar Torgun dalam bahasa Han yang lancar, "sudah lama aku mendengar nama anda dan baru hari ini aku beruntung dapat bertemu muka."

Habis berkata Torgun terus turun dari kuda putih, menghampiri Han Bun Liong dan ulurkan tangan untuk berjabatan.

Tanpa curiga Han Bun Liongpun menyambuti. Pada saat tangannya berjabatan, ia rasakan sebuah arus tenaga-dalam yang kuat, melanda ke telapak tangan, mengalir ke lengan dan terus menyusup ke arah jantung. Han Bun Long terkejut. Ia tak menyangka bahwa panglima besar kerajaan Ceng, selain seorang militer juga memiliki ilmu tenaga- dalam yang sakti. Jelas Torgun itu tentu seorang jago silat yang berilmu tinggi.

Han Bun Liong merasakan serangan itu. Ia hendak mengerahkan tenaga-dalamnya juga tetapi merasa terlambat. Percuma saja, pikirnya, karena arus tenaga- dalam orang sudah menyerbu jantungnya.

"Ah, percuma." pikirnya dan diapun pejamkan mata menunggu ajal.

"Ah, Han sianseng merendah diri," kata Torgun dan seketika arus tenaga dalam yang menyusup ke lengan Han Bun Liongpun menyurut lenyap.

Han Bun Liong terkejut. Jelas panglima Ceng telah menguasai ilmu tenaga-dalam yang dapat dipancarkan dan ditarik menurut sekehendak hatinya.

"Terima kasih, tay-ciangkun. Sungguh suatu kehormatan besar bagi si tua Han Bun Liong dapat berjabatan tangan. Andaikata mati pun sudah puas," seru Han Bun Liong. Dia memang sudah memutuskan akan mati- ditangan seorang panglima besar, adalah suatu kehormatan besar.

Tetapi Torgun hanya ingin menguji. Dia kecele karena Han Bun Liong tak membuat reaksi. Dia tak mau membunuh Han Bun Liong maka tenaga-dalamnya pun ditarik kembali.

"Han sianseng, disini-bukan tempat bicara mari kita masuk ke markas," kata Torgun seraya menarik tangan orang. Terpaksa Han Bun Lion mengikuti. Dia tak gentar karena sudah membekal tekad untuk mati.

Gui Tik dan anakbuahnya juga ditangkap dan dibawa ke markas. Han Bun Liong diperlakukan baik oleh Torgun dan diminta supaya membantu kerajaan Ceng tetapi dia menolak. Akhirnya karena secara halus tak dapat dibujuk, Han Bun Liong lalu di jeblus kan dalam penjara dibawah tanah dan disiksa, kaki tangannya dirantai seperti seekor binatang buas.

Demikian Han Bun Liong mengakhiri ceritanya kepada ketiga anakmuda itu.

"Hm, jika tahu dia yang berhianat, tentu waktu main barong-say malam itu, dia sudah kubunuh." seru In Hong.

"Ah, berbahaya nona In," kata Han Bu Long "kalau saat itu dia mati, kalian tentu aka dibunuh juga.

“Ya, benar,” "kata in Hong, "tetapi dia selalu mengganggu ci Ing saja. Nanti pada suatu hari dia pasti kubunuh."

Han Bun Liong menghela napas, “Suasana sekarang sudah jauh berobah. Kota Thay-goan sudah diduduki tentara Ceng, Dimara-mana tersebar mata2. Hendaknya segala tindakan kita harus diperhitungkan dengan hati2.”

Jago tua itu memuji keberanian In Hong dan Han Bi Ing serta Kim Yu Ci yang berani menempuh bahaya besar merampok penjara.

"Ah, janganlah paman memuji aku," aku," kata In Hong, "kalau tak ada bantuan ci Ah Ling, ink mungkin kami dapat menyelundup masuk ke dalam penjara dibawah tanah itu."

Kembali Han Bun Liong menghela napas.

"Memang saat ini negara sedang dalam bahaya besar. Menilik kekuatan pasukan Ceng, kemungkinan kerajaan Beng tak dapat dipertahankan lagi," katanya. "Ah, apakah kita harus menyerah begitu saja ?" seru In Hong.

"Tidak, In titli," Han Bun Liong tersenyum, “putera2 kesuma bangsa seperti kalian ini harus tetap melanjutkan perjuangan untuk mengusir musuh dari bumi kita. Kutahu, bahwa setiap terjadi perobahan suasana, tentulah bermunculan tokoh2 penting, baik yang ikut membantu musuh maupun yang menentang musuh. Disamping banyak, bangsa kita yang rela menjadi penghianat bangsa, pun tak sedikit putera puteri kita yang berani mengorbankan diri sebagai pahlawan. Aku terharu mendengar perkumpulan Hong-hian-hwe. Mereka adalah gadis2 suci yang rela mengorbankan diri untuk menyelamatkan rakyat. Kita berdosa kepada pengorbanan mereka apabila kita tak dapat mengusir penjajah,"

Kim Yu Ci mengangguk. "Memang dalam keadaan menghadapi musuh, semua orang dapat membaktikan diri menurut kemampuan masing2. Pahlawan bukan hanya semata yang bertempur dengan musuh, pun setiap orang yang berani mengorbankan diri untuk menyelamatkan bangsa. juga seorang pahlawan."

"Paman Han," tiba2 In Hong menyelutuk, "benarkah harta karun itu bukan milik paman sendiri ?"

Han Bun Liong mengangguk, "Benar. Harta karun itu memang barang titipan dari saudara Nyo Sian, seorang pewira dari pasukan Li Cu Sang. Aku sebenarnya tak mau tetapi dia memaksa dengan mengatakan begini," Daripada harta karun itu jatuh ke tangan kaum thaykam (kebiri) dan mentri2 dorna, lebih baik kita angkuti saja."

"Untuk apa sekian banyak harta benda itu?' tanyaku. "Harta itu banyak gunanya. Lebih2 dalan suasana perang. Kita dapat menggunakan harta itu untuk melawan musuh," kata No Sian.

"Maksudmu, harta itu boleh digunakan untuk keperluan perjuangan kita ?" aku menegas pula.

"Pertama, mengapa harta karun itu kutitipkan pada saudara Han, karena kupandang saudara Han seorang hartawan sehingga orang takkan curiga. Kedua kalinya, saudara seorang dermawan dan seorang pendekar golongan hiap-gi. Maka apabila perlu, silakan saudara Han mengambilnya. Terserah mau diberikan kepada siapa saja yang saudara pandang layak dibantu," kata Nyo Sian.

"Karena dia mengatakan begitu maka akupun baru mau menerima barang titipan itu," kata Han Liong memberi keterangan kepada In Hong.

"Yah, apakah engkau kenal dengan seorang yang bernama Lu Pin ?" tanya Han Bi Ing yang juga menceritakan tentang peristiwa Lu Pin yang datang hendak mencari ayahnya itu.

“O, dia;" kata Han Bun Liong, "dia adalah teman Nyo Sian yang tahu perbuatan Nyo Sian mengangkuti harta benda keraton. Dia pernah datang kepadaku untuk  meminta harta karun itu tetapi kutolak, Yang titip Nyo Sian yang berhak minta kembali adalah Nyo Sian, kataku. Dia pergi hendak mengajak Nyo Sian tetapi sampai sekarang dia belum pernah datang lagi. Lalu apa katanya kepadamu ?"

"Dia mengatakan telah bertemu dengan Nyo Sian tetapi saat ini Nyo Sian menderita sakit lepra. Dia hanya membawa surat Nyo Sian untuk ayah," “Jangan percaya, paman Han," seru In Hong "kecua:i Nyo Sian sendiri yang datang, jangan menerima segala bukti."

"Ya," kata Han Bun Liong, "memang bisa saja dia membuat surat mencontoh tulisan Nyo Sian. Atau kemungkinan juga bisa dia mermak Nyo Sian untuk menulis surat. Tetapi aku takkan memberikannya, kecuali Nyo Sian datang sendiri.

Pendirlan Han Bun LIong itu didukung ketiga anakmuda.

"Apabila Nyo Sian sudah mati, lebih baik gak-hu mempergunakan harta karun itu untuk kepentingan perjuangan," kata Kim Yu Ci.

"Kurasa tidak perlu tunggu Nyo Sian mati, sekalipun masih hidup, Han pehpeh boleh menggunakan harta itu. Itu kan juga bukan harta miliknya Nyo Sian," seru In Hong.

Han Bun Liong mengaugguk. Kemudian dia menanyakan dimana harta karun itu.

"Disimpan oleh Wan-ong-ko yang menjadi teman seperjalananku ke gunung Lou- hud-san. Ayah tak perlu kuatir, kelak kalau ketemu dia tentu akan kutanyakan dimana dia menyimpannya."

Demikian sambil menunggu suasana di luar sudah tenang, terpaksa mereka tinggal dalam kamar rahasia itu.

Han Bun Liong, Kim Yu Ci, Han Bi Ing dan In Hong untuk sementara akan bersembunyi dulu di ruang rahasia di bawah tanah dalam gedung keluarga Han. Nanti apabila suasana sudah reda, barulah mereka akan keluar. Memang benar Panglima Taras marah sekali dengan peristiwa perampokan tawanan orang she Han dari penjara rahasia. Bahkan dia sendiri matanya juga terserang jarum bwe-hoa-ciam dan banyak pembesar2 negeri antara lain residen Sou Kian Hin yang kehilangan kuncirnya.

Panglima Taras memerintah supaya dilakukan penggeledahan dan razzia besar pada setiap rumah penduduk di Thay-goan.

Suasana kota itu menjadi tegang. Malam hari sunyi karena tak ada orang yang berani keluar malam. Banyak rakyat yang menderita tindakan sewenang- wenang dari kawanan prajurit Ceng. Tetapi sampai sebegitu jauh belum juga mereka berhasil menangkap biangkeladi dari kerusuhan itu. Memang banyak yang ditangkap dan disiksa tetapi akhirnya dilepas lagi tiada bukti kuat.

Sekarang kita tinggalkan dulu rombongan Kim Yu Ci bersama kedua gadis. mari kita kembali mengikuti perjalanan pendekar Huru Hara, sahabat kita yang sudah agak lama kita tinggalkan itu.

Setelah meninggalkan gunung Hong-hong-san, pendekar Huru Hara bersama si bocah kuncung Ah Liong tujukan langkahnya ke utara. Dia hendak mencari barisan Suka Rela di propinsi Shoa-tang.

"Engkoh Hok, apa sih barisan Suka Rela itu. Mengapa ada barisan kok suka rela ?" tanya Ah Liong kepada pendekar Huru Hara yang biasa dipanggil dengan sebutan engkoh Hok.

"Barisan suka rela itu adalah barisan dari rakyat yang secara suka rela masuk menjadi pejuang. Tidak ada paksaan, mereka berjuang atas kemauannya sendiri maka dinamakan barisan Suka Rela," kata pendekar Huru Hara. "Siapa yang mengumpulkan dan mengepalai barisan itu

?" tanya Ah Liong pula.

"Itulah yang hendak kuselidiki, Ah Liong,” kata pendekar Huru Hara.

"Lho, engkau hendak menyelidiki atau hendak mencari paman engkoh yang ditangkap itu?”

"Kedua-duanya, Ah Liong. Paman Cian-li ji itu orang kuno, aneh dan nyentrik. Tetapi dia baik dan sayang kepadaku. Engkau tahu mengapa dia bernama Cian li-ji?”

"Cian-li-ji itu artinya Telinga-seribu-li. Telinga yang dapat menangkap suara pada jarak selibu li," kata pendekar Huru Hara.

"O, hebat," seru Ah Liong.

"Dia juga mempunyai penyakit seperti engkau." "Penyakit apa?" tanya Ah Liong.

"Apa kegemaranmu kalau berhadapan dengan musuh?" "Apa ya? Eh, eh "

"Tolol! Bukankah engkau gemar memutus celana orang?"

"Benar! Sejak taliku putus dan anuku kelihaan oleh engkoh, aku sakit hati. Untuk membalas kepada engkoh, sih tidak boleh karena aku seorang adik. Maka kutumpahkan penasaranku itu kepada setiap orang yang menjadi lawan. Dengan begitu tentu akan bertambahlah jumlah orang yang celananya melorot turun "

"Hm, engkau ini memang kurang ajar. Tetapi ingat, jangan sekali- kali engkau lakukan hal itu terhadap seorang gadis atau wanita. Kalau engkau sampai melakukan hal itu, aku tak mau jadi engkohmu lagi, tahu?" "Baik, engkoh," kata Ah Liong. Anak yang bandel itu kalau terhadap Huru Hara selalu menurut dan taat, "tetapi apa penyakit paman Cian-li-ji itu?"

"Dia gemar menampar pipi orang."

"Uhhhh," desuh Ah Liong, "itu kegemaran aneh juga.

Tetapi sayang kan kalau pipi yang halus harus ditampar ?"

"Tentu saja pipi musuh, bukan pipi sembarang orang dan terutama bukan pipi wanita. Aku pun melarangnya menampar pipi kaum wanita.

"Hai ," tertak Huru Hara tiba2, "mengapa aku begini

pelupa ?"

"Kenapa ?"

"Kita ini salah jalan. Mengapa menuju Shoa-tang ?"  "Lho engkoh ini bagaimana sih ? Aku hanya menurut

saja,"

"Bukankah Ang Hin kepala gunung Hong hong-san mengatakan bahwa barisan 'Suka Rela itu berpusat di gunung Lu-Bang-san di wilayah Sanse ?"

"Entah bagaimana keterangan Ang Hin kepada engkoh.

Aku tak ikut mendengarkan."

"Sudahlah," seru Huru Harai, "hayo kita putar haluan, menuju ke barat saja."

Keduanya segera berganti arah. Tiba2 mereka mendengar derap kuda lari pesat.

"Rupanya ada orang datang kemari." kata Huru Hara. Ia terus menyeret Ah Liong bersembunyi dibalik gerumbul pohon.

"Mengapa harus bersembunyi, engkoh ?" "St. kita lihat siapa yang datang dulu," bisik Huru Hara,

Seekor kuda hitam lari melintas jalansepi. Dari tempat persembunyiannya. Huru Hara merasa kenal dengan pemuda itu. Dia merasa sudah pernah bertemu dan bicara, Tetapi untuk sesaat dia agak lupa.

Belum sempat ia teringat siapa pemuda itu, sekonyong- konyong dari balik gunduk batu di tepi jalan, berhamburanlah tiga empat buah tali dan jaring kearah tubuh pemuda itu.

Uhhhh . , . karena tak menyangka-nyangka pemuda itu hendak berusaha untuk menghindari tali tetapi tak sempat menghindar tebaran jaring yang menelungkupi kepalanya. Seketika kepala dan tubuh pemuda itu terjaring dan pada lain saat dia menjerit tertahan karena jaring ditarik turun kebawah sehingga dia turut jatuh ketanah.

Pemuda itu tak berkutik dan pada saat itu, salah seorang dari kawanan yang menghadangnya segera ayunkan tombaknya.

"Tunggu !"

Orang yang hendak menombak itu terkejut ketika mendengar suara teriakan yang nyaring seperti halilintar berbunyi. Cepat mereka bepaling. Seorang pemuda dan seorang bocah laki berloncatan, pemuda itupun sudah tiba di hadapan mereka.

"Lepaskan kongcu itu," hardik pemuda yang datang itu dengan bengis.

"Siapa engkau!" kawanan orang itu balas menghardik. Mereka terdiri dari enam orang. Menilik dandanannya mereka adalah orang2 persilatan. "Kubilang, lepaskan kongcu itu!" pemuda yang bukan lain Huru Hara mengulang perintahnya

"Eh, lagakmu seperti seorang jenderal saja !” teriak salah seorang kawanan penghadang itu, "siapa engkau!"

"Aku Huru Hara, utusan Raja Akhirat!"

"Kentut!" teriak mereka, "kalau melihat dandananmu seperti pendekar kesiangan itu, mungkin engkau memang seperti tukang sapu akhirat. Tetapi dIsini bukan akhirat. Lebih baik engkau kembali ke akhirat saja!"

"Untuk yang terakhir kali, kuperintahkan segera lepaskan kongcu itu," seru Huru Hara pula.

"TIdak. Jangan turut . . . , " baru salah seorang berkata begitu, tahu2 Huru Hara sudah lesat dan orang itupun menjerit rubuh.

Kawan- kawannya yang lima terkejut. Hampir mereka tak percaya apa yang disaksikan tadi. Gerakan pemuda aneh itu benar2 seperti setan.

Namun mereka menyadari bahwa yang dihadapinya itu adalah seorang jago yang sakti. Serempak mereka mencabut senjatanya masing2.

"Bagus, hayo kalian maju berlima, agar lekas dapat kubereskan," seru Huru Hara dengan gembira.

Kelima orang itu menggunakan bermacam-macam senjata. Ada yang menggunakan pedang, golok, bindi, trisula dan tombak. Tetapi Huru Hara dapat melayani mereka.

"Ah Liong, tolonglah pemuda dalam jaring itu," seru Huru Hara.

Ah Liong cepat menghampiri pemuda itu. Tetapi saat itu dia diserang oleh orang yang menggunakkan golok, "Jangan kurang ajar, bocah kuncung!" teriak orang itu seraya membabat leher Ah Liong.

Ah Liong mengendapkan tubuh. Selekas golok lewat diatas kepalanya dia terus menyeruduk bawah dan tahu2, uhhhh orang itu menjerit kaget karena celananya putus

tali dan meloncat. Buru2 dia mendekap dengan tangan kiri.

"Nih, rasakanlah, plok . .. . , " Ah Liong menonjok hidung orang itu sehingga berlumuran darah. Orang itu menjerit seperti babi hendak disembelih dan terus terhuyung-huyung mundur.

Jika mau menggunakan pedang Pek-kak-kiam atau pedang Tanduk putih yalah pedang pusaka yang mengandung magnit, tentulah keempat lawannya itu sudah kalah. Tetapi dia tak mau lawannya mati, karena hendak menangkap hidup keempat orang itu agar dapat ditanya keterangannya.

Plak . . . sebuah tendangan singgah di lambung lawan yang bersenjata pedang. Orang itu meliuk-liuk kerena  tulang iganya patah. Duk, orang yang bersenjata tombakpun tersodok perutnya hingga jatuh terlentang. Krak. bindi dari lawan yang lain mencelat keudara dan orang yang menggunakan bindi itupun terseok-seok mendekap lengannya yang patah tulangnya Tinggal yang menggunakan tombak. Orang itu nekad melontarkan tombaknya kepada Huru Hara.

"Aduh ..... ," teriak orang yang juga menggunakan tombak dan hendak menombak pemuda dalam jaring tadi.

Tombak dapat dihindari Huru Hara dan melayang ke belakang. tepat menancap di dada kawannya sendiri. Habis melontarkan tombak, orang itu terus lari. Huru Hara tak mau mengejar. Dia sudah mendapat tiga orang yang dapat memberi keterangan.

Saat itu pemuda yang terjaring dalam jala tadipun sudah dapat dikeluarkan Ah Liong. Pemuda itu menghampiri dan mengucap terima kasih.

"Ah, ternyata Bok kongcu," seru Huru Hara setelah berhadapan dengan pemuda itu. Memang pemuda itu tak lain adalah Bok Kian, putera keponakan menteri pertahanan Sa Go Hwat yang pernah bertemu dengan Huru Hara di gunung Hong.

"Mengapa kongcu dicelakai mereka ?" "Entah, aku juga tak tahu."

"Siapakah mereka

Bok Kian gelengkan kepala tak tahu.

"Aneh, kalau kongcu belum kenal mengapa mereka hendak mencelakai kongcu ?"

"Aku sendiri juga heran," kata Bok Kian yang berpikiran polos.

"Mengapa kongcu sampai disini ?"

"Aku mendapat titah dari paman Su, supaya menyampaikan berita kepada jenderal Ui Tek Kong supaya bcrsiap diri untuk diajak menggempur jenderal Co Liang Giok."

"Lho, bukankah Co Liang Gok itu jenderal kerajaan Beng ?" Huru Hara heran.

"Benar," kata Bok Kian, "tetapi dia hendak memberontak kepada kekuasaan kerajaan Beng,"

"Ah," teriak Huru Hara, "bagaimana buktinya dia hendak memberontak ?" “Saat ini paman Su berada di Yang- ciu untuk menilik keadaan pasukan. Dia mendengar kabar bahwa pasukan Ceng sudah menyerang wilayah Soa-tang, Ho-lam dan Ho - pak …”

"Ah," Huru Hara mendesah. "Mengapa ?"

"Hampir saja aku hendak menuju ke Shoatang untung tak jadi."

"Mengapa Loan-heng hendak kesana ?"

"Aku hendak mencari pamanku yang ditawan anakbuah barisan Suka Rela."

"Apa hubungannya pasukan Ceng menyeberang wilayah Shoa-tang, Holam dan Hopak dengan tuduhan bahwa jenderal Co Liang Giok hendak memberontak?" tanya Huru Hara.

"Paman Su menerima amanat dari kerajaan bahwa jenderal Co Liang Giok hendak memberontak. Itulah sebabnya paman Su terus hendak mengajak jenderal Ui menumpas mereka."

"Ah, sungguh berbahaya," kata Huru Hara dalam keadaan seperti sekarang ini, kita harus bersatu, mengapa terpecah belah dan harus tumpas menumpas sendiri. Apakah Su tayjin percaya?"

"Paman Su percaya kalau titah itu dari seri baginda Hok Ong maka dia terpaksa harus melakukan."

"Hm," dengus Huru Hata, "kalau aku bertemu dengan Su tayjin tentu akan kusarankan agar diselidiki dulu kebenarannya dan jangan gegabah bertindak karena besar sekali akibatnya." Kemudian Huru Hara menghampiri salah seorang penghadang yang masih rebah ditanah "Engkau minta mati atau hidup?"

"Ampun hohan," seru orang itu.

"Baik, tetapi engkau harus memberi keterangan yang jujur. Siapakah kalian ini?"

"Hamba seorang jagoan dunia hitam yang melakukan pekerjaan untuk orang. Ada orang yang mengupah hamba supaya membunuh kongcu itu."

"Mengapa harus membunuh kongcu?" desak Huru Hara. "Hamba tak tahu hohan," kata orang itu.

"Bohong!" bentak Huru Hara seraya mencekik orang itu, "mau bilang terus terang atau tidak!"

“Ba…… ik …… ba ….ik…..”

Pada saat Huru Hara lepaskan cekikannya tiba2 terdengar derap beberapa ekor kuda lari mendatangi dan pada lain saat muncullah lima penunggang kuda. Yang didepan sendiri seorang pemuda cakap.

"Hai, Bok-te, mengapa engkau disini?" tiba2 pemuda cakap itu melesat turun dari kudanya dan menghampiri Bok Kian.

"O, Su- heng, engkau juga datang," kata Bok Kian. Ternyata pemuda yang datang itu adalah Su Hong Liang. Karena Su Hong Liang lebih tua, ia memanggil Bok-te ( adik Bok ) dan Bok Kian menyebut Su-heng (engkoh Su) .

Seperti diketahui, Bok Kian itu keponakan Su Go Hwat dari isterinya. Sedang Su Hong Liang itu juga keponakan, putera dan saudara tua Su Go Hwat.

"Engkau dari mana Bok-te?" ulang Su Hong Liang. “Paman menugaskan aku untuk memberitahu pada jenderal Ui Tek Kong untuk diajak menyerang jenderal Co Liang Giok."

“O, apakah jenderal Co hendak memberontak ?" "Menurut firman yang diterima paman dari kerajaan,

memang begitu," kata Bok Kian.

"Hm, makanya Ma kongcu putera Ma Su Ing tay-haksu mengutus kedua pengawal supaya aku bersama-sama menyelidiki gerak gerik jende Co."

"Oh," desuh Bok Kian, "lalu bagaimana hasil penyelidikan Su-heng ?"

"Memang ada tanda2 jenderal Co hendak memberontak," kata Su Hong Liang.

"Apakah dia takluk kepada pasukan Ceng,” tanya Bok Kian.

"Tidak."

"Lalu mengapa dia hendak memberontak,” Bok Kian heran.

"Dia hendak membawa pasukan ke kotaraja untuk membersihkan beberapa mentri yang katanya menjadi biangkeladi dari kehancuran kerajaan Beng."

"Oh," Bok Kian makin terkejut.

"Lalu bagaimana pandapat paman Su Go Hwat ? "tanya Su Hong Liang.

"Saat ini paman berada di kota Yang- ciu sedang menilik keadaan pasukan kita. Tiba2 paman menerima titah dari baginda supaya mengajak jenderal Ui Tek Kong untuk menggempur jenderal Co Liang Giok yang hendak memberontak." "Dan paman lalu bertindak ?"

"Rupanya paman Su masih hendak merundingkan hal itu dengan jenderal Ui. Kemungkinan paman akan menemui jenderal Co untuk mengetahui bagaimana pendiriannya yang sebenarnya."

Tampak Su Hong Liang kerutkan dahi. “Tetapi kalau sudah menerima firman dari kerajaan, seharusnya paman dapat bertindak dengan tegas, tak perlu harus berunding lagi."

"Ya," kata Bok Kian, "tetapi paman berpendapat, apabila masih dapat ditempuh dengan jaIan damai. sebaiknya digunakan jalan damai. Itu lebih bijaksana dan menguntungkan. Karena kalau sampai gempur-gempuran sendiri, tentu akan melemahkan kekuatan kita dan menguntungkan musuh."

"Tetapi menurul penyelidikanku, memang jenderal Co sudah tak dapat dicegah lagi. Dia hendak mengadakan pembersihan ke kotaraja. Ini sangat berbahaya. Lebih baik sebelumnya dia harus lekas ditumpas dulu." kata Su Hong Liang.

"Kurasa paman Su tentu akan dapat bertindak dengan bijaksana," sambut Bok Kian.

Su Hong Liang hanya mendesuh. Kemudian bertanya apa yang terjadi pada diri Bok Kian di tempat itu. Bok Kian menceritakan apa yang dialaminya beberapa saat kemudian. Untung pendekar Huru Hara keburu datang kalau tidak, mungkin dia sudah mati,

"Mana penjahat itu?" tanya Su Hong Liang. Ketika Bok Kian memberitahu ketiga penjahat yang masih menggeletak itu, Su Hong Liang memberi isyarat mata kepada kedua orang kawannya dan mereka lalu merighampiri ketiga penjahat itu.

Orang yang hendak dipaksa mengaku keterangan oleh pendekar Huru Hara tadi, begitu melihat Su Hong Liang, matanya terbelalak dan mulutpun berseru, 'Su kong "

"Nih, terimalah!" Su Hong Liang menyabet leher orang itu dengan pedangnya. Seketika putuslah nyawa orang itu sebelum sempat melanjutkaa kata-katanya. ”

Kedua kawan Su Hong Liang tadipun sarempak pada waktu yang bersamaan, sudah memberesi kedua orang yang menggeletak di sebelah sana.

"Su kongcu, mengapa engkau membunuh orang itu?" tanya pendekar Huru Hara yang kesima melihat tindakan pemuda itu sehingga tak keburu mencegah.

"Mengapa tidak? Bukankah dia hendak mencelakai Bok- to?" sahut Su Hong Liang, "engkau telah menolong jiwa Bok-te dan aku yang menyempurnakannya."

"Tetapi aku sedang menanyai keterangannya," kata Huru Hara.

"Perlu apa ?" seru Su Hong Liang, “sudah jelas mereka hendak mencelakai Bok-te, dalam suaana perang seperti saat ini, tidak perlu kita harus bertele-tete memeriksa. Kalau salah, terus bunuh saja !”

"Tetapi tadi kudergar dia memanggil nama kongcu, Apakah bukan engkau ?" tegur Huru Hara dengan tajam.

"Aku putera keponakan mentri pertahanan Su Go Hwat tayjin, sudah tentu banyak yang kenal. Kemungkinan dia akan meratap minta ampun. aku tak ingin mendengar ocehan semacam itu lagi," kata Su Hong Liang. "Ah. tetapi tindakan kongcu itu kurang bijaksana. Lebih baik kalau kita pariksa dulu orang itu sampai jelas agar kita tahu siapa sesungguhnya yang hendak mengarah jiwa Bok kongcu. Waktu kuperiksa, dia mengatakan kalau dia diupah untuk membunuh Bok kongcu. Tetapi belum sempat kuperiksa lagi tahu2 kongcu sudah membunuh,” kata Huru Hara agak menyesali orang.

"Sudahlah, urusan sudah terlanjur masakan disesali lagi. Orang yang hendak membunuh toh sudah kubunuh, Dan aku memang berhak untuk melakukan hal itu."

Huru Hara tak puas mendengar omongan pemuda itu. Belum sempat dia membuka mulut, tahu2 Ah Long sudah nyelonong, "Itu lancang namanya.”

Su Hong Liang terkejut dan berpaling. Ketika mengetahui yang mengatakan dia lancang itu seorang bocah kuncung, dia marah, "Hai, apa katamu bocah kuncung ?"

"Engkau lancang !" seru Ah Liong.

“Eh, engkau berani mengatakan aku begitu?” "Karena engkau juga menghina engkohku.” "Siapa yang menghina ?"

"Ketiga penjahat itu adalah engkohku yang menangkap, mestinya yang berhak mengadili adalah engkohku !"

"Eh, bocah kuncung, tahukah engkau siapa aku ini ?" "Tahu."

Su Hong Liang terbeliak, "Engkau tahu diriku siapa ?" "Aku kan tidak buta ?"

"Kalau sudah tahu mengapa engkau berani membacot ?" "Apakah itu salah ?"

"Ya, sudah tentu salah. Orang yang berani mengatai seorang keluarga mentri, harus dihukum.”

"Siapa keluarga mentri ?"

"Gila ! Bukankah engkau mengatakan kau tahu siapa diriku ?"

"Ya, aku tahu, masakan aku buta ?"

"Mengapa engkau tak mengerti kalau aku putera keponakan dari mentri Su Go Hwat yang kuasa besar ?"

“Aku tahu engkau ini seorang manusia, seorang pemuda. Tetapi aku tak mau mengerti engkau putera kemanakan mentri besar atau bukan."

“Setan ! Engkau berani menghina ?"

"Jawablah," seru Ah Liong sambil bercekak pingang, "apa hubungan soal disini dengan mentri besar yang berkuasa itu ? Ini kan urusan penjahat yang ditangkap engkoh dan hendak diperiksa, mengapa engkau lancang membunuhnya ?"

"Bok-te, siapakah bangsat kecil itu ?" teriak Su Hong Liang.

"Adik dari Loan-heng ini," kata Bok Kian.

"Hai, bung, mengapa engkau tak dapat mengajar adikmu

?" tegur Su Hong Liang.

"Apanya yang harus diajar ?" tenang2 Huru Hara menjawab.

"Dia berani kurang ajar kepadaku !"

"Baik," kata Huru Hara, "tetapi kita harus adil. Kita bagi persoalannya. Dia mengatakan engkau lancang, itu memang kurang ajar. Tetapi dia salah atau tidak. Engkau memang lancang atau tidak ?"

Su Hong Liang terbeliak.

"Aku bersedia menghukum kekurangan ajaran adikku tetapi engkaupun harus mengaku bersalah," kata Huru Hara pula.

'Gila !" teriak Su Hong Liang, "engkau berani menghina aku ?"

"Siapa yang menghina ? Bukankah engkau suruh aku menghukum adikku ? Nah, begitulah syaratnya. Kalau engkau mau mengaku salah, akupun mau menghajarnya !"

"Su kongcu." tiba2 salah seorang kawanan yang bertubuh tinggi besar, brewok dan bersimbak dada maju, "tak perlu banyak membuang waktu dengan segala cacing2 begini      "

Dengan tinjunya yang sebesar buah kelapa, dia menghantam Huru Hara, "Cacing, nih rasakanlah       duk  .

..."

Huru Hara terkejut tetapi marah juga terhadap si tinggi besar yang terlalu kasar itu. Dia tangkis pukulan orang tinggi besar itu.

Bok Kian terkejut dan berteriak. Dia kuatir Huru Hara akan menderita luka. Tetapi alangkah terkejutnya ketika melihat kesudahannya.

Huru Hara tersurut mundur selangkah, tetapi si tinggi besar itu mencelat sampai dua tombak jatuh jungkir balik dan akhirnya mencium tanah.

Sudah tentu hal itu mengejutkan sekali. Orang tinggi besar itu bernama Thay San, menjadi pengawal Su Hong Liang. Dia bertenaga kuat sekali. Siapa namanya yang asli orang tak tahu, tetapi karena perawakannya tinggi besar dan gagah perkara, apalagi dia mangatakan bersal dari gunung Thay-san maka orang menyebutnya dengan nama  si Thay-san.

Su Horig Liang memelihara dua orang pengawal peribadi. Satu si tinggi besar Thay-san dan yang satu Hwe- sat-ciang si pukulan Pasir-api Hun Ti Siang.

Melihat rekannya terpental sampai jungkir balik, terkejutlah Hun Ti Siang. Cepat dia maju hendak menyerang Huru Hara tetapi saat itu Ah Liong sudah maju.

"Engkohku     sudah     menerima     serangan  kawanmu.

Sekarang akulah yang akan menghadapi engkau!"

Bok Kian terkejut. Dia melirik kepada Huru Hara dan menduga tentulah Huru Hara akan melarang anak itu. Tetapi diluar dugaan Huru Hara tenang2 saja dan tak mengacuhkan hal itu.

"Satan cilik," teriak Hun Ti Siang, "engkau berani melawan aku?"

"Tidak," sahut Ah Liong.

"Mengapa engkau berani menghadang dimukaku?"

"Aku tidak berani melawanmu tetapi kalau engkau berani menyerang, terpaksa aku membela diri," sahut Ah Liong.

"Baik, aku memang hendak memberi hajaran kepada engkohmu dan engkau sendiri."

"Ya, sebelum menghajar engkohku, hajarlah aku. Kalau engkau memang dapat menghajar aku, baru engkau layak berhadapan dengan engkohku. Karena jangankan hanya engkau seorang, sekalipun kamu semua maju bareng, tentu tak mampu nga1ahkan engkohku." Sudah tentu Pasir-api Hun Ti Siang seperti orang yang kebakaran jenggot marahnya, "Setan cilik, engkau harus mampus !”

Dia terus menyerang tetapi Ah Liong berlari-larian menghindar dan berputar mengelilinginya.

Huru Hara terkejut ketika merasakan angin pukulan orang she Hun itu memancarkan hawa -panas seperti api. Memang dia percaya Ah Liong tak mungkin dapat dipukul tetapi ia kuatir anak itu tak tahan akan angin panas dari pukulan orang.

Sebelum dia sempat memikirkan daya untuk menoloug Ah Long, tiba2 pula terdengar suara kuda berlari mendatangi. Dan beberapa saat kemudian muncul dua ekor kuda yang dinaiki oleh seorang nona. Yang satu mengenakan kain cadar hitam penutup mukanya dan satu seorang dara berwajah cerah.

"Hai, Ing-moay, engkau juga kemari?" Su Hong Liang demi melihat gadis bercadar itu.

"Ah, Ing-moay , " seru Bok Kian pula.

Ternyata kedua gadis yang datang itu ada Su Tiau Ing dan dara pelayannya yang bernama Jui Liu atau yang biasa dipanggil Ah Liu.

Huru Hara teringat bahwa ia pernah bertemu dengan kedua gadis itu ketika singgah di rumah-makan yang menyajikan bak-pau berisi daging manusia dulu.

Malihat Su Tiau Ing, puteri caatik dari mentri Su Go Hwat, wijah Su Hong Liang seketika berubah terang benderang. Ia menghampiri gadis yang menjadi adik sepupunya, "Ing-moay, mengapa engkau tampak begitu tegang? Apakah di perjalanan engkau mendapat gangguan?" "Tidak," sahut Su Tiau Ing ringkas, "aku mendapat perintah dari ayah untuk menyusul Bok heng.”

"O, tentu penting sekali."

"Ya," sahut Su Tiau Ing, "ayah hendak menyampaikan pesan kepada jenderal Ui Tek Kong supaya mengerahkan pasukannya menahan serangan musuh di Shoa-tang. Soal jenderat Co Liang Giok, ayah dapat mengatasi sendiri."

"Ah.. mengapa paman menitahkan begitu? Kukira kita harus membersihkan tubuh kita dari setiap kaum pemberontak baru kita dapat kokoh menghadapi serangan luar. Kalau hanya memikirkan serangan musuh tetapi tak lekas menindak orang dalam yang memberontak, kekuatan kita tentu lemah," kata Su Hang Liang.

"Tetapi kurasa paman Su benar," tiba2 Bok Kian menyanggah, "aku percaya dengan kewibawaan dan kebijaksanaannya, paman tentu dapat menyadarkan jenderal Co supaya kembali kepada jalan yang benar."

"Ah, umpama bisul, kalau hanya diobati tentu hanya kempes tetapi dalamnya masih kotor. Lebih baik dipotong supaya kotorannya keluar bersih. Demikian dengan jenderal yang sudah menunjukkan tanda hendak berontak. Mungkin paman Su dapat menasehati dan diapun mau tunduk. Tetapi kurasa hanya untuk sementara. Apabila tiba saatnya yang tepat, dia tentu akan memberontak lagi. Maka mumpung belum terlanjur, lebih baik sekarang ditumpas saja," kata Su Hong Lian.

"Ya, memang itu lebih tegas," tiba2 Su Tiau Ing berkata. "Ing-moay   !”   teriak   Bok   Kian   terkejut,   "bukankah

engkau diutus paman untuk menyampaikan pesan kepada

jenderal Ui Tek Kong?" "Ah, Bok te, dalam mengutus kepentingan negara setiap orang berhak menilai dan mempunyai pendirian. Kita tak perlu ragu mengoreksi tiap langkah yang kurang benar, demi kepentingan negara," bantah Su Hong Liang, "andaikan Ing-moay tak mau menyampaikan pesan itu kepada jenderal Ui, tetap menunggu kedatangan paman untuk bersama-sama menumpas jenderal yang berontak itu."

"Jangan!" cegah Bok Kiang, "Ing-moay pribadi boleh tak setuju tetapi perintah paman harus dilaksanakan."

"Harus? Siapakah yang mengharuskan aku ?” Su Tiau Ing melengking.

Bok Kian yang berwajah polos, tampak melongo. Dalam pergaulan dengan Su Tiau Ing, dia memang selalu mengalah. Tak jarang dia mendapat muka asam, cibiran bibir dan cemohan dari adik misannya itu, tetapi dia tetap sabar. Kadang sidara pelayan Ah Liu yang sering membelanya kalau dia benar.

Tetapi terhadap Su Hong Liang, Tiau Ing memang lebih memberi hati. Su Hong Liang lebih tampan, lebih pintar bicara, lebih pandai mengambil hati. Anehnya, si dara pelayan Ah Liu tidak suka. Ia lebih kasihan kepada Bok Kian yang jujur.

"Bok- te, engkau kan tahu bagaimana watak Ing-moay. Kalau dia bilang tidak mau, biar ada geledeg menyambar, dia tetap tak mau," seru Su Hong Liang dengan tertawa. Secara licik, dia hendak menganjurkan supaya Tiau Ing tetap kukuh pada pendiriannya.

Tiba2 sidara pelayan Ah Liu berseru, "Siocia, lalu bagaimana dengan pesan tayjin itu?"

"Biarlah saja," sahut Tiau Ing. "Ah, kurasa kurang baik, siocia," kata Ah Lau, "tayjin tentu marah dan kecewa. Lain kali tentu tak mau mengutus siocia keluar lagi. Wah, berabe kan? Kelak kita tentu tak dapat kaluar kemana-mana lagi,"

Su Tiau Ing tertegun. Apa yang dikata Liu itu memang benar. Ayahnya memang memanjakan dia. Tetapi kalau dalam urusan pemerintahan, mentri Su Go Hwat itu sangat keras. Siapa yang melanggar tentu dihukum. Pcrnah sekali keponakannya, Su Hong Liang, melalaikan tugas yang diserahkan kepadanya. Mentri Su Go Hwa marah dan suruh keponakannya itu dijebluskan dalam penjara. Setelah itu sebenarnya mentri Sudah tak mau menerima keponakannya lagi. Tetapi karena engkohnya datang meminta maaf dan Hong Liang juga berjanji takkan berbuat begitu lagi, mentri Su baru mau menerimanya lagi.

"Ah Liu, jangan ikut campur !" bentak Hong Liang. "Tetapi engkoh Liang, Ah Liu memang benar. Kalau

ayah sampai marah, aku tentu dilarang keluar lagi," kata Tiau Ing lalu bertanya kepada Ah Liu. "lalu bagaimana baiknya

"Bagaimana kalau siocia minta bantuan Bok-kongcu ?" balas Ah Liu.

"Ya," kata Tiau Ing, "tetapi "

"Bok kongcu, apakah engkau mau mewakili siocia menyerahkan pesan Su tayjin kepada jenderal Ui?" tanpa menunggu nonanya selesai berkata, Ah Liu terus bertanya kepada Bok Kian.

"Baik, Ah Liu," kata Bok Kian.

Sebenarnya Su Hong Liang hendak mencegah tetapi terlambat. Ah Liu sudah meminta dan Bok Kianpun sudah menyanggupi. Dia hanya terkejut. Ah Liu meminta surat mentri Su Go Hwat dari Tiau Ing dan diberikan kepada Bok Kian.

Tiba2 terdengar suara kuda berlari lagi. Dan pada beberapa saat kemudian, muncul dua penunggang kuda. Yang satu seorang nona cantik dan yang satu seorang wanita berumur 40-an tahun. Kedua penunggang kuda itu berhenti di tempat rombongan anak2 muda itu.

"Ih, nona Ma," sahut Su Hong Liang seraya memberi hormat.

Nona itu mengerling pandang ke sekeliling lalu bertanya. "Engkoh Liang, siapakah nona cantik disampingmu itu ?".

"0, maaf, aku lupa memperkenalkan. Inilah adik Su Tiau Ing, puteri dari paman Su Go Hwat,” Su Hong Liang memperkenalkan kepada nona itu. “adik Ing, yang datang ini adalah Ma Giok Cu siocia, puteri tay-haksu Ma Su Ing tayin."

"O, maaf Ma siocia, aku berlaku tak hormat,” kata Tiau Ing seraya memberi hormat.

Ma Giok Cu tertawa sinis, "Tak apa Su socia, kutahu engkau tentu sedang sibuk dengan engkoh Liang. Apa saja sih yang kalian bicarakan sampai dihadiri sekian- banyak orang ini?"

Habis berkata kembali Ma Giok Cu mengeliarkan pandang memeriksa orang2 yang berada di tempat itu. Ketika pandang matanya tertumbuk pada pendekar Huru Hara, ia terkesiap kaget melihat dandanan pemuda itu. Tetapi ketika memandang Ah Liong, ia makin terbelalak. Ternyata saat itu Ah Liong deliki mata dan leletkan lidah kepadanya.

"Ih, setannnn!" teriak Ma Giok Cu. Sekalian orang terkejut dan serempak mencurah pandang kearah Ah Liong yang tengah dipandang Ma Giok Cu. Mereka terkejut tapipun geli ketika melihat Ah Liong bergaya mempertunjukkan tampang setan itu.

"Ma siocia, dia seorang bocah liar, bukan setan," kata Su Hong Liang lalu berteriak kepada Ah Liong, "Hai, setan cilik, jangan kurang ajar kepada puteri tay-haksu!”

Ah Liong menyeringai.

-0oodwoo0-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar