Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 22 Ramai2 potong ....

Jilid 22 Ramai2 potong ....

In Horg si dara centil melongok ke bawah. Memang benar. Di jalanan tampak sekawan prajurit Ceng sedang berjalan dengan seenaknya sendiri sampai memenuhi jalan. Orang2 pun pada menyingkir ke samping karena takut ketabrak.

"Hm, seperti raja saja agaknya mereka itu,” dengus In Hong dengan geram.

"Sudahlah, adik Hong, jangan cari gara2," kata Han Bi Ing.

"Ah, cici berkata begitu. Aku menurut," kata In Hong, "tetapi apakah kalau kita tak cari gara2 mereka akan puas? Tidak, Kita tidak cari gara2 tetapi mereka yang akan cari perkara."

"Itu lain soal lagi. Tetapi yang penting, kita harus hati2 menjaga diri, menahan kemarahan. Ingat, disini adalah daerah kekuasaan orang Boan. Kalau kita tidak hati2 tentu akan mendapat kesulitan,” Han Bi Ing memberi peringatan.

"Ya, mudah-mudahan saja seperti yang diharapkan," kata In Hong, "tetapi kurasa sukar. Sebagai fihak yang menang, prajurit2 Ceng itu tentu bertindak semaunya sendri. Lihat baru berjalan saja lagaknya seperti raja. Berjalan memenuhi jalan dan di sepanjang jalan bergurau. Apa mereka anggap jalan itu punya kakeknya sendiri? Bukankah rakyat diwajibkan bayar pajak segala macam?"

"Memang demikianlah tingkah laku prajurit dalam suasana perang," kata Han Bi Ing, "mereka menganggap dirinya yang paling berjasa sendiri dan paling berkuasa. Merasa harus dihormati dan disanjung-sanjung sebagai pahlawan, padahal tanpa bantuan rakyat, mana mereka mampu berperang?"

"Ah, memang manusia itu gampang lupa. Setiap orang menganggap dirinya paling berjasa,” kata In Hong.

"Baiklah cici Ing," akhirnya dara itu berkata, "aku akan berusaha untuk mengekang diri dan mudah?an tak terjadi suatu apa nanti."

Han Bi Ing tersenyum.

Apa yang dikuatirkan pemilik rumahmakan memang menjadi kenyataan. Kawanan prajurit Ceng itu masuk kedalam rumahmakan. Mereka mengambil tempat duduk dan minta disediakan arak.

Sambil menunggu, mata mereka berkeliaran memandang kian kemari pada tetamu2 yang berada dalam ruangan itu. Tak lama kemudian pelayan datang membawa arak.

"Goblok, mengapa hanya arak ?" seru salah seorang yang memelihara kumis tebal.

"Bukankah loya (tuan) tadi hanya minta arak ?"

"Babi!" tiba2 prajurit berkumis tebal itu menarik kuncir pelayan," masakan arak tak pakai daging untuk pengantarnya ?"

Pelayan itu kelabakan seperti babi yang ditarik ekornya, "Ampun, loya, nanti kuambilkan hidangan daging."

Prajurit lepaskan kuncir pelayan dan membentak, "Lekas, bawakan dua kati daging sapi bakar !'*

Pelayanpun tergopoh-gopoh masuk. Tak berapa lama seorang pelayan lain keluar dengan membawa penampan berisi hidangan dan arak yang dipesan In Hong.

"Hai, kemari dulu," teriak seorang prajurit yang hidungnya besar.

Pelayan itu terkejut. Dia hendak mengantarkan makanan itu keatas. Terpaksa dia menghampiri ke tempat kawanan prajurit Ceng itu.

"Apa itu?" seru prajurit hidung besar tadi, "buka!"

Pelayan terpaksa melakukan perintah, "Ini hidangan yang dipesan tamu diatas."

"Wou, hebat juga. Baunya menusuk hidung. Pintar sekali orang itu memesan hidangan," kata prajurit itu, "kasih kemari saja!"

Pelayan itu terkejut. "Tetapi tuan, ini pesanan tamu diatas!"

"Babi!" bentak prajurit itu, "kan bisa engkau suruh buatkan lagi. Yang itu berikan kemari."

"Tetapi tuan," kata pelayan, "tetamu diatas itu sudah sejak tadi yang pesan. Kalau membuat lagi tentu makan waktu lama."

"Eh, kurang ajar engkau, babi!" prajurit hidung besar itu terus menarik kuncir pelayan sehingga pelayan itu hampir jatuh, "lekas taruh ke meja.”

Terpaksa pelayan itu menurut.

"Hai, bung, itu pesananku. Lekas bawa kemari. Masa sudah setengah jam baru jadi," tiba2 terdengar suara seorang gadis melengking. Ketika kawanan prajurit berpaling ternyata diatas tangga, tampak seorang dara cantik sedang menuding kearah mereka.

"Maaf, nona," kata pelayan bingung, "nanti kita buatkan lagi."

“'Kan itu sudah jadi?" "Ya, tetapi "

“Terapi bagaimana?"

"Ini untuk loya disini "

"Gila! Makanan aku yang pesan mengapa engkau berikan pada orang lain! Hayo, bawa kemari!" teriak In Hong.

"Maaf, nona "

"Tidak ada maaf, lekas bawa kemari! Aku sudah lapar." "Loya kata pelayan itu kepada prajurit yang berhidung

besar.

"Suruh dia makan bersama disini kalau sudah lapar," kata prajurit berhidung besar.

"Nona, loya mempersilakan nona untuk makin bersama disini saja."

"Apa?" In Hong terus turun dari tangga dan menghampiri ke meja kawanan prajurit itu dan tanpa banyak mulut terus menyambar basi hidangan yang berisi kueh panas."

Memang kawanan prajurit itu sengaja tak menghiraukan In Hong. Mereka hendak mencoba apakah In Hong berani datang. Ternyata dara centil itu memang berani.  Begitu dara itu mengangkat basi hidangan, prajurit hidung besar segera mencekal tangan In Hong, "Ai, nona manis, makan disini saja ………” dia menarik In Hong ke pangkuannya.

"Aduhhhhh....." tiba2 prajurit itu menjerit sekeras-keras dan mendekap mukanya. Ternyata dengan berani In Hong telah mencurahkan basi berisi kuah panas itu ke kepala prajurit.

Tanpa peduli orang kesakitan, In Hong menyambar bubur kepiting lagi. Tetapi prajurit yang lain serentak berdiri dan menerkam lengan Ini Hong, "Jangan kurang ajar, anak perempuan liar. "

"Uhhhhh .. . .,'" belum sempat dia menyelesaikan kata2nya, In Hong menelungkupkan basi bubur kepiting yang masih panas itu pada muka orang.

Kawanan prajurit itu terdiri dari enam orang.. Melihat kedua kawannya dikeramasi kuah panas dan bubur kepiting, salah seorang marah dan hendak menangkap. Tetapi secepat kilat In Hong sudah mendahului menyambar sayur kakap masak tomat dan dilekatkan pada muka prajurit itu.

"Auhhhhh." seperti kawannya yang dua tadi, prajurit itupun menjerit kesakitan karena mukanya berlepotan kakap. Celakanya, ingsang darii ikan kakap yang tajam telah menusuk matanya.

Perbuatan In Hong itu tak dapat dibiarkan lagi. Ketiga prajurit yang lain serentak berbangkit dan terus menghantam, Tetapi dengan kecepatan yang luar biasa, In Hong menyambar tiga buah basi berisi hidangan dan disongsongkan, prangng, prangng, prangng , . . . basi itu pecah berhamburan tetapi tangan ketiga prajurit itupun berdarah. "Eh, budak liar, engkau benar2 kurang ajar!" teriak ketiga prajurit itu seraya maju lagi untuk menyerang.

Brakkkkkk.....In Hong menendang meja kearah mereka, Hidangan dan kuah berhamburan menimpah mereka.

Mereka makin marah. Serentak merekapun mencabut pedang dan menyerang. Prak, prak, prak, In Hong menyambar kursi dan dilemparkan kepada mereka.

Suasana menjadi gaduh tak keruan, Tetamu2 lain ketakutan dan bergegas keluar. Pemilik rumah makan segera menghampiri, "Nona, ai, celaka nih," serunya seperti orang bingung, "mengapa nona mengacau rumahmakanku

?"

"In Hong, berhenti," seru seorang gadis lain yung turun dari tangga, "pemilik rumah makan, jangan kuatir, semua kerugianmu akan kubayar."

Ternyata yang datang itu adalah Han Bi Ing. Dan di belakangnya tampak Kim Yu Ci.

"Aku sih mau2 saja berhenti," tetapi kawanan prajurit ini tak mau berhenti," seru In Hong.

Memang benar. Kawanan prajurit itu bahkan tiga prajurit yang telah diktramasi kuah dan bubur panas tadi, juga ikut mencabut senjata dan bersiap hendak menyerang In Hong.

"Berhenti," tiba2 Kim Yu Ci berseru, "segala urusan bisa diurus tanpa harus pakai kekerasan! Mengapa tuan2 hendak menyerang adikku?"

In Hong terkejut karena diaku adik oleh Kim Yu Ci, "Uh, kapan sih aku menjadi adik ibu-bapamu?" gumamnya dalam hati. Namun dia diam saja. Prajurit yang bertubuh kekar menuding Kim Yu Ci, "Ho, engkau, mengapa sebagai engkoh engkau tak mampu menghajar adik?"

"Hai, engkau tentu bukan orang sini? Mengapa engkau tak pakai kuncir? "teriak seorang prajurit yang lain.

Sebelum Kim Yu Ci menyahut, muncullah si orang kepala polisi bersama dua orang anakbuah-nya. Pemilik rumahmakan telah menyuruh seorang pegawainya untuk melapor kepada polisi tentang keributan di rumahmakan.

"Hai, siapa yang berani mengganggu keamaan itu?" seru kepala polisi itu. Dia orang she Kwan bernama Tiong, seorang kepala polisi yang menjaga keamanan kota.

. "Kwan pohtau (kepala polisi), tangkaplah gadis yang telah menyiram kuah panas kepada kawan kami," seru prajurit bertubuh kekar seraya menunjuk In Hong.

Kepala polisi kerutkan dahi. Heran dia dibuatnya mengapa kawanan prajurit Ceng yang begitu kasar dan garang dapat dicelakai seorang anak perempuan.

"Bagaimana Kwan bokthau?" tegur prajurit itu pula.

"O, ya," sahut kepala polisi, "bagaimana asal mulanya peristiwa ini?"

"Kami baik2 mengundangnya makan bersama satu meja dengan kami, dia malah marah dan mencurahkan kuah dan bubur panas kekepala kawan kami. Apakah budak liar semacam itu tak perlu ditangkap?" kata prajurit.

"Dan pemuda itu tak pakai kuncir!" seru prajurit yang lain.

"Nona, engkau harus ikut kami ke kantor polisi," seru kepala polisi. Tiba2 seorang lelaki tua melangkah masuk dan terus menghampiri kepala polisi, "Ih, ada urusan apakah ini pak polisi?" tanyanya.

"Hus, siapa engkau! Pergi, jangan campur tangan urusan polisi!" bentak kepala polisi.

Lelaki tua itu tertawa menyengir lalu lewat di samping kepala polisi dan melintas ke belakang Kim Yu Ci, lalu duduk di sebuah meja paling ujung.

"Mengapa engkau hendak menangkap aku?” tanya In Hong.

"Menurut keterangan para loya ini, engkau telah mengguyur kuah dan bubur panas ke kepala mereka, Mencelakai orang, tentu dihukum. Berat hukumannya."

"Apakah tuan percaya saja kepada keterangan mereka ?" balas In Hong.

"Prajurit kerajaan Ceng adalah pelindung rakyat dan pahlawan. Rakyat harus menghormati,” kata kepala polisi.

"Itu boleh2 saja," sahut In Hong, "tapi apakah tuan percaya saja kepada mereka ?"

"Tentu."

"Walaupun keterangan mereka itu bohong?”

"Eh, anak perempuan, jangan sembarang bicara.

Masakan para loya ini bohong ?"

"Apakah tuan tak perlu tanya keterangan kepadaku dan terus mau main tangkap saja ?"

"Apakah engkau merasa tindakanmu mengguyur kuah dan bubur panas ke kepala orang suatu perbuatan yang benar ?" "Benar atau tidak, harus ditimbang dulu bagaimana asal mula perkaranya. Pokoknya, tuan hanya menerima keterangan mereka saja apa akan minta keterangan dari orang yang tersangkut?'

"Hm, paling keteranganmu itu tentu membela diri dari kesalahan."

"Habis, apa aku harus mengatakan tuan ini seorang kepala penjahat kalau kenyataan tuan ini seorang kepala polisi ?" In Hong menjawab dengan berani.

Brak, brak, brak....

Terdengar suara meja ditampar keras dan menyusul terdengar suara parau berteriak, "Hai, mana pelayan? Ini rumahmakan atau rumah sakit ?"

Sekalian berpaling. Ternyata yang menggebrak meja itu tak lain adalah lelaki tua berwajah bocah tadi.

"Seret orang itu keluar!" perintah kepala polisi kepada kedua anakbuahnya.

"Apa salahku? Hai, kepala polisi, aku akan menghadap raja untuk melaporkan perbuatan yang sewenang-wenang ini. Masakan orang tak salah engkau usir dari rumahmakan

? Engkau kira aku tak punya uang ?" kakek berwajah bocah itu berteriak kalang kabut ketika diseret keluar oleh dua orang polisi.

'Tuan," kata Han Bi Ing," baiklah tuan tanyakan kepada saksi yang tahu tentang peristiwa tadi.”

"Siapa saksinya ? Tetamu2 sudah meninggalkan rumahmakan ini," kata kepala polisi.

"Pemilik rumahmakan dan pelayan ini mengetahui peristiwa itu. Silakan tuan tanya kepada mereka," kata Han Bi Ing. "Bagaimana ?" karena malu terhadap seorang nona cantik, kepala polisi itu menegur pelayan!

"A . . . a . . . anu tuan polisi.. ,." Pelayan itu tergagap- gagap dan tak melanjutkan omongannya ketika beradu pandang dengan prajurit Ceng yang bertubuh kekar.

"Lekas katakan yang genah !" bentak kepala polisi. "Lo .. . lo . .. loya itu .. . be, be . .. nar ..”

"Bangsat !" damprat In Hong," engkau berani bohong ?

Bukankah hidangan yang kupesan itu diserobot mereka ?"

"Sebenarnya kami sudah berjanji hendak membuatkan lagi untuk nona, tetapi nona tak mau dan "

"Bangsat engkau!' In Hong terus hendak menampar pelayan itu tetapi dicegah Han Bi lng "jangan adik Hong."

"Nih, jelas bahwa nonalah yang bersalah." kata kepala polisi.

"Dan pokthau." kata prajurit bertubuh kekar, "pemuda itu juga melanggar undang2 karena tak mau memelihara kuncir."

"O," kepala polisi menyalangkan mata kearah Kim Yu Ci. Ia terbeliak, '"Ah, apakah loya tidak salah lihat ? Bukankah pemuda itu sudah pakai kuncir ?"

"Hah ?" prajurit tegap itu membelalakkan mata, "tetapi dia tadi      dia tadi tak pakai kuncir, pokthau dia berpaling

kepada kepala polisi itu dan tiba2 berteriak, "hai, mengapa .

. . mengapa pokthau sendiri tak memakai kuncir !"

"Apa ?" teriak kepala polisi Kwan Tiong dengan kaget dan serentak merabah batok kepadanya, "astaga ! Kemana kuncirku ?" "Engkau juga tak pakai kuncir !" teriak In Horg seraya menuding pada prajurit tegap itu.

Prajurit pucat dan serentak merabah kepalanya, "Celaka

!" ia melonjak kaget, “kuncirku "

"Jatuh !" seru kawannya yang melihat seikal rambut jatuh di tanah. Prajurit tegap itu serentak menyambar kucir dan terlongong- longong memandangnya, "Mengapa kuncirku jatuh ?"

"Tuan kepala polisi, tangkap orang tak berkuncir ini!" teriak In Hong.

Kepala polisi Koan tercengang.'

"Hai, prajurit2, lekas tangkap dan bawa kedua orang tak berkuncir ini kepada pembesarmu!"

Beberapa prajurit itu tertegun. “Ha, kalian tak mau menangkap? Baik, aku akan melaporkan kepada pembesarmu," gertak In Hong seraya hendak keluar.

"Tunggu !" teriak kepala polisi lalu berpaling kepada kawanan prajurit," mari kita pergi!" Dia terus melangkah keluar.

Kawanan prajurit itupun mengikuti langkahnya. Rupanya mereka menyadari bahwa rombongan gadis itu memang pemuda2 yang berilmu tinggi Apalagi prajurit bertubuh tegap yang menjadi kepala mereka, kuncirnya putus.

Memang pada waktu kerajaan Ceng mengumumkan bahwa setiap arang lelaki harus memelihara kuncir, terjadilah reaksi yang keras di kalangan rakyat Han. Oieh karena itu kerajaan Ceng pun menjalankan peraturan itu dengan keras. Barangsiapa berani melanggar perintah itu akan dihukum rangket sampai 50 kali. Dan apabila untuk yang kedua kalinya masih melanggar, akan dihukum mati.

Itulah sebabnya kepala polisi begitu ketakutan setengah mati karena kehilangan kuncir, demikian pula dengan kawanan prajurit. Sebagai hamba hukum dan prajurit hukumannya jauh lebih berat apabila berani melanggar undang-undang itu.

"Ah, adik Hong, mengapa engkau cari gara2 lagi ?" tegur Han Bi Ing.

"Bukan aku yang bersalah," bantah In Hong "masa hidangan pesanan kita diserobot seenaknya sendiri oleh prajurit itu."

Sementara itu tampak Kim Yu Ci tertegun.

"Kim kongcu, dari mana engkau memperoleh kuncir itu?" tegur Han Bi Ing.

Kim Yu Ci geleng2 kepala, "Aku sendiri juga tak tahu," katanya seraya hendak mencabut Kuncir yang melekat pada tengkuknya.

"Jangan," seru In Hong, "daripada menghadapi banyak kesulitan lebih baik engkau pakai saja kuncir itu."

"Apakah kuncir itu benar dari rambutmu sendiri?" tanya Han Bi Ing pula.

"Bukan," jawab Kim Yu Ci, "kuncir itu melekat pada rambut tengkukku."

"Siapakah yang memasangnya?"

"Itulah yang menjadi pemikiranku. Pada hal jelas tiada orang yang masuk kemari, mengapa tahu2 aku mempunyai kuncir!" Beberapa saat kemudian, In Hong seperti teringat sesuatu, serunya, "Ah, orangtua yang berwajah tertawa  tadi, apakah bukan dia "

"Ah, dia kan terus diringkus polisi dan diseret keluar," bantah Han Bi Ing, "bagaimana mungkin dia dapat mencomot kuncir kepala polisi dan dipasang di rambutmu?"

Baik Kim Yu Ci maupun Han Bi Ing tak dapat menjawab pertanyaan itu.

"Apakah engkau tak merasakan suatu apa ketika kuncir itu nomplok di rambutmu?" tanya In-Hong pula.

Kim Yu Ci hanya gelengkan kepala, “Ya, aku memang mencurigai orangtua itu. Selain dia tiada orang lain yang masuk ke ruang ini."

"Dan mengapa kuncir dari prajurit bertubuh tegap tadi juga putus? Apakah kuncir mereka memang kuncir pasangan?"

Sebelum mendapat jawaban, In Hong sudah memanggil pelayan, "Hai, bung, apakah kuncirmu aseli atau pasangan?"

"Aseli, nona," kata pelayan. "Masa iya, coba kuperiksanya," In Hong suruh pelayan itu berputar badan lalu ia memegal kuncir pelayan, "ah, pasangan juga! Hm, sudah dua kali engkau bohong, bung! Nah, buktinya kuncirmu dapat kuambil!'' dia terus melemparkan kuncir pelayan itu ke lantai.

Sudah tentu pelayan itu kaget setengah mati. Kuncir itu memang tumbuh dari rambutnya dan dipelihara sampai panjang. Mengapa sekarang terlepas.

"Hayo, celaka," pelayan menyambar kunci terus lari masuk kedalam. Melihat itu pemilik rumahmakan merabai dan menarik- narik kuncirnya. Dia legah karena kuncirrya tidak lepas tetapi dia kuatir akan terjadi apa2 maka dia terus mendekapnya saja seperti takut kalau jatuh.

Han Bi Ing geleng2 kepala, "Ah, engkau memang nakal, adik Hong."

"Sebagai hukuman dari kebohongannya tadi," bisik In Hong.

"Ciangkui," kata Han Bi Ing seraya menghampiri pemilik rumahmakan. Ia memberikan dua tail emas, "kiranya ini cukup untuk pengganti semua kerusakan disini."

"Terima kasih," dengan tangan kiri masih mendekap kuncir, tangan kanan menerima uang pemberian si nona.

"Eh, apa-apaan itu? Mengapa kuncir kok di dekap terus menerus? Apa takut terbang?" tegur In Hong.

Pemilik rurnahmakan hanya tertawa menyengir.

"Nona," katanya, "kurasa nona sekalian lebih baik lekas2 tinggalkan kota ini. Karena dikuatirkan tak lama lagi prajurit2 Ceng itu akan datang untuk menangkap nona dan tuan."

"Ya," kata Han Bi Ing lalu mengajak kedua kawannya pergi.

"Pergi sih boleh saja, tetapi bagaimana dengan perutku yang masih kosong ini?" lengking In Hong.

"Wahhhh," pemilik rurnahmakan garuk2 kepalanya, "kalau harus masak tentu makan waktu. bagaimana kalau kusuruh membungkuskan bakpau saja?

Tanpa menunggu persetujuan orang, pemilik rumahmakan segera suruh tukang masak membungkuskan sepuluh butir bakpau. 

Kota Thay-goan adalah ibukota propiri San-se. Merupakan dataran yang dikelilingi oleh pegunungan. Di sebelah selatan gunung Tiong thiau-san, di sebelah utara tembok raksasa Ban li-tiang-shia yang membatasi tanah Tiong-goa dengan Mongolia. Lalu disebelah timur-laut gunung Ngo-tay san dan disebelah tenggara gunung Thay- heng-san. Puncak gunung Ngo tay-san mencapai ketinggian 3000 meter, merupakan salah satu dari Panca-giri (lima gunung ) yang tertingj di benua Tiong-goan.

Setelah melintasi propinsi Siam-say maka ketiga anakmuda itupun memasuki wilayah San yang saat itu sudah diduduki oleh kerajaan Ceng atau Boan-ciu.

Saat itu mereka tiba di sebuah kota kecil di kaki pegunungan Lu-liang-san dan mengalami peristiwa lucu di rumahmakan.

Sekeluar dari rumahmakan mereka hendak melanjutkan perjalanan ke timur. Singkatnya ditengah jalan mereka tak mengalami gangguan apa-apa. Mungkin merekapun memang bertindak hati2, sedapat mungkin menghindari jalan besar dan kota yang ramai. Mereka lebih senang mengambil jalan yang sepi di pegunungan dan desa?. Dengan tindakan itulah maka mereka dapat tiba di kota Thay-goan dengan selamat.

Sebelum memasuki kota, berkatalah KimYu Ci, "Suasana dalam kota tentu jauh berbeda ketika masih  dalam kekuasaan kerajaan Beng. Kurasa baiklah kita menyamar. Terutama penting sekali bagi nona Han agar jangan diketahui musuh"

"Menyamar bagaimana ?" tanya In Hong. "Kalau kita menyamar sebagai pelancong, tentu mudah menimbulkan perhatian orang. Masa dalam suasana perang, orang sempat untuk melancong,” kata Kim Yu Ci, "maka sebaiknya kita menyamar saja sebagai rakyat desa yang hendak menjual barang ke kota. Bagaimana ?"

"Wah, berabe," kata In Hong, "kalau engkau sih mudah saja, Tetapi bagaimana dengan cici Ing ? Masakan orang takkan kaget melihat seorang desa yang secantik dia ?"

"Hi, adik Hong, engkau memang suka menggoda orang, Cobalah engkau berkaca, apakah orang jaga akan percaya kalau orang desa secantik engkau ?"

Kim Yu Ci menganggiu, "Ya, memang begitu. Lalu harus menyamar jadi apa ?"

"Itu mudah saja," kata In Hong, "yang tepat kalau aku dan cici Ing menyamar sebagai rahib."

"Menjadi rahib ?" ulang Kim Yu Ci, "tetapi apakah didalam kota terdapat biara ?"

"Ada," sahut Han Bi Ing, "bahkan beberapa buah. Yang terkenal adalah biara Sam-im lahnya."

"Ya, itu memang tepat," kata Kim Yu Ci tetapi dari mana kita dapat memperoleh pakaian rahib?"

In Hong tak dapat menjawab.

"Kalau menyamar sebagai rakyat desa mudah saja kita beli pakaiannya," tambah Kim Yu Ci.

"Cici Ing," kata In Hong, "biara yang terletak agak diluar kota ?"

"Ya, ada. Biara Ceng-leng-kwan. Letak, memang disebelah luar tembok kota," kata Bi Ing. "Itulah," seru In Hong, "kita ke sana mencuri jubah rahib untuk kita berdua. Dan baimana untuk engkau ?" tanyanya kepada Kl Yu Ci.

"Kupikir," kata Kim Yu Ci, "aku akan  menyaru  sebagai. "

"Paderi gundu! saja !"

"Wah, wah, jangan dong," kata Kim Yu Ci, kalau airmuka dilumuri kotoran atau bedak untuk berganti wajah, itu sih mudah saja kalau sudah selesai lalu dicuci. Tetapi kalau ranbut sudah terlanjur di gundul, apakah bisa tumbuh dengan cepat? Jangan2 aku nanti dikira paderi murtad.”

In Hong tertawa.

'Dengan aku menyaru sebagai rakyat dan kalian sebagai rahib, tentulah orang tak menyangka kalau kita ini sekawan sehingga mengurangkan perhatian orang."

Setelah mencapai sepakat maka bertanyalah Kim Yu Ci, "Jika demikian mari kita menuju ke biara itu."

Biara Ceng-leng-kwan tidak berapa besar dan teeletak di pinggiran kota. Kepala biara bernama Gok Sian suthay, berumur enampuluhan tahun. Mempunyai dua orang murid Lian Ceng dan Lian Kiat, dua saudara kembar yang baru berumur duapuluhan tahun.

Setelah tiba di biara itu maka Kim Yu Ci berkata, "Harap nona berdua tunggu disini, akulah yang akan mengambilkan pakaian rahib."

"Ah, jangan," kata In Hong, "engkau seorang lelaki dan rahib2 di biara itu semua wanita. Apakah engkau tidak sungkan ?" "Habis ?" kata Kim Yu Ci, "ini kan urusan penting. Apalagi kita ini kan kaum persilatan, mengapa harus malu

?"

"Lebih baik aku sajalah," seru In Hong. tetapi. ”

"Apa engkau kira aku tak mampu melakukan ? Bukankah mereka itu hanya rahib2 yang hanya mengurusi biara dan membaca kitab ?"

Kim Yu Ci gelengkan kepala, "Jangan meremehkan kaum paderi dan rahib. Tidak semua kaum paderi dan rahib itu hanya membaca kitab saja. Merekapun diberi latihan bersemedhi dan ilmusilat untuk menjaga kesehatan. Lihat tuh ceritanya vihara Siau-lim. Dulu pendirinya. Tat cousu. telah memberi pelajaran silat. Pelajaran sesungguhnya sebagai suatu gerak badan agar kesehatan mereka baik dan semangat tidak lesu. tapi lama kelamaan ilmusilat itu menjadi suatu senjata untuk berkelahi. Kalau untuk bela- diri baik saja, tetapi ada juga yang digunakan untu mencelakai orang, menjadi jagoan."

"Sudahlah," tukas In Hong, "pokoknya aku tentu mampu mencuri pakaian mereka! Harap tunggu disini, jangan pergi kemana-mana.”

Habis berkata dara itu terus melesat pergi. Kim Yu Ci menghela napas., "Ah, anak perempuan itu memang garang sekali. Dia belum tahu pengalaman di dunia persilatan. Mudah-mudahan tak terjadi suatu apa."

'Ya, dia masih bersifat kekanak-kanakan segala apa mau menang sendiri," kata Han Bi Ing, "tetapi dia sebenarnya besar sekali rasa setiakawan dan penuh tanggung jawab."

Cepat In Hong sudah mendekati biara gerumbul pohon yang gelap, dia maju rnenghampiri biara. Biara itu tampak sunyi, karena itu sudah larut malam. Tetapi anehnya pintu ruang depan tak tertutup. In Hong melangkah masuk. Meja sembahyang yang berada dalam ruang tengah itu masih menyala lilinnya. Yang dipuja di meja sembahyang itu adalah arca Dewi Koan Im. Dan di kanan kiri meja dapat arca dua orang sian-thong ( kacung nya).

Tiba2 mata In Hong menyala ketika melihat dialas meja sembahyangan itu masih terdapat sesaji buah-buahan, antara lain buah li ( peer ) sudah lama dia tak makan buah- buahan. Seketika timbullah seleranya. Maka diapun maju ke meja dan wutttt, ia terus menyambar buah li.

"Uh ia mendesuh kaget ketika buah li itu dapat bergerak menghindar ke samping.

"Ah, mungkin karena tertampar oleh angin gerak tanganku, buah itu menggelinding," pikirnya.

Dia terus mengulangi lagi, menyambar buah itu, Uhhh . .

. , " kembali ia melongo karena buah itu menggelinding lagi ke samping.

"Gila, masakan menyambar buah li saja sampai dua kali kok tak mampu," ia mulai geram.

Setelah memperhatikan posisinya, In Hong menyambar lagi. Kali ini dia bergerak dengan amat cepat.

"Ihhhh," kembali mulutnya mendesis karena sambarannya itu luput lagi. Kali ini bukan menggelinding ke samping tetapi mencelat keatas lalu jatuh lagi.

"G.la!" dengus In Hong. Dia makin penasaran. Disambarnya lagi, eh, buah li itu dapat melejit ke belakang.

In Hong tidak menyadari bahwa tak mungkin buah li dapat bergerak dan mencelat kalau tidak digerakkan tenaga orang. Tetapi dalam anggapan dia mengira buah itu bergerak karena tertampar oleh angin gerak tangannya. "Ah, tak perlu di sambar, cukup pelahan-lahan agar tidak menimbulkan angin," akhirnyal ia mendapat akal.

Kali ini tangannya maju direntang seperti anak yang hendak mendekap cengkerik. Pelahan-lahan tangannya makin mendekati buah itu. Dan ketika tinggal sejari jauhnya, dia terus menyambar, uhhhh .... buah itu melejit ke atas.

"Ah, goblok, mengapa aku tak dapat bersabar," ia menyalahkan dirinya sendiri. Diulanginya lagi untuk  ajukan tangannya mendekati buah itu. Ketika tiba di dekat buah, dia memang dapat mengendalikan diri untuk tidak cepat2 meraih, melainkan julurkan jari telunjuk untuk menyentuh buah itu, ih ... . hanya tersentuh sedikit saja, buah itu teras melejit ke muka.

Kali ini In Hong benar2 kaget. Mengapa begitu tersentuh, buah terus mencelat? Padahal pclahan sekali ujung jarinya itu menyentuhnya.

"Apakah buah itu bernyawa. Ataukah ruang ini ada psnunggunya ………,” baru dia berkata begitu tiba2 sepasang lilin yang terletak di meja bergerak-gerak, berpindah tempat. Sudah tentu In Hong terbelalak kaget.

"Edan," gumamnya, "masakan lilin dapat berpindah tempat, buah dapat bergerak dan melejit!"

Yang lebih gila lagi, sekonyong-konyong sepasang lilin yang berpindah tempat itu padam. Seketika ruang itupun gelap gulita.

"Anak perempuan, engkau berani mencuri buahku?" tiba2 telinga In Hong seperti terngiang suara halus macam denging nyamuk.

Sudah tentu In Hong melonjak seperti meliuk ular. Suara apakah itu? Dia tabahkan hati dan mencabut pedangnya. "Ho, anak perempuan, engkau berani melawan aku? Akulah Dewi Koan Im yang dipuja di sini…….. " kembali telinga In Hong terngiang suara halus seperti nyamuk.

Seketika lilinpun menyala lagi. Dan memandang ke muka, In Hong masih melihat arca Dewi Koan Im itu seperti tersenyum kepadanya. "Hayo, engkau harus berlutut menghaturkan maaf kepada Dewi . . . . " tiba2 telinga In Hong giang suara nyamuk itu dan tanpa terasa, lututnyapun terkulai melentuk dan bluk, In Hong jatuh berlutut di depm meja sembahyang.

Dia terkejut dan hendak meronta berbangkit tetapi lututnya sukar digerakkan.

"Hm, anak perempuan, kalau engkau tetap tak mau minta ampun, engkau akan kusuruh berlutut sampai besok siang ..." telinganya terngiang pula suara nyamuk itu.

"Siapa engkau?" tanyanya. Ia tak tahu siapa yang bicara itu. Maka iapun hanya sekedar bertanya tanpa mengetahui kepada siapa pertanyaan itu ia ajukan,

"Aku penunggu biara ini. Bukankah engkau ini seorang pencuri?" terdengar suara itu mengiang di telinganya.

"Ti . . . dak . . . aku bukan pencuri."

"Hm, aku adalah sin-beng (malaekat) yang tahu isi hati orang, mengapa engkau berani bohong kepadaku?"

"Kalau malaekat, cobalah engkau tunjuk muka, jangan bersembunyi."

"Aku sudah berada di depanmu, engkau sendiri yang tak tahu. Tidak percaya?"

"Mengapa aku tak dapat melihatmu?"

"Engkau bangsa manusia, tentu saja tak dapat melihat perwujudanku. Yang penting, kau haturkan maaf kepada Dewi. Dewi Koan !m adalah dewi pengasih dan penyayang, apa permintaanmu tentu akan dikabulkan. "

In Hong diam. Dia masih tak percaya.

"Budak perempuan, apakah engkau minta dipaksa ? Baiklah....." begitu telinganya terngiang suara halus itu, leher In Hong terasa kencang lalu terus melentuk ke muka, kepala menunduk sampai ke tanah.

Dara itu terkejut dan coba hendak meronta tetapi percuma. Dia tak dapat menggerakkan leher mengangkat kepala.

"Hayo, kalau tak mau minta ampun, engkau lurus menunduk sampai besok siang dimana kepala biara ini tentu akan mengetahui perbuatanmu ……”

In Hong terkejut, heran, cemas tetapipun menyerah. Dia benar2 tak dapat berkutik. Diam-diam ia menimang, "Apa sih beratnya untuk mengucapkan kata2 itu ? Daripada aku begini sampai besok pagi dan dipergoki rahib biara ini, kan lebih baik aku menurut dulu. "

Setelah memutuskan, diapun segera mengutipkan kata2 seperti yang diajarkan suara gaib tadi. Habis mengucap, eh, tahu2 dia dapat bergerak lagi. Cepat dia berbangkit. Belum berbuat apa2, tiba2 buah li tadi menggelinding dan mencelat ke arah dadanya. C;pat dia menyanggapinya.

"Makan………” terngiang pula suara halus itu ditelinga In Hong.

In Hong terpaksa menurut. Memang enak rasanya buah li itu. Setelah makan maksudnya di hendak cepat2 tinggalkan ruang sembahyang itu. Ia benar2 kapok mengganggu sesaji yang diperuntukkan Dewi Koan Im. Tetapi entah bagaimana sehabis makan buah |i, ia rasakan matanya ngantuk sekali. Sedemikian ngantuk sampai sukar dibuka. Dan akhirnya ia pun menyerah saja, terus menggeletak tidur.

Han Bi Ing yang menunggu di hutan, mulai cemas. Mengapa sampai sejam lamanya belum juga In Hong muncul. Ditunggunya lagi sampai sejam. Dan waktu sudah tiga jam lamanya, Han Ing tak dapat menahan kesabarannya lagi.

"Kim kongcu, bagaimanakah dengan Hong."

"Ya, anak prempuan itu memang bandel,” kata Kim Yu Ci, "seharusnya dia sudah kembali.”

"Lalu bagaimana?"

"Engkau berani menunggu seorang diri di sini?" "Takut apa?"

"Kalau begitu biarlah kususulnya saja,” Kim Yu Ci yang terus lari menuju ke biara.

Saat itu rembulan sudah condong ke barat. Ruang depan dari biara itu gelap tiada penerangannya lagi. Kemanakah ia harus mencari jejak dara itu?

"Adakah kepala biara ini, seorang rahib yang sakti?"'pikirnya.  Ia mempunyai alasan untuk menduga begitu. In Hong juga memiliki kepandaian yang cukup tinggi tetapi mengapa sudah tiga jam berada dalam biara itu tak juga dara itu kembali lagi?

Kim Yu Ci menjemput kerikil dan dilontarkan ke genteng. Cara itu adalah cara yang digunakan oleh kaum ya-heng-jin (kaum persilatan yung bekerja pada malam hari) untuk menyelidiki apakah penghuni rumah sudah tidur atau belum.

Suara berkelotekan dari batu kerikil yang menggelinding di atap, tiada bersambut. Tiada suara dari penghuni yang terdengar bangun.

Kim Yu Ci memberanikan diri. Dia tak mau langsung memasuki ruang dalam, melainkan Ioncat ke atas genteng. Baru kakinya menginjak gentong, tiba2 setiup angin tajam telah menyambar kearahnya.

“Hm, kurang ajar, ada orang yang menyerang aku dengan senjata rahasia," pikirnya. Dia diam saja. Begitu benda itu tiba, dia segera menamparnya, plek.....

"Ih . . . . , "dia mendesis ketika merasakan bahwa yang ditampar itu bukan senjata rahasia yang berbahaya melainkan sehelai daun.

"Kurang ajar !" gumamnya namun pada lain saat dia terkesiap. Orang yang mampu melontarkan daun seperti melontar senjata rahasia terang tentu memiliki tenaga- dalam yang luar biasa hebatnya.

"Celaka, ada orang sakti yang hendak menganggu aku," pikirnya. Mendekam diatas wuwingan genteng, ia memandang kesekeliling penjuru. Namun ia tak menemukan sesuatu yang layak dicurigai. Empat penjuru sunyi senyap terbungkus dalam kegelapan malam yang kelam. Tiba2 ia melihat sesosok tubuh memberosot lari dari balik gerumbul,

"Ho, engkau," kata Kim Yu Ci seraya loncat turun untuk mengejar.

Ternyata orang itu amat tangkas dan sekali. Kim Yu Ci terus mengejar sampai tiba sebuah lembah barulah orang itu berhenti.

"Ho, mau apa engkau mengejar aku ?" tegur orang itu. Suaranya parau. Dan Kim Yu Ci seperti pernah mendengar nada suara orang itu tapi entah dimana ia sudah lupa.

"Siapa engkau ?"

"Apa pedulimu aku siapa ?"

"Bukankah yang menyerang aku dengan lemparan daun tadi, engkau ?"

"Apa engkau anggap aku mampu melakukan itu ?" balas orang yang wajahnya pucat seperli mayat.

"Hm, tiada lain orang kecuali engkau !" "Lalu apa maksudmu?'' tanya orang' itu.

"Engkau hurus mengatakan siapa dirimu dan apn maksudmu mengganggu aku ?"

"Kalau aku tak mau mengatakan ?"

"Harus mau !" bentak Kim Yu Ci seraya terus menyambar orang itu. Tetapi dia terkejut sekali karena orang itu mampu menghindar dari tangannya.

Dahulu karena hendak menuntut balas kepada Kim Thian Cong maka Kim Yu Ci menyaru sebagai Kim Thian Cong. Dia bermarkas di gunung Hung san dan mendirikan Perkumpulan Seng-lian-kau. Selain untuk mencari Kim Thian Cong, pun ia bermaksud untuk menjagoi dunia persilatan. Sudah barang tentu dia memiliki kepandaian yang sakti sehingga mampu mengalahkan tokoh2 persilatan.

Peristiwa itu menggemparkan dunia persilatan. Ketua dari tujuh partai persilatan yang ternama sampai kelabakan. Akhirnya tampillah pendekar Bloon untuk menghadapinya. Untung pada waktu mereka berdua bertempur mencapai detik2 yang gawat, datanglah Hiang Hiang niocu untuk mendamaikan dan menceritakan siapa sebenarnya mereka itu.

Ternyata orang yang menyamar sebagai Kim Thian Cong itu adalah Kim Yu Ci. Dan Kim Yu Ci itu ternyata putera dari Hiang Hiang niocu dengan Kim Thian Cong, Blo'on putera Kim Thian Cong dari ibu lain. Dengan demikian Kim YuCi dan Kim Yu Yong (Blo'on) itu adalah saudara tunggal ayah lain ibu.

Tentang kisah yang menarik itu, anda dapat mengetahui dalam cersil Pendekar Blo'on yang lalu.

Maka tak heran kalau Kim Yu Ci terkejut karena orang bermuka pucat itu mampu lolos dari sergapannya.

"Hm, engkau ternyata hebat juga," dengus Kim Yu Ci seraya melanjutkan serangannya. Tetapi tiba2 orang itu berseru, "Aya, celaka, maksud baik disangka jelek , ."

Habis berkata orang itu terus loncat dan melarikan diri. Kim Yu Ci tertegun mendengar kata orang itu Hanya sejenak dia terdiam atau orang itu sudah lenyap dalam kegelapan malam.

"Luar biasa sekali ilmu ginkang orang itu,” kata Kim Yu Ci sesaat kemudian. Akhirnya terpaksa dia kembali ke biara lagi. Ah, ternyata halaman biara dia telah menyaksikan suatu pemandangan yamg menegangkan. Ditingkah oleh sinar bulan remang, saat di halaman  biara sedang berlangsung pertempuran yang seru antara tiga sosok bayangan hitam.

Kim Yu Ci tak tahu siapa mereka itu. Tetapi sesaat kemudian dia baru dapat melihat bahwa yang bertempur itu adalah seorang rahib tua melawan dua orang paderi. Walaupun tak tahu siapa mereka tetapi Kim Yu Ci rasakan suatu keganjilan. Mengapa dua orang paderi lelaki tak sungkan mengeroyok seorang rahib wanita tua ? Dan mengapa diantara sesama kaum agama mereka harus berkelahi ?

Seketika timbullah keinginan Kim Yu Ci untuk melerai. Tetapi mereka berkelahi sedemikian seru sehingga seolah ketiga sosok bayangan itu tergabung menjadi satu.

"Hai, taysu dan suthay yang bertempur, kuharap sukalah berhenti dulu," serunya untuk menghentikan pertempuran itu.

Tetapi mereka tak mengacuhkan.

"Taysu, aku bermaksud baik untuk mendamaikan urusan kalian. Harap taysu hentikan pertempuran dulu," Kim Yu Ci mengulang seruannya.

Namun tetap tak diacuhkan.

"Maaf, taysu dan sin-ni, apabila seruanku tak dihiraukan, terpaksa aku akan bertindak," untuk yang terakhir kalinya Kim Yu Ci memberi peringatan.

Tiba2 salah seorang paderi melesat ke tempat Kim Yu Ci dan terus menghantam," Jangan mengganggu kesenangan kami, bocah liar !" Kim Yu Ci terkejut. Ia tak menyangka paderi itu begitu galak. Begitu datang terus melancarkan pukulan yang berbahaya. Kim Yu Ci menghindar ke samping.

"Tunggu !" serunya.

Paderi itu terkejut ketika serangannya da dihindari Kim Yu Ci. Dia mulai penasaran. Tanpa mengacuhkan permintaan orang, secepat mengisar tubuh, paderi itu menyerang Kim Yu Ci lagi dengan jurus yang lebih dahsyat.

"Gila engkau !" teriak Kim Yu Ci seraya gunakan gerak Lok-gan-peng-sat atau Belibis-jatuh mendatar. Dia ayunkan tubuh melesat lurus ke samping.

"Ho, bocah liar, engkau anakbuah rahib itu, ya ?" kembali paderi tua melancarkan serangan.

"Bukan, harap taysu jangan salah faham. Aku pendatang baru ditempat ini," seru Kim Yu Ci menyingkir dari serangan.

Tetapi paderi tua itu tak mau mendengar keterangan Kim Yu Ci. Dia tetap melanjutkan serangannya sehingga Kim Yu Ci sibuk harus menghindar kian kemari.

"Mampus lu !" teriak paderi tua itu ketika melepaskan sebuah pukulan Kim - kong-tua-li yang dahsyat. Bum.....sebatang pohon yang berada di belakang Kim Yu Ci, karena anak muda itu menghindar, tumbang seketika. Dan walaupun tidak kena tapi bahu Kim Yu Ci terasa sakit karena terlanggar sambaran angin pukulan tenaga-dalam yang dahsyat itu.

Bagaimanapun sabarnya namun Kim Yu Ci juga seorang anakmuda yang masih berdarah panas. Ia marah melihat perbuatan paderi itu. "Paderi, mengapa engkau bertingkah seliar itu? Apa engkau kira aku takut kepadamu?"

Baru Kim Yu Ci berkata begitu, paderi tua Itu sudah loncat menghantamnya lagi. "Jangan banyak mulut, anak liar!"

Krakkkkk.....

Kali ini Kim Yu Ci tak mau menghindar, la ingin menjajal kekuatan paderi tua itu. Ditangkisnya pukulan si paderi. Seketika terdengar letupan keras dari dua kerat tulang yang saling berbentur.

"Ih. , " Kim Yu Ci tergetar bahunya.

"Uh. . . . , "paderi tua itu mendesuh ketika tubuhnya tersurut mundur selangkah. Wajahnya pucat dan sepasang matanya melotot kepada Kim Yu Ci.

"Taysu, apakah engkau masih hendak mengadu kekuatan?" tegur Kim Yu Ci.

"Siapa engkau! "sesaat kemudian paderi tua Ku membentak.

"Telah kukatakan tadi, aku seorang pejalan yang kebetulan lalu disini. Karena melihat taysu bertempur dengan seorang suthay maka akupun berhenti dan bermaksud hendak melerai," kata Kim Yu Ci.

"Ini bukan urusanmu, jangan engkau ikut campur!" seru paderi tua itu.

"Ah, mengapa taysu berkata begitu?" sahut Kim Yu Ci, "bukankah kaum agama itu menjungjung welas asih dan perdamaian?"

"Sekali lagi kukatakan, ini bukan urusanmu jangan turut campur!" "Melihat hal yang ganjil tidak berbuat apa-apa itu menyalahi laku seorang ksatrya."

"Ho, ksatrya? Engkau menganggap diri mu seorang ksatrya?"

"Aku tidak menganggap tetapi aku hanya berusaha untuk mendidik diriku supaya melaksanakan laku seorang ksatrya."

"Hm, ternyata engkau memang bandel. Ah tiada tempo meladeni engkau!" seru paderi tua itu terus berputar tubuh dan hendak loncat ke tengah gelanggang lagi.

"Taysu!" dengan sebuah gerak loncatan yang teramat gesit, Kim Yu Ci sudah menghadang muka paderi tua.

"Bangsat, mampus engkau!" paderi itu lepaskan sebuah pukulan tenaga-dalam hebat Biat gong-ciang atau pukulan Membelah-angkasa.

“Bagus!" seru Kim Yu Ci yang serentak menyambut dengan pukulan Coh kut-hun-kiu-ci atau pukulan Mengisar- tulang memisah-urat.

Dulu ketika masih bayi, Kim Yu Ci telah direbut dari tangan ibunya (Hiang Hiang niocu) oleh Bu Beng lojin, ketua Seng-lian kau. Dari Bu Beng lojin itulah Kim Yu Ci telah memperoleh ilmu kepandaian yang sakti. Diantaranya yalah pukulan Coh kut-hun kin-ciang.

Sebenarnya pukulan itu sumbernya dari perguruan Kun- lun pay karena Bu Beng lojin itu sungguhnya juga berasal dari perguruan Kun-lun pay tetapi kemudian dia mengembara dan menidirikan perguruan sendiri. Pukulan Coh-kut-Kun-ciang telah disempurnakan oleh Bu Beng lojin hingga jauh lebih hebat dari sumbernya yang mula perguruan Kun-lun-pay. Pukulan itu dilancarkan dengan tenaga-dalam yang tinggi. Dapat digunakan memukul jarak jauh. Lawan yang terkena akan menjerit sakitan karena tulang2nya berkisar dan urat2nyapun berantakan.

"Auhhhhh…..” paderi tua menjerit tak tahan dan cepat loncat mundur terus melarikan diri sambil  mendekap lengan kanannya.

Tetapi Kim Yu Ci sendiri juga tertegun, rasakan darah dalam dadanya bergolak keras hingga menyesakkan napas. Terpaksa dia hanya tegak berdiam diri menyalurkan pernapisan untuk menenangkan gejolak darahnya;

Dalam pada itu, di partai pertempuran antara rahib dengan paderi tua kawan paderi yang kabur tadi, pun telah mencapai penyelesaian.

"Giok Sian sumoay, apakah engkau benar2 tak mau menyerahkan warisan guru ?" seru paderi tua itu.

"Aku hanya melakukan pesan suhu. Kecuali engkau benar2 sudah mau insyaf dan kembali ke jalan yang benar, barulah nanti akan kupertimbangkan lagi permintaanmu itu," sahut rahib tua.

"Ke jalan benar ? Apakah jalan hidup yang kutempuh ini salah ?"

"Apa salah sebuah pantangan yang suhu berikan kepada kita ?"

"Banyak, aku tak ingat."

"Baik, aku yang mengatakan, dengarkan,” kata rahib tua itu," bahwa salah satu pantangan dari suhu yang diberikan kepada kita yalah tidak boleh menjadi penghianat!"

Paderi tua itu terkesiap. "Barang siapa yang melanggar pantangan suhu, dia dipecat dari perguruan dan harus dibasmi."

Merah muka paderi itu. Namun pada lain saat dia berseru, "Apakah engkau anggap aku seorang penghianat ?"

"Apa nama seorang yang bekerja pada musuh yang memerangi negara kita ?" balas rahib yang disebut Giok Sian itu.

"Itu penghianat !"

"Lha, kan sudah tahu sendiri, mengapa masih bertanya.

Apakah engkau tak merasa ?"

"Tahu adalah suatu pengetahuan. Aku tahu tentang pengetahuan apa yang disebut penghianat itu. Tetapi aku tak merasa aku ini seorang penghianat."

'O, jika demikian, engkau ini seorang mayat manusia.

Manusia yang sudah tak punya perasaan lagi !"

"Ho, janganlah memaki seenakmu sendiri terhadap seorang suheng, Giok Sian," seru padri itu," kukatakan aku tahu tentang apa yang disebut penghianat tetapi aku tidak merasa menjadi seorang penghianat. Orang boleh memaki aku seorang penghianat karena aku membantu kerajaan Ceng tetapi aku mempunyai alasan sendiri. Dan kurasa pendirianku itu bukanlah suatu penghianatan terhadap negara."

"Hm, bagaimana pendirianmu ?"

"Aku mendasarkan kesemuanya itu pada takdir. Memang sudah ditakdirkan oleh Thian bahwa kerajaan Beng itu akan hancur dan digantikan dengan kerajaan Ceng. Kerajaan Beng sudah terlama lama, sudah lapuk, bobrok dan tak berguna bagi rakyat. Apa salahnya kalau kerajaan Ceng timbul dan menggantikannya ?" "Orang Boan, bukanlah bangsa Han !"

"Jangan berbicara soal bangsa tetapi lihatlah kenyataan yang ada dan yang membawa kebaikan kepada rakyat, Apakah engkau hanya memetingkan soal raja Beng daripada rakyat kita yang sudah cukup lama menderita kesengsaraan dari tingkah raja dan mentri2 kerajaan Beng itu? Tidak! Aku mempunyai pendirian lain. Biar orang menganggap aku seorang penghianat tetapi nyatanya kerajaan Ceng telah memperlakukan aku dengan baik dan merekapun menurut permintaanku untuk tidak; menindas rakyat kita. Mereka berjanji akan memperbaiki dan meningkatkan kehidupan rakyat kita! Nah!, apakah perjuangan untuk kepentingan rakyat itu suatu tindak berhianat ?"

"Hm, dalih seorang penghianat memang indah sekali. Tetapi keindahan itu hanya untuk menutupi keburukannya. Jika raja Beng dan mentri2 kerajaan itu sudah lapuk, kitalah yang harus bangkit untuk mengusir mereka dan mengganti dengan kepala negara yang lebih cakap dan bijaksana, mengapa kita membantu lain bangsa untuk menjajah negeri kita ? Hm, engkau mengatakan orang Ceng bersikap baik kepadamu. Tetapi engkau harus sadar bahwa sikap baik mereka itu bukan tak ada sebabnya. Mereka membutuhkan orang semacam engkau untuk membujuk orang supaya mau berhamba kepada mereka. Engkau dijadikan alat untuk memata-matai, menindas dan memperbudak bangsamu sendiri. Ih, apakah engkau masih ada muka untuk mengatakan engkau ini seorang pahlawan yang membela kepentingan rakyat ? Coba tanya, siapakah rakyat yang akan menyambutmu sebagai pahlawan mereka !" seru rahib Giok Sian dengan berapi-api.

Ternyata dua orang pendeta dan rahib ini dahulu  saudara seperguruan. Adalah karena si pendeta mau bekerja pada kerajaan Ceng maka, rahib pun memutuskan hubungan saudara seperguruan dengan dia. Dan hal itu memang menurut pesan guru mereka yang sudah mendiang.

"Giok Sian, jangan sok-pintar untuk menggurui aku. Setiap orang mempunyai pendirian hidup sendiri2. Sekarang aku datang hendak meminta hak-ku."

“Hak apa ?

"Guru telah mewariskan sebuah kitab pusaka berisi pelajaran ilmu tenaga-sakti Kiu-yang-sin kang. Karena aku sebagai murid tertua, akulah yang berhak menerima warisan kitab pusaka itu.

"Engkau sudah bukan murid suhu. Karena, suhu telah menandaskan, barang siapa melanggar pantangan menjadi seorang penghianat negara, dia bukan lagi muridnya dan bahkan boleh dibunuh agar tidak mencemarkan nama baik suhu!"

"Wah, hebat! Benar2 hebat engkau Giok Sian," seru pendeta tua itu, "sekali lagi kuminta dengan baik2 agar engkau suka menyerahkan kitab itu. Jika tidak, akupun tak mau mengingat hubungan kita sebagai saudara seperguruan lagi."

"Memang harus begitu," sahut rahib Giok kian suthay, "karena akupun sudah tak menganggap engkau sebagai suheng lag!"

"Jika begitu, hanya mati yang harus engkau terima!" pendeta itu segera memutar tongkat pertapaannya dan menyerang rahib. Dalam sekejab mata rahib itu seperti terbungkus dalam lingkaran sinar tongkat.

Giok Sian suthay kepala biara Ceng-leng-kwanpun tak mau bersikap lemah. Dia memainkan hud-tim atau kebut pertapaannya untuk menghalau serangan tongkat bekas suhengnya.

Giok Sian dan pendeta tua itu adalah murid dari seorang sakti yang mengasingkan diri dari dunia persilatan. Orang sakti itu menamakan ilirinya Seng-ji-bong, artinya Hidup itu seperti bermimpi.

Adalah karena masih mudanya dia banyak menderita kekecewaan atau perbuatan sang kekasih, kawan-kawan dan orang2 yang dikenalnya, maka dia putus asa dan melarikan diri dari keramaian dunia. Dia anggap hidup itu seperti mimpi.

Maka diapun berganti nama dengan Gong! yang berarti Hampa. Dia memandang dunia hampa hanya sebuah impian. Hidup itu hanya seperti orang bermimpi. Dalam sekejab kita sudah lenyap lagi.

Gong Hi mempunyai dua orang murid. Yang besar bernama Ping Ho dan yang perempuan Giok Sian. Setelah dianggap sudah cukup memiliki bekal kepandaian. Ping Ho disuruh turun gunung terjun ke masyarakat ramai untuk mencari pengalaman dan mengandalkan kepandaian yang diperolehnya. Dia mengharap murid itu kelak menjadi manusia yang berguna, jangan mengalami kecewa seperti dirinya.

Giok Sian masih tetap tinggal disana di gunung sampai gurunya meninggal dunia. Pada waktu itu pertapa Gong Hi memberikan sebuah kitab pusaka berisi pelajaran ilmu tenaga-sakti Kiu-sin-kang kepada Giok Sian. Tetapi murid lebih muda, akan memberikan kitab itu kepada suhengnya.

"Baiklah, Giok Sian," kata Gong Hi sudah gawat keadaannya, "aku senang dengan kejujuranmu. Engkau boleh memberikan kitab ini kepadanya dengan syarat bahwa dia telah memenuhi semua peraturan dan tidak melanggar pantangan yang kuberikan kepada kalian. Kalau kau dapatkan dia nyeleweng. jangan engkau berikan kitab ini kepadanya dan engkaulah yang menjadi pswaris kitab ini. Sanggupkah engkau melaksanakan pesanku ini ?"

"Baik, suhu," kata Giok Sian.

"Dan engkau sendiri, muridku," kata Gong Hi, "aku tak dapat memberi peninggalan apa2 karena aku memang tak punya apa2. Milikku hanya sepasang supit untuk makan. Supit itu terbuat dari batu giok yang memiliki khasiat. Apabila dalam hidangan terdapat racun maka sumpit itu akan berobah biru warnanya. Begitu pula apabila berada ditempat yang hawanya mengandung racun atau terdapat kabut beracun, supit itu akan berobah warnanya. Pokoknya supit itu dapat memberitahu kepada kita tentang segala jenis racun. Bahwa berhadapan dengan orang yang membawa racun dalam saku bajunya, supit itupun akan berobah warnanya. Nah, kalau engkau mau, kuberikan supit itu kepadamu…..”

Karena sudah terlanjur hidup di tempat yang sunyi, usia Giok Sian pun sudah terlanjur banyak. Ketika itu dia sudah berumur duapuluh lima tahun. Akhirnya ia memutuskan untuk masuk menjadi biarawati.

Dia tinggalkan gunung dan mengembara untuk mencari suhengnya. Dia mendengar kabar bahwa suhengnya juga menjadi seorang paderi tapi suhengnya itu bekerja pada kerajaan Ceng. Dia diangkat sebagai kepala vihara terbesar di kotaraja dan mendapat kepercayaan penuh dari kerajaan Ceng.

Giok Sian menuju ke Pak-kia untuk menemui suhengnya. Tetapi bukan diterima dengan baik, dia malah ditangkap dan dijebloskan dalam penjara. Untung seorang sakti yang tak dikenal namanya, dapat menolong Giok Sian dan dibawa lari ke Thay-goan dan disuruh tinggal di vihara Ceng-leng-kwan.

"Siapakah anda?" tanya Giok Sian. "Aku tak punya nama. Cukup panggil si Ban Leng Jiu," kata orang aneh itu.

"Ban Leng Jiu?" ulang Giok Sian. Ia merasa aneh mengapa orang memakai nama Ban Leng Jiu yang berarti Manusia-serba-bisa.

"Ah, harap sin-ni tak usah heran. Yang penting tinggallah sin-ni di biara ini. Biara ini menjadi pos persembunyian dari pendekar2 yang hendak menolong orang2 persilatan yang dicelakai kaki tangan kerajaan Ceng."

"O," Giok Sian terkejut, "apakah ada gerakan yang berusaha menyelamatkan pendekar2 ksatrya yang jatuh ke tangan orang Ceng?"

"Ya," kata Ban Leng Jiu, "mereka yang ada dalam daerah pendudukan musuh, bekerja secara rahasia untuk menolong orang2 persilatan! maupun orang-orang yang setya kepada ke Beng serta mereka yang tidak mau berkomplot kepada kerajaan Ceng tetapi dipaksa dan ditangkap, dijebluskan dalam penjara."

Demikianlah Giok Sian suthay tinggal di biara itu. Sebuah biara yang sebenarnya dijadikan markas rahasia dari para pendekar yang bergerak dibawah tanah untuk menyelamatkan tokoh2 yang dicelakai kerajaan Ceng.

Tetapi jaringan mata2 kerajaan Ceng memang lihay sekali. Ping Ho yang sudah berganti nama dengan paderi Hwat Ho, segera mencium tentang jejak sumoaynya yang berada di biara Ceng-leng-kwan. Paderi Hwat Ho telah ditugasi kerajaan Ceng untuk memata-matai kaum padri, imam dan pertapa yang bersikap menentang kerajaan Ceng. Untuk merebut hati kaum agama, kerajaan Ceng menugaskan Hwat Ho siansu ( gelar dari Peng Ho) untuk membujuk kaum golongan agama bernaung dibawah perlindungan kerajaan Ceng. Biara2 dan kelenteng2 serta kuil2 yang mau berfihak kepada kerajaan Ceng, diberi tunjangan besar. Dengan cara itu Hwat Ho memang berhasil menarik banyak sekali golongan kaum agama ke fihak kerajaan Ceng.

Setelah mendapat laporan tentang Giok Sian itu, maka Hwat Ho siansu dengan seorang padri segera berangkat ke biara Ceng-leng»-kwan si kota Thay goan. Hwat Ho perlu menangani sendiri persoalan itu karena ia hendak menemui sumoaynya untuk meminta kitab warisan dari mendiang suhunya.

Sudah tentu Giok Sian menolak sehingga terjadilah pertempuran. Hwat Ho siansu terkejut ketika merasakan betapa hebat ilmu tenaga-dalam yang dimiliki sumoaynya. Terpaksa ia memberi isyarat kepada kawannya untuk membantunya.

Tetapi pada saat Giok Sian terdesak, muncullah Kim Yu Ci. Pemuda itu berusaha untuk melerai tetapi kedua paderi itu tak mau menggubris, bahkan salah seorang sudah loncat dari geIanggang dan menyerang Kim Yu Ci. Akhirnya karena jengkel Kim Yu Ci mengeluarkan ilmu simpanan Coh-kut-hun-kin-ciang. Dia berhasil melumpuhkan lengan paderi itu. Paderi itu melarikan diri. Tetapi Kim Yu Ci juga bergolak keras darahnya. Terpaksa dia pejamkan mata menyalurkan pernapasan.

Sementara pertempuran antara Hwat Ho siansu dengan Giok Sian suthay telah mencapai detik yang menentukan. Tampak tongkat paderi Hwat Ho sedang dilibat oleh hud- tim Giok Sian suthay. Sepintas tampaknya mereka sedang tarik menarik untuk melepaskan senjatanya tetapi sesungguhnya mereka sedang mengadu tenaga-dalam yang sakti.

“Kiu-yang sin-kang!" tiba2 Hwat Ho siar berseru kaget. "Hm, engkau tahu juga," dengus Giok Sian.

"Pencuri!" teriak Hwat Ho siansu, "engkau telah mencuri pelajaran tenaga-sakti Kiu-yang-sin-kang dari kitab suhu!"

"Suhu telah memperkenankan!"

"Bohong!" teriak Hwat Ho siansu pula, "ketika turun gunung, suhu telah memberi pesan kepadaku bahwa setelah kembali dari pengembaraan, suhu hendak menyerahkan kitab pusaka ilmu Kiu-yang-sin-kang kepadaku. Mengapa engkau berani mencuri pelajaran dalam kitab itu?"

"Aku tidak mencuri," bantah Giok Sian, "suhulah yang memberi pelajaran ilmu itu kepadaku."

"Tidak mungkin! Suhu berjanji takkan pilih-kasih. Kalau aku belum diberi pelajaran ilmu silat itu, engkaupun tidak!"

"Benar," sahut Giok Sian, "memang suhu tak memberi pelajaran ilmu itu kepadaku. Dan beliaupun memberikan kitab itu kepakaku supaya dirikan kepadamu "

"Nah, kal'au suhu sudah mengatakan begitu mengapa engkau tak lekas memberikan kepadaku?”

"Suhu tidak hanya mengatakan begitu tetapi masih disertai embel2. Kalau engkau nyeleweng menjadi penghianat, maka kitab itu tidak boleh diberikan dan  supaya kuambil sendiri. Nah, karena kau niat2 menjadi kaki tangan kerajaan Ceng, aku tak dapat memberikan kitab itu kepadamu.”

"Engkau seorang rahib tetapi jelas engkau berhati kotor, mengangkangi barang yang bukan menjadi hakmu!" "Aku hanya menurutkan pesan suhu. Karena engkau berhianat maka kitab itu takkan kuberikan kepadamu!"

'Soal penghianat atau bukan, bukan wewenangmu untuk menilai. Suhulah yang dapat memberi keputusan!"

"Tetapi suhu kan sudah meninggal, bagaimana mungkin hendak menghadap beliau:"'

"Berikan kitab itu kepadaku dan menghadaplah engkau ke akhirat menemui suhu! "

"Benar, benar . ..." sekonyong-konyong terdengar suara orang berseru dan muncullah seorang kakek bungkuk yang berjalan dengan tongkat, "benar, benar, kalau hendak mencari peradilan, tidak hanya suthay itu yang harus menghadap suhunya ke akhirat tetapi engkaupun juga harus ikut ke sana. Biar diberi keadilan!"

Dalam tanya jawab yang cukup sengit Giok Sian dan Hwat Ho masih melangsungkan pertempuran adu tenaga- dalam yang hebat. Ketika mendengar suara dan munculnya seorang kakek bungkuk, keduanya terkejut, Giok Sian berpaling, kesempatan itu tidak disia- siakan Hwat Ho. Serentak dengan itu ia menarik tongkatnya. Begitu terlepas dari lilitan hud-tim, Hwat Ho terus menyapukan tongkat ke pinggang Giok Sian suthay.

"Ih. ," Giok Sian terkejut dan menyurut mundur tetapi

sabuk pinggang jubahnya terkena damparan tongkat. Hal itu cukup membuat tubuh Giok Sian terhuyung-huyung ke belakang.

"Pergilah ke akhirat !" Hwat Ho siansu Ioncat hendak menghantam kepala Giok Sian yang masih belum dapat berdiri tegak itu.

Kim Yu Ci terkejut ia membuka mata ternyata tongkat Hwat Ho sudah melayang ke atas kepala Giok Sian sedang rahib itu tampak tak berdaya lagi untuk menghindar atau menangkis.

"Pa.....,," baru Kim Yu Ci hendak berseru menyuruh paderi itu hentikan keganasannya, tiba2 ia menyaksikan suatu peristiwa yang aneh, tongkat yang diacungkan keatas oleh Hwat Ho itu tak dapat turun sehingga Giok Sian mendapat kesempatan untuk loncat ke belakang.

"Paderi membunuh rahib, sungguh suatu perbuatan yang terkutuk......," seru si kakek bungkuk tadi seraya berjalan menghampiri.

Hwat Ho siansu berputar tubuh, "O, maaf kakek

….......,"

"Ah, jangan, jang.....," kakek bungkuk itu melambaikan tangannya dan tampak lengan bajunya bergerombyangan.

"Jika lo-cianpvve tak mau menerima hormatku, baiklah, aku hendak menghaturkan persembahan kepadamu ..,..," tiba2 Hwat Ho siansu lontarkan tangannya, bum........terdengar letusan hebat dan asap tebalpun segera bertebaran memenuhi tempat itu.

Kim Yu Ci terkejut. Tiba2 ia merasa angin berkesiur dan telinganyapun tergiang sebuah suara halus, "Lekas tutup pernapasan, asap itu ngandung racun !"

Kim Yu Ci pun menurut. Ia heran siapa yang membisiki dengan ilmu Cian-bi-jit-bit ilmu Menyusup-suara itu.

Beberapa saat kemudian setelah asap menipis, Kim Yu Ci terkejut lagi. Ternyata di tempat pendeta dan rahib bertempur tadi sudah tak barang seorang mereka itu ?" pikirnya. Ia berpaling dan juga kakek bungkuk tadi lenyap. Keadaan disekeliling tempat itu sunyi senyap. "Apakah aku bermimpi ?" tanyanya dalam hati, "ah, tidak. Aku sadar. Mereka tentulah jago sakti. Kemungkinan rahib dan kakek bungkuk di mengejar paderi yang melontarkan peluru beracun.

"Rahib yang bernama Giok Sian itu jelas kepala dari biara ini. Tetapi siapakah gerangan kakek bungkuk itu ?" tanyanya tak habis2.

Tiba2 ia teringat akan In Hong yang hendak mencuri pakaian rahib di biara itu. Kemanakah dara itu ?

Karena sudah terlanjur datang ke biara situ, baiklah ia menyelidiki In Hong di didalam biara. Kalau dara itu tak ada, barulah ia akan kembali ke tempat Han Bi Ing.

Begitulah dia segera melangkah masuk ke dalam biara. Seorang rahib muda yang masih gadis tampak menyambutnya dan menanyakan Kim Yu Ci.

"Ah, aku hanya ingin melihat-lihat biara ini saja karena kebetulan aku lewat di tempat ini," kata Kim Yu Ci.

"Biara ini tak ada sesuatu yang berharga dilihat. Apalagi sicu hendak bersembahyang, silakan bersembahyang di ruang muka," kata rahib muda.

"Ada seorang kawanku, seorang gadis, apakah li-pousat melihatnya datang kemari?" tanya Kim Yu Ci,

Rahib muda itu tertawa, "Li-pousat? Ah, janganlah sicu berkata demikian. Aku tak layak mendapat sebutan begitu. Aku hanya seorang murid yangj belum ditahbiskan menjadi rahib."

"O, maaf," kita Kim Yu Ci, "tetapi bagaimana dengan pertanyaanku tadi ?" "Rasanya sejak semalam tak ada tetanu yang berkunjung kemari. Memang biara ini jarang sekali dikunjungi orang," kata rahib muda itu.

Kim Yu Ci segera tinggalkan biara itu menuju ketempat Han Bi Ing. Ia terkejut ketika lihat Han Bi Ing dan In Hong sudah ada disana dalam pakaian rahib.

"Wah, nona In memang hebat," puji Yu Ci. Dan Han Bi Ing hanya tertawa sedang Hong tersipu-sipu menunduk.

"Eh, kenapa ini ?" seru Kim Yu Ci heran.

"Seorang kakek pincang datang kepadaku ia mengatakan bahwa dia melihat seorang rahib muda menggeletak dibawah pohon. Aku terkejut dan minta dia supaya mengantarkan aku kesana. Siapa tahu ternyata rahib muda itu tak lain lah In Hong…."

"O," Kim Yu Ci terkejut.

"Adik Hong menggeletak tak dapat berkutik dan tak dapat bicara sehingga tak dapat kutanyai. Tetapi saat itu dia mengadakan pakaian sebagai rahib dan disampingnya terdapat setumpuk pakaian rahib lagi. Aku heran dan bertanya kepada kakek berkaki pincang itu, Kakek itu mengaku nama Ban Leng Jiu. "

“Ban Leng Jiu ?" Kim Yu Ci tersentak kaget. "Ya," sahut Han Bi Ing," kenapa?"

"Berapa umur kakek itu ?"

"Lebih kurang tujuhpuluhan tahun." "Bagaimana wajahnya ?"

"Tua renta, memelihara jenggot putih yang panjang.” "Kakinya pincang?" "Ya."

"Aneh," gumam Kim Yu Ci," dia juga mengaku bernama Ban Leng Jiu "

"Siapa ?" tegur Han Bi Ing heran. Kim Yu Ci menceritakan bagaimana ketika tiba di biara Ceng-leng- kwan, dia telah diserang oleh seorang bayangan Ketika dia kejar bayangan itu berhenti di sebuah hutan sepi dan herannya bayangan itu ternyata seorang kakek wajah seperti anak2 dan mengaku bernama Ban Leng Jiu."

"Tetapi kakinya tidak pincang," kata KimYu Ci mengakhiri ceritanya, "mengapa yang bertemu nona itu kakinya pincang ?"

“Entahlah, "kata Han Bi Ing, “kemudian kakek itu mengatakan bahwa In Hong tadi berkelahi dengan seorang akakek. Kakek itu dapat merugikun In Hong. Tetapi aku muncul dan kakek itu melarikan diri, katanya."

“O. mengapa di daerah ini terdapat banyak kakek. Ada kakek berwajah anak2, kakek berkaki pincang dan kakek yang suka menggang anak perempuan.

"Kuperiksa keadaan In Hong ternyata tak menderita luka apa2. Akupun legah. Tetapi ketika aku berpaling hendak bertanya sesuatu kepada kakek pincang itu, ternyata dia sudah lenyap "

"Lenyap?"

"Ya," jawab Han Bi Ing, "memang aneh.”

"Apakah engkau tak mendengar gerakann waktu dia pergi?"

Han Bi Ing gelengkan kepala, "tetapi kulihat di tempat dia berdiri tadi, terdapat tiga buah goresan huruf di tanah yang berbunyi 'dia tertutuk jalandarahnya." "O, apakah nona In Hong yang dimaksudkan?" lanya Kim Yu Ci.

'"Ya," kata Han Bi Ing, "lalu kuperiksa dan ternyata memang adik Hong telah ditutuk hingga tak dapat berkutik dan bicara. Setelah diurut-urut barulah dia dapat bergerak."

Kim Yu Ci berpaling kepada In Hong, “Nona, siapakah yang mencelakai engkau?"

"Uh, kalau tahu tentu kuhajar," gumam In Hong.

Han Bi Ing lalu mengulang cerita yang dituturkan In Hong kepadanya. Yalah pengalaman waktu In Hong masuk kedalam biara dan peristiwa buah peer di meja sembahyangan patung Dewi Koan Im.

"O," kata Kim Yu Ci, "jika demikian ..."

"Apakah dalam biara itu memang terdapat malaekat penunggunya?" tanya Han Bi Ing.

"Ya."

"Tidak mungkin," teriak In Hong, "aku tak percaya.” Kim Yu Ci tertawa, "Memang kalau terhadap lain orang,

malaekat itu tak ada. Tetapi dia akan muncul untuk menyambut nona In. Mungkin dia tahu kalau hidangan untuk Dewi Koan Im akan diganggu nona In, ha, ha, ha ....

"

In Hong merah mukanya dan terus ayunkan langkah. "Hai, hendak kemana adik Hong?" Han Bi Ing terkejut. "Akan kuobrak-abrik meja sembahyangan itu. Coba saja

patung Dewi Koan Im itu akan mampu berbuat apa kepadaku!"

"Jangan .... " seru Han Bi Ing tetapi In Hong sudah lari jauh. "Ah, mengapa kongcu menggodanya? Anak itu memang kolokan. Kalau menderita sedikit saja ia sudah ngamuk. Mari kita susul dia."

Kim Yu Ci hanya tertawa. Keduanya segera menuju ke biara Ceng Leng Kwan lagi. Tetapi kejut mereka bukan kepalang karena mereka tidak mendapatkan In Hong berada di biara itu.

Seorang rahib muda keluar menyambut dia menanyakan maksud kedatangan kedua anakmuda itu. Rah!b itu juga masih seorang gadis muda bahkan lebih muda dari rahib yang menyambut Kim Yu Ci tadi.

“Nona, kami hendak mohon tanya apakah saudara kami seorang gadis, datang ke biara ini?” tanya Kim Yu Ci.

Rahib muda itu kerutkan dahi, "Aku seorang rahib, harap jangan menyebut nona.”

'"O, maaf, sin-ni," kata Kim Yu Ci

"Sejak pagi tadi aku bekerja di ruang untuk membersihkan ruangan dan mengatur meja sembahyangan," kata rahib muda itu, "tetapi tiada seorang nona yang datang kemari."

"Ah, harap sin-ni jangan mengecewakan kami," kata Kim Yu Ci, "jelas adik kami itu menuju ke sini mengapa sin-ni mengatakan tak orang datang ?"

"Sicu," kata rahib muda itu, aku seorang rahib, bohong adalah pantangan yang tak boleh kulanggar."

Kim Yu Ci berpaling kearah Han Bi Ing. Han Bi Ing memberi isyarat anggukan kepala.

"Sin-ni," kata Kim Yu Ci, "bolehkah kami masuk kedalam ?" "Boleh saja," kata rahib muda itu, "tetapi apakah maksud sicu ?"

"Mencari adikku itu," kata Kim Yu Ci.

"Aneh," jawab rahib muda, "sudah kukatakan bahwa sejak malam tadi kami tak menerima seorang tetamu, mengapa sicu hendak memeriksa ke dalam ? Apakah sicu tak percaya kepada keteranganku ?"

"Aku percaya," kata Kim Yu Ci, "tetapi sin-ni pun harus percaya pada keteranganku bahwa adikku memang pergi ke biara ini."

"Hm, baiklah," kata rahib muda itu, "tetapi akupun harus melakukan kewajiban mematuhi perintah suhu. Bahwa setiap orang yang tak mempunyai kepentingan, dilarang masuk kedalam ruang dalam biara ini."

"Lho, biara itu kan sebuah rumah suci. Setiap orang boleh datang bersembahyang. "

"Benar," sahut nikoh, "silakan sicu bersembahyang di ruang ini kalau mau bersembahyang.”

Kemudian nikoh muda itu berpaling kearah Han Bi Ing, "Nona, apakah nona juga mau sembahyang ?"

Han Bi Ing menjawab, "Aku datang bersama kongcu ini

.... "

"O, yang hendak dicari itu adik dari kongcu atau adik nona ?"

"Adik kita."

'"O, jika begitu nona adalah "

"Sin ni," cepat Han Bi Ing menukas, "benar adikku tak datang kemari ?" "Mengapa nona tak percaya kepadaku? seru rahib muda itu.

"Mengapa sin-ni juga tak percaya kepada omonganku?" balas Kim Yu Ci.

"Aku percaya tetapi aku tak melihat seorqng nona yang datang kemari. Silahkan cari saja kelain tempat."

"Tidak sin-ni," kata Kim Yu Ci, "aku harus mencari ke dalam,” habis berkata dia terus melangkah hendak masuk.

"Tunggu," rahib muda itu melesat dan menghadang di muka Kim Yu Ci seraya dorongkan tangannya.

Kim Yu Ci rasakan kedua tangan rahib muda itu memancarkan setiup arus tangan yang keras. Diam2 Kim Yu Ci mengempos semangat untuk memperkokoh tubuh.

"Ih," rahib muda itu mendesis kaget ketika ia melihat pemuda itu masih tegak dihadapannya. Rupanya dia penasaran. Kembali ia mendorong lebih kuat seraya berkata, "harap sicu keluar ruang ini!"

Tetapi kembali dia terkesiap ketika melihat pemuda itu tegak dengan tenangnya.

'"Sumoay, mengapa engkau?" tiba2 terdengar lengking suara seorang gadis dan pada lain muncul seorang rahib muda, "o, kongcu ini lagi"

"Dia hendak nekad masuk ke dalam,” kata rahib yang pertama, "dia hendak mencari adiknya."

"O," desis rahib kedua, "tadi dia sudah datang dan bertanya soal itu. Sudah kukatakan tak ada orang yang datang kemari mengapa kongcu masih berkeras hendak masuk ke ruang dalam?"

"Apakah dilarang?" "Ya."

"Mengapi?"

"Entah, itu pesan suhu."

"Apakah di dalam ruang biara ini terdapat satu yang harus dirahasiakan kepada orang luar?”

"Itu sudah menjadi peraturan biara ini." "Kalau aku tetap hendak masuk?"

"Kamipun terpaksa tetap akan menghalangi."

Kim Yu Ci sebenarnya sungkan untuk bentrok dengan wanita apalagi kaum rahib. Tetapi ia bikin curiga melihat sikap kedua rahib yang begitu mati-matian melarangnya masuk kedalam. Tentulah terdapat apa2 dalam biara ini. Seketika keinginannya untuk mengetahui makin besar.

"Sin- ni, maaf, aku terpaksa meneruskan maksudku hendak masuk " ia terus melangkah maju.

"Berhenti," kedua rahib muda itu serempak berseru dan dorong tangan ke arah Kim Yu Ci.

Kim Yu Ci hendak memberi sedikit pelajaran kepada kedua rahib muda itu. Ia segera menggunakan tenaga- dalam melekat. Setelah tenaga-dalam tangan kedua rahib itu tersedot tiba2 Kim Yu Ci berseru, "Maaf, harap kalian memberi jalan. 1

Kedua rahib itu tersurut mundur sampai dua langkah, ternyata setelah menyedot, Kim Yu Ci lalu gunakan tenaga- dalam untuk mendorong dua rahib muda itu.

"Bagus," seru rahib yang kedua tadi, sumoay, mari kita labrak pemuda ini !" — Dia terus mencabut hud-tim, demikian pula dengan rahib yang dipanggil sumoay tadi. Kedua rahib itu terus menyerang Kim Yu Ci. "O, kiranya kalian rahib yang pandai ilmu silat, bagus," seru Kim Yu Ci. Dia terus bergeliatan menghindar serangan kedua hud-tim rahib muda itu.....

-0oodwoo0-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar