Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 20 Kawan atau Lawan

Jilid 20 Kawan atau Lawan

Diam2 terkejut Lo-san siangjin mendengar keterangan perwira pimpinan pasukan pelopor dari kerajaan Ceng itu. Tetapi diapun memuji juga akan kecerdikan mereka dalam menjalankan siasat peperangan.

"Jika demikian," katanya, "tolonglah sicu membawa pinto menghadap Ko tayjin itu."

"Ah," perwira mendesah, "sayang. Saat ini Ko tayjin sedang keluar."

"Kemana?"

"Entahlah," sahut Ka Ting, "Ko tayjin hanya pesan supaya aku tetap bersiap menjaga setiap kemungkinan fihak Beng akan menyerang."

"Kapankah Ko tayjin akan pulang?" "Mungkin malam ini tetapi paling lambat besok pagi."

Lo-san siangjin kerutkan dahi. Sejenak kemudian dia berkata, "Jika demikian, baik aku kembali dahulu. Besok pagi kami undang Ko tay-jin supaya berkunjung ke puncak Losan untuk merundingkan rencana kita lebih lanjut.

"Ah, mengapa totiang terburu-buru hendak kembali. Hari sudah malam, lebih baik totiang bermalam disini saja."

"Pinto rasa kurang enak karena kuatir diketahui mata- mata musuh. Lebih baik pinto pulang saja."

Ah, aku tak berani melanggar perintah Ko tayjin, totiang."

"Perintah apa…….?"

"Ko tayjin telah memberi perintah bahwa sebagai pimpinan pasukan aku harus melindungi setiap jiwa anakbuah pasukan dan setiap orang yang menjadi kawan kita. Oleh karena totiang sudah jelas menjadi kawan kami, maka aku wajib menjaga keselamatan totiang."

"Pinto dapat menjaga diri sendiri."

"Tetapi kuharap totiang jangan membikin susah padaku."

"Membikin susah bagaimana?"

"Jika Ko tayjin mendengar hal ini, aku tentu dimarahi. Kemungkinan aku akan dikembalikan ke Pak-kia untuk menerima hukumun. Ko tayjin amat keras memegang disiplin."

Lo-san siangjin merenung. Dia kagum sekali akan disiplin pasukan Ceng. Setiap bawahan tentu takut kepada atasannya. Diam2 dia ingin bertemu dan bicara dengan Ko Cay Seng. Kalau menilik dalam pertempuran siang tadi, Lo- san siangjin mendapat kesan bahwa Ko Cay Seng itu memiliki kepandaian yang tinggi. Jarang sekali kaum persilatan yang menggunakan senjata thiat-pit.

Jika Lo-san siangjin sedang menimang-nimang, pun Ka Ting juga sedang memikirkan perhitungan. Sebenarnya dia tidak begitu saja percaya akan omongan Lo-san siangjin yang menyatakan mau bekerja-sama dengan kerajaan Ceng. Dia sudah mendengar bahwa Lo-san siang jin itu tak mau bekerja pada kerajaan Ceng. Mengapa sekarang mendadak sontak pertapa itu merobah pendiriannya ? Bahkan dalam pertempuran siang tadi, jelas pertapa itu masih membela fihak Beng.

Ka Ting juga bukan seorang perwira goblok. Dia curiga akan tindakan Lo san siangjin itu. Maka dia memutuskan akan menahan Lo-san siangjin itu dimarkas. Bagaimana nanti keputusannya, terserah kepada Ko Cay Seng Tatapi paling tidak, pertapa itu dapat dijadikan sandera untuk menekan pasukan Beng.

Lo-san siangjin salah menilai Ka Ting. Ia mengira perwira itu hanya seorang militer yang tak tahu tentang urusan siasat mata-mata. Dan agar jangan menimbulkan kesan buruk pada perkenalan pertama, terpaksa Lo-san siangjin menerima permintaannya untuk menginap disitu.

Tidaklah mudah diangkat sebagai pembantu utama dari panglima Torgun. Ko Cay Seng telah memenuhi syarat2 yang diinginkan panglima kerajaan Ceng itu. Berkepandaian silat tinggi terutama dalam permainan sepasang pit besi yang dapat menutuk enam buah jalan darah ditubuh lawan, pun Ko Cay Seng juga memiliki kecerdasan yang hebat. Diapun dianggap setya sekali dalam pengabdiannya kepada kerajaan Ceng selama ini.

Kemanalah malam itu dia pergi ? Ternyata dia juga naik ke puncak Lo-san untuk menyelidiki keadaan Lo-san siangjin dan anakbuahnya. Ia tahu bahwa Lo-san siangjin tidak mau bekerja pada kerajaan Ceng. Dan dalam pertempuran siang tadi dia berhasil mengadu domba dan menimbulkan kecurigaan diantara jago2 musuh sehingga Lo-san siangjin telah menderita kekalahan.

Waktu berada di gunung Lo-hu-san di puncak Giok-li- nia tempat kediaman pendekar Bloon, dia telah bertemu dengan beberapa jago muda, diantaranya terdapat dara2 yang cantik tetapi berilmu kepandaian hebat.

Dalam pertempuran itu dia sendiri telah terluka oleh seorang nona cantik yang dikiranya tak mengerti ilmusilat. Nona itu (Han Bi Ing) telah dapat menusuk telapak tangannya dengan tusuk kundai. Jalandarah Lau-kiang hiat ditelapak tangan itu dapat melumpuhkan tenaga-dalam. Untung dia tak sampai terluka parah dan setelah mengasoh beberapa waktu, diapun sudah sembuh.

Kemudian dia mendapat tugas untuk memimpin sebuah pasukan barisan pelopor yang akan menyeberangi sungai Hong-ho dan masuk ke selat Hay-teng-kok di daerah kaki gunung Lo-san. Dalam perintah itu dikatakan, supaya dengan sekuat tenaga Ko Cay Seng dapat menundukkan gunung Lo san. Jika dengan jalan damai tak mau, Ko Ciy Seng harus menggempur pertapa dari gunung Lo-san itu dengan kekerasan.

Setelah menarik mundur pasukan ke pangkalan di selat Hay-teng-kok maka Ko Cay Seng memerintahkan agar Ka Ting menjaga pasukan dan dia sendiri terus naik ke puncak Lo-san. Kecuali Lo-san siangjin, apakah beberapa orang yakni Sian li, Lo Kun, Uk Uk dan Bok Kian, juga berada dimarkas Lo-san siangjin. Begitu tiba di markas, dia harus cari akal untuk menyelundup masuk. Hal itu dengan mudah dapat dilakukannya setelah dia berhasil mengelabuhi beberapa penjaga.

Dengan ilmu gin-kang yang lihay, dia dapat loncat keatas genteng dan mencari tempat kediaman Lo-san siangjin. Dia berhenti pada sebuah tempat yang diduga merupakan ruang besar. Dia membuka sebuah genteng dan mengintai kebawah.

Seorang kakek tua sedang berjalan mondar mandir sambil menggendong kedua tangan. Dan seorang bocah lelaki yang gemuk sedang duduk menghadapi guci arak. Beberapa kali dia menuang guci arak itu ke cawan dan diminumnya.

"Eng .. eng ., . engkong ....... mengapa arak ini sep .......

seperti air rasanya ?" tiba2 anak gemuk itu berseru dengan suara tergagap-gagap!

Tetapi Lo Kun diam saja dan tetap mondar mandir kian kemari seperti orang yang sedang berpikir.

"Engkong ….eng .. eng .. kong. *

"Hus, diam !" bentak Lo Kun. "Lho, meng mengapa ?"

"Apa tidak tahu kalau aku sedang berpikir keras ?" "Siapa yang berpikir ?"

"Aku ....... eh, engkau !" tiba2 Lo Kun teringat akan pengertian Uk Uk tentang kata aku-engkau

"Berpikir soal ap ..... ap. apa ?"

"Soal cicimu, eh, ciciku Sian Li dan siangjin." "Memangnya ken kenapa mereka?" "Goblok!" teriak La Kun, "Sian Li belum pulang dan Lo- san siangjin juga belum pulang. Apa tidak membingungkan hati?"

'"Siap ....... siapa suruh eng engkong bingung?"

"Hus, tentu saja tidak ada yang suruh. Aku sendiri yang bingung."

"Eng ....... eng kong sendiri yang suruh bingung?"

"Ya."

"Tidak bol ....... boleh, kong. Jangan suruh diri eng .......

eng kong bingung."

"Engkau, eh, aku ini memang goblok. Kalau ada orang pergi lama tak pulang, mengapa tidak boleh bingung?"

"Kalau eng .... eng .... engkong bingung, minumlah ar

....... arak ini. Tetapi rasanya seperti air.”

"Setan cilik doyan arak. Siapa yang mengajari engkau minum arak?"

"Eng ....... engkong ! "

"Lho, apa iya?" Lo Kun kerutkan dahi, "wah, ia, celaka, mengapa aku mengajari dia minum arak. Anak kecil masa disuruh minum arak. Tidak, Uk, aku tidak mengajari minum arak."

'Waktu engkau menangis, eng .... eng .... engkong kasih minum engkau arak. Sejak itu engkau tiap hari minum arak saja "

“O, benar, benar," seru Lo Kun, "aku sakit mau mati, karena engkau bingung terus engkau kasih minum aku arak dan aku sembuh."

"Eh, eng ....... eng ....... kong ....... apa yang aku pikirkan?" “Sian Li anak perempuan itu mengapa belum kembali. Jangan2 dia mendapat halangan di jalan," kata kakek Lo Kun.

"Ya, benar , .... eng engkong. Hayo, kita susul saja."

"Jangan Uk," kata Lo Kun, "dia sudah pesan wanti2 kau tak boleh menyusul dan harus menunggu disini, tahu!"

Ko Cay Seng yang mendongarkm pembicaraan itu berulang kali harus kerutkan dahi karena merasa aneh. Terutama dia merasa kata2 aku-engkau yang digunakan kedua kakek dan cucunya itu agak janggal.

"Eng ....... erg ... engkong, engkau ngantuk nih," tiba2 Uk Uk berkata pula.

"Hus, disuruh jaga rumah mengapa malah ngantuk." "Habis? Kalau memangnya ngantuk?"

"Begini Uk, kita main2 untuk membunuh rasa kantuk itu."

"Man-main? Ba ....... ba ....... bagus, engkong. Main apa?"

"Main semburan arak!"

"Apa itu sem semburan arak?"

“Aku kan sudah berlatih ilmu menyembur arak. Sekarang engkau hendak menguji sampai di-mana aku mencapai latihan ilmu itu."

"O, bagu, eng .... eng .... engkong "

"Coba aku segera mulai!" kita Lo Kun.

Uk Uk meneguk guci arak kemudian berdiri dan menengadahkan mukanya keatas. Tiba2 ia melihat ada sebuah genteng yang terbuka. Dia ingin menunjukkan ilmunya kepada Lo Kun maka ia-pun menyembur dengan sekuat tenaga, pnfff ....... arak meluncur tiuggi seperti sebuah pancuran dan ujungnva menyusup lubang genteng itu.

"Bagus, Uk!' seru kakek Lo Kun memuji.

Jika kakek itu gembira tidaklah demikian dengan Ko Ciy Seng. Dia yang masih tertegun mengintai kebawah, tiba2 ujung arak itu menjilat pipinya, auhhhhh hampir saja ia

menjerit karena tak tahan sakitnya. Mukanya seperti diselomoti api. Untung dia cepat2 mengisar ke samping.

"Babi cilik itu terayata lihay sekali. Hanya tokoh silat yang memiliki tenaga-dalam sakti baru mampu menyemburkan air sampai begitu tinggi.

"Babi itu harus kuhajar," geram Ko Cay Seng. Dia mencari akal bagaimana mencari kedua orang itiu. Dia tahu bahwa yang berada di dalam ruang itu hanya mereka berdua. Si nona cantik dan Lo-san siangjin tak ada. Kata kakek itu mereka pergi tetapi entah pergi kemana.

Tiba2 Ko Cay Seng mendapat akal. Ah, tetapi bagaimana dia akan mendapatkan pakaian itu? Ah, tak apa, kakek dan cucunya itu tampak seperti bukan orang waras. Mereka tentu tak mempersoalkan pakaian tetapi wajah. Ya, kalau wajahnya mirip dengan pertapa itu, mereka berdua tentu tak akan dapat mengenalnya, pikir Ko Cay Seng.

Segera ia pergi dan menuju ke sebuah gerumbul pohon. Dia lalu berhias merobah raut mukanya seperti Lo-san siangjin. Dan pakaiannya, yakni pakaian seorang sasterawan, tampaknya tak banyak berbeda dengan jubah pertapaan Lo-san sianajin. Pun andaikata kakek dan cucunya itu menanyakan soal pakaian, dia dapat memberi jawaban juga. Ia menghampiri sebuah kolam dan mengaca dirinya. Ya, benar, sepintas sekarang wajahnya mirip dengan wajah Lo- san siangjin. Kemudian dia segera loncat keatas genteng lagi. Setelah tiba di ruang tadi, dia loncat ke halaman lalu melangkah masuk.

"Hola, mengapa begini malam baru totiang pulang?" seru kakek Lo Kun.

Karena tak memberi tahu kemana perginya Losan cinjin, Ko Cay Seng hanya tersenyum saja. "Bagaimana kabarnya?'' tanya Lo Kun pula,

"Baik," sambil tertawa Ko Cay Seng yang menyaru sebagai Lo-san siangjin menyahut. Dia tak tahu apa yang dikatakan 'baik' itu. Hanya dia terpaksa menggunakan jawaban begitu karena biasanya orang juga berkata begitu kalau ditanya kabarnya.

"Lalu, apakah sekarang kita mulai dengan rencana itu ?" tanya Lo Kun.

Sudah tentu Ko Cay Seng tak mengerti apa yang dimaksud dengan rencana mereka. Dia duga Lo-san siangjin tentu sudah membuat rencana dengan kakek pendek itu. Maka diapun pura2 menjawab, "Ya."

"Dimana siangjin hendak memenjarakan aku dan cucuku

?"

Makin terkejut hati Ko Cay Seng.

"O, siapa yang harus dipenjara ?" tanyanya agak

tersendat.

"Lho, engkau ini bagaimana totiang," seru Lo Kun, "bukankah kita sudah membuat rencana apabila bangsat yang bersenjata pit-besi itu meninjau kemari, aku pura2 engkau borgol dengan rantai dan engkau masukkan kedalam penjara."

Waktu dimaki bangsat oleh Lo Kun, Ko Cay Seng menyengir kuda. Tapi dia tahankan kemarahannya dan berseru, "O, ya, ya, mengapa aku begini pelupa ?"

"Dimana totiang hendak memenjarakan aku?" tanya Lo Kun pula.

"Biar orang Ceng itu percaya kalau aku memang bersahabat dengan mereka ?"

"O, mengapa engkau harus dipenjara?" terpaksa Ko Cay Seng yang tak mengerti duduk perkaranya harus bertanya.

"Eh, apakah engkau ini sudah linglung, totiang?" seru Lo Kun, "itu kan hanya siasat biar bangsat bersenjata pit-besi itu percaya kalau totiang menyerah kepadanya."

"Apa? Aku menyerah pada orang Ceng?" karena terkejut, Ko Cay Seng lupa kalau dia bukan Lo-san siangjin tetapi hanya menyaru sebagai petapa itu. Dia hampir tak percaya kalau Lo-san siangjin mau menyerah kepada fihak Ceng.

"Pertapa goblok!" damprat Lo Kun, "siapa yang suruh engkau menyerah?"

"Bukankah engkau tadi mengatakan begitu?," sahul Ko Cay Seng.

'"Ya, tetapi itu kan hanya pura2 saja, masakan engkau mau menyerah sungguh2."

"O, ya, ya, benar. Itu hanya suatu siasat untuk mengelabui musuh, bukan?"

"Ya "

"Lalu bagaimana?" tanya Ko Cay Seng. "Eh, pertapa, mengapa setelah engkau pergi menemui musuh, sikap dan kata-katamu berbeda dengan biasanya? Apakah engkau memang menyerah sungguh2?"

'"Tidak!' sahut Ko Cay Seng yang sudah tahu akan pendirian Lo san siangjin

"Kalau begitu, lekaslah kita kerjakan rencana itu!'' seru Lo Kun.

Pucuk dicinta ulam tiba, demikian pikiran Ko Cay Seng. Dia hendak menangkap kedua orang itu ternyata sekarang kedua orang itu malah minta ditangkap.

Tetapi karena dia tak tahu tempat2 dalam markas Lo-san maka dia mencari akal. Akhirnya ia mendapat akal. Sebuah akal yang keji dan licik.

"Bukan disini tempatnya," katanya, "hayo kita keluar." "Lho, kemana?" seru Lo Kun.

"Ada sebuah tempat khusus yang sangat rahasia. Kalian akan kumasukkan kesana saja."

"Engkau gila!" teriak Lo Kun.

"Mengapa?" Ko Cay Seng terkejut seperti orang yang diserang panas dingin mendengar ucapan kakek itu.

"Ini hanya pura2 saja," kata Lo Kun, "begitu kepala pasukan Ceng itu datang dan melihat aku di ruang tahanan, aku akan pura2 pingsan. Kalau dia berani masuk, baru nanti kuserangnya sungguh2. Mengapa sekarang engkau hendak membawa aku ke sebuah tempat rahasia? Apakah engkau memang benar2 hendak mencelakai aku?"

"Tidak, tidak," kata Ko Cay Seng, "harap jangan salah mengerti — Justeru kutaruh engkau dalam gua rahasia itu, biar nanti apabila ku bawa dia ke sana, kita dapat segera menghabisi jiwanya, mengerti !" Ko Cay Seng memang pandai. Dalam sakejap mata, dia sudah dapat menyesuaikan diri ke dalam persoalan yang terjadi antara Lo Kun dengan Lo-san siangjin. Dia dapat memberi jawaban yang tepat, bahkan disertai bentakan seperti orang yang marah. Ternyata tindakannya itu berhasil.

“O, benar, benar," seru Lo Kun, "kalau begitu aku mau.

Mengapa engkau tak memberi penjelasan lebih dulu ?"

"Pendeknya, percaya sajalah kepadaku," kata Ko Cay Seng dengan nada meyakinkan.

Demikian mereka bertiga segera keluar dan menuju ke belakang markas. Dari situ mereka mendaki ke bagian puncak yang lebih atas. Karena hari malarn dan keadaan sunyi, merekapun lolos dari perhatian para penjaga.  Apalagi para penjaga itu memang lengah dan percaya bahwa tak mungkin orang luar dapat masuk kedalarn makas.

Tiba2 Ko Cay Seng rnelihat sebuah karang yang berlubang. Dia tak tahu apakah karang itu mempunyai lorong yang dalam. Namun dicobanya juga untuk menghampiri. Ah, ternyata harapannya memang tercapai. Lubang itu menjorok masuk sarnpai ke dalam sehingga merupakan sebuah gua.

"Disini," serunya seraya melambai kearah Lo Kun dan Uk Uk.

"Gua apa ini ?" tanya Lo Kun.

"Gua Setan-gantung," kata Ko Cay Seng secara mencemoh.

"Huh, gua Setan-gantung ? Gila, apakah engkau hendak suruh aku menjadi setan gantung ?" "Bukan," Ko Cay Seng tertawa geli, "nanti itu lho, pemimpin pasukan Ceng, jika dia kuajak kemari, kita jadikan dia setan gantung."

"O, benar, bener," seru Lo Kun.

Mereka berjalan ke muka. Ternyata gua itu mempunyai lorong yang panjang, entah sampai ke mana. Tiba2 mereka tiba di ujung gua yang buntu. Tetapi pada kanan kiri ujung itu terdapat dua buah lorong.

"Nah, kalian berpencar," seru Ko Cay Seng, Kakek, engkau masuk ke sebelah kanan dan engkau bocah gemuk, masuk ke sebelah kiri. Beristitahatlah disitu sampai nanti aku datang lagi."

"Hai, tunggu mengapa," tiba2 Lo Kun berteriak seraya keluar dari lorong sebelah kanan yang dimasukinya itu. Dia teringat, kalau menurut rencana, tangannya harus diborgol tetapi mengapa partapa itu tidak melakukannya.

"Kenapa eng..... eng....... engkong ?" tanya Uk Uk yang juga menerobos keluar lagi dari lorong sebelah kiri.

"Kemana pertapa itu ?" seru Lo Kun. "Lho, i....... iya ....... mana di dia ?"

"Dia tentu pulang."

"Ya, lalu meng ....... meng ..... apa eng, engkong mencarinya ?" tanya Uk Uk.

"Dia belum mengikat tangan kita!" teriak Lo Kun. "Biarin dong."

"Lho, kenapa biarin ?"

"Ya, dong, mengapa tangan kita harus diikat ? Kan lebih enak bebas bisa bergerak." "Tidak bisaaaa ”

"Ken kena, kenapa ?" tanya Uk Uk

"Itu sudah jadi rencana kita. Pertapa itu tentu lupa, Mana tanganmu, Uk."

"Buat ap, apa ?"

"Akan aku, eh, engkau ikat"

"Baik," Uk Uk terus sodorkan kedua tangannya.

"Di mana talinya, Uk ?" Lo Kun mengansurkan tangannya meminta,

"Eng ..... eng ....... engkong linglung !" teriak Uk Uk," mana engkau punya tali ?"

"Habis pakai apa mengikatnya ?" tanya Lo Kun "hm. pertapa itu memang gila. Dia lari, lupa mengikat, lupa meninggalkan tali."

"Lalu bag ....... bag bagaimana ?" Uk Uk,

"Kita susul pertapa itu," kata Lo Kun terus ayunkan langkah. Tetapi dia terkejut ketika melihat keadaan lorong gua itu gelap sekali. Dan tiba di mulut gua, ternyata gua juga tertutup dengan batu besar.

"Hai, mengapa pintu gua ini ditutup sipertapa ?" teriak Lo Kun.

"Kurang ajar !" Uk Uk juga marah Keduanya segera berusaha untuk mendorong batu yang menutup pintu gua tetapi tak berhasil. Batu itu amat besar dan berat sekali.

"Celaka Uk." seru Lo Kun uring-uringan, "kita ditutup dalam gua ini."

"Siapa yang yang menutup ?"

"Siapa lagi kalau bukan pertapa itu !" "Kalau ....... kalau begitu, kit. kita hajar dia."

"Goblok !" bentak Lo Kun, "bagaimana dapat menghajar kalau keluar dari gua ini saja kita tak mampu ?"

"Lha, bagai, bagaimana mak ..... maksudnya?" seru Uk Uk.

Lo Kun tak menjawab melainkan merenung seperti berpikir. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba dia menjerit, "Celaka, pertapa itu tentu bukan Lo-san siangjin !"

"Lho, bagai, bagai....... mana eng engkong tahu ?"

"Aku ingat, rencana kita, kita ini akan dimasukkan dalam sebuah kamar tahanan dalam markas, Tetapi mengapa dia membawa kita kemari lalu menutup pintu gua ini dengan batu besar?"

"Uh….," Uk Uk mendengus.

"Jelas dia tentu hendak membunuh kita berdua "

"Satai sa, sa, aja pertapa itu !" teriak Uk Uk.

"Hm, yang penting kita harus cari jalan keluar dulu baru nanti kita cari pertapa itu,"

"Eng, eng, engkong . , .. aku ingat !" "Apa ?"

"Pakaian Lo-san siang ... siangjin buk..buka macam itu."

"Goblok! Mengapa tadi engkau tidak bilang. Sekarang baru bilang, sudah tak berguna lagi. Kita sudah dijebluskan dalam gua setan gantung, eh .......... kurang ajar sekali menusia itu !"

"Kenapa ?" Dia sengaja menyebut gua ini dengan nama Setan- ganturig, apa bukan berarti kita yang akan dijadikan setan gantung itu ?"

Bum. !

Kerena marah Uk Uk menghantam gunduk batu penutup gua. Tetapi batu itu tak bergeming Lo Kun juga berusaha untuk menghantam tetapi juga sia2, Akhirnya keduanya duduk menenangkar diri mencari akal.

Apabila Lo Kun dan Uk Uk kelabakan dalam gua, tidak demikian dengan Ko Cay Seng. Dengan riang gembira ia kembali ke markas Lo san. Dia menutup pintu gua itu dengan segunduk batu besar yang didigelundungkannya dari atas. Masih ditimbuni lagi dengan batu2 lagi sehingga dari luar, gua itu sudah lenyap.

"Biar kedua manusia gila itu mampus," katanya dalam hati.

Tiba di markas Lo-san ternyata keadaan markas itu masih sunyi. Lo-san siangjin dan Ui Bin tak ada, juga penjagaan dalam markas itu hanya terdiri dari beberapa orang. Sebagian besar anakbuah telah pergi. Kemungkinan ikut pada Lo-san siangjin.

"Ah, kemanakah siangjin itu ?" pikir Ko Cay Seng. Tiba2 ia tersentak," hai, apakah dia membawa pasukannya untuk menyerang pasukan Ceng?"

Dia merasa cemas tetapi serentak diapun teringat akan ocehan kakek Lo Kun yang mengatakan kalau Lo-san siangjin memang menuju ke selat Hay-teng-kok.

"Ah, mengapa kakek itu mengatakan kalau Lo-san siangjin hendak mengajak pemimpin pasukan Ceng datang kemari ?" katanya seorang diri. Tetapi pada lain kejab, dia cepat membantah sendiri, "Ah, kakek itu tidak waras, dia tentu hanya mengoceh semaunya sendiri. Tentulah Lo-san siangjin bersama anakbuahnya menuju ke Hay-teng-kok untuk menyerang pasukan Ceng yang berkubu disana."

Menarik kesimpulan begitu, Ko Cay Seng makin gugup. Dia harus lekas2 menuju ke Hay-tcng kok untuk membantu pasukannya.

Saat itu diapun sudah loncat ke atas wuwungan rumah dan terus hendak lolos. Tetapi tiba2 di mendapat pikiran, “Hm, pertapa itu harus diberi hajaran yang setimpal ..........

"

Serentak dia menyulut korek api lalu membakar markas itu. Tak berapa lama apipun mulai berkobar, menimbulkan gulung asap yang membumbung ke langit.

Ko Cay Seng turun dari purcak. Sayup2 dia masih mendengar teriak para penjaga yang sibuk memadamkan kebakaran.

Belum lama dia berjalan tiba2 ia melihat sosok tubuh kecil berlari-lari mendaki keatas.

"Ah, kemungkinan salah seorang tokoh pimpinan gunung Lo san. Kalau orang biasa atau golongan anakbuah Lo-san, tentu tak mungkin memiliki gerakan yang sedemikian pesat," pikirnya. Dan diapun segera melesat bersembunyi di balik sebatang pohon ditepi jalan.

Begitu dekat. Ko Cay S;ng segera melihat jelas bahwa pendatang itu tak lain hanya seorang gadis.

"Ah, gadis yang ikut bertempur melawan pasukanku," ia terkejut setelah melihat jelas gadis itu. Memang gadis itu tak lain adalah San Li.

Setelah menyampaikan berita kepada Bok Kian, Sian Lipun bergegas pulang. Ia kuatir kakek Lo Kun akan membuat gara2 sehingga akan menggagalkan rencana mereka.

Apa yang dikuatirkan memang benar. Ketika tiba di kaki gunung dia melihat puncak gunung tempat markas Lo-san, menghamburkan gulungan asap hitam yang tebal.

"Celaka, markas dibakar musuh," pikirnya. Dia terus gunakan ilmu gin-kang berlari secepatnya menuju ke puncak.

"Berhenti!" tiba2 terdengar suara bentakan yang keras. Dan sebelum Sian Li tahu siapa yang beneriak itu, tiba2 sesosok tubuh sudah melayang menerkamnya. Ia terkejut dan cepat loncat menghindar. Tetapi orang itu lebih cepat lagi. Luput menuluk lambung Sian Li dengan pit-besi,  orang itu berhasil menutukkan pit-besi di tangan kirinya ke lengan Sian Li. Seketika gadis itu rasakan lengan kanannya kesemutan tak dapat digerakkan.

"Bangsat!" Sian Li mencabut pedang Pek-liong-kiam dan terus membabat perut lawan. Tetapi Ko Cay Seng bukanlah lawan yang empuk. Tringngng.....

Batang pedang tertutuk ujung pit-besi, sehingga nona itu rasakan tangannya linu kesemutan. Pedangnyapun hampir jatuh. Tepat pada saat yang gawat itu, dia masih sempat mengirim sebuah tendangan ke perut lawan. Dan ketika Ko Cay Sen menghindar mundur, barulah Sian Li dapat menguasai pedangnya lagi.

Kini nona itu tumpahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadaoi lawan. Memang Ko Cay Seng lebih sakti tetapi karena Sian Li mempunyai pedang pusaka yang luar biasa tajamnya, terpaksa Ko Cay Seng harus berhati-hati. Itulah sebabnya maka Sian Li dapat bertahan sampai berpuluh jurus. Namun permainan sepasang thiat-pit dari Ko Cay Seng itu memang bukan alang kepalang hebatnya. Dia mainkan ilmu simpanannya yakni dapat menutuk enam buah jalandarah orang pada waktu sekaligus.

Tetapi bagaimanapun juga, Sian Li memang masih kalah unggul dengan kepandaian Ko Cay Seng. Sepasang thiat- pitnya menari-nari bagai naga sedang bercengkerama di permukaan laut.

Tringgg ..... tring ....

Terdengar beberapa kali benturan senjata antara pedang dengan pit-besi. Dan tiba2 pula Ko Cay Seng membentak, "lepaskan !"

Kembali Sian Li harus menderita. Lengan kirinya terkena tutukan pit-besi, Karena kedua buah lengannya terkena tutukan Sian Li tak dapat bergerak. Namun dalam saat2 yang terakhir, dia masih berusaha untuk melawan. Sebuah tendangan berantai yang tak terduga-duga telah dilancarkan kearah perut lawan.

Ketika masih belajar di gunung, gurunya yakni Kim Thian Cong atau ayah dari Blo'on telah menguraikan tentang ilmu tendangan. Menurut kata gurunya, ada lima macam ilmu tendangan yang ampuh, yakni Soan-hong-thui atau ilmu tendangan Angin-puyuh. Eng-cu-thui atau tendangan Bayangan, Lian-cu-thui atau Tendangan Berantai Pek-lui-thui atau tendangan Halilintar dan Tian- thou-thui atau tendangan Kepala-mengangguk.

"Sebenarnya kelima ilmu tendangan itu bersumber pada perguruan Siau-Ii-si," kata gurunya pada saat itu, "tetapi kemudian ilmu tendangan itu tersebar luas di berbagai perguruan dan mengalami banyak perobahan2." "Yang akan kuajarkan kepadamu," kata Kim Thian  Cong pula, "adalah sebuah ilmu tendangan yang terdiri dari gabungan Lian-cu-thui dan Eng-cu-thui. Ini khusus kuciptakan untuk engkau seorang anak perempuan. Ilmu tendangan itu dapat engkau gunakan pada saat engkau menghadapi bahaya besar."

Memang gabungan ilmu Tendangan-berantai dan tendangan Bayangan yang diciptakan Kim Thian Cong dan diberi nama Lian-eng-thui atau Tendangan-bayangan- berantai itu, hebatnya bukan kepalang.

Sian Li berlatih dengan giat sekali. Walaupun belum mencapai kesempurnaan tetapi dia sudah menguasai ilmu itu dalam batas2 yang memuaskan.

Ko Cay Seng tak menduga kalau dara iti dalam keadaan kedua tangannya sudah melentuk masih dapat mengirim tendangan berantai.

Plok. plok, plok ....

Terdengar tiga kali suara keras dan tampak Ko Cay Seng terhuyung-huyung beberapa langkah. Memang dia tak menderita luka yang berarti tetapi sebuah tendangan tadi, telah mengenai tepat'pada ujung kelopak matanya sehingga untuk beberapa saat dia harus berdiam diri agar pandang matanya terang.

"Ho budak perempuan, karena engkau terlalu liar terpaksa akan kubunuhmu !" serunya setelah rasa sakit pada matanya sembuh. Tetapi saat itu Sian Li berusaha untuk lari.

"Hai, hendak lari kemana engkau budak teriaknya. Terjadi kejar mengejar antara Ko Cay Seng dengan Sian

Li. Sian Li yang tangannya tak dapat digerakkan, memang mengalami kesulitan untuk menggunakan gin-kangnya. Maka mudah sekali bagi Ko Cay Seng untuk mengejarnya.

Saat itu Sian Li tiba disebuah tebing karang yang buntu. Tebing itu terletak di lereng gunung. Dan dibawahnya terbentang sungai Hong-hoyang luas dan deras.

"Berhenti atau aku akan membuang diri ke dalam sungai Hongho!" teriak Sian Li.

"Budak goblok !" Ko Cay Seng, “menyerah saja, aku takkan membunuhmu."

Ia melangkah maju tetapi saat itu Sian Li-pun sudah lemparkan diri kebawah sungai. Ko Cay Seng loncat hendak menyambar kaki nona itu tetapi tak berhasil. Ia hanya dapat memandang tubuh Sian Li ketika terlempar kedalam arus sungai.

"Ahhhhh," Ko Cay Seng menghela napas, "benar-benar seorang anak perempuan yang keras kepala."

Perlahan-lahan dia ayunkan langkah tinggalkan tempat itu. Dia menuju ke selat Hay-teng kok. Tiba disana, kejutnya bukan kepalang, Ternyata markas tempat pasukannya berkubu telah hancur berantakan. Ada beberapa mayat prajurit pasukan Ceng yang terhampar di tanah.

Apakah artinya itu? Tanyanya dalam hati. Ia menuju ke sungai. Pun berpuluh perahu yang ditambatkan di tepi sungai itu, lenyap semua. Ko Cay Seng benar2 bingung......

Apabila Ko Cay Seng sedang terlongong-longong di tempat markas pasukannya yang hanya tinggal puing2 saja, saat itu di kaki gunung Losan tampak seorang lelaki setengah tua sedang mendaki ke atas. Siapakah lelaki itu ? Dari pakaian yang dipakainya orang tentu mengetahui dia seorang pertapa. Dan pertapa itu tak lain adalah Lo-san sianjin. Tetapi mengapa dia berada di lereng gunung. Dan mengapa dia hanya seorang diri ?

Untuk mengetahui hal itu, marilah kita mengikuti peristiwa yang telah terjadi ketika pertapa dan anakpasukannya berada di markas pasukan Ceng.

Secara halus, perwira Ceng yang bernama Ka Ting telah berhasil meminta Lo san siangjin menginap di markas mereka, Dan Ka Ting pun bahkan mengadakan perjamuan untuk menyambut kedatangan Lo-san siangjin.

Lo-san siangjin sangat hati2, Dia curiga kalau2 Ka Ting akan mencampur obat bius kedalam hidangan dan arak. Tetapi sampai perjamuan berakhir, ternyata dia tak kurang suatu apa. Hanya pada tengah malam ketika ia sedang duduk bersemedhi dalam kamar, ia mendengar suara gaduh di luar markas. Dan ketika didengar dengan teliti, jelas suara gaduh itu berasal dari suatu pertempuran.

"Ah, apakah mereka telah mencelakai anak buah Lo san? Pikirnya. Anakbuah Lo San dan Ui Bin memang tidur di luar markas. Hal ini telah ia sepakati bersama Ui Bin, agar apabila terjadi sesuatu yang tak diinginkan, dapatlah Ui Bin memberi pertolongan.

"Mungkin pasukan Beng telah mengadakan serangan ke markas ini," pada lain kilas ia mempunyai lain dugaan. Tetapi baik hal itu merupakan tindakan orang2 Ceng yang hendak mencelakai anakbuah Lo-san, ataukah pasukan Beng yang menyerang markas Ceng, Lo-san siangjin memutuskan untuk keluar menyelidiki.

Dia tak mau keluar dari pintu melainkan loncat ke atas langit2 rumah, membuka beberapa genteng dan menerobos keluar. Tetapi baru saja dia hendak turun ke bawah, seorang lelaki tegap telah menyerang dengan sebatang golok.

"Uhhhh ..........," dalam polisi yang belum siap, hampir saja kaki Lo-san siangjin terbabat oleh pedang orang. Untung dia gunakan jurus Thiat tin-kio (jembatan gantung dari besi) meliukkan tubuh ke belakang, lalu ber-guling2 menjatuhkan diri ke bawah dan dengan sebuah gerak Le hi ta ting a'au Ikan-lele-melenting, diapun berjumpalitan berdiri tegak.

Tepat pada saat itu, musuhpun sudah melayang dan membacok kepalanya. Dia menggunakan jurus Alap2- menyambar-korban.

Saat itu barulah Lo-san siangjin tahu siapa penyerangnya itu. Orang itu adalah Ka Ting, perwira yang mengepalai pasukan Ceng.

Dalam pertempuran kemarin, walaupun tak parah tetapi Lo-san siangjin banyak kehilanga tenaga-murni, setelah adu pukulan dengan Uk dan Ko Cay Seng. Menyadari bahwa tenaga-murninya masih belum pulih, Lo san siangjin tak mau adu kekerasan dengan Ka Ting. Apalagi dia bertangan kosong dan Ka Ting memakai senjata pedang.

"Uh," Ka Ting mendesuh kejut ketika pedangnya membacok tanah. Lo-san siangjin dengan gerak It-ho-jong- thian atau Burung-bangau-membumbung-ke udara, telah mencelat keatas hingga dua tombak tingginya. Kemudian dia lanjutkan dengan gerak Kek cu hoan-sim (burung- merpati-berbalik tubuh) untuk membuat sebuah salto (berjumpalitan) lalu dengan kepala dibawah dan kaki diatai, dia menukik turun ke arah Ka Ting.

Gerakan Lo-san siangjin itu dilakukan luar biasa cepatnya sehingga saat itu Ka Ting sedang membungkuk membacok tanah dan belum sempat berbalik tubuh, tangan Lo-san siangjin sudah menjulur untuk menusuk tengkuk orang.

Tetapi ternyata Ka Ting juga bukan jago lemah. Dia cepat gunakan jurus Hong-hong-tiamthau atau (burung hong menundukan kepala) lalu dilanjutkan dengan jurus Pek lio lio.sat atau burung-bangau-menggurat pasir, dia loncat mendatar ke muka.

"Bagus!" seru Lo-san siangjin yang saat itu sudah bergeliatan tegak di tanah, "memang sudah kuduga bahwa engkau tentu akan mencelakai diriku."

Ka Ting tertawa, "Apakah engkau kira yang pintar itu hanya engkau sendiri? Sudah bertahun-tahun orang2 Lo-san tak mau bekerja pada kerajaan Ceng, masakan sekarang mendadak sontak engkau datang untuk bergabung dengan kami? Ho, bukankah dalam pertempuran kemarin masih jelas engkau berfihak kepada pasukan Beng!"

"Ya, engkau memang bermata tajam, perwira Ceng," seru Lo-san siangjin, "tetapi sikap dan kerut wajah serta sinar matamu dikala menerima kedatanganku, sudah kuketahui semua."

"Pertapa," sahut Ka Ting, "ketahuilah, Ko tayjin telah pergi ke sarangmu di puncak Lo-san untuk menyelidiki keadaanmu. Kebetulan engkau bersama anakbuahmu datang kemari. Percayalah, sarangmu tentu akan dihancurkan Ko tayjin dan engkau sendiri, ha, ha, engkau adalah ibarat ikan yang sudah berada dalam jaring "

Lo-san siangjin terkejut. Yang berada di markas Lo-san hanya kakek Lo Kun dan bocah gemuk Uk Uk. Ia tahu kedua kakek dan cucunya memang memiliki kepandaian yang sakti tetapi sayang pikiran mereka limbung dan linglung. Berhadapan dengan Ko Cay Seng yang licik dan banyak akal muslihatnya, kemungkinan besar kakek Lo Kun dan Uk Uk tentu celaka.

Diapun teringat bahwa saat itu Sian Li sedang turun gunung untuk menemui Bok Kian. Apabila nona itu sudah kembali kepuncak, kemungkinan tentu dapat menghadapi Ko Cay Seng. Tetapi apabila belum, ah Tak terasa Lo-

san siangjin telah mengucurkan keringat dingin. Dia yang hendak menyiasati lawan, kini berbalik malah disiasati lawan.

"Hm, untuk menolong keadaan yang berbahaya ini tiada lain jalan kecuali harus lekas2 menyelesaikan peiwira Ceng ini," akhirnya ia menjatuhkan keputusan.

"Jangan terburu-buru berkokok dulu, orang Ceng. Lihat saja siapa yang menjadi ikan dalam jaring dan siapa yanag menjadi si tukang tangkap ikan," serunya setelah menenangkan diri.

Segera keduanya terlibat dalam pertempuran yang seru. Tetapi bagaimanapun hebatnya perwira itu, namun berhadapan dengan seorarg yang pernah menggetarkan dunia persilatan seperti Lo-san siangjin, akhirnya runtuhlah daya perlawanan Ka Ting.

Akhir daripida pertempuran maut itu terjadi ketika Lo- san siangjin terpaksa mengeluarkan jurus simpanannya yang disebut Lik-biat-sam-san atau Tenaga-menghantam- tiga-gunung.

Sebenarnya sumber dari jurus maut itu berasal dari perguruan Siau-lim-si dan diciptakan oleh pendirinya yakni Tat Mo cousu. Tetapi Losan siangjin yang mendalami jurus itu telah mengadakan perobahan dan menyempurnakannya sehingga dia harus memakan waktu belasan tahun untuk menguasai jurus itu. Dengan sikap tenang, dia menghindar bacokan pedang Ka Ting yang mengarah ke kepalanya. Dan kesempatan itu segera dimanfaatkan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya. Tangan kiri menyodok perut, tangan kanan mencengkeram tenggorokan dan sebelum mengenai sasarannya, tangan kiri tadi sudah diangkat pula untuk menghantam pelipis orang.

Ka Ting yang terkejut karena perutnya terancam, berusaha untuk mengisar tubuh ke samping tetapi dia tak tahu kalau gerakan itu sudah djjaga oleh tangan kiri lawan yang menghantam pelipisnya, krakkkk ....... , Ka Ting menjerit ngeri dan rubuhlah perwira Ceng itu dengan tulang pelipis remuk dan jiwanyapun melayang. !

"Siancay ! Siancay !" Lo-san siangjin rangkapkan kedua tangan ke dada dan, mulutpun berdoa, "membunuh adalah dosa. Semoga Hud-ya melimpahkan ampun dan berkenan menerima perwira ini disisinya."

Sudah puluhan tahun Lo-san siangjin meninggalkan dunia keramaian dan mengasingkan diri sebagai pertapa di gunung Lo-san. Dan saat itu barulah yang pertama kali dia membunuh jiwa manusia.

Setelah tertegun beberapa saat, dia segera menghampiri mayat perwira itu, "Sicu, maafkan pinto "

Setelah itu dia lalu menuju ke tempat suara pertempuran yang gaduh itu, Ternyata saat itu . sedang berkobar pertempuran antara pasukan Ceng dan anakbuah Lo-san. Ia segera melihat Ui Bin tengah memimpin anakbuahnya untuk melawan serangan musuh. Tetapi Lo-san siangjin yang bermata tajam segera mengetahui bahwa gerak gerik anakbuah Lo-san termasuk Ui Bin itu tampak lemah sekali, seperti orang yang lesu. Sedang prajurit2 Ceng menyerang dengan gagah dan genah. "Heran mengapa Ui ji-te tampak begitu lesu, pada hal biasanya dia selalu bersemangat,” pikirnya.

“Auh ………”

Lo san siangjin tersentak seketika manakala menyaksikan sebuah pemandangan yang membuat semangatnya seperti melayang.

Ui Bin yang saat itu sedang menghalau serangan dari mukaj tiba2 seorang prajurit Ceng telah menombaknya dari belakang. Ui Bin menjerit ngeri dan rubuh. Lo-san siangjinpun marah seketika. Sekali ayunkan tubuh, dia sudah tiba di muka prajurit Ceng itu dan sekali tangan mengayun, prajurit itu tak dapat menjerit lagi karena batok kepalanya hancur lebur, benaknya terburai.

Lo-san siangjin sudah terlanjur tak dapat menguasai kemarahannya. Dia mengamuk seperti harimau yang mencium darah. Sudah tentu kawanan prajurit itu tak dapat menandingi jago tua yang sakti itu. Dalam waktu yang tak lama, kawanan prajurit itu sudah tersapu bersih. Yang luka dan mati berserakan memenuhi markas, sedang yang masih hidup berebutan untuk lari menyelamatkan jiwa.

Sisa2 prajurit yang melarikan diri itu menuju ke tepi sungai dimana perahu2 mereka disimpan tetapi alangkah kejut mereka ketika melihat perahu2 itu hilang semua. Dan sebagai gantinya mereka disambut oieh pasukan Beng yang siap membabat. Sudah tentu kawanan prajurit Ceng itu lari pontang panting masuk kedalam hutan.

Ternyata Bok Kiam telah melaksanakan pesan Sian Li. Dengan memimpin pasukan Beng, dia menghampiri tempat perahu2 pasukan Ceng dan kemudian menyingkirkan perahu2 itu ke tempat yang aman. "Oh, Bok kongcu," seru Lo-san siangjin ketika menyambut kedatangan Bok Kian bersama anak pasukannya, "kongcu juga menyerang mereka?"

Dengan singkat Bok Kian lalu menuturkan apa yang dirudingkannya dengan Sian Li, "Kini perahu2 mereka telah kami ambil, mereka tak dapat menyeberang sungai Hongho lagi," katanya.

"Sekarang pasukan musuh telah hancur berantakan," kata Lo-san siangjin, "tetapi kepala mereka yaitu orang yang bersenjata sepasang thiat-pit masih belum tertangkap. Kata anakbuahnya, dia sedang menuju ke markas Lo-san."

"Jika begitu, marilah kita naik keatas. Orang itu tentu masih berada di sana," kata Bok Kian.

Lo-san sangjin mengiakan. Dia dan Bok Kian serta pasukan Beng segera mendaki ke puncak. Tetapi sayang mereka tak berpapasar dengan Ko Cay Seng yang sedang menuruni gunung hendak kembali ke selat Hay-teng-kok. Ko Cay Seng menempuh jalan yang berbeda dengan rombongan Lo-san siangjin. Dan akibatnya kedua fihak sama2 menderita kejut yang tak terhingga. Lo-san siangjin terkejut karena markasnya menjadi tumpukan puing. Kakek Lo Kun, Uk Uk dan Sian Li tak tampak. Ko Cay Sengpun mendelu seperti dicekik setan karena markas pasukannya di selat Hay-teng-kok sudah berantakan, penuh dengan prajurit2 yang sudah menjadi mayat yang malang melintang disana sini. Tak seorang prajurit pun yang dapat diketemukan disitu. Menduga kalau anakbuahnya lari pulang, dia terus menuju ke tepi sungai, di pangkalan tempat perahu2 mereka ditambatkan. Tetapi ah, perahu, itupun lenyap semua.

"Apakah mereka naik perahu dan pulang?" Ko Cay Seng menimang-nimang dalam hati. Tetapi pada lain saat, dia membantah sendiri, "ah, tak mungkin. Mereka taat kepadaku. Mereka tentu tak berani meninggalkan aku. Karena mereka harus memberi pertarggungan jawab  apabila menghadap atasarnya yang menyuruh mereka menyusup ke selat Hay-reng-kok sini Lalu kemanakan

mereka?” Tanya Ko Cay Seng dalam hati. Kemudian ia teringat akan keterangan kakek Lo Kun bahwa Lo san siangjin hendak mengundang pimpinan pasukan Ceng supaya datang ke Lo san.

"Kalau begitu, kakek itu tidak mengoceh tetapi memang berkata benar. Dan kalau begitu pula, kemungkinan Lo-san siangjin tentu bentrok dengan perwira Ka Ting dan bertempur. Menilik keadaan disini, tentulah pasukan Ceng telah menderita kekalahan "

"Celaka," tanpa disadari dia berteriak, "aku dapat membakar markas Lo-san, tetapi orang Losan juga menghancurkan markas pasukan Ceng disini."

Tiba2 ia teringat akan orang tawanan yakni Lau Bun Sui, putera jenderal Lau Cek Jing. Memang putera jenderal itu, dialah yang menangkapnya dan disembunyikan dalam sebuah gua rahasia. Ia telah mengatur siasat yang bagus sekali, mengirim surat kepada jenderal Lau Cek Jing tentang puteranya yang telah ditangkap itu dan menekan agar jenderal itu mau menarik mundur pasukannya dari wilayah Sanse. Penangkapan putera jenderal Lau itu terjadi dikaki gunung Lo-san hingga menimbulkan kesan kepada jenderal Lau, bahwa Lo-san sekarang sudah bersekutu dengan pasukan Ceng.

Siasat dapat diatur dengan bagus tetapi akibatnya ternyata tidak seperti yang diharapkan., Lo-san tetap tak mau bekerjasama dengan pasukan Ceng dan malah telah mengobrak-abrik markas pasukan Ceng di selat Hay-teng- kok dan membunuh-bunuhi prajurit2 Ceng. Bo Su Cay Jin, Seng Su Cay Thian. Demikian bunyi sebuah pepatah yang artinya: Manusiai berdaya, Tuhan yang memutuskan. Dan hal itu telah dialami Ko Cay Seng.

Namun Ko Cay Seng bukanlah seorang jago yang mudah putus asa. Ia sudah kenyang makan asam garam pengalaman dalam peperangan yang memakan waktu bertahun-tahun, antara tentara Ceng dengan tentara kerajaan Beng. Ia menganggap, menang atau kalah itu sudah lumrah dalam peperangan. Jangankan hanya menghadapi kelompok sekecil Lo san, bahkan melawan tentara kerajaan Beng yang begitu besar dan kuat, toh tentara Ceng dapat menang. Dan bukankah dia masih mempunyai sebuah senjata yang ampuh berupa putera jenderal Lau yang sudah ditawannya itu?

Ia segera ayunkan langkah menuju ke gua tempat ia menyimpan Lau Bun Sui. Gua itu terletak di sebuah karang yang merupakan dinding penahan air sungai Hongho. Gua itu terletak di tengah karang yang tingginya lima tombak. Untuk mencapai gua itu, orang harus menggunakan alat tali melorot ke bawah. Pada waktu musim hujan, karang amat licin sehingga kalau tak hati2, orang dapat tergelincir jatuh ke bawah dan tenggelam dalam air sungai. Gua itu ditemukan ketika tentara Ceng datang ke daerah situ.

Ko C iy Seng meluncur turun kedalam gua. Ternyata Lau Bun Sui memang masih berada disitu. Pemuda itu tak dapat bergerak kemana-mana karena sebelah kakinya diikat dengan rantai yang ujungnya diikatkan pada segunduk batu besar.

"Mau apa engkau!" bentak Lau Bun Sui ketika Ko Cay Seng datang.

"Jangan banyak mulut!" kata Ko Cay Seng, "kau harus ikut aku." "Tidak, bunuhlah aku!"

"Tak perlu, jiwamu berharga sekali," kata Ko Cay Seng, "sudahlah, jangan kuatir. Kalau engkau menurut, kelak engkau tentu akan menikmati kehidupan yang enak. Engkau akan kuusulkan menjadi ti-hu (residen) daerah mana yang engkau senangi."

"Huh, apakah engkau seorang raja?" ejek Bun Sui. "Bukan, aku juga bangsa Han seperti engkau," kata Ko

Cay Seng, "tetapi aku merasa muak terhadap raja Beng  dan

mentri serta pembesar2 kerajaan. Mereka tidak becus mengurus pemerintahan tetapi hanya pandai menindas rakyat untuk memperkaya diri mereka. Aku rela bekerja kepada kerajaan Ceng karena kerajaan Ceng dapat menghargai tenagaku dan memperlakukan aku dengan  baik. Aku percaya kerajaan Ceng-lah yang kelak akan membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kehidupan rakyat kita."

"Terserah saja kalau engkau mau menjadi budak orang Ceng. Tetapi. jangan harap engkau dapat membujukku," seru Ban Sui, "biar buruk, biar jahat, tetapi kerajaan Beng adalah kerajaanku, aku tetap seria kepada Beng."

Ko Cay Seng tertawa, "Engkau seoraig penghianat !" "Jangan bicara seenakmu sendiri. Aku tidak takut mati,

Kalau   mau   bunuh,   bunuhlah.   Tetapi   aku   tetap  akan

mengatakan bahwa engkaulah yang layak disebut penghianat itu!"

"Anak cacing !" teriak Ko Cay Seng," aku ingin bertanya kepadamu, apakah yang disebat penghianat itu ?"

"Penghianat yalah orang yang bekerja pada lain bangsa untuk mencelakai bangsa dan negara nya sendiri !" "Ocehanmu itu, bukan keluar dari buah pikiranmu sendiri melainkan hanya menjiplak apa yang dikatakan orang. Sekarang jawablah, mana yang layak disebut penghianat. Orang yang membiarkan raja, mentri dan pembesar2 bangsanya bertindak sewenang-wenang menindas rakyat, atau orang yang bekerja sama dengan bangsa lain untuk memberantas keadaan yang mencelakai rakyat?"

"Kalau engkau anggap raja, negeri dan pembesar2 kita tidak becus dan korup, mcnjapa engkau tidak memberantas mereka ? Mengapa engkau harus mengundang bangsa lain untuk menindak rajamu sendiri ?"

"Hm, itu memang dalih yang biasa digunakan orang untuk memaki orang yang bekerjasama dengan kerajaan Ceng. Tetapi ketahuilah, aku sudah berusaha kearah itu tetapi tak ada orang yang mau membantu bahkan mendengarkan omongan-kupun mereka merasa jijik. Oleh karena itu aku bertindak menurut caraku sendiri. Aku seorang diri jelas tak mungkin akan memberantas keadaan yang bobrok di kerajaan Beng itu. Maka aku terpaksa mau bekerjasama dengan kerajaan Ceng untuk menumbangkan kekuasaan raja Beng yang gelap pikiran, memberantas kaum dorna dan pembesar2 yang tak becus itu. Aku tidak mempedulikan siapa yang menjadi raja, pokok dia dapat memberi kebahagiaan dan kesejahteraan kepada rakyat, aku akan mendukungnya. Orang boleh menuduh aku tidak  cinta negara, tidak setya tetapi orang harus melek bahwa aku ingin membahagikan rakyat. Aku tidak cinta negara tetapi aku lebih cinta rakyat," kata Ko Cay Seng dengan berapi-api.

"Hm, sudahlah, tak perlu engkau ngotot begitu kalap," kata Lau Bun Sai, "katakan apa maksudmu datang kemari

?" "Akan kubawamu menghadap panglima Torgun. Percayalah, dia seorang yang bijaksana. Kalau engkau mau bekerja dengan dia, dia tentu akan memberimu pangkat dan kedudukan yang layak dengan kecakapanmu."

Bun Sui diam. Ia membayangkan akan keadaan dirinya. Sebagai anak seorang jenderal dia memang telah hidup dalam kemanjaan. Apalagi setelah timbul peperangan, undang2 perang berlaku di seluruh negara, dia makin senang hidupnya. Dia dapat mengganggu wanita mana saja yang di-ingininya. Rasanya tak mungkin lagi ada kenikmatan hidup yang dapat melebihi keadaannya saat itu. Jika dia mau tunduk pada kerajaan Ceng, apakah kerajaan Ceng mau memberinya kedudukan dan kenikmatan hidup seperti yang ia alami saat itu ?

"Lau kongcu," kata Ko Cay Seng pula. Kali ini dia menyebut Bun Sui dengan kata menghormat 'kongcu'. Rupanya dia dapat menyelami keraguan anak jenderal itu, "lihat diriku, Walaupun aku seorang Han, tetapi panglima Torgun mau menaruh kepercayaan penuh kepadaku. Semua prajurit sampai perwira Ceng, diharuskan menghormat dan tunduk padaku. Kelak apabila peperangan sudah selesai, akupun akan diangkat sebagai gubernur di salah sebuah propinsi. Jika engkau mau bekerja dan benar2 setya kepada kerajaan Ceng, bukan mustahil kalau kelak engkau akan diangkat sebagai tihu (residen)."

Ia berhenti sejenak Ko Cay Seng melanjutk lagi, "Justeru sekaranglah saatnya kita mendirikan jasa. Apabila perang sudah selesai tentu sukar untuk mendapat kedudukan tinggi. Ketahuilah, kongcu, sudah menjadi kodrat hidup bahwa segala sesuatu itu tidak kekal. Demikian pula dengan kerajaan. Kerajaan Beng sudah lama berdiri, ibarat orang sudah terlalu tua, harus mati dan diganti dengan yang baru. Wahyu kerajaan Beng sudah pudar dan beralih kepada kerajaan Ceng. Buktinya dengan mudah saja pasukan Ceng dapat menduduki kotaraja Pak-kia. Memang kalau sudah tiba saatnya kerajaan itu harus tenggelam maka dengan mudah saja dia akan dikalahkan. Segala kebobrokan pemerintahan Beng yang dilakukan oleh mantri2 rakus dan jenderal2 tak becus, hanyalah suatu alat dari-kodrat untuk menghancurkan kerajaan itu."

Ban Sui termenung. Mau tak mau ia terpengaruh juga mendengar kata2 Ko Cay Seng. Diam2 ia mengakui kebenarannya. Menilik bagaimana kalutnya pemerintahan Beng, dimana mentri2 dan jenderal2 saling berebut kekuasaan, sedang raja tak mau mengurus pemerintahan, memang apa yang dikatakan Ko Cay Seng itu akan segera menjadi kenyataan.

Tetepi dia masih takut akan ayahnya. Walaupun ayahnya sayang kepadanya tetapi sebagai seorang jenderal dia memang keras.

"Begini kongcu," kata Ko Cay Seng, "aku ada usul, entah kongcu dapat menyetujui atau tidak."

"Apa?"

"Akan kupersilakan kongcu pulang. Usahakan untuk membujuk agar ayah kongcu, Lau ciangkun, mau bekerja sama dengan kerajaan Ceng. Dan setiap kali kongcu mendengar berita tentang gerakan pasukan Beng, harap kongcu suka memberi kabar kepada kami. Akan kusuruh orangku setiap kali menghubungi kongcu. Dia akan memberi petunjuk kepada kongcu, bagai mana kongcu harus bertindak dan akan menerima kabar dari kongcu

.......... "

"Agar tidak diketahui orang dan agar kong-cu dapat mengetahui dia utusanku atau bukan setiap kali bertemu cukuplah kongcu menegurnya dengan kata2 sandi ‘Gunung tinggi’. Dan orang itu harus dapat menjawab ‘hidup lagi’ . Nah, kongcu boleh mempercayakan kepentingan kongcu kepadanya," kata Ko Cay Seng pula.

‘Gunung tinggi' dalam bahasa aselinya disebut Ko San. Dan ‘hidup lagi' , adalah Ciy Seng. Dengan begitu jelas kata sandi itu berarti Ko ( san ) Cay Seng.

"Sebagai tanda dari persetujuan kita, temuilah bingkisan ini," Ko Cay Seng menyerahkan sebuah kantong.

Ketika Bun Sui menerima dan membukanya, ternyata berisi batu permata berlian yang tak ternilai harganya,

"Kongcu dapat mempergunakan benda itu untuk mempengaruhi anak pasukan agar taat pada kongcu," kata Ko Cay Seng lebih lanjut, "benda2 berharga itu tak berarti. Jangankan hanya sekantong, sekarungpun kongcu pasti akan bisa mendapatkan. Lihatlah aku. Pada setiap kali, pasukan Ceng menduduki daerah atau kota, waktu aku datang memeriksa, perwira2 Ceng itu akan mempeirsembahkan barang2 berharga kepadaku. Mereka, takut dan tunduk kepadaku. Kongcupun akan dapat mencapai kedudukan seperti aku apabila kong-cu bersungguh hati setya dan berjasa kepada kerajaan Ceng. Apapun kongcu tentu dapat memperolehnya dengan mudah, termasuk wanita2 cantik.",

Mendengar kata2 yang terakhir tentang wanita cantik, terhenyaklah pikiran Lau Bun Sui. Memang kalau menilik jalannya peperangan, pasukan Beng sukar untuk bertahan menghadapi serangan pasukan Ceng. Rasanya nasib kerajaan Beng sudah diambang senjakala.

Diapun membayangkan ayahnya. Kalau ayahnya itu setya kepada kerajaan Beng, jelas tentu akan mengalami nasib yang gelap. Sebagai seorang putera ia harus menyelamatkan jiwa ayahnya. Ia akan membujuk ayahnya agar mau bekerja, di kerajaan Ceng supaya tetap lestari menjadi jenderal.

“Seorang laki2 harus berani melaksanakan cita2 yang besar," katanya dalam hati, ''sekarang adalah saat2 untuk mengangkat diri menjadi orang agar kelak dapat mencapai pangkat dan kedudukan tinggi. Jelas kerajaan Beng sudah suram. Wahyu kerajaan pindah kepada kerajaan Ceng. Aku harus berani menentukan sikap memilih junjungan yang tepat."

Rupanya Ko Cay Seng dapat memperhatikan perobahan airmuka Bun Sui. Walaupun tidtk memberi pernyataan dengan mulut, tetapi jelas putera jenderal itu sudah menerima tawarannya.

"Kongcu, mari kita keluar," kata Ko Cay Seng. Setelah berada di luar, Ko Cay Seng berkata, "mari kita pergi ke bukit di sebelah muka itu. Pengiring kongcu berada disana."

"O, bagaimana keadaan mereka?"

"Luka-lukanya sudah sembuh dan mereka-pun sudah menerima tawaranku. Mereka tetap akan menjaga dan melindungi kongcu. Kongcu boleh mempercayakan kabar yang kongcu hendak sampaikan kepadaku nanti, kepada mereka."

Dalam keadaan yang sudah menjadi kenyataan itu, Lau Bun Sui tak dapat berbuat apa2 lagi.

Untuk mencapai bukit itu, keduanya harus melalui hutan yang tumbuh di sepanjang tepi sungai Hong-ho.

 Saat itu masih pagi. Setelah melepaskan prajurit! pengiring Bun Sui yang ikut minggat dengan anak jenderal itu karena mendapat hukuman rangket dari jenderal Lau Cek Jeng, maka Ko Cay Seng pun segera akan berpisah. Dia akan menyeberang sungai Hong-ho untuk memberi laporan kepada panglima Ceng.

Jalan yang menyusup ke hutan di sepanjang tepi sungai Hong-ho, memang berbahaya. Jalan itu merupakan jalan setapak. Terutama kalau musim hujan, jalan itu licin sekali. Sekali tergelincir, orang tentu akan jatuh kedalam sungai Hongho yang airnya kuning.

Tengah keduanya berjalan dengan menumpahkan perhatian pada jalan yang harus dilaluinya, tiba2 Bun Sui menjerit dan tahu2 tubuhnya pun terangkat keatas.

Ko Cay Seng loncat mundur dan bersiap.

"Wah, celaka! Bukan babi hutan tetapi manusia!" terdengar suara orang berteriak dengan, nada yang parau.

Bun Sui yang terapung-apung diatas menjerit-jerit, "Hai, siapakah yang menarik aku ini !"

Diapun meronta-ronta dan berusaha untuk melepaskan benda yang mengait di tengkuk bajunya. Tangannya segera mencekal sehelai tali yang lembut, hanya sebesar benang. Ia berusaha untuk memutuskannya tetapi tak berhasil. Dan dia rasakan tubuhnya makin lama makin naik keatas. Akhirnya dia nekad. Dengan sekuat tenaga dia meronta kebawah, brattttt...... memang Bun Sui berhasil meluncur ke tanah tetapi leher baju anak jederal itu hilang dan bajunyapun robek separuh.

"Wah, babi itu nakal sekali, berani melepas kan diri," terdengar pula suara parau itu. Baru Bun Sui berdiri ditanah, ia rasakan tu buhnya terangkat lagi keatas. Celaka, kalau tadi leher baju belakang yang ditarik keatas, sekarang sabuk pinggangnya. Dan jika tadi dia terangkat keatas dalam posisi berdiri, sekarang dia harus membungkuk, kepalanya terkulai kebawah sejajar dengan kakinya, dalam keadaan seperti itu, dia benar2 mati kutu.

"Ko tayjin, tolonglah aku !" teriaknya meminta pertolongan Ko Cay Seng.

Ko Cay Seng memang terkejut sehingga dia terlongong- longong. Dia sadar kalau Bun Sui sedang terancam maut. Cepat dia ayunkan tubuh dalam gerak It-ho-jong-thian atau Burung-bagau-menerobos- langit. Bagaikan sebuah meteor, dia membubung keatas.

"Auh....., " tiba2 ia mendesuh kejut dan terpaksa berjumpalitan turun karena dadanya didupak kaki Bun Sui.

Ternyata waktu Ko Cay Seng melambung ke atas tiba2 tubuh Bun Sui itupun bergerak melayang menyongsongnya. Bun Sui keloncalan dan tanpa sengaja kakinya telah mendupak dada Ko Cay Seng.

Ko Cay Seng penasaran. Ia tahu bahwa orang yang mengait Bun Sui itulah yang memainkan tubuh Bun Sui untuk membenturnya. Sekali lagi dia melambung ke udara. Tetapi pada saat itu pula, tubuh Bun Suipun meluncur turun ke bawah sehingga Ko Cay Seng kecele. Ia segera meluncur turun tetapi pada saat itu tubuh Bun Sui ditariki keatas lagi.

Ko Cay Seng kesima. Siapakah gerangan yang mempermainkan Bun Sui itu ? Setan ? Ah,, tak mungkin. Dia tak percaya. Tentulak bangsa manusia. Dan untuk membuktikan dugaannya ia memandang keatas dan meneliti setiap dahan dan daun. "Ah," dia mendesuh kejut ketika melihat sebuah pemandangan yang aneh. Pada sebatang, dahan yang tertutup oleh gerumbul daun lebat, ia melihat seorang kakek tua duduk bersama seorang gadis.

Rambut putih dari kakek itu terurai menutup kedua bahu dan kumis serta jenggotnya yang putih rnenjulai menutupi dada. Dan ketika memandang si gadis, Ko Cay Seng hampir menjerit kaget. Gadis itu, ya, gadis itu bukankah gadis yang hendak ditangkapnya tetapi akhirnya loncat kedalam sungai Hong- ho ?

"Lojin, dialah yang mencelakai aku," tiba2 gadis itu bicara seraya menuding kepada Ko Cay Seng.

"O, apa engkau hendak menangkapnya?” tanya si kakek. "Ya, dia akan kulempar kedalam sungai," kata gadis itu. "Baik, tetapi engkau harus hati2. Dia seekor macan

kumbang yang berbahaya."

Si gadis terus melayang turun dan tepat berdiri dihadapan Ko Cay Seng.

"Engkau ....... engkau bukan gadis yang kemarin loncat kedalam sungai ?" seru Ko Cay Seng.

"Ya," sahut gadis itu yang tak lain adalah Sian Li. "Engkau .... engkau masih hidup ?"

"Masih," sahut Sian Li, "setan penunggu sungai Hong-ho menolak kedatanganku. Aku dikembalikan ke dunia dengan sebuah pesan."

"Apa ?"

Disuruh mengirim engkau kepadanya. Raja penunggu sungai Hongho hendak menikahkan puterinya dan membutuhkan pelayan. Engkau akan dijadikan salah seorang pelayang di sana."

"Budak liar!" bentak Ko Cay Seng, "akan kukembalikan engkau kepada setan sungai Hong-ho."

"Yang dicari adalah engkau, bukan aku. Lekas engkau serahkan diri!" Sian Li terus loncat menerjang dengan pedang ditebaskan untuk membelah kepala orang.

"Bagus," seru Ko Cay Seng seraya menghindar, iapun mengeluarkan sepasang pit-besi dan mulai  balas menyerang.

Dengan ilmu menutuk yang lihay. Ko Cay Seng mendesak Sian Li. Sepasang pit-besinya bagai sepasang naga yang berebut mustika. Tetapi pada saat ia mendapat peluang untuk menutuk bahu Sian Li, sekonyong-konyong dari atas berhembus angin keras yang hendak menghantam ke padanya. Buru2 ia menyurut mundur. Ah, ternyata angin keras itu adalah tubuh Bun Sui yang meluncur kearah kepadanya.

Melihat Bun Sui melayang di hadapannya, dengan cepat Ko Cay Seng terus menubruknya tetapi kejutnya bukan kepalang ketika tubuh Bun Sui melayang keatas. Ko Cay Seng menubruk angin kosong dan tepat pada saat itu Sian Li pun membacok kepalanya, sringngng ....

Ko Cay Seng memang hebat. Didamping itu dia  memang sudah banyak makan asam garam dalam pertempuran. Dalam menghadapi ancaman maut itu, dia tak gugup. Dengan gerak Hong-hong-tiam- thau atau Burung-hong-menundukkan-kepala, tundukkan kepalanya. Pedang Sian Li yang menyambar beberapa inci diatas kepalanya tak berhasil membelah kepala Ko Cay Seng tetapi hanya dapat memapas kopiah sasterawan yang dikenakan Ko Cay Seng. Segumpal rambutnya yang ikut terbabat, berhamburan rontok.

Setelah menundukkan kepala, Ko Cay Seng loncat ke belakang. Dia mengucurkan keringat dingin ketika melihat hamburan rambutnya. Ia menyadari bahwa saat itu dia sedang berhadapan dengan seorang sakti. Jika Sian Li saja, dia masih sanggup untuk mengalahkan. Tetapi kakek berambut putih yang mengait tubuh Bun Sui itu, sukar dilawan. Dia tak tahu dengan alat apa maka Bun Sui dapat dipancing keatas dan dilayangkan naik turun. Tetapi yang jelas, kakek itu tentu seorang sakti yang luar biasa.

Setelah memperhitungkan bahwa dia takkan menang bahkan lebih banyak akan celaka kalau melanjutkan pertempuran dengan Sian Li, dia segera mengambil keputusan. Dia merogoh segenggam senjata rahasia thiat- lian-cu lalu ditaburkan ke arah Sian Li.

Tring, uing, tring .... Sian Li memutar pedang untuk menyapu senjata rahasia yang berbentuk seperti bunga teratai itu. Tetapi pada saat dia sibuk melakukan itu, Ko Cay Sengpun sudah loncat ke belakang dan terus melarikan diri.

"Tak perlu dikejar," seru kakek tua itu ketika Sian Li hendak mengejarnya. Kakek itu tahu. bahwa Sian Li masih kalah lihay dari orang itu. "kita kan sudah dapat menangkap seekor babi. Tak perlu temaha memburu macan kumbang itu."

Dalam pada berkata-kata itu, kakek rambut putihpun sudah melayang turun dari dahan pohon pada ketinggian lima tombak. Anehnya tubuh Bun Sui masih bergelantung terpisah dua meter dari tanah.

"Siapakah macan kumbang tadi?" tanya kakek itu '"Dia kaki tangan kerajaan Ceng."

"Kerajaan Ceng? Apakah sekarang sudah ganti kerajaan?"

"Yang memerintah negara kita sekarang ini, adalah kerajaan Beng tetapi orang2 Ceng dapat menyerang dan menduduki kotaraja lalu mendirikan kerajaan baru."

"Apakah Cu Goan Ciang yang mendirikan kerajaan Beng itu masih hidup?"

"Ah, lojin ini bagaimana. Dia kan sudah hampir seabad meninggal. Sekarang sudah raja Beng turunan yang keempat."

“Ah, itulah kalau orang ingin jadi raja. Cu Goan Ciang itu sedesa dengan aku. Dia jadi raja aku jadi tukang pancing. Dia sudah mati aku masih bernyawa. Apa sih enaknya jadi raja. Banyak pusing mengurus pemerintahan, banyak kesenangan berpesta dan wanita. Akhirnya lekas tua lekas mati "

Sian Li melihat tubuh Bun Sui yang masih terkatung- katung diatas tak berkutik, "Lo-jin, dia tak berkutik, jangan2 dia juga mati!" serunya.

Kakek tua itu enjot tubuhnya keatas sebuah dahan, dari situ dia melayang lagi keatas dahan tempat dia duduk lagi. Dia melepaskan tali pengait tubuh Bun Sui dan anak jenderal itupun meluncur turun ke tanah.

"Bagaimana, apa dia mati?" seru kakek itu ketika melayang turun ke tanah.

"Dia masih bernapas tetapi pingsan," sahut Sian Li.

Sejenak kakek itu mencekal tangan Bun Sui dan memeriksa denyut nadinya, "Ah, dia terkenu tutukan pada lambungnya. Tak apa setengah jam lagi dia tentu sudah sadar lagi."

Siapakah kakek tua itu? Dan mengapa Sian Li tidak mati tetapi berada bersama kakek itu? Untuk jelasnya, mari kita mundur dulu, mengikuti peristiwa ketika Sian Li mencebur ke dalam sungai Hong-ho.

Sian Li memang telah mendapat didikan ilmusilat yang tinggi dari Kim Thian Cong. Disamping ilmusilat, Kim Thian Congpun telah menempa jiwanya menjadi seorang gadis yang keras hati. Maka ketika Ko Cay Seng hendak menangkapnya, ia kuatir dirinya akan dicemarkan. Lebih baik mati daripada kehilangan kehormatannya, Maka diapun terus loncat ke dalam sugai.

Begitu masuk kedalam air, dia tak tahu lagi apa yang terjadi. Dia merasa mati. Tetapi keesokan harinya ketika  dia membuka mata, dia terkejut sekali ketika mendapatkan dirinya berada di-sebuah gua. Tetapi yang membuatnya hampir menjerit dan terus melonjak bangun adalah beberapa moncong tikus yang tengah memandangnya. Belasan tikus yang berbulu putih tengah mendekam berjajar-jajar dibawah tempat dia tidur.

"Tikus !" Sian Li terus hendak lari ke luar tetapi pada

saat itu diambang pintu gua tegak seorang kakek berambut putih. Hampr saja dia membentur kakek itu.

'"Mengapa takut?" tegur kakek berambut putih itu.

"Sia ....... siapa engkau?" Sian Li terkejut memandang kakek yang rambut, kumis dan jenggotnya putih memanjang menutupi muka dan dada. Hampir saja Sian Li mengira kalau sedang berhadapan dengan seekor kera putih.

"Aku pemilik gua Tikus-putih ini," kata orang tua itu. "Apakah lojin yang membawa aku kemari?" tanya Sian

Li

"Ya," sahut kakek itu seraya melangkah masuk, "Hai,

anak2, kalian boleh main2 keluar. Anak perempuan itu takut kepada kalian."

Terdengar kawanan tikus putih itu bcrcicit-cicit dan terus lari keluar. Sian Li hanya melongo saja.

"Duduk," kakek itu menyuruh Sian Li, "engkau tentu lapar, bukan ?"

"Lojin," kata Sian Li, "apa lojin yang menolong diriku?" 'Sudahlah, jangan pikirkan hal itu," kata kakek berambut

putih, "dibilang menolong tetapi sebenarnya aku tak sengaja menolong. Tak perlu engkau mengatakan saat itu,"

"Tetapi bagaimana lojin dapat membawa diriku kemari

?"

"Tadi malam kan bulan purnama," kata kakek berambut

putih itu, "entah bagaimana timbul keinginanku untuk memancing dilaut sembari menggadangi rembulan purnama. Tahu2 pancingku terseret air dan hampir saja akupun ikut tertarik jatuh. Untung aku dapat menahan dan waktu kutarik ternyata pancingku mengail sesosok tubuh manusia, ya engkau ini. Lalu kubawamu pulang kemari. Eh, engkau tentu lapar, tetapi sayang aku tak punya persediaan beras dan selamanya aku memang tak makan nasi. Eh, tetapi mungkin engkau doyan. Ambillah dalam kuali itu, telur kura dan tiram yang kurebus."

"Terima kasih, lojin, aku tidak lapar," katai Sian Li, "aku mohon tanya siapakah gerangan nama lojin yang mulia ini

?? "Tidak, kalau engkau tak mau makan, aku pun tak mau menjawab. Hayo, ambillah."

Terpaksa Sian Li mengambil dua butir telur kura, terus hendak dimakannya.

"Tunggu," seru kakek berambut putih itu, "tidak enak kalau hanya dimakan begitu saja. Harus di campur dengan ini," ia menyodorkan sebuah guci.

"Arak ?" tanyak Sian Li.

"Bukan, madu tawon," sahut si kakek, "Bagaimana lojin memperoleh madu tawon ini?'

Kakek berambut putih itu tertawa, "Engkau tentu heran, bukan ? Ketahuilah, semua binatang dan margasatwa di hutan ini, anakbuahku. Merekalah yang menyediakan makanan kepadaku. Nah itu dia, tawon2 sedang mengantar madu "

Sian Li heran karena dia tak mendengar suara apa2. Tetapi beberapa saat kemudian, diluar gua terdengar suara mendengung-dengung yang gemuruh dan pada lain saat beratus ribu ekor tawon menerobos masuk dan hinggap pada langit-langit goa. Ternyata pada langit2 gua itu terdapat beberapa sarang tawon.

“'Nah, setelah kawanan tawon itu pergi, dalam sarang tawon sudah'penuh madu," kata kakek berambut putih.

Sian Li baru percaya. Ternyata telur kura rebus dicampur dengan madu, merupakan hidangan yang nikmat dan menyegarkan semangat.

"Berpuluh-puluh tahun aku tak pernah makan nasi. Makananku hanya daun2 mentah dan madu. Ternyata aku tak merasa loyo dan tetap awet muda," kata kakek berambut putih. Setelah beberapa saat, Sian Li mengulang pula pertanyaannya untuk mengetahui nama kakek itu.

Kakek itu merenung beberapa saat. Ia seperti mengenangkan kehidupannya di masa yang lalu.

"Ah, apabila menceritakan tentang kehidupanku yang lalu, hanyalah mengundang kasedihan saja, "kakek itu menghela napas," tetapi hampir berpuluh tahun aku tak pernah menerima tetamu. Tak apalah, akan kuceritakan kepadamu riwayatku dulu."

Sian Li menghaturkan terima kasih.

"Dulu aku pernah mencintai seorang gadis. Tetapi keadaan kita seperti langit dengan bumi. Dia anak orang kaya dan aku anak petani miskin. Gadis itu juga mencintai aku tetapi orangtuanya tak setuju. Kemudian gadis itu dilamar tihu untuk dijodohkan dengan puteranya. Tetapi gadis itu tak mau dan mengajak aku lari.

"Sudah tentu tihu marah sekali karena merasa dihina. Dia kerahkan prajurit untuk mengejar. Akhirnya mereka dapat mengejar aku ketika aku dan pacarku itu lari kedalam sebuah hutan. Aku nekad melawan tetapi kalah dan ditangkap. Setelah di rangket sampai pingsan aku dimasukkan kedalam penjara. Untung sebelum keputusan hukuman mati sempat dilaksanakan, terjadilah pemberontakan kaum petani yang dipimpin oleh Cu Goan Ciang. Mereka juga menyerbu penjara dan membebaskan orang2 hukuman, termasuk aku.

"Saat itu timbullah dendam kesumatku. Aku segera mengajak kawan2 untuk menyerbu gedung tihu. Kubunuh tihu, puteranya dan seluruh keluarga. Sejak itu aku ikut berjuang untuk menumbangkan kerajaan Goan. Tetapi dalam pertempuran di sungai Hong-ho aku terluka dan hanyut dalam sungai. "Tetapi mungkin nasibku masih belum ditakdirkan mati, aku telah ditolong oleh seorang penangkap ikan. Ternyata dia seorang sakti yang mengasingkan diri dari keramaian dunia. Sejak itu aku menjadi muridnya hingga sampai sekarang masih tetap melanjutkan pekerjaannya sebagai tukang pancing ikan."

"Tetapi lojin, bagaimana dengan gadis tunangan lojin itu?" tanya Sian Li, "apakah lojin tak pernah menyelidiki kabarnya?"

Kakek berambut putih itu menghela napas, "Sudah, aku mendapat idin dari suhu untuk pulang ke desa menjenguk keluargaku. Ternyata keluargaku sudah hilang tiada beritanya. Sedang nona tunanganku itupun tak ketahuan beritanya "

"Apakah ....... ah, mudah-mudahan saja nona itu tak menderita suatu apa," kata Sian Li, "apakah lojin tak berusaha mencarinya?"

"Sudah," kata kakek itu, "aku mengembara keseluruh penjuru tanah air untuk mencari gadis itu. Kalau memang sudah meninggal dimana kuburnya kalau masih hidup dimana tempatnya."

"Lalu?"

"Pada suatu hari ketika berjalan di sebuah pegunungan aku telah dihadang oleh orang jahat. Pemimpin mereka terdiri dari lima orang bersaudara yang berilmu silat tinggi. Kulawan mereka. Tetapi karena aku hanya seorang dan mereka berlima, akupun kalah. Untunglah dalam saat2 yang berbahaya itu muncul seorang nikoh (rahib) memberi pertolongan. Kelima brandal itu dihajar pontang-panting oleh hudtim (kebut) rahib itu, Aku hendak menghaturkan terima kasih tetapi rahib itu sudah lari. Kukejar dia, ah, ternyata ilmu ginkang rahib itu jauh lebih hebat dari aku. Akhirnya aku kehabisan napas dan menggeletak dibawah pohon .....

"Aku benar2 kehabisan tenaga. Habis bertempur melawan brandal lalu lari mengejar rahib aneh itu. Aku tertidur hingga lewat tengah malam baru tersadar. Ketika aku membuka mata, kejutku bukan alang kepalang. Ternyata rahib itu tengah duduk bersila dihadapanku, bersemedhi pejamkan mata."

'O, engkau ....... suthay .......," serentak aku bangun hendak membeii hormat.

"Ah, janganlah ....... tak perlu," kata rahib itu," apakah engkau masih kenal padaku ?"

Pertanyaan itu membuat hatiku berdebar keras. Memang waktu perama kali melihat rahib itu, aku sudah mempunyai dugaan siapa dia. Tetapi karena dia melarikan diri maka aku tak sempat .bertanya.

"Apakah ....... apa ....... apakah engkau bukan , Bun

siocia ?"

"In-long. " rahib itu memandang lekat2 kepadaku.

"Memang benar. Rahib itu tak lain adalah Bun Liang Ing, gadis yang menjadi pujaan hatiku. Aku tak dapat menahan luapan perasaanku. Seketika kupeluknya. Lama kami berdua tenggelam dalam kenangan rindu. Beberapa saat kemudian dia menolak tubuhku dan melepaskan diri dari pelukanku.

"Ah, in-long, kita harus menyadari akan kenyataan," katanya, In-long adalah kata yang diucapkan seorang isteri terhadap suaminya.

"Apa maksudmu?" "Pertama, kita sudah sama tua. Kedua, sekarang ini kita hidup dalam dinia yang terpisah. Aku telah bersumpah dihadapan hud-cou untuk menjadi rahib mencari kesempurnaan batin ..."

"Tetapi Ing-moay, bukankah sekarang kita berjumpa lagi?" seruku.

"Benar," kata rahib itu, "tetapi tak mungkin kita melanjutkan hubungan kita yang lampau lagi."

"Mengapa Ing moay, apakah engkau sudah tak cinta lagi kepadaku?"

Rahib itu tertegun. Beberapa tetes nirmala menitik dari sudut kelopak matanya.

"Cintaku kepadamu, adalah sebanyak darah yang mengalir dalam tubuhku," kata rahib itu, "engkau satu- satunya pria yang kupuja dan menjadi ayah dari puteraku

..........”

''Ing-moay, apa katamu!" serentak aku menjerit kaget.

Rahib itu mengangguk, "Benar, in-long, hubungan yang kita jalin sebagai tanda cinta kita, telah menghasilkan seorang anak lelaki."

"Oh, Ing-moay, betapa bahagiaku ....... Dimana dia sekarang?"

Rahib itu menghela napas.

"Hidup manusia itu sudah ditentukan oleh kodrat masing2," katanya, "segala derita sengsara itu adalah karma yang harus kita terima. Barang siapa sudah menghayati akan kodrat hidup yang terbentuk atas karma, maka tiada lagi kesedihan dan derita yang harus disedihkan." "Ing-moay, aku benar2 tak mengerti maksud ucapanmu. Maukah engkau menceritakan bagaimana pengalamanmu setelah kita terpisah dalam serangan prajurit2 tihu itu?"

Rahib itu mengangguk. ( bersambung ).

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar