Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 17 Jaman edan

Jilid 17 Jaman edan

Huru Hara mendapat kesan bahwa Ang Hin itu seorang yang jujur dan bertanggung jawab. Mendengar pengakuan kepala gerombolan gunung Hong-Hong-san itu, Huru Hara tertawa.

"Mengapa engkau berkata begitu? Apakah karena engkau kukalahkan?" tanyanya.

Ang Hin termenung. "Pikiranmu salah," kata Huru Hara pula, "kalah atau menang sudah biasa dalam pertempuran. Ketahuilah, ukuran seorang pemimpin bukan dilihat dari tinggi rendahnya ilmusilatnya. Tetapi dari kebijaksanaan kepemimpinannya dan, kejujuran peribadinya."

Ang Hin masih tertegun diam.

"Engkau jujur saudara Ang Hin," kata Huru Hara, "jangan engkau putus asa karena engkau kukalahkan tadi. Tetapi engkau harus ingat akan kepentingan beratus-ratus anakbuahmu yang menggantungkan hidupnya dibawah kepemimpinanmu. Lihat, sekarang negara sadang dalam, keadaan rang melawan serbuan pasukan Ceng. Jika engkau mengundurkan diri sebagai pimpinan mereka tentu akan kacau dan kemungkinan besar tentu akan terjunkan diri dalam dunia kejahatan, menjadi rampok, begal dan pengacau yang menambah kesengsaraan rakyat kita."

Ang Hin terperangah.

"Dalam satu hal, pendirianmu memang benar. Yalah engkau dapat menghimpun rakyat yang kelaparan dan kehilangan tempat tinggalnya, berkumpul di gunung ini. Yang jelas engkau dapat memberi hidup kepada mereka," kata Huru Hara tetapi dalam lingkungan yang lebih luas yakni dalam kepentingan keamanan rakyat dan  keselamatan negara, pendirianmu itu kurang benar."

"Memang selama dibawah pemerintahan kerajaan Beng, kehidupan rakyat kurang mendapat perhatian. Tetapi itu bukan berarti bahwa kita harus membenci pada pemerintah dan negara. Atau kita terus menjadi penghianat untuk menghianati negara dan bangsa," kata Huru Hara dengan tandas," yang salah adalah kawanan mentri durna yang merebut pengaruh hendak menguasai pemerintahan. Nah, kawanan manusia terkutuk semacam itulah yang harus kita berantas. Soal siapa yang jadi raja, pokoknya dia orang Beng yang setya kepada negara, bijaksana, cakap, itu sudah cukup……."

"Yang paling tepat kalau engkoh yang jadi " tiba2 Ah Liong berteriak.

Sudah tentu sekalian orang terkejut dan Huru Hara pun membentaknya, "Hus. jangan bicara sembarangan! Tidak mudah orang jadi raja itu. Dan lagi engkau kira jadi raja itu enak apa?"

"Lho, jadi raja kan dihormati orang dan tinggal perintah saja, segala perintahnya tentu diturut," seru Ah Liong.

"Hm, memang kalau orang bicara soal raja, lalu menganggap dari segi enaknya saja," kata Huru Hara, "pada hal sesungguhnya raja itu adalah kepala negara, kepala seluruh rakyat. Menjadi kepala harus memikirkan bawahannya, rakyat dan negerinya. Harus cakap dan bijaksana, harus adil dan berwibawa. Mana orang seperti aku pantas jadi raja?"

"Tetapi tidak hohan," tiba2 Ang Hin berkata dengan nada bersungguh, "aku ingin engkau yang menjadi raja kita!"

"Gila!'' teriak Huru Hara, "jangan dengerin kata bocah kuncung itu. Dia kalau ngomong memang suka seenaknya sendiri saja,"

" Tetapi tidak, hohan." bantah Ang Hin, engkau memiliki kepandaian sakti engkau luas pengalaman dan tajam pikiran, mengapa tak mungkin engkau menjadi raja? Bukankah Li Cu Seng itu juga dulu asalnya hanya seorang pengantar surat? Kalau dia mampu memimpin Lasykar Tani di kemudian menjadi raja mengapa hohan tidak ?” "Ah, saudara Ang," Huru Hata menghela napas, "aku sih tak kepingin jadi raja, Pernah dulu aku jadi. ah, lebih baik

jadi rakyat biasa saja. Lebih tenang, lebih leluasa."

Sebenarnya Huru Hara hendak mengatakan pernah aku dulu jadi menantu raja" ..... tetapi dia buru2 menghentikan dan beralih kepersoalan lain.

"Ya, akupun berpendapat demikian," kata Ang Hin yang tak memperhatikan kata2 Huru Hara tadi dan dia juga tak pernah mengira bahwa pemuda yang berada di hadapannya itu pernah menjadi menantu raja, "tetapi tadi hohan mengatakan bahwa pendirianku itu salah," 

"Jangan salah faham. Ang heng," kata Huru Hara, "yang kukatakan salah tadi yalah pemahamanmu tentang tak mau mengakui kekuasaan Beng. Kenyataan kita kini memang rakyat kerajaan Beng maka kita harus mengakui keberadaannya. Soal raja Beng tak becus, itu memang menjadi kewajiban kita untuk merobah. Saat ini negara kita sedang diserang pasukan Boan Ceng, kita harus menghadapinya. Setelah musuh selesai baru kita pikirkan lagi urusan dalam pemerintahan negara kita."

"Baik," kata Ang Hin, "aku bersedia melakukan anjuran hohan dengan satu syarat yakni hohan harus mau menerima pengangkatan sebagai pemimpin gunung Hong- hong-san ini. Jika hohan menolak, akupun tetap akan melanjutkan pendirianku yang lalu."

"Bagus, encek Ang Hin," teriak Ah Liong pula, “rakyat di desa Siau-koan juga mengangkat engkohku jadi pemimpin dan aku jadi jenderal kecil. Bukankah nanti engkau juga mengangkat aku jadi jenderal kecil dari Hong- hong-san ?"

“Tentu, tentu," Ang Hin menyahut. Huru Hara hendak membuka mulut tetapi Bok Kian menghampirinya, "Loan-heng," saat ini negara sedang kacau balau, rakyat kehilangan kepercayaan pada pemerintahan. Loan-heng harus menerima mereka agar mereka mendapat pimpinan yang tepat."

Dalam memperkenalkan diri, Huru Hara menyebut dirinya dengan nama Loan Tulan Te maka Bok Kian memanggilnya dengan sebutan Loan-heng.

Huru Hara diam2 dapat menerima anjuran Bok Kian. Memang kalau dia menolak, tentu anakbuah gunung Hong- hong-san itu akan menjadi gerombolan yang mengacau keamanan dan merugikan rakyat.

"Jika Ang-heng memang menghendaki demikian, akupun menerima "

"Bagus'' teriak Ang Hin dengan serentak.

"Tetapi nanti dulu," kata Huru Hara, "akupun juga akan mengajukan syarat."

'O, katakanlah."

"Karena aku sedang mencari Barisan Suka Rela, terpaksa aku tak dapat tinggal disini. Maka kuangkat Ang-heng menjadi wakilku disini untuk memimpin sekalian saudara2."

"Lho, mengapa hohan hendak mencari Barisan Suka Rela? Apakah hohan mempunyai hubungan dengan mereka?"

Huru Hara gelengkan kepala, "Aku tak mempunyai hubungan bahkan kenalpun belum dengan mereka. Aku perlu akan menyerahkan diri untuk memberi keterangan tentang tindakanku waktu aku menolong kolonel Totay dari pasukan Ceng yang diserbu Barisan Suka Rela. Dan kedua, aku hendak minta supaya pamanku yang mereka tawan, dibebaskan."

"Kalau begitu Barisan Suka Rela itu menuduh hohan berhianat?" seru Ang Hin.

"Begitulah anggapan mereka,"

"Jika demikian"," seluruh anakbuah gunung Hong-hong- san akan mengiringkan hohan untuk menghadapi Barisan Suka Rela," kata Ang Hin dengan tandas.

Huru Hara terkejut. Buru2 ia menenangkan kepada orang2 gunung Hong-hong-san itu, "Terima kasih atas dukungan Ang Heng. Tetapi persoalan ini dapat kuselesaikan sendiri. Mereka juga berjuang melawan penjajah Ceng maka tak baiklah jika kita bermusuhan dengan mereka."

"Benar, encek Ang," tiba2 Ah Liong ikut meyelutuk, "persoalan dengan Barisan Suka Rela dapat kami bereskan sendiri. Yang penting jangan lupa. Kalau engkohku jadi pemimpin, kalianpun harus mengangkat aku sebagai jenderal kecil."

Sekalian orang tertawa mendengar ocehan bocah kuncung itu. Karena hari sudah malam, terpaksa Huru Hara dan rombongannya menginap di gunung Hong-hong- san.

Ang Hin herdak mengadakan perjamuan tetapi Huru Hara menolaknya, "Ah, tak perlu. Lebih baik menghemat persediaan makanan. Hari masih panjang dan beratus-ratus anakbuah kita masih harus makan."

Juga Huru Hara menolak untuk dijamu arak. Dia minta teh saja. Malam hari dalam kesempatan beromong-omong barulah Huru Hara tahu bahwa kedua lelaki bertopeng yang hendak membunuh Bok itu adalah dua jago silat yang terkenal dalam dunia hitam yakni Siang Kim Lui tergelar Elang besi dan Gui Pak bergelar Serigala-gigi-baja.

Sebenarnya yang menjadi kepala gunung Hong-hong-san adalah Ang Hin. Tetapi kemudian dia mendapat tambahan dua orang jago silat golongan hitam. Ternyata kemudian kedua orang itu lebih dapat mempengaruhi arakbuah Hong- hong san dan makin menguasai gunung itu. Pengaruh dan kekuasaan Ang Hin makin terdesak sehingga namanya saja toako atau pemimpin pertama tetapi kekuasaan ada pada kedua orang itu.

Sebenarnya memang Siong Kim Lui dan Gui Pak hendak membelokkan tujuan Hong hong-menjadi gerombolan begal. Pada hal tujuan Ang Hin membentuk gerombolan Hong-hong-san tidak begitu, Dia hanya ingin menolong kesengsaraan rakyat yang rumah, sawah dan harta bendanya telah hilang dirampas pasukan Ceng. Memang dia benci kepada kerajaan Beng karena telah menindas rakyat. Tetapi diapun benci juga kepada pasukan Ceng yang telah membikin rusak negara dan membuat rakyat sengsara. Dia ingin membentuk suatu daerah kekuasaan sendiri di Hong-hong-san yang bebas dari kekuasaan kedua kerajaan yang sedang berperang itu.

"Tetapi mengapa Siang Kim Lui dan Gui Pak hendak membunuh Bok-heng?" kata Huru Hara setelah mendengar cerita Ang Hin tentang keadaan gunung Hong-hong-san.

"Memang aku sendiri tak mengerti," kata Ang Hin, "eh, Loan-heng mengatakan bahwa Bok kongcu itu putera kemanakan mentri Su Go Hwat tayjin ?"

"Ya. Kenapa ?" "Ya, sekarang aku teringat," kata Ang Hin, beberapa hari yang lalu gunung ini telah menerima kedatangan seorang pemuda. Dia bersahabat dengan Siang ji-te dan Gui samte. Katanya dia juga putera kemanakan dari Su Gu Hwat tay- jin "

"O, siapakah namanya ?" teriak Bok Kian terkejut. "Aya," seru Ang Hin, "aku lupa , ... kalau tak salah ....

ah, aku hanya ingat dia dipanggil Su kongcu oleh ji te dan

sam-te. Namanya yang lengkap aku lupa sama sekali." "Ah, tentu dia," seru Bok Kian.

'"Siapa ?" tanya Huru Hara.

"Su Hong Liang koko, putera keponakan dari paman," kata Bok Kian, "lalu mengapa dia kemari?"

"Katanya kepadaku, hanya sekedar singgah karena sudah lama tak berjumpa dengan ji-te dan sam-te dan kebetulan saja lewat di gunung ini," kata Ang Hin.

Peristiwa Siang Kim Lui dan Gui Pak hendak membunuh Bok Kian memang masih tetap tak dapat diketahui latar belakangnya. Demikian pula mengapa Gui Pak mempunyai lencana Barisan Suka Rela.

Keesokan harinya Huru Hara dan rombongan hendak melanjutkan perjalanan.

"Loan-heng,” kata Ang Hin, "pagi tadi kami telah mendapat laporan dari anakbuah yang kukirim untuk menyelidiki, bahwa induk Barisan Suka Rela itu berpusat di gunung Lu-liang-san di barat-daya (barat selatan) wilayah Sanse.”

Huru Hara mengucap terima kasihi Setelah tinggalkan gunung itu di perbatasan Sanse, terpaksa Huru Hara berpisah dengan Bok Kian yang hendak melanjutkan perjalanan ke Shoa-tang.

"Bok-heng," kata Huru Hara, "setelah urusanku selesai, aku bermaksud hendak mencari Go Hwat tayjin. Aku sudah berjanji pada beliau untuk bekerja kepada beliau. Apabila bertemu dengan beliau, tolong sampaikan keteranganku ini.”

"Baik, Loan-heng," kata Bok Kian, "paman Su tentu gembira sekali apabila Loan-heng segera dapat mendampinginya. Memang beliau sangat sibuk sekali."

oo0oo

Kisah BLO’ON CARI JODOH ini memang merupakan kisah yang panjang. Tetapi justeru karena panjangnya itu banyaklah terjadi peristiwa2 besar dan tokoh2 aneh, Asyikkkk, dah !

Dalam jilid2 yang terdahulu telah diceritakan tentang beberapa rombongan yang terlihat langsung dalam cerita ini. Agar pembaca tidak sampai lupa, maka terpaksa kami akan menceritakan pe-nRiil. irian dan peristiwa yang dialami dari setiap rombongan itu.

Ada tiga rombongan yang telah kami hidangkan, Yakni, rombongan Kim Yu Ci, engkoh dari Kim Blo'on, yang mengantar Han Bi Ing mencari ayahnya di kota Thay-goan- hu. Si dara centil In Hong karena kehilangan kakeknya Tong Kui Tik dan pemuda cakap Wan-ong Kui, terpaksa ikut bersama rombongan Han Bi Ing.

Sebenarnya bermula rombongan In Hong ini terdiri dari dia, Wan-ong Kui Tong Tik dan Han Bi Ing yang sama2 hendak mencari Blo’on di puncak Giok-li-nia gunung Lo- hu-san.

Tetapi di tempat itu mereka disergap oleh kawanan kuku garuda atau kaki tangan kerajaan Ceng. Jago tua Tong Kui Tik bertempur lawan pertapa Suto Kiat dan Win-ong Kui menghadapi Hian Hian tojin, sute dari Hong Hong tojin ketua Go-bi-pay. Mereka lari ke sebuah hutan dan bertempur disitu sehingga tercerai dari rombongan Han Bi Ing dan In Hong. Kedua nona itu hanya menghadapi Ko Cay Seng, sasterawan sakti yang memiliki ilmu kepandaian sekali gus dapat menutuk enam buah jalandarah. Untung Han Bi Ing dapat menusuk telapak tangan sastrawan yang menjadi mata2 kerajaan Ceng itu sehingga terluka dan lari. Dan pada saat itu datanglah Kim Yu Ci engkoh diri Kim Blo'on, (baca : jilid 10).

Rombongan kedua, adalah Liok Sian Li, sumoay dari Blo'on yang tinggal menjaga di gunung. Dialah yang menganjurkan supaya Blo’on jadi pendekar dan turun gunung untuk melamar pekerjaan pada jenderal Ko-Kiat yang membutuhkan pengawal untuk mengantar barang sumbangan pada jenderal Ui Tek Kong.

Selama Blo'on pergi maka Sian Li menyaru sebagai Blo'on untuk menerima tetamu2 yang datang. Memang selama ini ketujuh ketua dari tujuh perguruan besar di dunia persilatan yakni perguruan Siau-lim. Bu-tong, Hoa-san, Go bi, Kun-lun. Kong-tong, dan Kaypang, sering berkunjung ke Gak-in-ma untuk menjenguk keadaan Blo’on. Agar mereka tidak bingung karena Blo'on turun gurung maka Liok Sian Li terpaksa menyaru jadi Blo’on.

Setelah rombongan Wan-ong Kui dan kawanan kuku garuda kerajaan Ceng pergi, Liok Sian Li memutuskan untuk menyusul sukonya. Dia turun gunung seorang diri. Sedarg rombongan ketiga, yalah Tong Kui Tik dan Wan- ong Kui yang belum diketahui bagaimana nasibnya.

Oleh karena mereka itu juga harus diceritakan maka terpaksa kita tinggalkan dulu pendekar Huru Hara yang tengah menuju ke gunung Lu-ang san untuk mencari markas Barisan Suka Rela.

Sekarang marilah kita ikuti perjalanan beberapa orang yang berangkat dari puncak Giok-li-ma itu.

Rombongan Han Bi Ing, In Hong dan Kim i Ci sudah pernah kami ceritakan dalam jilid permulaan cerita ini. Maka kami pilih dulu Liok Sian Li, sumoay Blo'on yang turun gunung seorang diri untuk mencari Blo'on itu.

Sekedar memberi sedikit gambaran tentang keluarga Blo'on kepada pembaca yang belum sempat mengikuti cerita PENDEKAR BLO'ON itulah kami cuplikkan sedikit tentang keluarga Blo’on.

Ayah Blo'on bernama Kim Thian Cong, seorang jago termasyhur yang diagungkan sebagai pemimpin dunia persilatan. Tetapi Blo'on sendiri tidak suka belajar silat.  Kim Thian Cong mempunyai tiga murid. Murid pertama Tio Goan Pa, dua Kwik Ing dan murid ketiga addah seorang gadis bernama Liok Sian Li.

Waktu Kim Thian Cong meninggal, banyak tokoh2 dunia persilatan yang datang untuk melayat. Diantaranya terdapat beberapa tokoh hitam yang hendak melakukan balas dendam. Mereka pernah dikalahkan oleh Kim Thian Cong. Walau pun Kim Thian Cong sudah meninggal tetapi mereka tetap hendak menghancurkan jenasahnya.

Melihat situasi yang berbahaya itu, ketua-ketua perguruan segera bermufakat untuk menyembunyikan jenasah Kim Thian Cong dalam sebuah kamar rahasia dan dijaga oleh Kwik Ing, murid yang kedua. Tetapi secara misterius jenasah hilang dan Kwik Ing mati terbunuh.

Kemudian timbul seorang tokoh hitam yang sakti yang hendak menguasai dunia persilatan. Ketua dari ketujuh partai persilatan tak berdaya. Akhirnya mereka bersepakat untuk menuliskan ilmu kepandaiannya dalam sebuah buku yang diberikan kepada Tio Goan Pa. Agar apabila mereka sampai mati terbunuh, Tio Goan Pa masih dapat memberikan ilmu itu kepada murid dari partai persilatan masing2.

Tetapi ternyata Tio Goan Pa mendurhaka. Dialah yang mencuri mayat gurunya dan diapun 'menelan' kitab pelajaran silat dari ketujuh ketua partai persilatan itu. Kemudian dia melarikan diri menghilang dari dunia persilatan.

Selain Kim Blo'on (nama sebenarnya Kim Yu Yong), dari hasil hubungan asmara dengan seorang wanita lain bernama Hiang Hiang niocu, Kim Thian Cong juga mempunyai putera yang bernama Kim Yu Ci. Dia adalah engkoh dari Kim Blo'on. Bermula engkoh dan adik itu saling berhadapan sebagai lawan, tetapi setelah melalui berbagai liku2 peristiwa, Hiang Hiang niocu muncul dan dapat mendamaikan serta mempersatukan kedua kakak beradik itu.

Demikianlah cuplikan ringkas dari sejarah kehidupan keluarga Blo'on, agar dalam mengikuti cerita BLO’ ON CARI JODOH ini, pembaca dapat memiliki gambaran yang lebih jelas.

Sekarang mari kita ikuti perjalanan Liok Sian Li dulu yang belum banyak diceritakan.

Karena kuatir menerima kunjungan para ketua ketujuh partai persilatan sehingga akhirnya ketahuan kalau Blo'on turun gunung maka dara memutuskan untuk menyusul Blo'on yang saat itu sedang menjadi pendekar dengan nama yang jarang yakni pendekar Huru Hara.

Sian Li tak mau menyaru jadi Bio'on karena kuatir kepergok murid2 ketujuh partai persilatan.

"Hm, ketujuh ketua partai persilatan memang menaruh perhatian besar kepada suko (Blo'on ). Mereka sering rnenasehati agar supaya tetap tinggal saja di gunung dan mau belajar silat. Bahkan beberapa waktu yang lalu, para ketua partai persilatan itu mulai membujuk agar mau menikah. Mereka sanggup mencarikan yang sesuai sebagai jodoh suko," dalam perjalanan Sian Li sempat melamun. Memang orang berjalan seorang diri sering dihinggapi oleh nostalgia atau rasa terkenang pada masa2 lalu.

"Tetapi watak suko itu memang aneh. Suhu sendiri ( Kim Thian Cong ) jengkel karena ia tak mau disuruh belajar silat. Ketujuh partai persilatan itupun bohwat ( tobat ) terhadap suko. Banyak sudah gadis2 cantik, pintar, berilmu tinggi, yang hendak dijodohkan kepada suko tetapi suko selalu menolak," Sian Li melamun lebih lanjut.

"Ah tiba2 ia menghela napas, "orang2 sama menaruh perhatian besar kepada suka karena suko adalah putera seorang pendekar besar yang pernah menjadi pemimpin dunia persilatan. Tetapi siapakah yang memperhatikan diriku?”

Teringat dirinya, hati Sian Li makin rawan. Ia seorang gadis yang sudah sebatang kara. Dia tak tahu apakah di dunia ini masih ada sanak saudaranya lagi yang mash hidup. Sejak kecil dia sudah dipungut suhunya yang memperlakukannya sebagai puterinya sendiri.

Dulu waktu masih kecil, ia memang tak pernah memiliki perasaan sedih akan nasib dirinya, merasa gembira hidup di puncak Giok-li-nia dan dianggap sebagai puteri kandung oleh suami isteri Kim Thian Cong. Disamping itu diapun masih mempunyai dua orang suko yakni Tio Goan Pa dan Kwik Ing. Dia merasa dunia ini indah dan mataharipun gemilang.

Tetapi setelah suko ( isteri Kim Thian Cong ) meninggal dan kemudian suhunya juga meninggal dia merasa dunia  ini sempit. Lebih celaka lagi ketika ji-suko Kwik ing mati dibunuh orang, dan yang paling terasa sebagai palu godam yang menghancurkan perasaannya adalah bahwa toa- suhengnya, Tio Goan Pa, seorang murid durhaka.

Bersama dengan kedua sukonya itu, Sian lie berangkat ke alam dewasa. Diam2 diantara kedua sukonya itu seperti timbul persaingan untuk merebut hatinya. Tio Goan Pa cerdik, tampanpandai mengambil hati. Kwik Ing jujur, agak tolol tetapi setia. Walaupun belum pernah mengatakan, tetapi ia lebih menyukai Kwik Ing dari pada Tio Goan Pa. Dia kasihan dengan ji-suko Kwik Ing. Bahwa ternyata Kwik Ing mati terbunuh menarik kesimpulan bahwa pembunuhnya tentu Tio Goan Pa. Jika Tio Goan Pa sudah berani mencuri jenasah suhunya dan melarikan kitab pusaka berisi ilmu kepandaian dari tujuh partai persilatan ternama, tentu dialah yang membunuh Kwik Ing juga.

Diam2 Sian Li bersumpah dalam hati untuk menuntut balas kepada Tio Goan Pa.

"Hai, nona manis, melamun ya ?" tiba2 didengar suara orang berseru menegurnya. Sian-li terkejut gelagapan" dan berpaling.

Ternyata saat itu dia sedang berada hutan diluar kota Siu-yang-koan. Dan di belakangnya tampak dua orang prajurit yang memandangnya dengan mata berapi-api.

"Wah, cantiknya," teru salah seorang yang bermata sipit. “'Bangsat, prajurit mana kalian ini ?" tegur Sian Li dengan marah.

“Ai nona manis, jangan marah dong," kata prajurit bermata sipit itu," memang kami adalah prajurit dari pasukan jenderal Lau Cek Cing."

“Persetan dengan prajurit jenderal siapa saja. Tetapi tingkahmu itu sungguh kurang ajar!”

"Lho, mengapa kurang ajar ?" seru prajurit mata sipit itu. "Siapa Lau Cik Jing itu ?"

“Salah seorang jenderal kerajaan Beng, nona."

"Apa kewajiban seorang prajurit itu?" tanya Sian Li pula. "Membela negara !"

"Hanya itu ? "Lalu apa lagi ?"

"Apa tidak melindungi rakyatnya ?"

"Tentu dong, nona manis. Kami tentu melindungi rakyat. Tanpa kami mungkin prajurit2 yang ganas itu tentu sudah menangkap nona,” kata prajurit mata sipit dengan bangga.

"Hm, tingkahmu tadi apakah juga termasuk melindungi rakyat?" tegur San Li dengan tajam.

"Lho, mengapa tidak ?" sahut prajurit bermatya sipit itu, "bukanlah rona berjalan seorarg diri?

"Hm, apa pedulimu ?"

"Tentu saja kami harus peduli. Saat ini negara sedang berperang, keamanan dimana-mana kacau, banyak perampok dan begal. Mengapa nona berjalan seorang diri saja ?" ''Eh, enak saja engkau ngomong," berkata Sian Li, "aku dapat mengurus diriku sendiri. Tak perlu kalian repot2 mengurus aku."

'Sudah tentu aku wajib mengurus. Kami sebagai pelindung rakyat, aku harus melindungi keselamatn nona.”

“Gila !" teriak Sian Li, "siapa yang sudi dapat perlindunganmu ? Aku dapat berjalan sendiri dan menjaga diriku sendiri."

"Ai, nona manis, jangan begitu. Daripada nona jatuh ke tangan musuh yang ganas, lebih baik nona ikut kami."

'Cis!'' Sian Li meludah, "ikut manusia macam engkau ?" "Bukan, nona manis. Bukan ikut aku tetapi ikut pada

sauya (tuan muda) kami. Dia tampan terpelajar, kaya dan putra seorang jenderal ternama."

Sian Li deliki mata," Jangan ngoceh tak keruan, bangsat

!"*

"Lho, nona cantik jangan galak2, dan percayalah, nona,

kalau kongcu melihat nona dia pasti bersedia bertekuk lutut menyembah dihadapan nona."

“Gila !' bentak Sian Li muak, "beginikah mentalitas prajurit2 Beng itu?"

'"Apa itu mentalitas ?"

"Mentalitas adalah ahlak atau mutu pikiran, babi!'

“Uh aku tak mengerti mentalitas segala. Yang kutahu hanyalah bahwa engkau ini seorang yang cantik sekali, ha, ha, ha !"

'"Hai apa2an itu prajurit !" tiba2 terdengar suara orang berseru. Mendengar suara itu serentak kedua prajurit itupun pecah nyalinya. Keduanya buru2 menyurut mundur dan berpaling lalu tersipu-sipu membungkukkan tubuh memberi hormat, 'Maafkan kami, kongcu."

Ternyata pada saat itu muncullah seorang pemuda berpakaian mewah, diiring oleh dua orang lelaki gagah. Pemuda itu menyandang tabung anak panah dan memegang busur. Sementara kedua pengawalnya itu masing2 membawa tombak dan lembing.

Serta melihat Sian Li, berubahlah wajah pemuda itu menjadi cerah seketika. Memang pemuda itu cukup tampan. Berkulit putih, mukanya licin dan bersih. Hanya sepasang matanya yang juling dan hidung agak melengkung seperti paruh burung betet.

"Hai, siapa nona itu, prajurit ?" tegur pemuda itu seraya menghampiri.

"Entah, kongcu," sahut prajurit bermata sipit tadi," waktu kami keluar, kami berpapasan dengan nona ini."

"Mengapa tak engkau laporkan kepadaku

"Maaf, kongcu," kata prajurit itu," hamba tentu akan menghaturkan kepada kongcu. Tetapi baru hamba tanya namanya, dia sudah marah! dan memaki-maki hamba."

"Tentu kau ganggu dia !"

"Tidak kongcu. Hamba bertanya dengan baik-baik tetapi dia sudah marah2 tak keruan."

"Hm, pergi !" bentak pemuda itu. Setelah kedua prajurit itu menyingkir, pemuda itu dengan mencerahkan airmukanya, mulai menyapa Sial Li, "Nona, maafkan prajuritku yang tak tahu aturan itu. Tetapi bolehkah aku mendapat tahu nama yang mulia ?" "Maaf, kongcu," sahut Sian Li, "aku harus lekas2 melanjutkan perjalanan agar tidak sampai kemalaman di tengah hutan."

"Nona hendak kemana ?"

"Aku harus mencapai kota sebelum hari keburu gelap," Sian Li menghindari pertanyaan orang.

"Jangan kuatir nona," kata pemuda itu, "nona boleh bermalam di gedungku saja."

"Ah, terima kasih, tetapi aku "

"Kuharap nona jangan menolak. Hari sudah hampir gelap. Percayalah, kami tentu akan melayani nona dengan sebaik-baiknya," kata pemuda dengan gaya yang aksi.

"Hm, siapakah pemuda ceriwis ini? Kalau melihat dandanannya dan membawa pengiring, dia tentu bukan pemuda sembarangan," pikir Sian Li. Ia memutuskan untuk menyelidiki diri pemuda itu.

"Ah, tetapi kita kan belum kenal. Bagaimana mungkin aku seorang gadis menginap di rumah kongcu," katanya untuk memancing keterangan pemuda itu.

"'Ah, tak perlu nona harus sungkan. Aku tingga1 di gedung panglima. Menginap disana bukan main amannya," kata pemuda itu.

"O, kongcu tinggal di gedung panglima. Apakah kongcu seorang perwira?"

'Bukan, tetapi semua perwira tunduk pada perintahku," pemuda itu tertawa bangga.

'Lho, apakah kongcu ini panglima?"

"Beda tapi serupa." kembali pemuda itu tertawa. "Harap kongcu suka memberi keterangan jelas." "Kho kausu, tolong beri keterangan kepada nona ini," kata pemuda itu kepada salah seorang pengiringnya yang memelihara kumis pendek.

Pengawal yang dipanggil Kho kausu itu segera tampil kemuka dan berkata, "Ketahuilah nona, Kongcu kami ini adalah Lau Bun Sui kongcu putera dari jenderal Lau Cek Jing yang berkuasa di kota Siau-yu-koan. Kumohon nona suka menerima undangan kongcu. Nona pasti takkan kecewa.

"Hm," dengus Sian Li, "terima kasih. Tapi aku benar2 hendak lekas2 melanjutkan perjalanan. Lain kali apabila datang kemari, aku tentu akan memenuhi undangan kongcumu."

Pemuda itu memang bernama Liu Bun Si putera dari jenderal Lau Cek Jing yang ditempatkan di wilayah Sanse. Pada saat itu dia bersama rombongan prajurit dan kedua pengawal pribadinya yaitu Kho kausu dan Tan kausu sedang berburu di hutan. Kedua kausu atau guru silat memiliki kepandaian yang tinggi.

"Harap nona jangan menolak," bujuk kausu, "karena selama ini jarang sekali kongcu sampai berkenan mengundang tetamu wanitanya. Hanya gadis2 yang pilihan dan mencocoki hatinya barulah kongcu mau menaruh perhatian. Dan nona termasuk yang paling beruntung karena langsung mendapat undangan kongcu."

"Apakah kongcumu sering mengundang gadis2 cantik?" Sian Li masih menyelidiki karena saat itu ia mendapat firasat bagaimana peribadi anak jenderal itu.

"Ah, seorang putera jenderal seperti kongcu adalah wajarlah kalau banyak gadis2 cantik yang menggandrunginya. Tetapi selama ini, kongcu masih belum ada yang mencocoki hatinya. Maka kukatakan, nonalah yang paling beruntung karena kongcu langsung mengundang nona."

Makin keras dugaan Sian Li siapa anak jengral itu, "Terima kasih. Tetapi kali ini aku benar2 ingin memburu waktu untuk melanjutkan perjalanan."

"Kemanakah nona hendak pergi?"

"Aku hendak ke Yang-ciu menjenguk keluargaku yang sakit," kata Sian Li memberi keterangan bohong. Ia tahu Blo'on menuju ke Yang-ciu untuk melamar pekerjaan pada jenderal Ko Kiat.

"Ah, kota Yang-ciu jauh sekali dari sini. Lebih baik nona bermalam dulu. Besok kongcu tentu akan menyediakan kuda agar nona bisa cepat tiba disana."

"Ah, maaf, aku dapat berjalan sendiri." "Seorang diri?"

"Ya."

"Ai, jangan begitu nona. Ketahuilah, sekarang suasana negara sedang kacau. Dimana-mana bermunculan kaum begal dan perampok. Apalagi kalau sampai berpapasan dengan prajurit2 Ceng yang ganas. Apabila melihat seorang gadis cantik berjalan seorang diri, mereka tentu akan menangkap nona."

"Apakah memang begitu kwalitet prajurit Ceng itu?" "Mereka   adalah   suku   Tartar   Boan,   Apalagi mereka

menang perang. Tentu akan berpesta merampas harta benda

dan wanita."

"Adakah prajurit2 Beng juga tidak begitu?” tanya Sian Li dengan nada mengejek. "Ah, masakan kami berbuat begitu terhadap rakyat sendiri, terutama yang masih gadis. Kan kami sebagai prajurit harus melindungi rakyat.1

"Indah sekali kata-katamu," seru Sian "sayang yang kudapatkan, beda sekali."

"Apa maksud nona?"

"Jika benar engkau hendak melindungi rakyat, mengapa engkau hendak memaksa aku harus menerima undangan kongcurnu!"

"Lho, kami kan bermaksud baik." "Adakah memaksa orang itu baik?"

"Ah, ketahuilah nona. Bahwa dalam keadaan perang seperti dewasa ini, kaum jenderal dan prajuritlah yang berkuasa. Sebenarnya kami bertugas untuk menahan siapapun juga, karena daerah ini lah daerah kekuasaan jenderal kami. Tetapi dengan baik hati kongcu hendak mengundang nona, mengapa menolak?”

"Apakah setiap undangan harus diterima ?"

"Jika nona ingin tak ingin mendapat suatu kesulitan.” "Kalau aku tetap menolak ?"

"Nona hanya boleh menerima tak berhak menolak."

"O, engkau hendak memaksa ? Baik, cobalah kau akan mampu berbuat apa kalau aku tetap hendak melanjutkan perjalanan," kata Sian Li yang terus berputar tubuh dan ayunkan langkah.

"Nona, berhentilah," Kho kausu loncat hendak memegang tangan Sian Li. Tetapi secepat Sian Li gerakkan tangan, Kho kausu menjerit keras. Ternyata dengan ilmu Siau-kin-na-jiu atau menerkam tangan orang, Sian Li berhasil menangkis pergelangan guru silat itu dan terus dipelintir.

Kho kausu mengira kalau nona secantik Sian Li tentu mudah ditangkap. Dia tak pernah bermimpi bahwa Sian Li ternyata memiliki ilmusilat tinggi. Kho kausu terhuyung- huyung mundur sernbari mendekap pergelangan tangannya yang patah, Muka guru silat itu merah padam. '

"Jangan melukai kawanku, nona," seru Tan kaucu yang terus loncat menerkam Sian Li.

Sian Li menghindar kesamping lalu menangkis tangan kausu itu. Tetapi Tan kausu juga cukup lihay. Dengan  gerak berputar tubuh ke samping Sian Li, dengan cepat ia menerkam bahu Sian Li.

"Jangan melukainya, kausu!" teriak Bun Sui karena melihat kausu itu hendak menerkam tulang pi-peh-kut bahu Sian Li. Kalau sampai diterkam keras, Sian Li tentu akan cacad seumur hidup.

Tan kausu terkejut. Sebenarnya diapun mempunyai pikiran begitu. Tetapi karena anak jenderal itu meneriakinya, ia tertegun. Kesempatan itu tak disia-siakan Sian Li yang dengan jurus Lian-hoan-tui atau tendangan- berantai, ia berhasil menendang perut guru silat itu hingga terlempar kebelakang sampai beberapa langkah.

Tahu kalau dia yang menyebabkan pengawalnya kalah, Lau Bun Sui terus maju dan menyerang Sian Li. Jurus pertama dia menggunakan hou-thou-sim atau Macan- hitam- mencuri-hati. Tangannya nyelonong kemuka untuk meremas dada Sian Li.

"Keparat!" Sien Li yang tahu akan maksud orang menjadi merah mukanya. Anak jenderal bermata keranjang. Dia harus diberi pelajar pikirnya. Setelah menghindar, Sian Li balas menyerang dengan jurus Song-liong tham-cu atau Sepasang-naga-bersebut- mustika. Dua buah jari kanan menusuk ke mata anak jenderal itu. Sedang tangan kiri menyodok lambung.

"Ah…..,” Bun Sui terkejut ketika menyaksikan permainan Sian Li. Namun dia juga tak lemah. Dia sagera mengendapkan tubuh dalam jurus Yau-cu-hoan-sim atau Burung-elang-memutar- badan dia segera mendorongkan tangan kemuka dalam jurus Liong-beng-coan-ciang atau Naga-menembus- tangan.

Sian Li gunakan jurus Thui-jong-ong-gwat Membuka- jendela-memandang-bulan. Kedua tangan menyiak pukulan orang lalu diteruskan untuk menusuk tenggorokan.

"Ah, nona keliwat ganas !" teriak Lau Bun hui seraya beranjak mundur. Kemudian ia mulai melancarkan serangan yang gencar.

Tetapi berhadapan dengan murid kesayangan pendekar besar Kim Thian Cong. Lau Bun Sui tak mampu berbuat apa2.

"Kena !" beberapa saat kemudian Sian Li berteriak dan Lan Bun Suipun terhuyung-huyung. Anak jenderal itu terkena pukulan pada bahunya sehingga sebelah tangannya kesemutan.

"Tangkap !" teriaknya memberi perintah. Seketika duabelas prajurit segera maju menyerang Sian Li. Bahkan saat itu Tan kausu dan Kho kausu juga ikut mengembut.

Menghadapi empat belas orang, Sian Li terpaksa harus mengeluarkan segenap kepandaiannya. Dia berlincahan bagai seekor burung walet yang menyusup kedalam kawanan tawon. Sudah tentu kawanan prajurit itu bukan tandingannya. Hanya karena mereka berjumlah banyak maka mereka masih dapat bertahan. Sekalipun begita tak urung terdengar beberapa kali suara orang menjerit dan mengaduh. Beberapa prajurit itu harus menelan hajaran dari Sian Li. Ada yang giginya putus karena pipinya ditampar, ada yang pipinya begap karena  telinganya ditabok dan ada yang meringkuk kesakitan karena perutnya ditinju.

Tetapi Sian Li juga sibuk. Serangan Khi kausu dan Tan kausu itu memang berbahaya. Mereka adalah guru silat yang menjadi pengawai peribadi anak jenderal Lau Cek Jing. Walaupun bukan tergolong jago kelas satu, tetapi karena maju berdua ditambah pula dengan selusin prajurit mau tak mau Sian Li harus sibuk juga.

Sekonyong-konyong dari balik gerumbul pohon muncul seorang bocah lelaki gundul yang terus dari menghampiri Lau Bun Sui,

"Uk ..... uk ..... kau ..,. ma .... ling ... ng ," bocah itu

dengan ah-uk-ah-uk, menuding Lau Bun Sui.

Anak jenderal itu terkejut. Tetapi sebelum dia sempat bicara, tahu2 mukanya telah ditampar bocah pekok itu, plakkhk ”

"Aduh , " Lau Bun Sui menjerit kesakitan.

"Ak, ak, ak ..... uk, uk, uk ..... kau ..... siingngng ..... , " bocah gundul yang bertubuh gemuk itu loncat lagi dan menampar pipi Lau Bun Sui.

Lau Bun Sui juga pandai silat. Ia tahu kalau bocah pekok itu hendak menampar pipinya yang sebelah lagi. Ia hendak menghantam tetapi belum sempat tangan digerakkan, tahu2 pipinya yang sebelah sudah kena ditampar lagi, plakkk ....

"Aduh      ," kembali Lau Bun Sui menjerit kesakitan. Dia

benar2 marah sekali. Masakan seorang bocah pekok yang tak diketahui asal usul dan urusannya, berani menampar pipinya sampai dua kali. Kebangetan sekali kalau aku sampai kalah dengan bocah pekok ini, pikirnya.

Serentak dia memberingas dan balas menyerang. Dengan gemas dia gunakan jurus Sin-eng-hwat atau Garuda-sakti- menerkam, dia rentang kedua tangan untuk menerkam kepala bocah lalu hendak dihantamnya biar pecah.

“Uhhhh       “ dia menjerit kaget kaget karena tiba2 bocah

pekok itu lenyap dan tahu2 telinganya telah dijiwir dari belakang. "Ak, ak, ak ..... uk, uk, uk ..... mau nga-ku …  atau ti ..... dak       , " bocah pekok itu menarik kedua telinga

Bun Sui sekeras-kerasnya seraya ak, uk, ak, uk suruh dia ngaku.

Bun Sui meringis kesakitan. Dia berusaha untuk meronta tetapi makin bergerak, makin keras telinganya ditarik sehingga rasanya seperti putus.

"Hai, Uk uk ..... siapa yang engkau jiwir itu?" tiba2 terdengar sebuah suara parau dan muncullah seorang kakek tua bertubuh pendek.

"Ak, ak, ak uk, uk, uk - . maling …”. seru bocah pekok

itu.

"Bagus Uk Uk, suruh dia mengembalikan kelinci gemuk itu!" seru kakek pendek seraya menghampiri.

Mendengar ribut2 itu terutama jerit kesal dari Lau Bun Sui yang telinganya seperti mau putus, terkejutlah Kho kausu, Tan kausu dan sekalian prajurit. Mereka berhamburan loncat mundur dan lepaskan Sian Li.

Kho kausu dan Tan kausu serentak lari hendak menghajar bocah pekok itu. Tetapi sebelum mereka tiba, bocah pekok itu sudah memutar telinga Bun Sui sehingga Bun Sui ikut berputar belakang, Kemudian bocah pekok itu menyongsong Bun Sui kearah kedua kausu, "Ak, ak ak, uk, uk ..... berani ... maju ... putus ku.. pingnya ”

"Aduhhhh .... berhenti kamu!" teriak Lau Bun Sui kepada kedua pengawalnya.

Kedua guru silat itupun hentikan langkah, Kho kausu berseru, "Awas, kalau engkau sampai melukai kongcu  kami, engkau tentu kucincang!"

"Ya ... ya ... dia pantas di cincang ... " seru anak pekok itu.

"Siapa yang pantas dicincang?"

"Ak, ak ... ini ... , " bocah pekok itu menggeleng gelengkan kepala Bun Sui, maksudnya mencitakan anak jenderal itu yang pantas dicincang.

Kho kausu mendelik seketika, "Bukan dia, dia adalah kongcu kami "

'Tidak! Dia bukan kongcu, eh ... kongcu? Apa itu kong ...

cu?"

"Bocah pekok! Kongcu adalah sebutan putra seorang berpangkat!"

'O, ya, ya ... kongcu tentu sam ... a ... dengan ... kong ...

kong Kun.”

Kho kausu melongo.

"Kho-heng, bocah itu gila," kata Tan kausu.

"Apa? Bocah ini gila ... " teriak bocah pelok itu. Karena terkejut dia dapat bicara deras.

Perut Kho kausu seperti kencang rasanya dan dada Tan kausu seperti mau meledak. Kedua guru silat itu benar2 seperti orang yang kebakan jenggot. ' "Engkau gila ya?" teriak Kho kausu setengah menjerit. "Ak, ak ... uk, uk ... pantas ..."

Kho kausu melongo lagi, "Siapa yang engkau katakan pantas itu?"

"Aku ..."

"Pantas," seru Kho kausu.

"Ha, ha, ha," tiba2 terdengar kakek tua renta itu tertawa membatu roboh.

"Hai, kakek pendek, mengapa engkau tertawa?" bentak Kho kausu yang merasa dirinya yang ditertawakan itu.

"Sudah tentu aku harus tertawa," seru kakek pendek itu, "engkau kira siapa yang dimasud gila oleh cucuku Uk Uk itu?"

"Dia sendiri."

"Ho, ho, o, goblok, sungguh goblok engkau ini, bung!" seru kakek pendek.

"Lho, kenapa,?" Kho kausu tercengang.

"Baik Uk Uk, pengertiannya tentang kau memang lain dari orang',” kata kakek itu dengan bangga.

"Lain bagaimana?"

"Kalau kita mengatakan 'aku', bagi dia berarti 'engkau’. Kalau 'engkau’, dia mengartikan 'aku'! Dan ada beberapa kata yang bagi dia terbalik artinya.''

"Terbaik bagaimana ?"

“Berlawanan, goblok!" teriak kakek pendek itu, "misalnya, kalau engkau suruh dia pergi dia akan datang. Kalau suruh dia datang, dia akan pergi. Begitulah yang kumaksud dengan terbalik artinya itu." "O," Kho kausu mejongo.

"Maka yang dia maksudkan 'aku' tadi adalah dia hendak mengatakan 'engkau'. Jadi dia hendak mengatakan kalau engkaulah yang pantas jadi orang gila, ha, ha, ha . , ..."

"Kakek sinting!" bentak Kho kausu marah-marah mendengar penjelasan itu, “siapa engkau?”

"Aku adalah engkong dari bocah itu. Dan Uk Uk, bocah itu. adalah cucuku."

"Namanya Uk Uk?" karena terkejut mendengar nama yang begitu aneh, tanpa disadari Kho kausu sampai minta penjelasan. Padahal sebelumnya dia sedang marah.

'Ya," sahut si kekek dengan bangga, "istimewa bukan ?  Mungkin dalam jagad ini tak ada orang yang dapat memberi nama kepada anak atau cucunya begitu istimewa. Coba lu cari, kulau ada yang kembar dengan nama itu, lapor padaku nanti tentu segera kuganti nama cucuku itu dengan yang baru, yang istimewa, yang tiada keduanya lagi

!"

Kho kausu terlongong- longong -sehingga mulutnya melongo. Seumur hidup baru pertama kali itu dia bertemu dengan bocah pekok yang sinting dan seorang kakek yang bicaranya tak keruan seperti orang edan.

"Kho kausu, jangan bicara sendiri saja. Lekas selesaikan persoalan ini. Telingaku sudah mau putus rasanya!" teriak Lau Bun Sui.

Kho kausu gelagapan dan Tan kausu juga berjingkrak kaget. Buru2 Kho kausu berseru pada kakek linglung itu, "Kakek, suruh cucumu si Uk Uk itu lepaskan kongcu kami. Kongcu kami itu adalah putera dari jenderal Lau Ceng Jing yang berkuasa di Sansei" "O, anak jenderal? Siapa namanya? Jendral Lau ... " "Lau Ceng Jing," cepat Kho kausu menyambung.

"Lau Ceng Jing?" kakek itu kerutkan dahi "aneh, dulu waktu aku masih jadi mentri kerajaan, mengapa aku tak pernah mendengar nama itu. Coba engkau tanyakan pada jenderalmu, apakah sudah kenal dengan jenderal Lo Kun!"

"Siapa jenderal Lo Kun?" Kho kausu terbeliak. "Aku, goblok!" bentak kakek itu.

Kho kausu mendelik. Tetapi cepat ia menyadari bahwa yang dihadapinya itu adalah kakek yang tak waras pikirannya.

“Ya, baik, nanti kalau pulang tentu akan kutanyakan pada jenderal kami," kata Kho kausu dengan menekan kemarahannya, "sekarang kuminta engkau suruh cucumu itu lepaskan kongcu kami."

"Uk Uk. ikat dia!" teriak kakek yang mengenalkan diri dengan nama Lo Kun.

"Gila engkau!" bentak Kho kausu terus hendak menerkam kakek itu.

"Engkau yang gila, goblok!" kakek itu balik membentak seraya songsongkan tangannya mendorong tubuh Kho kausu. Kho kausu terkejut ketika dirinya seperti dilanda oleh suatu gelombang tenaga yang kuat sehingga dia tersurut mundur.

"Kuminta engkau suruh cucumu melepaskan kongcu, mengapa engkau suruh dia mengikatnya?" teriak Kho kausu dengan deliki mata.

"Engkau memang goblok," kata kakek itu, “Uk Uk, kata- kata itu terbalik artinya. Kalau kusuruh ikat dia tentu akan melepaskan ……” "Engkong, tetapi bagaimana dengan kelinci ... itu ... ?" seru Uk Uk.

"Dia bilang apa?"

'Belum bilang ..... apa ..... a ... pa, engkong…..” "Tanya!"

"Mana kelinci gemuk itu ?" seru Uk Uk pada Lau Bun Sui.

"Kelinci apa ?"

"Kel ,. inci yang ... lar ..... i ke tempatmu ta ..... di .....

Kel ... inci ... itu mau engkau tang… kap ..... perut engkau

..... ke..... nyang .... ha ........ kembal ... i kan . kepada eng

. kau…!”

Lau Bun Sui sudah mendengar keterangan kakek tadi babwa bagi Uk Uk kalau bilang 'kau' itu berarti 'aku'. Dan kalau mengatakan 'aku’ berarti 'engkau'. Maka diapun dapat mengerti apa yang dimaksudkan si Uk Uk itu.

"Celaka, sialan benar," gumam Lau Bun Sui "bocah edan ini menuduh aku telah merampasi kelinci yang hendak ditangkapnya."

"Aku, eh . - . engkau tidak tahu kelinci Tapi engkau sanggup memberi aku beberapa kelinci gemuk, asal aku mau melepaskan engkau…..” terpaksa Lau Bun Sui menggunakm istilah aku dan engkau, sesuai dengan pengertian bocah pekok itu.

"Sungguh ? Aku tidak bohong ?"

"Sungguh," kata Liu Bun Sui dengan manahan geram.

Uk Uk pun lepaskan telinga anak jendral itu. Begitu lepas, Lau Bun Sui terus menghampiri ke tempat kedua pengawalnya.! berbalik tubuh dan menuding Uk Uk," Tangkap bajingan cilik itu !"

"Eng ..... engkong ..... apa bajing ..... an itu?" tanya Uk Uk kepada kakek Lo Kun.

"Bajingan itu orang jahat," sahut kakek Lo Kun.

"Hai, siapa yang di maki bajing ..... an?" bentak Uk Uk kepada Lau Bun Sui.

"Engkau !"

'O, pantas'." sahut Uk Uk.

Lau Bun Sui menyadari bahwa dia telah lupa menggunakan istilah yang dimengerti Uk Uk. engkau, bagi Uk Uk diartikan aku, "Sialan, dia menganggap aku memaki diriku sendiri "

Saat itu berapa prajurit dan kedua guru silat pun menghunus senjata dan hendak menyerang Uk Uk.

"Eng ..... kong ,... kong ,," teriak Uk Uk ketika melihat

hendak diserang dengan senjata.

Kakek Lo Kun segera melepas buli-buli arak yang terselip di pinggangnya dan terus dilemparkan kearah Uk Uk, "terimalah!"

Uk Uk menyambuti lalu meneguknya. Pada i»t itu beberapa prajuritpun sudah menyerbunya, pr .... buffff ....

Ternyata bocah pekok itu telah menyemburkan arak dalam mulut kearah beberapa prajurit. aneh tetapi nyata. Prajurit2 itu menjerit kesakitan lalu menyurut mundur.

Wut, wut .... pedang kedua guru silat serempak melayang menabas kepala Uk Uk. dengan gesit Uk Uk dapat menghindari. Kho kausu dan Tan kausu makin kalap. Diserangnya bocah itu dengan gencar. Dari kanan kiri, muka lakang, atas dan bawah. Tetapi Uk Uk seperti setan cilik yang tak punya bayangan. Dia lari memutari kedua penyerangnya itu. Kemudian setelah berlangsung beberapa jurus, tiba2 Uk Uk menyembur arak ke muka penyerangnya.

Kho kausu dan Tan kausu meringis. Percikan arak itu terasa panas. Muka mereka seperti digigit berpuluh semut- api. Mereka masih dapat memang berusaha untuk bertahan. Tetapi ketika beberapa butir percik arak itu mengenai biji mata mereka menjerit dan loncat mundur.

Selusin prajurit yang mengiring anak jendral Lau berburu itu pun tak berdaya mengira semburan arak dari mulut Uk Uk. Memang mereka tak sampai terluka tetapi mereka tak tahan sakitnya. Arak yang disemburkan itu sepasang yang mendidih. Akhirnya rombongan Laul Sui itupun lari ke dalam kota.

"Uk, pergilah!" seru kakek Lo Kun. Lalu bocah pekok itupun hentikan langkah lalu kembali ke tempat si kakek.

"Mana buli-buliku," kata kakek itu. Dan Uk Uk pun menyerahkannya, "Aku Kenyang, engkong," latanya.

"Hus. mengapa aku tak minta kelinci itu ke pada pemuda tadi?" seru kakek Lo Kun.

"Bagaimana kalau minum arak saja ?" tanya Uk Uk. "Gila, kalau aku habiskan lalu bagaimana dengan engkau

?"

"Jangan kuatir, engkong," kata Uk Uk, "engkau hanya

minum sedikit saja. Engkong masih dapat minum banyak."

Keduanya berbicara dengan istilah "aku" dan "engkau", menurut pengertian mereka yang terbalik artinya. Tiba2 Sian Li menghampiri dan terus memeluk kakek Lo Kun, ' Oh, engkau engkong ..."

"Huh, huh .... hahhhh ..... siapa engkau bocah perempuan," kakek itu terkejut dan berusaha melepaskan diri.

"Kakek Lo Kun," seru Sian Li, "bukankah engkau kakek Lo Kun ?"

"Ya."

"Engkau lupa kepadaku ?"

"Hm," kakek itu kerutkan dahinya yang penuh keriput lalu berkata, "siapa ya ?"

"Masih ingat kepada Blo'on ?"

"Hai !" kakek itu berjingkrak kaget, "mana dia ? Aku memang hendak mencarinya ?"

"Aku adalah sumoaynya, Liok Sian Li."

"Apaaaa ?" teriak kakek itu teikejut, "engkau sumoaynya

? Ah, jangan main2, nona. Masa gadis secantik engkau mau menjadi sumoay dari cucuku si B'o'on itu.

Sian Li sudah tahu akan watak linglung kakek itu maka dia hanya ganda tertawa saja.

"Ya. aku memang sumoaynya. Kakek masih ingat ketika bersama menolong kepala kampul nelayan di tepi sungai Hong-ho yang anak perempuannya hendak diambil isteri oleh kepala bajak itu?"

Kakek Lo Kun termenung, pejamkan mata seperti orang merenung. Tiba2 dia menjerit, "Astagafirullah .... ! Engkau

.....  engkau  Sian  Li  …  Ah  ....  bukan  .....  bukan     Dulu

engkau masih perawan kecil mengapa sekarang sudah jadi gadis yang begini cantik ?" Sian Li tertawa, "Ah, memang, dulu juga seorang bayi tetapi beberapa tahun kemudian menjadi gadis cilik dan sekarang makin besar.”

"Aneh, aneh," kakek linglung itu garuk2 kepalanya, "yang kecil jadi besar tetapi mengapa yang tua tetap tua ?"

"Tentu saja, kakek," Sian Li tertawa.

"Yang muda jadi tua mengapa yang tua tidak jadi muda kembali? Bukankah matahari keluar dari timur lalu silam ke barat kemudian muncul dari timur lagi? Mengapa manusia tidak begitu juga?"

''Ah, kalau yang tua tidak mati, dunia ini jadi penuh nanti," Sian Li tertawa.

"Tidak mungkin penuh," bantah kakek Lo Kun, "kan ada yang sakit dan mati, ada yang mati berperang."

Sian Li tertawa. Dia tak mau berbantah dengan kakek yang linglung itu. Katanya pula, "Kakek Lo, sekarang engkau tentu sudah ingat dan mau mengakui aku ini Sian Li, sumoay dari suko Blo'on, bukan?"

"Ya, dehhhh,"

"Lho, jangan seperti merasa terpaksa begitu, kakek Lo. Kalau memang engkau tetap belum ingat aku dan tak mau mengakui aku ini Sian Li, ya sudah. Akupun hendak melanjutkan perjalanan saja," habis berkata Sian Li terus berputar tubuh lalu ayunkan langkah.

Wut ..... sesosok bayangan melesat dan kakek itu sudah menghadang di depan Sian Li.

'Tunggu dulu," katanya, "sekarang aku ingat. Ya, engkau memang Sian Li, cucuku yang manis dan sekarang makin bertambah cantik, ha, ha, ha....." kakek itu terus memeluk Sian Li. "Eng ..... kong ..... kong ..... siapakah itu?” tiba2 Uk Uk menghampiri.

"Bocah edan, masakan engkau tak kenal?" bentak kakek Lo Kun," ini kan cucuku Sian Li.

"Cucumu? Ah, jangan gitu eng kong”

"Bocah edan! Ini memang cucuku!" "Tidak! Engkau tidak punya cucu."

"Siapa bilang aku tak punya cucu?" teriak kakek Lo Kun ngotot.

Sian Li menyadari bahwa kakek Lo Kun telah lupa, pengertian Uk Uk dalam istilah 'aku- engkau' yang terbalik artinya itu. Maka dia tertawa, "Ai, kakek ini bagaimana? Mengapa kek lupa akan kata2 aku-engkau yang dimengerti adik itu?"

"O, ya, ya, benar, benar," kakek Lo tertawa meringis, "ya, benar, Uk Uk, ini memang cucumu."

"O, aku punya cucu? Siapa namanya?" tanya Uk Uk. "Sian Li," kata kakek Lo Kun, "aku harus memanggil

taci kepadanya, tahu!"

'Baik, eng ..... kong , " Uk Uk meng angguk.

"Adik kecil, siapa namamu?" tanya Sian yang melepaskan diri dari pelukan kakek Lo Kun.

"Kata eng ..... kong ..... Sian Li

"Bu eh, ya, benar," Sian Li segera teringat istilah aku-

engkau yang digunakan anak itu. Dia lupa sehingga keliru.

"Adik kecil, siapa namaku?" Sian Li me ulang pertanyaannya lagi.

"Uk Uk," "Uk Uk? Aneh, nama apa itu?"

"Entah itu eng ... kong yang memberi.”

"Kakek Lo, apa artinya nama itu?" tanya mi Li.

"Entah aku sendiri juga tak tahu," kata ka-1 Lo Kun, "karena kalau bicara ak, uk, ak, uk ak lancar maka kunamakan Uk Uk. Dan lama2 nama itu enak diucapkan dan sedap didengar juga."

"Tetapi biasanya setiap nama itu tentu ada artinya. Dan nama untuk anak tentu berarti yang bagus.”

"Ah, jangan terikat dengan adat lama, cucuku," kaia Lo Kun, "apa itu sih nama? Yang penting bukan nama dengan attinya yang bagus tetapi orangnya dengan sifatnya yang baik. Tidak percaya, coba engkau namakan bunga mawar itu dengan nama baru, misalnya bunga bangkai. Toh baunya tetap harum, bukan ? Sebaliknya coba sebut bunga bangkai itu dengan nama bunga Bidadari, toh tetap bau. Masakan ada bidadari yang baunya apek, ha, ha, ha "

Diam2 Sian Li membenarkan dalam hati. diam2 pula ia mendapat kesan bahwa dari mulut seorang kakek linglung seperti Lo Kun, ternyata dapat menghamburkan kata2 mutiara juga.

"Tetapi biasanya orangtua tentu menaruh harapannya kepada nama yang diberikan kepada anaknya itu" kita Sian Li, "lalu apa harapan kakek dengan itu?"

'Supaya dia ber-uk-uk setiap kali melihat yang tak baik, yang tak adil dan yang tak benar. Bukankah anjing itu juga jeguk (menyalak) huk, huk, kalau melihat penjahat masuk kerumahnja?” "Matiiiii engkau eng… engkong …….. Jangan engkong menya…… makan engkong ……. seperti anjing?” teriak Uk Uk.

"Bukan begitu Uk," seru kakek Lo-Kun, “engkau tidak menyamakan aku seperti anjing. Bukan orangnya yang engkau samakan dengan anjing, tetapi sifatnya.”

"Sifatnya yang bagaimana eng …. Kong?”

'"Memang kalau mendengar kata “anjing” orang tentu menganggap rendah. Orang tentu tidak mau d sebut seperti anjing. Orang tentu menganggap dirinya . lebih tinggi dari anjing. Tetapi ketahuilah Uk," kata Lo Kun, "kata Lo Kun, anjing adalah binatang yang paling setya kepada tuannya. Dia dapat menjaga rumah, dapat menjaga keamanan kampung. Tetapi manusia? Bukankah dalam kerajaan itu banyak mentri dan pembesar yang tidak setya kepada negara? Menumpuk harta, menggunakan kekuasaan secara sewenang-wenang, menipu dan menindas rakyat, itu termasuk melanggar undang-undang negara. Yang melanggar undang2 adalah tidak setya kepada negara. Malah2 yang berhianat menjual negara. Dia tak mau disamakan dengan anjing tetapi harus dianggap lebih rendah dari anjing.”

Diam2 Sian Li heran. Dulu kakek Lo Kun tak kalah linglungnya dari Blo'on, tetapi mengapa sekarang sudah banyak berobah, dapat memberi ulasan yang tepat?.

"Eng ..... kong ..... apa aku ... mau ..... punya ... cucu an

... jing?" tanya Sian Li.

"Siapa? Tidak, engkau tidak sudi punya cucu anjing!” seru kakek Lo Kun.

"Kal ..... au begit ... u ... engkau buk ... kan ... anjing ya?" "Tentu saja aku bukan anjing." "Ya, sud ... sudah ... aku senang."

"Kakek Lo, mari kita duduk dibawah pohon untuk omong2 yang enak," ajak Sian Li. Merekapun lalu duduk dibawah sebatang pohon ditepi jalan.

"Kakek Lo," kata Sian Li membuka pembicaraan, "kakek dari mana dan mengapa sampai bertahun-tahun kakek tak pernah datang ke Giok-li-nia menjenguk kami?"

"Yahhhh," kakek Lo Kun menghela napas, sebenarnya aku sudah kangen sekali pada kalian, Blo’on dan engkau. Tetapi waktu itu aku sedang sibuk sekali sehingga aku tidak dapat pergi kemana mana.""

"O, apa saja yang menyebabkan kakek begitu sibuk ?" "Apa lagi kalau bukan Uk Uk ini," kata Lo Kun.

"O, ya," tiba2 Sian Li teringat "aku bisa mendapat keterangan tentang adik Uk Uk ini, apakah dia yang sebenarnya? Aoakah dia cucu kakek ? Bagaimana asal usul kakek mendapat cucu itu ?"

Lo Kun tidak menyahut tetapi mengambil buli2 arak dan terus meneguknya. Kemudian menawarkan kepada Sian Li apakah nona itu mau minum. Sian Li gelengkan kepala.

"Dan aku Uk, sudah kenyang ya ?" tanya kakek itu." "Tentu saja sudah kenyang," ia terus menyambar buli2

itu dan meneguknya. Setelah itu diserahkan kepada kakek

Lo Kun lagi.

"Aku hendak bercerita sekarang," kata kakek Lo Kun.

Dan mulailah ia bercerita.

"Sejak berpisah dengan Blo'on dan para ketua partai persilatan di gunung Hong- san dan akupun sebenarnya hendak menyusul Blo'on Giok-li-nia (baca: Pendekar B.o'on). "Tetapi di tengah jalan tiba2 "saja ingin sekali pulang menjenguk tempat tinggalku di gunung Hok-hou-san. Eh, ketika melalui sebuah hutan aku mendengar suara bayi menangis ngo-ek ngo-ek" Dan serempak pada saat itu. Kudengar suara aum harimau. Segera aku lari memburu ke tempat itu.

"Ah .... ternyata di sebuah gua, aku melihat sebuah pemandangan yang mengerikan. Seekor harimau gembong tengah menjilati kepala seorang bayi yang mengeletak di tanah. Harimau itu harus bekerja keras untuk membersihkan tubuh dan kepala bayi yang dirubung semut. Mungkin karena jengkel, berulang kali harimau itu mengaum-aum. Dia tak berani makan bayi yang bersemut, harus dibersihkan dulu. Dan bayi itu terus menangis ngo-ek ngo-ek ”

"Aku gugup sekali mencari akal untuk mengusir harimau itu. Akhirnya aku nekad. Aku mengambil beberapa batu dan kutimpukkan. Harimau itu kesakitan dan marah. Dia menyerang aku. Untung karena sebelah matanya sudah buta kena lontaran batu, walaupun aku sendiri juga babak belur tetapi akhirnya aku berhasil membunuh harimau itu.

"Aku segera mengambil bayi itu tetapi karena tubuhnya masih banyak semut, kumandikan bayi itu dengan darah harimau. Setelah itu kuminumi dengan darah harimau. Eh, bayi itu diam kemudian tertawa-tawa kepadaku ”

"Kubawa bayi itu pulang ke gunung Hok-hou san dan kurawatnya. Tetapi pada suatu hari ketika baru berumur satu tahun, bayi itu sakit keras. Aku kelabakan setengah mati. Sampai begitu tua aku belum pernah beranak, sekarang suruh merawat bayi, aduhhhhh. "

"O, apa eng ..... kong ..... belum pernah bera nak?"

Uk Uk menyelutuk. "Belum."

"Mengapa tak mau ber anak?"

"Sudah tentu tak mau." "Mengapa?"

"Bocah edan, engkau kan orang laki2, mana bisa beranak?" gerutu kakek Lo Kun.

Mendengar itu Sian Li tertawa.

"O, apakah o ..... rang ..... la, la ... ki tak bisa bera a

..... nak?"

"Bocah edan sekali!" bentak Lo Kun, "mana ada orang lelaki beranak?"

"Hab.. bis . siapa yang ber anak itu?"

"Perempuan."

"Kalau begi ..... tu, eng, engkau ... ini, anak ..... nya ,

seorang perem, perempuan …..

"Ya, tentu."

"Mana per, prem puan itu?"

"Entah," sahut kakek Lo Kun, "waktu itu aku menggeletak di tanah dan dijilati harimau….”

"O, harimau itu ..... laki atau ... per… . perempuan "

"Bocah edan aku ini, Uk!" bentak kakek Lo Kun "Apa salah engkau, eng kong?"

“Kalau manusia bisa diketahui laki atau perempuan. Kalau harimau? Dekat saja sudah gemetar masakan hendak melihat laki atau perempuannya, uh siapa yang berani?"' gerutu kakek Lo Kun. 'Lho, kalau manusia mengapa kakek tahu laki-laki atau perempuan?" masih Uk Uk mendesak.

"Dari potongan rambut, dari pakaiannya dan dari telinganya, mukanya, kan sudah diketahui. Tapi kalau harimau?"

"A ... a ... apa harimau ti ... dak bisa?"

"E, anak ini benar2 goblok. Mana ada harimau pakai sanggul rambut, mana ada yang mukanya pakai bedak, mana ada yang bibirnya diberi merah2. "

"Ada, hari ... mau ... itu ... bibirnya ten tu …… merah!" teriak Uk Uk.

“Tetapi apa telinganya berlubang seperti orang perempuan?"

"Mungkin ti ... dak ... tetapi ak ... aku .. mmm meme

... meriksa "

Sian Li geli melihat perdebatan antara kakek dengan bocah linglung itu. Kemudian ia minta supaya kakek itu melanjutkan ceritanya.

"Uh, sampai dimana tadi?" seru kakek Lo Kun.

Sian Li tertawa dan mengatakan kalau sampai pada cerita bayi itu jatuh sakit keras.

'"O, benar, benar," kata kakek Lo Kun, 'bayi itu sakit keras. Aku bingung sekali. Akhirnya aku teringat bahwa engkau pernah memberi beberapa butir buah som. Menurut katamu buah som itu disebut Cian-lian-hay-te-som (buah som berumur seribu tahun yang tumbuh didasar laut), engkau masih ingat bukan ?"

"O, ya, benar," sahut Sian Li, "buah itu kudapatkan ketika aku bersama suko B!oon kecebur kedalam laut dan masuk kedalam sebuah gua kerajaan. Lalu apakah buah som itu kau minumkan kepada bayi itu ?"

"Bukankah menurut engkau, buah som itu termasuk buah mustika yang mempunyai khasiat mukjijat dapat menambah umur panjang ?"

“Ya.”

"Ternyata buah itu baru kumakan dua buah, masih sisa delapan biji maka terus kuminumkan saja.”!

"Semua ?" Sian Li terkejut.

"Ya, biar bayi itu lekas sembuh !” "Lalu apakah benar bayi itu sembuh ?"

"Celaka !" teriak kakek Lo Kun, "beberapa saat kemudian bayi itu malah mati. "

"Ihhhhh," desis Sian Li.

"Lho, apa, apa eng ..... kau sudah ma... ti, engkong ?" teriak Uk Uk.

"Ya, aku memang sudah mati waktu itu," kata kakek Lo Kun, kemudian melanjutkan ceritanya lagi.

"Aku menangis gerung2 dan gulung koming karena merasa akulah yang menyebabkan bayi itu mati. Oleh karena itu aku tak mau menguburnya, biar dia tetap tidur di atas balai2 saja. Akupun tiap hari akan memberinya makan dan minum, mencuci mukanya "

''O, aneh sekali, luar biasa," seru Sian Li terkejut, heran disamping geli.

'"Celakanya," sambung kakek Lo Kun pula, bayi itu tak dapat menelan makanan. Terpaksa hanya kuberi minum saja. Karena air susah maka kuberinya minum arak buatanku." "Arak apa itu, kakek ?" tanya Sian Li. "Arak Hek hou-ciu," kata Lo Kun.

"Lho, Hek-hou-ciu itu artinya kan arak Macan hitam, arak apa itu ?"

"'Ketahuilah Sian Li," kata kakek Lo Kun, dulu dilembah gunung Hok-hou-san (gunung Macan mendekam) banyak terdapat harimau hitam. karenai mereka banyak yang kubunuh sehingga mereka takut kepadaku. Macan2 hitam yang kubunuh itu darahnya dimasukkan dalam guci lalu kuberi hati dari macan itu dan kutuang dengan arak.  Setelah beberapa tahun, jadilah arak Hek-hou-ciu ini yang luar biasa."

"Eh jangan tertawa, anak perempuan," seru Lo Kun, '"arak itu berhasiat tinggi untuk nambah tenaga dan umur. Lihat karena bertahun-tahun minum arak Hek hou ciu" aku masih tetap segar dan panjang umur."

“O, bayi itu kakek minumi arak Hek- hou ciu?" tanya Sian Li.

"Ya," kata Lo Kun, "kurang ajar memang bayi itu. Tiap hari dia dapat menghabiskan satu guci arak Hek-hou-ciu."

"Tiap hari kakek beri minum arak itu?"

"Habis? Karena dia tak dapat menelan makanan, terpaksa kuberi minum arak saja. Dan nyata bayi itu suka sekali."

"Lalu bagaimana akhirnya?"

"Pada hari keenam, ketika aku masih tidur tiba2 aku mendengar suara anak menangis ngo-ek…. ngo ek. Aku segera loncat bangun dan menuju kamar. Coba, engkau tebak apa yang kulihat di situ?"

"Bayi itu dapat hidup," kata Sian Li. "Benar," kata Lo Kun, "lalu bagaimana dia?" "Nangis."

"Lalu?"

"Lalu apa lagi?" kata Sian Li

" Entahlah, ….. Dia berjalan "

"Hai, bayi umur setahun sudah dapat berjalan?" teriak Sian Li.

"Bukan hanya dapat berjalan, pun dia terus menyambar guci arak yang kuletakkan di meja dan diminumnya "

"Dia minum arak sendiri ?" Sian Li terkejut.

"Ya, bayi itu memang keranjingan sekali, gemar minum arak."

"Eh, kakek, apakah dia benar2 hidup?" tanya Sian Li. "Ya, sejak saat itu dia hidup lagi, dapat berjalan kemana-

mana dan suka minum arak."

"Ah, tentulah karena kakek telah memberi dia minum Cian-Iian-hay-te-sam itu."

"Benar, sampai delapan biji!"

"Itulah," seru Sian Li, "dua biji saja orang sudah sehat dan kuat, mengapa kakek memberinya minum sampai delapan biji. Dia tentu melebihi gajah kuatnya."

"Benar, Sian Li," kata kakek Lo Lun, "anak itu memang kuat sekali. Buktinya baru berumur satu tahun saja dia sudah bisa berjalan dan lari."

"Lalu keanehan apa lagi yang terjadi pada dirinya?"

"Dia bertambah gemuk. Tetapi ya,  memang  aneh  sekali. " "Mengapa ?" tanya Sian Li.

"Rambutnya tak dapat tumbuh, hanya bagian belakang kepalanya saja yang tumbuh. Dan lagi dia juga sukar bicara. Kalau bicara gagap ak-uk, ak-uk. Umur enam tahun baru bisa bicara agak lancar. Coba engkau pandang, engkau kira dia berumur berapa?"

Sejenak Sian Li menatap Uk Uk, kemudian menjawab, "Dia tentu sudah berumur 11-an tahun."

"Salah," kata kakek Lo Kun, "dia baru umur genap delapan, hampir sembilan. Tetapi rupanya memang lebih tua dari umurnya."

"Dia kuat sekali, bukan?"

"Ya," sahut kakek Lo Kun, "pernah ada gunduk batu besar longsor dan menggelinding kearah lembah. Waktu dia melihat dia terus lari menahan batu itu."

"Makannya tentu banyak juga, bukan?"

"Kalau makan nasi sih biasa saja, tetapi kalau minum arak, ho, jangan ditanya lagi. Berguci-guci tentu dapat disikat habis."

"Apa tidak mabuk?"

"Entah, anak itu memang keranjingan, ia tak pernah mabuk, katanya minum arak itu seperti minum air saja."

"Ah," Sian Li mendesah, "apakah kakek juga memberi pelajaran silat kepadanya?"

"Ya, memang pernah kuberinya latihan ilmu silat tetapi bocah itu memang edan, kok."

"Lho, edan bagaimana?"

"Dia membalik semua gerakan dalam jurus yang kuajarkan. Artinya, kalau aku memukul ke muka, dia memukul ke belakang dan kalau tanganku menebas ke kanan, dia menebas ke kiri. Pokoknya, semua gerakan dalam jurus itu berubah arahnya."

"Bagus, itu kan hebat sekali. Musuh yang tahu nama dari jurus yang kakek mainkan, apabila berhadapan dengan Uk Uk, tentu akan kelabakan setengah mati," seru Sian Li.

“Ah, tapi anak itu memang kranjingan sekali. Nakalnya bukan main, pokoknya bukan buatan, limbungnya bukan kepalang. Karena harus merawat sejak masih bayi mendidik sampai begitu besar aku tak sempat keluar dari gua. Dan keinginanku untuk menjenguk cucuku Blo'on dan engkau terpaksa kutekan."

"Dan sekarang kakek kan sudah bisa keluar?"

“Yah," kakek Lo Kun mendesah, "mana tahu kalau selama bertahun-tahun harus menyepi dalam gua saja. Rindunya pada Blo'on dan kau, tak dapat ditahan lagi. Beberapa hari ini aku selalu terbayang-bayang akan wajah kalian semua. Mana sukomu si Blo'on?"

Sian Li dengan ringkas lalu menceritakan apa yang telah terjadi selama ini.

"Lho. B'o'oti engkau suruh jadi pendekar?" teriak Lo Kun,

"Habis bagaimana, kek," kata Sian Li, negara kan sedang berperang. "

"Lho, perang ? Perang dengan siapa Lo Kun terkejut. "Eh, kakek ini bagaimana. Kerajaan Beng diserang oleh

bangsa Boan, kotaraja di Pakkia sudah diduduki dan raja Beng sudah hijrah ke Lam-kia. Saat ini dimana-mana sedang kacau. Pasukan kerajaan Beng sedang bertahan disepanjang bengawan Hong-ho. Mengapa kakek tak tahu?” "Ah, ini memang ulah mentri2 kerajaan yang tak becus. Mereka hanya mengurusi soal upah dan pesta serta menghidangkan wanita cantik pada raja."

"Ya mungkin."

'Lho, tidak mungkin lagi tetapi tentu begitu. Mengapa negara diserang musuh mereka tak memanggil aku untuk memimpin pasukan ?"

"Lho, kakek ini siapa sih ?"

'"Sian Li, apa aku belum pernah bercerita kepadamu bahwa dulu aku ini seorang jenderal?”

Diarn2 Sian Li geli dalam hati. Namun untuk tidak membuat hati kakek itu gelo dia hanya mengangguk saja.

"Dan bagaimana dengan sukomu Blo'on ?' “Mengapa dia, kek ?”

"Dia kan menantu raja," kata Lo Kun, "mengapa dia tak mau memimpin pasukan untuk mengusir musuh ? Kalau dia tak mengerti ilmu perang, mengapa tak mau memanggil aku ?"

Walaupun menganggap kakek Lo Kun itu mengoceh tak keruan tetapi mau juga Siau Li menanggapi, "Kemungkinan dia juga bingung memikirkan kakek yang tak pernah muncul selama ber-tahun2 ini. Dia tentu tak tahu dimana tempat tinggal kakek. Dan diapun juga tak tahu kalau kakek masih hidup atau sudah mati."

"Berkat arak Hek-hou-ciu, aku tentu dapat berumur panjang," kata Lo Kun, "ya, benar. Kemungkinan sukomu Blo'on memang menganggap begitu sehingga dia tak dapat mencari aku."

"Jadi kakek juga hendak mencari suko dan aku ?" Sian Li menegas. “Ya.”

"Jika begitu mari kita bersama-sama mencarinya ke kota Yang-ciu. Suko hendak melamar pekerjaan pada jenderal Ko Kiat disana."

"Lebih baik kita omong2 disini dulu," kata Lo Kun. "kan masih banyak yang dapat kita ceritakan selama berpisahan delapan tahun itu."

"Kakek hendak bertanya apa lagi ?" "Apakah sukomu sudah beristeri ?"

"Belum" sahut Sian Li, "berulang kali para ketua partai persilatan membujuknya supaya menikah. Merekapun mengajukan calon? yang cantik, tetapi suko tak mau."

"Ya, mungkin karena dia sudah menjadi mantu raja maka dia menolak. Yang goblok adalah para ketua partai persilatan itu. Yang sudah beristeri ditawari gadis cantik, yang belum bersteri perti aku ini, mereka tak mau menawari. Hm, nanti kalau bertemu Blo'on akan kusuruhnya menerima saja tawaran itu. Setelah itu berikan saja gadis cantik itu kepadaku, tanggung beres!"

Sian Li tertawa, "Ai, kakek kan sudah tua, mengapa masih asyik memikirkan isteri?"

"Lho, soal beristeri itu tidak tergantung tua dan muda. Pokoknya selama manusia itu masih bernapas, boleh saja dia beristeri, asal ada wanita yang mau."

Sian Li tak mau berbantah, ia bertanya, "Kakek Lo, apakah benar suko itu sudah menikah?”

"Sukomu dipungut menantu oleh raja karena sukomu berhasil mengobati penyakit puteri raja."

"Tetapi apakah suko mau?" "Itu dia, kalau orang goblok. Diberi puteri raja dia tak mau malah melarikan diri. Kalau memangnya tak mau, berikan saja kepadaku kan beres."

"Jadi secara resmi suko belum menikah dengan puteri raja itu?" tanya Sian Li.

“Raja memang bermaksud hendak menikahkan sukomu dengan salah seorang puterinya tetapi sukomu malah minggat dari keraton."

Note: Tentang kisah Blo'on dipungut menantu oleh raja adalah karena dia dapat menyembuhkan penyakit aneh dari puteri. Tetapi Blo'on minggat. Kalau ingin mengetahui yang jelas, silahkan baca Pendekar Blo’on.

"Kakek," kata Sian Li yang rupanya menarik perhatian tentang masalah itu, "benarkah suko pernah ditunangkan pada anak perempuan dari serang tokoh di Thay-goan yang bernama Han Hian Liong?"

"Siapa yang bilang?"

Sian Li lalu menuturkan tentang kedatangan Han Bi Ing yang membawa surat dari ayahnya, bahwa Blo'on itu calon suami dari Han Bi Ing karena dulu ayah Blo'on, Kim Thian Cong telah mengikat janji dengan Han Bun Liong untuk menjodohkan anaknya.

"Entahlah, aku tak tahu. Karena aku sendiri juga tak pernah kenal dengan Kim Thian Cong, ayah si  Blo'on," kata kakek Lo Kun, "tetapi apakah Han Bi Ing itu cantik?"

"Ya, cantik sekali." "Lalu dimana sekarang?"

"Juga mencari suko," sahut Sian Li, "tetapi apakah suko mau menerimanya?" "Anak itu memang sukar," gumam kakek Lo Kun," jangankan Han Bi Ing, sedang puteri raja saja dia menolak. Hm, seenaknya sendiri saja mentang2 laris lalu tak ingat pada kakeknya.”

Sian Li hanya tertawa. Ia tahu kekek Lo Kun itu seperti sukonya Blo'on. Kadang pikirannya waras, ingatannya tajam dan dapat bicara dengan genah bahkan dapat memberi wejangan berharga. Tetapi kalau penyakit limbungnya kambuh, dia akan ngoceh tak keruan, bertingkah laku tak genah.

Sekonyong-konyong mereka mendengar derap kuda lari riuh gemuruh sekali. Saat itu hari sudah petang dan suasana disekeliling hutan itu sunyi sekali sehingga suara gemuruh tanah didebur kuda, terdengar jelas sekali.

"Eng ..... eng .... kongkong. ada kuda,” seru Uk Uk.

Ketika kakek Lo Kun dan Sian Li memandang ke sebelah muka mereka terkejut…..

( bersambung )

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar