Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 01 Benci tapi rindu.

Jilid 01 Benci tapi rindu.

Kawanan burung gagak yang berkaok-kaok terbang melalang di udara makin menambah keseraman pada jalan yang membelah hutan sebuah pegunungan, di wilayah Holam.

Hari menjelang petang dan jalan sunyi senyap. Satu- satunya manusia yang berada di jalan itu hanya seorang pemuda yang mengendarai seekor kuda putih. Dandanannya seperti seorang sasterawan, wajahnya cakap sekali sehingga lebih tepat kalau dikata cantik. Usianya sekitar 18 tahun.

Rupanya dia merasa bising juga mendengar suara burung gagak yang menyengat telinga itu. Ia mengeluarkan sebuah benda sebesar kelengkeng lalu diayunkan kearah burung itu.

Gaok . . . gaok . . .

Dua ekor gagak melayang jatuh ke tanah. Tetapi bukan merasa gembira, kebalikannya pemuda sasterawan itu menghela napas.

"Ah, masih jauh terpautnya. Sekali lontar suhu dapat merubuhkan lima ekor burung, sedang aku hanya dua ekor," gumamnya seorang diri. Diam2 ia berjanji akan lebih giat berlatih ilmu melontar Hui-hong-ciok (batu terbang), agar dapat mencapai tataran seperti suhunya.

Melihat dua orang kawannya jatuh, kawanan gagak itu terbang pergi tetapi beberapa saat kemudian mereka datang lagi dan berkaok-kaok riuh sekali.

"Setan alas," desuh pemuda itu seraya terus hendak menjemput hui-hong-ciok lagi. Tetapi pada lain saat dia teringat bahwa gagak itu burung pemakan bangkai. Kemudian disusul pula dengan penimangan, tak mungkin kawanan gagak akan terbang berkerumun apabila di tempat itu tiada terdapat bangkai hewan maupun manusia.

Serentak dia teringat akan suasana negara dewasa itu. Kotaraja Pakkia sudah jatuh ke tangan tentara Ceng. Baginda Cong Ceng bunuh diri, putera mahkotanya lenyap dan pemerintah kerajaan Beng hijrah ke daerah selatan, kota Lam-kia. Pemberontakan timbul dimana-mana. Perampok, perusuh dan pengacau berpesta pora diatas ratap tangis rakyat yang sengsara.

"Raja Ceng harus bertanggung jawab atas kesengsaraan rakyat ini. Aku bersumpah untuk membunuh setiap prajurit Ceng, perampok, pengacau yang membuat rakyat sengsara," katanya dalam hati, "dan juga dia, manusia blo'on, yang telah membuat aku sengsara begini rupa."

Tiba2 ia terkejut menyaksikan seekor gagak terkena sebatang panah dan meluncur jatuh kebawah, "Eh, rupanya ada orang yang sedang bertempur. Kemungkinan besar, kawanan perampok sedang mengganas." serentak ia mencongklangkan kudanya menuju ke tempat kawanan gagak beterbangan.

Beberapa saat kemudian dia dapat mendengar suara gemerincing senjata beradu. Dia makin mempesatkan lari kudanya. Tiba di tepi hutan, ia terkejut menyaksikan suatu pemandangan yang mengerikan. Sebuah kereta rubuh ditepi jalan, beberapa sosok mayat terkapar malang melintang di tengah jalan dan dua orang lelaki tengah menyeret seorang gadis. Gadis itu meronta dan menjerit-jerit minta tolong. Sedang tiga lelaki tengah membuka beberapa peti. Seketika meluaplah amarah pemuda sasterawan. Ia tahu apa yang terjadi. Jelas kelima lelaki itu bangsa penyamun yang tengah merampok harta benda dan gadis.

"Lepaskan, bangsat!" sambil terjangkan kuda kemuka tangannyapun berayun.

"Aduh .. . aduh . . . , " terdengar kedua lelaki  yang tengah menyeret gadis itu menjerit keras. Yang seorang rubuh dan yang satu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap bahu kirinya.

Selekas tiba, pemuda sasterawan itu terus menyambar tubuh si gadis dan dinaikkan keatas kudanya, “Jangan takut, nona. Peganglah kendali erat2," bisik pemuda itu.

"Putih, bawalah nona itu ketempat yang aman," serunya pula lalu ayunkan tubuh berjungkir balik ke belakang. Tring, ia membabat sebatang panah dengan pedangnya.

Ternyata waktu melihat kedua kawannya terluka, salah seorang dari tiga lelaki yang tengah membongkar peti itu terkejut dan cepat lepaskan senjata rahasia sebatang passer kearah penunggang kuda putih itu. Namun pemuda itu sudah dapat menduga lebih dulu. Begitu mendengar suara kesiur angin yang tajam, dia terus buang tubuh ber jumpalitan ke belakang dan tepat dapat menangkis passer itu.

"Hm, kawanan perampok, engkau kira dunia sudah tak ada undang-undang lagi, ya ?" selekas melayang turun ke tanah, pemuda sasterawan itu segera membentak.

Lelaki yang melepas senjata passer tadi terus hendak melangkah maju tetapi kawannya yang bartubuh pendek cepat mencegah, "Toako, potong ayam tak perlu pakai pisau pemotong kerbau. Biarlah aku yang membereskannya." Lelaki pendek itu bertubuh kekar. Muka bercambang bauk, dada dan kedua tangannya penuh bulu. Muka lebar tetapi mata, hidung dan mulut serba kecil, mirip kera.

"Hai, banci, rupanya engkau sudah bosan makan nasi, ya

?" seru lelaki pendek itu, "engkau tahu siapa aku ini ?" "Kunyuk jelek !"

Lelaki pendek itu membelalak tetapi pada lain kilas dia tertawa, "Ha, ha, ha, muka dan tingkah lakumu, benar2 seperti seorang gadis cantik. Sekalipun engkau seorang pemuda tetapi aku suka"

"Kunyuk tengik, kurobek mulutmu !" seru pemuda itu dengan muka merah.

"Ha, ha, ha," kembali lelaki pendek itu tertawa, "umumnya lelaki itu tentu beristeri wanita. Tetapi biar orang mengatakan apa saja, asal secantik engkau biar lelaki akupun senang memper-isterimu. Lebih baik lelaki cantik daripada perempuan jelek bukan ?"

"Kunyuk bermulut busuk, lihat pedang !" tiba2 pemuda itu taburkan pedangnya. Bermula berputar-putar bagaikan kuntum bunga mekar, lalu sekonyong-konyong berhamburan menabur kepala lelaki pendek itu.

"Uh," lelaki pendek itu mendesuh kejut. Dia bergeliatan dengan gerak yang lincah sekali lalu tiba-tiba loncat mundur beberapa langkah.

"Bagus, bagus," seru lelaki pendek itu, "ilmu pedangmu sungguh hebat ! Kalau engkau mau menjadi isteriku, Siam- say-ngo-sat akan bertambah seorang Giok-lo-sat."

"Persetan dengan Siam-say-ngo-sat!" "Uh, engkau belum tahu siapa Siam-say-ngo-sat itu. Aku berlima inilah Siam-say-ngo sat, lima momok dari wilayah Siam-say yang termasyhur. Apa engkau tidak takut?"

"Pedangku tak pernah takut kepada segala macam momok dan bangsa kurcaci!"

"Bagus, aku senang melihat sikapmu yang keras tak kenal kompromi itu," seru si lelaki pendek, "siapa namamu?"

"Supaya kalau mati engkau jangan menjadi setan penasaran, tak apa, akan kuberitahu namaku. Aku bernama Kui."

"Kui? Hanya satu kata? Ah, tetapi nama itu sungguh tepat dengan orangnya. Kui artinya bunga kui-hoa yang cantik. Atau Kui yang

berarti mahal, berharga atau mulia."

"Ngaco!" bentak pemuda sasterawan, "aku seorang lelaki masakan memakai nama bunga seperti anak perempuan."

“Lalu, kui apa?" "Kui, setan."

"Kui setan?" lelaki pendek itu terkejut, "mengapa pakai nama ' kui ' setan?"

“Untuk        mencekik

manusia2 sampah masyarakat seperti engkau!" "Siapa she-mu?"

"Aku she Wan-ong." ''Wan-ong Kui.”

"Ya, Wan-ong Kui si Setan Penasaran."

"Huh. Aneh. Pemuda setampan engkau mengapa memakai nama yang begitu seram. Ikut aku saja, engkau tentu takkan penasaran lagi."

“Jahanam "

"Tunggu," cepat lelaki pendek itu berseru ketika melihat pemuda itu hendak bergerak menyerang lagi, "Ilmupedangmu hebat sekali. Dari perguruan manakah engkau dan apa nama ilmupedangmu itu ?"

"Perguruanku Hong-siang-bun. llmupedang-ku Pek-hoa kiam. Jurus tadi Hoa-gui-hun-hiang."

"Hong-siang-bun ? Mengapa tak pernah terdengar nama perguruan itu ? Apa artinya nama itu ?

"Perguruan Atas-angin."

"Uh," lelaki pendek mendesuh, "ilmupedang Peh-hoa- kiam ?"

"Seratus-bunga-bermekaran." "Jurus Hoa-gui-hun-hiang?" "Bunga-mekar-menabur-harum."

"Omong kosong!" teriak lelaki pendek, "dalam dunia persilatan tak ada nama perguruan semacam Hong-siang- bun itu. Dan dalam ilmupedangpun tak ada jurus yang disebut Bunga-mekar-menabur-harum. Hm, karena aku suka kepadamu, engkau mendapat kelonggaran bicara. Tetapi jangan terus menerus berolok-olok."

"Memang kutahu," sahut pemuda sasterawan dengan centil, "ilmupedang itu tak mungkin diketahui oleh bangsa kunyuk seperti engkau. Bagaimana rasanya jurus tadi, enak kan ?"

"Apa maksudmu, pemuda banci!"

"O, apa engkau benar2 tak merasa, ha, ha, ha "

"Jangan bergurau ! Apa yang engkau maksudkan ?" "Pulang dan berkatalah di cermin. Ih, kalau tak punya

cermin, carilah telaga dan berkatalah, ha, ha, ha "

"Sam-te, mengapa engkau begitu ………., “ tiba2 salah seorang kawannya yang membuka peti tadi maju menghampiri. Waktu melihat tampang lelaki pendek, ia menegur tetapi tak dapat melanjutkan kata-katanya karena mendekap mulut menahan gelak.

"Ji-ko, aku kenapa ?" lelaki pendek itu bertanya heran. "Ah, apakah engkau tak merasa ?"

"Merasa apa?" "Alismu itu "

Cepat lelaki pendek itu merabah alisnya dan seketika ia merjingkrak kaget, "Keparat engkau banci, akan kuremukkan tulangmu!" serunya seraya terus menerjang pemuda sasterawan.

Ternyata alis sebelah kiri dari lelaki pendek itu telah hilang karena tercukur kelimis oleh ujung pedang pemuda sasterawan tadi.

"Bagus, kunjuk," seru pemuda sasterawan seraya songsongkan pedangnya membabat bahu orang. Tetapi lelaki pendek itu teramat gesit. Selekas endapkan tubuh ke bawah, dia terus ulurkan tangan hendak meremas dada pemuda sasterawan itu. Jurus itu disebut Heng-cia-cay-kuo atau Raja-kera-memetik-buah.

"Bangsat engkau kunyuk !" teriak pemuda sasterawan itu seraya loncat ke samping. Wajahnya tersipu-sipu karena melihat kekurang ajaran lelaki pendek yang hendak meremas buah dadanya.

"Ada ubi ada talas, ada budi tentu dibalas, pemuda manis," lelaki pendek tertawa mengejek. Dia adalah jago ketiga dari kawanan penjahat Siam-say yang menamakan diri sebagai Siam-say-ngo-sat.

Siam-say-ngo-sat itu baru muncul setelah suasana negara kacau karena diserang pasukan Ceng, Mereka terdiri dari lima benggolan, yaitu Ma Sun gelar Thiat-pi-sin-kang Lengan-besi-sakti, Hok Tiang Mo gelar Sin-ho-thiat-ci atau Bangau-sakti-jari-besi, Ui Kiong gelar Kim-gan-sin-wan atau Kera-sakti-bermata-emas, Lo Ti Seng gelar Tok-kak- hou atau Harimau-kaki-satu dan Gak Bun gelar Hui-hou-sat atau si Rase-terbang.

Kera-sakti-bermata-emas yang bertanding dengan pemuda sasterawan itu memiliki ilmusilat Kau-l.un (ilmusilat jurus kera), yang cukup tinggi. Gerakannya gesit sekali, tangannya usil dan berbahaya.

Memang apabila berhadapan dengan jago silat biasa, Kera-sakti Ui Kiong tentu menang. Tetapi yang dihadapinya saat itu seorang pemuda sasterawan yang memiliki ilmupedang aneh.

"Rasakan sekarang," tiba2 pemuda itu gunakan jurus Giok-li-san-hoa atau Bidadari-menabur-bunga, ketika ia berhasil memancing lawan untuk menerkam dadanya. Ui Kiong terkejut bukan kepalang ketika tiba2 pemuda itu menghentikan tusukannya dan diganti dengan gerak menabas yang cepat. Ui Kiong hendak menarik tangannya tetapi sudah tak keburu. Pedang berkelebat dan menjeritlah si Kera-sakti itu seraya mendekap tangan kanannya yang kutung sebatas pergelangan tangan.

Kelima Siam-say-ngo-sat, sudah tiga orang yang terluka dan rubuh. Harimau-kaki-satu Lo Ti Seng dan si Rase- terbang Gak Bun yang hendak menyeret gadis cantik tadi, sudah terluka terkena sabitan senjata-rahasia hui-hong-giok dari pemuda sasterawan. Lo Ti Seng patah tulang dadanya dan pingsan. Gak Bun jalandarah Kian-ki-luat pada bahunya terkena sehingga kaku tak dapat digerakkan. Kera- sakti Ui Kiong, pergelangan tangannya putus terbabat pedang.

Kini tinggal jago kesatu si Lengan-besi Ma Sun dan jago kedua Bangau-sakti Hong Tiang Mo. Kedua orang itu bersama Kera-sakti Ui Kiong membongkar peti harta milik gadis cantik tadi. Melihat Kera-sakti terluka, Ma Sun dan Hong Tiong Mo serentak berhamburan menerjang pemuda sasterawan. Mereka tahu bahwa pemuda itu memiliki pedang pusaka dan ilmu pedang yang hebat maka mereka pun menggunakan senjatanya juga.

Ma Sun menggunakan senjata golok yang aneh. Ujungnya bengkok, tajam dan berat. Punggung golok bergigi gergaji yang runcing. Sedang Hong Tiang Mo juga tak kalah aneh senjatanya. Tombak pandak yang berbentuk seperti kepala burung bangau, mempunyai paruh yang runcing, tangkainya diberi alat pijatan. Begitu tombol kecil itu dipijat maka paruh akan menjulur panjang mirip dengan burung bangau yang sedang mematuk.

"Bayar jiwa ketiga suteku," Ma Sun menggerung seraya menabas sekuat-kuatnya. Sementara Tiang Mopun memperlengkapi dengan ayunkan senjata burung bangau untuk mematuk kepala lawan.

"Bagus, kalian maju berbareng saja agar dapat menghemat waktuku," seru pemuda sasterawan untuk menutupi hatinya yang terkejut menyaksikan senjata aneh dari kedua orang itu.

Rupanya dia masih belum banyak pengalam an dalam pertempuran. Melihat sikapnya yang masih kikuk, diapun agaknya baru pertama kali itu terjun keluar ke dunia persilatan. Tetapi dia memiliki ilmupedang yang hebat dan kekerasan hati. Dia benci kapada prajurit Ceng, perampok, penjahat yang menindas rakyat. Dan diapun benci kepada seseorang. Dia hendak menuntut balas kepada orang itu. Itulah sebabnya maka ia giat sekali mempelajari ilmupedang yang disebut Peh-hoa-kiam-hwat atau Seratus- bunga-bermekaran.

"Jika terhadap bangsa kurcaci semacam ini aku takut, bagaimana aku dapat menuntut balas kepada orang yang kubenci itu?" serentak ia membajakan semangatnya dan menyambut serangan kedua lawannya dengan jurus Giok-li- san-hoa atau Bidadari-menebar-bunga.

Tring, tring ....

"Hai, setan alas!" terdengar kedua orang itu menggembor keras seraya serempak loncat mundur memeriksa senjatanya. Dua gigi gergaji pada punggung golok Ma Sun terpapas rompak. Lengan baju Bangau-sakti Hong Tiang Mo terbabat tetapi senjatanya masih utuh.  Kedua benggolan Siam-say-ngo-sat itu terkejut bukan kepalang. Selama ini belum pernah mereka menderita kekalahan seperti itu. Apalagi mereka maju berdua.

Tetapi pemuda itu juga tak kalah kejutnya. Ia rasakan tangannya linu sekali sehingga pedangnya hampir lepas. Ia tahu bahwa kedua lawan, terutama Ma San, bertenaga besar sekali.

"Ah, aku salah," gumamnya dalam hati, "guru mengatakan bahwa ilmupedang Peh-hoa-kiam-hwat itu mengutamakan kelincahan dan kecepatan. Jika tak perlu tak boleh mengadu kekuatan dengan lawan."

Dalam pertempuran selanjutnya, dia taat akan pesan gurunya. Tak mau ia mengadu kekerasan lagi.

Ma Sun dan Tiang Mo marah sekali. Mereka melancarkan serangan dengan gencar dan dahsyat.

"Kena!" tiba2 Ma Sun membentak. Ia menahas leher lawan, ketika lawan condongkan tubuh ke belakang, dia terus menarik goloknya untuk mengait pedang lawan. Memang ujung golok yang bengkok itu khusus untuk menggaet senjata orang. Jarak yang begitu dekat, tak mungkin gagal.

Pada saat itu Hong Tiang Hongpun sambarkan paruh senjata burung bangau ke punggung si pemuda. Dengan begitu, pemuda sasterawan itu terjepit bahaya dari dua  arah. Punggung dipatuk paruh senjata bangau, dari muka pedangnya akan digaet golok bengkok Ma Sun. 

Tetapi pemuda itu tak gentar. Dia melakukan jurus Hek- hcmg-jay-bi atau Kumbang-hitam-menghisap-madu, ia songsongkan tubuh kemuka untuk membelah tangan orang. Sebelum golok bengkok sempat menggaet, tangan Ma Sun sudah terbelah.

"Aduh. " Ma Sun menjerit, lepaskan golok dan loncat

mundur lalu melarikan diri.

"Ih," tetapi pemuda sasterawan itu juga mendesis kaget karena bahunya tersentuh benda dingin. Ternyata karena pemuda itu condongkan tubuh kemuka, paruh tajam dari senjata-bangau Hong Tiang Mo tak dapat mengenai. Tetapi Hong Tiang Mo memijat tombol pada tangkai senjatanya. Paruh baja itu tiba2 menjulur panjang kemuka dan menusuk punggung lawan. Untung pemuda sasterawan itu cepat menguar tubuh hingga hanya bahu baju dan kulitnya yang keserempet pecah. Sekalipun demikian cukup perih juga dan lengan bajunya yang putihpun merah dengan darah.

Pemuda itu marah sekali. Selekas berputar tubuh dia terus taburkan pedangnya.

"Aduh....," terdengar Bangau-sakti Hong Tiang Mo menjerit keras ketika dadanya tertembus pedang lawan. Ia terjungkal rubuh dan putus jiwanya.

Melihat Hong Tiang Mo terkepar mandi darah, ngeri juga pemuda itu. Ia marah sekali atas kelicikan Hong Tiang Mo yang menyerangnya dari belakang dengan senjata rahasia.

Setelah menenangkan diri, ia memandang ke sekeliling. Ternyata kawanan penjahat itu sudah tak tampak batang hidungnya lagi. Waktu dia sedang bertempur dengan Ma Sun den Hong Tiang Mo, Kera-sakti Ui Kiong, Harimau- kaki-satu Lo Seng Ti dan Rase-terbang Gak Bun ngacir pergi.

"Ah," pemuda itu menghela napas. Ia beristirahat dulu dibawah sebatang pohon. Ia termenung-menung, "ah, suhu memang benar. Dunia persilatan memang penuh dengan manusia licik. Pengalaman dalam pertempuran itu amat berguna sekali. Karena dengan pengalaman itu kita dapat menyempurnakan ilmu kepandaian kita."

Tiba2 ia teringat akan kudanya, si Putih. Serentak ia bersuit nyaring. Tak lama terdengar derap kuda lari menghampiri. Kuda bulu putih yang diberi nama si Putih, muncul dengan masih membawa gadis tadi. Kuda itu berhenti dihadapan pemuda sasterawan.

"Turunkan nona itu," seru si pemuda. Seperti tahu bahasa manusia, kuda putih itu segera berjongkok kebawah dan menurunkan nona itu.

Selekas turun nona itu terus berlutut dihadapan pemuda sasterawan, "Terima kasih in-kong. In-kong telah menolong jiwaku."

"Ah, janganlah nona bersikap demikian," pemuda itu meminta supaya si nona berdiri, "sudah adat hidup kalau tolong menolong "

"In-kong, mengapa engkau… ,” gadis itu terkejut karena

melihat pemuda sasterawan itu pejamkan mata dan tiba2 terkulai bersandar pada batang pohon. Mukanya pucat lesi.

Gadis itu makin terkejut. Ternyata pemuda sasterawan itu pingsan. Dan lebih terkejut ketika ia melihat bahu baju pemuda itu berlumuran darah.

"Ah, dia terluka," kata gadis itu. Sebenarnya menurut adat istiadat waktu itu, pergaulan lelaki dan wanita terutama jejaka dan gadis, masih terbatas sekali. Tetapi gadis itu tak mau menghiraukan soal tata-istiadat lagi. Pemuda itu telah menolong jiwanya, diapun harus balas menolongnya. Ia memeriksa noda darah yang membasahi bahu lengan si pemuda. Ternyata warnanya hitam.

"Hm, dia terkena senjata beracun. Aku harus Iekas2 menolongnya, tetapi .... , " tiba2 ia tertegun. Mukanyapun merah jengah, “haruskah aku melakukan hal itu?"

"Ah, biarlah orang mengatakan aku ini bagaimana, tetapi aku harus membalas budinya," akhirnya gadis itu mengambil keputusan. Cepat dia mengeluarkan sebuah kotak yang berisi lima butir pil. Disusupkannya sebutir pil kedalam mulut si pemuda. Kemudian ia mengambil arak untuk mencuci luka si pemuda lalu dilumuri bubuk obat dan dibalut dengan kain yang dirobek dari lengan bajunya sendiri.

Sampai beberapa saat ia duduk dihadapai pemuda itu untuk menunggu perkembangannya. Dalam mencurahkan perhatian itu mau tak mau matapun melihat dan timbullah kesan dalam pikirannya, "Ah, sungguh seorang pemuda yang cakap sekali sehingga mirip dengan gadis cantik," pikirnya.

Duduk termenung di tempat pegunungan yang, sunyi di awal malam, memang cepat menimbulkan lamunan. Sekali melamun, gadis itupun terhanyut dalam lamunan lebih lanjut, "Ah, apakah putera dari paman Kim Thian Cong yang bernama Blo’on itu juga secakap ini ? O; Tuhan, semoga Blo'on itu juga pemuda yang cakap dan berbudi seperti pemuda ini. "

"Ah, itu sudah ditetapkan oleh orang tua. Cakap atau tidak cakap, suka atau tidak suka, aku ini sudah calon isterinya. Aku harus menerima apa pun kenyataannya "

"Uh ,” tiba2 pemuda sasterawan itu mendesuh.

"In-kong, engkau sudah siuman ?” seru gadis itu kejut2 girang melihat pemuda itu mulai bergeliat dan membuka mata.

"In-kong, oh Tuhan, syukurlah engkau sembuh. "

kembali gadis itu gembira. In-kong artinya tuan penolong.

Pemuda itu masih terlongong-longong. Tiba-tiba ia rasakan bahunya dibalut, "O, apakah ini?"

"Lukamu berdarah terpaksa kuberi obat dan kubalut," kata gadis itu dengan wajah cerah. Pemuda sasterawan itu kerutkan dahi, tiba2 ia melonjak bangun dan membentak, "Mengapa engkau berani lancang menyentuh tubuhku ?"

Sudah tentu gadis itu terkejut sekali, "In-kong, lukamu itu beracun, terpaksa kucuci dengan arak lalu kubalut. "

"Engkau lancang sekali !" bentak pemuda itu dengan marah, "siapa suruh engkau mengobati lukaku ?”

"O, In-kong, maafkan kesalahanku ....," gadis itu terus berlutut dan hendak mencium kaki si pemuda. Tetapi pemuda itu loncat mundur dan menudingnya, "Pergi ! Jangan menyentuh aku !"

Gadis itu heran dan ketakutan. Airmatanya pun berderai- derai membasahi kedua pipi, "In kong, aku .... aku tak bermasud apa? kecuali hendak menolong engkau …"

"Aku tak perlu pertolonganmu !"

"Ah, In-kong, engkau telah menolong jiwaku maka aku pun wajib membalas budimu .,.. "

"Aku tak mengharap balas dari engkau!”

Gadis itu makin tersipu-sipu menahan air matanya, "In- kong telah menolong jiwaku, apapun yang In-kong perintahkan pasti akan kulakukan."

"Pergilah !"

Airmata gadis itu makin membanjir, “Baik, jika in-kong menghendaki begitu, aku akan pergi. Tetapi sebelumnya aku mohon bertanya. Mengapa in-kong menolong aku ? Dan mengapa pula in-kong marah kepadaku ? Kurasa, lebih baik kalau tadi in-kong tidak menolongku."

"Aku tidak bermaksud menolongmu. Aku hanya melaksanakan sumpahku untuk membunuh setiap perampok dan penjahat yang mengganggu rakyat." "Itu berarti in-kong menolong rakyat dan akupun juga seorang rakyat."

"Hm, yang penting aku bertujuan membasmi perampok dan penjahat."

"Baiklah," kata gadis itu sembari memesut airmatanya. "sebenarnya tanpa pertolongan in-kong, akupun sanggup menjaga diri. Tak mungkin penjahat itu dapat mencemarkan kesucianku karena aku sudah bertekad lebih baik bunuh diri daripada ternoda."

Pemuda itu tertegun.

"Tolong jawab pertanyaanku yang kedua tadi. Mengapa in-kong marah kepadaku ?"

"Siapa suruh engkau memegang tubuhku ?" "Aku hanya mengobati luka in-kong."

“Itu pantangan besar. Aku tak mau disentuh wanita.”

"O, aku tak tahu, maafkan kelantanganku tadi. Betapapun engkau telah menolong jiwaku dan aku tetap berterima kasih kepadamu. Mudah-mudahan kelak aku dapat membalas budimu. Andaikata aku tak mampu, aku tetap akan berdoa semoga Tuhan selalu melindungimu. Selamat tinggal " gadis itu terus ayunkan langkah.

Pemuda sasterawan itu tertegun. Sesaat ia tak tahu apa yang akan dilakukan. Pikirannya masih membayangkan, bagaimana waktu dia pingsan, gadis itu telah mengobati lukanya. Dalam mengobati, tentulah gadis itu telah membuka bajunya, paling tidak tentu menyingsing lengan bajunya yang luka itu — Ih — membayangkan hal itu merahlah mukanya.

Tiba2 matanya tertumbuk pada sebuah pemandangan yang mengejutkan. Tak jauh dari mayat Bangau-sakti Hong Tiang Mo, terdapat senjatanya yang berbentuk seperti kepala bangau. Senjata itu menggeletak di tanah tetapi anehnya, rumput dan tanaman kecil2 yang berada sekeliling setengah meter, layu semua. Diluar itu rumput dan tanaman2 masih tetap segar.

Pemuda itu terkejut dan segera menyadari bahwa senjata Tiang Mo itu mengandung racun yang hebat. Dan serentak diapun teringat akan lukanya. Apabila rumputpun layu, tidakkah dia juga akan binasa ? Segera ia tahu apa sebab dia pingsan. Tetapi segera pula ia terkejut, "Mengapa aku bisa sembuh ?"

"Tunggu dulu, nona," cepat ia berseru kepada gadis yang sudah berada sepuluhan tombak jauhnya. Ia lari menghampiri dan gadis itupun berhenti.

"Selain membalut lukaku, apa saja yang engkau lakukan tadi ?" tegurnya.

"Kuberimu minum sebutir pil." "Pil ? Pil apa ?"

"Swat-lian-seng-tan atau pil Teratai-salju yang berkhasiat tinggi untuk memunahkan segala macam racun."

"Dari mana engkau memperoleh pil itu ?" "Pemberian ayahku."

"Siapa ayahmu ? "

"Maaf, ayah melarang aku memberitahukan! namanya kepada siapapun juga."

"O .. . "

"Masih ada lain pertanyaan ?"

Pemuda sasterawan itu gelengkan kepala dan gadis itupun terus lanjutkan langkahnya. "Tunggu," kembali pemuda itu berseru seraya menghampiri.

"O, apakah masih ada pertanyaan lagi ?"

"Tiga peti milik nona itu," kata si pemuda itu," tentu berisi harta permata. Mengapa nona hendak meninggalkan begitu saja ?"

Gadis cantik itu tertawa sendu, "Jiwa dan harta hanyalah barang pinjaman. Sedang jiwaku saja belum tahu bagaimana jadinya nanti, mengapa aku harus mengurusi harta benda?"

"Tetapi tidakkah peti itu akan diambil orang?" "Terserah," jawab nona cantik itu dengan tak acuh,

"harta itulah yang mencelakai aku. Karena tahu aku membawa harta maka perampok itu lalu menghadang dan membunuh orang-orangku. Tanpa harta, aku lebih aman."

"Ah, siapa bilang? Nona seorang gadis cantik, berbahaya berjalan seorang diri."

"Bukankah sudah kukatakan. Aku sudah bersedia mati daripada ternoda?"

"Nona tidak boleh begitu. Paling tidak nona harus membawa bekal untuk perjalanan."

"Jangan terlalu memandang harta sebagai yang paling berkuasa. Lihat, sedangkan raja Beng yang berkuasa dan kaya raya, toh juga hancur berantakan karena diserang musuh, apalagi diriku seorang rakyat kecil."

Pemuda itu tertegun mendengar si nona mengatakan tentang nasib kerajaan Beng.

"Apakah masih ada pertanyaan lagi?" tanya si nona tetapi pemuda itu masih terlongong-longong seperti kehilangan sesuatu. Mengira kalau pemuda itu tak mengacuhkan, gadis cantik itupun ayunkan langkah lagi.

Pemuda itu masih terngiang-ngiang akan kata2 gadis tadi, "raja Beng yang berkuasa dan kaya raya toh akhirnya juga hancur berantakan "

"Benar, nasib manusia memang sukar diduga. Dulu raja, sekarang gelandangan. Dulu kaya sekarang papa . . . , " bisiknya seorang diri dengan berlinang-linang airmata.

Sekonyoug-konyong ia terhenyak kaget ketika mendengar suara aum harimau dan jerit seorang wanita. Itulah gadis tadi, pikirnya. Dan cepat diapun lari menuju kearah suara itu.

Hari itu belum terlalu gelap dan serentak pemuda itupun segera melihat suatu pemandangan yang mengerikan. Seekor harimau tengah menghampiri seorang gadis yang menggeletak pingsan di tanah. Dan gadis itu tak lain adalah si nona cantik tadi. Hanya selangkah lagi harimau itu tentu sudah menerkam si gadis.

Pemuda itu serentak berseru, "Jangan mengganas, binatang!" - seraya ayunkan sebuah hui-hong-ciok.

Harimau terkejut dan berpaling sehingga mukanya selamat tetapi telinganya terhantam batu itu. Harimau meraung kesakitan lalu menerjang pemuda sasterawan.

Ngeri rasanya melihat taring dan cakar harimau yang sedang marah itu. Namun pemuda itu sudah tak sempat  lagi memikirkan segala rasa ketakutan. Serentak dia taburkan dua buah hui-hong-ciok. Krak, krak, terdengar letupan benda keras yang pecah. Sepasang biji mata harimau itu pecah berhamburan dan meraunglah binatang itu dengan dahsyatnya. Sakit dan buta menyebabkan harimau itu kalap tak keruan. Dia menerjang dan terus menerjang kemuka dan akhirnya terpelanting jatuh ke dalam jurang, hancur lebur.

Pemuda itu pejamkan mata. Setelah bayang2 yang mengerikan itu lenyap, barulah dia membuka mata dan menghampiri ketempat si gadis yang masih pingsan.

Timbul rasa kasihannya terhadap gadis yang malang itu. Segera ia mengangkatnya dan diletakkan dibawah pohon lalu mengambil obat dan memasukkan sebutir pil ke mulut si gadis. Agar dapat masuk, terpaksa pemuda itu meniup dengan mulutnya. Kemudian ia mengurut-urut dada dan tubuh gadis itu.

Adegan terulang. Kalau tadi si gadis yang mengobati dan menunggu pemuda sasterawan. Sekarang pemuda itu yang mengobati dan menunggui si gadis.

Tak berapa lama, gadis itu merintih dan ini buka mata. "O, engkau sudah siuman, nona?" seru pemuda itu

gembira.

"Apakah kita berada di alam baka?" tiba si gadis itu berkata.

Pemuda sasterawan tertawa, "Tidak, nona, kita masih hidup,"

"O, tetapi bukankah harimau itu sudah menerkam aku?" "Hampir tetapi aku keburu datang dan menghalaunya.

Engkau hanya pingsan."

Gadis itu tampak mengulum-ngulum bibir, serunya, "Mengapa lidahku terasa manis dan harum?"

Pemuda itu tertawa pula, "Kuberimu minum sebutir pil Cian-lian-jin-som yang berkhasiat menambah tenaga dan semangat." "Tetapi aku pingsan, bagaimana mungkin aku dapat menelan?"

"Kutiup dengan mulutku lalu kuurut dadamu."

"Apa?" serentak gadis itu melonjak bangun dan menuding, "engkau pemuda kurang ajar tak tahu adat! Berani benar engkau berbuat sedemikian tak senonoh!"

"Tetapi aku bermaksud hendak menolongmu."

"Tidak! Siapa yang minta engkau menolong aku! Ayo, pergilah!"

"Sabar nona,"

pemuda itu membujuk, "demi ingin menolong jiwa nona, terpaksa aku menggunakan cara mulut meniup ke mulut supaya pil itu bisa masuk. Maafkan aku."

"Tidak! Tidak ada maaf-maafan!" bentak gadis cantik itu dengan wajah merah padam, "engkau pemuda brandal berani mengganggu isteri orang, enyah!"

"O, maaf, nyonya "

"Ngaco belo!" bentak gadis cantik itu dengan muka makin merah, "siapa yang engkau sebut nyonya?" "Bukankah engkau mengatakan sudah bersuami?"

"Siapa bilang? Aku kan mengatakan sebagai isteri orang, bukan bersuami?" gadis itu sengaja membalas kata2  pemuda itu tadi bahwa pemuda itu hanya bertujuan memberantas perampok tetapi tidak bermaksud menolong dia.

"Hai, apa beda menjadi isteri orang dengan sudah bersuami?" pemuda sasterawan itu makin kerupukan.

"Namanya saja berbeda, masakan kenyataannya tidak berbeda."

"Coba engkau terangkan!"

"Aku belum bersuami tetapi aku menjadi isteri orang, karena sejak kecil aku sudah dijodohkan, mengerti?"

"O, engkau sudah ditunangkan. Kalau begitu engkau harus mengatakan calon isteri orang."

"Calon atau tidak, itu sama. Adat kita, ditunangkan artinya sudah menjadi isteri, hanya upacara pernikahannya yang belum. Andaikata dia meninggal, akupun disebut janda. Eh, mengapa engkau masih tak mau pergi?"

Pemuda itu menyeringai dalam hati. Bermula ia mengira. kalau gadis itu sudah berobah haluan, tak tahu kalau masih bersikap getas.

"Aku tak bermaksud apa2 kecuali hanya hendak menolong engkau. Dan akupun tak tahu kalau engkau sudah mempunyai tunangan, maafkan,'' habis berkata pemuda itu terus ngeloyor pergi.

"Tunggu," tiba2 gadis itu berteriak.

"Eh, apakah engkau masih hendak bertanya lagi kepadaku?" "Engkau minta maaf tetapi aku belum menyatakan menerima atau tidak, mengapa engkau terus pergi?"

"Uh, apakah orang minta maaf harus tunggu jawaban?" "Tentu," sahut si gsdis, "kalau orang sudah menjawab

menerima baru itu sah. Tetapi kalau belum menjawab, itu belum sah."

"Uh," pemuda itu mendesuh, "lalu apakah engkau mau memberi maaf kepadaku?"

"Itu terserah kepadamu sendiri." "Eh, apa maksudmu?"

"Tadi waktu engkau pingsan, aku juga menolongmu tanpa bermaksud apa?. Tetapi engkau marah2 dan mengusirku "

"Karena engkau menyentuh tubuhku."

"Mengapa engkau juga berani memegang tubuhku bahkan berani menyusupkan pil dengan . . . . " merahlah muka gadis itu.

"Aku tak tahu kalau engkau sudah ada yang punya." "Aku juga tak tahu kalau engkau mempunyai pantangan

begitu."

"Aku tidak bermaksud hendak mencelakaimu?"

"Uh," pemuda itu mcndesuh dalam hati. Ia heran mengapa tadi gadis itu bersikap amat lemah lembut tetapi kini berobah getas. Membayangkan bagaimana tadi dia juga ketus terhadap gadis itu, ia menghela napas.

"Baiklah, maafkan atas sikapku yang kurang sopan kepadamu tadi," akhirnya ia mengakui kekasarannya.

"Tidak perlu engkau minta maaf." "Mengapa?"

"Karena akupun sekarang ini juga bersikap keras kepadamu. Jadi sudah lunas, tak ada yang berhutang. Tak perlu maaf memaafkan."

"Baiklah," kata pemuda itu, "apakah sekarang engkau tetap hendak mengusir aku?"

"Hutan ini bukan milikku, engkau bebas mau pergi atau tidak."

"Ah, lupakan peristiwa yang tadi, mari kita bicara secara baik'."

"Baik," kata gadis itu dengan nada berobah ramah juga,

."apa yang in-kong hendak tanyakan:'"

"Eh, mengapa engkau menyebut-nyebut in-kong ? Bukankah engkau sudah setuju untuk melupakan peristiwa tadi ?"

Gadis itu tersenyum.

"Kita belum berkenalan. Siapakah namamu?" tanya si pemuda.

"Aku Han Bi Giok. Dan anda ?"

"Aku orang she-ganda Wan-ong, nama Kui." "Ih," gadis itu mendesis, "aneh juga nama itu."

"Entahlah, itu pemberian orangtua," kata si pemuda dengan tersenyum dalam hati, "engkau dari mana dan hendak kemana ?"

"Dulu aku tinggal di San-se, tetapi setelah tentara Ceng menyerbu, rumahtanggaku berantakan dan sesarang aku hendak ke gunung Lou-hu-san." "Senasib." kata pemuda itu menjawab pertanyaan si gadis, "aku juga tak punya rumah tangga yang tetap. Aku seorang pengembara."

Kemudian pemuda itu bertanya pula, "Apa kah maksudmu hendak ke Lou-hu-san ?"

'"Sebelum kota diserang musuh, ayah suruh aku beserta bujang2, menuju ke rumah calon suamiku."

"O, bolehkah aku tahu siapa nama calon suami nona itu

?"

"Entah siapa namanya." "Nona belum tahu namanya ?" "Belum."

"Belum pernah berjumpa ?" "Belum."

"Lalu siapa yang akan nona temui nanti ?" “Putera dari Kim Thian Cong tayhiap." "Apa ? Putera Kim Thian Cong ?"

"Ya."

"Ohhhhh," tiba2 pemuda itu mendesuh kejut, "apakah

bukan yang bernama Blo'on itu ?"

"Kata orang memang begitu," kata gadis itu, "tetapi entahlah, aku belum tahu jelas."

"Kalau putera Kim Thian Cong, memang hanya Blo'on itu."

"Engkau kenal dia ?" tanya si gadis.

Pemuda itu merah mukanya, "Kenal sih belum tetapi. " "Tetapi bagaimana?" gadis itu terbeliak.

"Kupernah dengar cerita orang, bahwa dulu dia pemah dipungut sebagai menantu baginda Ing Lok. Tetapi entah hagaimana dia terus minggas dari kotaraja."

"O, benarkah begitu ?" Bi Giok terkejut.

"Kalau engkau ke kotaraja Pak-khia, engkaui tentu akan mendengar tentang peristiwa itu."

Bi Giok termenung beberapa saat, "Tetapi ayah mengatakan bahwa sejak dalam kandungan aku sudah dipertunangkan dengan putera Kim Thian Cong."

"Siapakah nama ayah nona ?"

"Maaf, aku harus memegang janji kepada ayah untuk melakukan pesan beliau supaya tidak memberitahukan namanya kepada orang," Kata Bi Giok, "hanya dia pernah menolong Kim tayhiap dan sebagai balas budi maka Kim tayhiap mengadakan perjanjian dengan ayah. Itu waktu ibuku sedang mengandung aku dan isteri Kim tayhiap juga sedang mengandung. Kelak apabila ibu melahirkan anak perempuan dan isteri Kim tayhiap anak lelaki, atau ibu melahirkan anak laki dan isteri Kim tayhiap melahirkan anak perempuan, maka keduanya akan dijodohkan."

"Apakah Blo'on sudah tahu hal itu ?" tanya VVan-ong Kui.

"Entahlah," jawab Bi Giok, "tetapi aku sendiri setelah kota terancam bahaya, barulah ayah memberitahukan hal itu dan suruh aku mencari calon suamiku ke Lou-hu-san."

VVan-ong Kui diam termenung-menung. Hatinya timbul pertentangan yang hebat. Hal itu tampak dari seri wajahnya yang sebentar tegang sebentar pucat.

"Mengapa engkau diam saja ?" tiba2 Bi Giok menegur. Wan-ong Kui menghela napas, "Perjalanan ke Lou-hu- san amat jauh dan suasana disana rusuh, tidakkah amat berbahaya apabila nona melakukan perjalanan seorang diri

?"

"Ayah telah menunaikan Tiong (setya) kepada negara. Akupun harus melaksanakan Hau (bakti) kepada orangtua. Walaupun berbahaya perjalanan itu, aku tetap akan menempuhnya. Mati hidup ditangan Tuhan,'' sahut Bi Giok.

Pemuda itu mengangguk-angguk dan dalan hati memuji pendirian Bi Giok. Kemudian ia berkata, "Aku seorang kelana, tiada sanak tiada keluarga, tiada rumah tiada negara. Apabila nona tidak menolak, aku bersedia untuk mengantarkan nona ke Lou-hu-san."

"In-kong....!" Bi Giok berteriak tegang. Dia tak menyangka kalau pemuda yang semuda begitu getas sikapnya, ternyata mau mengantarkannya. Serta merta diapun berlutut menghaturkan terima kasih.

"Ah, janganlah engkau bersikap sedemikian merendah, nona, "Wan-ong Kui memintanya supaya bangun, “kita telah sama2 menolong dan sama2 senasib pula. Dan memang menjadi watakku, sekali menolong aku harus menolong sampai selesai."

“Tetapi. " tiba2 Wan-ong Kui mengerut alis.

"Mengapa ?"

'Tidakkah calon suamimu nanti akan marah apabila melihat engkau bersama aku seorang pemuda yang tak dikenalnya?"

Bi Giok merenung sejenak lalu berkata, "Bagaimana kalau kita mengaku sebagai engkoh adik?" "Bagus," seru Wan-ong Kui, "tetapi bagaimana dengan calon suamimu si Blo'on nanti?"

"Akan kukatakan bahwa engkau engkoh misanku, masakan dia tahu."

"O, baiklah," akhirnya Wan-ong Kui menerima. Mereka lalu merundingkan bagaimana rencana dalam perjalanan.

Wan-ong Kui mengatakan bahwa ketiga peti berisi harta permata itu harus dibawa. Untuk sementara akan diangkut oleh si Putih. Nanti setiba di kota akan membeli kereta.

Malam itu mereka terpaksa bermalam di hutan. Keesokan harinya, Bi Giok minta bantuan Wan-ong Kui untuk bersama-sama mengubur mayat bujang2 pengiringnya.

Setelah itu mereka lalu melanjutkan perjalanan. Mereka berhenti di sebuah desa kecil untuk mengisi perut. Tetapi karena desa itu tak ada kereta, merekapun melanjutkan perjalanan lagi.

Menjelang petang mereka masih belum menemukan perumahan penduduk. Bi Giok mengeluh malam itu tentu akan tidur di hutan lagi.

"Tuh, lihatlah, dikejauhan sebelah muka itu Apakah itu bukan gunduk rumah ?" tiba2 Wan-ong Kui berseru.

Han Bi Giok memandang ke arah yang di tunjuk Wan- ong Kui, "O, benar. Tetapi mengapa gentengnya berwarna merah ?"

"Kalau tak salah, rumah yang beratap merah biasanya sebuah biara atau kuil. Mari kita percepat langkah. Kuil kek, pagoda kek, asal dapat dibuat tidur, jadilah," kata Wan-ong. Tetapi walaupun mempercepat langkah, karena harus mendaki sebuah bukit dan kemudian menuruni  sebuah jalan yang merentang panjang tiba di tempat itu haripun sudah gelap. Ternyata gunduk hitam itu memang sebuah pagoda yang sudah rusak.

"Berhenti, Giok-moay," bisik Wan-ong Kui "engkau lihat benda yang berada di tengah halaman muka pagoda itu ?"

"Ya," sahut Bi Giok, "seperti sebuah patung.”

"Bukan patung tetapi manusia. Kalau menilik dandanannya seperti seorang persilatan. Entah mengapa dia duduk diam seperti besemedhi di tengah halaman pagoda."

"Lalu bagaimana langkah kita ?" tanya Bi Giok Wan-ong Kui menyatakan lebih baik berhati-hati, "Kita sembunyi dulu dibalik gerumbul pohon itu, melihat bagaimana gerak geriknja."

Keduanya segera bersembunyi.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar