Pena Wasiat (Juen Jui Pi) Jilid 56

 “Oh tua, masih ada satu hal lagi yang perlu kita siapkan” seru Thian Pak liat.

“Soal apa?”

“Persediaan rangsum, kita semua toh tak bisa kekurangan rangsum tiap harinya, padahal musuh berhati keji dan berbahaya sekali, mereka bisa meracuni air dalam selokan, mengapa tidak bisa meracuni rangsum yang ada di sekitar sini?”

“Benar!” kata Cu Siau-hong sambil mengangguk, “Masalah ini memang merupakan suatu masalah yang sangat merepotkan.”

“Siaute berhasil mendapatkan sebuah akal bagus, hanya tidak kuketahui apakah cara ini bisa dipergunakan atau tidak?”

“Baik, coba katakanlah” ujar Oh Hong cun.

“Menurut pendapatku, lebih baik kita mengirim orang untuk berburu babi hutan, kelinci atau kijang, kemudian mengasapi daging binatang itu menjadi daging kering dan kita jadikan rangsum sebagai persiapan di hari-hari mendatang.”

Oh Hong cun segera tertawa tergelak sesudah mendengar perkataan itu serunya kemudian:

“Haah..haah..haaah…suatu cara yang amat bagus, mari kita segera turun tangan” “Caranya memang bagus, tapi kita harus mempunyai suatu rencana yang sempurna” kata Kian Hui seng.

“Betul!” sahut Cu Siau-hong pula, “Mungkin mereka bisa melakukan pembunuhan-pembunuhan disaat kita sedang berburu babi hutan nanti…”

“Yaa benar!” kata Thian Pak liat pula, “Dalam hal ini akupun sudah pernah memikirkannya, oleh sebab itu di dalam melakukan perburuan kali ini, kita membutuhkan suatu susunan yang amat sempurna…”

“Apa rencana saudara Thian tentang persoalan ini?” “Menurut pendapatku, lebih baik kita membagi semua

orang yang ada menjadi dua rombongan yang melakukan gerakan bersama-sama, sementara Pek bi taysu dengan para taysu dari kuil Siau lim si tetap berada disini sambil bertugas

Melakukan pengawasan terhadap keadaan di sekeliling sini. Tinggalkan pula sebagian besar manusia untuk  mencari kayu api dan membuat api unggun, sedang saudara Cu dengan membawa serombongan manusia melakukan pemburuan binatang, semoga saja di dalam waktu yang relative singkat bisa mendapatkan cukup banyak babi hutan untuk mengisi perut”

“Rencana dari saudara Thian ini bagus sekali, mari kita segera melaksanakannya” seru Cu Siau-hong.

Thian Pak liat segera membacakan daftar nama jago yang turut didalam perburuan ini.

Dibawah cahaya matahari, berangkatlah para jago untuk melakukan tugas masing-masing.

Ternyata rencana tersebut cukup sempurna, hasil perburuan pun amat menggembirakan, tak sampai setengah hari, mereka telah berhasil mendapatkan lima belas ekor babi hutan, empat puluh delapan ekor kelinci ditambah pula dengan ratusan ekor burung.

Diluar dugaan, sepanjang hari itu tak tampak seorang manusia pun yang melakukan serangan terhadap mereka.

Sementara itu Kian Hui seng, Cu Siau-hong dan Pek bi taysu pun menggunakan waktu yang relative singkat itu untuk mewariskan ilmu golok, ilmu pedang dan ilmu pukulan kepada para jago.

Setelah tersedia rangsum yang cukup untuk mengisi perut mereka selama beberapa hari, semua jago merasakan semangatnya berkobar kembali.

Selama ini Si Ih nio masih berada bersama-sama Cu Siau-hong, wajahnya selalu tampak murung dan sedih.

Dia seakan-akan sedang berusaha keras untuk mengendalikan perasaan sedih yang mencekam dalam hatinya, namun tak dapat menutupi rasa sedih yang terbias keluar diatas wajahnya.

Sebagai seorang gadis yang amat cantik, kerutan dahi serta wajah yang selalu murung itu menambah suasana iba bagi perempuan tersebut.

Selama ini, dia mengikuti terus kemana pun Cu Siau hong pergi, seakan-akan bila meninggalkan si anak muda itu maka tiada tempat untuk berteduh lagi baginya di dunia ini.

Kian Hui seng menghembuskan napas panjang, lalu bisiknya dengan suara lirih:

“Saudara Cu, kau sudah seharusnya bertanya kepada nona Si, bagaimana dia hendak membereskan masalah sendiri?” Ucapan tersebut merupakan perhatian, juga merupakan peringatan, Cu Siau-hong segera meningkatkan kewaspadaannya, sambil berpaling katanya tertawa:

“Nona Si, mari duduk kemari!”

Pelan-pelan dia berjalan menuju ke sebuah batu besar dibawah bukit sana.

Si Ih nio menurut dan mengikuti pula di belakangnya, kemudian dengan lembut duduk disamping Cu Siau-hong.

“Nona, apakah kau sudah mempunyai sesuatu rencana?” tanya Cu Siau-hong kemudian.

Si Ih nio segera menggeleng.

“Tidak ada, bagi seorang anak gadis yang sudah kehilangan kedua orang tuanya dan hidup sebatangkara, rencana apa pula yang bisa kupikirkan?”

Cu Siau-hong tertawa.

“Nona, benarkah kakakmu keluar rumah bersama-sama nona?”

“Di saat ayah ditawan orang dan aku sedang merasa kebingungan pergi mencari ayah, begitulah kami pun lantas melakukan perjalanan bersama-sama.”

“Tulen tidaknya kakakmu masa tak bisa nona bedakan secara pasti?” kembali Cu Siau-hong bertanya.

“Si Han kerap kali melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, dia jarang pulang, apalagi setelah berhasil memperoleh sedikit nama dalam dunia persilatan, meski kami sebagai kakak beradik, namun didalam kenyataan sedikit sekali kesempatan bagi kami untuk berkumpul.”

Kemudian sesudah menghembuskan napas panjang, katanya lebih jauh: “Ilmu menyaru muka yang dimiliki orang itu sungguh lihay, pada hakekatnya sulit bagiku untuk mengenalinya secara pasti, sebab seingatku, memang begitulah tampang mukanya.”

“Nona, apakah suara serta dialeknya sama seperti suara kakak kandungmu?”

“Ya, mirip sekali, mirip sekali, aku benar-benar tak bisa membedakan mana yang asli dan mana yang palsu..”

Kembali dia menghembuskan napas panjang sebelum menyambung kembali kata-katanya.

“Yang menimbulkan kecurigaan dalam hatiku adalah perbuatannya di suatu malam hari itu dia minum sedikit arak lalu mulai menggerayangi sekujur badanku, meski setelah peristiwa tersebut aku jadi curiga, namun kecurigaanku itu segera lenyap oleh tipu muslihatnya”

Cu Siau-hong tersenyum.

“Ooooohh…kasihan benar” serunya kemudian, “Kakak beradik yang bertemu ternyata tidak saling mengenal, hal ini kalau dibicarakan sungguh-sungguh membuat orang tidak percaya!”

“Cu Siau-hong, apakah kau rada tidak percaya dengan perkataanku itu?”

“Nona, sesungguhnya kejadian ini memang sulit membuat orang untuk mempercayainya.”

Pelan-pelan Si Ih nio bangkit berdiri kemudian katanya: “Aku mengerti sekarang, rupanya kau kuatir aku pun

merupakan orangnya, bukan begitu? Baiklah, kalau memang demikian aku akan mohon diri saja.”

Selesai berkata, dia lantas membalikkan badan dan beranjak pergi dari situ. “berhenti!” Cu Siau-hong segera membentak.

Si Ih nio berhenti dan pelan-pelan membalikkan badannya, setelah itu ujarnya:

“Cu Siau-hong, apakah kau baru merasa lega apabila menahanku disini..?”

“Nona Si, dapatkah mereka lepaskan dirimu dengan begitu saja?”

“Entahlah!”

Cu Siau-hong turut bangkit berdiri.

“Kalau begitu biar kuantar dirimu sampai tengah jalan sana” serunya.

“Terima kasih banyak Cu kongcu”

Pelan-pelan dia melanjutkan perjalanannya menuju kedepan sana.

Dengan cepatnya mereka berdua sudah berada di tengah sebuah hutan yang lebat.

Oh Hong cun yang menyaksikan kejadian tersebut, segera berseru dengan cemas:

“Saudara Kian, bagaimana kalau kita menyusul kesana untuk menyambut kedatangannya?”

“Tak usah tergesa-gesa” cegah Kian Hui seng, “Orang yang dibawa olehnya sudah lewat, semoga saja dari ‘budak’ tersebut dapat memancing munculnya orang-orang mereka”

Kawanan jago yang dibentuk dalam keadaan bahaya tersebut, setelah melalui berbagai kesulitan dan hadangan, tiba-tiba saja mereka saja mereka berubah sangat kompak, kuat dan bersatu, kelompok manusia yang dahulunya ibarat sebaki pasir, kini telah bersatu padu dibawah pimpinan Oh Hong cun bagaikan segumpal semen. Diantara sekian banyak jago yang berkumpul disitu, sebagian besar mereka adalah kawanan busu biasa, tapi sekarang mereka semua telah mempelajari beberap jurus ilmu silat yang sangat lihay, ada yang mempelajari ilmu pedang, ada yang mepelajari ilmu golok, ada pula yang mempelajari ilmu pukulan.

Kendati pun hanya terdiri dari beberapa jurus serangan saja, namun sudah cukup untuk menimbulkan keyakinan mereka terhadap kemampuan yang dimiliki untuk menghadapi serangan musuh yang tangguh.

Sementara itu, Si Ih nio sudah melalui dua lapisan hutan yang lebar, mengangkat kepalanya sambil memandang matahari yang tenggelam di langit barat, ia tertawa dan berkata:

“Saudara Cu, mengantar kekasih seribu li, akhirnya toh akan berpisah juga, harap kau berhenti mengantar sampai disini saja!”

“Benarkah nona sama sekali tidak merasa takut?” “Takut, aku merasa takut sekali, namun tiada pilihan

lain bagiku kecuali berbuat demikian” Cu Siau-hong tertawa hambar.

“Nona, walau pun lagakmu mirip sekali namun toh tetap ada titik kelemahannya juga.”

“Saudara Cu, aku sudah hidup sebatang kara tanpa sanak tanpa keluarga, janganlah kau siksa diriku lagi!”

“Aku lihat nona memang berbakat untuk bermain sandiwara, jauh lebih pandai dari pada Yu Sam khi yang memerankan Si Han gadungan.”

“Cu Siau-hong” seru Si Ih nio gusar, “Bila kau enggan menerimaku ya sudahlah, buat apa mesti berlagak dengan ucapan-ucapan yang menyudutkan posisi orang itu? Buat apa kau mesti menyiksaku dengan cara semacam ini?”

“Nona, perlukah kuutarakan semua titik kelemahanmu yang telah kau perlihatkan?”

“Baik, katakanlah!”

“Pertama, perubahan sikapmu terlalu cepat, kau pandai sekali bertingkah mengikuti perubahan keadaan, lagipula serangan senjata rahasia yang dilepaskan Yu Sam khi itu juga bukan ditujukan kepada nona, seandainya serangan pedangku tidak berhasil merontokkan semua senjata rahasia yang dilepaskan olehnya, orang yang bakal terkena senjata rahasia juga bukan nona, melainkan aku.”

Si Ih nio segera tertawa dingin.

“Caramu berbicara sungguh amat sukar membuat orang menjadi percaya”

“Baik, kalau begitu akan kuucapkan sebuah persoalan lagi, tahukah kau apa yang diucapkan Yu Sam khi sebelum dia pergi meninggalkan kami tempo hari?”

“Tentunya dia tak akan sekomplotan dengannya bukan?”

“Itu mah tidak, namun dia telah memberitahukan kepadaku, lebih baik jangan membiarkan kau pergi meninggalkan dirinya?”

“Mengapa?”

“Mengapa? Seharusnya nona jauh lebih paham daripada diriku”

“Dia mengaco belo saja!”

“Nona, aku tidak membongkar rahasiamu dihadapan orang banyak, tahukah kau mengapa aku berbuat begitu?” kata Cu Siau-hong tiba-tiba dengan wajah serius. “Aku tidak tahu”

“Karena bila kubongkar rahasia tersebut, maka kau tak akan bisa meninggalkan tempat ini lagi.”

“ooh, kalau begitu kau masih menyayangi diriku ini?” “Itu mah tidak, aku hanya merasa lebih baik melepaskan

dirimu daripada membunuhmu.”

“Kau pun tak bisa membuktikan dengan jelas bahwa aku bukan Si Ih nio bukan?”

“Nona, aku rasa hal ini sudah tak perlu dibuktikan lagi, mustahil kalau sesama saudara kandungnya bisa tidak saling mengenal satu sama lainnya, apalagi peristiwa diculiknya ayahmu kedengarannya terlalu sederhana, terlalu gampang, maka sulit untuk membuat orang lain jadi percaya..”

Si Ih nio segera tersenyum.

“Cu Siau-hong, jadi kau sudah menaruh curiga sedari tadi?” tegurnya kemudian.

“Sewaktu kami mencurigai Si Han, pada saat yang bersamaan pun mencurigai dirimu, ketika Si Han ketahuan ekor rasenya, dia justru berusaha untuk menahan dirimu disini, nona, walaupun aku orang she Cu masih terhitung seorang anak muda terjun ke dunia persilatan, namun dalam hal ini aku sudah cukup berpengalaman.”

“Oooh, rupanya begitu!”

“Nyali nona pun kelewat besar, tindak tandukmu terlalu berhati-hati, sudah cukup lama kami menahan diri tanpa membongkar rahasia nona, ternyata kau pun berperan semakin bersungguh-sungguh saja”

“Cu Siau-hong, nampaknya kau adalah seekor rase kecil, buka anakan rase yang baru lahir.” “Nona terlalu memuji!”

“Entah kau benar-benar berhasil mengenali identitasku atau kau hanya kemudian menjebakku dengan akal cerdikmu, tapi aku memang pantas memuji dan mengagumi akan kecerdasan otakmu itu.”

“Nona pun tak usah terlalu menyanjung diriku” “Sekarang, kau sudah mengetahui dengan jelas tentang

rahasiaku, apakah kau berniat untuk menahanku disini?”

“Ini mah tidak, Cuma..aku harap nona sudi membawakan pesanku “

“Pesan untuk siapa?”

“Bagi orangmu, orang yang bisa mengambil keputusan dalam persoalan ini!”

“Apa pesanmu?”

“Beritahu kepadanya bahwa ekor si rase kalau sudah ketahuan wujudnya, mereka pun tak akan bersandiwara terus menerus, kami sangat berharap bisa bertemu muka dengannya dan melakukan suatu penyelesaian secara baik baik”

Si Ih nio termenung sambil berpikir beberapa saat lamanya, kemudian dia mengangguk.

“Baiklah! Aku akan menyampaikan pesan itu, cuma ..Cu Siau-hong, aku lihat tak ada gunanya.”

“Mengapa?”

“Kau anggap aku dapat bertemu dengan majikanku yang sesungguhnya?”kata Si Ih nio.

“Apakah kau pun hanya seorang prajurit tanpa nama yang melaksanakan perintah belaka?” “Memang kedudukanku rada tinggi, itulah sebabnya kami masih boleh mempertahankan raut wajah asliku.”

“Aaah, benar-benar menakutkan sekali..”seru Cu Siau hong.

Setelah berhenti sejenak, katanya lagi:

“Yang membuat aku tidak habis mengerti adalah mengapa kalian begitu rela diperalat oleh mereka?”

“Sesungguhnya hal ini semua bukan dikarenakan ancaman atau tekanan, lebih tepat untuk dikatakan sebagai suatu teknik mengendalikan manusia yang hebat.”

“Kalau begitu terpaksa kami pun hanya bisa beradu untung saja, harap nona menyampaikan pula pesanku, katakan bahwa aku orang she Cu menantangnya untuk berduel”

“Kepada siapa?” tanya Si Ih nio sambil tersenyum. Cu Siau-hong menjadi tertegun.

“Tentang soal ini…tentang soal ini…”

Kembali Si Ih nio menghela napas panjang, katanya lagi. “Saudara Cu, ada satu hal entah kau pahami atau tidak.” “Soal apa?”

“Walaupun kehebatanmu agak membuat orang lain membenci namun kau pun mendatangkan kenangan yang mendalam sekali terhadap kami kaum wanita, aku adalah salah seorang diantaranya.”

“Soal itu mah tidak kurasakan cuma aku tahu nona adalah seorang yang pintar, aku percaya dalam hati kecilmu sudah bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, hanya kau tidak berani untuk mengakuinya saja, bukan begitu?” “Aku…aku masih belum sempat untuk membedakan mana yang benar mana yang salah akupun tidak seharusnya melakukan pembedaan tersebut, aku hanya tahu untuk melaksanakan pekerjaan yang pantas kulakukan.”

“Nona, apa yang hendak kau lakukan?”

“Berulangkali kau telah menggagalkan operasi kami, kehebatanmu itu sudah menimbulkan rasa kuatir serta perhatian khusus dari Toa sianseng..”

“Siapakah Toa sianseng itu?” buru-buru Cu Siau-hong menimbrung.

Si Ih nio menatap wajah Cu Siau-hong dalam-dalam, kemudian mengangguk pelan.

“Saudara Cu, Toa sianseng hanya sebuah sebutan, siapakah dia yang sebenarnya sama sekali tidak kuketahui.”

“Nona, mungkin kau benar-benar tidak mengetahui siapakah Toa sianseng itu, namun aku masih cukup mengerti dia pastilah pentolan yang berkedudukan paling tinggi didalam organisasimu”

“Kedudukan Toa sianseng luas sekali”

“Aku mengerti Toa sianseng adalah suatu tingkatan sedang sianseng juga merupakan suatu tingkatan dimana terhimpun mereka yang wajahnya tidak ikut dimusnahkan, mungkin kalian semua mempunyai kedudukan yang sederajat dalam organisasi itu bukan? Aaaa…berbicara tentang soal ini, mau tak mau aku harus mengagumi juga semua susunan yang diatur olehnya itu..”

“Apa yang kau kagumi?”

“Dia telah membuang sebutan sebagai Kaucu atau Buncu dan lain sebagainya dengan menggantikan sebutan sianseng  untuk  membedakan  tingkat  kedudukan   sebutan tersebut mendatangkan perasaan sederhana bagi siapa pun yang mendengarnya, tapi mendatangkan pula suatu perasaan yang membuat orang seakan-akan melihat namun tidak menyaksikan apa-apa. Cuma saja, serahasianya seseorang asal dia masih saja melakukan kejahatannya terus menerus, suatu ketika rahasianya bakal terbongkar juga seperti si rase yang ketahuan ekornya dia tak bakal bisa menghindarkan diri dari suasana seperti ini.”

“Aku sangat mengagumi dirimu, usiamu masih muda namun memiliki keberanian untuk menanggulangi masalah sebesar ini, bahkan dengan cepat berhasil meraih keberhasilan seperti ini, hal mana benar-benar merupakan suatu kejadian yang tidak gampang. Cuma Cu Siau-hong, kau tak akan berhasil, tiada orang yang bisa mengungguli Toa sianseng.”

“Nona” kata Cu Siau-hong dengan wajah serius, “Yang bakal bertarung soal kecerdikan maupun soal pengalaman masih belum pantas pun untuk melawan dia?”

“Kalau bukan kau, lantas siapa?”

“Seluruh umat persilatan yang memperhatikan keadilan dan kebenaran dalam dunia persilatan sejak seribu tahun berselang, semua orang persilatanlah yang  mempertahankan serta melindungi kebebasan, keadilan dan kebenaran bagi dunianya.”

Si Ih nio kembali mendengus dingin.

“Hmm, Cu Siau-hong, kau anggap kami masih belum dapat menelusuri rahasiamu dengan jelas? Sesungguhnya yang menunjang dirimu selama ini adalah Kay-pang dan Pay-kau, selama ini Toa sianseng sudah cukup bersabar dan mengalah kepadamu, sungguh tak nyana kalau mereka berani menampilkan dirimu untuk memusuhi kami, lihat saja nanti! Dalam tiga bulan mendatang, Pay-kau dan Kay pang merasakan pembalasan yang setimpal atas perbuatan mereka itu.”

“Seandainya di dunia ini masih berlaku hukum karma, maka yang seharusnya memperoleh pembalasan adalah Toa sianseng kalian itu.”

“Aaai, bila paham berbeda memang sukar untuk menempuh perjalanan di satu garis yang sama, bila pembicaraan tidak cocok, sukar untuk dilanjutkan lebih jauh, kalau begitu biarlah siaumoay mohon diri lebih dahulu…”

“Nona, asal kau bersedia mengucapkan satu hal, kau boleh segera pergi dari sini!”

“Jangan kelewatan batas, Cu Siau-hong, apakah kau benar-benar hendak memaksa aku untuk beradu jiwa denganmu?”

Cu Siau-hong segera tertawa setelah mendengar perkataan itu.

“Sebelum berbicara, lebih baik bayangkan dulu orang lain seperti diri sendiri, andaikata aku Cu Siau-hong yang berada dibawah kekuasaan kalian, apa yang hendak kalian lakukan terhadap diriku?”

Si Ih nio termenung sejenak, kemudian katanya: “Baiklah!   Kau   boleh   bertanya,   cuma   jangan terlalu

mengharapkan banyak dariku, apa yang tak bisa  kukatakan

tak nanti akan kukatakan, yang tidak kuketahui tentu saja lebih-lebih tak bisa kukatakan.”

“Kau pasti tahu, sebab kau ingin tahu siapakah dirimu itu?”

Si Ih nio menjadi tertegun setelah mendengar pertanyaan itu, sahutnya dengan cepat: “Aku adalah Si Ih nio yang tulen dan sesungguhnya.”

“Siapa itu dengan Si Han mengapa Yu Sam khi harus berperan sebagai kakakmu?”

“Sebab dia adalah suamiku, mengerti kau sekarang?” “Aaaah, tidak aneh kalau begitu…” seru Cu Siau-hong

kemudian sambil tertawa.

Setelah berhenti sejenak, dia menyambung lebih jauh. “Yu hujin, sekarang apakah kau sangat menguatirkan

keselamatan jiwa dari suamimu?”

“Aku tak usah menguatirkan keselamatan jiwanya, dia adalah seorang yang cukup berkemampuan untuk melindungi diri sendiri.”

“Yu hujin, mungkin kalian dengan Toa sianseng mempunyai suatu hubungan khusus, maka jalan pemikiran kalian lebih riil dan kenyataan, mungkin juga suamimu merasa dengan meninggalkan kau disini maka kau bisa mewakilinya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang belum sempat dilakukan, maka dia merasa sangat berlega hati. Tapi sekarang identitasmu pun ikut ketahuan, tentang hal ini mungkin dia sendiri pun merasa sama sekali di luar dugaan bukan?”

“Cu Siau-hong, sudah banyak yang kukatakan, mau apa kau sekarang? Apakah ingin berubah ingatan dengan menahanku disini?”

“Tidak, apa yang telah kusetujui, selamanya tak pernah kusesali kembali.”

“Ooooh, kalau begitu aku boleh pergi sekarang?” “Boleh, silakan berlalu dari sini Yu hujin !” “Cu Siau-hong, sudah banyak yang kau tanyakan kepadaku, sebelum aku pergi dari sini, bolehkah aku pun mengajukan beberapa buah pertanyaan kepadamu?”

“Boleh saja, katakana hujin!”

“Kau adalah anak murid Bu-khek-bun, sedangkan anak buahmu selain terdiri dari anggota Bu-khek-bun juga terdiri dari manusia pilihan Pay-kau dan Kay-pang, bukankah begitu?”

“Soal ini harap hujin pikirkan sendiri” sahut Cu Siau hong sambil tersenyum.

“Cuma kami tetap merasa heran, agaknya kawanan manusia tersebut jarang sekali melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, bahkan usianya tidak begitu besar, ilmu silatnya hebat lagi, jarang sekali kami jumpai manusia semacam mereka dalam dunia persilatan.”

“Apabila hujin ingin memperoleh suatu bukti yang jelas dari mulutku, hanya ada satu cara yang bisa kau lakukan.”

“Bagaimana caranya?”

“Benarkah Bu-khek-bun hancur di tangan kalian? Mengapa kalian harus menghadapi kami? Bagaimana dengan beberapa orang suhengku yang telah mengkhianati perguruan? Apakah mereka semua adalah orang-orang kalian?”

“Aku tak sanggup menjawab semua pertanyaan yang kau ajukan itu.”

“Kalau begitu, silahkan hujin untuk segera pergi dari sini”

“Kau hendak mengusirku pergi?” seru Si Ih nio sambil tertawa.

Dengan cepat Cu Siau-hong mengulapkan tangannya. “Apabila hujin tak mau pergi, biarlah aku saja yang memohon diri dari sini”

Selesai berkata, dia lantas membalikkan badan dan beranjak pergi dari situ.

Memandang bayangan punggung Cu Siau-hong yang menjauh, tiba-tiba saja paras muka Si Ih nio menunjukkan suatu perubahan yang sangat aneh.

Si Ih nio cukup cekatan, dengan cepat dia menemukan ada orang sedang melakukan pengepungan dari kedua sisi hutan tersebut.

Bila dia tidak segera pergi, mungkin sulit baginya untuk pergi lagi dari situ.

Berpikir demikian, mendadak dia melejit ke tengah udara dan berjumpalitan beberapa kali, sekali melompat dia sudah berada tiga empat kali jauhnya, begitu mencapai tanah ia segera kabur meninggalkan tempat tersebut dengan langkah cepat.

Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya memang cukup sempurna, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap dibalik pepohonan lebat sana.

“Saudara Cu, kau telah melepaskannya pergi?” “Yaa, menahan dirinya tak akan berguna.”

“Saudara, apakah dia telah memmberitahukan sesuatu persoalan kepadamu?” tanya Kian Hui seng sambil tertawa.

“Yaa, dia adalah Si Ih nio yang sesungguhnya, istri Yu Sam khi.”

“Istri Yu Sam khi?”

“Dugaan kita tidak meleset, orang yang menyaru sebagai Si Han tersebut memang Yu Sam khi.” “kalau begitu sudah cukup, sekarang kita sudah mengetahui tempat tinggalnya asal kita pergi mencarinya, dia tak bakal kabur, atau bagaimana kalau kita kabarkan hal ini kepada Ui pangcu dari Kay-pang?”

“Untuk sementara waktu tak usah terburu napsu..” kata Cu Siau-hong cepat.

Setelah berhenti sejenak, sambungnya lebih jauh:

“Cuma mereka pun telah berhasil menyelidiki keadaan kita dengan jelas sekali”

Sementara itu, Oh Hong cun tetap berjalan mendekati dia lantas berseru:

“Barusan, ada dua orang memberitahukan kepadaku bahwa mereka mengetahui ada sebuah jalan tembus yang bisa mencapai puncak Yang jit gay dalam dua hari saja”

“Kalau begitu, kita teruskan perjalanan siang malam” seru Cu Siau-hong cepat.

“Waktu yang tepat hanya membutuhkan delapan jam, kita bisa melaluinya dalam dua hari, tak usah tergesa-gesa, tak usah pula menempuh perjalanan terlalu awal”

“Benar, kalau begitu kita lanjutkan perjalanan sewajarnya saja”

Oh Hong cun segera tertawa.

“Betul, Cu lote, sehari berselang aku masih berharap agar kedua belah pihak jangan sampai saling bertemu lagi, daripada terjadinya suatu pertempuran sengit yang mengorbankan banyak jiwa tapi sekarang jalan pemikiranku ini sudah mengalami perubahan yang besar sekali.”

“Bagaimana perubahannya?” “Aku malah berharap bisa bertemu dengan mereka melangsungkan pertarungan secara besar-besaran, hidup mati manusia berada di tangan Thian, aku berharap persoalan ini bisa dibikin jelas sehingga penyelesaiannya bisa dilakukan secara tuntas.”

--------------ooooodwooooo-----------

“OH TUA, sesungguhnya organisasi rahasia tersebut tak lebih hanya mengadakan selapis kain penutup belaka, dewasa ini mereka memang sudah bersiap sedia untuk menampakkan diri, akan tetapi kita masih belum mengetahui siapa gerangan orang-orang itu?”

“Benar! Kita beradu jiwa dan berjuang dengan mati matian, tujuan yang sebenarnya pun tak lebih hanya ingin menyelidiki identitas mereka yang sebenarnya.”

“Siapa mereka aku rasa bukan masalah yang terlalu penting bagi kita, sekarang yang terpenting adalah dimanakah sebenarnya maksud dan tujuan mereka?”

Oh Hong cun segera menimbrung sambil tertawa: “Asalkan  identitas   mereka  sudah   diketahui,  tak  sulit

bukan   untuk   mengetahui   maksud   tujuan   mereka yang

sebenarnya”

Cu Siau-hong tertawa dan tidak banyak berbicara lagi.

Keesokan harinya, ketika matahari sudah berada diatas awing-awang, secara teratur sekali para jago berangkat meneruskan perjalanan.

Kian Hui seng, Cu Siau-hong, Thian Pak liat, Tham Ki wan, Si Eng, Ho Hou poo dan Oh Hong cun bertujuh berjalan di paling depan, sementara Pek bi taysu bersama kedua   belas   orang   Kim   kong   nya   berjalan   di  paling belakang, Seng Tiong-gak dengan membawa Jit hou dan Su eng berjalan di tengah.

Cu Siau-hong tak ingin mereka terlalu menonjolkan diri, sebab kelompok manusia yang tergabung di dalam kelompok inilah merupakan kekuatan inti yang sebenarnya dalam melakukan pembantaian serta mendobraknya.

Betul, usia mereka tidak terhitung besar namun sejak kecil mereka semua sudah berlatih diri dengan dasar ilmu silat yang amat kuat.

Mereka tidak dikenal dan tak punya nama besar, namun kepandaian yang berhasil mereka capai justru melebihi kemampuan yang dimiliki seorang jagoan kelas satu dari dunia persilatan.

Tentu saja mereka pun tak bisa dibandingkan dengan kawanan tokoh persilatan yang mempunyai kemampuan khusus didalam dunia persilatan, akan tetapi bagaimanapun jua, manusia seperti itu hanya terdiri dari sebagian kecil saja.

Penunjuk jalan tersebut bernama Tan Beng, dia dibesarkan dalam perumahan kaum pemburu, dibawah Yang jit gay.

Perjalanan yang mereka tempuh sekarang melalui sebuah jalan yang amat rahasia, namun tidak terlalu berbahaya.

Ketika matahari hampir tenggelam di langit barat, mereka sudah menempuh perjalanan tujuh delapan bagian diantaranya.

Mendadak Tan Beng berhenti, kemudian katanya:

“Oh cianpwe, apabila kita lanjutkan perjalanan ini, disaat malam nanti kita sudah akan sampai di tempat tujuan,” “Aaah, masa begitu cepat?” seru Oh Hong cun.

“Apabila kita melanjutkan perjalanan setelah terang tanah besok, berapa lama yang kita butuhkan?” tiba-tiba Cu Siau-hong bertanya.

“Akan lebih cepat lagi, hanya membutuhkan waktu selama satu jam”

“Oh tua,” kata Cu Siau-hong kemudian, “Menurut pendapatku, kalau toh jarak dari sini sampai di puncak Yang jit gay sudah tak jauh, lebih baik kita  beristirahat dulu, setelah terang tanah besok, kita baru melanjutkan kembali menuju ke bukit Yang jit gay.” 

“Mengapa demikian Cu lote?”

“Masih berapa lama jarak antara hari ini dengan saat munculnya Pena Wasiat?”

Oh Hong cun menghitung sebentar, kemudian sahutnya: “Masih enam hari!”

“Kita harus menggunakan waktu selama dua hari untuk melakukan persiapan di bukit Yang jit gay tersebut.”

“Mempersiapkan apa?”

“Aku sendiri pun tak dapat mengatakannya, Cuma persiapan itu harus dilakukan tanpa meninggalkan bekas agar orang lain sama sekali tidak mengetahuinya.”

Tiba-tiba Oh Hong cun tertawa:

“Lote, apakah kau menaruh perasaan curiga terhadap Pena Wasiat tersebut?” tanyanya.

“Oh tua, asal kita mau memutar otak sebentar, tidak sulit untuk meraih sedikit hasil yang menguntungkan.”

Mendadak Tan Beng menyela dari samping: “Apabila bukit Yang jit gay didatangi begini banyak orang sekaligus, tak mungkin kita bisa mengelabuhi orang lain.”

“Maksud saudara Tan?” tanya Cu Siau-hong.

“Kurang lebih tiga empat li dari bukit Yang jit gay terdapat sebuah lembah yang amat rahasia letaknya didalam lembah tersebut hanya berdiam tujuh delapan keluarga pemburu, seringkali mereka menyimpan rangsum untuk jatah satu tahun, meskipun jumlah kita tak sedikit, namun untuk berdiam sepuluh sampai setengah bulan saja, hal ini masih lebih dari cukup.”

“Apabila saudara Tan bersedia membantu, hal ini lebih baik lagi” sela Cu Siau-hong sambil tersenyum.

Oh Hong cun segera berkerut kening, tanyanya kemudian:

“Cu lote, sebenarnya apa yang hendak kau lakukan?”

Secara ringkas Cu Siau-hong membeberkan rencana sendiri.

Selesai mendengarkan rencana tersebut, Oh Hong cun segera manggut-manggut seraya berkata:

“Bagus! Bagus sekali, kita memang sudah seharusnya mempersiapkan segala sesuatunya secara baik-baik”

“Benar! Bukan saja harus dipersiapkan secara baik-baik, lagipula harus menutup rahasia rapat-rapat, jangan sampai hal ini tersiar keluar…”

“Oh tua berkedudukan tinggi dan bernama besar, dalam menghadapi persoalan ini lebih baik Oh tua saja yang menyampaikan kepada mereka.” “baik, tentang kerahasiaan jejak serta masalah tetek bengek lainnya biar aku yang tanggung jawab, baik-baiklah kau melaksanakan rencanamu itu.”

Cu Siau-hong manggut-manggut. “Aku turut perintah!”

………….OOkzOO……………

Yang dimaksudkan sebagai tebing Yang jit gay adalah sebuah puncak bukit yang tinggi dengan dinding batu yang datar tapi meruncing keatas, sudutnya tak terlalu besar tapi cukup luas dan lebar sehingga terbentuk sebuah dataran dasar yang berlapiskan batu.

Tiga hari sebelum saat munculnya Pena Wasiat di puncak tersebut, suasana disekitar sana masih tetap hening, sepi dan tak tampak sesosok bayangan manusia pun.

Pada saat itulah, tiba-tiba muncul seorang penebang kayu yang memikul kayu bakar pelan-pelan berjalan mendekat.

Dia meletakkan tumpukan kayu bakar itu dibawah dinding tebing, kemudian bangkit dan menghembuskan napas panjang, daimbilnya secarik kain handuk untuk menyeka air keringat di wajahnya.

Orang ini tak lain adalah hasil penyaruan dari Cu Siau hong. Setelah memandang sekejap sekeliling tebing Yang jit gay tersebut, mendadak hatinya merasa bergetar keras.

Sepintas lalu, tempat tersebut kelihatan datar dan rata, namun dalam kenyataan keadaan medannya berbahaya sekali.

Seandainya kedua mulut selat sempit menuju ke tebing itu disumbat orang, maka Yang jit gay akan berubah menjadi suatu tempat yang terisolir. Diam-diam Cu Siau-hong berpikir:

“Heran, mengapa Pena Wasiat memilih tempat  semacam ini sebagai tempat pemunculannya didalam dunia persilatan? Entah apa maksud tujuan yang sebenarnya?”

“Benarkah dia adalah Pena Wasiat yang asli?”

“Atau selama ini Pena Wasiat selalu mengendalikan setiap perubahan yang terjadi dalam dunia persilatan?”

Terhadap persoalan ini, dia menaruh kecurigaan yang besar dan banyak.

Dan kini, semua kecurigaan tersebut bermunculan satu persatu dan memenuhi di dalamj benaknya.

Apalagi setelah menyaksikan keadaan dari bukit Yang jit gay tersebut, kesemuanya itu menambah kecurigaan di dalam hatinya.

Mendadak tampak sesosok bayangan manusia berjalan mendekat dari kejauhan sana.

Padahal Cu Siau-hong sudah mengetahui jejaknya semenjak tadi, cuma dia berlagak seakan-akan tidak melihatnya.

Ia mendengar pula suara langkah kaki manusia itu dengan cepatnya sudah tiba disamping tubuhnya.

Terdengar orang itu mendehem, kemudian tegurnya:

“Di tempat ini tiada pepohonan yang bisa ditebang untuk kayu bakar, wahai penebang kayu, mengapa kau datang kemari?”

Perkataannnya lemah lembut dan penuh dengan kehalusan kata, sudah jelas berasal dari seorang yang terpelajar. Pelan-pelan Cu Siau-hong membalikkan badannya dan memandang sekejap kea rah pendatang tersebut, ternyata dia adalah seorang sastrawan berbaju biru yang membawa kipas.

Sambil mengulapkan tangannya pelan-pelan Cu Siau hong menyahut:

“Aaah, seorang penebang kayu tidak mengerti soal tulisan, aku hanya menggemari pemandangan alam di sini”

Sastrawan berbaju bitu itu segera tertawa hambar.

“Dari pelajar menjadi tukang penebang kayu, apakah kedatanganmu mempunyai maksud tertentu?” kembali dia menegur.

Bahkan begitu berbicara, dia telah membongkar identitas Cu Siau-hong yang sebenarnya.

Buru-buru Cu Siau-hong menjura:

“Saudara adalah…..” “Aku mah Bun Cu ciau!”

“Oooh, rupanya saudara Bun!”

“Hmm, kau pun berani menyebut saudara kepadaku?” tukas Bun Cu ciau ketus.

“Apakah aku belum cukup pantas untuk berbuat demikian?”

“Betul, kecuali kalau kaupun menyebutkan nama aslimu yang sebenarnya dan aku merasa cukup pantas bagi kita untuk berbicara dari tingkatan yang sama”

“Seandainya aku benar-benar hanya seorang penebang kayu dari desa?”

“Bagaimanapun kau pasti mempunyai nama bukan?” “Namamu sendiri?”

“Aku she Bun bernama Cu ciau..dibalik nama tersebut terdapat rahasia besar..”

“Sayang aku bodoh, tak bisa kupahami rahasia besar apakah yang bisa terkandung dalam nama seseorang?”

Bun Cu ciau tertawa dingin: “Heeehh…heeeehhh…heeehhh..Cu ciau...Cu ciau, ayo

bicara! Siapakah kau sebenarnya?”

Cu Siau-hong tertawa.

“Kalau didengar dari nada pembicaraanmu, tampaknya namamu Bun Cu ciau pun hanya nama palsu?”

“Kau tak usah berbicara sembarangan kepadaku!”

Mendadak dia melompat dan tahu-tahu sudah berada dihadapan muka Cu Siau-hong.

Dengan cepat Cu Siau-hong menghembuskan napas panjang, katanya dengan cepat:

“Sobat, sebenarnya apa maksudmu?” “Aku menginginkan kau berbicara jujur!” “Aku berbicara dengan sejujurnya!” “Sayang aku tidak percaya.”

“Bila kau tak percaya, yaa…apa boleh buat lagi?”

“Aku mempunyai cara untuk mengatasi hal ini” seru Bun Cu ciau dengan tiba-tiba.

“Kalau begitu harap kau sudi memberi petunjuk kepadaku” “Cara yang terbaik adalah membunuh kau entah perduli siapa pun dirimu itu, bila kau sudah mampus maka urusan pun akan menjadi beres dengan sendirinya”

“Kau akan membunuh orang?”

“Yaa, kecuali membunuh kau, aku pikir tiada cara lain yang lebih baik lagi untuk menyelesaikan persoalan ini”

“Sobat ada pepatah kata kuno yang berkata begini: Membunuh orang seribu, dirinya akan rugi delapan ratus. Kau ingin membunuhku maka aku pun ingin bertanya, pertama mengapa? Kedua, aku tak akan menyerahkan nyawaku dengan begitu saja, aku pasti akan melancarkan serangan balasan.”

“Coba kau bayangkan, seandainya kau tak berhasil membinasakan diriku, sebaliknya kau malah mati ditanganku, bukankah hal ini sama artinya dengan gagal mencuri seekor ayam, rugi segenggam beras!”

Bun Cu ciau tertawa dingin.

“Heeehhh…heeeh… heehhh...heeeh.. sebenarnya aku hanya ingin memotong sebuah lenganmu dan sebuah kakimu saja, tapi sekarang, kau sudah ditakdirkan untuk mampus!”

“Kalau sebuah lengan dan sebuah kaki sampai kena dipotong, waah..lebih baik mati saja daripada hidup menderita…”

Kemudian dengan wajah dingin membesi, dia berkata lebih jauh:

“Cuma, kau harus berpikir secara baik-baik, mampukah bagimu untuk membunuhku?” “Aku sudah membunuh seratus empat belas orang, bila ditambah dengan kau seorang, berarti jumlahnya akan mencapai seratus lima belas orang persis.”

Cu Siau-hong tertawa.

“Kalau memang begitu, silahkan saja saudara untuk turun tangan…”

“Kau benar-benar menarik sekali, seakan-akan rela untuk menerima kematian saja.”

“Sebenarnya aku tak ingin mati, bayangkan saja semut pun masih ingin hidup, apa lagi manusia?”

“Tapi keberanianmu untuk mencari mati benar-benar hebat sekali!”

“Kau keliru, bukan keberanian yang membuatku begini, sesungguhnya aku merasa bahwa kau tak akan berhasil untuk membinasakan diriku.”

“Aaaah, masa begitu?”

Mendadak tangan kanannya menyambar kedepan dan melancarkan sebuah totokan kilat.

Dengan perlahan Cu Siau-hong mengigos ke samping untuk meloloskan diri dari serangan tersebut, kemudian sambil membalikkan tangannya dia balas melepaskan sebuah pukulan menghantam Bun Cu ciau.

Dengan cepat Bun Cu ciau memutar telapak tangan kirinya dan menyongsong datangnya serangan lawan, serunya kemudian:

“Aku lihat, gerakan tubuhmu lumayan juga” “Blaaam…!” sepasang telapak tangan segera saling

beradu dengan amat kerasnya. Tenaga dalam yang dimiliki kedua orang ini sesungguhnya berimbang oleh sebab itu tubuh mereka berdua sama-sama berguncang keras.

“Sungkan..sungkan, kau tidak nampak lemah …” seru Cu Siau-hong.

Begitulah, sementara pembicaraan diantara mereka berdua masih berlangsung, kedua belah pihak telah saling bertarung sebanyak belasan jurus lebih.

Sekalipun pertarungan diantara mereka dilangsungkan dengan tangan kosong belaka, namun berhubung jarak diantara mereka berdua sangat dekat hanya didalam gerakan yang sederhana pun bisa mencapai bagian penting di tubuh lawan, oleh sebab itu semua tangkisan yang dilakukan untuk menghadapi serangan pukulan maupun jari tangan lawan dilakukan dengan perubahan yang aneh.

Ketika pertarungan berlangsung sampai jurus ketujuh belas tanpa terasa Bun Cu ciau kena didesak sehingga mundur selangkah.

Sambil tersenyum Cu Siau-hong segera berseru: “Terima kasih saudara Bun!”

Walaupun ucapan tersebut diutarakan dengan nada yang santai, padahal dalam hati kecilnya merasa amat terkejut, pikirnya cepat:

“Kelihayan ilmu orang ini serta kecepatan dari gerakan tangannya benar-benar tidak berada dibawah kemampuan seorang jago kelas satu..”

Dalam pada itu, paras muka Bun Cu ciau telah berubah hebat, tegurnya dengan cepat:

“Sebenarnya, siapakah kau?” “Tak usah kau gubris siapakah aku, tapi yang penting kau telah membuktikan akan satu hal”

“Soal apa?”

“Kau tidak mampu membunuhku!”

“Yaa, kepandaianku memang masih kalah setingkat daripada kepandaianmu, selamat tinggal!”

“Berhenti!” bentak Cu Siau-hong sambil tertawa dingin.

Waktu itu Bun Cu ciau sudah membalikkan badan dan maju beberapa langkah ke depan, mendengar perkataan tersebut dia segera berhenti sembari menegur:

“Mau apa kau?”

“Apakah kau hendak pergi dengan begitu saja?” “Jadi kau hendak menahanku?”

“Paling tidak, kau harus memberikan sedikit pertanggungan jawab kepadaku”

Paras muka Bun Cu ciau berubah hebat, serunya dengan cepat:

“Apa yang kau ingin tahu?”

“Perkataan, beberapa patah kata, yaitu menjawab beberapa buah pertanyaan yang kuajukan?”

“Pertanyaanmu sudah pasti merupakan pertanyaan yang sukar untuk dijawab?”

“Dicoba saja, pertama apakah tingkatanmu?” “Tingkatan?”

“Diantara kalian seharusnya terdapat perbedaan tingkatan bukan?” “Setiap manusia tentu terdapat tingkatan, cuma aku masih belum begitu memahami akan maksud perkataanmu itu?”

“Baik! Mari kita berbicara secara blak-blakan, kau kenal dengan Yu Sam khi?”

“Yu Sam khi tidak kenal” “Dengan Si Ih nio?”

“Pernah kudengar tentang orang ini, cuma aku tidak kenal.”

“Apa maksud dan tujuanmu datang kemari?” “Untuk melakukan pemeriksaan”

Tergerak hati Cu Siau-hong setelah mendengar perkataan itu, segera tanyanya:

“Untuk memeriksa apa?”

“Untuk melihat berapa banyakkah manusia yang berkemampuan seperti kau di tempat ini”

“Jadi kau datang untuk melakukan pemeriksaan terhadap tebing Yang jit gay ini?”

“Benar!”

“Apa yang telah kau temukan?” “Kehadiranmu!”

“Apa sangkut pautnya dengan Pena Wasiat?”

“Pena Wasiat adalah tokoh yang paling dihormati dan disanjung oleh umat persilatan di dunia ini, aku tak berani untuk mengikat tali hubungan dengan masalah tersebut”

“Jadi kau sama sekali tiada sangkut pautnya dengan Pena Wasiat?” “Yaa, sama sekali tak ada sangkut pautnya.”

“Baik!” kata Cu Siau-hong kemudian. ”Tinggalkan dahulu tangan kananmu sebelum pergi!”

Paras muka Bun Cu ciau berubah hebat, serunya dengan cepat:

“Tidakkah kau merasa bahwa tindakanmu ini kelewatan batas?”

“Kalau begitu bertarunglah seratus gebrakan lagi denganku, andaikata kau bisa mengungguli diriku, silahkan saja berlalu dari sini, seandainya kalah maka kau harus meninggalkan sebuah lengan kananmu disini..!”

“Tadi apakah pertarungan kita belum dapat menentukan menang kalahnya secara pasti?”

“Aku selalu mempunyai kepercayaan besar terhadap kepandaian silat yang kumiliki, saudara Bun, bila pertarungan seratus jurus ini dilangsungkan maka kerugian yang kau derita akan jauh lebih parah daripada hanya meninggalkan sebuah lenganmu saja.”

“Paling tidak, aku toh bisa bertarung secara leluasa.” “Kalau toh saudara Bun ingin bertarung, silahkan saja

untuk turun tangan”

Bun Cu ciau menghembuskan napas panjang:

“Huuuh, sungguh tak disangka aku bakal menjumpai seorang musuh tangguh seperti kau di tempat ini.”

Kipasnya diayunkan ke depan dan melancarkan sebuah bacokan secepat kilat.

Cu Siau-hong menarik napas panjang-panjang lalu mundur dua langkah kebelakang serunya:

“Oooh, kau hendak menggunakan senjata?” Sambil membalikkan tangannya, ia segera melepaskan sebuah pukulan dahsyat ke muka.

Bun Cu ciau menarik kembali kipasnya dan secepat petir membabat keluar, kali ini dia membabat urat nadi Cu Siau hong.

Menghadapi musuh tangguh seperti Bun Cu ciau, Cu Siau-hong tak berani bertindak secara gegabah, dia menghimpun segenap pikiran dan kekuatannya untuk mencari akal dengan kepandaian silat apakah dapat mengalahkan orang ini dalam sekali gebrakan saja.

Oleh sebab itu, begitu turun tangan, Cu Siau-hong segera mengeluarkan ilmu pukulannya yang paling aneh dan dahsyat.

Walaupun ilmu pukulan dan ilmu pedang dari Bu-khek bun termasuk lumayan, sesungguhnya bukan termasuk kepandaian sakti dari dunia persilatan, apabila digunakan untuk menghadapi manusia seperti Bun Cu ciau ini, sudah barang tentu tak akan pernah berhasil untuk memperoleh kemenangan.

Lo-liok si penjaga kuda telah menghadiahkan sebuah kitab Bu beng kiam boh kepadanya, di dalam kitab tersebut selain tercantum jurus-jurus pedang yang sakti dan hebat, tersisip pula berbagai ilmu pukulan, ilmu telapak tangan dan ilmu jari tangan yang lihay.

Ui pangcu dari Kay-pang juga pernah mewariskan empat buah jurus serangan aneh kepadanya.

Disamping itu, si Dewa pincang Ui thong, si manusia pintar yang berilmu tinggi dan tak pernah mau berjalan lurus itu, pernah mewariskan pula banyak ko koat (teori) tentang berbagai macam ilmu silat yang rata-rata amat lihay. Kepandaian tersebut semuanya merupakan intisari dari ilmu pukulan maupun ilmu pedang, daya kekuatannya luar biasa sekali, namun jurus serangannya berdiri sendiri dan tidak saling berkaitan antara yang satu dengan lainnya.

Untuk menghadapi situasi dan kondisi yang gawat, maka diapun harus memilih sendiri jurus serangan manakah yang paling cocok untuk digunakan menghadapi keadaan tersebut.

Untung saja Cu Siau-hong telah menguasai penuh seluruh jurus silat yang tidak saling berkaitan itu serta berlatihnya dengan hapal dan matang.

Begitulah, dalam pertarungan mana dia pun telah mempraktekkan kehebatan dari jurus-jurus serangan tersebut, seperti misalnya telapak tangan kirinya menyerang dengan jurus Thian gwa lay im (awan tiba dari luar langit) maka telapak tangan kanannya justru melepaskan pukulan dengan jurus Kan kun it cho (satu lembaran alam jagad), antara jurus yang satu dengan gerakan yang lain sesungguhnya sama sekali tiada ikatan mau pun kaitan apapun.

Selama hidup belum pernah Bun Cu ciau menjumpai jago lihay seperti ini, diapun belum pernah menyaksikan ilmu silat yang begitu aneh tapi dahsyat tersebut.

Setelah dia menerima tiga jurus serangan pertama secara bersusah payah, maka jurus yang keempat tak bisa  disambut lagi olehnya secara sempurna, bahu kanannya segera terkena hantaman dari Cu Siau-hong itu keras-keras.

Didalam serangannya itu, Cu Siau-hong hanya mempergunakan tenaganya sebesar lima bagian saja, namun lengan kanan Bun Cu ciau segera terlepas dari sendinya dan terkulai lemas ke bawah. Menghadapi kenyataan tersebut, Bun Cu ciau menjadi tertegun, tangannya mengendor dan kipasnya terlepas jatuh ketanah.

Beberapa saat kemudian dia baru sangggup bertanya: “Saudara, ilmu pukulan apakah yang kau gunakan itu?”

“Kenapa? Apakah kau baru mau mengaku kalah setelah kusebutkan nama dari ilmu pukulanku ini?” jengek Cu Siau-hong.

Bun Cu ciau tertawa getir.

“Aku sudah pernah bertarung dengan seorang jago lihay di kolong langit dewasa ini, waktu itu aku baru menderita kekalahannya setelah menyambut enam puluh tiga jurus serangannya”

“Siapakah orang itu?”

“Pek bi taysu dari Siau lim si!” Cu Siau-hong segera tertawa.

“Terlepas dari urusan yang menyangkut orang lain, sekarang kau bermaksud untuk meninggalkan apa?”

“Meninggalkan nyawa!”

Cu Siau-hong berseru tertahan:

“Ooooh, aku toh tidak menghendaki selembar nyawamu?”

“Tak usah kau yang minta, aku akan meninggalkannya sendiri untukmu…”

“Mati adalah suatu kejadian besar, mengapa si saudara Bun ingin sekali mati?” “Aku dibikin keok ditanganmu dalam empat gebrakan saja, lantas apa artinya lagi aku hidup terus di dunia ini…” gumam Bu Cu ciau sedih.

Kemudian setelah menghembuskan napas panjang, katanya lebih jauh:

“Cuma ilmu pukulan itu ibarat air bah yang datang dari langit, pada hakekatnya sama sekali tiada jejak yang berbekas, terus terang saja aku merasa dikalahkan secara membingungkan, aku merasa kebingungan dan tidak habis mengerti, walaupun di hati kecilku merasa tidak puas namun bagaimanapun juga buktinya aku sudah kalah, setelah kalah tentu saja aku harus membayarnya dengan nyawa”

Cu Siau-hong segera manggut-manggut.

“Ehmmmm, seandainya aku tidak mengharapkan kematian dari saudara Bun?” tanyanya.

“Bila kau memotong sebuah lenganku sehingga membuatku cacat seumur hidup toh lebih baik mati saja, agar semua urusan menjadi beres”

“Kalau didengar dari nada pembicaraanmu, tampaknya kaupun seorang yang amat berperasaan, aaai..aku sendiripun tak tahu bagaimana harus menjatuhi hukuman kepadamu?”

“Kini aku sudah kalah terserah kau…”

Mendadak Cu Siau-hong tertegun lalu jari tangannya diayunkan dan menotok sebuah jalan darah Bun Cu ciau.

Kemudian sambil mengempit tubuhnya dia lari ke belakang sebuah batu cadas dan membaringkannya ke tanah. Saat itu meski tubuh Bun Cu ciau sukar digerakkan namun mulutnya masih dapat berbicara sambil menengok kea rah Cu Siau-hong tegurnya kemudian:

“Mau apa kau?”

“Ingin mengajakmu untuk berbincang-bincang secara baik-baik”

“Oooh, apa yang ingin kau bicarakan?”

“Aku ingin mengetahui keadaan yang sebenarnya mau apa kau datang kemari. Apa yang sedang kau cari? Dan kau mendapat perintah dari siapa?”

Bun Cu ciau tidak segera menjawab, dia termenung beberapa saat lamanya kemudian menegur:

“Sebenarnya siapakah kau?”

“Cu Siau-hong, pernah mendengar?”

“Pernah, apakah kalian semua sudah sampai disini?” “Tampaknya kau sangat memahami sekali tentang jejak

kami semua?” seru Cu Siau-hong.

“Mengapa kalian bisa datang dua hari lebih awal?”

“Ada jalan kecil yang lebih dekat, kami pun memotong jalan dengan melalui jalan kecil tersebut.”

“Aku telah mendapat perintah yang mengatakan kalau kau adalah seorang yang sukar dihadapi, sungguh tak dinyana hari ini aku telah berjumpa muka denganmu.”

“Sungguh terima kasih banyak atas kesudianmu memandang tinggi dari kami…”

“Memandang tinggi dirimu bukan suatu kejadian yang baik, sebab sudah ada pembunuh-pembunuh maut yang dikirim untuk menghadapimu, aaaii..hitungan manusia  tak dapat menangkan hitungan langit, sungguh tak disangka kau berhasil menemukan jalan lain yang sama sekali tak berhasil kami temukan.”

“Pembunuh adalah pembunuh, mengapa mereka disebut pembunuh maut?” tiba-tiba Cu Siau-hong tertawa.

“Pembunuh maut berarti sekalipun harus mengorbankan diri, mereka sudah siap menghadapi maut dengan mengajakmu mati bersama-sama”

Tergerak hati Cu Siau-hong setelah mendengar perkataan tersebut, segera pikirnya:

“Yang dimaksudkan sebagai pembunuh maut tersebut sudah pasti mempunyai kelainan kalau dibandingkan dengan membunuh pada umumnya, aku harus berusaha untuk mengorek rahasia mereka itu..”

Berpikir demikian, dia lantas berkata:

“Saudara Bun, aku percaya dengan kepandaian silat yang kumiliki ini masih mampu untuk mempertahankan diri!”

“Tidak mungkin bisa, pembunuh-pembunuh maut tersebut memiliki daya kemampuan untuk memusnahkan sesuatu, kekuatan mereka tak mungkin bisa dilawan dengan kekuatan manusia biasa”

“Sebenarnya kemampuan apa sih yang mereka miliki sehingga nampaknya begitu menakutkan?”

“Soal ini, maaf kalau aku tak bisa menjawab!”

“Baik, tak usah kita bicarakan tentang soal ini, mari kita berganti dengan masalah lain, sebenarnya antara kau dengan Yu Sam khi, apakah berasal dari suatu organisasi yang sama?” Bun Cu ciau termenung beberapa saat lamanya, kemudian sahutnya:

“Tentang soal ini, akupun tak dapat memberikan jawabannya”

“Apa yang kutanyakan kepadamu ternyata tak sebuahpun yang bisa kau jawab, kalau begitu, bagaimana kalau kita mencari masalah yang lain lagi untuk dibicarakan?”

“Aku tak bisa menemukan persoalan apakah yang dapat kita bicarakan secara baik-baik, cuma kau boleh membunuhku..”

“Membunuhmu..?”

“Benar! Asal mengayunkan tanganmu maka aku akan segera menemui ajalnya”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar