Pena Wasiat (Juen Jui Pi) Jilid 06

"Oooh, kiranya begitu! Baiklah, perkataan lohu telah selesai, aku hendak mohon diri lebih dahulu "

Kenyataan ini justru malah membuat Ui Thong tertegun. "Pek Bwee, apakah kau tidak mengharapkan petunjuk dariku?"

"Tidak perlu, tempo hari musti berkat petunjukmu itu aku menghindari suatu bencana, tapi kehidupanku selama dua tahun tersebut sangat tidak tenang sekarang usiaku sudah tua soal mati tidak hidup sudah tidak kupikirkan lagi, apa yang kuharapkan hanyalah bisa mati dengan berharga dan mati dengan perasaan yang tenang"

"Locianpwe, apakah aku boleh tinggal di sini?" tanya Cu Siau-hong.

"Boleh cuma kau musti bertanya dulu kepadanya bagaimana caranya mendapatkan lebah besar! Sepuluh hari kemudian, aku akan datang lagi untuk menjemputmu!"

Dengan termangu mangu Ui Thong memperhatikan luar pintu tanpa berkedip, sikapnya amat serius dan untuk sesaat lamanya tidak mengucapkan sepatah katapun.

"Locianpwe!" Cu Siau-hong segera berkata, "pesan apa yang hendak kau sampaikan kepadaku? Katakanlah, cuma aku. "

“Kau punya sedikit syarat dan berharap aku mau menggantikan lebah-lebah beracun milik Ouyang si makhluk tua itu?" sambung Ui Thong.

"Benar! Inilah yang dijanjikan mendiang guruku, sekarang suhu telah mati maka kami sebagai muridnya berkewajiban untuk melanjutkan janjinya itu"

Ui Thong manggut-manggut.

"Aku bisa membantumu dengan sekuat tenaga untuk menyelesaikan persoalan ini" katanya.

"Baik! Sekarang urusanku telah selesai, jika locianpwe mengharapkan bantuanku, silahkan kau ucapkan!" Dari dalam sakunya Ui Thong mengeluarkan tiga buah kantong sutera, kemudian sambil diangsurkan katanya:

"Di atas kantong-kantong ini sudah tercantumkan nomor, terhitung mulai hari ini, lohor hari ketiga kau harus membuka kantong pertama, hari kelima kau buka kantong kedua dan hari ke tujuh kau buka kantong ketiga lakukanlah seperti apa yang telah kutulis, dalam kantong kantong tersebut”.

"Boanpwe telah mengingat semua pesan cianpwe” sahut Cu Siau-hong sambil menerima kantong-kantong, itu, "tapi bagaimana pula caraku untuk memenuhi janji guruku dengan Ouyang sianseng? Harap locianpwe suka pula memberi petunjuk"

Ui Thong manggut-manggut, kembali, ia mengeluarkan sebuah botol porselen dari sakunya, lalu berkata:

"Pergilah dan serahkan botol ini kepada Ouyang sianseng, maka diapun tak akan menanyakan lagi soal lebah beracun itu"

Itulah sebuah botol porselen putih, setelah menerimanya dan dibuat main sebentar, Cu Siau-hong bertanya lagi:

"Locianpwe apa isi botol ini?" "Obat !"

"Bolehkah boanpwe membuka botol ini untuk melihat isinya?"

"Boleh saja, bukalah sendiri!"

Ketika Cu Siau-hong membuka botol itu dan melongok isinya, terlihatlah isi botol porselen itu ternyata adalah setengah botol bubuk berwarna putih.

Cuma saja botol itu besarnya seibu jari, sehingga isi obatpun amat terbatas. "Nak, kau tak usah kuatir!" kata Ui Thong “obat tersebut sudah cukup untuk memuaskan hatinya, cuma Makhluk tua Ouyangpun seorang yang kikir maka kau harus baik-baik mengetuknya!'"

"Mengetuknya bagaimana?"

“Dia memiliki sejenis ilmu sakti yang disebut Ciat-lip-jiu (tangan sakti penerus tenaga) Itu terhitung suatu kepandaian yang sangat tinggi, juga merupakan ilmu kebanggaan makhluk tua she Ouyang selama malang melintang dalam dunia persilatan maka sebelum kau serahkan obat ini kepadanya, kau harus memaksanya untuk mewariskan kepandaian tersebut kepadamu"

Cu Siau-hong segera tertawa getir.

"Ui cianpwe, kalau memang kepandaian tersebut merupakan ilmu simpanannya, masa dia mau mewariskannya kepadaku?"

"Dengan obat tersebut sebagai syarat pertukarannya, dia pasti akan penuhi keinginanmu itu"'

"Tapi kalau boanpwe disuruh memeras orang dikala orang lagi membutuhkan, rasanya.... Rasanya aku enggan untuk mengatakannya"

"Nak, sekalipun enggan  kau  juga  musti mengatakannya. "

"Kenapa? "sela Cu Siau-hong.

"Sebab ilmu Ciat lip jiu tersebut akan sangat membantu bagi usahamu untuk membalas dendam serta membangun kembali Bu-khek-bun di kemudian hari, kau mesti mengerti, tidak besar kesempatan Ouyang lo koay untuk muncul kembali dalam dunia persilatan, sekalipun secara kebetulan akan munculkan diri sekali dua kali, dengan cepat diapun akan mengasingkan diri kembali, maka jika ilmu tersebut tidak kau pelajari, kemungkinan besar ilmu sakti Ciat Lip jiu tersebut akan segera lenyap dari muka bumi"

"Apakah dia tak punya murid?"

"Siau-hong ilmu sakti semacam itu bukan sembarangan orang bisa mempelajarinya, sekalipun dia punya seorang putra, sayang bukan bahan baik untuk belajar silat"

Cu Siau-hong termenung sebentar, lalu katanya:

"Bila ilmu tersebut kupelajari bukan demi kepentingan boanpwe pribadi boanpwe sih bersedia untuk mencobanya, tapi jika Ouyang cianpwe tidak mengabulkan permintaanku itu?"

"Makanya kusuruh kau gunakan sedikit akal, katakan saja kalau hal ini merupakan syarat dari suhumu jika ia menghendaki isi obat dalam botol itu maka dia harus mewariskan ilmu sakti Ciat lip jiu tersebut kepadamu"

Cu Siau-hong berpikir sejenak, kemudian sahutnya: "Kalau begitu biar boanpwe mencobanya!"

"Nah kita boleh berpisah sampai di sini dulu, sampai jumpa lusa mendatang. !"

Seperti ketika naik, sewaktu turunpun Cu Siau-hong menumpang keranjang derek tersebut.

Ketika ia membuka matanya kembali, keranjang itu sudah tiba di bawah pohon, si nona berbaju hijau itu masih menunggu di situ.

"Cu kongcu..." nona berbaju hijau itu segera bertanya, "apa yang dibicarakan empek Koay denganmu?"

"Ia memberi setengah botol obat kepadaku, mari kita pergi menemui Ouyang sianseng!" Agaknya nona berbaju hijau itu menaruh kepercayaan penuh terhadap diri Dewa pincang Ui Thong mendengar perkataan itu sambil tertawa segera sahutnya.

"Baik! Mari kita berangkat. "

Ditengah jalan, gadis itu kembali katanya.

"Hubungan empat Ouyang dan empek Koay sangat tidak baik, sekalipun sudah banyak tahun mereka hidup bertetangga, tapi belum pernah kujumpai mereka saling berbicara barang sepatah katapun"

"Apakah hubungan mereka berdua memang buruk sekali!'

"Bukan cuma buruk sekali, empek Ouyang sangat jemu atas diri empek Koay, seringkali ia memakinya sebagai manusia yang pandai mempermainkan rahasia langit tanpa memperdulikan mati hidup orang lain?"

"Oooh !"

"Konon empek Ouyang pernah cekcok dengan empek Koay" kata nona berbaju hijau itu lebih jauh. "Cuma aku tidak menyaksikan sendiri jalannya peristiwa itu"

Cu Siau-hong menghela papas panjang, katanya: "Apakah Ouyang locianpwe mempunyai murid?" "Empek Ouyang mempunyai seorang teman yang sedang

sakit, orang itu mengidap suatu penyakit yang aneh sekali,

aku tak tahu sejak kapan ia menderita penyakit tersebut, pun tak tahu berapa besar usianya. karena ia selalu berbaring dalam gua itu dan tak pernah keluar"

"Kau tak pernah memasuki gua itu?"

"Tidak pernah, empek Ouyang tidak mengijinkan aku masuk!" Cu Siau-hong menghela napas panjang.

"Aaai.... tak kusangka dalam hutan di belakang bukit yang sepi dan terpencil ini telah menetap begini banyak jago sakti, padahal kami yang tinggal didekatnya sedikitpun tak tahu akan hal ini"

Nona berbaju hijau itu mengerdipkan matanya yang besar, kemudian berkata: "Heran, kenapa mereka harus tinggal ditempat seperti ini?"

Setelah menghembuskan napas panjang, katanya lebih jauh:

"Cu kongcu, menurut apa yang kuketahui di sini kecuali tinggal empek Koay dan empek Ouyang, masih ada seorang lagi, sayang aku tidak kenal dengan dirinya, sehingga tidak kuketahui pula siapa namanya dan berasal dari mana"

"Nona siapa namamu, kenapa bisa tinggal ditempat seperti ini?".

Nona berbaju hijau itu tertawa.

"Kalau berbicara sesungguhnya, aku sendiripun tak tahu siapa namaku sendiri aku lebih hanya seorang manusia bernasib jelek yang dipelihara orang lain"

"Ooh kalau begitu nona tinggal bersama siapa?" "Dengan ibu angkatku!"

"Siapa nama ibu angkatmu?. Sekarang ia berada dimana?"

"Ibu angkatku sudah mati pada tiga tahun berselang, ia dikebumikan di belakang bukit sana dan meninggal sebuah rumah gubuk untukku"

"Ooh...!" Pemuda itu merasa bahwa asal usul gadis ini amat mengenaskan, sebenarnya dia ingin mengucapkan beberapa patah kata untuk menghibur hatinya, tapi diapun tak tahu harus berbicara dari mana.`

Nona berjubah hijau itu melirik sekejap ke arah Cu Siau hong, kemudian berkata lagi:

"Setelah ibu angkatku meninggal dunia, aku hidup seorang diri dalam rumah gubuk itu, empek Koay, empek Ouyang walaupun saling tidak akur, tapi mereka amat memperhatikan keadaanku?"

"Apakah kau pandai bersilat.?" "Pandai sih tidak, hanya bisa!"

"Siapa yang mewariskan ilmu silat kepadamu?."

"Waktu masih hidup dulu, ibu angkatku yang menurunkan ilmu silat kepadaku, empek Ouyang juga sering memberi petunjuk kepadaku, sedangkan empek Koay kadang-kala juga menurunkan satu dua jurus kepada ku bila kebetulan ia sedang bersenang hati"

"Kalau begitu ilmu silat yang nona miliki tentu lihay sekali?"

"Aku tak tahu, selamanya aku tak pernah bertarung melawan orang lain ?"

Cu Siau-hong kembali termenung beberapa saat  lamanya, kemudian iapun berkata:

"Sekarang, mari kita menjumpai Ouyang sianseng!"

Nona berbaju hijau itu tertawa manis sekali senyumannya, lalu berkata:

"Baik! Mari kubawa jalan untukmu" "Nona, setelah berjumpa dengan Ouyang locianpwe nanti, biar aku saja yang berbicara!" Nona baju hijau itu manggut-manggut.

"Baik Cu kongcu, selama aku berada bersamamu, aku pasti akan mendengarkan semua perkataanmu"

Nona berbaju hijau itu membawa Cu Siau-hong menembusi hutan dan sampai di bawah sebuah tebing karang, kemudian dengan suara keras teriaknya.

"Empek Ouyang ada orang datang mencarimu!"

Sesosok bayangan manusia segera berkelebat lewat dari atas sebuah tebing karang yang dua kaki tingginya itu, dalam sekejap mata orang itu sudah tiba di depan mata.

Cu Siau-hong segera kenali orang itu sebagai kakek berjubah abu-abu yang pernah di jumpainya itu.

-oOo>d’w<oOo-

"EMPEK OUYANG”, nona berbaju hijau itu segera berkata! “Cu kongcu ada urusan ingin bertemu denganmu!"

"Oooh...!" kakek berjubah abu-abu itu manggut manggut, kemudian sambil berpaling tegurnya. “kau datang dari Bu-khek-bun?"

"Betul, cayhe datang untuk mewakili guruku!" "Kenapa guru mu tidak datang send iri?"

"Sebab gurunya sudah mati!" seru si nona berbaju hijau dari samping.

Mendengar jawaban tersebut, kakek berbaju abu-abu itu menjadi tertegun lalu tanyanya: "Kapan matinya?"

"Dua hari berselang!" sahut Cu Siau-hong. "Apakah anggota perguruan Bu-khek-bun tinggal kau seorang?"

"Tidak masih ada empat orang, beberapa orang lagi lenyap tak berbekas, mungkin mereka masih hidup mungkin juga sudah mati, aku tak berani menduganya"

"Waktu gurumu membunuh lebahku tempo hari, apakah kau hadir ditempat kejadian?"

"Benar!"

“Bila kau dapat mewakili gurumu untuk mengembalikan lebah-lebah beracun itu kepadaku, aku bisa menyelesaikan peristiwa tersebut sampai di sini saja!"

"Kau harus tahu kami tidak punya cukup waktu untuk mencari lebah-lebah beracun itu untuk di kembalikan kepadamu, apalagi pergi ke tempat yang begitu jauhnya"

"Gurumu menganggap hal ini, merupakan suatu pekerjaan yang sangat gampang, dengan kedudukan dan nama besarnya aku percaya akan perkataannya dan membiarkan ia pergi, aku percaya dia tak bakal lari, tapi aku tak mengira kalau ia sudah mati."

Setelah berhenti sejenak katanya lebih jauh:

"Cuma dia mesti punya murid, tentu murid muridnya bisa mewakili gurunya untuk menepati janji. "

"Jadi rupanya kau lepaskan kami karena kau sudah mempunyai rencana licik!" seru Cu Siau-hong tiba-tiba.

"Anak muda, kata rencana licik kurang sedap didengar, apakah kau anggap lohu tak sanggup membunuh kalian pada waktu itu?"

Cu Siau-hong segera menghela napas panjang. "Aaaai.... Aku baru pertama kali ini terjun ke dalam dunia persilatan, sungguh tak kusangka kesan yang ku dapat tentang dunia persilatan begitu berbahaya dan memuakkan.”

"Dunia persilatan pada hakekatnya memang tempat yang berbahaya dengan segala macam akal busuknya, bocah, kau telah datang mewakili gurumu, pertanggungan jawab apakah yang hendak kau berikan kepadaku?"

"Tidak sekarang aku telah berubah pikiran."

"Berubah pikiran?" kakek berjubah abu-abu itu tercengang.

"Yaaa, ketika meninggal dunia suhu tidak berpesan kepadaku untuk mewakilinya memenuhi janji ini, tapi sekarang aku telah datang, aku kemari tak lain hanya ingin mewujudkan rasa baktiku sebagai seorang murid, terhadap guru nya, sungguh tak disangka dunia persilatan adalah tempat yang penuh dengan tipu muslihat karena itu rasanya akupun tak usah memenuhi janji ini lagi"

Kontan saja kakek berjubah abu-abu itu tertawa dingin. "Heeehhh heeehhh heehhhh setelah kau tiba di sini,

maka jangan harap bisa pergi lagi sebelum memberikan pertanggungan jawabmu, betul Tiong Leng Kang sudah mati, tapi kalian Bu-khek-bun toh masih ada orang yang hidup, karena itu yang masih hidup harus memberikan pertanggungan jawab kepadaku."

Seusai mendengarkan perkataan itu, Cu Siau-hong mulai berpikir dalam hati kecilnya:

"Tampaknya apa yang dikatakan Ui Thong memang betul, meskipun Ouyang sianseng ini tidak terhitung seorangjahat tapi ia adalah seorang makhluk aneh, ia hanya tahu demi keuntungan sendiri tanpa memikirkan kesulitan orang lain"

Dalam detik itulah ia telah meresapi banyak sekali masalah kehidupan, iapun mengalami pula kelicikan dan kebusukan dunia persilatan, hal mana dengan cepat menimbulkan pula pendapat dalam hatinya bahwa hidup dalam dunia persilatan tak boleh terlalu jujur, kadangkala kelicikan dan kecerdasan otak memang sangat dibutuhkan.

Berpikir, sampai di situ, ia pun bertekad untuk mulai mempergunakan kecerdasan dan segala akal liciknya untuk memasuki dunia persilatan.

Secara tiba-tiba ia meresapi pula makna yang sesungguhnya dari tindakan gurunya yang mengeluarkan ia dari perguruan sesaat sebelum meninggal .. Betul, justru dengan keadaan bebas seperti ini, ia dapat bergerak lebih bebas dan leluasa, iapun dapat membebaskan diri dari banyak ikatan dan belenggu perguruan ....

Tampaknya kakek berjubah abu-abu itu sudah tak sabar lagi menunggu, sambil tertawa dingin segera tegurnya kembali:

"Hei, anak muda! Kau sudah mendengar perkataanku?" "Yaa, sudah kudengar dengan jelas!"

"Bagaimanakah pertanggungan jawabmu terhadap lohu?"

"Aku tak perlu memberi pertanggungan jawab kepadamu sebab bukan aku yang memberi janji, sebelum meninggal suhupun tidak berpesan apa-apa lantas bagaimana aku musti memberi pertanggungan jawabnya kepadamu."

"Bocah cilik kau berani mempermainkan lohu?" kakek berjubah abu-abu itu mulai naik pitam. "Aaah, ucapan locianpwe terlalu serius, akukan tak pernah mempermainkan diri locianpwe"

"Empek Ouyang" si nona berbaju hijau yang berada di sisinya segera ikut menimbrung, "Cu kongcu adalah  seorang yang sangat baik, dia tak akan mempermainkan dirimu"

Kakek berjubah abu-abu itu segera mendengus dingin. "Bei giok kau tak usah mencampuri urusan ini, hayo

menyingkir kau dari sini!" serunya.

"Empek Ouyang, dia benar-benar seorang yang baik hati, kau tak boleh memukuli dirinya!"

"Pergilah kau dari sini nona" Cu Siau-hong ikut berkata sambil mengulapkan tangannya, "aku hendak berbicara baik-baik dengan Ouyang sian-seng. "

Agaknya nona berbaju hijau itu menurut sekali atas perkataan dari Cu Siau-hong, tanpa mengucapkan sepatah katapun ia benar-benar putar badan dan berlalu dari situ.

Sepeninggal gadis tersebut, sambil tertawa dingin kakek berbaju abu-abu itu berkata: "Bocah muda katakan sekarang! apa yang hendak kau lakukan?"

"Semestinya adalah boanpwe yang mohon petunjuk dari kau orang tua. masa malahan cianpwe yang bertanya kepadaku?"

"Jika suhumu tak bisa menepati janjinya maka kau harus mewakili gurumu untuk memenuhi janji.”

“Tapi bagaimana caranya aku harus memenuhi janji ini?."

"Tiong Leng Kang telah membunuh sekitar seratus ekor lebah raksasa, jika ia tak sanggup membayar gantinya maka aku hanya menginginkan selembar jiwanya saja tidak terlalu banyak bukan?"

"Coba kalau suhuku masih hidup, dia pasti tak akan mengingkari janji, sayangnya dia orang tua telah terbunuh!"

"Sekalipun ia mati terbunuh Tiong hujin kan masih hidup, sekalipun segenap keluarganya sudah mati, anak muridnya toh masih hidup"

Cu Siau-hong segera menghela napas panjang. "Dan akupun salah seorang muridnya!" ia berbisik.

"Maka dari itu kau harus membayar ganti rugi tersebut kepadaku" sambung kakek berjubah abu-abu itu dengan cepat.

Cu Siau-hong gelengkan kepalanya berulang kali. "Ouyang  sianseng!"  katanya  “dalam  dunia  persilatan

berlaku sepatah kata yang mengatakan bahwa barang siapa

sudah mati maka semua perselisihannya ikut buyar, kini suhuku sudah almarhum, kenapa kau musti mendesak orang terus menerus?"

Kakek berjubah abu-abu itu kembali tertawa dingin. “Haaahh   haaahh....haaahh....   kalau   kau   ingin pergi,

silahkan saja pergi, siapa berhutang, dia harus membayar,

sekalipun Tiong Ling-kang sudah mati tapi nyonya Tiong toh masih hidup, kenapa aku musti mencarimu? Silahkan pergi!"

Sebelumnya orang ini bukannya sama sekali tak tahu aturan, cuma saja apa yang ia katakan adalah kata-kata yang dianggapnya benar.

Cu Siau-hong menghembuskan napas panjang, katanya kemudian: "Ouyang cianpwe, sebenarnya aku merasa bahwa hutang yang telah kami buat seharusnya dibayar, tapi sekarang jalan pikiranku telah berubah."

"Berubah! Berubah menjadi bagaimana?"

"Rasa menyesalku sudah lenyap tak berbekas. Sekarang aku hendak mengesampingkan dulu soal janjimu dengan guruku, bagaimana kalau kita bicarakan dahulu suatu barter?"

"Barter apa yang hendak kau bicarakan denganku?" ejek kakek berjubah abu-abu itu sambil tertawa dingin.

Cu Siau-hong menarik napas panjang dan secara diam diam melakukan persiapan, kemudian sambil mengeluarkan botol porselen itu katanya:

"Locianpwe, kau tahu benda apakah ini?"

"Sebuah botol porselen!" jawab kakek berjubah abu-abu itu dengan hambar.

"Sebuah botol porselen?"

"Apa isi botol itu?" cepat kakek itu bertanya.

Satu ingatan segera melintas dalam benak Cu Siau-hong, pikirnya kemudian:

"Yang dia harapkan adalah isi botol ini, tentu saja terhadap botol porselennya tidak menaruh perhatian. "

Berpikir demikian, diapun membuka botol itu dan mengeluarkan sedikit bubuk putih yang ditebarkan di atas sebuah batu tak jauh dari situ, kemudian ujarnya dengan dingin:

"Ouyang cianpwe, jika kau sanggup untuk mengenali bahan obat tersebut, silahkan kau maju mendekat untuk memeriksanya dulu" Pelan-pelan kakek berbaju abu-abu itu maju ke depan, lalu mengambil sedikit bubuk putih itu dengan jari tangannya dan dibau, tiba-tiba dengan paras muka berubah serunya:

"Haaah?, Ban-ing-seng-cing-san?"

"Oooh.... Rupanya obat ini bernama bubuk Ban-ing seng-cing san" pikir Cu Siau-hong. Segera ia berkata:

"Betul memang obat tersebut! Apakah locianpwe kenali juga obat ini ?"

Tiba-tiba kakek berjubah abu-abu itu memutar tubuhnya sambil menubruk ke depan, tangan kanannya berkelebat siap menyambar botol yang berada ditangan pemuda itu.

Dengan cekatan Cu Siau-hong mundur sejauh lima depa dari posisi semula, kemudian katanya dengan dingin:

"Dengarkan baik-baik, kalau kau berniat merampas botol ini, sekarang juga kuhancurkan botol ini agar bubuk itu tersebar di tanah"

Kakek berbaju abu tabu itu menjadi tertegun, akhirnya ia bertanya: "Apa-apa syarat yang hendak kau ajukan...?"

"Semua perjanjian dan perselisihan antara Bu-khek-bun dengan Ouyang sianseng hapus sampai di sini saja"

"Ooooh, tentu saja!" sambil menjawab kakak itu maju ke depan dan siap menyambar botol porselen tersebut.

Cu Siau-hong segera melompat mundur selangkah, lalu teriaknya kembali:

“Kedua. "

"Cepat katakan!"

"Konon kau memiliki semacam ilmu silat" "Ilmu silat yang kumiliki banyak sekali ragamnya!" tukas Kakek itu..

"Aku hanya menghendaki satu macam saja!" "Ilmu silat apa yang hendak kau pelajari?" "llmu Ciat lip jiu!"

Kakek berbaju abu-abu itu menjadi tertegun.

"Ciat lip jiu? Darimana kau bisa tahu kalau lohu memiliki semacam ilmu yang bernama ilmu Ciat lip jiu"

"Soal itu sih tak perlu kita bicarakan, aku hanya ingin bertanya kepadamu, betulkah kau memiliki ilmu yang bernama Ciat lip jiu?"

"Betul! Kepandaian tersebut merupakan ilmu sakti andalanku disaat masih berkelana dalam dunia persilatan dulu, tiada orang lain yang bisa ilmu tersebut kecuali aku"

"Bagus sekali, cuma aku musti terangkan dulu, aku ingin pelajari ilmu Ciat lip jiu tersebut sebagai pertukaran syarat bagimu untuk memperoleh obat ini, itu berarti tiada ikatan apa-apa antara kita lagi pula akupun tak akan berterima kasih kepadamu"

Ujung baju kakek berbaju abu-abu itu bergetar keras meski tidak terhembus angin, dengan wajah amat serius katanya:

"Baik! Lohu akan mewariskan ilmu Ciat lip-jiu tersebut kepadamu, cuma dengan usiamu yang begitu muda serta kesempurnaan tenaga dalam yang kau miliki, aku kuatir ilmu tersebut tak mungkin bisa kau mempelajari dalam waktu singkat, maka sebelum kau pelajari kepandaian tersebut, lebih baik kau serahkan dulu bubuk obat itu kepadaku" "Kau bisa bertahan untuk hidup sekian lama dengan menanggung derita, rasanya tak sulit bukan untuk merasakan penderitaan satu dua hari lagi? Soal kemampuan tenaga dalam yang kumiliki, harap cianpwe jangan risaukan, yang ingin kupelajari hanya rahasia dari ilmu Ciat lip jiu tersebut bukan tenaga dalamnya, mungkin saja setelah kukuasai ilmumu itu kepandaian tersebut baru akan kugunakan dua tiga tahun mendatang"

Tiba-tiba kakek berbaju abu abu itu tertawa tergelak. "Bocah cilik, beberapa patah katamu ini memang masuk

diakal juga, ilmu Ciat lip jiu memang bukan semacam ilmu silat yang dapat dipelajari hanya mengandalkan kecerdasan otak saja, aku mengetahui kalau kau berbakat bagus untuk belajar silat, mungkin hanya kaulah satu-satunya orang di dunia ini yang bakal mewarisi ilmu Ciat lip jiu andalanku itu. "

Cu Siau-hong menghembuskan napas panjang, bisiknya: "Locianpwe "

Kakek berbaju abu-abu itu gelengkan kepalanya berulang kali, katanya kembali:

"Sekarang aku akan segera mewariskan sim hoatnya kepadamu, bagian ini merupakan bagian paling penting dari kepandaianku, Kau harus tahu, keistimewaan dari ilmu Ciat lip jiu adalah merubah tenaga dalam menjadi gulungan angin berpusing yang sanggup menerima tenaga pukulan musuh walau seberat seribu katipun. jika kau berhasil mempelajari kepandaian ini hingga suatu tingkatan tertentu, maka kau dapat merubah pula kekuatan musuh demi kepentingan sendiri, bahkan bisa juga dikembalikan ke tubuh musuh sendiri sebagai suatu gempuran balasan, kau harus tahu bahwa ilmuku ini merupakan salah satu ilmu silat paling aneh di dunia ini" Sesudah melewati serangkaian pembicaraan, rasa permusuhan diantara mereka berdua pun sudah jauh berkurang.

"Locianpwe, sulitkah untuk mempelajari sim hoat tersebut?" tanya Cu Siau-hong sambil menghembuskan napas panjang.

"Tidak mudah, tapi kalau bertemu dengan orang yang pintar seperti kau, mungkin saja ilmu ini bisa dikuasai dengan lebih cepat lagi, tapi yang terpenting adalah kemampuan untuk mengerahkan tenaga dan merubah nya menjadi suatu kekuatan berpusing"

Secara tiba-tiba saja kakek berjubah abu-abu itu merasakan timbulnya suatu niat dalam hati untuk cepat cepat mewariskan kepandaian tersebut kepada Cu Siau hong, katanya sambil tertawa.

"Kemarilah nak, mari kita mulai sekarang juga!"

Belum pernah Cu Siau-hong seserius sekarang dalam mempelajari semacam ilmu, sebab sim-hoat yang dipelajarinya memang benar-benar merupakan semacam kepandaian yang sulit sekali untuk dipelajari.

Kakek berjubah abu-abu yang mewariskan kepandaiannya pun menerangkan semua bagian dari ilmu dengan serius, ini membuat Cu Siau-hong belajar makin tekun.

Tidak sampai dua tiga jam kemudian, ternyata Cu Siau hong telah berhasil menguasahi seluruh rahasia dari kepandaian itu.

Kenyataan tersebut tentu saja amat mengejutkan kakek berjubah abu abu itu, serunya dengan tercengang: "Nak, coba kau lakukan sekali lagi di hadapanku" Cu Siau-hong mengiakan dan segera mempraktekkan seperti apa yang telah diajarkan kakek berjubah abu-abu itu kepadanya.

Selesai menyaksikan anak muda itu berpraktek, dengan rasa kagum dan tercengang kakek berjubah abu-abu itu berkata lagi:

"Bagus sekali, dalam perkiraanku semula paling tidak tiga sampai lima hari lagi kau baru akan berhasil menguasahi ilmu tersebut, sungguh tak kusangka hanya dalam beberapa jam saja semua kepandaianku telah kau kuasahi, kecerdasanmu jauh di luar dugaan dan kesempurnaan tenaga dalammu juga di luar dugaanku, nak tahu. Begini sekalipun tiada pertukaran syaratpun aku rela mewariskan kepandaianku ini kepadamu"

Mendengar itu,Cu Siau-hong kembali berpikir.

"Watak orang ini sesungguhnya tidak jahat cuma wataknya memang sedikit rada aneh dan nyentrik” Sambil bangkit berdiri, botol porselen itu diserahkan kepada kakek itu seraya berkata:

"Locianpwe, baik-baiklah menjaga diri, boanpwe hendak mohon diri lebih dahulu"

Kakek berbaju abu-abu itu menghela napas sedih, katanya:

"Hati-hati dengan si pincang, ia memiliki kepandaian yang hebat dan ilmu perbintangan yang luar biasa, sayang hatinya terlalu jahat. "

Cu Siau-hong merasakan hatinya bergetar keras, sambil berhenti katanya: "Maksud locianpwe. "

"Aku maksudkan si pincang Ui Thong, orang ini berilmu tinggi, sayang sekali tidak manfaatkan kepandaiannya demi kebaikan, wataknya terlalu dingin dan tak berperasaan kau harus berhati-hati terhadapnya"

"Terima kasih atas petunjuk cianpwe!" pemuda, itu putar badan dan berlalu dari situ.

Memandang hingga bayangan punggung Cu Siau-hong lenyap dari pandangan. Kakek berbaju abu-abu itu menghela napas panjang, lalu gumamnya: "Seorang bocah yang berbakat bagus sekali."

Sesudah melewati pertarungan adu kecerdasan, Cu Siau hong sendiripun dapat merasakan bahwa Ouyang sianseng meski berwatak aneh dan agak eksentrik, sesungguhnya bukan seorang yang jahat.

Ia tak punya cukup waktu untuk mengetahui latar belakang perselisihan antara Ouyang sianseng dengan Koay sian, diapun tak ingin terlibat didalam masalah tersebut...

Maka tanpa mengucapkan sepatah katapun rasa terima kasihnya, ia telah berlalu dengan begitu saja dari sana.

Cu Siau-hong juga, tidak langsung menjumpai Ui Thong, ia mencari suatu tempat yang sepi dan terpencil dalam hutan itu serta mulai melatih diri dengan ilmu Ciat lip jiu yang baru saja dipelajarinya itu.

Beberapa kali si nona berbaju hijau mencarinya, bahkan berteriak teriak memanggilnya.

Tapi Cu Siau-hong sadar bahwa waktu baginya saat ini adalah penting sekali, dia harus menggunakan waktu selama sehari semalam untuk berhasil menguasahi ilmu Ciat lip jiu tersebut secara baik.

Karenanya ia tidak menjawab, ia pura-pura tidak mendengar dan melanjutkan semedinya sambil mengatur pernapasan. Betul juga ketika ia berlatih menurut apa yang diajarkan Ouyang sianseng, segera terasalah segulung hawa murni muncul dari pusar dan bergerak dalam tubuhnya sehingga membuat hawa murni dalam tubuh berputar kencang, akhirnya timbul dua kekuatan berbeda yang saling berputar dengan kencangnya dibadan.

Kenyataan ini sangat mengejutkan hatinya, disamping tentu saja rasa girang yang meluap luap. Sekarang ia telah membuktikan satu hal, Ou-yang sianseng memang tidak membohonginya. Menanti saat perjanjiannya dengan Ui Thong telah sampai, dia baru keluar dari dalam hutan.

Keranjang tersebut sudah menanti di bawah pohon, Cu Siau-hong segera menggerakkan sendiri alat rahasia untuk menaikkan keranjang tersebut ke atas.... tentu saja kesemuanya ini diajarkan sendiri oleh Ui Thong  kepadanya.

Keranjang mulai meluncur diantara sela-sela pepohonan yang rindang dan menembusi dahan-dahan pohon yang besar langsung menuju ke depan ruangan kecil itu.

Ketika ia tiba dalam ruangan, ditemukan Dewa pincang Ui Thong sudah menggeletak di atas lantai papan dengan sepasang mata terpejam rapat.

Cu Siau-hong merasa terkejut sekali pikir nya:

"Apakah takdir benar-benar tak bisa dilawan dan ia telah menyelesaikan sendiri perjalanan hidupnya?"

Buru-buru pemuda itu maju ke depan sambil memeriksa dengusan napas Ui Thong, ternyata napas itu sudah putus.

Walaupun demikian, perasaan Cu Siau-hong berkata bahwa Ui Thong belum mati. Dalam detik itulah, Cu Siau-hong menjadi ragu tak bisa memastikan apakah Dewa pincang Ui Thong masih hidup atau sesungguhnya telah mati.

Diam-diam ia menghembuskan napas panjang, lalu berpikir:

"Dewa pinceng Ui Thong memang benar-benar seorang manusia yang aneh sekali, begitu mudah ia bisa menghitung soal mati hidupnya, sehingga hal mana bisa membuat orang menjadi kebingungan dan tak dapat membedakan secara jelas."

Berpikir sampai di situ, ia mengambil keluar kantong pertama dari sakunya yang memang dipesan untuk dibuka pada hari ini.

Setelah kantong dibuka, Cu Siau-hong menemukan secarik kertas yang isinya berbunyi demikian:

"Kini lohu sudah tak bisa berbicara, tak dapat melihat, nafas lirih dan berada diambang kematian, tolong gunakanlah kotak kecil di belakangmu serta kain kuning sepanjang sepuluh depa untuk membungkus tubuhku”.

"Berangkatlah dengan membawa tubuhku menuju ke sebelah timur sejauh lima li, tembusi hutan dan menuju ke sebuah tebing yang terjal. Naiklah tebing itu kurang lebih sepuluh kaki, di sana kau akan jumpai sebuah batu cadas berwarna hitam yang diatasnya bertuliskan Sian-ki (tempat tinggal dewa)"

"Buka batu itu dengan menekan huruf di atas batu sekuat tenaga, maka dari balik pintu akan kau jumpai sebuah gua, dalam gua lebih kurang sepuluh kaki lebih tujuh depa dengan tiga kali tikungan, di sana akan kau jumpai sebuah ruang batu, dalam ruangan ada lampu yang bisa dipakai untuk  menerangi  keadaan  di  situ,  pada  tengah   ruangan terdapat sebuah hiolo batu yang besar sekali, letakkan tubuhku dalam hiolo raksasa itu, kemudian berjagalah di sisi hio-lo dan perhatikan jika ada penyerang yang datang dari luar"

Isi surat tersebut sudah tertera amat jelas, sama sekali tidak berkesempatan untuk dibantah, sebab itu terpaksa Cu Siau-hong harus mengerjakannya sesuai dengan perintah.

Betul juga ia berhasil menemukan kain kuning sepanjang sepuluh depa itu, ketika tubuh Ui Thong yang belum mati itu dibungkus rapat, kelihatan sekali kalau ia seperti sesosok mayat.

Apa yang ditulis dalam suratnya, memang sangat teliti, karena memang yang dijumpai sepanjang jalan persis seperti apa yang dilukiskan didalam suratnya, pada akhirnya ia berhasil menemukan juga gua tersebut beserta ruang batu didalam nya.

Ditengah ruangan, iapun berhasil menemukan hiolo raksasa seperti yang diterangkan, Hiolo itu terbuat dari batu apa, ketika Cu Siau-hong mencoba untuk merabanya, terasa batu itu licin dan mengkilat, membuat orang merasakan tubuhnya hangat dan nyaman, lagi pula batu tersebut seolah-olah mengeluarkan sejenis minyak.

Ditengah hiolo batu itu, masih terdapat pula asap tipis yang mengepul ke udara.

Entah benda apa yang terbakar didalam hiolo itu, yang jelas Cu Siau-hong segera mengendus bau harum yang semerbak.

Hiolo batu itu memiliki bentuk yang sangat aneh, semuanya terdiri dari dua tingkat, kalau pada tingkat atas datar dan halus, lagi pula terdapat sebuah selimut bulu yang sangat tebal, maka pada bagian bawahnya merupakan sebuah wadah yang mengeluarkan asap hijau yang tipis.

Cu Siau-hong segera memasukkan tubuh Ui Thong ke dalam hiolo batu itu, ternyata persis sekali sehingga Cuma kepalanya saja yang kelihatan dari luar.

Tampaknya hiolo batu itu memang secara khusus digunakan untuk menyembunyikan diri, karena tempat itu persis dengan perawakan tubuh Ui Thong

Setelah membaringkan tubuh Ui Thong. Cu Siau-hong baru mendongakkan kepalanya dan memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, akhirnya sinar mata itu berhenti di atas lentera dalam ruangan.

Lentera tersebut dipersiapkan secara teliti, permukaannya terbuat dari kaca dengan sebuah sumbu lampu yang muncul dari balik dinding batu, pada sekeliling kaca tadi terdapat pula beberapa puluh buah lubang hawa yang amat kecil, tidak di ketahui sumbu lampu tersebut terbuat dari apa? ternyata sama sekali tidak berkedip kedip sewaktu terhembus angin.

Sekalipun sinar yang dipancarkan dari lampu lentera itu tidak terlalu tajam, akan tetapi secara lamat-lamat dapat melihat jelas semua pemandangan dalam ruangan tersebut.

Sebenarnya tempat itu membawa suasana antik yang menyeramkan, tapi setelah ditambah dengan kehadiran Ui Thong dalam bungkusan kain kuning seperti orang mati dalam hiolo itu, maka suasananya segera terasa sama sekali berubah.

Setelah memperhatikan suasana dalam ruangan batu itu, Cu Siau-hong mulai mempertimbangkan diri atas kejadian itu, selama ini dia harus menunggu selama dua hari lagi sebelum  membuka  isi  kantong  yang  kedua,  atau  dengan perkataan lain selama ini dia harus berjaga terus didalam ruangan batu ini.

Setelah melalui suatu pemikiran yang seksama, akhirnya diputuskan untuk tetap tinggal di sana, sebab inilah kesempatan yang sangat baik baginya, selain  bisa menunggu disamping Ui Thong, diapun dapat mempergunakan waktu yang tersdia untuk melatih baik baik ilmu Ciat lip jiu tersebut.

Menanti ia merasakan bahwa ilmu Ciat lip jiu yang dipelajarinya berhasil mencapai suatu tingkatan yang memuaskan, pemuda itu baru berhenti berlatih.

Tapi begitu berhenti, perut yang laparpun mulai terasa melilit lilit sehingga sukar ditahan. Anak muda itu bangkit berdiri, kemudian berjalan keluar dengan langkah cepat.

Pemuda ini berwatak cukup tenang, diapun dapat mempertimbangkan berat entengnya suatu persoalan, maka ia tidak berharap untuk berjumpa dengan siapapun dalam keadaan seperti ini.

Tempat ini terlalu tenang, itulah kesempatan terbaik baginya untuk melatih diri, lagi pula diapun harus tetap tinggal di sini, karena itulah ia menginginkan ketenangan dan tak ingin diganggu siapa pun.

Ia harus tetap tinggal di sana, sehingga pada akhirnya bisa melihat hasil dari kejadian ini.

Sebab itu dengan sangat berhati-hati dia meninggalkan ruangan batu, keluar dari ruangan menyembunyikan diri dibalik kegelapan.

-oOo>d’w<oOo DENGAN ilmu yang dimilikinya sekarang, tidak terlampau sulit baginya untuk memburu seekor ayam alas, setelah mengumpulkan sedikit ranting, dengan sangat berhati hati pula ia kembali lagi ke dalam gua.

Persiapan yang dilakukan Ui Thong memang amat bagus, sebab sekalipun ia keluar dari gua itu, pintu gua tetap berada dalam keadaan tertutup rapat sehingga siapapun tidak akan menduga kalau di sana terdapat sebuah gua rahasia.

Selama berada di luar gua, Cu Siau-hong pun sempat menyaksikan gadis berbaju hijau itu sedang berlarian kesana kemari seperti sedang mencari sesuatu, tapi Cu Siau-hong tak ingin bertemu dengannya dalam keadaan demikian, maka ia segera menyembunyikan dirinya baik-baik.

Dengan sangat berhati hati Cu Siau-hong membuka kantong kedua itu dan membaca isi suratnya yang kira-kira berbunyi demikian:

"Apabila kau masih berjaga dalam ruangan batu ini, tolong bukalah dua buah lubang kecil yang bisa kau gerakkan di bagian bawah hiolo batu tersebut, asap harum akan semakin tebal menyelimuti ruangan ini, bantulah aku untuk lewatkan bencana ini, lohu pasti akan memberi dan imbalan yang tak terhingga untukmu. Tolong nantikanlah sampai saat dibukanya kantong ketiga"

Catatan dalam kertas yang kedua ini amat sederhana. tapi secara lamat-lamat memberi kisikan pula bahwa betapa pentingnya isi dari kantong yang ketiga.

Cu Siau-hong segera membungkukkan badan dan mulai mencari lubang yang dimaksudkan itu pada bagian bawah hiolo batu. Benar juga dari bawah hiolo batu itu Cu Siau-hong benar-benar menemukan dua buah pintu hidup yang bisa digerakkan, ketika pintu hawa itu dibuka maka segera ada asap harum yang lebih tebal lagi mengepul keluar dari balik hiolo itu dan memenuhi seluruh ruangan.

Dalam waktu singkat seluruh ruangan telah di liputi oleh bau harum semerbak itu.

Mungkin Ui Thong sudah mempersiapkan pula kekuatan dari peredaran hawa dalam ruangan batu itu, buktinya sekalipun asap wangi semakin tebal menyelimuti ruangan itu, akan tetapi Cu Siau-hong sama sekali tidak terasa sesak napas atau tak nyaman.

Memandang tubuh Ui Thong yang berbaring dalam hiolo batu itu, pelbagai kecurigaan mulai berkecamuk dalam benak Cu Siau-hong, ia mulai berpikir:

"Mengapa Ui Thong harus mempersiapkan cara menghindarkan diri seaneh ini?. Sebenarnya apa yang sedang ia hindari? Ataukah mungkin ia sedang berusaha untuk menyembuhkan suatu penyakit yang parah?"

"Bila batas kehidupan seseorang telah tiba dengan cara menghindar seperti ini, apakah ia dapat meloloskan diri dari suratan takdirnya ?"

Saking banyaknya masalah berkecamuk dalam benak anak muda itu, sehingga pada akhirnya menimbulkan pula banyak sekali luapan rasa ingin tahu dalam batinnya.

Sambil mengitari ruangan ia berjalan pulang pergi tiada hentinya, semua bagian dalam ruangan batu diperiksanya dengan seksama, kemudian ia dapat menarik kesimpulan bahwa lentera yang aneh itu jelas merupakan hasil karya seseorang. Atau dengan perkataan lain, ketika ada orang membuat gua ini, maka orang tersebut telah menimbun minyak tanah dalam jumlah sekian banyak, sehingga membuat lentera itu bisa bersinar terus dalam sekian waktu yang telah ditentukan.

Kini Cu Siau-hong telah menghampiri hiolo raksasa tersebut serta mulai melakukan pemeriksaannya. Yang paling mencurigakan hatinya adalah hiolo batu ini terbuat dari bahan apa?

Asap apa pula yang muncul dari dasar hiolo tersebut selama ini.?

Ui Thong sesungguhnya sedang menderita sakit karena usia tua? Ataukah ia secara sengaja menelan sejenis obat obatan yang membuat dirinya jatuh tak sadarkan diri?

Bila sampai terjadi gangguan dari luar, apakah hal ini akan sangat mempengaruhi keadaan Ui Thong?

Ketika teringat akan gangguan yang datang dari luar, tiba-tiba Cu Siau-hong seperti mendengar suara langkah manusia yang berkumandang makin dekat.

Tak terlukiskan rasa kagetnya setelah mendengar suara aneh itu, cepat-cepat ia memutar badannya. Tampak olehnya seorang kakek berbaju serba hitam telah berdiri angker di depan pintu.

Perawakan kakek itu tidak terhitung sangat tinggi, sekilas pandangan malah seperti bentuk tubuh Ui Thong, hanya saja orang ini jauh lebih gemuk dari pada Ui Thong yang ceking.

Cu Siau bong segera menarik papas panjang, kemudian tegurnya: "Siapa kau? bagaimana caramu masuk kemari?" "Lohu juga hendak bertanya kepadamu, bagaimana caranya kau bisa sampai di sini?" kakek berjubah hitam itu balas menegur dengan suara yang dingin menyeramkan.

Pertanyaan tersebut segera membuat Cu Siau-hong menjadi tertegun, sesaat kemudian ia baru menjawa b:

"Aku mengetahui caranya untuk membuka pintu gua, tentu saja aku bisa masuk secara mudah"

"Siapa yang mengajarkan cara, membuka gua ini kepadamu?" seraya berkata kakek berbaju hitam itu mengalihkan sinar matanya ke arah Dewa pincang Ui Thong.

Dengan cepat Cu Siau-hong mendapat firasat bahwa duduknya persoalan tak akan sesederhana itu, maka buru buru sahutnya:

"Soal ini lebih baik kau tak usah tahu!".

Tiba-tiba kakek berbaju hitam itu mendongakkan kepalanya lalu tertawa terbahak-bahak.

Menggunakan kesempatan ini Cu Siau-hong menenangkan kembali hatinya yang bergolak, setelah menarik napas panjang, pelan-pelan ia menegur kembali:

"Apa yang kau tertawakan?"

Mendadak kakek berbaju hijau itu menghentikan tertawanya, kemudian menjawab:

"Tempat ini sebenarnya tempat tinggalku, sudah tiga tahun aku pergi dari sini, sungguh tak disangka tempatku ini telah ditempati orang lain, bahkan malahan menegur diriku.. haaahhh haaahh haaahh, lucu benar ceritanya!"

Cu Siau-hong yang mendengar perkataan itu, diam-diam berpikir lagi dalam hatinya: "Walaupun Ui Thong sudah cukup lama menetap di sini, tapi dengan sepasang kakinya yang lumpuh dan tak bisa berjalan sendiri tak mungkin ia bisa membangun gua batu ini dengan kekuatannya sendiri, kecuali ada orang lain yang telah membantunya. Jangan-jangan gua ini memang benar benar milik kakek berbaju hitam ini? Aaaai ! Sudah tiga tahun lamanya ia meninggalkan tempat ini, kenapa justru pada saat ini dia baru kembali kemari? Aai tiga tahun kalau dibandingkan dengan sepuluh hari selisihnya toh sangat banyak, tapi yang aneh kenapa dalam tiga tahun yang panjang ia tak pernah kembali, sebaliknya dalam sepuluh hari yang singkat dikala Ui Thong meminjam ruang batunya ini ia telah kembali ke sini? Apakah ini yang dimaksudkan oleh Dewa pinceng Ui Thong sebagai batas kehidupan yang sukar dilewatkan?"

Bila inilah yang dinamakan batas kehidupan. maka Cu Siau-honglah yang memegang kesempatan hidup baginya, kekuatan aneh yang bisa melanjutkan kehidupan seseorang tampaknya telah memasuki tubuh Cu Siau-hong pada hari ini.

Sedemikian terpesonanya pemuda tersebut membayangkan kejadian yang sedang dihadapi, sehingga untuk sesaat lamanya ia lupa untuk menjawab pertanyaan dari kakek berbaju hitam itu.

Pelan-pelan kakek berbaju hitam itu menarik napas panjang, kemudian tegurnya kembali: "Bocah muda, apa yang sedang kau pikirkan?"

"Aku sedang memikirkan perkataan dari locianpwe!" "Kau tidak percaya dengan perkataan lohu?" "Locianpwe, coba kau perhatikan baik-baik orang yang

duduk dalam hiolo batu itu, kenalkah kau dengan dirinya?" Kakek berbaju hitam itu berpaling dan memperhatikan Ui Thong sekejap, kemudian sahutnya.

"Aku rasa rasanya memang pernah berjumpa dengan orang ini, cuma aku agak lupa-lupa ingat”.

"Locianpwe, masih ingatkah kau pernah menjumpainya dimana?" tanya Cu Siau-hong.

"Agaknya hanya disekitar sini saja "

Tiba-tiba paras mukanya berubah hebat, dengan dingin lanjutnya:

"Tutup mulut! Kau si bocah muda berani benar berbicara dengan lohu menggunakan nada pembicaraan demikian, sebenarnya apa maksud mu?"

Cu Siau-hong segera tertawa.

"Boanpwe hanya ingin membuktikan satu persoalan saja" jawabnya.

"Persoalan apa?"

"Siapakah pemilik gua batu ini?"

"Apa yang musti dibingungkan lagi, sudah barang tentu lohulah pemiliknya!" kata kakek berjubah hitam dengan cepat.

"Dan hiolo batu itu?"

"Tentu saja lohu pula pemiliknya!"

Ia mengalihkan sinar matanya memandang sekejap ke arah lentera tersebut, kemudian melanjutkan. "Lentera Tiang-beng-teng itupun milik lohu!"

"Dari bawah hiolo itu tiada hentinya mengeluarkan asap tebal, apa pula artinya?"

"Soal ini juga bukan lohu yang mengatur" "Locianpwe, apakah hiolo batu ini berharga sekali?" Kakek berjubah hitam itu manggut-manggut.

"Seandainya bukan disebabkan hiolo batu itu, lohu juga tak akan kembali ke sini." Setelah berhenti sebentar, dia melanjutkan:

"Lohu bersedia memberikan gua ini kepada kalian, tapi hiolo batu itu akan segera lohu bawa pergi, boponglah sahabatmu itu turun dari sana "

Cu Siau-hong berpaling dan memandang sekejap ke arah Dewa pinceng Ui Thong, kemudian pikirnya.

"Oooh, tampaknya bencana besar ini sulit dihindari!"

Terdengar kakek berbaju hitam itu berkata lagi dengan dingin.

"Soal didudukinya sarangku ini, lohu tak akan menyalahkan kalian, tapi hiolo batu itu merupakan benda yang kudapatkan dengan bersusah payah, sekarang juga lohu akan mengangkutnya pergi!"

"Locianpwe melihatkah kau kalau dalam hiolo batu itu sedang berbaring seseorang"

"Lohu telah melihatnya, itulah sebabnya kupersilahkan kepadamu untuk membopong nya keluar"

"Dia sedang menderita sakit parah!" kata Cu Siau-hong. "Lohu tahu, jika ia tidak menderita sakit, dia tak akan

duduk didalam hiolo batu itu"

"Locianpwe, kalau kau sudah tahu bahwa ia sedang sakit, kenapa kau masih menyuruhku untuk membopongnya keluar dari sana?"

"Sebab, sekarang lohupun hendak menggunakan hiolo batu itu" jawab kakek itu. "Kenapa?"

"Sebab sekarang lohupun hendak menolong  orang, bocah cilik, kau tahu, menolong orang bagaikan menolong kebakaran, sebentar saja tak dapat di tunggu lagi"

Cu Siau-hong segera mengerutkan dahinya:

"Soal ini apakah kau sudah menghitung hutang ini" katanya kemudian.

"Menghitung hutang apa?"

Cu Siau-hong berpikir dalam hati.

"Agaknya ramalan perbintangan memang tak bisa tidak harus dipercayai juga"

Berpikir demikian, ia lantas menjawab:

"Jika ia meninggalkan hiolo batu itu, kemungkinan besar dia akan segera mati?"

"Jika lohu tidak membawa pergi hiolo batu ini, sahabatku pun, kemungkinan besar akan mati!."

"Kedua-duanya sama-sama memiliki selembar nyawa!"

"Tapi salah seorang diantaranya justru adalah sahabatku" "Locianpwe, sebaliknya salah satu diantaranya justru

adalah sahabatku pula!" sambung Cu Siau-hong.

"Aku benar-benar merasa agak tak habis mengerti, bocah cilik, hiolo batu ini lebih penting untuk menolong sahabatmu? Ataukah lebih penting menolong sahabatku?"

Cu Siau-hong kembali berpikir:

"Entah sampai dimanakah berharganya hiolo batu ini, masa betul-betul dapat dipakai untuk menolong orang ?" Tentu saja ia merasa kurang leluasa untuk mengajukan pertanyaan tersebut pada saat ini, terpaksa sambil keraskan kepala ia berkata:

"Tak kusangka kalau dalam dunia ini masih terdapat kejadian yang begini kebetulannya, selama tiga tahun locianpwe tak pernah pulang kemari, justru disaat sahabatku membutuhkan hiolo batu itu, kau telah pulang kembali ke sini"

Tiba-tiba kakak berbaju hijau itu maju ke depan sambil berjalan katanya:

"Bocah cilik, kau musti ingat, hiolo batu ini milikku, aku hendak membawanya pergi, jika kau enggan membopong sahabatmu itu keluar dari sana, terpaksa lohu harus turun tangan sendiri"

"Harap tunggu sebentar!" teriak Cu Siau-hong cepat, dengan cekatan ia melompat ke depan dan menghadang jalan pergi kakek berbaju hitam itu.

"Kenapa?" seru si kakek berbaju hitam itu dengan dingin, “kau hendak mengajak aku bertarung?"

"Sahabatku masih membutuhkan hiolo batu ini selama tiga hari lagi, aku harap tiga hari kemudian... "

Dengan cepat kakek berbaju hitam itu gelengkan kepalanya berulang kali, tukasnya:

"Tiga hari? Seharipun tak bisa!"

"Tapi, locianpwe kau jangan lupa! Diapun memiliki selembar nyawa, jika kau membopong keluar dari hiolo itu, maka dia akan mati, jika ia sampai mati, maka kaulah pembunuhnya!"

Kakek berbaju hitam itu menjadi naik pitam serunya: "Paling banter lohu hanya akan dituduh melihat orang sakit parah tak mau menolong, mana boleh kau mengatakan diriku sebagai seorang pembunuh ?"

Mendengar perkataan itu, diam-diam Cu Siau-hong merasa geli, pikirnya dihati:

"Tampaknya kakek ini memang seorang yang tahu cengli. " Maka sambil mendehem pelan, katanya:

"Locianpwe, sekalipun hiolo batu ini betul-betul milikmu, tapi dia toh sudah duduk dalam hiolo batu itu lebih dahulu? Jika kau membopongnya keluar dari sana, bukankah sama pula artinya bahwa kau telah membunuhnya? Jika kau memang membunuhnya, apakah kau tak pantas disebut sebagai pembunuh?"

Kakek berbaju hitam itupun segera mengerutkan dahinya rapat-rapat.

"Bocah cilik, perkataanmu itu bukannya tak masuk diakal, akan tetapi secara kebetulan lohupun mempunyai keperluan yang mendesak, sekalipun kau menuduh aku sebagai pembunuh, tapi aku toh berbuat demikian demi menolong orang, menolong selembar nyawa, mencelakai selembar nyawa, diantara dua hal ini, lohukan masih mempunyai hak untuk menjatuhkan pilihanku"

"Locianpwe, aku lihat keputusan itu agak kurang baik" kata Cu Siau-hong tiba-tiba.

"Bagaimana tidak baiknya?"

"Kau menggunakan hiolo batu ini untuk menolong orang, belum tentu yang kau tolong akan hidup, tapi jika kau membopongnya keluar dari situ, maka ia sudah dapat dipastikan akan mati" "Kau tahu asal usul dari hiolo batu ini?" tanya kakek itu.

Cu Siau-hong segera berpikir:

"Jika aku mengaku terus terang dia pasti akan melontarkan pertanyaan yang lebih banyak lagi kepadaku, lebih baik aku membohongi dirinya saja, daripada mencari kesulitan buat diri sendiri. "

Berpikir demikian, ia lantas mengangguk. "Yaa, aku tahu!"

Kakek berbaju hitam itu manggut-manggut.

"Tak heran kalau kau bersikap demikian" ujarnya, "Yaa, tak bisa disalahkan kalau kau ngotot mempertahankan diri terus, akulah yang terlampau gegabah dengan meletakkan benda yang begitu berharganya secara sembarangan, aii....

Lohulah yang bersalah"

"Paling banter hiolo batu ini tiga sampai lima hari lagi, kenapa kau orang tua tidak mengabulkan saja permintaan kami ini?" kata Cu Siau-hong.

"Penyakit yang diderita kakek dalam hiolo batu itu?". "Suatu penyakit yang sangat parah, nyawanya sudah

berada di ujung tanduk, napasnya sangat lemah oleh karena itu sangat membutuhkan bantuan dari hiolo batu itu"

"Caramu berbicara lemah lembut kau sopan santun, sungguh membuat lohu merasa serba salah, apakah dia adalah gurumu?"

Cu Siau-hong kembali berpikir.

"Bagaimanapun juga lebih baik kuakui saja!" Maka diapun mengangguk.

"Seandainya aku memaksa untuk membopongnya keluar dari tempat itu, apakah kau hendak menghalangi niatku ini dengan ilmu silat yang kau miliki ?" "Benar!"

"Bocah cilik, ada satu hal apakah sudah kau pikirkan?" "Persoalan apa?"

"Kau bukan tandinganku!"

Cu Siau-hong memang belum sampai, berpikir ke situ, maka ia lantas tertawa sesudah mendengar perkataan itu.

"Soal ini, memang belum sampai boanpwe pikirkan, cuma aku lihat locianpwe juga seorang pendekar yang berhati bajik dan penuh welas kasih, aku rasa kau tak akin menghilangkan nyawa seseorang dengan cara yang demikian bijaksana!"

"Lohu benar-benar merasa serba salah, Aai, Begini saja, lohu memberi waktu sampai tengah hari besok"

"Tidak bisa! Locianpwe, jika kau ingin mengabulkan permintaan kami, maka kau harus memberi waktu selama lima hari kepada kami. "

"Jika aku tak bisa mengabulkan permintaanmu itu!" tukas kakek berbaju hitam itu segera.

"Jika tidak setuju, terpaksa boanpwe harus melindunginya dengan sepenuh tenaga."

Walaupun ia dipaksa oleh keadaan untuk mengakui Ui Thong sebagai gurunya tapi ia masih merasa agak enggan untuk menyebut dirinya sebagai suhu.

Kakek berbaju hitam itu termenung dan berpikir sebentar, setelah itu katanya:

"Bocah cilik, aku tak mungkin bisa meminjamkan hiolo ini lima hari lagi untuk kalian, paling banter lohu hanya bisa    meminjamkan    tiga    hari    lagi,    kecuali    kau bisa menghalangi niat lohu untuk memindahkan hiolo batu itu dari sini"

"Jika boanpwe bukan tandingan cianpwe dan hiolo itu kau bawa pergi, hal ini berarti akan mengorbankan selembar jiwanya, tapi jika boanpwe yang beruntung dan bisa menang, apa pula yang hendak locianpwe lakukan."

"Jika kau yang menang, hal ini adalah suatu kejadian yang apa boleh buat" tukas si kakek, “berarti pula nyawa sahabatku itu memang sudah ditakdirkan habis sampai di situ, apa lagi yang bisa kulakukan?"

"Aai,....! Locianpwe, sekalipun kita harus bertarung agaknya juga tak usah dilakukan pada hari ini"

"Tidak bisa, sekarang juga harus kita lakukan, jika aku tak sanggup mengalahkan dirimu, kau boleh menggunakan hiolo itu sekehendak hatimu, mau delapan hari sepuluh hari terserah.

"Sebaliknya jika kau bukan tandinganku, masih ada semalam setengah hari bagimu untuk mencari akal lain guna mengatur diri gurumu itu."

"Baiklah! Jika locianpwe bersikeras ingin turun tangan. boanpwe akan melayani kehendakmu itu"

Tiba-tiba selintas rasa gembira menghiasi wajah kakek berbaju hitam itu dengan wajah berseri dia berkata:

"Bocah cilik, kau betul-betul berani bertarung melawanku?"

"Sebetulnya boanpwe enggan untuk turun tangan, tapi locianpwe mendesak terus menerus, terpaksa boanpwe pun harus mengikuti kehendakmu itu "
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar