Pedang dan Golok yang Menggetarkan Jilid 03

JILID 3

Gubuk itu diterangkan oleh sebuah obor minyak cemara yang ditancap di suatu pojok. Di luar gubuk. gelap di mana mana. Sang malam telah tiba.

Dengan perlahan anak ini bangkit, turun dari bale bale. Ia menghampiri tuan rumahnya.

orang tua itu meneguk araknya.

"Kau mau minum arak, nak?" tanyanya.

"Aku tidak menghendaki arak. loopee. Aku hanya haus sekali." "Untuk air, di belakang rumahku ini ada tiga buah sumur,"

berkata si orang tua, "cuma air sumur-sumur itu berbeda satu dari lain..." Berkata begitu, mendadak air mukanya si tua berubah. Ia terus menatap bocah di hadapannya itu.

"Nak, aku harap kau dapat memilih jalan keselamatan?" ujarnya kemudian-Siauw pek heran. Dia tak mengerti.

"Loopee, apakah itu jalan keselamatan?" ia tanya. "Aku kurang mengerti..."

"Ah, tak dapat kau dipersalahkan, nak Yang bersalah adalah aku, yang bicara tidak jelas Mari aku terangkan padamu: Di belakang gubukku ini ada tiga buah sumur kecil. sumur yang di tengah airnya biasa, tidak ada bahayanya, itulah jalan keselamatan" Siauw Pek menjadi heran sekali.

"Apakah airnya kedua sumur yang lain itu beda dari air biasa?" ia tanya pula.

Wajah orang itu tampak masgul.

"Tidak salah," sahutnya. "Air kedua sumur itu bukan air biasa. Sumur yang satu beracun siapa yang minum airnya, selama sehirupan air teh, dia akan keracunan, tubuhnya  akan mengeluarkan darah dan mati"

"Apakah sumur yang ketiga itu beracun jugakah?" Si orang tua berdiam sekian lama, agaknya dia sedang berpikir.

"Tidak." sahutnya kemudian "Itu bukan air biasa, dan juga bukan racun Itulah yang dinamakan cio Jie yang amat sukar didapatkan Siapa yang meminumnya, tubuhnya akan memperoleh kebaikan besar sekali. Ah nak, baiklah kau minum yang di tengah itu, dengan begitu kau dapat menemani aku tinggal di dalam lembah ini untuk dengan tenang melewati hari hari kita yang mendatang..." Siauw Pek menggoyang kepala.

"Tidak," sahutnya tetap. "Aku hendak keluar dari tempat ini. "Ayah bundaku menyuruh aku melintasi Seng Su Kio, aku telah melakukannya aku tidaklah menyia nyiakan harapan mereka. sekarang tidak dapat aku melupakan dendam kesumat dari ayah bundaku ini. Bahkan kedua kakakku juga telah turut dibinasakannya. Maka sekarang ini, baik kaum Pek Ho Bun, ataupun keluarga coh, akulah ahli waris tunggalnya. Selama aku hidup, aku akan mencari sebab musabab dari kebinasaan ayah bunda dan kakakku itu, aku hendak membalas sakit hati mereka"

orang tua itu mengusut usut janggutnya.

"Lembah Bu Yu Kok ini telah putus hubungannya dengan dunia luar." katanya kemudian,

sabar. "Disini sudah tidak ada soal sakit hati dan permusuhan, soal budi dan penasaran Nak. andaikata ayah bundamu tidak terbinasakan musuh musuhnya, mereka toh tak akan hidup selama lamanya. Ha ha ha Hidupnya manusia seratus tahun, itulah impian belaka. Buat apa kau hendak menuntut balas?"

Siauw Pek menatap orang tua itu, sinar matanya itu mengandung kemurkaan hebat, akan tetapi ia tetap bungkam.

Si orang tua meneguk kering isi cawannya, lalu mengisi lagi. "Mau apakah kau menatapku begitu rupa?" tanyanya, tertawa.

"Ha ha Matamu itu mengeluarkan sinar berkilauan bengis Rupa rupanya kau merasa tidak puas terhadapku, bukan?"

"Aku memikirkan beberapa kata kata," jawab Siauw Pek, "hanya jikalau aku keluarkan, aku khawatir kau tersinggung, loopee..." Kembali si orang tua tertawa.

"Sudah beberapa puluh tahun, kau tahu aku si orang tua ingin sekali menerima cacian" ujarnya. "Aku senantiasa mengharap cacian itu tapi belum terkabul keinginanku. Tidak apa, teruskan bicara"

"Sekarang ini berapa usia loopee?"

Itulah pertanyaan di luar sangka si orang tua. Ia meneguk araknya, kemudian tertawa. "Nak. kau tanya usiaku?" ia menegaskan.

"Benar. Mungkin usia loopee sekitar enam atau tujuh puluh tahun-.." Si orang tua terbahak bahak. "Tak dapat kau menerka tepat, anak Nah, sekarang berikan dahulu berapa usiamu?"

"sekarang usiaku lima belas tahun."

"Bagus Bagus" si orang tua tertawa lagi. "Jikalau nanti kau hidup lagi tujuh puluh tahun barulah menyamaiku"

"Tujuh puluh lima tahun? Tujuh puluh lima tahun tambah lima belas oh, jadi usia loopee sudah sembilan puluh tahun?"

"Benar"

Lagi lagi si tua ini tertawa gembira.

"Jikalau aku tidak keluar dari lembah ini," ia menambahkan, "kalau aku hidup lagi sembilan puluh, itupun tak aneh"

"Kaulah Siu Pie Lam San, loopee" memuji siauw Pek "sungguh, kau sehat kuat seumpama batu gunung"

Memang pantas pujian bocah ini, "Siu Pie Lam san Usia tinggi sebagai Gunung Selatan. Hanya sedetik, paras si orang tua berubah. setelah itu dia tertawa terbahak bahak. "Bagus betul, ya Benarkah kau caci aku si orang tua sebagai batu gunung yang bandel?"

"Bukan begitu maksudku, loopee. Aku memuji usia panjang dan kesehatanmu"

"Kau manis sekali, Nak Aku lihat, kau ini nantinya pasti pandai mencaci orang, banyak banyak warna warni cacianmu itu Aku ingin mendengarnya" Sementara itu Siauw Pek sangat dahaga, mulutnya terasa kering. Dua kali batuk batuk.

"Baik aku minum dahulu," katanya. "Aku perlu membasahkan kerongkonganku. Sebentar kita baru bicara lagi..."

Berkata begitu, anak ini lantas bertindak keluar. "Tunggu" seru si orang tua. Matanya Siauw Pek itu bagaikan berkunang kunang. Ia melihat satu bayangan orang muncul di depan matanya. Ternyata si orang tua sudah menghadang di depannya. Dia masih menggenggam cawan araknya. Tapi orang tua ini tertawa manis.

"Eh, anak kecil." sapanya. "Bagaimana jikalau kau kesalahan minum air beracun hingga kau menerima ajalmu? Dan, ada siapakah lagi yang bakal mengumpat caci padaku, si orang tua? AKu lihat, paling benar kau minum arak dulu barang secawan, untuk membasahi ronggamu itu. Arak dapat membangunkan semangatmu membuat kau bernyali besar, supaya kau dapat memaki maki aku sampai puas"

Ramah orang tua ini, sedikit juga tak ada tandanya bahwa ia bergusar. Siauw Pek menyambut cawan arak itu, dan diteguk isinya.

Arak itu keras sifatnya. Begitu si bocah meminumnya, mukanya menjadi merah, dan dadanya terasa panas.

"Nah, bagaimana, anak?" tanya si orang tua. "Bagaimanakah rasanya arak buatanku sendiri ini?"

"Arak ini baik sekali," sahut orang yang ditanya. "Untuk loopee, inilah minuman yang tepat. Hanya saja, arak dapat menggagaikan cocok kalau loopee mempunyai kawan minuman ini, karena disini loopee tinggal sendirian tanpa kawan kecuali pepohonan." orang tua itu mengangguk-angguk.

"Bagus, bagus katamu" katanya. "Senang aku mendengarnya, aku ketagihan"

"Rupanya, loopee, dalam usia sembilan puluh sekarang, masih ingin hidup sembilan puluh tahun lagi, menjadi seratus delapan puluh tahun Umur itu adalah umur manusia yang tertinggi"

orang tua itu mengangguk. ia tertawa. "Jikalau aku memahamkan pula ilmu memelihara diri," katanya. "tak sulit bagiku untuk hidup sampai dua ratus tahun"

Arak telah mempengaruhi Siauw Pek. dia menjadi semakin berani. "Bagaimana sesudah dua ratus tahun nanti? Bukankah si gunung hijau tetap masih ada dan si air mengalir tetap mengalir turun? Bagaimana dengan tubuh loopee? Itu waktu tulang belulang loopee akan jadi musnah seperti bunga dan rumput, meresap masuk kedalam tanah di lembah Bu Yu Kok ini..."

orang tua itu menghela napas panjang. Nampaknya ia masgul. "Kau benar," katanya. "Taruh kata aku hidup dua ratus tahun,

aku  tetap  bakal  menutup  mata  juga,  sama  dengan  rumput dan

pepohonan di dalam lembah ini. cuma kalau bunga rontok maka dimusim semi lain tahun, dia akan tumbuh dan mekar pula, tertiup angin sejuk. dan rumput-rumput dengan datangnya musim semi, lantas muncul lagi daun-daun mudanya Bagaimana kalau aku mati?"

"Tetapi, loopee Jangan kata kau dapat hidup sampai dua ratus tahun, taruh kata kau makan usia lima ratus tahun, jika lalu itu dibandingkan dengan usiamu sembilan puluh tahun, ada apakah bedanya?"

Hati si tua goncang. Hebat kata-kata anak muda ini. Bagaikan sudah sinting. dia melepaskan cawan arak ditangannya. Maka jatuhlah cawan itu hingga hancur berpecahan ditanah

Siauw Pek terkejut, baru ia insaf bahwa ia telah bicara sembarangan sekali. Ia seorang muda, bagaimana ia dapat berbicara demikian rupa terhadap seorang orang tua? Ia menjadi jengah, ia malu sendirinya.

"Kau gusar, loopee ?" tanyanya. "Maafkan aku yang muda, yang belum mengerti apa-apa..."

orang tua itu menggelengkan kepala.

"Bocah, kau tidak bersalah," ujarnya. Ia menghela napas "Benar apa yang kau katakan. Aku tinggal di lembah Bu Yu Kok ini, jembatan Seng Su Kio telah memutuskan hubunganku dengan dunia luar. Segala pri-kebenaran dan kesalahan, budi dan pehasan, juga cinta kasih dan kebencian, telah meninggalkan aku jauh sekali. Ah Sebetulnya, segala apa didalam dunia, semua itu sama bagiku. Kalau toh ada bedanya, aku tidak mendengar, aku tidak melihatnya. hingga hatiku menjadi kosong. Apakah artinya hidupku ini?"

Berkata begitu, si orang tua bangun berdiri. berjalan dengan perlahan-lahan la jalan berputar.

Siauw Pek mengawasi orang tua itu, ia merasa wajahnya mendadak menjadi jauh terlebih tua. Tindakannya menjadi sangat ayal, bagaikan tak sanggup membawa tubuhnya...

"Ah, kasihan dia..." katanya dalam hati Tiba-tiba ia menjadi berkesan baik sekali. Tak ayal lagi, ia lari menghampiri si orang tua, Ia memegang lengan kirinya. Orang tua itu berpaling. Dengan perlahan dan sabar, dia tersenyum.

"Anak. sekarang ini barulah aku benar benar merasa bahwa aku telah menjadi tua," katanya. "Ah, ini dia yang dibilang, gelombang Sungai Tiang Kang yang belakang menolak gelombang yang didepan, atau orang yang muda jauh menang daripada orang tua

.Jikalau aku nanti menutup mata, aku tidak akan menyesal sebab sekarang aku telah menemui orang gagah yang lebih muda setingkat daripada aku..."

"Loopee, kau terlalu memuji. Aku adalah seorang anak yang tidak beruntung, sebab rumah tanggaku ludas, aku telah menjadi piatu, sekarang aku terlunta-lunta tanpa juntrungan dan harapan, hatiku penuh dengan penasaran dan kebakian. Mana bisa aku bilang seorang gagah?"

"Anak. kau benar, tetapi aku benar juga. Kau memiliki perasaan seorang gagah, kaupun berperangai halus bagaikan seorang wanita. Dunia yang remang-remang ini, Rimba Persilatan yang guram, justru membutuhkan seorang semacam kau. Dengan sebatang pedang, kau harus membabat habis segala kejahatan dikalangan manusia, kau harus menyulut sebuah lentera penerangan untuk kaum Rimba persilatan" Siauw Pek bingung.

"Tetapi, loopee," katanya. "aku hanyalah seorang yang ilmu silatnya sangat bersahaja..." Orang tua itu tertawa. "Itu tak apa. Jikalau pelajaran surat belum sempuna, itu dapat ditambah dengan membaca lebih banyak, jikalau ilmu silat tak cukup liehai untuk membasmi kejahatan, itu juga dapat diperbaiki dengan memohon bantuan petunjuknya guru yang pandai. Didalam segala hal orang dapat belajar dengan tekun"

"Dimanakah ada guru yang pandai, loopee? Buatku, tidak ada pintu untuk mencarinya." orang tua itu mencari kursi bambu, di situ ia menjatuhkan diri terduduk. "Anak. tahukah kau, siapa aku si tua ini?" tanyanya sambil mengawasi. Siauw Pek menggelengkan kepala.

"Maaf, loopee. aku masih sangat muda sekali, aku belum kenal loopee..."

Tiba-tiba alisnya si orang tua terbangun, tiba-tiba juga lenyap kemasgulan pada wajahnya. Dia tertawa riang.

"Bukankah ayahmu menjadi ketua dari Pek Ho Bun?" "Benar..."

"Samar-samar aku ingat, ketua Pek Ho Bun bukannya orang she Tjoh..."

"Loopee benar, Ayahku menerima warisan Pek Ho Bun dari ayah mertuanya, dari kakek luarku."

"Benarlah kalau begitu"

Sejenak si orang tua diam, lalu ia menatap si bocah.

" Katakanlah padaku, kenapa kau pertaruhkan jiwa mu menyeberangi Seng su Kio?"

"Sebenarnya kurang jelas bagiku. Ayah belum pernah menjelaskan sama sekali. Ayah cuma menyuruh aku pergi menyeberang, lain tidak. Tapi menurut pendapatku, seluruh keluargaku dikepung kepung musuh, dunia yang begini luas menjadi sempit, sampai tak ada tempat dimana kami dapat menaruh kaki. karenanya jikalau aku tidak menempuh bahaya jalan dengan melintasi Seng Su Kio, pasti musuh akan tetap mengejar terus terusan-"

orang itu tertawa pula.

"Selain dari itu?" tanyanya pula.

"selain dari itu, aku tidak tahu apa-apa lagi."

Orang tua itu mengangkat tangannya, ia mengusap kepala si bocah. Lagi-lagi dia tertawa.

"Sebenarnya," katanya selang sesaat. "selain kau harus menyingkir dari musuh-musuhmu, supaya kau mengadu untung" Siauw Pek heran hingga dia melengak.

"Untuk aku mengadu untung?" dia menegas.

"Tidak salah" orang tua itu memastikan "Supaya kau adu untungmu, anak." si anak tetap menatap.

"Anak yang baik, sejak ribuan tahun yang lalu, jembatan maut ini memang sudah ada." berkata pula si orang tua kemudian, "cuma dulu dulu itu, namanya tidak dikenal, tidak ada yang menyebutnya Tak sudi aku si orang tua merampas jasa. Jembatan ini menjadi tersohor disebabkan oleh karena aku bersama seorang sahabat kekalku telah menyeberanginya. Hingga sekarang Seng Su Kio menjadi sangat termashur" Siauw Pek benar-benar tidak mengerti.

"Aku kurang paham, loopee," katanya. Orang tua itu menghela nafas perlahan-Siauw Pek mengawasi terus, ingin memperoleh penjelasan-

"Pada mulanya, entah siapa yang telah menemukan jembatan maut ini," berkata orang tua itu. "Katanya ditemukannya pada ratusan tahun yang lalu. Semulanya jembatan ini dinamakan Su Kio"

"Jembatan Kematian-. Maksudnya ialah: siapa yang melintasi jembatan, pasti dia tak usah memikir hidup lagi..."

"Oh begitu" kata Siauw Pek, kagum berbareng heran. "Jembatan itu memang luar biasa sekali," si orang tua berkata pula. "Pertama-tama dia melintang di atas sebuah jurang, yang selokannya dalam sekali dan airnya deras hingga merupakan pusar air. Sudah begitu disitupun ada terdapat angin keras, angin yang berubah menjadi angin puyuh yang tenaganya sangat kuat.

Yang lebih mengherankan ialah kabutnya, atau uapnya, yang hitam, yang menyelubungi hampir seluruh jembatan Itulah sebabnya kenapa sukar untuk orang melintasi jembatan ini walaupun dia seorang ahli silat yang lihay. Sudah ada banyak orang kosen yang mengorbankan jiwanya di sini, sebab mereka diserbu angin puyuh dan tergelincir kedalam jurang. Begitulah, jembatan itu dipanggil Su Kio, jembatan kematian-"

"Tetapi, loopee, kenapa dan selanjutnya dia disebut Seng Su Kio

-jembatan Hidup Mati?"

Ditanya begitu, si orang tua memperlihatkan wajah gembira, alisnya sampai terbangun. "Itu ada hubungannya dengan aku si tua."

"Ada hubungannya dengan loopee?" "Betul"

Orang tua itu tertawa.

Siauw Pek menatap pula. Dia ingin mendapat keterangan-

"Itu adalah peristiwa beberapa puluh tahun yang lampau," berkata si orang tua bercerita. "Sesudah jembatan ini makan banyak korban orang orang gagah, entah siapa biang keladinya, lantas muncul ceritera burung bahwa di jembatan ini ada tersimpan batu batu permata mulia yang tak terhitung jumlahnya, bahwa di sini terdapat juga warisan seorang jago silat almarhum yang kesohor sekali. Ketika itu orang menerka, cerita burung itu bukanlah ceritera belaka atau lelucon, bahwa sebenarnya di dalamnya ada terkandung suatu rencana busuk."

"Rencana busuk?" "Ya Pikir saja Jembatan Kematian ini tak pernah diseberangi orang, andaikata benar di situ ada harta besar, siapakah yang tahu? Tidak ada orang, bukan?"

"Loopee benar."

Orang tua itu memainkan janggutnya yang panjang. Dia tertawa pula.

"Yang lucu ialah ceritera burung itu telah menggemparkan dunia Sungai Telaga, karena orang lantas buat sebutan, terutama dalam kalangan Rimba Persilatan Itu pula yang menyebabkan rubuhnya banyak korban yang menjadi roh roh penasaran Lucunya, kau tahu, aku si tuapun tertarik hatiku, hingga aku memikir buat mencoba pergi melintasi jembatan itu..."

"Jadinya loopee hendak mencari harta karun itu?"

"Bukan begitu. Aku hanya tertarik dengan warisan sijago silat. Sayang kalau warisan itu terus terpendam di sini. Karena rasa sayangku itu, aku memikir buat mencoba-coba."

Kali ini si orang tua menarik nafas dalam-dalam, matanya mendelung ke suatu arah. Dia seperti sedang memikir jauh, ke waktu bertahun tahun yang lampau. Sekian lama, baru ia berbicara dengan perlahan-

"Kabar bahwa aku hendak mencoba menyeberangi jembatan sudah lantas tersiar diantara dunia Sungai Telaga, karenanya lantas datang banyak jago-jago Rimba Persilatan yang hendak menyaksikan Itu hari adalah di waktu tengah hari. Banyak jago silat yang menonton Semua mata ditunjukkan kepadaku, sinarnya heran dan kagum. Sampai saat ini tak tahu aku, mereka itu sebenarnya kagum atau terharu..."

"Mestinya mereka kagum berbareng terharu. Bukankah loopee hendak menjadi pembuka jalan? Percobaan loopee itu mengenai keselamatannya kaum Rimba Persilatan dibelakang hari."

orang tua itu tertawa pula. Agaknya dia gembira sekali. "Kau tahu, apa yang telah terjadi," tanyanya "Di saat aku hendak mulai menginjakkan kaki di atas jembatan, sekonyong konyong antara para penonton muncul satu orang, yang terus menyatakan bahwa dia suka menemaniku, menyeberang..."

Siauw Pek heran. Dia lantas menanya: "Apakah orang itu berhasil melintasi Seng Su Kio?"

"Ya, dia berhasil menyeberang Bersama sama aku, dia tak kurang suatu apa, maka bersama sama aku juga, dia seterusnya berdiam di dalam lembah Bu Yu Kok ini"

"Oh, jadinya di sini loopee bukan tinggal seorang diri saja" seru Siauw Pek. "Dengan adanya jago itu sebagai teman, loopee, kau tak usah kesepian-.."

"Akan tetapi, anak kita berdua sangat jarang berkunjung satu sama lain," si orang tua memberitahukan "Ketika itu hari kami melintasi jembatan, kami beruntung sekali, karena menemui saat kebetulan ialah di saat itu, entah apa sebabnya, angin puyuh yang berbahaya itu justru meniup kendor, tak hebat seperti biasanya. Dengan mengandalkan tenaga dalamku, yang terlatih selama beberapa puluh tahun, berhasillah aku menyeberang meskipun dengan demikian, sesampainya di seberang, aku lelah sekali, kehabisan tenaga. selanjutnya, tak berani aku mencoba menyeberangi Su Kio lagi"

Siauw Pek berpikir : "Aku menyangka dia tinggal disini untuk menyembunyikan diri dari keramaian dunia, tak disangka, sebenarnya dia tidak berani menginjak pula jembatan kematian itu..."

Si orang tua tidak tahu apa yang dipikirkan si anak muda, dia melanjutkan ceritanya: "Begitu berhasil menyeberang, bukan main lega hatiku, hingga aku tak dapat mengendalikan diri, aku mendongak. terus aku berseru dengan nyaring. Mungkin penonton yang banyak itu dapat mendengar suaraku, mungkin itulah sebabnya maka kemudian Su Kio dipanggil Seng Su Kio, yaitu ditambahkan itu hurup seng hidup... Tentu saja itulah terkaanku, entah benar entah tidak."

"Loopee benar. Sekarang Su Kio disebut Seng Su Kio jembatan hidup mati." Si tua mengawasi bocah didepannya itu.

"Anak. selewatnya Seng su Kio, inilah wilayahnya yang terbuka. Ketika aku datang kemari, aku membekal rupa rupa bibit, maka kemudian disini aku bercocok tanam, menanam padi dan sayur sayuran Aku girang bisa sampai disini, tempat yang sunyi dimana tidak ada perselisihan dan permusuhan, tak ada pembunuhan segala. Tentu sekali, disinipun tidak ada budi dan dendam asmara..."

Tiba-tiba si orang tua berhenti berbicara, dia memejamkan kedua belah matanya. Nampaknya dia letih sekali, hingga tidak dapat melanjutkan ceritera nyaitu dengan segera.

Siauw Pek tidak tahu mengapa si orang tua berbuat begitu, dia bertanya. "Loopee, selama beberapa puluh tahun ini, apakah loopee tidak pernah mendapat pikiran akan keluar dari tempat ini?"

orang tua itu menarik napas panjang, dia membuka kedua matanya. Dia menatap si anak tanggung. Hanya sebentar dia memejamkan matanya pula. Tapi dia kemudian menjawab: "Pernah aku pikir. Tapi itu cuma pikiran saja. Mungkin Bu Yu Kok terlalu tenang dan menyenangi hatiku, aku bagaikan kehilangan semangatku dulu dulu."

"Loopee," Siauw Pek masih bertanya, "sebenarnya loopee hanya ragu ragu atau karena tidak mau menerjang bahaya?" orang tua itu menghela napas pula.

"Aku ragu ragu, aku tidak mempunyai harapan," jawabnya. "Aku tahu bahwa tenaga dalamku tak seimbang dengan angin puyuh itu yang merupakan tenaga alam..."

"Loopee dapat menyeberang kemari, kenapa tidak dapat loopee menyeberang balik?" "Tadi telah kukatakan, ketika aku melintasi jembatan, angin puyuh kebetulan lemah. coba angin kuat seperti biasa, mungkin aku sudah tergelincir kedalam jurang, tak mungkin aku bisa ngobrol seperti sekarang ini..."

"Jadinya loopee telah berkeputusan akan mati disini dan buat selama lamanya tak mau keluar lagi?"

Melit si anak muda bertanya.

"Nampaknya lebih baik begitu. Tak perlu aku mencoba cari kehidupan selagi kesempatan mati adalah seratus per seratus..." Tiba tiba si orang tua berhenti. Ia seperti sedang berpikir.

"Anak coba kau terangkan," katanya. "Kau sendiri bagaimana caranya maka kau dapat menyeberang kemari."

"Aku berjalan seperti biasa saja," sahut si anak muda seenaknya. "Apakah kau tidak menghadapi sesuatu rintangan Umpamanya

angin-.."

"Ada, akan tetapi aku tidak menghiraukan itu. Selagi berjalan, aku terbenam dalam kesedihan dan panas hati, karena aku ingat kematian ayah bundaku." orang tua itu mengangguk.

"Mungkin angin itu lemah sekali, cuma ujung bajumu yang tertiup perlahan-.." Habis berkata begitu, si orang tua berdiam. Ada sesuatu yang dipikirkannya. Siauw Pek mengambil cawan, kemudian ia berjalan keluar.

"Mau pergi kemana kau, anak?" bertanya si orang tua sambil mengawasi.

"Aku hendak mengambil air minum."

"Ambillah air sumur yang tengah. Air itu tidak ada faedahnya yang istimewa tetapi juga tidak ada bahayanya."

"Aku ingin mengambil air dari dua sumur kiri dan kanan," kata Siauw Pek. "Aku ingin minum masing masing satu cawan-"

"Kenapakah? Ah, anak tabiatmu keras" "Bukankah loopee bilang salah satu sumur itu ada ciojienya yang umurnya ribuan tahun, yang kalau diminum ada faedahnya, dapat membuat panjang umur dan menguatkan tubuh?"

"Benar Tapi kau jangan lupa, air sumur yang lainnya adalah racun dan siapa minum itu, dia pasti akan lekas mati"

"Hendak aku coba, buat mengadu untungku"

orang tua itu membelalakkan matanya. "Buat apakah?" tanyanya heran-Tiba-tiba Siauw Pek mengucurkan air mata.

"Ayah bunda kedua kakakku, semuanya telah terbunuh secara menyedihkan," sahutnya, "aku menjadi anak dan saudara, akan tetapi aku tidak mampu menuntut balas, dengan tetap mendendam saja, buat apa aku hidup di dunia. Aku malu.. Maka kalau aku minum air beracun itu, aku bakal mati, dengan begini dapat aku menyusul ayah bunda dan saudara saudariku itu di dunia baka." Mendengar itu si orang tua tertawa.

"Jika kau minum air sumur yang satunya, yaitu cio jie, hingga tubuhmu menjadi sehat, bukankah itu berarti kau hidup terlebih lama?"

"Toh sumurnya ada tiga, bukan?" "Benar"

"Sumur yang di tengah, air biasa saja, aku tak membutuhkan itu. Dari sumur yang dua lagi, satu adalah ciojie, satu lagi racun-Jikalau aku kena ambil ciojie, apakah aku tidak bisa ambil pula yang lainnya?" orang tua itu melengak.

"Oh, anak, rupanya kau berkeputusan untuk mati, benarkah?" "Hidup terus berarti menambah kesengsaraan hati, karena itu,

bukankah lebih baik aku mati saja?" kata si anak muda.

"Jangan terburu mati, anak" Berkata orang tua itu. "Hari soal sangat mudah. Hanya sebelum kau mati, ingin aku menasehati kau, lebih baik kau jangan mati coba pikir kalah memangnya kau berniat mati, buat apa kau menyeberangi Seng Su Kio, jembatan maut itu?" "Aku tidak mau membuat ayah bundaku putus harapan serta kakakku berduka..."

"Anak. kau agaknya tidak tahu persoalan-Jawablah, apakah ayahmu juga berpendirian serupa denganmu berpikiran pendek?"

"Siapa bilang ayahku berpikiran pendek?" bertanya si bocah. "Ayah memperkuat Pek Ho Bun hingga Pek Ho Bun dapat berdiri tegak seperti sembilan partai besar lainnya. Jikalau ayahku bukannya cerdas dan gagah, bagaimana mungkin dia memajukan partai kami? Bahkan ayahku lebih menang daripada kakek luarku"

"Aku tetap menganggap dia berpikir pendek" Berkata si orang tua. "Di dalam dunia dimana mana terdapat bukit bukit yang hijau, karena itu, kenapa untuk mengubur tulang belulang kita, mesti mesti memilih Seng Su Kio sebagai tempat kuburannya ?Jikalau pikiran ayahmu tidak pendek. buat apa dia mengajak kau merantau dan menderita sengsara menyeberangi seng Su Kio buat hanya mencari mati dijembatan itu?"

"Tetapi loopee seandainya kami sekeluarga dapat menyeberang bersama, hingga kami dapat tetap berkumpul bersama, sudah tentu aku tidak akan mencari mati"

"Jikalau begitu, semakin nyata betapa pendek pikiran ayahmu itu"

Siauw Pek heran, dia menatap melongo. "Apakah yang tak tepat, loopee?" ia bertanya.

"Mungkinkah ayahmu tidak ketahui berbahayanya Seng Su Kio? Sekalipun kamu tidak sedang dikejar kejar musuh, didalam keadaan seperti biasa, bagaimana mungkin kau menyeberangi jembatan itu dengan selamat tak kurang suatu apa? Jikalau ayahmu tidak pendek pikirannya, tidak nanti dia menyuruh kau melintasi Seng Su Kio"

Kembali Siauw Pek melengak. "Kau benar juga, loopee," akhirnya ia mengakui. "Maka itu, anak." berkata si orang tua, "mesti ada sebabnya kenapa ayahmu menghendaki kau, menyeberangi Seng Su Kio..." Siauw Pek jadi berpikir.

"Mungkin ayahku, seperti kau, loopee, telah kena terpedayakan orang orang Sungai Telaga..."

"Mengapa begitu?"

"Sebab aku ingat kata-kata ayah. Ayah berpesan sungguh sungguh kepadaku bahwa tanggung jawab menuntut balas terletak pada bahuku, karena dalam keluarga kami, akulah yang berbakat paling baik. Semua keluarga ku pun sangat menyayangi aku, aku telah dibela mati matian Selama kami dikepung kepung musuh, ayah bunda dan saudara saudariku semua telah terlukakan, kecuali aku..."

Si orang tua mengawasi bocah itu, dari atas kebawah dan sebaliknya.

"Benar" katanya memuji. "Benar bakatmu baik sekali bakat istimewa" Siauw Pek menghela napas.

"Ayah juga mengatakan bahwa rejekiku besar sekali..." "Benar Aku pun melihat kau berejeki besar "

Siauw Pek berdiam. Selang sesaat baru ia berkata pula: "Rupanya pandangan ayahku sama dengan pandangan loopee, karena ayah dan loopee telah ditipu orang. Pernah dikatakan bahwa di seberang Su Kio, yaitu disini, ada warisan dari orang jago Rimba Persilatan Karena itu, ayah ingin aku menyeberanginya..^"

orang tua berjanggut ubanan itu tertawa terbahak-bahak. "Tak benar kata-katamu itu, anak" katanya.

"Yang terpedayakan adalah aku si orang tua Ayahmu sama sekali tidak tertipu juga kau, kau tidak terpedayakan" Siauw Pek bingung.

"Ayahpun heran," katanya pula "Ayah mengharap sangat kepadaku, supaya kelak aku dapat menuntut balas, akan tetapi, disamping itu, ayah tidak mau mengajari aku ilmu silat. Aku cuma dididik didalam hal latihan tenaga dalam..."

"Bagus Bagus" si orang tua memuji "dengan begitu ayahmu jadi menyebabkan aku bakal menjadi pusing belaka" Berkata begitu, dia tertawa.

Siauw Pek menatap orang tua itu. Ia heran sekali.

"Loopee," katanya, "tapi disini, dimana adanya peninggalan orang Rimba Persilatan yang tidak dikenal itu?" Si orang tua membalas mengawasi.

"Andaikata warisan itu ada," katanya. " untukmu, warisan itu tidak ada faedahnya."

"Belum tentu, loopee. Hanya, hendak kukatakan, buat apa aku hidup jikalau selama hidupku, tak mampu aku membalas sakit hati? Daripada hidup tidak berdaya, lebih baik aku mati saja, supaya aku bisa selalu mendampingi ayah bundaku, untuk menjalankan kebaktian-.."

"Siapa bilang kau tidak mampu membalas sakit hati ayah bundamu, anak?"

siauw Pek terkejut. Kali ini ia mendengar suara si orang tua keras bagaikan guntur, setiap kata terasa tajam. Mau tidak mau, ia tergetar mengawasi orang tua itu.

Kali ini, sikap si orang tua juga berbeda dari biasa. Sekarang dia nampak keren sekali, sepasang matanya mencorong tajam bagaikan pedang.

"Orang-orang yang mengejar ngejar kamu itu, mereka orang orang macam apakah?" tanyanya keras.

"Selain orang orang dari sembilan partai besar, juga dari sembilan partai lainnya. Itulah kawanan sembilan pay, empat bun, tiga hwee dan dua pang."

"Tahukah kau, siapa aku si orang tua ini?" "Tidak." sahut Siauw Pek menggeleng.

"Akulah si orang she Kie bernama Tong. Pernahkah kau dengar ayahmu menyebut nyebut namaku?"

"Tidak" sahut pula si bocah, kembali menggeleng. Kie Tong mengerutkan alisnya.

"Kian-kun It Kiam adalah gelarku," katanya. "Tentu kau pernah mendengarnya, bukan?" Lagi lagi Siauw Pek menggoyang kepala.

"Aku yang muda kurang pengetahuan," katanya. Memang  ia tidak tahu gelar itu, Kian kun It Kiam, ialah si "Pedang Tunggal Dunia" Pedang satu satunya di kolong langit... Jikalau tadi dia mengerutkan alisnya, sekarang slorang tua tertawa nyaring.

"Ya, tidak heran tidak heran-" katanya. "Memang sudah beberapa puluh tahun lewat sejak aku mengundurkan diri dari dunia Sungai Telaga. Ketika itu mungkin ayahmu belum munculkan diri, hingga iapun menjadi tidak tahu karenanya"

"Sebenarnya ayah luas pengetahuan umumnya. Segala peristiwa lima puluh tahun yang lalu, tak ada yang tidak tahu."

"Mungkinkah dia tidak tahu hanya tentang aku si orang tua sendiri"

"Umpamakan ayah tahu, barangkali ia belum sempat menceritakan kepadaku."

"Kalau begitu, mengapa kau ketahui selain sembilan partai persilatan itu juga masih ada sembilan yang lainnya?"

"Tentang sembilan yang belakangan ini, aku mendengarnya secara kebetulan-" Kie Tong mengangguk.

"Mungkin ayahmu tak ingin kau ketahui jelas segala hal-ikhwal kaum Rimba Persilatan atau sunia Sungai Telaga .Jikalau kau tidak bertemu denganku, pastilah kau bakal menjadi petani yang hidupnya tenang tenteram."

Siauw Pek kurang mengerti. "Tentang itu aku tak tahu," katanya. "Ketika dahulu aku si tua masih merantau dalam dunia Sungai Telaga, aku pernah mendengar nama baik dari Pek Ho Bun," berkata pula slorang tua. "Kenapa kemudian dia telah dimusuhi oleh dunia persilatan hingga mendapatkan nasibnya sebagai sekarang ini?"

"Ayah gagah luar biasa," kata siauw Pek "jikalau dia tidak dikepung oleh jago-jago kenamaan yang berkompeten, tidak nanti Pek Ho Bun musnah dalam satu malam" Mata Kie Tong bersinar.

"Apa? Mereka berkomplotan? Jadinya mereka mengeroyok?"

"Ya, aku menyebutnya berkomplotan, sebab mereka bekerja sama. Duduk persoalannya, aku tidak ingat tepat lagi. Tatkala itu aku masih sangat kecil. Apa yang kutahu, ialah mereka datang di waktu tengah malam, tiba tiba api obor menyala nyala. dibarengi dengan suara riuhnya penyerbuan itu. Aku dibawa lari ibu dengan menggunakan sehelai kain untuk melibat tubuhku di punggungnya."

"Habis, dari mana kau tahu bahwa kawanan penyerbu itu adalah sembilan partai besar dan sembilan partai lainnya?"

"Inilah karena kemudian ayah bunda serta saudara saudariku menceritakan kepadaku, dan katanya di antara sekalian penyerang itu terdapat jago jago kelas satu. Pek Ho Bun mempunyai ada tiga puluh enam murid, mereka itu bersama sama seluruh Tjoh Kee Po yang terdiri dari beberapa ratus jiwa, telah terbinasakan semua, kecuali kami berlima..."

Tak dapat anak ini menahan kesedihan hati, air matanya keluar bercucuran-

"Akan tetapi," sambungnya, "sesudah menyingkirkan diri selama delapan tahun dan bertempur terus menerus beberapa ratus kali, pada akhirnya toh, keluargaku terbinasa juga. Dari beberapa ratus jiwa orang Pek Ho Bun, sekarang tinggal aku seorang, seorang bocah."

Wajah Kie Tong suram. Dia menarik napas panjang. "Ya... sudahlah yang mati biarlah mati," ujarnya kemudian "Selanjutnya adalah tugasmu untuk menuntut balas pada semua musuh musuhmu itu"

Siauw Pek menghela napas. "Hanya saja, loopee, niatku ada, tapi tenagaku." Kie Tong menggoyangkan tangannya, mencegahnya bicara terus.

"Kesembilan partai itu biasa mengagungkan diri sebagai partai yang mengutamakan akan kejujuran dan keadilan, apa mungkin tak ada satu jua di antaranya yang hendak membelai pihakmu?"

"Mereka semua telah melibatkan diri tidak ada satupun juga yang dapat diharap."

"Kesembilan partai besar itu dan kesembilan partai lainnya semua terdiri dari jago jagonya Rimba Persilatan yang berkenamaan, jikalau bukannya ayahmu melakukannya sesuatu yang hebat sekali, mungkinkah mereka itu sampai membasmi Pek Ho Bun hingga keakar akarnya."

Siauw Pek menghela napas pula.

"Di dalam hal itu, sebenarnya akupun merasa heran," katanya. "Pernah aku menanyakan ayahku..."

"Apa kata ayahmu itu?" Kie Tong memutus cerita itu.

"Ayah mengatakan kepadaku, bahwa pihak kesembilan partai besar itu serta kawan kawannya tidak mau memberi kesempatan kepada ayah menanyakan sesuatu. Ketika itu aku masih kecil sekali, aku belum mengerti apa apa, walaupun aku mengalami banyak pertempuran mati hidup, aku mengingatnya samar samar, aku tidak menyadari bahwa aku menjadi besar dalam perlarian-"

Muka Kie Tong memperlihatkan cahaya kemurkaan Katanya sengit. "Kesembilan partai besar itu dan kawan kawannya sudah melakukan pembokongan, juga tak mau memberikan orang untuk meminta keterangan, kalau demikian adanya, nyatalah mereka yang bersalah" " Kakak perempuankupun mengatakan demikian," berkata Siauw Pek menambahkan. "Mulanya aku menyangsikan kakakku, dan setelah terjadi peristiwa yang paling belakang ini, maka aku baru percaya"

"Bagaimana pendapatmu itu?"

"Sebab aku telah lihat sendiri, bagaimana musuh menyerang dan membinasakan keluargaku Mereka menyerang serentak dan mengeroyok. sampai ayah tak sempat bicara lagi" Kie Tong terdiam, tangannya mengelus janggutnya.

"Hm" ia memperdengarkan suara di hidung. "Sekarang, aku hendak bertanya padamu, nak. Andaikata kau sanggup membalas sakit hati ayah bundamu serta kakak kakakmu itu, untuk kau membangun pula Pek IHo Bun, kaummu itu, bagaimana?"

"Aku rasa itulah tidak mungkin" menjawab si bocah. "Walaupun seorang berani luar biasa, tak dapat dia menantang dunia. Maka itu, aku telah memikir, sebab tak sanggup aku menuntut balas, baiklah aku mati saja"

"Hus, kau mengigau" tegur si orang tua.

"Kau seorang anak kecil, mengapa memandang dirimu begini ringan, kau terlalu lemah, kau tahu?"

Suara si orang tua ini, tak biasanya, menggetar.

"Anak. mari dengar aku" dia tambahkan "Dengar kataku. Umpama datang satu hari yang kau sanggup membangun pula Pek IHo Bun, untuk membalas sakit hati keluargamu, bagaimana tindakanmu nanti?" Siauw Pek menatap orang tua itu.

"Jikalau benar ada hari semacam itu," jawabnya, "paling dulu aku akan membuat penyelidikan yang seksama, guna mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Partai persilatan banyak jumlahnya, tapi mengapa orang justeru memusuhi Pek Ho Bun sendiri ? Didalam dunia ini terdapat manusia tak terhitung banyaknya, tapi mengapa orang justeru memusuhi keluargaku ya, mengapa cuma ayahku yang dicari?" Kie Tong mengangguk. "Kau benar" ujarnya. "Kalau demikian, tepat tindakanmu. Nah, andaikata kau berhasil membuat penyelidikan dan ternyata kesalahan ada pada ayahmu, bagaimana?"

"Jikalau itu sampai terjadi, aku akan membunuh diri" sahut Siauw Pek sungguh sungguh

"Dengan begitu aku akan mohon maaf kepada ayah bundaku almarhum karena akulah anak tak berbakti, yang tak sanggup membalaskan sakit hati ayah. Dengan begitu juga, kaum Pek Ho Bun kami tak bakal hidup pula..."

"Sebaliknya, jikalau ternyata ayahmu tidak salah?"

"Sakit hati ayah besar luar biasa, akan kucari orang, atau orang orang, yang benar benar bersalah, yang biang keladinya. Hutang darah mesti dibayar dengan darah. Akan aku sembahyangi roh ayah, untuk berjanji di depannya bahwa aku akan membangun pula partai kita"

"Kau benar, anak Memang, si biang keladi yang mesti dicari, yang tidak bersalah tak dapat diganggu. Dengan kata-katamu ini, anak nyata sudah bahwa untukmu ada pengharapan untuk membalas dendam" Siauw Pek bingung.

"Aku tak mengerti akan kata-katamu, loopee?" katanya.

"Hal sebenarnya sangat sederhana" kata si orang tua^ "kau cari seorang ahli silat yang benar benar lihay, kau berguru kepadanya, untuk mempelajari ilmu istimewa. Bukankah dengan begitu kau akan dapat penuhi pengharapanmu?"

"Tapi. loopee, sangat sukar mencari guru yang gagah begitu..." katanya, "Apa lagi sekarang setelah aku berada di dunia tertutup ini. Aku berhasil menyeberangi Seng Su Kio tanpa tergelincir mampus kedalam jurang, itu berarti aku hidup dari dalam kematian, apakah hal itu dapat terulang buat kedua kalinya? Loopee, baiklah loopee membiarkan aku cari kematianku..."

"Siapa bilang sukar mencari guru yang pandai?" bertanya orang tua itu. "Apa yang sulit jalan andaikata si guru tak sudi menerimamu sebagai muridnya. Guru yang demikian itu benar berada jauh seperti di ujung langit, akan tetapi sebaliknya, dia berada dekat, didepan matamu"

Siauw Pek heran Dia mementang kedua belah matanya, mengawasi tajam orang tua di hadapannya ini.

"Apakah orang tua itu loopee adanya?" tanyanya kemudian-Kie Tong tertawa lebar.

"Bagaimana, eh?" tanyanya, gembira. "Apakah kau merasa tak tepat untukku menerima kau sebagai muridku?"

"Aku percaya kepandaian loopee tidak lemah," jawab Siauw Pei. "Hanya untuk menentang orang orang gagah dari seluruh dunia, aku... aku kuatir..."

"Kau kuatirkan apa ?" tegaskan Kie Tong. "Jikalau kau orang tidak percaya, boleh kau coba"

Siauw Pek menlengak. ia menatap pula orang tua itu.

"Bailah, loopee, sedia aku menjadi muridmu," katanya akhirnya. Kemudian ia menjatuhkan diri, berlutut di depan orang tua itu buat memberi hormat sambil pay kui, berlutut berulang ulang.

Tapi Kie Tong menggoyangkan tangannya berulang ulang. "Tahan dulu, tahan dulu..." cegahnya. "Aku belum memberikan

kata-kataku kepadamu."

Siauw Pek terheran pula, kali ini ia terus menangis. "Oh loopee, tolonglah aku,^ pintanya.

"Sabar, anak. Kita harus berdamai perlahan lahan Mari bangun, baiklah kau temani dahulu aku minum arak..."

"Aku tak bisa minum, loopee, aku kuatir aku akan menyia nyiakan kau..."

"Sekali mabuk. hilanglah seribu kesusahan hati" berkata slorang tua. "Kau tidak bisa minum tetapi apakah kau tidak dapat mabuk?" "Kalau begitu baiklah, loopee. Aku bersedia mengiringi loopee, sebelum aku mabuk, tak akan kuberhenti..."

"Bagus, bagus" seru si orang tua. "Tapi ingat sebelum aku menerimamu sebagai muridku, kita adalah sahabat-sahabat, kau tidak usah berlaku sebagai orang murid, supaya selama kita minum, kau tidak terikat.Jikalau kau terikat kita tidak akan gembira"

Berkata begitu, orang tua ini mengulur tanagnnya, mencekal si bocah untuk dibangunkan-

"Duduklah" katanya. Terus dia menuangi dua cawan arak.

Katanya pula : "Mari kita habiskan cawan yang pertama ini "

Siauw Pek menurut tanpa ragu-ragu lagi Ia lihat orang tua itu sangat polos. Selagi mengangkat cawan, bau arak sudah menyerang hebat kepada hidungnya. Untuk meneguk itu, ia menutup rapat rapat kedua hidungnya. Dasar ia tidak biasa minum, secepat arak sampai didalam perutnya, ia merasakan perut itu panas sekali. si orang tua mengisi cawan yang kedua. "Bagaimana, anak rasanya arak ini?"

"Sedap" sahut Siauw Pek. Segera ia teguk pula cawan kedua itu. Hanya kali ini mukanya menjadi merah, isi perutnya bagaikan jungkir balik, sedangkan matanya terus kabur, Kle Tong di hadapannya tak tegas lagi dilihatnya.

Kie Tong tertawa terbahak bahak.

"Bagaimana, anak? Dapatkah kau minum pula?" ia terus menuangi cawan yang ketiga.

"Bisa... Bisa..." sahut Siauw Pek suaranya tak tegas lagi. Baru ia mengucap begitu, kepalanya teklok. sebab ia sudah mabuk betul betul.

Si orang tua tertawa. Tiba-tiba ia melemparkan cawannya, terus ia bangkit berdiri, bertindak mundar-mandir diruang itu. Ia ternyata sedang berpikir keras. Pertama ia ingat tentang dirinya sendiri, lalu perihal bocah dihadapannya ini. Ia ingat mengapa ia menyeberangi Seng Su Kio, hingga ia jadi tinggal menyendiri didalam lembah Bu Yu Kok. sekarang ia melihat Siauw Pek, ia merasa kasihan dan kagum. Bocah ini berkeberanian besar dan jujur serta tahu diri. Ia bagaikan berjodoh dengan bocah ini.

Masih Kie Tong mundar mandir, saban saban ia menoleh kepada siauw Pek. Agaknya ia bergulat dengan pikirannya sendiri. Beberapa saat kemudian, ia menepuk tangan keras keras.

"Ada" serunya. "Sekarang hendak aku lihat untung bagus dia" Mendadak ia lari keluar, kearah sumur, untuk mengambil cio-jie, benda berkhasiat yang telah ribuan tahun tumbuh didalam sumurnya itu. Begitu ia kembali, ia Cekoki barang itu ke mulutnya si anak muda.

Benar benar sio jie berkhasiat. Hanya sebentar Siauw Pek tersadar, mabuknya lenyap. Dia mengucak ucak kedua biji matanya. "Loopee, apa kita minum terus?" tanyanya. Ia ingat araknya.

Kie Tong tertawa riang. ia mengulur sebelah tangannya, untuk mengusap usap rambutnya bocah itu.

"Ya, minum, minum terus" sahutnya. "Tapi lebih dahulu kau harus dengar kata kataku" Ia hening sejenak. segera ia meneruskan "Anak. tahukah kau kenapa aku situa tak suka menerima kau sebagai muridku?"

Mukanya Siauw Pek pucat dengan tiba-tiba. Ia kaget sekali. "Mungkin disebabkan aku sangat dogol," jawabnya. "Tentulah

karena aku tidak berbakat maka loopee tidak tertarik kepadaku..." Berulang ulang orang tua itu menggeleng kepala.

"Tak tepat terkaanmu itu," katanya. "Bakat sebagai kau, walaupun bukan yang paling bagus, tapi sudah sulit untuk memilih yang lain-" Siauw Pek mengerutkan alisnya.

"Habis?" tanyanya. "Mungkinkah itu disebabkan aku tidak kuat minum?"

Kie Tong tertawa terbahak bahak. "Makin jauh kau menerkanya, anak" Tiba tiba orang tua ini berhenti tertawan, ia tidak tersenyum pula. Sebaliknya ia memperlihatkan roman sungguh sungguh^

"Anak. tahukah kau maksudnya seseorang belajar ilmu silat ?" tanyanya. Anak muda itu melengak.

"Maksudnya itu berbeda-beda," ia menyahut. "Tentang aku..." Ia menghela nafas. "Aku hanya untuk menuntut balas ayah bundaku serta saudara-saudariku, ya, untuk semua anggota keluarga Pek Ho Bun Terang, itulah pembalasan untuk urusan pribadi, bukan untuk umum." Kie Tong menggoyang kepala, dia tertawa.

"Memang urusannya ialah urusan pribadi. Tapi ini termasuk soal si anak yang berbakti, dan soal anak berbakti termasuk juga dalam lingkungan kesetiaan dan kegagalan-Karena itu, mana mungkin aku tidak menerima kau sebagai murid ?" Siauw Pek heran-

"Aku bingung," katanya terus terang.

"Memang sukar buatmu untuk mengerti segera," kata orang tua itu, tertawa. Ia mengelus pula janggutnya. "Baiklah aku jelaskan dahulu kepada kau. Dahulu namaku terkenal karena ilmu pedangku yang disebut "ong Too Kiu Kiam". Telah banyak aku menggempur jago jago dari Hek Too dan Pek Too Kalangan Hitam dan Kalangan Putih. Sampai sebegitu jauh, belum pernah aku menemui lawan yang setimpal, belum pernah aku kalah."

siauw Pek mengerti. "Ong Too Kiu Kiam", "Sembilan jurus Pedang Keadilan-, sama dengan "Kuan Kun It Kiam" "Pedang Tunggal Dunia". Katanya dalam hati: "Kuan Bun It Kiam tersohor dan dikagumi, jikalau dia sampai kena terkalahkan, itulah kecewa sekali."

Kie Tong membiarkannya terdiam, ia hanya menambahkan : "Walaupun aku tidak pernah dikalahkan, seumurku, belum pernah dengan pedangku aku melukai jiwa orang. inilah sebabnya kenapa aku peroleh julukan ong Too Kiu Kiam itu."

Hati siauw Pek tertarik. Segera ia memberikan janjinya: "Jikalau loopee sudi memberi pelajaran kepadaku, setelah pelajaranku sempurna nanti, kecuali membinasakan si biang keladi, tak akan aku membuat cemar namanya ong Too Kiu Kiam " Kie Tong menenggak araknya.

"Kata-katamu ini tidak salah." katanya. "Sekarang aku ingin menanyaimu, andaikata kau belajar dari aku, lalu kau tidak berhasil mencari dan membinasakan musuh besarmu si biang keladi itu, tidakkah sia-sia belaka kau belajar silat sepuluh tahun ?"

Siauw Pek mengangkat kepalanya. Ia sungguh tidak mengerti, kata-kata orang tua ini tak tentu ujung pangkalnya.

"Muridmu tolol sekali loopee..." katanya. Tapi si orang tua memutus :

"Kau murid siapakah ?" tegurnya, romannya gusar. Tapi hanya sedetik, terus dia tertawa. Diapun menambahkan : "Anak. walaupun aku tidak terima kau sebagai murid, dapat aku memberi petunjuk padamu, suatu jalan terang. Inilah soal sukar, yang bergantung hanya kepada untung bagusmu sendiri "

"Biar bagaimana, loopee, aku sangat bersyukur kepada loopee," kata Siauw Pek. Ia bingung tetapi tidak lupa untuk tetap berlaku hormat. Kie Tong menenggak pula cawannya.

"Tak usah kau bersyukur kepadaku," katanya. "Bukankah kau masih ingat bahwa aku pernah memberitahukan kau bahwa didalam lembah ini masih ada seseorang yang lain? Apakah kau tahu nama orang itu ?" Siauw Pek menggoyang kepala.

"Loopee belum pernah menyebutnya, bagaimana aku tahu ?" katanya tersenyum.

"Dialah seorang she Kiang dan namanya Go" orang tua itu memberitahukan. "Dialah yang dijuluki "Huan Oh It Too" si Golok Tunggal Dunia"

seorang diri, Siauw Pek menggumam : "Kian Kun It Kiam Huan oh It Too... Kalau mendengar julukan itu, loopee, dia agaknya sama terkenalnya sebagai loopee sendiri." "Begitulah sedianya. Dahulu orang menyebut kami berdua Lam Pek Djie Seng, Dua Nabi Selatan dan Utara. Kami merasa malu sendiri, kami tidak berani terima julukan itu. Nabi ? Itulah hebat "

Siauw Pek menjadi tertarik hati. Akhirnya ia masgul sendirinya. "Ayahku menggunakan golok." katanya kemudian, "tetapi jago

tua itu mendapat nama ahli golok di dunia, pastilah ilmu goloknya tak ada lawan."

"Memang benar ahli. Aku dipuji sebagai ahli pedang, itulah dusta belaka, tetapi dia, dialah ahli golok asli " Benar benar Siauw Pek kebingungan-

"Aku tak mengerti," katanya. Kie Tong tertawa.

"Jikalau kau mengerti, tak ada gunanya aku ngomel lagi," katanya. Terus ia berpikir :"sekarang masih siang, minumlah lagi, kalau nanti kau mabuk, akan kubangunkan "

Siauw Pek menurut, diteguknya araknya. Kie Tong puas melihat tingkah bocah itu. Dia tertawa.

"Sia-sia belaka aku disebut sebagai jago pedang," katanya, "sedang ilmu pedangku cuma sembilan jurus saja, si siluman she Kiang itu disebut jago golok tunggal, itu memang benar. Ilmu goloknya hanya satu jurus "

Didalam hatinya, Siauw Pek tertawa. Kembali orang tua ini bagaikan mengigau, bicaranya tidak karuan Pikirnya pula : "Dia menyebut sebatang pedang, sebatang golok, apakah artinya itu ?"

Berpikir begitu, bocah ini tertawa.

"Ilmu golok jago tua itu cuma sejurus, tentunya jurus itu dapat dirubah-rubah?" katanya.

"Dapat dirubah rubah ?" menegaskan Kie Tong heran "Kau maksudkan berapakah lawannya?"

"Umpamanya musuh hanya seorang. Bagaimana kalau musuh itu hebat luar biasa?" "Buat kawanku itu, semua sama saja, dia cukup dengan satujurusnya itu. Inilah sebab : Kalau goloknya tidak dihunus, tidak digunakan, tidak menjadi soal, tapi satu kali dia menghunus dan menggunakannya, maka tentulah lawannya terluka. siapa terluka, dia mesti terbinasa. Itulah sebabnya dia disebut juga "Pa Too It Too", Golok Kekerasan atau Toan Beng Tjie Too, "Golok memutuskan nyawa". Pasti itulah sebuah nama buruk. Akan tetapi walaupun Siang Go tak dapat diajak bicara, dia sebenarnya bukan seorang yang buruk."

siauw Pek heran hingga dia menggumam pula. Gau Too Siu Kiam... Pa Too It Too... ong Too Tjee Kiam... Toan Beng Too..." Tiba tiba ia ingat sesuatu, lantas ia bertanya :

"Andaikata ong Too Tjie Kiam bertemu dengan Toan Beng Tjie Too, bagaimanakah kesudahannya ?"

Kie Tong melengak. Ia heran atas pertanyaan yang tidak disangka-sangka itu. Sebentar kemudian iapun tertawa lebar.

"Aku tidak berani mencoba pedangku terhadap golok itu," ia mengakui terus terang, "dan Siang Go juga tidak berani memakai goloknya buat menguji pedangku. Dia tidak berani mempermainkan nama besarnya itu, kami berdua tidak bermusuhan satu sama lain, diantara kami siapapun tidak berani mencari kesulitan sendiri. Begitulah maka kami, yang satu pergi ke Selatan, yang lain ke Utara. Satu sama lain, kami saling menjauhkan diri." Siauw Pek mengerti sekarang.

"Pantas mereka berdua tidak saling mengunjungi," pikirnya. Kie Tong meneguk araknya.

"Anak." katanya, "sekarang tentulah kau mengerti maksudku, bukan ?"

"Bukankah loopee maksudkan supaya aku pergi cari Siang Loopee untuk minta diajarkan ilmu golok ?"

Kie Tong mengangguk. "Sekalipun dunia memusuhkan kau," katanya, " asal kau mempelajari kepandaianku asal kau sedikit cerdas saja, kau pasti akan dapat melindungi jiwamu. Sebaliknya, jikalau kau memikir menuntut balas sakit hatimu, supaya bisa kau membunuh sipenjahat biang keladi, tak dapat tidak. kau mesti dapatkan ilmu golok si orang she Siang itu " Siauw Pek diam, otaknya bekerja.

" Keras niatku membalas sakit hati, ingin aku belajar silat golok pada Siang Loopee itu." katanya, "akan tetapi aku telah bertemu lebih dahulu dengan loopee, maka aku..." Dengan cepat Kie Tong menggoyang-goyangkan tangannya.

"Tidak. tidak " katanya. "Apakah kau sangka orang she siang itu dapat diajak bicara seperti aku? Jangankan kau telah pelajari ilmu pedangku, sekalipun belum, belum pasti dia suka menerima kau." Dia berhenti sejenak "Lagipula..."

Siauw Pek tidak mengerti, kenapa orang beragu ragu ? "Apa, loopee?" ia bertanya.

Kie Tong mengawasi, dia berkata dengan sungguh-sungguh : "Kau baru mengalami kesusahanmu ini, niatmu menuntut balas sangat keras, hatimu sedang marah, andaikata aku mengajari kau silat pedang, belum tentu kau dapat memahaminya sampai sempurna. Tegasnya, kau tidak bakal mendapati kemurniannya."

Siauw Pek cerdas, dia percaya kata-kata si jago tua ini. Katanya didalam hati : "Loopee ini baik sekali terhadapku, dia pasti benar benar mau mengabari aku ilmu pedang. Justru aku ingin lekas-lekas membalas sakit hati, baiklah aku belajar dulu pada Siang Loopee, sesudah itu, baru aku minta pelajaran dari dia ini..." Karena ini, selain girang, Siauw Pek pun bersyukur pada si jago tua.

"Baiklah, loopee," katanya. "Menurut petunjukmu, aku akan minta belajar dari Siang Loopee. Dimanakah tempat tinggalnya dan bagaimana caranya supaya aku dapat memintanya mengajari aku ?" Kie Tong tertawa.

"Siluman tua she Siang itu tinggal didalam lembah," ia memberi tahu. "Tempat itu tidak mengenal sinar matahari, sebaliknya, segala binatang berbisa berada disekitarnya, sungguh berbahaya. Sebenarnya aku kuatir kau tidak dapat tiba disana..."

-ooo00dw00ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar