Pedang dan Golok yang Menggetarkan Jilid 33

JILID 33

"Kau lindungi aku, hendak naik ke atas pohon," katanya perlahan Habis berkata, tanpa menanti jawaban lagi, nona cantik yang nakal ini, yang berkeberanian besar, berlompat naik keatas pohon-

Dengan tangan kanan, yang memegang pedang terhunus, ia melindungi tubuhnya.

"Hati hati" Siauw Pek memesan, sedang tangan kirinya menghunus pedangnya, bersiap sedia andaikata Giok Yauw membutuhkan bantuannya.

Nona Thio bertindak cepat, gerakannya gesit dan lincah. Tiba diatas, tangan kanannya membabat, tangan kirinya menjambret, maka itu, selagi beberapa cabang terpapas kutung, tangan kirinya sudah memegang sebuah cabang yang cukup besar, hingga tubuhnya jadi bergelantungan.

Pada waktu si nona tiba, pada waktu itu pula bayangan orang berkelebat pergi meninggalkan pohon. Dia bergerak disebelah kiri sinona. Tak sempat nona itu menyerangnya, lekas lekas ia melompat turun.

"Apakah nona melihat musuh? " tanya siauw Pek. memapak nona itu.

"Ya."

"Manakah dia? "

"Dia sudah kabur. Dia sangat gesit, sehingga aku tak keburu mengejarnya.” “Apakah nona melihat roman orang itu? "

"Tidak. Kau dibawah, apakah kau tidak melihat dia? "

Si anak muda terdiam, ia seperti tidak mendengar. Memang ia tidak ada orang lari menyingkir.

Nona itu mengawasi, lalu ia tertawa geli. "Eh, kau marahkah? " tanyanya.

Belum lagi Siauw Pek menjawab, Soat Kun sudah datang mendekati mereka, Oey Eng dan Kho Kong mengiringinya. Ia jalan seperti lari.

"Apakah ada musuh? " tanyanya.

"Musuh seperti segan menghadapi kita depan berdepan, dia kabur," sahut Giok Yauw.

"Kalau begitu, inilah agak aneh." berkata si nona.

"orang itu sangat gesit dan lincah," Nona Thio mengakui. "Mestinya ilmu silatnya tak di bawah kita. Entah kenapa dia tak maU bertempur..."

Nona Hoan tidak kata apa apa lagi, ia cUma menhela nafas. "Mari kita melanjutkan perjalanan kita," katanya singkat.

"Nona" Siauw Pek berkata, "ada satu soal sulit. Bagaimana kita mengurusnya? ”

“Apakah itu? " tanya si nona, yang menghentikan langkahnya. "ciu ceng seperti terganggu otaknya, hingga Ban Loocianpwee

perlu menotoknya. Semua kiamsupun meletakkan senjatanya, mereka seperti tak sadarkan diri..."

Nona itu menghela nafas

"Kalau begitu tepatlah ramalan suhu" ujarnya perlahan. "Bagaimana,  nona?  "  tanya  siauw  Pek.  heran-"Apakah  selagi

Hoan     LooCianpwee     mau     meninggal     dunia     ia     pernah

memberitahukan nona tentang perobahan dunia Kang ouw nanti? ” “Jikalau suhu menjelaskan demikian, tidak usah aku merasa sulit sekarang.”

“Apa saja katanya Hoan Loocianpwee "

"suhu memberitahukan kepada kami berdua bahwa belum pernah ada yang sanggup yang gunakan kekuatan saja mempersatukan kaum Kang ouw, bahwa kekacauan sekarang ini kalau sampai terjadi, itulah disebabkan sipengacau menggunakan semacam kepandaian pang bun coh too, ialah ilmu sesat, hingga dia jadi mempunyai pengaruh luar biasa." Mendadak si nona menghentikan bicaranya.

"Kemudian? " Siauw Pek bertanya.

"sampai disitu saja kata kata suhu. Buat selanjutnya, hambamu tidak berani sembarang menerka nerka."

"Bagaimana kalau nona memberi pandangan mengenai keadaan sekarang ini? "

"Untuk dapat menentang musuh kita mesti bertekad bulat." "Bukankah orang orang musuh nekat semuanya? Nampaknya

mereka dipengaruhi racun hingga mereka takut berkhianat."

"Sampai setengah jam yang lewat hambamu pun beranggapan demikian Tapi pada detik ini anggapanku itu telah berubah.”

“Bagaimanakah itu, nona? "

"Kita ambil contoh ciu ceng. Dia toh sudah bebas dari kekangan racun”

“Maukah nona menjelaskan? "

"Dia seperti mendapat kekangan semangat. Dia tak bebas merdeka sendirinya."

siauw Pek berpikir. "Memang benar begitu. cara, atau pengaruh, apakah yang digunakan musuh hingga ciu ceng yang Cerdas dan gagah, yang berkenamaan, menjadi berubah semangatnya, hingga dia jadi penakut dan menurut saja segala kata kata orang? " Lalu ia berkata "Nona benar. Hanya, yang tidak jelas, dan seCara aneh apakah digunakan Sin Kun untuk mempengaruhi ciu ceng? Benarkah didalam dunia ini ada ilmu siluman? "

"Itulah sulit untuk diperCaya. Yang benar ialah adanya suatu pengaruh yang sekarang masih gelap bagi kita..."

"cara Sin Kun mirip dengan ilmu siluman. Akupun tidak perCaya adanya ilmu itu tetapi nyatanya toh membuat orang memperCayainya" Si nona menghela nafas. "Oh, kalau saja suhu masih ada..."

"Nona. Jikalau kau tidak sanggup memeCahkan rahasia ini, lain orang pasti tidak berdaya sama sekali..."

"Ada juga suhu pernah bicara tentang ilmu yoga dari India, bahwa ilmu itu dapat menyebabkan timbulnya tenaga semangat seseorang. Sayang mataku berCaCat hingga aku tak dapat memahami dari pelbagai kitab. sayang pula kepandaiaan suhu, tak dapat aku mewarisi semuanya.”

“Nona..."

Soat Kun agak terperanjat. suaranya sianak muda berat sekali terdengarnya.

"Ada apakah, bengCu? " ia bertanya.

"Aku ingin bicara hal yang mengenai pribadi, harap nona tidak gusar."

Si nona berdiam "Apakah itu, bengcu? "

"Apakah Hoan Loocianpwee pandai ilmu obat obatan? " "Benar. Bahkan kepandaiannya itu sukar ada tandingannya."

"Semua hidup Hoan Loocianpwee, apakah dia pernah bicara mengenai mata nona? " Soat Kun melengak.

"Kenapa bengcu mendadak menanyakan soal ini? " "Aku menerka penyakit mata nona mesti ada cara penyembuhannya^"

Tiba tiba si nona tertawa perlahan-"Apakah bengcu menyayangi mataku yang tak dapat melihat ini? Apakah karena itu bengcu menjadi berduka? "

"Aku hanya memikir, nona, Jikalau kau dapat melihat, pasti kau leluasa membantu menjunjung keadilan dunia persilatan-" Nona itu menghela nafas.

"Suhu pernah memperingatkan aku bahwa didalam dunia  ini tidak ada sesuatu yang sempurna seluruhnya. Itulah pasti anjurannya supaya aku merasa puas dengan cacat mataku ini."

"Kalau nona diam saja dirumah, tak apa nona tak dapat melihat, tapi sekarang nona muncul dalam dunia Kang ouw, bahkan kita harus membawa musuh yang luar biasa, guna menjunjung keadilan Rimba Persilatan, maka aku pikir, seandainya mata nona awas, pastilah kemenangan akan berada dipihak kita "

Kembali agaknya si nona terperanjat. Rupanya ia ingat sesuatu. Parasnya berubah. Tapi, lekas juga, ia tenang pula seperti biasa. Dengan sungguh sungguh, ia berkata: "Suhu sendiri pernah memuji aku sebagai wanita yang cantik luar biasa, bahwa sayang aku cacatpada kedua belah mataku. Apakah benar kata kata suhu itu mengenai kecantikanku? "

Berkata begitu, si nona menyingkap calanya iapun membetulkan rambut yang turun didahi dan samping telinganya. Ia menghadap kearah si anak muda, sang bengcu.

Siauw Pek mengawasi tajam wajah itu. Sungguh wajah si nona sangat cantik, dari atas hingga kebawah, dia tak ada celaannya. Potongan tubuhnyapun lemah gemulai dan indah. Kecuali sepasang mata...

Walaupun pelukis paling pandai tak akan sanggup melukis menggambar kecantikan nona itu... "Sungguh, nona kau cantik sekali, guru nona memuji tepat" akhirnya ketua ini memberikan pujiannya . Nona itu tertawa.

"Kalau mataku sembuh dan bisa melihat, tidakkah aku akan dikutuk alam? " tanyanya. "Suhu kata aku buta karena terkutuk..."

"oh..." berusaha si ketua, bingung Tak tahu ia mesti mengatakan apa.

"Adikku ini jujur," kata sinona kemudian, "akulah kakaknya tetapi sifat kami berlainan Bengcu, andaikata di dalam dunia ada obat mujarab yang dapat menyembuhkan mataku, belum aku pikir untuk menggunakannya..." Siauw Pek berdiam ia heran sekali.

"Menurut si nona ini, bukankah mesti ada obat untuk menolongnya? Kenapakah ia menolak obat itu? Kenapa ia senang hidup tak dapat melihat? "

Pembicaraan mereka terputus sampai disitu, Ban Liang datang dengan berlari lari, agaknya dia gugup,

"Nona Hoan" katanya, "pikiran ciu Huhoat kaCau, dia ngoceh tidak karuan Entah apa yang dia ucapkan..."

Soat Kun berpiklr, baru ia menjawab : "Jangan ganggu dia. Mungkin dari ocehannya itu kita akan memperoleh sesuatu mengenai keadaannya yang aneh itu. Nah mari kita melihat."

Si nona menurunkan pula Celananya, lalu ia berjalan Cepat. Tentu saja, ia berjalan bersama Soat Gle, dan sang adik yang memimpinnya ciu ceng diletakkan di atas tanah di atas rumput, tubuhnya terlentang, mukanya menghadap keatas. kedua matanya tertutup rapat, tetapi mulutnya senantiasa berkemak kemik.

Nona Hoan menghampiri sampai disisinya, ia jongkok sambil menatap.

Ban Liang bersama Siauw Pek. untuk menyaksikan, buat turut mendengari, jongkok bersama. Mereka berdiam saja seperti kedua nona itu. Sampai sekian lama ciu ceng mengoceh, baru ia berhenti. "coba totok jalan darah lupanya" Soat Kun menintahkan-Siauw Pek menyahut, terus ia menotok huhoat itu, membuatnya tidur. Nona Hoan menghela napas.

"Apakah bengcu sekalian mendengar jelas apa katanya? " ia tanya.

"Sedikitpun aku tidak mengerti," sahut Ban Liang. "Dia ngoceh mohon ampun.”

“Mohon ampun? "

"Ya. Dalam keadaan tak sadar itu, dia seperti tengah tersiksa hebat."

"Apakah nona mendengar dia mohon ampun kepada atau dari siapa? " Siauw Pek tanya.

"Dia mohon ampun dari orang yang menguasai jiwanya." "Kalau begitu, itulah Seng Kiong Sin Kun" kata siauw Pek. Sinona berdiam untuk berpikir.

"Tak keliru terkaan bengcu. Tapi dia tak menyebut nama Sin Kun.”

“Habis, siapa kah orang itu? "

“Hambamu tidak mendengar jelas. Samar-samar ia menyebut nama seorang wanita."

Ban Liang tercengang.

"Nama seorang wanita? " ia menegasi. "Ya. Ini hanya menurut pendengaranku."

Siauw Pek heran-Tapi ia mengalihkan pembicaraan-"Nona, dalam keadaan sekarang ini, apakah daya nona untuk menentang musuh? " demikian ia bertanya.

"Sekarang ini dimana-mana terdapat orang Sin Kun telah kupikir memakai tenaga Sin Kun untuk membalas menghajarnya. Tapi keadaan ciu ceng membuatku harus berubah siasat. Inilah karena terpaksa.”

“Bagaimana, nona? "

"Mulanya hambamu menerka sin Kun mempengaruhi orang karena dia menggunakan obat beracunnya, sekarang terkaan itu tak dapat diandalkan lagi. Sekarang hambamu percaya sebenarnya sin Kun mempunyai semacam kepandaian silat yang luar biasa. Kepandaian apakah itu? Itulah yang harus dicari tahu."

XXX

"Bagaimana caranya itu, nona? "

"semasa hidupnya suhu pernah mengatakan kepada kami bahwa dalam dunia ilmu silat, ilmu silat partai Siauw Lim Sie yang paling liehay, partai itu paling banyak anggotanya serta paling kuat. Maka hambamu berpikir guna menentang Sin Kun, baik kita mengandalkan pihak Siauw Lim Pay itu. Karena itu sekarang hambamu mau pergi dahulu kegunung Siong San, untuk dapat membujuk partai itu supaya mereka maU membantu kita. Dengan begitu barulah kita tak akan kekurangan tenaga." Siauw Pek berpikir.

"Apakah nona telah mempunyai pegangan akan dapat membujuk Siauw Lim Pay? ”

“Tadinya belum tapi sekarang ada juga kepercayaanku...” “Apakah itu sebabnya, nona? "

"sekarang kita mendapat bantuan Han In Taysu." Siauw Pek lantas ingat Ngo Bie Pay itu.

"Nona benar" katanya.

"Sekarang ini Han In Taysu sudah bercacat, meski dia belum melupakan ilmu silatnya, tak dapat dia membantu kita. Walaupun demikian, kita harus merawat dan melindunginya baik baik. Sekarang dialah saksi satu satunya yang paling penting” “Itu benar" Ban Liang turut bicara.

"Sekarang perlu kita lekas lekas tiba di Siauw Lim Sie," Soat Kun berkata pula. "Seharusnya Seng Kiong Sin Kun sudah mesti muncul, sekarang dia belum juga tiba, mungkin ada suatu halangan untuknya. Pernah suhu bicara tentang peruntungan, katanya saat yang baik dapat lenyap didalam sekejap. dari itu, kita harus dapat menggunakannya dengan baik"

"Bagaimana nona pikir tentang ciu ceng? " Ban Liang tanya. "Dia dan orang orangnya sulit kita andalkan lagi guna menentang Seng Kiong Sin Kun. Walaupun racun mereka sudah disingkirkan, keberanian mereka sudah terpengaruh hebat. Dengan mengajak ajak mereka, bukankah itu suatu beban bagi kita? "

"Aku menyangsikan kalau mereka terpengaruh buat selama lamanya," soat Kun berkata. "Mungkin akan datang saatnya yang mereka akan sadar pula."

"Kalau begitu, baik kita ajak mereka. ciu ceng seperti lagi sakit, dia dapat dinaikkan ke atas kereta. Mengenai para kiamsu, biar mereka berjalan seperti biasa. Kelihatannya mereka masih dapat berjalan. Loohu yang akan memimpinnya."

"Baiklah begitu" si nona mengambil keputusan, sesudah mana ia menghampiri keretanya untuk menaikinya.

Setelah kereta kereta diberangkatkan, Oey Eng dan Kho Kong yang jalan dimuka. Siauw Pek sudah sembuh, bersama Thio Giok Yauw, ia mengambil kedudukan di tengah, guna melindungi kedua nona Hoan serta Han In Taysu. Ban Liang berjalan paling belakang dengan mengepalai rombongan ang ie kiamsu.

Roda roda kereta menggelinding terus menerus. orang sudah melalui lie lebih tatkala mendadak kereta kereta itu mesti dihentikan. Itulah sebab terdengarnya satu teriakan dan seorang kiamSu jatuh roboh dengan mulutnya mengeluarkan darah Segar. Dia mati Seketika. "Ada terjadi apakah? " tanya Nona Hoan, yang turun dari keretanya.

"Seorang kiamsu roboh mati seketika," Ban Liang menjawab. "Adakah suatu pertanda? " sinona bertanya

"Dia seperti terkena hajaran tangannya seorang laykee," sahut Ban Liang pula.

"Lay kee" ialah ahli silat bagian dalam, sebagaimana "gwa kee" adalah ahli silat bagian luar. Nona itu menghela napas.

"Dilihat dari sini, jangan jangan para kiamsu itu sukar tiba sampai di Siong San," katanya.

"ciu ceng juga belum sadarkan diri, inilah Untung baik dari dia.” “Kenapa begitu, nona? " tanya Siauw Pek.

"Dengan dia belum sadarkan diri, jiwanya seperti terlindung...” “Ada hal yang lohu tidak mengerti..." berkata Ban Liang. "Apakah itu, Ban Huhoat? "

"Lohu bicara dari hal kiamsu yang baru saja roboh mati itu. Loohu telah memeriksanya, dia ternyata bukan mati karena racun. Kalau dia terhajar hingga dia terluka dibagian dalam, siapakah yang menghajarnya? Di sepanjang jalan tak ada juga musuh yang menghadang."

"Mungkin dia telah terluka dari siang siang karena lukanya kumat, dia mati ditengah perjalanan ini."

"Nona cerdas, apa tidak ada daya nona untuk mencegah terulangnya kejadian seperti ini? " Ban Liang tanya. Si nona menggelengkan kepala.

"Inilah sebabnya kenapa aku ingin lekas lekas tiba di Siong San Sebenarnya orang orang Sin Kun itu dapat kita gunakan sebagai tentara kita." "Kalau kejahatan itu tidak dicegah, apakah kita bisa menonton saja disepanjang perjalanan kita ini? " tanya Siauw Pek.

"pada saat itu belum ada daya untuk menolong mereka," menjawab si nona, yang segera naik pula keatas keretanya. Siauw Pek memandang Ban Liang.

"Kalua dia mati karena kumatnya luka di bagian dalam, mestinya mereka roboh semua serentak," katanya. "Kenapa yang roboh hanya dia seorang diri saja? " Ban Liang menyeringai sedih.

"Lohu sudah tua dan berpengalaman, belum pernah mengalami peristiwa seperti ini," sahutnya masguL

Siauw Pek menghela napas terus ia berdiam.

Dari dalam keretanya si nona terdengar suaranya: "Mari kita melanjutkan perjalanan"

Terpaksa Ban Liang memberikan isyaratnya untuk berangkat.

Mayat si kiamsu dikubur sekedar saja.

Di dalam perjalanan lebih jauh, peristiwa si kiamsu tadi terulang. Bencana menimpa setiap rekannya yang masih hidup itu. Selalu asal terdengar teriakan, seorang prajurit tentu roboh binasa. Juga dengan muntah darah.

Aneh pula kejadian itu tidak mengganggu sahabat mereka yang masih hidup, Mereka itu tak peduli, tak kaget, tak menaruh perhatian sama sekali. Mereka tetap berjalan bagaikan mayat mayat hidup,..

Siauw Pek dan Ban Liang menyaksikan peristiwa itu, mereka cuma bisa berduka dan menghela napas. Tak ada daya untuk mencegah.

Ketika akhirnya pada waktu tengah hari rombongan Kim Too BUn tiba dikaki gunung Siong San, sisa kiamsu tinggal empat orang. Yang lainnya dapat nasib seperti kawan kawannya terdahulu itu.

Ban Liang menjadi seorang Kang ouw yang berpengalaman, ia tahu tentang aturan partai Siauw Lim Sie, terutama aturan dipusat partai pada saat saat upacara atau sembahyang besar, orang luar tak dapat datang secara bebas ke kuil yang tersohor itu. Terutama kaum Bu Lim Rimba Persilatan siapa yang lancang, dia akan dirintangi dan diserang. Maka itu hendak ia mencegah kereta yang terdepan maju terus. Tapi, baru ia mau membuka mulutnya, kereta sudah berhenti dengan mendadak.

Kiranya hal itu disebabkan dimuka jalan itu, disisi jalan, terdapat sebuah batu besar yang terukir empat huruf besar ini: "Kuda/kereta dilarang masuk"

"Apakah kita jalan terus dengan turun dari kereta? " tanya Oey Eng dan Kho Kong.

"Kita sudah tiba disini, itu berarti kita sudah memasuki wilayah Siauw Lim Sie," Ban Liang memberi keterangan. "Kalau orang biasa datang kemari, walaupun dia melanggar aturan, tidak apa, paling juga dia ditegur dan disuruh kembali. Tidak demikian terhadap orang Bu Lim, apalagi yang membekal senjata..."

“Habis bagaimana caranya kita mesti maju ini? " tanya Siauw Pek.

"Kita harus menurut menggunakan aturannya." "Apa dan bagaimanakah aturannya itu? "

"Kita mengirim kartu nama dahulu, untuk mengutarakan maksud ke datangan kita guna menunjukkan hormat."

"Jikalau begitu, kita perlu berdamai dahulu dengan Nona Hoan-" "Nanti loohu yang memberitahukan si nona," berkata Ban Liang,

yang terus pergi menghampiri kereta Soat Kun-Belum lagi jago tua

itu membuka mulutnya, tenda Nona Hoan sudah tersingkap dan sebelah tangan yang putih halus sudah diulur keluar, tangan mana yang menyerahkan sebuah amplop merah yang besar seraya  si nona berkata: "Aku telah menyediakan kartu nama ini untuk kita berkunjung dengan menuruti aturan disini" Ban Liang menyambuti. Ia membaca alamatnya, yaitu ketua Siauw Lim Pay, dan sipengirim, ketua Kim Too Bun-

"Nona memikir sempurna, loohu telah menduganya," katanya. "Sekarang tolong Huhoat mengajak Oey Huhoat pergi

menyampaikan kartu nama kita ini," berkata si nona. "Kami menantikan disini."

"Memang kita harus menantikan disini. Jalan kedepan itu sudah terlarang."

"Sudah lamakah adanya aturan ini? "

"Kita dahulu loohu datang kemari, aturan ini belum ada, kereta dapat maju sampai di muka kuil sekali"

"Kalau begitu, aturan ini belum lama berlakunya."

"Paling lama juga sampai tiga puluh tahun. Loohu berkunjung kemari pada tiga puluh tahun dahulu."

"Kita berhenti disini, itu artinya kita mesti mendaki dengan jalan kaki."

"Yang sulit ialah ciu ceng dan Han in Taysu yang satu tak sadarkan diri, yang lainnya CaCat kakinya.”

“Berapakah sisa kiamsu kita? ”

“Dapatkah mereka memikul tandu atau joli? ” “Harap saja mereka tak bakal mati ditengah jalan..."

"Masih berapa jauhkah untuk tiba kuil Siauw Lim Sie? ” “Kira-kira delapan lie lebih."

"Baiklah. sekarang huhoat boleh pergi bersama Oey Huhoat. Minta Kho Huhoat tolong Carikan beberapa potong bambu buat membikin semaCam gotongan bagi kita untuk mengangkat ciu ceng dan Han in Taysu."

"Baik nona," kata Ban Liang, yang terus pergi bersama Oey Eng. Dan Kho Kong pergi mencari bambu, yang mudah didapatkan didekat tempat itu. Dengan cepat ia membuat tandu darurat, maka juga ciu ceng dan Han in Taysu dapat dipindahkan ketandu itu.

soat Kun turun dari keretanya, dengan dua helai cita hitam, ia menutupi tubuh ciu ceng dan sipendeta. Han In diberitahu mengapa dia perlu menutup diri agar dia tidak menolak.

Keempat kiamsu bagaikan patung-patung tetapi mereka dapat diperintah Kho Keng untuk menggotong kedua tandu itu.

soat Kun tidak bisa melihat tetapi dengan pertolongan adiknya, ia tahu letak tempat serta sekitarnya. Maka ia berkata pada Siauw Pek: "Bengcu berjalan bersama hambamu berdua, dan Nona Thio bersama Kho Huhoat berjalan dibelakang, tetapi perhatikanlah keempat kiamsu kalau-kalau nanti ada yang roboh ditengah jalan.

Giok Yauw dan Kho Kong menerima baik pesan itu.

"Nah mari, kita berangkat" Soat Kun mengajak. "silahkan nona jalan dimuka" kata Siauw Pek. tersenyum. Kereta mereka dihentikan ditepi jalan, di sebuah tikungan-Lewat kira-kira tiga lie, jalanan menjadi lebar. Ada sebuah rimba pohon cemara menghadang ditengah jalan akan tetapi ditengah-tengah itu terbuka suatu jalan, yang terus ia lalui.

"AmidaBudha" tiba terdengar puji suci yang keluar dari dalam rimba itu, disusul munculnya seorang pedneta tua yang tubuhnya diselubungi jubah sucinya. Dia merangkap kedua belah tangannya seraya meneruskan berkata^ "Kedua siecu, terimalah hormat loo ceng"

"Loo ceng" itu berarti "aku sipendeta tua."

Soat Kun dan adiknya lekas-lekas membalas hormat.

"Tak berani kami menerima kehormatan besar dari loosuhu ini," kata sinona. "Aku mohon bertanya, untuk tiba digereja Siauw Lim Sie masih ada berapa lie lagi? " Pendeta itu tercengang. Dia berkata didalam hati: "Sungguh liehay bocah ini. Belum sempat aku bertanya dia sudah mendahului" Tapi ia mesti menjawab. Katanya: "selewatnya rimba ini, siecu berdua akan tiba dimuka kuil kami. Dapatkah siecu menerangkan, ada urusan apakah siecu datang berkunjung ini? "

"Kami hendak menghunjuk hormat kami kepada ketua loosuhu.” “Tadi ada dua orang yang membawa kartu nama, adakah mereka

kawan siecu? ”

“Benar"

Pendeta itu membuka lebar kedua matanya, mengawasi si nona. "Apakah kau Kim Too Bengcu? " tanyanya pula.

"Akulah bawahan Kim Too Bengcu," sahut si nona. "Nah, manakah Kim Too Bengcu sendiri? "

"Sebentar setelah bertemu dengan ketua loosuhu, Kim Too Bengcu akan muncul untuk membuat pertemuan-"

Pendeta itu berpikir, lalu dia kata: "siecu, walaupun kamu berkunjung dengan menggunakan aturan, akan tetapi..."

"Akan tetapi apa, loosuhu? Apakah ada sesuatu halangannya?

Silahkan loosuhu jelaskan-" Pendeta itu menghela napas.

"Siauw Lim Sie kami mempunyai satu aturan." "Aturan apakah itu? "

"Jikalau pinceng jelaskan, harap siecu tidak berkecil hati. Aturan ini ialah kuil kami melarang kunjungan perempuan. . . "

Istilah "pinceng" itu berarti "aku" buat seorang pendeta Buddhist. "Kedalam kuil loosuhu ini apakah tak ada wanita yang datang

bersujud? ”

“Ada memang ada..." "Kalau wanita itu seorang nyonya besar, apakah dia dilarang juga? ”

“Itulah lain..."

"sama-sama wanita, ada apakah bedanya? Kalau wanita bersujud boleh, baiklah loosuhu anggap akupun sebagai wanita yang bersujud itu..." Pendeta tua itu menggelengkan kepala.

"Walaupun sebagai wanita bersujud, siecu cuma bisa sampai disuatu bagian toa-tian, yaitu toa-tian pertama, tidak sampai ditoa tian kedua...”

Toa-tian-yaitu pendopo besar.

"Aku tidak percaya bahwa kuil Siauw Lim Sie yang besar dan ternama, semenjak beberapa ratus tahun dahulu, belum pernah ada wanita yang memasuki toa-tian yang kedua"

"Memang ada tetapi harus ada syaratnya.” “Apakah syarat itu? "

"Syarat itu ialah orang mesti mengandalkan kepandaiannya untuk masuk secara menerobos melewati penjagaan"

Sampai disitu, mendadak Giok Yauw mencampuri bicara. "Menerobos masuk bukanlah soal sukar" katanya. "Apakah

loosuhu yang bakal merintanginya? " Pendeta tua itu tertawa hambar.

"Siauw Lim Sie mempunyai aturannya yang keras," katanya. "Selama siecu belum mencoba memasukinya dengan paksa, mesti pinceng tidak berani menghalang halanginya."

setelah berkata begitu, pendeta itu menggeser kesamping. Melihat orang minggir, Soat Gle bertindak maju. Soat Kun mengikuti adik itu. Siauw Pek dengan tangan pada gagang pedangnya berjalan dibelakang nona itu. Giok Yauw dan lainnya lalu mengikuti juga .

Selewatnya rimba cemara, jalanan berupa jalanan dari batu putih yang terhampar rapih dan lebar. Didepan itu segera tampak pintu halaman luar yang tinggi dan besar. Diluar pintu itu berdiri dua orang pendeta dengan jubah merah.

"Kedua suhu, tolong suka membuka jalan" berkata soat Kun nyaring, "Kami datang untuk bersujud"

Kedua pendeta itu saling mengawasi satu dengan lain, lalu yang dikiri bertanya. "Apakah tuan tuan adalah orang Kim Too Bun? ”

“Ada pengajaran apakah dari kamu, kedua taysu? " si nona bertanya.

"Tadi ada utusan Kim Too Bun datang membawa kartu nama," kata pendeta itu. "Kami menjadi pendeta penyambut tetamu, karena itu kami hendak menyambut para tetamu kami.”

“Benar, kamilah orang orang Kim Too Bun” “Yang mana Kim Too Bengcu? "

"Sebentar setelah bertemu ketua kamu, Kim Too Bengcu akan muncul sendirinya."

Pendeta yang dikanan merangkapkan kedua tangannya. Katanya, "Aturan kuil, karena itu, siecu menjadi orang Kim Too Bun atau bukan, tak ada jalan buat siecu memasukinya." Pendeta itu bersikap hormat, cuma suaranya bernada dingin.

"Masih ada satu aturan lagi, yang taysu lupa menyebutkannya," kata Giok Yauw.

"Jikalau pihak tetamu meng gunakan kekerasan menerobos masuk kedalam kuil, tak ada tempat yang terlarang, bukan? "

Paras sipendeta berubah.

"Benar" katanya. "Asalkan nona mempunyai kepercayaan dapat menerobos masuk ke dalam kuil Siauw Lim Sie ini, sekalipun kamar suci dari ketua kami, nona tak salah untuk memasukinya "

Dengan memperdengarkan suara "Sreeet" Nona Thio menghunus pedang dipunggungnya. "Nona Hoan," katanya, "mereka dengan sengaja hendak merintangi kita, tak perlu kita banyak mulut lagi melayani dia bicara. Ia berpaling kepada kedua pendeta itu, matanya menatap tajam Katanya pula: "Taysu berdua, silahkan kamu menghunus senjata kamu" Pendeta yang dikanan tertawa.

"Aku bersama kakak seperguruanku ini akan menyambut nona dengan tangan kosong, itulah sama saja" sahutnya sombong. Giok Yauw menatap pula.

"Kamu berdua mengepung aku satu orang. Walaupun kamu tidak menggunakan senjata, itu pun pantas"

Begitu habis berkata, nona ini menggerakkan pedangnya, tapi disaat ia hendak menikam mendadak ia menundanya Katanya: "Satu hal perlu ditanya jelas dahulu "

"silahkan bicara, siecu" kata pendeta yang dikanan-"Kita bertempur untuk mengadu jiwa atau cukup dengan saling towel saja? " tanya si nona.

"Dalam hal itu terserah kepada nona," kata pendeta yang dikiri.

Giok Yauw berpikir.

"Begini saja " katanya. "Kita tiba hanya pada saling towel, tetapi kalau ada satu pihak yang terluka, anggap saja bahwa dia yang naas..."

"Baiklah, nona" menyahut kedua pendeta itu. "Kalau nona mempunyai jurus jurus yang liehay, keluarkanlah semuanya "

Baru saja pendeta itu menutup rapat mulutnya, Giok Yauw sudah menyerang. Ia menikam pendeta yang dikanan dan dengan tangan kosong, menyampok pendeta yang dikiri.

Kedua pendeta itu berkelit, menyingkir dari ujung pedang dan sampokan, menyusul itu, keduanya membalas menerjang dari kiri dan kanan.

Giok Yauw membungkuk, pedangnya dipergunakan membabat keatas setelah itu ia meneruskan menikam dada pendeta yang disebelah kanan Ini disebabkan dimatanya, pendeta itu sangat tidak menghormat.

Didalam kulitnya itu, kedua pendeta itu bertugas sebagai tie kek ceng yang pertama dan pembantunya ilmu silat mereka sudah sempurna. Mulanya mereka tidak memandang mata kepada Nona Thio, setelah dua gebrakan itu baru mereka insaf bahwa wanita ini bukan sembarangan. Maka mereka lalu bersungguh sungguh.

"Tie kek ceng" ialah pendeta tukang menyambut melayani tamu tamu.

Giok Yauw lalu mencoba mendesak. Lagi lagi ia menikam yang dikanan dan menyampok yang dikiri. Ia berlaku sebat beserta waspada Karena desakannya itu, baru sepuluh jurus, tie kek ceng yang kanan sudah repot, bahkan segera dia dihajar adat, yaitu jubahnya kena ditublas hingga jadi berlubang.

Dengan serempak kedua pendeta itu melompat mundur kira kira sejauh lima kaki. "Nona, benar ilmu pedangmu liehay Silakan masuk " kata mereka.

Giok Yauw menyimpan pedangnya, ia tertawa. "Niatlah pendeta pendeta dari Siauw Lim Sie tak kehilangan budi luhurnya sebagai orang orang partai besar," pujinya.

Merah muka kedua pendeta itu, akan tetapi mereka toh berkata. "Masih ada berlapis pintu nona, setiap pintunya makin kuat. Semoga nona jangan terlalu bergirang dahulu"

"Terima kasih" berkata Giok Yauw tersenyum. Ia terus bertindak maju. Kedua pendeta itu menyingkir kekedua sisi, mereka tidak merintang.

Baru rombongan ini berjalan beberapa tombak. sudah terlihat Ban Liang lari mendatangi. Jago tua itu lari cepat, maka sebentar saja sampai sudah ia diantara rombongannya .

"Ada apakah? " Soat Kun bertanya.

"Telah loohu sampaikan kartu kita," sahut Jago tua itu. "Siapakah yang menerimanya? " "Pemimpin dari Tat Mo Ih"

"Tat Mo Ih" adalah namanya "Ruang Tat mo" dan "Tatmo" atau Tatmo couwsu ialah Bodhiedarma, biksu dari India yang di dalam tahun 526 datang ke Tiongkok.

"Apakah LooCianpwee tidak bertemu dengan ketuanya? " "Seorang  pendeta  tua  dengan  janggut  putih  yang  menyebut

dirinya pemimpin dari Tatmo Ih itu, menemuiku dan dia mengaku

bahwa dia menerima perintah ketuanya menyambutku." "Apakah katanya? "

"Gerak gerik pendeta tua itu tegas sekali. Setelah dia menerima kartu kita, tanpa membaCa lagi, dia lalu berkata bahwa kuil Siauw Lim Sie biasanya tidak menerima kunjungan tamu tamu wanita, bahwa walaupun kita datang dengan memakai aturan, mereka toh tidak dapat merusak aturannya sendiri, bahwa dia mesti mentaati aturan kuilnya"

"Apakah aturan itu? "

"Aturan mengandalkan ilmu silat memaksa masuk kedalam kuil" "Jikalau demikian adanya, tak dapat tidak, kita mesti

menggunakan kekerasan" berkata Giok Yauw “Hm Kalau tahu tahu begini, tak usah kita mengirim kartu nama lagi"

"Hanya, ketika aku mau mengundurkan diri pendeta tua itu mengatakan kepadaku bahwa walaupun dia tak berdaya melanggar aturannya dia toh akan membantu kita sebisanya agar kita bisa masuk ke dalam Siauw Lim Sie."

"Itu artinya dia hendak mengatur segalanya untuk memudahkan kita masuk," berkata nona Hoan-

"Begitulah kiranya,"

"Mana Oey Eng? " Siauw Pek bertanya. Jago tua itu keluar seorang diri. "Ia berada didalam."

Alis si anak muda bangun sendiri. Ia hendak membuka mulutnya tetapi bataL

Ban Liang berkata pula, perlahan: "Aturan di dalam kuil ini keras sekali, karena dia tak sudi menyambut kita memang satu pertempuran tak dapat dihindarkan lagi. Aku pikir, nona baiklah nona menentukan kita supaya pertempuran ini berupa saja sampai saling towel, agar kita tidak membinasakan, atau melukai, pendeta pendeta Siauw Lim Sie.”

“Baiklah. amat suka aku mendengar kata kata Loocianpwee." "Nah... sekarang aku hendak kembali ke dalam guna

menyampaikan berita. Disana kita menantikan nona bersama."

"Jika ada terjadi sesuatu perubahan, lekas kabari kami" Soat Kun pesan-

"Baik." berjanji sijago tua, yang terus kembali kedalam.

Nona Hoan segera berkata: "Nona Thio telah menang satu rintasan, maka untuk rintasan selanjutnya silahkan bengcu yang turun tangan"

Giok Yauw menurut, ia mundur. Iapun tahu sipemuda jauh lebih liehay dari padanya.

siauw Pek segera maju dua tindak maka ia kini berada dipaling depan. Ia berjalan di muka.

Pintu besar terpentang, dari sebelah luar tampak halaman dalam yang panjang dimana terdapat barisan pohon pohon pek dan cemara.

Dengan kepala diangkat Siauw Pek memasuki pintu pekarangan itu.

Giok Yauw bertindak bersama sama kedua nona Hoan. Ia bagaikan sipelindung. Kho Kong berjalan paling belakang bersama empat orang ang ie kiamsu yang menggotong Han In Taysu dan ciu ceng.

Baru saja rombongan ini memasuki halaman sudah terdengar  puji keagamaan yang mendengung kedalam telinga, dari balik pintu segera muncul empat orang pendeta dengan tongkat di masing masing tangannya. Mereka itu bergerak gesit, melintang di tengah jalan.

siauw Pek menghunus pedang tanpa mengucapkan apa apa, ia mendahului menyerang. Empat pendeta itu menyambuti, selagi yang satu menangkis, yang tiga menyerang. Dengan begitu bentroklah mereka, hingga suara pedang dan sering terdengar.

"Ah orang ini lihay"pikir keempat pendeta itu. Mereka merasai getaran tangan akibat terbenturnya senjata mereka dengan pedang sipemuda.

Keempat pendeta itu dapat bekerja sama dengan baik. Biasanya, kalau mereka meluruk serentak. senjata lawan mesti ditarik kembali. Pedang siauw Pek lain dari pada yang biasa. Si anak muda justru menangkis lalu terus menyerang, membabat, memapas.

Bersenjatakan tongkat yang berat dan cukup panjang, desakan sianak muda membuat keempat pendeta itu repot. Tak leluasa mereka berkelahi rapat sekali.

satu kali siauw Pek menyerang dengan sabetan terus menerus, kesudahannya ia mencoret ujung baju seorang pendeta yang disebelah kiri, setelah mana dengan sinar pedangnya dia mengurung tiga yang lainnya.

Repotlah keempat pendeta, pada akhirnya, mereka mundur sendirinya.

"Suhu sekalian mengalah saja" berkata siauw Pek hormat, dua jeriji telunjuk dan tengah diatas pedangnya, kakinya terus bertindak maju, untuk masuk terlebih jauh. Giok Yauw mengajak rombongannya ikut masuk. Keempat pendeta mengawasi dengan melongo. Tak ada yang berani menegur atau menghalangi pula. Adalah aturan dalam Siauw Lim sie, kalau mereka kalah, mereka mesti berdiam saja walaupun kekalahan itu membuat mereka hilang muka.

Siauw Pek sudah berjalan kira kira enam tombak ketika jalanan membelok kekiri. Ia bertindak terus mengikuti jalan itu. Tapi segera ia dihadang dua orang pendeta, satu tua satu muda. Pendeta yang tua itu mengenakan jubah abu abu, janggutnya sudah ubanan semua, wajahnya sangat tenang, hingga sukar orang menerka usianya. Yang muda berumur lebih kurang dua puluh tahun, jubahnya putih, lehernya berkalungkan kalung tersebut tasbe Senjatanya, sebatang golok, tersemblok dipunggungnya.

Pendeta yang tua itu segera merangkap kedua tangannya, tubuhnya menjura, dengan hormat ia memperkenalkan diri sebagai Su Lut.

Mengetahui nama suci pendeta itu mulai dengan huruf "Su", Siauw Pek jadi ingatpada Su Kay Taysu. Maka itu, melihat usia  lanjut dari orang ini, tahulah ia bahwa Su Lut menjadi salah satu tiang loo yaitu pendeta dari tingkat tua. Lekas lekas ia membalas hormat.

"Boanpwee adalah coh Siauw Pek," ia memperkenalkan diri. Ia menyebut nama benarnya. Alis pendeta tua itu berkerut

"Siecu telah melalui beberapa rintangan, itulah bukti dari kepandaianmu yang mahir. Loolap mendapat tugas menjaga disini, jikalau siecu ingin lewat juga , silahkan kau menggunakan kepandaianmu"

Nada suara pendeta menandakan bahwa dia memegat karena terpaksa.

"Akulah seorang muda, tak tepat aku menjadi lawan taysu," berkata Siauw Pek merendah. "Jangan segan, siecu" berkata pula sipendeta. "Loolap mendapat tugas menjaga disini, biar apa juga yang siecu ucapkan, tak dapat itu membuat loolap mengalah membagi jalan-"

"Kami berkunjung dengan menghaturkan kartu nama, tak ada maksud jahat dari kami," siauw Pek menjelaskan-"Kami cuma mohon diijinkan menghadap ketua taysu..."

"Tak ada gunanya untuk banyak bicara, siecu," menyela sipendeta.

"Baiklah siecu menerobos saja"

Siauw Pek masih tetap berlaku hormat.

"Boanpwee kenal dengan Su Kay Taysu. Taysu dari hurup Su, tentunya..." katanya.

"Loolap tak pandai bicara, juga tak dapat banyak omong," sipendeta memutus. "Jikalau siecu merasa kau bukanlah lawanku yang tua silahkan kau mundur dan keluar dari kuil ini." Itulah pengusiran cara halus. Siauw Pek menjadi heran.

"Kenapakah pendeta ini seperti takut bicara denganku? " pikirnya. Kemudian ia berkata: "Kalau begitu, baiklah, terpaksa boanpwee menerima baik perintah taysu..." Su Lut menoleh kepada sipendeta muda.

"Siecu ini sudi memberi pengajaran, apakah kau masih tak mau mengeluarkan senjatamu? "

Pendeta muda itu mengiakan terus ia menghunus goloknya. Iapun segera berkata: "Siauw ceng adalah Peng In Silahkan siecu memberikan pengajaranmu"

"Siauw ceng" adalah "pendeta yang kecil" (muda) Itulah kata kata merendah sebegai gantinya "aku".

Kembali siauw Pek heran. Pikirnya pula: "Mungkin pendeta ini memegang harga diri, tak mau dia turun tangan sendiri, maka juga dia mengajukan ini pendeta muda..." Tapi segera ia mengulapkan pedangnya seraya berkata: "Suhu kecil, silahkan keluarkan semua kepandaianmu"

Peng In tidak segan-segan, dia segera membacok pada lawan Siauw Pek menggeser kesamping, pedangnya dipakai menyampok golok lawan-Nampaknya gerakan sipendeta muda biasa saja, tak tahunya, dia gesit sekali. Tidak menanti sampai goloknya terhajar, ia sudah menurunkannya dan segera diangkat pula, dipakai menebas lengan kanan lawannya itu.

“Hebat" pikir Siauw Pek. "Dia muda tetapi dia sudah liehay sekali..." Karenanya tak mau ia lalui. Segera ia menikam tiga kali saling susul. Dari menyerang, sipendeta muda segera menjadi pihak pembela diri.

Sekarang ketua Kim Too Bun membalas menyerang ia memutar pedangnya guna mengurung lawan dengan sinar pedangnya itu. Maka segeralah sipendeta menjadi repot membela diri. su Lut menonton beberapa lama itu, segera ia menggeleng-geleng kepala.

"Kau bukanlah lawan siecu ini, lekas mundur" akhirnya ia menyerukan-Pendeta muda itu mendengar kata, ia melompat mundur.

"Amidha Budha" Su Lut memuji. "Siecu liehay sekali ilmu pedangmu, muridku bukanlah lawanmu, maka itu, mari berikan kesempatan buatku belajar kenal barang beberapa jurus." Siauw Pek merendah.

"Boanpwee bukanlah lawan taysu." katanya.

"Jangan merendah, siecu. Asal dapat kau melewati loolap. segera kau akan menemui ketua kami, selanjutnya tak akan ada rintangan lainnya lagi..."

Siauw Pek mau menjawab, tapi sipendeta tua mendahului menambahkan kata katanya itu "cuma, kalau sebentar siecu bertemu dengan ketua kami, maka kau segera berada dalam ancaman bahaya yang tak terhingga..." Keheranan si anak muda memuncak. "Kata-kata pendeta tua ini teranglah mengisiki aku tentang persiapan didalam kuil. Kenapa dia mengatakan begini? Sungguh sulit akan menentukan dialah lawan atau kawan..." Tak sempat Siauw Pek berpikir.

Berkata pula sipendeta tua, cukup keras^ "Siecu, loolap sudah bicara, maka itu silahkan siecu mulai turun tangan"

Si anak muda masih ragu-ragu, tapi ia kemudian mendengar suara Soat Kun: "Saat ini sang waktu bagaikan emas, paling baik janganlah memperlambatnya" Sementara itu Su Lut pun menggerakkan tangan kanannya sambil berkata.

"Kalau siecu seandainya tidak mau turun tangan lebih dahulu, baiklah loolap yang mulai"

Pendeta ini bertangan kosong, ia segera menyerang. Baru sekarang si anak muda tersadar ia lalu menangkis.

Su Kut Taysu menyerang dengan tangan kanan, melihat pedang lawan, ia lekas menarik kembali tangan itu, sebaliknya^ dengan tangan kiri, ia serta merta menyerang pula. Siauw Pek memutar pedangnya, membabat lengan sipendeta.

"Bagus" Su Lut berseru, tangan kirinya ditarik kembali, tangan kanannya menggantikan meluncur lagi.

Secara begini sipendeta mendesak. untuk membikin si anak muda tak dapat merapatinya.

"Benar-benar hebat tenaga dalam pendeta ini." Siauw Pek memuji dalam hatinya.

Pertempuran berjalan seru sekali, tapi tidak lama, sinar pedang sudah mulai merapatkan sipendeta. Dia ini lihay tapi dia nampak kewalahan juga . Karena itu, lewat lagi beberapa jurus, dia menolak dengan keras, lalu mendadak dia melompat keluar dari kalangan, berdiri di sisi seraya berkata: "Siecu ilmu silat siecu lihay sekali. loolap bukanlah lawanmu. Silahkan masuk" Siauw Pek mengerti. Katanya didalam hati "Pendeta ini masih sanggup bertahan, dia mundur, nyatanya dia mengalah membuka jalan-" Maka lekas-lekas ia memberi hotmat sambil berkata. "Taysu mengalah saja Maaf" Lalu ia berjalan maju, meninggalkan sipendeta untuk masuk lebih jauh kedalam.

Bersama muridnya Su Lut mundur tiga tindak Soat Kun bersama kawannya lalu mengikuti siauw Pek masuk.

Benar apa yang dikatakan Su Lut Taysu. Di sebelah dalam Siauw Pek tidak menemui rintangan apa-apa lagi. Ia sudah jalan kurang lebih satu lie. Tibalah didepan bangunan yang besar itulah sebuah pendopo, yang menghalang ditengah jalan-Pintu pendopo terpentang lebar, di kiri dan kanannya cerbaris sejumlah pendeta. Ditengah-tengah tampak seorang pendeta setengah tua dengan tubuh tertutup jubah kuning. Roman dia keren.

Segera setelah mengawasi, siauw Pek mengenal It Tie Taysu yang ia telah pernah menemuinya dipuncak ciong Gan Hong. Bahkan kali ini pendeta itu-ketua Siauw Lim Sie-nampak terlebih agung pula.

Seorang pendeta setengah tua yang berdiri di luar toa-tian, pendopo besar itu, berkatanya nyaring. "Kim Too Bengcu sudah berhasil melintasi pelbagai rintangan, ia telah sampai di toa tian ini, diminta dengan hormat untuk ciangbun memegatnya."

"ciang bun" ialah "ketua" atau bapak ketua.

It Tie menoleh kepada seorang pendeta dengan jubah biru disisinya. "Kalau menurut aturan kuil kita, bagaimana sekarang? " dia tanya. Pendeta itu yang ditanya menjawab:

"Menurut aturan kita, kalau pendatang berhasil masuk dengan melintasi pelbagai rintangan, tak peduli dia laki laki atau wanita, dia harus disambut dengan aturan sebagaimana mestinya, diundang memasuki toa-tian-"

"Baik" berkata ketua siauw Lim Pay itu. "Dengan menuruti aturan kuil kita, silahkan sutee mewakiliku menyambut para tetamu kita" Pendeta itu menyahutnya, terus ia bertindak keluar, menemui siauw Pek, sambil memberi hormat, ia berkata, "Pinceng adalah It ceng dengan menerima perintah ketua kami, pinceng menyambut para tamu"

Siauw Pek membalas hormat^ "Kami memayahkan taysu saja," katanya. It ceng bertindak kesamping.

"Silahkan tuan tuan masuk. untuk minum teh" ia mempersilahkan dan mengundang.

Siauw Pek menoleh kebelakang. "Nona..." katanya.

Soat Kun segera menjawab: "Kita datang berkunjung, sudah selayaknya kita menerima undangan masuk kedalam? "

Kali ini si nona yang mendahului bertindak masuk Giok Yauw memasukkan pedang kedalam sarungnya ia mengikuti nona itu.

It ceng membiarkan Siauw Pek dan kawan-kawan masuk. tetapi ia mencegah keempat kiamsu.

"tuan-tuan berempat menggotong apa? " tanyanya. "orang? " menjawab Kho Kong, yang turut tercegat. It ceng heran hingga ia terCengang.

"orang? " Tanyanya,

"orang hid up atau orang mati"

"Sudah tentu orang hidup" sahut si anak muda

"Kalau orang hidup, kenapa mesti ditutupi kain hitam? "

Memang disaat itu, Han in dan ciu ceng dikerobongi rapi dengan kain hitam.

"Jikalau saatnya telah tiba, kami akan membuka kerobong ini," Kho Kong menjawab "Sebentar tak usahlah taysu berpayah-payah diri lagi "

It ceng menggelengkan kepala. "Ketua kami adalah seorang yang mulia," berkata dia. "Benar tuan-tuan telah mematuhi aturan dan berhasil melintasi pelbagai rintangan, akan tetapi untuk menjumpai ketua kami, ada batas batasnya."

"Batas apakah itu? "

"Barang yang dibawa empat orang itu harus ditinggalkan disini, diluar toa tian" menerangkan sipendeta, suaranya tetap dan pasti.

Kho Kong terbengong mengawasi pendeta itu, sangsi  ia memaksa lewat atau berdiam saja.

Syukur segera terdengar suara Soat Kun "Jikalau kamu tidak dapat masuk, nah, tunggulah diluar..."

Kho Kong menurut, segera dia mengajak empat orangnya mundur untuk meletaki kedua tandu, terus mereka duduk mendeprok. ia menanti tapi ia waspada. Siauw Pek maju sambil melihat kekiri dan kanan, untuk memperhatikannya.

It Tie tampak duduk agung-agung diatas sebuah kursi yang terbuat dari kayu cendana. Ia didampingi sejumlah pendeta, yang semuanya nampak bersemangat. Teranglah mereka itu sebenarnya bersikap melindungi ketuanya itu.

"Tuan yang mana Kim Too Bengcu? " ketua Siauw Lim Sie itu bertanya.

siauw Pek sudah hendak menjawab kapan ia ingat mungkin Soat Kun mengandung sesuatu maksud, maka ia menoleh kepada si nona. ia tidak membuka suara.

Soat Kun bertindak maju, tiba disisi sianak muda, ia berhenti. Ia lalu berkata dengan tenang "Kim Too Bengcu sudah berada didalam kuil ini."

"Tuan yang manakah itu? " tanya It Tie, menegaskan-"Silahkan maju untuk bertemu dengan pinceng"

"Tunggu sebentar, taysu, tak akan terlambat," sahut Soat Kun. It Tie nampak heran, maka iapun memandang keluar pendopo, kepada kedua buah gotongan itu. "Mungkinkah ketua kamu terhalang diluar toa-tian-" tanyanya.

Soat Kun tidak menjawab pertanyaan itu.

Sipendeta batuk-batuk. lalu dia berkata pula: "Andaikata Kim Too Bengcu tidak ada disini, diantara kalian, tuan tuan, mesti ada seorang wakilnya? "

Baru sekarang sinona menjawab: "Hongtio hendak menanyakan apa, silahkan tanya, pasti akan ada yang menjawab."

“Hongtio" ialah panggilan untuk seorang pendeta ketua kuil. siauw Pek yang berdiam saja, memasang mata berkeliling. la

tidak melihat Ban Liang dan Oey Eng. ia menjadi heran, maka ia bertanya: "Kami masih mempunyai dua anggota rombongan, yang menjadi utusan, dimanakah mereka sekarang? "

It Tie menjawab dengan tawar: "Menurut aturan kuil kami, kedua pesuruh kamu itu telah diundang masuk kedalam Tatmo ih untuk mereka disuguh teh "

siauw Pek mengangkat kepalanya, memandang It Tie, sinar matanya segera berubah menjadi tajam sekali, sebab tiba-tiba ia ingat peristiwa di ciong Gan Hong.

"Taysu, apakah taysu masih ingat akan aku yang rendah? " tanyanya. It Tie tetap membawa sikap agung-agungannya. Dia menggelengkan kepala.

"Punco sangat jarang muncul didunia Kang ouw, dari itu sangat sedikit yang kukenal," sahutnya.

Hati sianak muda terCekat. Katanya pula : "Ketika dipuncak ciong Gan Hong, walaupun kita bertemu didalam keadaan tergesa-gesa, tapi aku yang rendah masih ingat baik sekali wajah taysu, tak mungkin aku keliru mengenali" "Telah punco terangkan," kata It Tie, tetap tawar, "sangat jarang punco keluar dari dalam kuil, sedangkan orang-orang Bu Lim, tak banyak yang punco kenaL Pastilah tuan telah keliru melihat orang"

Siauw Pek berkeras. Katanya: "Mana mungkin aku salah mengenali ketua Siauw Lim Sie"

It Tie bersikap tenang. Katanya perlahan-"Itulah bukan soal penting,"

Ia berdiam sejenak. baru ia melanjutkan: "Menurut aturan kaum Kang ouw, kamu dari Kim Too Bun, kalau kamu mengirim kartu mengunjungi gunung kami, mestinya kamu mempunyai urusan yang hendak dirundingkan dengan punco, oleh karena itu, karena waktu tak banyak, hingga punco tak dapat lama-lama menemani kamu, kalau ada bicara, lekaslah utarakan itu"

siauw Pek berpikir: "Dia menyangkal keras tentunya dia telah pergi ke Heng San secara sembunyi hingga sebagian besar pendeta pendeta disini tak tahu tentang gerak gerik atau sepak terjangnya itu."

Berpikir demikian, anak muda ini mau bicara lebih jauh, untuk membeber sepak terjang orang, tapi ia mendengar suara Nona Hoan.

"Taysu, tanya Soat Kun, "didalam satu tahun ini, pernah kah taysu meninggalkan kuil siauw Lim Sie ini? Taysu pernah merantau atau tidak? "

It Tie berpikir sedetik, lalu ia berkata. "Jikalau kamu tidak punya urusan apa apa, punco hendak mengundurkan diri. Segala pertanyaan tidak beraturan ini, apakah punco diharuskan menjawabnya."

Nona Hoan berlaku sabar, katanya. "Kami membuat kunjungan dengan menggunakan aturan, kami menerobos kemari juga dengan menuruti aturan kuil kamu, maka itu, andaikata hong Thio tidak sudi menemui kami, toh hong Thio mesti menemuinya juga " It Tie menoleh kekiri dan kanan, kepada murid muridnya, terus dia berkata. "Punco sedang repot dengan pekerjaan didalam kuil, tak ada waktu buat punco bicarakan dari hal yang tidak keruan, jika tuan-tuan masih hendak bicara, nah bicaralah dengan pemimpin Tatmo ih kami Punco ingin berlalu lebih dahulu"

Begitu habis berkata, begitu It Tie bang kit, untuk bertindak memutar tubuh, meninggalkan para tetamunya. "Tunggu" berseru Soat Kun/

Semua pendeta berubah air mukanya. Mereka tidak senang mendapatkan tetamu berlaku demikian tak hormat terhadap ketua mereka.

Nona Hoan tidak melihat akan tetapi ia dapat menerka sikap sekalian pendeta itu. Soat Gie selalu memberi bisikan kepadanya tentang segala apa yang tampak disekitar mereka. Tanpa memperdulikan sikap mereka itu ia terus berkata: "Apakah kau ingin ketahui hal ikhwal Su Hong Taysu, ketua kamu yang dahulu? "

Suara itu tinggi dan tegas nyata.

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar