Pedang dan Golok yang Menggetarkan Jilid 08

JILID 8 
"Saudara Kho, lekas mundur " si anak muda menyerukan-

Kho Kong bertiga bertempur ditanah sawah yang berlumpur, kaki mereka saban-saban membelebas, karena itu gerak gerik mereka kurang bebas. Pakaian mereka telah kecipratan air kotor.

Kho Kong sudah mulai terdesak, ketika ia mendengar suaranya Siauw Pek, yang ia kenal ia menjadi girang sekali. Maka ia menjawab : "Bengcu..." Tapi baru saja ia membuka mulutnya ketika itulah justru serangan tiba. Ia kaget sekali, dengan gugup ia menangkis. Karenanya tak sempat ia melanjutkan kata-katanya. oey Eng melihat tegas saudara itu terdesak. "Biar aku bantu padanya." katanya pada Siauw Pek.

"Jangan sembrono," sianak muda berkata, "saudara Kho terdesak tetapi ia masih dapat bertahan sekian lama. Sulit adalah lumpur sebatas dengkul itu. Tapi mereka itu sudah jadi biasa, tidak demikian dengan kau, bahkan kalau kau maju, kedua lawan mungkin akan memperkeras desakannya. Baiklah kita tunggu sampai mereka pindah dari sawah, baru kita memberikan bantuan." oey Eng menurut.

"Bengcu benar," katanya. Ia lantas menyiapkan pedangnya, untuk sewaktu-waktu membantu saudara angkatnya itu.

siauw Pek berkata tenang, sebenarnya hatinya tegang. Itu disebabkan Kho Kong makin terdesak kedua lawannya, jangankan buat mundur keluar dari sawah, buat menangkis saja repot. Bagaimaa harus menolong kawan itu ?

"Mau tak mau, mesti aku mencoba goloknya Suhu Siang Go." pikirnya kemudian Ia ingat Toan Hun It Too. golok tunggal pencabut nyawa. "Terpaksa aku mesti melukai kedua musuh itu "

Segera dia mengambil keputusan, siauw Pek mulai menghafal rahasia cara pemakaian goloknya yang ampuh, sambil menghafal tangannya membuka buntalannya, dikeluarkan goloknya.

Itu adalah sebuah golok tua yang terbuat dari baja hijau, dari perunggu, gagangnya terukir dengan ukiran yang halus dan tergantung runce sutera kuning. Terkena sinar matahari, golok itu bercahaya berkilauan-

Segera setelah dia bersiap. sepasang mata Siauw Pek yang tajam dan bengis diarahkan kepada kedua lawan Kho Kong.

Oey Eng melihat wajah bengcu itu, dia terkejut hingga dia tercengang. Ketua ini menjadi bengis luar biasa, perubahannya itu secara sangat tiba tiba. Tadinya ia hendak mencegah, tetapi bibir bengcu itu sudah bergerak mengeluarkan seruan perlahan, segera disusul selagi tubuhnya lompat kearah sawah, berkelebat golok itu yang memperlihatkan sinar hijau yang menyilaukan-

Hanya sekejap maka terdengarlah suara jeritan kesakitan yang hebat, yang saling susul, diiringi dengan robohnya kedua musuh Kho Kong roboh terkulai di sawah, darahnya yang merah berlumuran membuat merah lumpur di dekatnya.

Sementara itu Siauw Pek berdiri diam saja. goloknya didalam cekalannya, wajahnya nampak tak wajar guram, suram dan menyesal... Kho Kong dengan sepasang senjatanya ditangan juga berdiri tertegun Baru selang sesaat dia tersadar, maka lekas lekas ia meninggalkan sawah menghampiri ketuanya itu.

"Terima kasih, bengcu." katanya memberi hormat. "Terima kasih atas pertolongan bengcu."

Sesaat itu, Siauw Pek pun bagaikan tersadar, maka wajahnya segera berubah pula. Bahkan dia bisa tertawa perlahan Walaupun demikian diapun berkata kata seorang diri: "Kenapa kau membunuh mereka? Mereka toh bukannya musuh besar hingga mereka mesti dibinasakan?"

Kho Kong dapat menerka hati orang.

"Tetapi, bengcu," katanya, "bengcu terpaksa melakukan itu untuk menolong aku." Siauw Pek menghela napas.

"Tidak salah, tidak salah," katanya, menarik napas. "Ia, karena aku hendak menolong jiwamu, saudara, terpaksa aku membinasakan mereka itu berdua." Sementara itu terdengar suaranya Oey Eng, "Bengcu Saudara Too, mari lekas"

"Perlu kita urus dahulu mayat dua orang itu," kata sang ketua. "Tak usah bengcu berlelah diri," berkata Kho Kong, yang segera

mengangkat kedua mayat lawannya itu pergi dari tengah sawah.

Bagaikan dia letih sekali, siauw Pek mengambil sarung golokya, yang terletak ditanah untuk menyimpan goloknya itu, kemudian dia duduk menumprah, kepalanya diangkat, didongakkan, untuk mengawasi matahari diantara langit yang biru.

Berselang sekian lama, Kho Kong sudah kembali dengan pakaian sudah ditukar dengan yang kering dan bersih, dia menghampiri ketuanya dan berkata perlahan "Bengcu, dua orang itu adalah penjahat-penjahat besar dari dunia Rimba Hijau, merekalah yang digelarkan Hoolam Jie cie. Dua tikus dari Hoolam. Julukan itu sudah membuktikan kejahatan mereka, dengan membinasakan dua manusia jahat itu, tak usah bengcu menyesal atau masgul."

Siauw Pek berpaling dengan perlahan "Bagaimana kau ketahui itu?" tanyanya.

"Selagi aku mengubur mayatnya, pada tubuhnya kedapatan sebuah surat yang memakai alamatnya," sahut Kho Kong. Siauw  Pek menghela napas.

"Mana suratnya itu?"

Kho Kong merogoh sakunya dan mengeluarkan surat yang ia sebutkan, lalu menyerahkannya pada ketuanya seraya berkata: "Silahkan bengcu periksa." Siauw Pek menyambuti, ia membeber surat dan membaca: "Hoolam Djie Tjie

Selagi aku bepergian, diam diam pada tengah malam kamu memasuki rumahku, kamu mencuri dan juga melukai orang, maka ketahuilah olehmu, untuk sakit hati ini, jikalau aku tidak membunuh kami, tak puas hatiku... Bagian selanjutnya surat itu tidak dapat dibaca, sebab suratnya sudah kotor dan rusak bekas terkena lumpur.

"Jikalau begini, benarkah mereka manusia manusia busuk." kata si anak muda seorang diri.

"Mereka mencuri dan melukai orang, memang benar mereka bukan orang baik baik " kata Kho Kong tertawa. Siauw Pek tersenyum.

"Mereka manusia manusia jahat, tak salah aku membunuhnya" katanya, yang terus melemparkan surat itu seraya ia berlompat bangun-Hati Oey Eng lega menyaksikan gerak gerik ketuanya itu. "Bengcu penuh kasih dan bijaksana, kaulah bukan sembarang orang," katanya. Si anak muda menghela napas.

"Ayah bundaku terfitnah dan terbinasakan, mereka merembet seratus jiwa orang lain," katanya. "peristiwa itu membuat aku merantau dan terlunta lunta bertahun tahun, semua itu aku ingat baik sekali, berkesan sangat mendalam, walaupun demikian, tak ingin aku membinasakan biar seorangpun asal dia orang baik baik. Selamanya aku hendak mencari tahu dan membedakan diantara benar dan salah."

"Oh, begitu..." kata Oey Eng, yang terus memandang Kho Kong dan menanya : "Saudaraku, rupanya karena kau menguntit Hoolam Djie Tjie, kau jadi dikepung mereka itu?"

"Tidak seluruhnya begitu," jawab saudara yang ditanya itu. "Sebenarnya aku menguntit si penggembala yang membawa bawa seruling itu. Rupanya dia mengetahui aku menguntitnya, lalu dia memancing aku sampai disini. Terang disini dia telah mengatur tentara tersembunyi. Dengan mendadak Hoolam Djie Tjie muncul dan mengepung aku, selagi aku bertempur, penggembala itu terus kabur dan menghilang. Tidak kusangka kedua penjahat itu tangguh, untung bengcu lekas datang membantu..."

"Teranglah mereka telah mengatur rencana sempurnya," berkata Siauw Pek. "Lauw Hay tju sudah menutup mata, kawanan itu tentu tidak bakal datang pula kemari," berkata oey Eng. "Aku pikir, sebaiknya kita segera berangkat pergi. Kita perlu menyelidiki si penggembala dan konco-konconya." Kembali Siauw Pek menghela napas. Ia masgul sekali.

"Aku berniat pergi ke Pek Ho Po untuk melihat kampung halaman dan rumahku..." katanya. Ia mendongak melihat langit.

"Baiklah, bengcu. Mudah mudahan saja disana kita akan mendapatkan sesuatu yang bisa membantu penyelidikan kita ini," berkata oey Eng. Siauw Pek mengangguk. "Baik Marilah "

Segera anak muda ini berjalan di depan ia berjalan sambil mengingat-ingatjalanan ke kampung halamannya itu. Ia mengingat samar samar. Oey Eng dan Kho Kong mengikuti di samping kiri dan kanan bengcu itu.

Belum ada satu jam, tiga orang sekawan ini sudah mulai melihat kota Gakciu. Itulah sebuah kota yang ramai, disana banyak penduduk mundar mandir. Dipandang dari segi militer, kota itu juga sebuah kota penting.

Ketika sedang berjalan oey Eng mengawasi pakaian kedua kawannya dan pakaiannya sendiri.

"Dengan dandanan semacam ini, tak pantas kita berjalan dijalan jalan yang ramai ini," katanya perlahan "Baik kita cari tempat dimana kita bisa beristirahat sebentar." Siauw Pek setuju.

"Baiklah," sambutnya. "Kita singgah sekalian untuk jajan-"

"Gak Yang Lauw menjadi tempat terkenal dari kota Gakciu, kenapa kita tidak pergi kesana saja?" Kho Kong mengusulkan "Kita minum disana."

"Didalam kendaraan, diatas perahu, di rumah makan atau dikantoran, orang paling berminyak matanya," kata oey Eng. "kita berdandan begini, apakah kita tidak bakal diusir bagaikan anjing ?" "Jikalau sampai terjadi begitu, aku akan ajar adat orang macam begitu" Siauw Pek usulkan "Kita pergi dahulu kesebuah tempat, untuk membuat pakaian baru, barulah kita pergi ke Gak Yang Lauw."

"Bengcu benar " Kho Kong memuji.

Maka pergilah mereka mencari suatu toko penjahit, disana mereka minta dibikin beberapa potong baju dan celana. Dilain saat, selagi mendekati magrib, mereka itu sudah sedang menuju keranggon, atau lauwteng, Gak Yang Lauw.

Sebenarnya Gak Yang Lauw bukan ranggon atau lauwteng bersahaja, tempat itu adalah restoran terbesar didalam kota Gakciu. Sekalipun dihari hari biasa, restoran itu selalu penuh dengan tamu tamunya. Demikianlah, ketika Siauw Pek bertiga tiba, ruang sudah penuh.

"Maaf tuan tuan, sudah kehabisan tempat duduk" menyambut seorang pelayan.

"Tak usah kau gelisah hati, kami dapat naik dan melihat sendiri " kata Kho Kong, dingin. Dan tanpa memperdulikan si pelayan, dia membuka tindakan lebar untuk naik kelaUWteng.

Siauw Pek dan oey Eng mengikuti. Mereka tak likat lagi, karena pakaian mereka sekarang sudah mentereng. Nampaknya mereka sebagai orang yang beruang atau orang Rimba Persilatan, hingga pelayan itu tidak berani mencegah.

Tiba diatas lauwteng, benar semua meja sudah penuh, kecuali didekat jendela ada seorang pria setengah tua lagi duduk sendirian Dia mengenakan baju panjang warna biru. Bertiga mereka menghampiri meja itu, tanpa mengatakan sesuatu, ketiganya kemudian duduk.

Mata seorang setengah tua itu bersinar tajam memandang ketiga orang itu, rupanya dia bergusar tetapi sejenak itu juga, dia batal membuka mulutnya. Dia berdiam saja. Kho Kong lalu minta delapan rupa barang santapan serta sebotol arak cong Goan Ang, setelah itu dia berkata keras-keras : "Pelayan tadi tak dapat dipercaya kata katanya Katanya tidak ada tempat kosong, nyatanya disini masih ada sebuah, bahkan meja ini besar "

orang setengah tua itu jadi mendongkol sekali.

"Meja ini meja yang telah aku pesan dari tadi " katanya, dingin "Sekarang ini aku tengah menantikan kawan kawanku " Kho Kong tidak merasa tersinggung, bahkan dia tertawa. "Kalau begitu, kami akan makan lekas lekas." katanya.

Pelayanan nampak cepat sekali, hanya sebentar, datanglah arak yang dipesan-

Kho Kong segera menyambar botol arak itu, kemudian menuangi sebuah cangkir, terus ia tenggak kering, habis itu, dengan seenaknya saja ia berkata pada si orang setengah tua berbaju biru. "TUan silahkan Mari kita minum "

Pria itu bingung melihat lagak polos dari Kho Kong, tak tahu dia mesti bergusar atau bersabar, sedangkan Kho Kong sudah duduk bercokol waktu kemudian dia melayani minum, Kho Kongpun sudah mendahului mengeringkan cawannya Siauw Pek maju sampai tengah.

"Tuan, dapatkah aku mengetahui she dan nama tuan yang mulia

?" tanyanya hasrat.

"Aku she Beng," sahut pria setengah tua itu. Tapi ia tidak sempat melanjutkan kata katanya, untuk menyebut namanya, sebab dari bawah lauwteng segera terdengar suara berisik. Segera ia mendekati jendela untuk mendongok kebawah dimana ia dapatkan banyak orang berkerumun dijalan besar. Mungkin disana telah terjadi sesuatu keonaran-

Siauw Pek tertarik suara riuh itu, ia turut menghampiri jendela, untuk melihat kebawah. Dan ia melihat orang yang rebah di tanah, rupanya orang itu sudah tidak bernyawa. Tiba tiba si pria setengah tua berseru kaget, segera dia menolak daun jendela, untuk dipentang, kemudian lompat turun

Perbuatan luar biasa itu menyebabkan seruan kaget dari banyak orang dijalan besar, bahkan ada yang berteriak : "celaka celaka Ada orang bunuh diri dari lauwteng "

Selain suara riuh itu, orangpun kacau, sebab banyak yang lari menyingkir, kuatir nanti ketimpa pria yang melompat turun itu. Hingga mereka saling tubruk.

Siauw Pek heran melihat sikap orang itu, tetapi ia lebih heran waktu ia mengawasi kearah orang yang rebah ditanah itu. Karena ia melihat punggung orang itu tertancaplah senjata tajam. Saking ketarik, tak sempat mengajak kedua kawannya, ia lari turun ditangga lauw teng.

Melihat kelakuan ketuanya itu, oey Eng dan Kho Kong lari menyusul.

Tiba dijalan besar, si pria setengah tua terlihat tengah mengangkat tubuh orang yang terluka itu, sepasang matanya mengeluarkan sinar sangat bengis, dengan tajam ia mengawasi ke sekitarnya, seperti orang yang lagi mencari si pembunuh gelap.

"Penyerang itu keberaniannya luar biasa," kata Siauw Pek menghela napas. "Dia berani turun tangan disaat siang benderang seperti ini serta ditempat umum yang begini ramai..."

"Memang pembunuh itu berani sekali. Amidabuddha " tiba tiba terdengar pujian dibelakang si anak muda.

Siauw Pek bercekat hati, segera ia menoleh. Maka ia mengenali Su Kay Taysu. Ia melengak saking herannya.

"Teranglah pendeta ini sedang mengamat amati kami " pikirnya. Tak lama pria setengah tua itu memeluk tubuh mayat itu,

mendadak dia menyabut pisau belati yang menjadi algojonya. Karena senjata tajam itu dicabut, darah hidup lantas mancur keluar dari liang lukanya. Siauw Pek mengawasi senjata itu, ialah sebuah pedang pendek tiju atau delapan kim, cahayanya menyilaukan mata. Itulah tanda bahwa pedang itu tidak beracun. Tapi itu pula bukti lengan si penyerang kuat luar biasa, hingga dia dapat merenggut jiwa orang sekejap tanpa menggunakan bisa.

oey Eng menghampirkan sipria setengah tua sampai dekat, maka ia melihat padapedang pendek itu ada ukiran hurufnya yang halus, yang bunyinya: "Kiu heng tje kiam-Hiat tyay hiat boan, artiya : "pedang permusuhan dan kebencian Hutang darah bayar darah."

Pria setengah tua itu juga melihat huruf huruf ukiran pedang itu, setelah itu dipondongnya mayat itu, untuk terus dibawa lari cepat sekali, hingga sesaat dia sudah lenyap dari tempat ramai itu.

Siauw Pek mengawasi hingga orang itu lenyap dari pandangan "Pedang permusuhan dan kebencian Hutang darah bayar darah."

ia menghafal perlahan-Apakah pemilik pedang pendek itu? Mungkin

ia menderita terlebih hebat daripada aku?"

"Takdir Takdir " kata Su Kay Taysu seorang, suaranya keras. Dia seperti menimpali anak muda ini. "Melihat begini, agaknya bencana Rimba Persilatan sedang makmurnya dan belum mulai reda..."

siauw Pek melirik kepada pendeta itu, lalu ia berkata perlahan kepada kedua kawannya : "Mari kita naik pula ke lauwteng."

Dengan berlalu tiga orang ini, berkurang juga orang banyak yang berkerumun itu, mereka pada bubar sendirinya, hanya mereka itu pada menarik napas panjang pendek. Karena petaka itu hebat sekali.

"Aneh Berbahaya " tiba tiba terdengar satu seruan parau.

siauw Pek mendengar suara itu, ia segera menghentikan tindakannya, untuk secara diam diam memperhatikannya.

Segera terdengar pertanyaan seorang lain : "Eh, Yu Loo dji, apa yang aneh ?" orang yang dipanggil Yu Loo-dji itu, yaitu si Yu nomor dua, menjawab : "Aneh korban tadi. Tadi dia sedang berjalan dibelakangku, jarak antara kami cuma satu tindak, tetapi aku tidak dengar suara jeritan atau keluhan kesakitan, tahu tahu aku dikagetkan suara robohnya tubuh, hingga aku segera menoleh. Aku berpaling dengan cepat, tetapi aku tidak melihat  sekalipun bayangan dari penyerangnya, sedangkan setahuku biar orang bagaimana gesit juga tak mungkin dia lolos dari mataku. Bukankah itu sangat aneh dan berbahaya ?"

Terdengar lagi satu suara lain : "Ya, aneh si aneh, tetapi, apakah si bahayanya ?"

"Kami berjalan hanya selang satu tindak." Yu Loodjie menerangkan, "jikalau penyerang itu salah tangan dan dia menikam punggungku apakah itu bukan namanya berbahaya ?"

Tiba tiba Su Kay Taysu menyapa orang she Yu itu : "Sietju, coba kau ingat ingat. Apakah kau tadi tidak melihat orang yang mencurigakan sikapnya ?"

Yu Looejie berpikir, ia menjawab : "Memang tadi banyak orang yang berlalu lintas tetapi orang yang terdekat dengan kurban itu cuma aku, waktu aku berpaling, aku melihat dia sudah rebah tengkurep dan punggungnya telah tertancapkan senjata tajam itu. Aku tidak melihat siapa juga yang dapat dicurigai."

Mendengar pembicaraan itu, Siauw Pek mempercepat jalannya hingga dilainsaat ia sudah sampai di lauwteng. Ketika itu, tetami tetamu rumah makan itu sudah tinggal kira kira separuh. Rupa rupanya yang lain lainnya telah pada menggunakan kesempatan untuk mengangkat kaki dan mengalap barang hidangannya

Ketika siauw Pek dan kawan kawannya sudah duduk kembali, pelayan segera menyuguhkan barang makanan yang dipesan tadi. oey Eng mengisikan cawan mereka.

"Bengtju, pendeta itu turut datang ke mari " katanya perlahan. ia teliti dan melihat kemuka tangga lauwteng. Disana pendeta muncul. " Kita jangan usil padanya, kita tetap makan," kata ketua itu.

oey Eng menurut, juga Kho Kong. Maka merekapun bersantap. cepat makan mereka, habis minum segera mereka turun dari lauw teng. Uang barang hidanganpun diletakkan saja di atas meja.

siauw Pek berjalan di sebelah depan kawannya, menuju keselatan. ia selalu mengingat-ingat jalan kekampung halamannya.

Lewat kira kira empat atau lima lie, di depan mereka tampak sebuah kuil besar, berdiri tegak di antara banyak pepohongan yang merupakan rimba.

"Semasa aku kecil, pernah dengan ayah datang ke kuil ini," kata Siauw Pek peria han, "Inilah Kwan ong Bio, kuil dimana dipuja Kwan Kong yang gagah, jujur dan setia. Dahulu, kuil ini sangat bersih, perawatnya hanya seorang beribadat yang telah lanjut usianya serta kacungnya. Sekarang kita perhatikan dulu keadaan disini, baru kita cari tempat sepi dimana kita dapat beristirahat. Setelah sore nanti, baru kita pergi ke Pek Ho Po..."

" Kenapa kita mesti menanti sampai sore?" Kho Kong tanya.

" Untuk beriaku waspada," sahut sang bengcu "Aku duga mesti ada satu atau lebih jago Rimba Persilatan yang mengawasi Pek Ho Po, jikalau kita datang siang, kita mudah diintai.Jika kita pergi malam, andaikata dipergoki, mudah untuk kita melarikan diri." Kho Kong dapat mengerti, bahkan ia puji kecerdikan ketuanya itu.

Mereka berbicara sambi berjalan, maka itu lekas juga mereka itu telah mendekati kuil. Kedua daun pintu pekarangan yang diberi berwarna merah, ditutup sebelah hingga hanya tubuh seorang saja dapat lewat situ. Dari antara pepohonan terdengar suaranya tong geret, suara mana menambah kesunyian kuil itu.

oey Eng mendahului jalan di muka. Selewatnya pintu itu, tampaklah sebuah pekarangan yang luas dan ditumbuhi rumput kecuali jalanannya, yang terbuat dari batu baru merah.

Seorang tua yang rambutnya sudah putih, tengah memaculi rumput, agaknya dia sudah tak kuat lagi. Kuil besar, saking sepinya nampak menjadi seram. oey Eng merasakan itu. " Kuil tua yang menyeramkan," katanya dengan perlahan.

"Tembok bersih, jendela dan pintu tak ada yang rusakl kuil seperti baru selesai diperbaiki" berkata Kho Kong. "Mengapa tak nampak orang atau orang orang yang datang bersujud?"

"Yah. Inilah aneh " kata Oey Eng merasa.

Si orang tua, seorang imam, perlahan lahan mengangkat kepalanya mengawasi ketiga orang itu, kemudian ia tunduk pula, melanjutkan pekerjaannya. Menyaksikan orang bekerja begitu lambat Kho Kong menggeleng geleng kepala.

Melihat cara bekerjanya itu, sebelum rumput yang di timur selesai, yang di barat pasti tumbuh lagi, hingga seumur hidupnya itu, tak kanti dia dapat membersihkan seluruh pekerjaan ini...

"Entah ketuanya, apa dia sama tuanya seperti orang tua itu?" kata Siauw Pek.

Mereka berjalan terus, sampai memasuki pintu yang ke dua. Keadaan disini berbeda daripada pekarangan disebelah depan itu. Disini tumbuh belasan buah pohon pek yang, besar besar dan tinggi sekali, hingga seluruh pekarangan teriyon cabang caban dan daunnya, dan rontokan daun membuatnya bala sekali. Pekarangan itu bagaikan beberapa bulan tidak pernah disapu.

"Diruang ke dua ini banyak kamar yang kosong, baik tak usah kita masuk kedalam." oey Eng usulkan sesudah ia memandang sekitarnya. "Jangan kita ganggu imam ketuanya kuil ini, cukup kita beristirahat disini."

Siauw Pek akur. ia segera pergi kesebelah barat, kekamar ramping.

Kho Kong mendahului ketuanya. ia segera membuka pintu kamar sisir itu, hingga lantas ia melihat sebuah meja dimana terpuja Toh Wan Sam Kiat Gle, Tiga Saudara angkat dari Taman Loh (persik), ialah Lauw Jie, Kwan Kong dan Thio Hwie. Merekalah tiga orang besar darijaman Sam Kok Tiga Negara yang menjadi contoh teladan buat kesetiaan, kegagahan dan kejujuran Bahkan kesetiaannya mencakup kesetiaan diantara saudara, kesetiaan/cinta negara, dan kesetiaan menepati janji. Tirai sulam disitu masih baru tetapi penuh debu.

"Aneh " pikir oey Eng. "Kuil telah diperbarui segalanya, mestinya kuil ini menerima kunjungan ramai, kenapa sekarang justru begini sunyi, malah menyeramkan ?"

Masih kawan ini memandang sekitarnya, baru dia bertanya kepada ketuanya: "Bagaimana bengcu lihat kuil ini?"

"Baiklah, kita beristirahat disini saja." sahut ketua itu sambil mengangguk perlahan "Selekasnya sang malam tiba, kita pergi ke Pek Ho Po."

oey Eng segera meletakkan buntalannya, terus ia duduk sambil memejamkan mata, untuk bersemadhi, tetapi suasana kuil mencekam hatinya, tak dapat ia menenangkan diri. Ketika ia melirik kedua kawannya, ia mendapatkan mereka itu sudah bercokol dengan tenang sekali. Ia segera bangkit bangun, untuk bertindak keluar. Belum lagi ia melintasi pintu, matanya sudah melihat si kacung imam tadi, tengah berjalan sambil memanggul paculnya dijalan samping untuk menuju ke toa-tian, pendopo besar.

"Dia masuk kedalam, entah dia mengabarkan ketuanya  atau tidak tentang kedatangan kami," pikirnya. Ketika ia melihat pula kearah si too jin, ia terperanjat. orang itu telah lenyap cepat sekali

"Aneh " pikirnya pula, dan kecurigaannya segera timbul. Maka ia batal berjalan terus, sebaliknya, dengan perlahan-lahan, ia kembali ketempatnya, untuk duduk bercokol pula. Ia terus piklri si imam tua^ "Dia masuk ke dalam tentu dia akan melapor ketuanya. Hanya dia aneh. Dia sudah loyo, mengangkat pacul hampir tidak kuat, kenapa dia lenyap demikian cepat, hanya sekejapan mataku? Pasti dia liehay ilmu ringan tubuhnya. Satu antara dua: Apakah dia orang liehay yang lagi menyembunyikan diri atau satu penjahat besar yang menyamar... Dan ketuanya, dia pasti ketua yang liehay juga, sebab kalau tidak, tak nanti dia dapat menguasai kacungnya ini..."

Memikir lebih jauh, oey Eng menyaksikan siimam tua yang lenyap kedalam ruang dalam dengan melalui pintu sisir. Kemungkinan dia mendekam di tanah dan lalu merayap memasuki pepohonan lebat, baru dari sana masuk ke dalam.

"Apakah tak aneh sikapnya almarhum ayah bengcu dahulu ?" pikirinya pula lewat sejenak. "Bengcu mengatakan, ketika dahulu ia bersama ayahnya datang kemari, kuil ini sama sepinya seperti sekarang ini dan penghuninya juga tetap dua orang, si ketua dan kacungnya. Buat apakah ayah bengcu datang kesini? Pasti ada maksudnya."

Walaupun otaknya bekerja keras, oey Eng tidak mau mengganggu ketua dan saudaranya. Ia coba menenangkan diri. tapi sekarang, diam diam ia berjaga jaga. Kecurigaan membuatnya waspada dan bersiap siaga.

Belum lama orang she oey ini bersemadhi, tiba tiba telinganya mendengar tindakan kaki yang perlahan sekali. Hatinya bercekat, segera ia membuka sedikit matanya. Ia melihat sikacung imam tua berkelebat. Hanya sedetik imam itu lantas menghilang pula dipintu dimana dia muncul.

"Tepatlah terkaanku " pikir Oey Eng. "Dia muncul sekejap. lalu menghilang Apa mau dia kerjakan?" Maka ia segera merogoh sakunya, menyialkan dua biji senjata rahasianya. Lama juga Oey Eng menanti, kuil tetap sunyi senyap. dan siimampun tak muncul pula. Lewat lagi sekian lama, Siauw Pek dan Kho Kong tersadar.

oey Eng lega melihat kedua kawan itu sudah bangun, segera ia berkata kepada ketuanya : "Bengcu, aku ingin menanyakan sesuatu, dapat atau tidak ?"

Siauw Pek tertawa. " Katakanlah " "Begini, bengcu. Ketika dahulu ayah bengcu datang kekuil ini, apakah maksudnya ?" Siauw Pek heran, dia mengawasi sahabatnya itu. Diapun berpikir.

" Waktu itu aku masih kecil, ingatanku belum kuat. Jikalau tidak salah, ayah mau menjenguk ketua kuil ini."

oey Eng bangkit, ia lari keluar kamar, untuk melihat sekeliling, setelah itu ia masuk kembali.

"Apakah bengcu ingat berapa lama ayah bengcu berdiam didalam kuil ini?" ia tanya pula.

Siauw Pek heran-

"Saudara ku menanya begini rupa, apakah kau curigai sesuatu?" ia balik bertanya.

"Tjoh Lotjianpwee menjadi ketua Pek Ho Bun mestinya dia banyak sekali kerjaan dan repot," berkata Oey Eng. "Kuil seharusnya ramai, dan bukan tempat bersemayam, apa perlunya ayah bengcu datang kemari? Tentu ada maksud dan sebabnya, bukan? Demikian dengan bengcu sekarang, kenapa bengcu ingat kuil ini dan mau langsung datang kesini? Bukankah itu disebabkan bengcu berkesan sekali terhadap kuil ini?"

Siauw Pek mengangguk. "Kau benar," sahutnya.

"Sekarang ingin aku menerka," kata oey Eng pula. "Ketika dahulu bengcu dan ayah bengcu datang kemari, kuil sama sunyinya seperti sekarang. Itulah kesunyian yang mengesankan, sekarang kita tiba disini, kitapun beristirahat ditempat yang sepi. Bukankah ini yang menyebabkan bengcu ingat kuil Kwan ong Bio ini ?"

"Jikalau kau tidak menjelaskan begini, saudara oey, akupun tidak ingat kesanku dahulu itu," ia akui. "Ketika dahulu ayah datang kemari rasanya ayah membuat janji pertemuan dengan seorang sahabatnya."

"Nah, coba bengcu ingat ingat, siapakah sahabatnya itu ?" " Ketika itu aku masih kecil sekali, mana dapat aku mengingatnya

?" jawab siketua. Tapi ia toh berpikir, kepalanya diangkat, melihat ke atas. Lewat sejenak, ia berkata pula: " orang yang dijanjikan itu, yang aku ingat, datang dengan menaiki sebuah kendaraan berkuda yang mentereng sekali."

Tiba tiba Kho Kong menyela: "Kalau begitu tak sukar buat kita mendapatkan kepastian Bukankah waktu itu belum lewat terlalu lama ? Kenapa kita tidak mau cari ketua kuil ini, untuk menanyakan

?"

"Begitulah pikiranku," kata oey Eng. " Entah bagaimana pendapat bengcu."

"Pikiranmu berdua sama, pastilah itu tidak keliru."

"Kalau begitu, baik sekarang kita segera pergi cari siimam ketua" kata Kho Kong, yang mendahului berlompat bangun. Dia bukannya sembrono hanya tabiatnya agak terburu nafsu.

"Menurut dugaanku, ketua kuil ini pasti bukan orang biasa," oey Eng berkata pula. Jikalau sebentar kita bertemu dengannya, harus kita berlaku sungkan, asal kita tetap waspada, dan jikalau tidak sangat perlu, baik bengcu j angan perkenalkan diri." Siauw Pek mengangguk. Dia setuju. "Kamu baik sekali " katanya.

"Aku berterima kasih "

Iapun bangkit buat memberi hormat sambil menjura, sedangkan air matanya berlinang-linang .

oey Eng dan Kho Kong terperanjat, lekas lekas mereka membalas hormat.

"Jangan, jangan sungkan bengcu" kata mereka. "Tanpa bengcu kita pasti tak akan akur seperti sekarang ini, bahkan pasti kita sudah mati bersama. Untuk membalas budi, kami mau lakukan segala apa untuk bengcu."

"Jangan mengucap demikian, saudara," kata Siauw Pek, yang menepas air matanya. Ketika itu matahari sudah doyong kebarat dan sinarnya sinar layung, dari luar terdengar suara pohonpekyang yang tertiup angin, pemandangan indah tetapi itu tak dapat menyingkirkan kesunyian yang menyeramkan dari kuil ini. Sampai disitu ketiganya bertindak kedalam oey Eng jalan dimuka.

DI luar toatian ada lantai yang tinggi, disitu menghadang sebuah pintu yang tertutup rapat. Dipojok pintu itu tampak sikacung imam yang tua yang duduk nglenggut. Jubahnya abu-abu disisinya menggeletak paculnya.

"Locianpwee" oey Eng menyapa sambil memberi hormat. Ia tahu bukan orang sembarangan orang, tidak mau ia berlaku gegabah.

Dengan perlahan si imam membuka kedua matanya, ia mengawasi orang yang menyapanya. "Ada apa ?" dia tanya.

"Kami bertiga kebetulan lewat di Gakciu," sahut oey Eng. "sudah lama kami mendengar nama terkenal dari ketua Kwan ong Blo, kami sengaja datang berkunjung. Tolong locianpwe mengabarkan kedatangan kami ini."

Nampak imam itu tercengang, terus ia tertawa hambar. "Terlambat kedatanganmu ini, tuan-tuan," katanya. Kho Kong heran-

"Terlambat bagaimana ?" dia tanya.

"sudah tiga hari ketua kami pergi kelain tempat."

"Tahukah locianpwee kemana perginya ketuamu itu?" tanya oey Eng tersenyum. Si imam menggoyang kepala, tetapi dia tertawa.

"Kuil kami tidak ramai, ketua kami senggang sekali, maka itu dia pergi pesiar seenaknya saja. dia pergi kemana dia suka, jadi sulit untukku menyebutkan kemana dia pergi."

"Kuil ini besar dan indah, mustahilkah loo tiang tinggal seorang diri disini?" tanya Kho Kong. Ia membahasakan "lootiang", orang tua yang dihormati. Imam itu melempangkan tubuhnya. "Inilah kuil tua seperti juga tua pohon-pohonnya." sahut. "Kuil ini belukar dan bala, tapi dia telah menemani aku situa selama beberapa puluh tahun Memang kuil ini sepi tetapi tenteram, tempat tenteram yang jarang didapati. Jangan terharu karena kesepianku, tuan-tuan, sekalipun masih ada ketua kami, dia juga tak pernah memperhatikannya," Ia bangkit dan mengangkat paculnya, lalu sambil tertawa tawar ia menambahkan : " Hari ini sudah banyak aku bicara " Segera ia memanggul pacul dan bertindak pergi. Kho Kong melirik ketuanya.

"Tua bangka ini aneh" katanya.

Suara itu tak perlahan, mestinya si imam dengar, tetapi dia seperti berlagak tuli, dia ngeluyur terus.

"Mari kita masuk kedalam toatian untuk melihat lihat" kata oey Eng yang suaranya disengajakan keras.

Mendadak si imam merandek, agaknya dia ragu, tetapi segera dia berjalan terus. Kho Kong mengangkat tangannya, dia meraba pintu. "Apa kita masuk ?" tanyanya.

"Awas, jangan merusak pintu orang" Siauw Pek memperingatkan-

Kho Kong menolak daun pintu, tetapi pintu itu tak bergeming. Ia heran, alisnya berkerut.

"Di luar tak ada kuncinya, tentu dikunci dari dalam," kata oey Eng.

Kho Kong mencoba menggunakan tenaga tenaganya pintu itu, sampai dua kali. Pintu itu tetap berdiri tegak. Ia menjadi gusar, sehingga dia berkata: "Aku tidak percaya aku tidak sanggup mendorongmu menjeblak"

Segera dia mengerahkan tenaga dalamnya. Dia memang pernah mempelajari "Tong cu Hun goan Khie kang", yaitu ilmu tenaga dalam yang dinamakan "semangat perjaka". Ia mengerahkan separuhnya tetapi sudah seberat lima ratus kati. Maka hanya segebrakan, daun pintu itu menjeblak, roboh terbanting dengan menerbitkan suara berisik sekali. Siauw Pek menghela nafas. "Kita telah merusakkan pintu orang. Bagaimana kita nanti bertanggung jawab?" katanya.

"Janganlah kuatir, bengcu " kata Kho Kong tertawa. "kita gantikan saja dengan sejumlah uang" terus dia bertindak masuk. Dengan terpaksa, Siauw Pek dan oey Eng mengikuti.

Toa tian ataupun pendopo besar itu, semua jendelanya tertutup rapat karena itu, ruang menjadi gelap suram. Mata sipemuda tajam tetapi ia masih sukar melihat tegas.

Hanya sebentar, terdengar satu suara perlahan Kemudian suara itu lenyap pula. Tapi Siauw Pek mengenalinya, itulah suara tindakan kaki. Maka ia segera memasang mata dan waspada.

Ditengah toa tian itu tampak duduk bercokol patung Kwan Kong yang besar dan tinggi setombak lebih, dikedua sisinya mendampingi ia Kwan Peng bersama ciu cong, putra serta pengikut pribadinya yang gagah dan setia. ciu cong mencekal chee Liong Yan goat too. golok besar dan tajam kepunyaan Kwan Kong. Dia berewokan kaku dan pendek, sepasang matanya mendelik, maka juga dia nampak bengis sekali. Kecuali ketiga patung itu, seluruh ruang kosong melompong.

Dengan tibanya sang magrib, toa tian menjadi makin guram. "Apakah bengcu mendengar sesuatu?" oey Eng berbisik.

"Ia, rupanya tindakan kaki sangat perlahan," sahut sang ketua. "Peduli apa suara itu" kata Kho Kong sengit, "Mari kita periksa"

"Jangan sembrono," oey Eng peringati. "Penghuni kuil dan segalanya aneh semuanya."

Kho Kong mengeluarkan senjatanya poan koanpit. Katanya: "Aku akan masuk dari kiri kekanan Kau, kakak oey, dari kanan ke kiri Bengcu sendiri harap berdiam ditengah, untuk bersiap membantu ke kiri dan ke kanan" Dan tanpa menanti jawaban, dia terus bertindak ke kiri.

Kini mata Siauw Pek telah menjadi biasa. Maka ia dapat melihat ditembok kanan dari patung Kwan Kong tergantung sehelai gambar lukisan. Tong geret disinar rembulan yang bergoyang perlahan Ia menjadi curiga^ "Benar katanya oey Eng, didalam kuil ini orang dan segala sesuatunya aneh"

Berpikir lebih jauh, tiba tiba pemuda ini ingat sesuatu. Mungkin itulah sebuah pintu rahasia. Ia jadi ingat juga suara tindakan perlahan tadi. Suara itu rasanya datang dari arah itu. Maka ia ingin maju menghampiri untuk memeriksa. Tapi tepat itu waktu, ia mendengar tindakan kaki datang dari belakangnya. Tidak ayal lagi, sambil mengumpul semangat, ia berpaling. Maka ia  melihat sikacung imam yang tua itu, entah kapan datangnya, sudah berada didalam ruangan itu. Ia terkejut, berpikir: "Dia muncul tanpa suara apa-apa, terang dialah seorang berkepandaian tinggi."

Sepasang mata Imam itu tajam sekali, dia menatap wajahnya si anak muda, setelah itu dia menegur: "Tuan-tuan lancang memasuki toa tian dan telah merusak pintu juga, apakah maksud kalian?"

Dalam keadaan terlanjur itu, Siauw Pek terpaksa berlaku seenaknya saja. Ia tertawa tawar dan berkata. "Kami datang buat memuja tentulah ini bukan perbuatan yang terlarang. Tentang pintu yang rusak ini, aku yang rendah bersedia ganti dengan uang"

Imam itu tertawa dingin. "Tuan, tidakkah kau bicara terlalu ringan?"

" Habis bagaimana pikiran lootiang?"

"Menurut aku si tua, karena kau telah lancang memasuki kuil ini dan merusak pintunya maka kamu harus dihukum menurut aturan di kuil kami." Mendengar suara orang itu keras, Siauw Pek segera berpikir:

"Dia menutup mulutnya rapat rapat. Tentu sulit akan mengorek keterangan darinya telah terlanjur, harap saja aku berhasil mendapatkan sesuatu." Karena ini, iapun lantas bicara dengan roman keren: "Sebuah kuil dan patungnya biasa dipuja orang dari segala penjuru arah, pintunya senantiasa dibuka terpentang, tetapi aneh kuilmu ini justru ditutup rapat dan kamu menolak orang datang bersujud. Ada apakah sebenarnya?" Mendadak si imam tertawa nyaring.

"Tak sedikit si tua menemukan orang orang sembrono sebagai kau bertiga, tuan-tuan Ya, pintu ini juga bukan baru pertama kali ini didubrak orang, hanyalah, semua pendobrak itu sudah menerima hukuman menurut aturan kuil kami "

"Bagaimana aturan kuilmu itu?" tanya oey Eng nyaring. "Dan bagaimana dihukumnya orang yang lancang masuk kependopo ini? Kami ingin mendengarnya dahulu."

oey Eng telah muncul kembali bersama Kho Kong. Mereka menggeledah tanpa hasil, maka mereka lekas kembali, hingga mereka mendapat dengar kata kata si imam. Imam itu tertawa dingin.

"Rupanya tuan tuan, sebelum kamu melihat peti mati tak kamu mengucurkan air mata " katanya. Dan mendadak dia menyampok dengan sebelah tangannya dengan telapak tangan-

"Hebat tangan orang ini..." pikir Siauw Pek.

SI imam menyampok tembok disampingnya, suaranya terdengar keras sekali. Tapi yang luar biasa ialah tembok dikedua sisi bergerak dengan tiba tiba, menutup pintu toatian Hingga sekejap itu, gelap gulitalah pendopo besar ini

oey Eng terkejut tapi dia telah siap sedia, dengan pedangnya dia lantas menerjang si imam. Tapi imam itu lenyap seketika

Pendopo jadi demikian sunyi hingga dapat terdengar suara nafasnya tiga pemuda itu.

"Jangan sembrono, waspada" Siauw Pek memperingatkan-

Kho Kong menyiapkan senjatanya didepan dadanya. Dia gusar sekali hingga dia berkata keras. "Tak usah kau main sembunyi sembunyian. Jikalau berani, mari kita bertempur secara terang terangan. Jangan kau membuat tuan Kho kamu gusar, nanti aku bakar kuilmu ini " Sia sia saja suara keras itu. Tidak datang jawabannya.

"Sudah saudara Kho" Oey Eng mencegah. "Jangan kau membuka suara, itu sama juga memberitahukan kita berada di arah mana"

"Benar" kata Siauw Pek. "Kita mesti berdiam saja " Kho Kong mendengarnya, dia lantas menutup mulut.

oey Eng sebaliknya berbisik. "Mari kita pergi kepojok. untuk mengumpatkan diri, disitu kita mencari jalan untuk keluar dari sini..."

"Kau benar. Mari kita menyembunyikan diri dulu," Siauw Pek setuju.

Bertiga mereka bertindak ke pojok timur. Disitu mereka duduk seraya memasang mata dan telinga, guna melihat perubahan-

Mungkin baru seminuman teh lamanya, tiba tiba terdengar suara dingin si imam tua. "Sekarang ini jalan hidup kamu cuma satu Ialah meletakkan senjata kamu dan manda ditelikung tanganmu, lalu turut aku menghadap ketua kuil kami. Jikalau kamu mengandalkan kepandaian yang tidak berarti itu dan kamu membangkang terus, tak mau menyerah, jangan nanti kamu katakan aku si orang tua kejam "

Siauw Pek pernah memperhatikan suara itu, ia menerka datangnya dari belakang patung, ia lalu menggunakan "Toam Im cie Sut" ilmu menyalurkan suara berbisik berbicara dengan kedua kawannya:

"Dia belum tahu tempatnya sembunyi kita, jangan layani dia bicara."

Suara dingin itu terdengar pula: "Bagus, ya Kamu mau main diam diam saja untuk mengulur waktu. Jikalau aku tidak mempertunjukkan kepandaianku, kamu belum tahu punya kelihayan" Siauw Pek mendengar jelas. Benar orang bersembunyi di belakang patung Kwan Kong.

Kho Kong memasang mata, dia menggunakan Toan Im cie Sut terhadap ketuanya. "Tua bangka itu berada di belakang patung Bengcu dan saudara oey siap siaga, nanti aku hajar dia"

Siauw Pek menarik tangan kawannya. "Jangan sembrono. Kita nanti sebentar lagi."

Suaranya si imam tua tidak terdengar pula, Siauw Pek bertiga tak sabaran.

Justru itu mendadak dua mata Kwan Kong menyoroti sinar terang tajam, menyapu keseluruh pendopo.

Siauw Pek terkejut pikirnya, "oh, kiranya pendopo ini penuh dengan pelbagai alat alat rahasianya..."

Karena sorotan itu tiga pemuda tak dapat bersembunyi lagi.

Segera terdengar tertawa dingin yang lama, disusul tawa si imam pula. "Jikalau sekarang aku menjalankan alat alat rahasiaku, segera ribuan senjataku yang beracun akan menyapu kamu diempat penjuru ruang. Inilah kesempatan terakhir Lekas letakkan senjata kalian-Jika mau main ayal ayalan, berarti mencari mati sendiri" Kho Kong bertingkat bangun, dia telah habis sabar.

"Jikalau kau laki laki sejati, mari melayani Tuan Kho kamu dan bertempur selama tiga ratus jurus"

Sorotan itu membuat Siauw Pek bertiga itu silau hingga mereka sukar melihat apapun juga dilain pihak. gerak gerik mereka tampaklah nyata. oey Eng menarik tangan Kho Kong.

"Janganlah sembrono" ia memperingatkan "Kita dengar putusan bengcu"

Siauw Pek menenangkan diri.

"Kita kurang pengalaman," katanya pelan "Ketika tadi dia menyampok, kita tak menyangka dia mau menggerakkan alat rahasianya. Menurut dugaanku, biang pesawat berada di patung Kwang Kong itu, dari mana suara si tua itu keluar. Mungkin tubuh patung kosong dan si tua sembunyi di dalam..."

"Aku dugapun begitu." kata oey Eng.

"Bagaimana kalau kita rusak saja patung itu?" Kho Kong mengusulkan-

"Musuh ditempat gelap. kita di tempat yang terang, keadaan kita berbahaya," berkata sang ketua, "jangan kita sembrono, terkecuali kita sudah sangat terdesak."

"Toh, kita tidak dapat main diam diam saja?" kata Kho Kong tak sabar.

"Sabar saudaraku. Bengcu akan dapat mengatur," oey Eng memperingatkan-Ketika itu, mendadak hilang sinar bersorot itu. Dalam sekejap. pendopo gelap gulita.

"Bengcu, saudara Kho, mari kita menukar tempat." oey Eng berbisik.

Siauw Pek dan Kho Kong sama pikiran, keduanya segera bergeser diri kepinggir. oey Eng mengikuti.

"Rupanya si imam tua bukan pemimpin di sini." Siauw Pek berbisik. "Dia tentu lagi minta petunjuk ketuanya .Jikalau dia siketua, tentu dia sudah turun tangan-"

"Tak dapat diam saja," Kho Kong kata pula "Dari pada menanti diserang, lebih baik kita mendahului menyerbu. Bagaimana pikir bengcu ?"

"Kau benar, tetapi kita harus sabar. Mari kita menanti sebentar lagi."

"Bukankah kita jadi memberi kesempatan bekerja kepada lawan-

.." "Tapi inilah daya kita satu satunya. Pepatah mengatakan : memanah penunggang kuda, panah dahulu kudanya, membekuk orang jahat bekuk dulu kepalanya. Si imam belum tentu ketua disini, kalau dia bukan, percuma kita menawannya, bahkan sebaliknya kita bagaikan menggebrak rumput membuat ular kaget kita membuat musuh dapat bersiap siaga "

Bertiga mereka bicara dengan saluran Toan Im cie sut, supaya musuh tidak dapat dengar.

Selagi mereka berdiam, tiba tiba terdengar suara dingin yang memecah kesunyian:

"Selama beberapa puluh tahun, belum pernah ada seorang jua yang dapat lolos dari pendopo ini, disekeliling tembok terdiri dari batu batu hijau yang kuat keras, sedangkan di pelbagai tempat  telah dipasang pesawat pesawat Jikalau kamu tahu selatan, lekas letakkan senjata kamu masing masing lantas kamu pergi ketengah tengah pendopo, menanti keputusan, dengan begitu mungkin kamu akan memperoleh keselamatan jiwa kamu " Kho Kong gusar tak terkendalikan.

"Jahanam " cacinya. "Jikalau kau laki laki, kau keluarlahJikalau Tuan Kho kamu tidak hancur luluhkan batok kepalamu, aku akan buang sheku ini "

"Siapa terkurung, sembilan bagiannya adalah mati" kata pula suara dingin tadi. "Bagaimana kau masih sombong begini? Rupanya kau benar benar laki laki sejati"

Siauw Pek dan oey Eng tidak mencegah kepada Kho Kong .Justru pembicaraan itu membuat mereka mendapat kesempatan akan memperhatikan suara dingin itu darimana keluarnya.

"Siapa kesudian dipuji kamu?" bentak Kho Kong. "Buat seorang laki laki, nanti tak ditakuti."

Sekonyong konyong terdengar suara halus lembut:

"Seorang manusia cuma mati sekali, kau berani mati, kau dapat dipuji, tetapi matimu secara begini, sungguh tak setimpal" Kho Kong melengak. Ia mengenali suara seorang wanita. Ini yang tak dikira. Siauw Pek dan oey Eng pun heran. Kuil Kwan Kong ini aneh. Kho Kong tertegun tidak lama, lalu habis sabarnya. "Siapakah kau?" tegurnya.

Pertanyaan itu dijawab tawa yang nyaring halus, yang sedap untuk telinga. Tawa itu Seperti juga membuyarkan suasana seram dari pendopo. Tidak lama, terhentilah tawa itu, diganti pula oleh suara merdu tadi:

"Akulah si ketua yang kamu ingin ketemukan. Sejak tadi kamu memasuki toa tian, aku telah melihat kalian-.."

"Tetapi tadi kamu tidak melihat seorang wanita jua" kata Kho Kong.

"Aku pandai menyamar, menyalin wajahku" kata pula suara merdu itu. "Mana dapat kamu mengetahui penyamaranku yang lihay ini"

Mendengar suara orang itu, berkuranglah hawa marahnya Kho Kong sisembrono

"Aku hendak menanyaimu," katanya. "Kita tidak kenal satu dengan yang lain, seumpama air sumur yang tidak menyerbu air kali, kenapa kau mengurung kami didalam pendopo ini? Apakah maksudmu?"

sementara itu Siauw Pek membisiki oey Eng "Aneh.. Seingatku, kuil ini tidak mempunyai ketua wanita..."

"Inilah mungkin disebabkan perubahan suasana dunia," oey Eng berkata. " pula sekarang dunia Kang ouw mempunyai orang orang perempuan yang luar biasa, siapa tahu kalau ada wanita yang mengambil alih pimpinan kuil ?"

"Tentu ada maksudnya" demikian jawab suara merdu tadi. "Menurut terkaanku, kamu adalah orang orang muda yang baru keluar dari rumah perguruan serta mempunyai kepandaian silat yang baik sekali." "Kami mengerti silat, apakah sangkut pautnya itu dengan kau?" Kho Kong tanya.

" Kenapa kau mengurung kami disini?" Wanita itu tertawa pula. "Pasti ada sangkut pautnya" jawabnya. Dia diam sejenak. lalu

menambahkan : "Kamu adalah orang orang yang baru keluar dari rumah perguruan, kamu sangat cocok untuk syarat syarat kami" Kho Kong tidak mengerti.

"Syarat syarat apakah ?" tanyanya. Ia menjadi suka melayani orang bicara.

"Aku hendak mengambil kamu menjadi orang pihak Kwan ong Bio" sahut wanita itu.

"Bagaimana pikiran kamu bertiga?"

"Kalau begitu, buanglah pikiranmu itu" bentak Kho Kong, "Kami adalah laki laki sejati..."

Wanita itu memotong: "Apakah kau kira cuma kamu bertiga laki laki? Apakah kamu sangka kami pihak Kwan ong Blo tidak mempunyai? Hm Kamu sudah terkurung, tak dapat kamu dibebaskan biar bagaimana, kamu telah datang kemari dan mengetahui juga sedikit dari rahasia kami"

"Kau dapat mengurung kami tetapi belum tentu kami tak dapat lolos" kata Kho Kong "coba kami menggunakan senjata, belum tentu kami akan roboh ditangan kamu"

"Sudahlah" kata wanita itu. "Rupanya sebelum kelelap didalam sungai Hong Hoo, kamu belum mau menyerah Karena aku tidak  sudi dengar nasehatku, maaf tak dapat aku melayani kamu lebih lama lagi. Tunggu saja sampai kamu telah merasai liehay kami, baru kamu akan memohon kepadaku"

Diakhiri tertawa merdu, lenyaplah suara wanita itu. Kho Kong menyesal. "Sayang," katanya didalam hati. " Dialah ketua disini, kalau dia pergi, aku dapat bicara dengan siapa lagi? orang lain toh tak dapat mengambil keputusan-.."

Selagi menyesal, Kho Kong ingat sesuatu suara dingin tadi. Ia rasa pernah mendengar suara itu, entah dimana...

Segera setelah lenyap suara si wanita, Siauw Pek melompat maju juga Oey Eng. Lompat mereka itu tidak mendengarkan suara.

Kho Kong si tak sabaran melihat gerak gerik kedua kawannya itu menerka bahwa tentu kedua kawan itu sudah ketahui tempat darimana suara tadi datangnya, maka segera ia berkata keras: "Jikalau kamu tidak mau membuka pintu pendopo, dan melepaskan kami keluar, aku akan bakar kuilmu ini hingga musnah tanpa kerana "

Inilah siasat si sembrono, untuk menimbulkan suara berisik, supaya musuh tidak mendengar suara bergeraknya Siauw Pek.

siauw Pek dan oey Eng pun menggunakan kesempatan itu untuk menghampiri patung Kwan Kong (Kong Kong she Kwan bernama Ie alias In Tiang. Kong adalah sebutan terhormat untuknya karena ia telah dipandang sebagai malaikat, iapun disebut Tee Kun Kwan Tee Kun Kwan Mee, Kwan Seng, Kwan Looya da Kwan Hutju. Ia dipuja sebagai dewa Perang.

Ketika oey Eng mengulur tangannya meraba patung Kwan Kong itu, ia mengerutkan alis. Patung itu dingin sekali. Terang itulah patung besi. Maka lekas lekas ia bicara dengan menggunakan suara salurannya. "Bengtju, jangan seenaknya turun tangan Patung ini terbuat dari besi belaka "

siauw Pek tercengang. Ia lalu berkata. "Tapi setelah keadaan kita begini rupa, tak dapat tidak, kita mesti turun tangan juga. Mari kita mencoba, dapat kita merobohkan patung ini atau tidak..."

oey Eng terpaksa menurut. Ia lalu menaruh kedua tangannya pada patung sambil terus mengerahkan tenaganya. siauw Pek meluncurkan tangan kanannya. Dengan satu isyarat, ia mengerahkan tenaganya. oey Eng menelan Namun, patung tak bergeming sedikitpun juga.

"Mari" kata ketua itu sambil menarik tangan kawannya. Tetapi, tiba tiba dari empat matanya patung patung Kwan Peng dan Tjiu Tjong yang berada dikedua sisi patung Kwan Kong itu mengeluarkan sinar merah marong, disusul dengan sehembusan bau harum sekali, hingga segera hidung kedua anak muda itu menciumnya, seketika itu juga keduanya roboh tak sadarkan diri.

juga Kho Kong tidak luput dari hembusan wewangian itu.

Entah telah lewat berapa lama, tatkala ketiga pemuda itu tersadar, mereka mendapatkan diri mereka terkurung didalam sebuah penjara air, kedua tangan dan kaki mereka terbelenggu rantai rantai besi sebesar jeriji tangan, sedangkan tubuh mereka juga dilibat dengan tambang-tambang otot kerbau, ditambat pada sebuah tiang batu. Kaki mereka semua, sebatas dengkul ke bawah, terendam didalam air. oey Eng membuka matanya, melihat kesekitarnya.

"Apakah bengtju sudah sadar?" tanya dia perlahan. "Ya," Siauw Pek menyahut.

"Asal mereka membuka pintu air, tidak ada satujam, pasti kita sudah kelelap mampus." kata oey Eng pula. "Sekarang baik kita mencoba bersabar..."

"Mereka ahli ahli tukang ringkus." berkata Kho Kong. "Dengan diringkus cara begini, tak dapat kita meronta."

"Yang hebat ialah libatan tambang otot ini" kata Siauw Pek. "Tak dapat kita lolos kecuali kita mengerti Siu kut hoat, yaitu ilmu meringkaskan tulang tulang dan daging. sekarang ini, mengarahkan tenaga dalampun sulit."

"Masih sulit juga," kata oey Eng. " Dengan Siu kut hoat dapat kita bebas dari libatan, tapi bagaimana kita bisa keluar dari penjara air ini?" "Habis, kakak oey, apa sekarang kita diam saja menerima binasa?" tanya Kho Kong.

"Bukan begitu, saudaraku. Kita sabar dulu, untuk melihat salatan atau kesempatan-Mereka mengurung kita secara begini, itu tanda bahwa mereka belum menginginkan jiwa kita. Mungkin mereka mempunyai suatu keperluan Menurut aku, sekarang baik kita mengumpulkan tenaga, untuk menunggu saat menggunakannya..."

"Benar, kita harus sabar," Siauw Pek pun kata. "Kita beristirahat untuk sekalian menantikan saat yang baik."

Karena sering menderita semenjak masih kecil, pemuda ini mempunyai kesabaran luar biasa, bisa ia menguasai diri.

Kho Kong mendongkol sekali, dia hendak mengumbar hawa amarahnya, tetapi karena ketua itu berlaku tenang, ia terpaksa menutup mulutnya.

Sekira waktu sesantapan, tiba tiba mereka bertiga mendengar satu suara berisik, ketika mereka menoleh, mereka melihat sebuah pintu terpentang disebelah kanan mereka. Disitu muncul seorang pemuda yang tangannya memegang sebuah lentera tengloleng (orang biasa menyebut tanglung, harusnya teng-lung, atau teng long dalam dialek Hokkian. "E" dari teng long dibaca dengan "e" dari "tenggara, tentara," sedangkan "e" dari tenglong dengan "e" dari "besok, beres". Tenglungbah. Kucyu.)

Perlahan lahan pemuda itu sambil mengawasi ketiga orang tawanan itu, dia berkata tawar: "Tuan tuan, paling baik kamu jangan memikir untuk meloloskan diri dari sini."

Akan tetapi, walaupun dia berkata demikian, mendadak dia menghunus pisau belati dengan apa dia memotong putus tambang otot kerbau yang melibat tubuhnya ketiga pemuda itu.

Menggunakan kesempatan itu, Siauw Pek mengerahkan tenaga dalamnya, maka dilain detik putuslah rantai besi yang mengekang tangannya. Pembawa tengloleng itu kaget, dia segera menikam dengan pisaunya. Siauw Pek mengegos kesamping sambil berkata: "Tuan, tak ada maksudku untuk menempurmu "

orang itu tidak menyerang lebih jauh, dia hanya mengangkat tinggi lenteranya. "Tuan, liehay tenaga dalammu, kau sangat mengagumkan," katanya. "Aku kagum"

Siauw Pek tertawa hambar, ia tidak menyahut. Inilah karena ia sendiri heran dengan hasil pengerahan tenaga dalamnya itu.

Pemuda pembawa lentera itu mengeluarkan tiga helai saputangan hitam dari sakunya.

"Tuan tuan, silahkan kamu tutup mata kamu," katanya. "Aku hendak meloloskan rantai pada kaki kamu."

"Silahkan, saudara," kata Siauw Pek. "Bagaimana jikalau aku tolong kau memegangi lenteramu?"

Pemuda itu berpikir sejenak. segara ia angsurkan lenteranya itu. "Terima kasih," ucapnya. Tapi, sebelum membuka rantai itu, dia

memasang dahulu saputangan hitam itu pada mata Kho Kong, oey Eng dan Siauw Pek. terus dia menambahkan-"Dengan dibukanya rantaipada tangan dan kaki tuan tuan bertiga, itu berarti kebebasan kamu telah pulih, karena itu, sebelumnya, hendak aku memakaikan lain macam alat belengguan"

"Silakan " kata pula Siauw Pek yang terus berlaku sabar.

"Bagus, tuan " puji si pemuda. "Kau jujur, kau membuat orang kagum "

Setelah mata mereka ditutup, Siauw Pek bertiga tidak tahu mereka akan dirampas kemerdekaannya dengan alat apa, mereka hanya menerka pastilah itu semacam borgol, barulah mereka kaget sekali ketika mereka merasai bahu kiri dan kanan sebuah senjata tajam. Hilang rasa nyeri, terus bahu itu beku kaku

Pemuda itu tertawa dan berkata: "Tuan tuan jalan darah pada pundak kamu telah ditusukkan sebatang jarum emas, maka itu, sekalipun liehay sekali ilmu silat kamu, kamu tak akan dapat berdaya lagi, karenanya sekarang baiklah kamu mengenal salatan-"

Siauw Pek diam diam mengerahkan tenaga dalamnya, ia terkejut.

Memang kedua lengannya tak dapat diangkat lagi. "Sungguh jahat " pikirnya. "Dasar aku yang bodoh..."

Terdengar pula suara pembawa lentera itu. "Tuan-tuan lihay, walaupun kedua tangan tuan tuan tidak dapat digunakan lagi, tetapi tidak demikian dengan kaki kamu, kamu masih bisa berjalan seperti biasa dan dapat mendengar dengan sempurna. Sekarang silakan kalian mengikutiku "

Siauw Pek bertiga tidak membantah, mereka lalu mengintil. oey Eng dibelakang pengantarnya itu, Siauw Pek ditengah dan Kho Kong paling belakang.

--ooo0dw0ooo—
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar