Pedang dan Golok yang Menggetarkan Jilid 36

JILID 36

Tanpa bersuara, Oey Eng menyerang pendeta yang dikanan, karena Ban Liang telah menerjang yang dikiri.

Ketiga pendeta itu adalah jago jago dari Tatmo Ih, dengan golok. mereka menyambut serangan. Nampak mereka dapat bertahan dengan baik.

Soat Kun, yang telah dikisiki Soat Gie, lalu mendengarkan suara nyaring: "Melihat suasana ini, karena terpaksa, tak dapat kita tidak dapat melukai orang Maka itu, para hu hoat, turun tanganlah kalian, robohkanlah beberapa diantaranya "

SerentakBan Liang mendengar suara sinona segera dia mundur satu tindak. Ketika tadi dia jatuh mendeprok, dia merasa kempolannya nyeri, gangguan itu membuanya kurang leluasa bergerak, lebih lebih sebab adanya larangan jangan melukai lawan Sekarang si nona memberi kemerdekaan, dia tak mau merem diri lagi. Maka dia lalu bersiap. setelah mana segeralah tangannya diluncurkan. Itulah satu jurus dari Ngo Kwie souw Han ciu, ilmu silat Tangan Lima Hantu Membetot Sukma, yang dipahami dan dilatihnya puluhan tahun selama dia menyekap diri didalam gunung yang sunyi.

Pendeta yang dikiri tertawa dingin ketika melihat orang meluncurkan tangan terhadapnya, tidak ayal lagi dia menggerakkan goloknya untuk menyambut dengan satu tabasan, akan tetapi baru goloknya bergerak tiba tiba dia sudah merasai nyeri pada dadanya dan hawa dingin meresap masuk kedalam tubuhnya, hingga dia menjadi kaget sekali. Tak sempat dia berkelit atau membataikan gerakan goloknya, golok itu dengan sendirinya mendahului lepas dari cekalannya dan jatuh kelantai, menyusul mana tubuhnya juga turut roboh setelah dia limbung dua tindak karena tak sanggup memasang kuda kuda guna mempertahankan diri.

Han In Taysu melihat ilmu silat kawan itu, dia heran, hingga dia bertanya perlahan: "Saudara Ban, ilmu silat apakah itu? "

"Malu menyebutnya," sahut sijago tua perlahan. "Inilah Ngo Kwie souw Hun ciu.”

“Apakah itu meminta jiwa? " tanya Han In pula.

"Telah loohu mengira ngira tenagaku, kali ini tak akan sampai meminta jiwa." sahut pula sijago tua itu.

Giok Yauw sibuk sendirinya melihat Ban Liang mendahului ia merobohkan lawan, maka segera ia mendesak keras. Dua kali ia menikam membuat lawan terpaksa mundur saking repot menangkis. Justru itu karena ia mendapat angin ia segera menyerang dengan tangan kirinya.

Dalam terdesak itu, si pendeta terkejut melihat bayangan tangan didepan mata. Ia bingung hingga dia tidak tahu bagian mana harus menangkis atau menghindar diri. Diapun mesti melayani pedang si nona. Hingga tahu tahu lengan kanannya telah kena terhajar, sampai tangan itu kaku, dan goloknya pun terlepas sendirinya jatuh kelantai Giok Yauw tidak memberi kesempatan, tangan kirinya diulangi, dipakai menyerang. Di kerepotan itu, dalam bingungnya, sipendeta masih mencoba menangkis Itulah gerakan lawan yang dikehendaki si nona.

Ia memang lagi menggunakan "Hong ciang" tipu silat "Tangan burung hong" yang baru ia peroleh dari Han In Taysu. Ia menangkap tangan lawan, menyusul mana sikutnya mampir juga diiga sipendeta, menotok jalan darah diantara rusuk. Tidak ampun pula. robohlah pendeta dari Siauw Lim Sie itu Dengan robohnya dua pendeta, tinggal1ah pendeta yang ketiga yang dilayani Oey Eng.

Ilmu pedang pemuda itu memperoleh kemajuan setelah dia dapat petunjuk Soat Kun, di dalam waktu yang pendek. berhasil sudah ia mengurung lawannya itu.

Karena sang sore lagi mendatangi, pendopo mulai guram, hingga sinar pedang tampak berkilauan-Hal itu membuat keki hatinya sipendeta, pertama kedua kawannya sudah roboh, kedua pedang si anak muda senantlasa mengancamnya. Satu kali dia gugup, lengannya segera tergores ujung pedang, syukur dia masih bisa berkelit, hingga hanya jubahnya saja yang robek.

Oey Eng tidak mau berhenti, dia mendesak. Tiga kali dia dan menebas. Sipendeta repot, tiga kali dia mundur terus terusan Menyaksikan demikian, Han In Taysu meluncurkan tangannya kearah pendeta yang sudah kelabakan itu, tepat ia menotok jalan darah hoan tiauw dirusuk lawan-Justru itu, Oey Eng pun mengancam lengan orang.

Karena repot, lengan sipendeta itu terkena belakang pedang, sehingga golokpun terlepas, menyusul satu totokan Oey Eng, dan roboh. Maka habislah riwayat enam pendeta itu.

Ban Liang mengambil kesempatan memandang Nona Hoan-Ia mendapatkan nona itu duduk menyandar di dinding mukanya menghadap kemedan pertempuran pintu pendopo. Agaknya dia tak menaruh perhatian, atau tak merasakan sesuatu.

"Entah apa yang dipikirkan si nona yang hatinya sulit diterka itu." pikirnya. "Kenapa dia nampak tak pedulian? " oleh karena ia merasa kurang aman jikalau ia tidak utarakan apa yang ia pikir, jago tua itu minta kawan kawannya datang kepadanya. Ia berkata ingin bicara sedikit.

Jago tua ini dihargai selain usia tuanya juga karena dia liehay dan banyak pengalamannya Begitulah maka orang menghampirinya.

"Menurut penglihatanku," kata sijago tua kemudian, "rupa rupanya penyerangan besar dari kawanan pendeta ini bakal dilakukan diwaktu malam...”

“Itu benar" berkata Oey Eng.

"Dan juga ," berkata lagi si orang tua, "walaupun kita dapat menjaga pintu dan jendela masih ada satu jalan lain yang lawan bisa ambil, ialah jalan menggempur dinding tembok" Berkata begitu, Ban Liang tertawa tawar.

"Maka itu," ia menambahkan, "selekasnya sang malam tiba musuh akan segera menyerbu hebat, hingga pertempuran bakal kacau sekali..."

"Bila pertempuran itu sampai terjadi," Giok-Yauw turut bicara. "tidak dapat tidak^ terpaksa kita mesti melukai dan merampas jiwa orang."

"Memang sampai waktu itu, sulit untuk kita membatasi diri lagi," demikian Ban Liang yang serupa pendapatnya dengan pendapat si nona.

"Dengan begitu bukankah bentrokan kita dengan pihak siauw Lim Sie menjadi hebat sekali," tanya Kho Kong.

"Tidak ada jalan lain. Memang tidak ada sesuatu yang lengkap dua-duanya..."

"Mengapa kita tidak mau menanyakan petunjuk Nona Hoan? mungkin ia mempunyai da apa-apa..."

Ban Liang menggeleng kepala. "Buat sementara tak usah kita menanyakannya..." katanya. "Nanti malam kita mesti memasang telinga dan memusatkan perhatian kita benar benar, kita mesti mengenal baik keadaan ruang ini, supaya tak sampai gerak gerik kita terhalang..." Oey Eng berpaling kepada Soat Kun dan ciu ceng. "Bagaimana dengan kedua Nona Hoan dan ciu ceng? " tanyanya.

"Ini dia kesukaran kita," berkata sijago tua. "Sudah tenaga kita sedikit, disamping membela diri, kitapun harus melindungi nona nona serta Oey Ho ciu Loo itu. Pula pertempuran di waktu malam..."

"Jumlah kita enam orang," Giok Yauw turut bicara, "kecuali yang menjaga pintu dan jendela, sisa kita tinggal empat. aku pikir kita berempat gilir saja, bergantian bertempur serentak melindungi nona nona itu dan ciu ceng bertiga..."

"Itulah sebabnya maka sekarang aku ingin berunding dengan kalian," kata Ban Liang. "Kita bicarakan bagaimana kita harus menentang serbuan-”

“Baagimana pendapat looCianpwee? " tanya Oey Eng.

"siauw Lim Sie mempunyai Lo Han Tin, tak usah kita bicarakan lagi," berkata jago tua itu. "Bukankah Ngo Bie Pay juga mempunyai barisan istimewa semacam itu yang dinamakan Ngo Heng Kiam Tin? Bukankah kalian pernah mendengarnya? "

"Bagaimana, apakah kita melawan musuh dengan tin itu? " tanya pula Oey Eng.

"Itu bukanlah maksudku seluruhnya. Mana mampu aku membangun tin itu? Pula, bagaimana mungkin tin itu dapt dibangun dalam waktu sependek ini? Hanyalah, karena ingat Ngo Heng Tin, loohu jadi ingat suatu cara pembelaan diri...”

“Apakah itu, loocianpwee? " tanya Kho Kong.

"Loohu pikir kapan serbuan datang, kita masing-masing mengambil suatu tempat tempat tertentu. Secara begitu disamping kita menentang, kita pun bisa saling toling dimana perlu. Jangan kita tinggalkan kedudukan kita masing-masing kecuali ada yang terluka parah."

"Dayaini baik juga ," kata Oey Eng setuju

"Kalau begitu, jangan berayal lagi," berkata Ban Liang. "Mari kita mulai mengatur diri"

Kemudian mereka itu memilih tempat ciu Ceng digotong kesamping kedua Nona Hoan-Ketika itu Han In Taysu dengan rodanya menghampiri.

"Apakah pemuda didepan pintu itu masih sanggup bertahan? " tanya dia.

Pendeta ini heran sebab siauw Pek belum pernah dipukul munduroleh musuh. Iapun heran menyaksikan bagaimana sinar pedang selalu menghadang penyerbuan kawanan pendeta yang banyak jumlahnya itu. Tak pernah ada jago Siauw LimSie yang sanggup menerobos rintangan pedang itu

"Luar biasa" katanya seorang diri. "Sungguh mengherankan" "Suhu, apakah kata suhu? " tanya Giok Yauw.

"Aku heran karena melihat anak muda yang bertahan dimuka pintu itu," sahut sang guru. "Kenapa dia dapat bertahan begitu lama? Sampai sebegini jauh, dia belum pernah mendapat kesempatan untuk beristirahat" Mendengar pertanyaan itu, sang murid tersenyum.

"Mengenai dia, tidak ada yang aneh, suhu," katanya sabar. "Tenaga dalamnya luar biasa mahir, seperti mahirnya ilmu pedangnya...”

“Dia toh belum berusia dua puluh tahun? " tanya guru itu. "Belum..."  menjawab si  nona, yang merandak dengan tiba  tiba,

sedang kulit mukanya menjadi memerah dan terasa panas. Ia insyaf

bahwa jawabannya terlalu cepat... "Karena dia belum berusia dua puluh tahun, tak mungkin tenaga dalamnya demikian mahir," berkata pula ketua Ngo Bie Pay itu,  yang tetap heran. "Aku lihat dia melulu mengandalkan ilmu pedangnya itu. . . " ^

"Jikalau dia cuma mengandalkan ilmu pedangnya, walaupun ilmu pedangnya luar biasa, dapatkah dia bertahan lebih lama pula? " tanya Ban Liang.

"Sebegitu jauh yang loolap tahu, itulah sulit."

Mendengar jawaban si pendeta, Ban Liang berkata didalam hatinya: "Han In Taysu belum tahu siapa Coh Siauw Pek, pada saat seperti ini, baiklah aku tak menjelaskan dahulu tentang dirinya..." Maka ia lalu berkata: "Tapi dia dapat bertahan sampai begini lama..."

Kata kata itu terputus dengan tiba tiba. Inilah disebabkan tampak dua orang pendeta berhasil meloncati jendela, beruntun mereka tiba ditempat dimana tadi enam orang kawannya kena dirobohkan. Mereka masuk dari tempat terang ketempat gelap. setibanya didalam tak leluasa mereka melihat depan dan sekitarnya, bahkan mereka tidak melihat juga pihak lawan-Han In Taysu segera melanjutkan tangan kanannya, menyerang dengan sangat sebat, sebelum lawan tahu apa apa, lawan itu yang masuk lebih dahulu segera tertotok roboh Thlo Giok Yauw menghajar musuh yang masuk belakangan-Punggung sipendeta yang menjadi sasarannya. Dengan mengeluarkan suara nyaring, pendeta itu roboh tersungkur seperti kawannya dan tak bangkit pula

"Suhu, bagaimana tanganku ini? " tanya si nona, tertawa, pada gurunya.

"Sebat cukup bahkan lebih tetapi tenagamu kurang," sahut Han in Taysu. "Kau kurang ketenangan."

Ban Liang heran dan kagum.

"Ditempat begini gelap pendeta ini masih dapat melihat pelbagai gerakan orang, dia hebat" pikirnya. "Rupanya itu disebabkan tenaga dalamnya telah mencapai puncak kemahiran-Han in liehay, dia terkurung beberapa tahun didalam gua yang gelap. tidak heran kalau matanya awas luar biasa. Didalam keadaan seperti dia, sekalipun bukan ahli silat juga pasti bisa melihat lebih baik daripada orang biasa."

KemudianBan Liang menghampiri pendeta tua itu Katanya: "pada saat mati hidup seperti ini, baiklah taysu yang memegang pimpinan. Coba taysu cari suatu daya untuk menolak lawan-.."

"Ini tak berani loolap terima," sipendeta menampik.

"Jangan segan segan taysu," Ban Liang membujuk. "Waktunya sudah singkat sekali”

“Baiklah kalau begitu," sahut sipendeta.

"Kami semua bersedia untuk menerima perintah," Ban Liang memberitahukan-"Setelah beberapa orangnya yang melompati jendela itu gagal, mungkin pihak lawan tak akan berani mengulangi penyerbuan semacam itu lagi," berkata Han in-"Buat sementara, bagianjendela sudah aman, walaupun inilah ketenangan sesaat saja dimuka badai. Terang pihak Siauw Lim tidak mudah melepaskan kita, bahkan sebaliknya, dia akan menyerbu pendopo besar ini dengan menggunakan tenaga jago jagonya. Jikalau kita tertumpas, mereka dapat menggunakan alasan bahwa perbuatannya itu untuk melindungi keselamatan jiwa ketua mereka. Loolap pula percaya pertempuran hebat akan terjadi malam ini..."

"Didalam satu pertempuran tak dapat orang bebas dari ancaman terluka atau terbinasa," berkata Giok Yauw, "takada daya untuk mencegah itu"

"Cumalah, kalau bisa, sebisanya kita harus menghindarkan itu..." kata sang guru, yang tetap sabar. Ia memandang Ban Liang, kemudian melanjutkan kata katanya^ "Loolap setuju dengan perkatanmu bahwa jumlah kita sedikit dan tak dapat menggempur musuh mati matian bahwa kita harus menggunakan akal. Maka itu sekarang loolap menghendaki tindakan kita sekarang ialah kita memisahkan diri satu kaki dari lain tetapi jaraknya cukup dekat untuk kita bisa saling membantu. Yang penting adalah menjaga supaya musuh jangan berhasil menyerbu kedalam toan tin..."

"Yang sukar yaitu kalau musuh tak menyayangi pendoponya ini dan rela mereka menggempurkannya..." Ban Liang meng utarakan kekhawatirannya.

"Jikalau mereka sampai menggempur, itulah soal lain-Sekarang ini pintu pendopolah yang paling penting, jangan pintu itu sampai tak dapat dipertahankan. Untungnya bagi kita jago jago utama dari Siauw Lim Sie tengah menutup diri, hingga tinggal konco-konco It Tie saja, Loolap percaya tadi kata-kata Nona Hoan tentu telah menyadarkan mereka. Yang bagus ialah kalau kita bisa melayani lawan satu demi satu.”

“Itulah tak mungkin, suhu," kata nona Thic "Mereka pasti akan mengepung “

“Apakah yang kiranya taysu khawatirkan? " tanya Kho Kong. "Ialah seandainya mereka sempat membangun Lo Han Tin

didalam pendopo ini. Untuk itu, mereka harus dapat menerobos sedikitnya lebih dari sembilan orang. Seperti loolap telah bilang, pintu pendoponya adalah yang utama."

"Nah, sekarang baiklah taysu segera mengatur kami," kata Ban Liang.

Han in sudah tahu letak pendopo itu, ia lalu mengatur^ "Saudara Ban, tolong kau menjaga jendela. Saudara Oey bersama Giok Yauw harus siap sembarang waktu membantu sianak muda menjaga pintu pendopo. Saudara Kho, tolong kau memasang mata kesegala bagian, andai kata benar musuh menggempur tembok. segera kau memberitahukan kami semua. Loolap akan berdiam ditengah untuk membantu kesegala bagian."

"Andaikata musuh meluruk dipintu dengan jumlah yang besar, bagaimana? " tanya Ban Liang. "Bagaimana kita harus mundurnya? ”

“Dengarlah isyarat siulan loolap.” “Baik, taysu."

Han In menghela napas melegakan hatinya.

"Sementara musuh belum menyerbu, baik kita istirahat sebentar," katanya pula, kemudian-"ingat, kita berkelahi bukan melulu untuk membela diri tapi juga untuk kesejahteraan Rimba Persilatan seumumnya, buat melindungi sibenar dari sisesat. Kita harus bertahan dari rasa lapar selama tiga hari dua malam." Habis berkata itu, pendeta itu memejamkan matanya.

Giok Yauw lalu menoleh kepintu besar. Pertempuran disitu telah berhenti sendirinya. Sambil siap siaga dengan pedangnya, Siauw Pek lagi berdiri dimuka pintu itu. Lega hati nona ini. Dengan perlahan ia bertindak menghampiri sianak muda.

"Lihatkah kau? " tanyanya perlahan, lemah lembut. "Berapakah banyaknya pendeta pendeta yang mengepung kau? " Siauw Pek menoleh sambil tersenyum.

"Mereka terdiri dari tiga rombongan, datangnya bergantian," sahutnya. Jumlah mereka diatas tiga puluh orang."

"Jadinya setiap rombongan terdiri dari belasan orang." Siauw Pek mengangguk.

"Ah" sinona kagum. "Seorang diri kau bisa melayani demikian banyak musuh, kalau nanti dunia luar mengetahui pertempuran ini, pasti itulah bahan pembicaraan yang menarik hati yang bakal tersiar luas.

"ilmu pedangku memang mengutamakan pembelaan diri," menerang kan sianak muda. "Beruntungnya mereka menyerang dari depan, hingga aku tak usah khawatirkan serbuan dari belakang. Inilah yang menyebabkan aku dapat bertahan begitu lama."

Memang makin sering Siauw Pek bertempur, makin baik baginya. Baginya pertempuran berarti semacam latihan dan penambahan pengalaman-Baik tenaga dalamnya maupun ilmu pedangnya akan terus bertambah tangguh dan mahir sendirinya. "Bagaimana keadaan kalian didalam? " kemudian sianak muda balik bertanya pada sinona.

"Musuh tidak hanya menyerang dari pintu tapi juga dari jendela," Giok Yauw terangkan. “Hanya serangan dari jendelapun menemui kegagalan. Setiap musuh yang lompat memasuki jendela telah kena kita totok roboh."

"Dari tiga rombongan penyerbu tadi," siauw Pek menerangkan lebih jauh. "yang pertama menyerang hebat sekali, yang dua  lainnya itu mayan saja. Rupanya mereka tengah menggunakan siasat. Aku duga sebentar lagi, setelah jauh malam, mereka bakal menyerang pula secara hebat."

"Benar terkaanmu Suhupun menduga demikian." Siauw Pek menghela napas.

"Kalau mereka mengajukan jago jago mereka inilah sulit," katanya. "Tak mudah untuk mencegah serbuan mereka itu jikalau tidak melukainya. Bagaimana dengan nona Hoan, apakah tak ada petunjuknya? "

"Mereka itu aneh, hingga tak dapat kami menerimanya," menjawab Giok Yauw. "Mereka memernahkan diri dipojok sana, keduanya duduk bersila dengan berdiam saja, bagaikan orang tengah tidur pulas. tempat sebegitu jauh mereka seperti tak menghiraukan pertempuran pertempuran yang tadi itu."

"Begitu? " sianak muda mengulangi, heran-

"Benar," sinona mengangguk. "Ban Loocianpwee bersama dua saudara Oey dan Kho tidak berani menyapa, karena itu, aku juga berdiam saja...”

“Bagaimana dengan Han In Taysu? ” “sekarang ini suhu yang memegang pimpinan.” “Aneh " kata Siauw Pek.

"Memang aneh Kau menjadi bengcu, kau berhak menanyakan kepada Nona Hoan-" Kata kata sinona terputus dengan tiba tiba. Mendadak saja terdengar anginnya benda logam warna kuning emas  yang meluncur keatas. Diantara sinar sang bintang, terlihatlah sebuah cecer.

Itulah hui-poat, cecer terbang, senjata It Tie Taysu.

"Nona lekas mundur" Siauw Pek berkata. "Mereka segera bakal mengulangi penyerangan mereka "

Giok Yauw mengerti suasana, segera ia lari kedalam pendopo sambil berkata nyaring: "Berhati hati terhadap cecer terbang musuh. Cecer kuningan itu aneh gerak geriknya “

“Jangan takut, nona" kata Siauw Pek. "Terima kasih untuk kebaikanmu" Justru itu, huipoat datang menyambar.

siauw Pek menyambut dengan satu tabasan, ia terkejut. Kedua senjata bentrok tak tepat, cecer itu molos kebawah, menyambar lengan Bukan main heran sianak muda.

"Entah senjata apa ini? " pikirnya. Dengan sebat ia menghunus goloknya, dipakai menghajar. Dengan pedang panjang, tak merdeka ia melayaninya.

Terkena golok. cecer itu lolos kekanan, mencelat kearah pintu. Maka disitulah dia nancap tak bergeming lagi “Hebat" kata Siauw Pek didalam hati saking kagumnya.

Tapi tak sempat ia berpikir lama. Diluar pendopo, sejauh lima tombak lebih, terlihat sinar api terang-terang. Itulah api dari empat buah obor.

Dari dalam pendopo segera terdengar suara nyaring dari Han in Taysu: "Siap Waspada Musuh akan segera menyerang "

siauw Pek memasang mata kedepan. Dibelakang obor-obor itu tampak beberapa rombongan pendeta. Mereka itu, setiap rombongan kita kita duapuluh orang anggota. Semua obor diangkat tinggi-tinggi. Setelah mengawasi beberapa lama, ketua Kim Too Bun melihat lebih tegas bahwa rombongan itu terbagi empat dan rombongan yang sebelah kiri maju langsung kepintu pendopo toa tin-ia pun mengenali It Ceng. Maka tahulah ia penyerang ini dilakukan oleh saudara seperguruan It Tie yang terpercaya oleh si ketua partai. insaftah ia bahwa pertempuran bakal jadi hebat. Bahwa tak benar It Ceng berangkat ke Ngo Bie San guna memanggil Hoat Ceng.

pemuda menggunakan tangan kirinya memasukkan Pa Too,  golok ampuhnya kedapam sarungnya.

ooooooo

Hanya sebentar, It Ceng sudah bagaikan mengurung pintu toatian. Pendeta-pendeta yang membawa obor, dari depan barisan lari kebelakang dimana mereka mengangkat tinggi tinggi obornya itu.

Diam diam siauw Pek menghitung jumlah rombongan yang pertama ini. Bersama sipembawa obor, mereka terdiri dari dua puluh tujuh orang. Karena itu, jumlah empat rombongan ialah seratus delapan jiwa.

Tiga rombongan yang lain segera memernahkan diri ditimur, utara dan barat. Dengan begitu, toa tian jadi sudah terkurung rapat.

Empat buah obor yang besar, menyala menerangi sekitar mereka semua.

Dengan pedang ditangan kanan dan ditaruh didepan dada, Siauw Pek berdiri tenang ditengah-tengah pintu, romannya keren.

Tibalah saatnya It Ceng maju kedepan pintu. Dia segera memperdengarkan suaranya yang dingin. "Siecu, buat sementara kamu menduduki toatian kami. Perbuatan kamu ini merusak muka terang kami kaum Siauw Lim Pay sekarang pinceng buat menyampaikan peringatan yang terakhir. Jikalau kamu tidak segera meninggalkan pendopo ini, tak ampun lagi, kamu bakal ditumpas habis"

Siauw Pek berlaku sabar ketika ia memberikan jawabannya. "Kami datang kemari dengan memakai aturan yaitu dengan lebih dahulu mengirim kartu nama, bahkan juga dengan beruntun menerobos tiga lapis penjagaan, karena kami telah diterima menghadap ketua kamu, sudah selayaknya kami disambut dan diperlakukan sebagai tamu tamu terhormat. Tapi kamu menentang Rimba Persilatan, bukan saja kamu tidak sudi menyambut secara hormat, kamu juga secara kasar sudah menghina kami. Apakah dengan begitu, kesalahan berada dipihak kami? " It Ceng tertawa dingin.

"Sudah sejak beberapa ratus tahun, kuil kami tidak pernah menerima orang perempuan" sahutnya ketus.

"Kami datang kemari tanpa penyambutan, bahkan kami dipaksa menggunakan kekerasan mencoblos beberapa lapis penjagaan kuat dari kamu, adakah itu aturan dari siauw Lim Sie? " tanya siauw Pek pula. "Jikalau aturan kamu memang satu rupa, sudah selayaknya kamipun diterima dengan baik" It Ceng kalah bicara.

"Pinceng cuma sedang menjalankan perintah" katanya keras. "Pinceng diperintah mengusir tuan-tuan berlalu dari kuil ini. Tidak ada waktu bagiku untuk kita mengadu bicara "

"Jikalau kami tidak mau pergi," tanya Siauw Pek.

"Terpaksa kami akan menggunakan kekerasan, walaupun dengan cara pembunuhan" menjawab pendeta itu. "Jikalau sampai sangat terpaksa, ini rusak musnah" Siauw Pek tertawa dingin.

"Taysu" katanya, sungguh sungguh, "jikalau kamu berkalu sangat keterlaluan maka malam ini aku khawatir tak bakal luput dari pertumpahan darah hebat" Pendeta itu mengerutkan alisnya.

"Pinceng telah memberi nasehat secara baik. jikalau siecu tidak mau menerima ya, apa boleh buat, tidak ada jalan lain "

"Aku juga telah memberi nasehat kepada taysu," siauw Pek menjawab. "Jikalau taysu membawa adat sendiri dan tak sudi menerimanya, itulah berarti bahwa kami dipaksa mesti mengadu jiwa untuk melindungi diri hingga terpaksa kamu juga mesti menurunkan tangan jahat."

It Ceng gusar, hingga dia berseru bengis. "Siecu tidak sudi dengar nasehat baik, jangan heran jikalau pinceng berlaku kurang ajar"

Menutup suaranya itu, pendeta ini menggerakkan tongkatnya menyerang si anak muda. Dia menggunakan tipu silat "Tay Sang Ap Teng" atau "GUnung Tay San menindih kepala. Tongkatnya itu dari atas turun kebawah.

Sebagai pendeta dari golongan It (Satu), dapat dimengerti It Ceng lihay dan tenaganya besar lagi teratur.

Siauw Pek menyingkir dari hajaran hebat itu, sambil berkelit pedangnya diluncurkan untuk menabas lengan kanan si pendeta.

It Ceng melihat sinar pedang berkelebat, dengan sebat ia menarik kembali tongkatnya, yang panjang mirip toya. Ia juga berlompat mundur lima kaki, bersiap sedia andaikata lawan terus mendesaknya. Tapi ia bukan mundur guna menyelamatkan diri, karena senjatanya panjang, sambil mundur dia menghajar mendatar, mengarah pinggang lawan Siauw Pek tidak menangkis, ia hanya berkelit dari pukulan maut itu, begitu berkelit, begitu ia maju pula sambil menikam. Ia tidak mau memberi kesempatan lawan menyerangnya terus hingga berulang ulang.

Adakah maksud It Ceng berlaku bengis untuk mendesak Siauw Pek mundur dari muka pintu, supaya ia bisa mengajak rombongannya menyerbu masuk kedalam pendopo itu. Iapun mengandalkan tongkatnya, yang termasuk senjata berat, guna menggempur pedang lawan yang terhitung senjata ringan-Tetapi tidak dapat ia mewujudkan rencananya itu. Bahkan ia menjadi repot melayani pedang sianak muda.

Saking serunya, tanpa terasa, mereka sudah bertarung selama dua puluh jurus, selama mana tak hentinya mereka saling menyerang. Rombongan It Ceng telah siap sedia untuk menerjang masuk kedalam toatian, mereka tidak sabar menyaksikan lawan menghadangnya demikian hebat. Dua orang pendeta menjadi habis sabar, tanpa perintah dari It Ceng, tanpa memberi isyarat lagi, sudah berlompat maju untuk menyerang Golok Kaytoo dan tongkat sianthung mereka turun dengan serentak.

It Ceng membiarkan orang membantunya, dengan begitu mereka mengepung bertiga. Walaupun jumlah musuh menjadi tambah, tak dapat mereka itu mendesak si anak muda. Bagi dia ini, satu lawan atau tiga lawan, saja. seperti biasa, Thian Kiam dapat melayani dengan tenang.

Kembali belasan jurus dilewatkan tanpa hasil satupun untuk pihak yang mana juga .

It Ceng heran dan kagum, hingga dia berkata didalam hatinya: "Bocah ini masih begini muda, kenapa dia sudah begini lihay"

Kembali dua orang pendeta habis sabar mereka maju menyerang. Mereka menggunakan tongkat.

Dua orang itu maju dari kiri dan kanan. Sambil berputar, Siauw Pek menangkis tongkat mereka, untuk seterusnya ia menghindarkan diri dari serangan serangan It Ceng bertiga.

Pula kali ini, ia melawan lima orang seperti tadi ia melawan tiga. Dilain pihak. karena bertempur berlima serentak. kelima pendeta manjadi agak kalut cara menyerangnya, atau kalau tidak, mereka bisa bisa melukai kawan sendiri...

Han In Taysu, yang berdiam ditempat gelap. menonton dengan asyik sekali. Iapun heran luar biasa. Ia berkata didalam hatinya, "Dia masih sangat muda. Ilmu pedang apa itu dia gunakan untuk melayani orang musuh berbareng? Melihat begini, mestinya Lo Han Tin tidak akan mampu mengurungnya..."

Lagi sepuluh jurus lewat, masih It Ceng tidak bisa berbuat apa apa. Sedikitpun dia tak memperoleh kemajuan. Makapada akhirnya dia melompat mundur sendirinya. Tapi dia bukannya menyerah kalah atau mau mengangkat kaki, hanya untuk segera memperdengarkan seruannya. "Kamu semua maju berbareng"

"Ya" menjawab para pendeta yang menjadi kepala rombongan itu, habis mana, semuanya maju serempak.

Han In melihat sikap lawan, iapun berseru. "Awas Mereka mau bergerak secara besar-besaran"

Oey Eng dan Kho Kong telah menuruti nasehat ketua Ngo Bie  Pay itu, selagi Siauw Pek bertempur, mereka beristirahat. Tempo itu singkat tetapi ada baiknya juga . Segera setelah dengar seruan pendeta itu, mereka berlompat bangun, untuk mengambil tempatnya masing masing.

Ban Liang juga segera bersiap sedia.

Tiba tiba sebatang obor besar terlihat melesat masuk dari jendela, jatuh dilantai.

Han In menyambut obor itu dengan satu sampokan tangannya. Hanya dengan satu kali saja ia menyampok. padamlah api yang menyala berkobar itu.

Giok Yauw menyiapkan jarumnya, kepada gurunya ia berbisik, "Suhu, pendeta pendeta Siauw Lim Sie tidak memakai aturan Rimba Persilatan lagi, teecupun tak perlu berlaku segan segan terhadapnya.”

“Kau hendak membuat apa? " tanya sang guru

"Teecu mempunyai senjata rahasia. Itulah senjata yang paling tepat guna melayani musuh yang berjumlah besar ini."

"Adakah senjatamu itu sebangsa pasir atau jarum beracun? ” “Jarum tanpa racun, suhu," jawab Giok Yauw.

"Malam ini tak dapat aku mengambil keputusan bagaimana harus bersikap terhadap lawan ini, tak dapat juga aku mencegah kau, maka itu, kau atur saja bagaimana baiknya" Belum suara si pendeta berhenti, tiba tiba dua batang obor sudah ditumpukan kembali ke dalam pendopo itu.

Oey Eng berlompat maju, dengan pedangnya ia membabat kutung benda yang berapi itu. sesudah mana ia menginjak injak sUmbu kedua obor memadamkannya.

"Kita berada ditempat gelap, mereka itu ditempat terang, itulah sebabnya kenapa mereka menggunakan api." berkata Han In Taysu. "Mereka itu ingin, setelah menyerbu mereka dapat melihat segala apa dengan jelas"

Suara pendeta itu berhenti terentak dengan satu suara yang keras sekali, disusul dengan mengepulnya debu.

"Celaka betul " pendeta itu berseru. mendongkol. "Benar benar mereka mencoba menggempur tembok."

"Kalau begitu terang sudah mereka menghendaki jiwa kita" kata Giok Yauw gusar.

"Jikalau kita tidak mati semua, mana bisa It Tie tetap menjadi ketua? " kata Ban Liang.

"Maka itu, karena kita mengadu jiwa, jangan kita main segan segan lagi" kata pula si nona. "Sungguh tak adil selagi kita bermurah hati musuh sebaliknya berlaku telengas. Kita berkasihan, mereka menggunakan tangan kejam "

Kembali terdengar tiga kali suara hebat, pertanda bahwa penggempuran tembok dilanjutkan, hingga debu mengepul pula. Bahkan kali ini ditembok kiri telihat satu lubang kecil, Itulah pertanda, bahwa tembok mulai bobol.

Lubang ditembok itu besar tiga kaki, maka terbukalah lowongan buat masuk obor berapi. Sebuah obor segera ditimpukkan masuk.

Han in sudah bersedia, ia menyampok obor itu Maka lagi ruang menjadi sebentar terang sekejap lagi gelap kembali. Bahkan obor itu, karena belum jatuh kelantai, karena disampoknya tepat, telah tersampok kembali dipihak sana. Giok Yauw menggunakan kesempatan ketika obor kembali pada masuk. dia membarengi menimpukkan segumpal jarumnya Dia menimpuk sambil membentak Ban Liang hendak mencegah tetapi tak keburu. Dari sebelah sana segera terdengar jeritan. "Aduh" dua kali Itulah bukti bahwa dua orang musuh telah menjadi korban jarumnya itu.

Menyusul jeritan itu, terdengar juga suara berisik lainnya, lalu "Mereka menggunakan jarum beracun. Semua waspada"

Giok Yauw mendengar itu, ia tersenyum Kembali ia menyiapkan jarumnya.

Diam-diam Ban Liang menoleh kearah Nona Hoan. Mereka itu tetap duduk tenang, bagaikan mereka tak tahu bahwa disini, atau di depannya, keadaan sudah kacau dan mengancam sekali.

Heran jago tua itu. Katanya didalam hatinya.

“Hebat Hoan Toako. Dia telah mewariskan kepandaiannya kepada dua orang nona yang luar biasa ini Hanya sayang saat ini saat sangat berbahaya..."

Tengah Ban Liang berpikir, dari luar terdengar mengaungnya dua batang anak panah yang dilesatkan ke udara.

Mendengar itu, Han in Tysu segera memberikan peringatan "Waspada!!! Musuh menggunakan anak panah "

Menyusul suara pendeta ini, dua anak panah menyambar ketembok dan nancap. Kalau anak-anak panah itu mengenai tubuh manusia... Tapi Oey menyampok yang satu dan Ban Liang menyambuti yang lainnya.

"inilah berbahaya" Ban Liang berpikir "Kalau mereka menyerang dari empat penjuru kemana kita bisa melindungi diri? "

Giok Yauw menghela napas, katanya "Kapanya sudah pasti kawanan pendeta itu hendak membunuh kita. Jikalau ktia tidak memberi rasa sukar buat kita menghadapi mereka secara begini saja." Maka ia menimpuk pula dengan jarumnya, yang terdiri dari belasan batang.

Diantara para pendeta terdengar jeritan jeritan kesakitan dan kaget. Itulah bukti bahwa jarum jarum itu telah minta korban pula.

“Hebat jarummu, nona" Kho Kong memuji, "Tak ada yang gagal" Kembali si nona menghela napas.

"Kalau kita toh mesti mati disini maka pendeta pendeta itu mati berlipat lipat lebih banyak dari pada jumlah kita," katanya.

Han in Taysu menghela napas. Katanya "Kalau lebih banyak pendeta yang mati, peristiwa akan jadi sangat hebat. Walaupun kesalahan berada pada pihak mereka, pasti sekali mereka itu tak akan mau mengerti dan akan mencoba menumpas kita."

Kata kata dari ketua NgoBie Pay ini terputus oleh sambaran lain dari beberapa anak panah. Syukur semua tidak meminta kurban, karena nona Thlo telah memutar pedangnya dan meruntuhkannya, sedangkan Han in sendiri menyambuti sebatang.

Ban Liang membungkuk memunguti anak panah itu yang berjumlah delapan batang, sambil bekerja itu ia berkata perlahan "Rupanya benar-benar tak mudah pertempuran ini akan berakhir..."

Habis penyerangan anak panah itu, suasana menjadi sunyi. Justru itu terdengarlah suara tenang tetapi berpengaruh. "Punco mau berlaku murah hati, kamu diberi kesempatan akan memikir masak masak. Didalam waktu sepertanak nasi, kamu bebas merdeka dan akan selamat buat meninggalkan pendopo ini”

“Itulah suara It Tie Taysu" berkata Giok Yauw.

Han in Taysu menoleh pada Ban Liang untuk berkata, "Beritahukan kepadanya bahwa kita sudah bersiap Sedia menangkis penyerangannya. Tak dapat kita menunjukkan kelemahan terhadap mereka itu."

Ban Liang tertawa nyaring. Itulah karena kemurkaannya. "Benar" katanya ketus. "Hari ini dapat kita bertempuran hingga mati disini tetap tak dapat kita menunjukkan kelemahan" Terus sijago tua bertindak ke lubang tembok bekas tergempur itu. "Loocianpwee, hati hati" berseru Oey Eng khawatir.

"Tidak apa" berkata sijago tua, yang bertindak terus. Di mulut lubang ia mengeluarkan kepalanya.

Ruang luar diterangi beberapa puluh obor yang menyala, yang membuat ruang itu terang bagaikan siang. Disana tampak banyak sekali pendeta dengan alat senjata nyamasing masing. Semua mereka itu mengatur diri dengan rapi.

"It Tie Taysu" berkata Ban Liang sambil melongok itu. ia batuk batuk.

Ketua Siauw Lim Pay muncul setelah barisannya memecah diri kekiri dan kekanan-Tubuh pendeta itu ditutup dengan jubah kuning. Dia bertindak maju dengan perlahan-Segera juga memperdengarkan suaranya, sabar^ "Tuan diantara sahabat sahabatmu ada yang terluka punco bersedia mengobatinya dengan obat mustajab Siauw Lim Sie" Ban Liang tertawa lebar menyambut tawaran itu.

"Taysu baik hati sekali, suka aku menerimanya" sahutnya. “Hanya sayang, diantara kami tidak ada yang terluka"

Berkata itu, diam diam jago tua mengawasi tajam, ia mendapatkan It Tie didampingi oleh ses bie atau kacung pendeta, yang masing masing membawa cecer kuningan dan golok tua.

It Tie bertindak sampai sejarak kira kira lima kaki dari lubang dimana Ban Liang berada, disitu ia menghentikan tindakannya sambil berkata nyaring: "Siapa yang pandai melihat gelagat dialah seorang gagah”

“Maksudmu, taysu? " Ban Liang menegaskan-

"Maksud punco ialah memberi nasihat kepada tuan tuan sekalian supaya mulai sekarang ini tuan tuan menghentikan pertentangan, lalu terus kamu jangan suka tahu menahu lagi segala urusan dunia Kang ouw" berkata ie Tie dengan keterangannya. "Setelah tuan tuan memberikan janji maka punco akan membantu kalian" Ban Liang tertawa berkakak.

"Dengan cara bagaimana taysu hendak membantu kami? " tanyanya. Lagi lagi ia menegasi.

"Punco bersedia menghadiahkan kepada kamu dengan seratus butir mutiara serta uang tunai selaksa tail..." sahut It Tie.

Ban Liang tertawa pula. Hanya kali ini nadanya tawar.

"Taysu, kaupandang aku Ban Liang orang macam apakah? " tanyanya.

It Tie nampak tidak senang.

"sebenarnya tuan menghendaki apakah? " tanyanya. "sebutkanlah"

Ban Liang berkata dingin "Aku siorang tua bukannya orang sujud kaum Budha tetapi hendak aku memberi nasehat kepada taysu dengan dua kata kata agama itu: Meletakkan golok jagal Segera menjadi Budha. Taysu, kenapakah karena kesalahanmu satu saat, lalu kau tenggelam terus kedalam tempat darimana kau tak bakal kembali? "

It Tie gusar sekali hingga ia membentak.

"Kematian kamu sudah didepan mata tapi kamu masih berani berlagak begini?" demikian suaranya yang bengis dengan apa dia mengumbar amarahnya. Diapun mengulur sebelah tangannya, mengambil selembar cecer dari tangan kacungnya.

Ban Liang tahu liehaynya senjata istimewa itu, segera ngelepot kembali kedalam ruang.

Menyusul itu terdengar pula suara bengis dari It Tie: "Kamu tersesat, kamu tak sudi sadar, jangan kamu sesalkan punco jikalau punco mengeluarkan tangan tak mengenal kasihan lagi"

Ancaman itu diakhiri dengan suara angin dari menyambarnya suatu alat senjata. "Waspada" Ban Liang menyerukan kawan-kawannya. ia mengenali suara itu. "Pendeta itu sudah menggunakan cecer terbangnya "

Han In Taysu juga berkata keras, "Itulah salah satu senjata rahasia istimewa dari Siauw Lim Sie Senjata itu cuma dapat dielakkan, jangan ditangkis"

Berkata begitu, pendeta ini menggerakkan keretanya menyingkir kepojok.

Giok Yauw penasaran, akan tetapi melihat guru itu menyingkir, terpaksa ia turut bergerak kepojok juga . Hanya sambil menyingkir itu, ia membuka matanya lebar lebar.

Didalam pendopo yang luas tadi gelap itu tampak sebuah sinar kuning emas berputaran, suara anginnya terdengar halus.

Oey Eng dan Kho Kong segera menjatuhkan diri, bertengkurap dilantai.

Cepat sekali terdengarlah satu suara berisik, dari menghajarnya cecer itu kepada tembok. hingga tembok pecah meluruk mengepulkan debu. Setelah itu, cecer itu tidak jatuh kelantai, hanya mental untuk berputar dengan keras, menyambar lewat diatas kepala Soat Kun, untuk menyambar terus ketengah ruang. Ban Liang mengeluarkan peluh dingin.

“Hebat" kata sijago tua ini didalam hatinya. "Pantas senjata ini mendapat nama istimewa."

Baru saja sijago tua berkata demikian, tiba tiba sebatang obor telah dilemparkan masuk kedalam pendopo itu. Karena semua orang tengah bersembunyi, tak sempat memadamkan api itu. Karena mana, teranglah seluruh ruang hingga para pendeta dari luar ruang dapat melihatnya terang tegas.

Selagi ruang terang benderang itu, satu seruan terdengar, disusul dengan munculnya orang yang berseru itu, seorang pendeta dengan sebatang golok kaytoo ditangannya. Segera setelah di dalam pendopo, tubuhnya berguling, dan dia berlompat bangun berdiri, goloknya dipernahkan di depan dadanya, dalam sikap melindungi diri. Giok Yauw segera mengayunkan tangannya sambil membentak: "Prgilah kau menggelinding" Itulah ayunan tangan yang menggenggam jarum rahasia. Pendeta itu liehay, dengan goloknya dia menyampok jatuh jarum itu.

Menyaksikan hal demikian, Ban Liang meluncurkan tangan kanannya, menyerang dengan ilmu silatnya yang bernama Ngo Kwei Souw Hun Ciang, hingga angin, atau hawa dingin, menyambar kearah pendeta itu.

Pendeta itu bisa menghadang jarum rahasia tapi tak sanggup dia bertahan dari tangan liehay Seng Su Poan, dia roboh seketika dengan didahului terlepasnya goloknya. Dia mengeluarkan suara "Aduh" dan goloknya kena terampas.

Kawanan pendeta dari Siauw Lim Sie itu berani semuanya. Setelah robohnya satu kawan itu segera lompat menyusul dua yang lainnya.

Han In Taysu menyambut lawan dengan satu luncuran tangan kanannya.

Kedua pendeta itu masing masing mencekal tongkat sianthung, dan golok kaytoo, mereka tahu bahwa mereka dipakai serangan, mereka berkelit. Pendeta yang kiri menyambut dengan bahu kirinya sambil berseru: "Sutee, lekas maju Tangkis dengan senjatamu" Karena dia membahasakan "sutee" adik seperguruan, maka dialah sang suheng kakak.

Sementara itu cecer terbang masih bekerja. Justru itu cecer menyambar kearah Giok Yauw. Si nona berkelit sambil mendekam Pendeta sebelah kanan, memegang tongkat, turut pula berkelit, karena dia berada digaris si nona.

Karena dia menghindarkan diri, celakalah kawannya, sipendeta yang bersenjata golok itu. Pendeta ini tak cukup tangguh menghadapi serangan Han In Taysu, tanpa ampun, bahunya patah hingga dia merasakan sangat nyeri. Tapi dia bandel, dia berdiri tegak. untuk mengerahkan tenaga dalamnya, guna bertahan dari luka parah itu, hingga dia tak sampai roboh terguling.

Justru itu, tibalah hui poat, cecer ketuanya yang liehay itu. Tak sempat dia menangkis atau berkelit, maka juga kepalanya kena terpapas pecah dan putus oleh senjata bundar gepeng yang tajam itu.

Tak sempat dia menjerit, robohlah dia dengan berlumuran darah. Barulah kali ini, habis tenaga berputar dari cecer itu, yang terus jatuh didekat kurbannya. Senjata liehay ini tak berputar pula karena dia tak mengenai sasaran keras dan kuat yang dapt membuatnya mental balik...

Tentu saja It Tie melengak. Dia menggunakan huipoat guna membantu murid muridnya tak disangka, dia justru meminta jiwa muridnya itu. Giok Yauw tak berdiam saja setelah ia bebas dari ancaman huipoat, ia lompat menerjang pendeta yang bersenjata tongkat itu, dan bahkan terus menerus ia menikam sampai tiga kali tatkala sipendeta cobameng elakan tubuhnya. Dia mundur hingga berulang kali.

Tepat pada waktu itu, kembali dua orang kepala gundul berlompat masuk Oey Eng maju, untuk menghadang kearah lubang guna mencegah lain lain pendeta berlompat masuk. sambil berbuat begitu, ia berkata perlahan kepada Ban Liang: "Tak dapat kita membiarkan lain orang masuk pula kemari"

Ban Liang meng ia kan-Ia segera menjemput sebatang golok kaytoo, dengan apa ia mendekati lubang, guna menghadang dimuka itu. Ruang menjadi gelap pula. Giok Yauw berhasil memadamkan  api obor.

Tiba tiba satu seruan keras sekali terdengar. Itulah suara yang mengikuti menerjangnya sebatang tongkat, untuk masuk kedalam toatian.

Ban Liang memegat dengan golok pinjamannya, hingga kedua senjata beradu keras sekali. Kesudahannya itu membuat sijago tua tertangkis mental seluruhnya. Tongkat cuma tertotok sedikit. Maka ia terkejut atas tenaga besar sipendeta.

Tengah jago tua ini berpikir, tongkat sudah menikam kepinggangnya. Lekas ia menangkis pula.

Pertempuran mereka berdua menjadi pertempuran yang luar biasa, sebab yang satu di luar, yang lain didalam pendopo. Hingga satu dengan lain, tak dapat saling melihat. Yang terang ialah, karena senjatanya lebih panjang sipendeta adalah pihak penyerang.

Sambil selalu menangkis itu, Ban Liang berkata di dalam hatinya^ "Entah siapa pendeta ini, dia sangat tangguh. Tidak bisa lain, kali ini kita mesti membinasakan atau sedikitinya melukai musuh, biarpun peristiwa bakal jadi hebat dan berekor panjang..." Tanpa bertempur mati hidup, memang sulit pihak Kim Too Bun ini.

"Kau masih tidak henak melepaskan senjatamu? "  tiba2 terdengar bentakan Giok Yauw Menyusul itu terdengar jeritan tertahan diikuti suara tubuh jatuh terbanting keras.

Han In Taysu menjadi kehabisan sabar. Ia insyaf bahwa pihaknya terancam bahaya kalau musuh tidak dihajar keras. Maka segera ia mengayun tangan kanannya yang semua jerijinya dibuka lempang.

Selama didalam kurungan dengan kaki bercacat itu, ketua Ngo Bie Pay ini tak menyia nyiakan waktu, sambil menanti lewatnya sang waktu, ia melatih tangannya itu.

Pendeta yang bertempur dengan Oey Eng mendadak terasa pinggangnya kaku, sehingga tak leluasa ia menggerakkan tubuhnya. Justru itu, pedang Oey Eng menabas pinggangnya, hingga dia roboh seketika, jiwa melayang. Habis menyerang pendeta itu, Han Inpun menyerang yang lain-Kali ini lawannya Kho Kong yang menjadi sasaran.

Dengan tiba tiba murid Siauw Lim Sie itu terkekang gerakannya segera poan koan pit sipemuda she Kho menikam iga kirinya yang membuatnya roboh Dengan begitu, usailah pertempuran dipendopo itu. Ruang dalam menjadi sunyi kembali bahkan gelap. Tinggallah Ban Liang yang melayani musuh disebelah luar itu. Hanya mereka ini cuma bentrokan bentrokan senjatanya saja yang terdengar tak hentinya.

Tapi pertempuran itu tak berhenti seluruhnya. Diam diam dua orang pendeta menyelundup masuk. terus mereka berlindung dibelakang patung. Han in Taysu tahu aksi kedua lawan itu.

Hanya sebentar, terdengarlah suara cecer saling beradu. Setelah itu, redalah pertempuran. Semua pendeta mundur sendirinya. Rupanya, suara cecer itu adalah isyarat untuk mundur teratur sekarang barulah toatian menjadi sunyi benar benar.

Ban Liang heran akan sikap lawan, ia bertanya kepada Han in, Taysu, tak tahu akal apa yang hendak dipergunakan oleh musuh.

Ketua Ngo Bie Pay itu juga tidak mengerti, ia cuma menggelengkan kepala.

Sementara itu dimuka pintu toatian, pertempuran telah berlangsung pula diantara Siauw Pek dan para pendeta. Penyerang berjalan seru karena It Tie yang memimpin sendiri. Tongkat dan golok bagaikan menghujani si anak muda, yang bertahan dengan tenang.

Han in Taysu memperhatikan pertempuran dimuka pintu itu. ia khawatir si anak muda gagal mempertahankan diri. Itulah berbahaya Tapi ia melihat Siauw Pek bertempur dengan baik sekali. ia heran-"Biar bagaimana, perlu aku membantunya," pikir ketua Ngo Bie Pay itu.

Justru itu, tampak golok Ban iang terlepas dari pegangannya. Tiba tiba ada tongkat yang menyerang masuk, ketika sijago tua menangkis, serangan itu hebat sekali, goloknya terlepas.

Giok Yauw siap sedia, melihat kawannya dibokong, ia menimpuk dengan jarumnya. Dengan demikian, musuh tak dapat menerjang masuk, Lekas lekas Ban Liang menjemput goloknya. Han in Taysu menolak keretanya mendekati Nona Thio "Baik baiklah kau menjaga disini." pesannya. "Aku mau pergi ke pintu, untuk membantu si anak muda."

Giok Yauw menangguk. maka majulah gurunya itu.

Oey Eng dan Kho Kong segera bekerja, memindahkan kurban kurban musuh.

"Nona," Ban Liang berpesan kepada Giok Yauw. "Jarummu berharga sekali, jangan kau sembarang gunakan-.."

Si nona merogoh sakunya. ia mendapatkan jarumnya tinggal sedikit. "Baik, loocianpwee," ia menjawab sijago tua.

Selagi mereka bicara itu, tiba-tiba sang gelap gulita tiba. Ban Liang dan kawan2 heran-Kiranya mulut lubang telah tertutup musuh Ban Liang membacok. tangannya kesemutan sendirinya. Goloknya menyerang barang keras berupa besi, hingga terdengar suara bentrokan yang nyaring. Karena itu dua orang pendeta menyusul masuk,

Sekarang tahulah Ban Liang bendaapa yang tadi ia bacok itu. Kiranya itulah sebuah lonceng kuningan yang besar, yang dipegang oleh pendeta yang berlompat masuk terlebih dahulu. Pendeta itu menyerang pula dengan loncengnya itu.

Tak mau Ban Liang berlaku sembrono, ia berkelit.

Oey Eng sebaliknya. ia penasaran-"Lihat pedangku" serunya seraya dia berlompat menusuk.

Pendeta itu bertubuh tinggi dan besar, loncengnya berat mestinya dia lamban, lambat bergeraknya, siapa tahu, dia justru gesit. Ketika tikaman tiba, dia berkelit, dilain pihak. loncengnya dipakai membalas menyerang. Oey Eng terkejut. Pedangnya telah kena dibikin terpental Ban Liang maju pula, untuk menyerang.

Saking lincah, pendeta itu bisa menangkis, bahkan beruntun hingga tiga kali ketika sijago tua menikamnya berulang ulang. Maka tiga kali terdengar suara nyaring berisik, Tiga-tiga kalinya golok tak mendapat hasil. "Entah apa kedudukannya pendeta ini? ..." Ban Liang berpikir. heran dan kaget, tangannya terasa kesemutan. Dia kuat sekali, sulit buat mengusirnya. "Celaka kalau dia merintangi kita hingga kawan kawannya bisa menggunakan kesempatan untuk meluruk masuk..."

Pendeta yang kedua, yang memegang golok kaytoo, sudah maju terus, tapi segera dirintangi Kho Kong, hingga keduanya jadi bertarung.

Melihat lawan Ban Liang liehay, Giok Yauw maju untuk membantu. Sambil menikam, ia berkata kepada jago tua itu "Loocianpwee, serahkan orang ini kepadaku Loocianpwee bersama saudara Kho jaga saja mulut lubang itu"

Ban Liang mengangguk. terus ia melirik ke arah lubang. Justru ia melihat kepala seorang pendeta lagi menongol, untuk mengintai, tidak ayal lagi, sambil berseru, ia menimpuk dengan goloknya. Celaka pendeta itu. Dia bagaikan terbokong. Maka pecahlah kepalanya terhajar golok kay too kaumnya sendiri.

Tepat waktu itu terdengar suara gempuran lain-Ban Liang lekas berpaling. "Kau jaga disini" katanya kepada Oey Eng. "Aku akan melihat kesana."

Belum habis suara sijago tua, dilubang yang baru itu sudah muncul kepala seorang pendeta.

Disaat itu, lupa Ban Liang kepada soal membinasakan musuh atau tidak. ia berlompat sambil menyerang dengan ilmu Silat Ngo Kwie Souw Hun Ciang Pendeta itu belum melihat tegas ketika dia disambut serangan itu, tahu-tahu dia sudah terhajar, hingga berhentilah napasnya, tubuhnya roboh disebelah luar.

Dari luar itu lalu terdengar suara yang bengis: "Sudah belasan murid-murid Siauw Lim Sie yang terbinasa, jikalau kita tidak dapat menyerbu masuk kedalam toa-tian maka rusaklah nama besar  Siauw Lim Pay kita"

Mend engar kata-kata itu Ban Liang berduka walaupun ia sudah tahu permusuhan sudah tertanam hebat. Sementara itu suara bengis tadi tidak mendapat jawaban mengiyakan, ada juga jawaban beberapa serbuan diperhebat. obor telah dilemparkan kedalam pendopo, hingga pendopo besar itu terang kembali.

Ban Liang kewalahan memadamkan obor obor itu, yang dilemparkan masuk berbatang2

Giok Yauw dan Kho Kong tidak dapat membantu. Mereka itu sedang melayani dua orang pendeta. Oey Eng pun sedang merintangi seorang pendeta yang gemuk tubuhnya. Dia inilah sipendeta tukang melemparkan api masuk kedalam pendopo, disusul dengan percobaan masuknya sendiri, tapi dia dipegat Oey Eng hingga dia bertahan dimulut lubang Dia bersenjatakan golok. agaknya dia liehay.

Ban Liang bekerja sebat. Empat buah obor dapat dipijak padam. Ketika ia mau bekerja terus, seorang pendeta melompat masuk dimulut lubang. Tanpa bersangsi lagi, ia lompat, menerjang masuk merintangi pendeta itu. Maka itu iapun bagaikan terikat.

Han in Taysu telah mendekati Siauw Pek, tapi segera ia merasakan kesulitan. Keras niatnya membantu, tetapi terbukti niat itu tidak dapat diwujudkan Sinar pedang sianak muda tak memberinya kesempatan turun tangan-Serombongan pendeta mengurung sianak muda, walaupun mereka sudah merangsek hebat, tak berdaya mereka itu memecahkan kurungan sinar pedang lawannya itu.

Saking kagum, Han In Taysu jadi menonton. Katanya didalam hati: "Ilmu pedang apa ilmu kepandaian anak ini? Kenapa dia dapat mencapai kemahiran semacam itu? " Dilain pihak. didalam toatian, lagi-lagi seorang pendeta menerobos masuk.

Ban Liang melihat itu, ia menjadi bingung. Ia sendiri tidak dapat meninggalkan lawannya. Maka ia berseru: "Nona Thio lekas hajar musuh yang baru itu”

“Ya" menjawab Giok Yauw. Cuma suara sinona yang terdengar, perbuatannya tak tampak. Inilah sebab dia tengah direpotkan pendeta gemuk yang bersenjatakan lonceng itu. Pendeta itu liehay sekali.

Han in Taysu mendengar seruan Seng Su Poan, dia lalu menoleh. Dia terperanjat melihat musuh yang baru itu sedangkan Ban Liang semua lagi repot melayani masing-masing musuhnya. Tidak ayal lagi dia menggerakkan rodanya, buat menghampiri lawan, bahkan tanpa menanti sampai datang cukup dekat, ia sudah menyerang dengan pukulan anginnya.

"Aduh" menjerit sipendeta, yang tanpa berdaya lagi terhajar, hingga setelah jeritannya itu, dia roboh terkulai. Menyaksikan pukulannya sendiri itu Han In Taysu heran dan girang hingga ia menjublak sedetik. Sebenarnya tak tahu tepat ia sampai dimana kemajuan latihan tangannya selama dikurung. la hanya tahu bahwa ia memperoleh kemajuan tapi belum pernah mencobanya, sampai kali ini.

Hampir serentak dengan serangan hebat pendeta tua dari Ngo BieP ay ini, beberapa musuh juga berlompatan masuk. Mereka menyaksikan kebinasaan kawan itu, mereka jadi tercengang.  Mereka heran akan kelihayan musuh yang naik kereta beroda itu
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar