Pedang dan Golok yang Menggetarkan Jilid 23

JILID 23

Suara si nona tetap hambar. Hanya sebentar, ia menambahkan : "Loocianpwee, diantara pria dan wanita ada perbedaannya, oleh karena itu, jikalau sudah tidak ada urusan lainnya, sudah tiba saatnya buat loocianpwee kembali..." Ban Liang terperanjat. Ia tidak sangka si nona mengeluarkan kata-katanya itu. Itu artinya: bahwa ia telah diusir pergi Ia melengak karenanya. Tapi ia segera sadar.

"Nona," katanya kemudian, "tahukah nona apa yang sahabatku tulis didalam surat peninggalannya itu?" orang yang ditanya menggeleng kepala.

"Tidak" sahutnya.

Ban Liang berpikir dengan cepat. Kedua nona ini bercacat, karena itu tak ingin mereka muncul didalam pergaulan umum. Bukankah pantas jikalau aku mendustai, memperdayai mereka? Karena berpiklr demikian, cepat cepat ia berkata: "Nona, bagaimana jikalau didalam surat wasiat sahabatku itu ada ditulis pesan yang memerintahkan nona nona mesti keluar dari gunung ini untuk muncul didalam dunia Kang ouw?" Ditanya begitu, nona itu tercengang.

"Jikalau benar demikian, sudah selayaknya suhu memberitahukan aku sebelumnya dulu beliau menutup mata," katanya sejenak kemudian-

"Pernahkah sahabatku itu memberitahukannya" "Tidak."

Si nona menggoyang kepala.

"Jikalau sahabatku menulis demikian didalam suratnya itu, bagaimana pendapat nona, apakah itu dapat dipandang sebagai perintah guru."

"Jika hal itu benar, memang itu dapat dianggap sebagai suatu perintah. Hanyalah, aku tak percaya, bahwa dalam surat wasiatnya itu, suhu benar menghendaki kami muncul didunia."

Ban Liang berpikir cepat. "Memang surat HoanTiong beng cuma memuai kecerdasan kedua muridnya tetapi tak ada pesan atau perintah untuk kedua murid itu keluar dari tempat perguruannya. Ia telah memikir untuk mendustai tapi segera insaf bahwa dialah seorang tua dan seorang laki laki sejati, tak semestinya ia mendusta. Atau umpama nona nona itu percaya dia, ada kemungkinan kelak dibelakang hari mereka bakal menyesal seumur hidupnya. Maka pada akhirnya ia menghela napas.

"Didalam surat wasiat sahabatku itu tak ada ditulis  perintah untuk nona nona muncul dalam dunia Kang ouw, katanya kemudian, akan tetapi, menurut bunyinya surat, niat itu telah ternyata, hanya entah kenapa, gurumu itu tak mau menyebutkannya, mungkin ia ada memikir lainnya."

"Loocianpwee" tiba tiba si nona bertanya, "dapatkah loocianpwee menunjukkan surat suhu pada kami untuk kami baca sendiri?"

"Boleh, boleh... menjawab Ban Liang cepat. Ia malah segera mengeluarkan surat Tiong beng dan diberikan kepada si nona, sedangkan hatinya berpikir aneh: "Kau tak dapat melihat, bagaimana kau dapat membaca surat ?"

Si nona tunanetra menyambuti surat itu, yang ia terus serahkan pada adiknya. "Kau lihat," katanya, "kau beritahukan aku bunyinya."

si nona itu menyambut surat itu, untuk dibuka dan dibeber ditangan kirinya, sedangkan tangan kanannya diletakkan pada tangan kakaknya, setelah mana jerijinya dikutik kutik, disentil sentil perlahan lahan, bagaikan orang menabu kim (Kim kecapi atau gitar Tiongkok) .

Menyaksikan demikian, Ban Liang mengawasi dengan tercengang. Inilah pemandangan yang asing baginya. Itulah cara aneh, yang istimewa sekali, buat seorang bisu bicara dengan seorang tunanetra

cepat si nona bisu menggerak gerakkan tangannya, lekas sekali habis sudah ia "membacakan" surat gurunya itu kepada kakaknya. Si nona cacat mata menghela napas.

"Perintah suhu tak dapat ditentang, kami tidak dapat tak menerima baik kehendaknya itu," katanya kemudian Heran Ban Liang, hingga ia melengak pula. Sedang dialah orang yang meminta, bahkan dengan mendesak, agar nona nona itu sudi membantu usaha usaha Siauwpek. "Bagaimana nona?" dia bertanya, Jadi nona sudi keluar dari sini?" Tanpa merasa, jago tua itu mengajukan pertanyaannya. Nona itu mengangguk.

"Surat suhu untuk loocianpwee jelas sekali bunyinya, berkata ia, itulah seandainya loocianpwee meminta kami keluar dari sini, maka..."

"Maka bagaimana, nona?" tanya Ban Liang saking tegang hatinya. Nona tunanetra itu tertawa perlahan.

"Maka kami tak dapat menolak," sahutnya Masih jago tua itu heran, ya, heran sekali.

"Nona," katanya, "loohu tidak melihat surat yang bunyinya demikian."

"Suhu menulis dengan kata kata rahasia," menjawab si nona, menjelaskan "Loocianpwee tidak tahu kata kata rahasia itu pasti loocianpwee tidak melihatnya..."

"Begitu?" kata pula si jago tua. Di akhir suratnya akan tampak corat coret yang tdak keruan bentuknya. Apakah itu pertanda yang menyebutnya?"

"Itulah satu urusan lain, loocianpwee. Sekarang tolong loocianpwee simpan surat ini kelak dibelakang hari masih ada keperluannya yang berharga besar." Ban Liang menyambut surat almarhum sahabat kekalnya itu.

"Dahulu semasa hidupnya gurumu, nona, segala perbuatannya membuat aku si tua bingung tak mengerti," katanya, tidak kusangka bahwa juga nona nona berdua sekarang telah mewariskan sifat sahabat karibku ini..." Nona itu menghela napas.

"Itulah soal sulit untuk diterangkan dimuka," katanya "Didalam segala hal, kami berdua mohon segala petunjuk dari loocianpwee..." Ban Liang tertawa. "Loohu bicara dari hal yang benar, nona" katanya. "Sekarang  saja perbuatan nona sudah memperlihatkan sifat gurumu itu."

Kembali si nona menghela napas.

"Sekarang, loocianpwee," katanya, sabar. tolong loocianpwee berempuk dahulu dengan sekalian sahabat loocianpwee itu, supaya kamu dapat memberi waktu tiga hari pada kami berdua saudara. Tiga hari kemudian silakan loocianpwee beserta sahabatmu datang pula kemari, waktu itu kami kakak beradik akan turut loocianpwee pergi"

"Memang nona nona harus menyiapkan sesuatu," berkata si orang tua. "Baiklah, nona, inilah janji kita. Lewat tiga hari, kami akan datang pula"

segera setelah berkata begitu, Ban Liang memutar tubuhnya buat bertindak pergi.

Siauw Pek bertiga telah menantikan lama sekali rasanya, mereka sudah habis sabar, maka itu melihat munculnya si jago tua, ia lalu menyambut, dan segera bertanya, "Bagaimana loocianpwe, telah bereskah pembicaraan dengan kedua nona itu?"

"Bagus" jawab Ban Liang separuh berseru, Diapun tertawa. "Sudah beres cuma mereka minta waktu tiga hari buat mengatur sesuatu urusan pribadi mereka. Nanti lagi, tiga hari, kita datang pula kemari menyambut mereka." Siauw Pek mengangguk.

"Ya, kitapun baik menggunakan waktu tiga hari itu untuk merencanakan tindakan kita selanjutnya," katanya. "Kita harus pikirkan soal soal Kang ouw sekarang ini..."

"Ada satu hal, yang hendak loohu beritahukan kepadamu, saudara saudara..."

"Apakah itu, loocianpwee?"

"Setelah kita berhasil mengundang nona itu untuk memohon bantuannya," Ban Liang menjelaskan, "selanjutnya kita harus turut setiap kata kata mereka agar dengan begitu mereka jadi merdeka dan leluasa untuk memperlihatkan kepandaian mereka"

Mendengar demikian Kho Kong yang tidak mengatakan sesuatu, segera berpikir dalam benak otaknya, "Dua nona yang masih hijau sekali mana mereka sanggup mengurusi soal soal yang mengenai dunia Kang ouw?Jika kita harus menuruti segala perkataannya, tidakkah itu hal yang sangat lucu dan mentertawakan?"

Walaupun ia berpikir demikian, tak berani ia mengutarakannya, karena ia khawatir nantinya bentrok dengan sijago tua.

Siauw pek mengangguk. memberikan janjinya, sedangkan Oey Eng tidak mengatakan sesuatu.

Berempat mereka segera meninggalkan rumah atap itu, untuk memasuki sebuah dusun kecil buat mengisi perut mereka didalam sebuah rumah makan Setelah itu mereka berjalan lebih jauh. Ban Liang berjalan didepan, ia mengajak ketiga kawannya kesebuah rimba, dimana dia berhenti. Lantas ia tertawa, sambil mengawasi ketiga kawannya, ia berkata: "Bagaimana kamu lihat tempat ini?"

Siauw pek heran Kenapa sahabat ini berhenti didalam rimba dan bertanya drmlikian?

"Apa, loocianpwee?" dia balik bertanya.

"Bagaimana kalau kita melewatkan malam disini?" tanya si orang tua.

"Kenapa mesti berdiam disini, loocianpwee?" tanya Kho kong heran "Di dusun itu toh ada pondokan?"

Ban liang tidak menjawab, sebaliknya dia melompat naik keatas pohon-

"Saudara coh mari mari" katanya seraya berpaling dan menunjukkan kesatu arah. "Kau lihat disana"

Si anak muda menurut, ia berlompat naik, bahkan dicabang teratas. "Ada apa loocianpwee?" tanyanya. "Lihat disana, tempat apakah itu?" kata pula sijago tua.

Siauw pek memasang mata. Ia melihat sebuah pengempang ditempat mana ada sebuah rumah atap. Itulah tempat kediaman kedua nona bercacad yang luar biasa itu. "Itu toh tempat kediaman kedua nona tadi?" tanya dia.

"Benar" sahutBan Liang, "Kita berdiam di sini, diam diam kita mengawasi kedua nona itu" ia menghela nafas "siapa tahu bahwa kedatangan kita ini secara sendirinya telah mengundang ancaman bahaya untuk kedua nona itu? Bukankah kita bertanggung jawab untuk melindungi mereka?"

Siauw pek berdiam, tetapi didalam hatinya dia berkata: "Inilah kekuatiran yang berlebihan-.. "Justru baru berpikir demikian tiba tiba ia melihat sesosok tubuh manusia muncul dari balik sebuah pohon besar dan orang itu segera bertindak ke arah rumah atap Sendirinya ia terperanjat.

Tatkala itu matahari lohor bersinar terang benderang, segala apa tampak nyata sekali. Sesosok tubuh itu, sesudah maju sekian jauh mendadak kembali ketempat asalnya dibalik pohon tadi.

"Nah, adik kecil, kau telah melihat, bukan?" kata Ban Liang.

"Ya," sahut kawan yang muda itu, yang kagum sekali terhadap si orang tua.

Ban liang menghela napas. Katanya perlahan. "Ketika tadi kita meninggalkan rumah atap itu, aku merasa ada orang yang menguntit kita, tetapi dia agaknya sangat lihay, dia membuat aku ragu ragu?"

"Heran, loocianpwee, aku tidak tahu sama sekali, Siauw Pek mengaku.

"Inilah adik, disebabkan buak hasil pengalamanku beberapa puluh tahun. Inilah semacam firasat, atau perasaan, yang istimewa..." "Bagaimana loocianpwee orang itu justru memperhatikan kalian nona tadi?"

"Inilah sederhana sekali, anak. orang itu menguntit kita justru kita baru meninggalkan rumah atap itu. Dia bukannya memperhatikan si nona nona sejak tadi tadinya. Tegasnya perhatian dia ketarik sebab kedatangan kita ini. Barusan sengaja aku menuju ke rimba ini, menghindarkan diri dari perhatian orang itu." Siauw Pek mengangguk.

"Dapatkah loocianpwee menerka apakah adanya perhatian orang itu terhadap kedua nona itu? Ya, apakah maksudnya dia?"

"Sukar untuk memastikannya, anak. Kedua nona itu bercacat, toh mereka tetap cantik dan menarik hati sekali. Buat orang baru tak mungkin dia mengetahui bahwa nona nona itu ada kekurangannya masing masing. Siapa tahu kalau orang kemaruk akan paras elok? Atau lagi, siapa tahu seandainya ada orang Kang ouw yang tahu nona nona itu murid murid Hoan Tiong Beng dan dia mengandung sesuatu maksud" Siauw Pek mengerti sekarang.

"Kita hendak melindungi nona nona itu," katanya. "akan tetapi kita berdiam disini, apakah jarak kita tidak terlalu jauh ?"

"Memang jaraknya agak jauh. Tapi, orang itu mungkin tidak bakal turun tangan secara sembrono, atau mungkin lain malam..."

"Apakah loocianpwee memikir buat nanti malam kita pergi kepeng empang sana untuk melindungi kedua nona itu?"

"Tidak salah, benar begitu"

"Bagaimana jikalau orang itu cerdik luar biasa, yaitu dia turun tangan disiang hari?"

"Maka juga kita harus berdiam diatas pohon ini, untuk selalu memasang mata." Siauw Pek anggap usul itu baik.

"Kalau begitu saudara-saudara Oey dan Kho turut memasang mata bersama," katanya. "Benar. Pergi kau ajak mereka naik kemari" Siauw Pek melompat turun.

"Toako, kau melihat apa?" Kho kong segera menegur. si polos ini heran akan sikap si jago tua dan dia menjadi tidak sabaran. Dia pula tidak mengerti kenapa jago tua itu menghargai secara luar biasa pada kedua nona tadi

"Aku melihat sesuatu." "Apakah itu?"

"Melihat ada orang bermaksud jahat terhadap kedua nona itu tadi"

Si polos terperanjat, diapun heran hingga dia menggaruk-garuk kepalanya.

"Toako, aku tidak mengerti" katanya. Siauw Pek tertawa.

"Katakanlah saudaraku "

"Aku tidak percaya bahwa kedua nona itu pintar sekali atau memiliki kepandaian " si sembrono mengutarakan isi hatinya. "Mungkin mereka dapat membantu toako mencuci bersih sakit hati toako sekeluarga serta menghindari bencana untuk dunia Kang ouw

?" Kembali Siauw Pek tertawa.

"Sebelum ada buktinya, saudaraku jangan kita sembarangan mengambil keputusan "

Pemuda inipun menyangsikan kepercayaan kuat dari Ban Liang terhadap kedua nona itu, sebaliknya pengetahuan, atau pengalaman si jago tua, dihargainya sekali.

"Toakoh " kata pula si polos: "Toako telah memperoleh golok emas dari ceng gie loojin kenapa toako tidak mau bertindak langsung yaitu segera memanggil berkumpul rekan rekan kaum rimba persilatan, buat membeberd ihadapan mereka tentang bahaya yang lagi mengancam itu, untuk mereka bekerja sama ? Kenapa kita justru mengundang kedua nona nona yang buta dan gagu itu ?"

"Sabar, saudaraku. Dalam hal ini, kita harus mengandal kepada ban loocianpwee. Dia sangat berpengalaman dan pengalamannya itu mesti kita hargakan-"

Kali ini saudara bicara dengan sungguh sungguh, bahkan nadanya bagaikan menegur sang adik, Kho kong sangat menghormati ketua ini. ia tunduk.

"Baik, toako, aku akan tidak memperkukuh anggapanku ini," katanya.

"Saudara saudara, mari kita lekas naik " tiba tiba terdengar suara Ban liang di atas pohon Suara itu terburu, sebagai pertanda adanya urusan penting.

"Mari" Siauw pek mengajak dan ia mendahului melompat naik.

Kho kong segera menyusul begitupun Oey Eng yang sedari tadi berdiam saja. Ia ini menurut saja pada ketuanya.

"coba perhatikan disana" kata Ban Liang selekasnya tiga sekawan itu sudah berada bersama sama diatas pohon Ia menunjuk kerumahnya si nona nona tadi.

Siauw pek bertiga mengawasi ke arah rumah atap itu. Mereka melihat beberapa orang tadi, yang pada memanggul pacul, tengah bertindak kearah rumah atap itu. Mereka itu datang dari tiga penjuru, maka keadaan mereka mirip suatu pengurungan-

"Suasana buruk agaknya, loocianpwee..." kata Siauw pek. "Segala pak tani, dapatkah mereka dicurigai ?" tanya Kho Kong. "sekarang ini saatnya orang bekerja di sawah," Ban Liang

berkata.

Justru itu tampak orang-orang tani itu mempercepat tindakan kakinya, semua menuju terus kearah rumah atap itu. Tetapi dilain saat, mereka pada menyembunyikan diri. Melihat itu, baru Kho kong turut menjadi bercuriga.

"Benar-benar mencurigakan " katanya. Lalu dia melompat turun, untuk terus lari kearah peng empang.

"Adik, jangan sembrono " Siauw pek berteriak seraya turut melompat turun untuk menyusul. Kho Kong berhenti lari

"Menolong orang bagaikan menolong memadamkan api kebakaran," katanya, "mana boleh kita main ayal ayalan ?"

Ban Liang dan Oey Eng pun melompat turun menyusul dua kawan itu. Si orang tua segera berkata "Agaknya mereka itu mau bekerja disiang hari..."

"Benar Kita tak boleh terlambat, mari kita lekas pergi " mengajak Kho kong. "Tapi, kita pergi secara begini, kita akan mendatangkan kecurigaan-.."

"Apakah tak dapat kita menyamar ?" tanya kho kong. Ban Liang melihat kesekitarnya.

Kebetulan sekali tampak seorang anak gembala kerbau tengah bercokol dipunggung binatang angonannya itu sambil meniup seruling. Melihat demikian si orang tua itu mendapat pikiran Maka berkatalah dia, "Saudara kecil, pergi kau menyamar jadi bocah angon itu "

Siauw Pek menurut. Ia lalu melompat turun untuk menghampiri si bocah angon Ia menyapa bocah itu, ia bicara dengan sabar, hingga tanpa curiga apa apa anak gembala itu suka meminjamkan kerbau dan serulingnya. Maka lekas sekali sianak muda menjalankan kerbaunya kearah peng empang.

Ban Liang lalu menyuruh Oey Eng dan Kho Kong, "kamu berdua, pergi lekas pinjam atau sewa itu kereta ditepijalan, lalu lekas kamu menyusul kami "

Oey Eng dan Kho Kong menurut, mereka lekas berlalu. Memang, tidak jauh dari mereka, ditepijalan, ada sebuah kereta "Kalau tidak ada kudanya, kita pakai kerbau saja..." kata Oey Eng. "Ya, apapun boleh, asal kamu lekas-lekas" kata Ban Liang.

Oey Eng lalu menarik tangan Kho Kong untuk diajak pergi kepada seorang pak tani didekat situ, buat meminjam baju kasarnya serta paculnya juga, sehingga dengan penyamarannya sebagai pak tani, dapat dia lekas menuju kerumah atap.

Siauw pek menuju kepeng empang dengan pikiran tak tenang. Itulah sebab kerbaunya berjalan sangat lambat Karena itu juga dilain saat, ia telah kena disusul dan dilewati Kho kong yang naik sebuah kereta kuda, Kata si polos : "Toako,aku jalan lebih dahulu"

Ketua itu lalu berkata dengan saluran Toan Im cie-sut, "Baiklah, saudaraku Tapi hati-hati, jangan sembrono Kecuali sangat terpaksa, jangan kamu turun tangan Dan kau mesti dengar Ban loocianpwee"

Hanya sebentar kereta kho kong sudah lewat empat lima  tombak. hingga tak dapat diketahui si polos dapat mendengar nasehat itu atau tidak.

Ban loocianpwee segera sampai didekat pengempang. Dengan matanya yang tajam ia bisa melihat disitu, dibawah pohon, antara gombol-gombolan rumput tebal, tengah bersembunyi sepuluh orang lebih. Ia terkejut. Ia menerka inilah bukan orang orang kemaruk paras elok, hanya mungkin mereka itu dipimpin seseorang yang mempunyai maksud tertentu.

Pintu gubuk dan jendela tertutup rapat Mungkin kedua nona didalam rumah itu telah mendapat firasat dan telah bersiap sedia menghadapi ancaman bahaya. Sepasang angsa putih dipengempang juta entah pergi kemana.

Ketika itu, keretanya Oey Eng dan Kho kong telah mendekati rumah. Mereka tidak pandai mengendalikan kereta, merekapun tergopoh gopoh, maka roda-roda kereta melanda tanah berlumpur, hingga lumpurnya bermuncratan-

orang orang yang bersembunyi didekat rumah rupanya telah menduga kereta itu datang dengan maksud tak baik. dua diantaranya muncul, guna menghadang. Hingga kereta berhenti dengan tiba tiba.

"Mau apa kamu menahan kereta kami, tuan tuan?" Oey Eng bertegur. Ia melihat lagi sepuluh tombak, akan tibalah mereka didepan rumah.

Dan kedua penghadang itu satu tua dan yang lain muda. Yang tua usianya diatas lima puluh dan janggut ubatan dan panjang. dan yang muda lebih kurang dua puluh tahun, kecuali dandanannya tak mirip dengan orang-orang tani. Yang tua tertawa dingin dan menegur: "Tuan tuan berdua dari partai mana ? Nyali kamu tidak kecil, ya?"

"Perlu apa kau menanya begini, tuan?"

"Menurut penglihatanku, kamu bukannya orang orang tani" jawabnya. Kho Kong menyingkap tenda kereta. "Bagaimanakah dengan tuan tuan berdua?" orang itu tertawa.

"Memang Memang kami bukannya orang orang tani" dia mengakui. Mendadak ia menyerang Oey Eng dengan paculnya.

si anak muda waspada, ia berkelit sambil melompat. Hampir serentak dengan serangan si orang tua itu, si anak muda juga memacul kho kong.

si polos sudah siap sedia, dengan sebelah pitnya ia menangkis. sambil menangkis itu, ia juga berlompat keluar dari keretanya.

Oey Eng menghunus pedangnya, ia membalas menyerang pada si orang tua. Maka disitu terjadilah pertempuran dalam dua rombongan.

Melihat pertempuran sudah terjadi, Ban Liang tidak bersangsi lagi untuk berturun

tangan Langsung ia menuju kerumah atap. Lewat disisi sebuah pohon besar, mendadak ia disambul serangan sepotong loan-pian, cambuknya lunak yang ujungnya menotok kepadany Dan penyerangnya adalah seorang tua yang mengenakan thung-sha, baju panjang.

Dibokong secara begitu, sijago tua menyampok ujung cambuk lunak itu, tapi segera ia ditotok pula. Lawan itu liehay dengan cambuknya yang istimewa itu. yang mencari sasar jalan darah lawan Dengan begitu, Ban Liang jadi kena dihalangi.

Dan sementara itu muncul pula dua orang lain, yang bersenjatakan pedang, semua lari menuju kerumah.

"Nona-nona, awas" berseru Ban liang yang menjadi khawatir.

Siauw pek melihat pertempuran sudah berlangsung, ia lari menghampiri rumah, akan tetapi, belum lagi ia datang dekat, ia sudah dipegat, dirintangi dua orang lain, yang bertubuh besar. yang usianya berimbang satu dengan lain Dan senjata mereka ini masing masing ialah gaetan dan pedang.

Repot juga sianak muda, sedangkan maksudnya adalah untuk segera memasuki rumah. Terpaksa ia menggunakan pedangnya, untuk mendesak kedua lawan itu.

Dipihak lain, dua orang tadi, yang lari kerumah, satu diantaranya sudah segera sampai, ia segera mendupak pintu, sehingga daun pintunya terbuka dengan suara nyaring.

Siauw pek melirih ke dalam rumah. Ia melihat kedua nona berdiri berendeng ditengah ruang.

Pertempuran berlangsung terus. Agaknya semua lawan tangguh. Ban Liang berempat tidak dapat dengan cepat cepat mengalahkan atau mengundurkan mereka itu, sedangkan mereka sendiri, ingin mereka melindungi nona itu. Dan pada akhirnya si jago tua menjadi gusar sekali, maka ia berseru kepada kawannya : "Saudara coh, jangan main berkasihan lagi. Biar bagaimana, tak dapat mereka dibiarkan mencelakai kedua nona yang tak bersalah dosa itu"

Siauwpek menyambut seruan itu. ia menginsyafi bahaya. Ia lalu mengeluarkan ilmu pedangnya, dengan cepat ia mengurung kedua lawannya itu dengan sinar Pedangnya. Tapi dua orang yang menyerbu pintu, sudah mulai bertindak masuk. Hanya mereka itu yang mencekal pedang, telah memasukkan pedangnya kedalam sarung masing-masing. Agaknya mereka ingin menawan hidup, hidup kedua nona itu.

Bukan main gusarnya Siauwpek. maka habislah sabarnya Dalam murkanya ia menghunus goloknya. sebenarnya, dua lawan yang dihadapinya itu, sudah repot sekali. Kalau mereka ditikam atau dibalas, pasti mereka sudah roboh. Apa mau, ilmu pedang Kie Tong luar biasa, sedang lawan tinggal dibunh saja, ujung pedang dialihkan, terus dipakai mengurung lagi Hanya pada saat ia menghunus goloknya, ia terlambat sedikit. Maka kesempatan ini digunakan lawan itu untuk melompat mundur. Yang satu, yang bersenjata gaetan, mundur seraya berkata perlahan:

"Terima kasih untuk kebaikanmu" sebab ia manyangka bahwa dia telah diberi ampun oleh musuh muda itu.

Habis mundur, lawan itu serta kawannya berdiri diam berendeng. tak ada minat mereka untuk berkelahi lagi atau merintangi si anak muda, yang mau maju kedalam rumah. Dengan begitu Siauw Pek jadi tidak terintangkan-

Kedua nona tetap berdiri berendeng, tangan yang satu dari mereka nempel satu dengan lain, tangan yang lainnya dipakai menyampok dan menotok berulang ulang kedepan, maksudnya untuk merintangi majunya kedua lawan itu yang hendak menangkap mereka. Memang mereka ini ingin menangkap nona nona itu dengan menangkap tangannya.

"Tahan" bentak Siauw Pek, yang serentak dengan itu sudah memandang tajam kesekitarnya.

Dari dua orang laki-laki itu, yang satunya segera menghunus pula pedangnya. Dia menoleh kepada si anak muda, lalu menegur dengan dingin "siapakah kau?"

Siauw Pek menyimpan kembali goloknya, ia menyiapkan pedangnya didepan dada. Biarpun ditegur, ia mengawasi sepasang nona itu. Ia heran atas gerakan tangan nona nona itu. Entah ilmu silat apa yang mereka berdua gunakan untuk mencegah tangan mereka tertangkap lawannya.

Sewaktu anak muda ini "menonton-, salah satu lawan sudah lantas menikam padanya. Rupanya dia habis sabar. Siauw Pek menyampok. memusnahkan tikaman itu Selagi menyampok itu, masih ia mengawasi si nona, sedangkan kepada lawannya itu, ia cuma melirik. Musuh itu penasaran, dia menyerang pula dan dengan hebat.

Kembali Siauw Pek menangkis, bahkan ketika ia diserang beruntun hingga tiga kali, semua serangan itu dapat ia tangkis dengan mudah. Hal ini membuat musuh sangat gusar, lagi sekali dia mendesak. menyerang berulang ulang.

Baru kali ini, si anak muda memutar pedangnya, mengurung senjata lawan itu.

Kedua nona itu bertahan Ketika si bisu melihat perlawanan Siauwpek. ia bersenyum.

Si anak muda melihat orang bersenyum itu, ia heran dan kagum.

Si nona nampak sangat manis dan menggiurkan.

"Sungguh dia cantik manis luar biasa," pikir si anak muda. "Sayang, kenapa dia tak dapat bicara? Kenapa dia cacat mulutnya?"

Disaat si anak muda berpikir demikian, tiba tiba orang yang menyerang nona-nona itu roboh dengan memperdengarkan jeritan dari kesakitan Rupanya saking kesengsam dengan kecantikan si nona-nona serta senyumannya itu, dia sudah berlaku alpa, dia telah menyentuh salah satu nona

Si nona tunanetra mendengar suara jeritan dan robohnya orang itu, dia menghela napas dan berkata sendiri: "Kau sendirilah yang membentur jeriji tanganku, bukannya aku yang sengaja hendak melukaimu..."

SiauwPek leluasa melihat dan mendengar, karena ketika itu pedangnya telah mengekang lawannya, yang terkurung tak berdaya didalam sinar pedangnya.Jangankan melawan, membela diri saja dia itu sudah putus asa.

Menyaksikan kecantikan si nona tunanetra, si anak muda menjadi terlebih kagum lagi. sang kakak melebihi kecantikan sang adik.

"Sungguh sepasang nona yang cantik luar biasa" ia memuji, "sayang... sayang..."

Si nona bisu memandang terus si anak muda, mata jelinya bermain main, sedangkan tangan kanannya tetap mencekal pergelangantangan kiri kakaknya. orang akan menyangka dua saudara itu tengah berpegangan tangan, tak tahunya si adik lagi memberitahukan segala sesuatu kepada kakaknya itu, menyampaikan segala apa yang ia lihat dan dengar.

Diluar rumah, pertempuran berlangsung terus. Diantara riuhnya alat-alat senjata beradu adu terdengar bentakan bentakan kegusaran dari Kho kong si sembrono yang aseran itu. Mendengar suara saudaranya itu, Siauw pek insaf akan kehebatan pertempuran diluar itu. Tanpa menghadapi lawan tangguh, tak akan sang adik memperdengarkan suaranya tak hentinya. Tak ayal lagi, ia mendesak lawannya.

"Tahan" tiba2 berseru lawan itu yang memegang pedang, sambil terus ia melemparkan pedangnya, kemudian dengan tangannya yang lain, ia menyeka peluhnya. "Aku bukanlah tandinganmu, kita jangan berkelahi terus..."

Siauw Pek menghentikan desakannya, sebagai gantinya, ia menotok roboh lawannya itu, setelah mana ia melihat keluar rumah dimana pertarungan tengah berlangsung hebat sekali.

Ban liang melayani tiga orang lawan, dia nampak menang diatas angin Oey Eng bertahan terhadap dua pengepung, Kho Kongpun dikerubuti berdua, agaknya dia repot sekali. Rupanya itulah yang menyebabkannya mementang mulutnya lebar lebar. Ditanah berserakan banyak pacul, yang dilemparkan begitu saja sebab semua penyerang itu pak tani palsu semuanya pada membekal senjata masing masing.

Menyaksikan keadaan itu, lega juta hati si anak muda. Tidak ada kawannya yang terancam bahaya. Tiba-tiba.

"Terima kasih atas bantuanmu ini, saudara"

Itulah suara halus dan merdu, yang berirama, yang datangnya dari bekalangnya sianak muda.

Siauw Pek tahu kata-kata itu ditujukan kepadanya Tapi ia perlu melihat kawan kawannya, tak sempat ia memperhatikan lebih jauh kepada kedua nona itu

"Tak berani aku menerima ucapanmu ini, nona," sahutnya. "Sudah selayaknya aku berbuat apa yang aku bisa untuk membantu kalian-"

Berkata begitu, tanpa menoleh lagi, segera ia bertindak keluar.

Tepat ia mendengar dua orang berteriak kesakitan saling susul.

Ban Liang telah merobohkan dua orang lawannya, yang mukanya masing-masing diberi tanda tiga goresan jeriji tangan.

Maka tahulah si anak muda, jago tua itu sudah menggunakan pukulan Ngo Kwie Souw Hun ciu yang lihay itu. Karena itu juga, lawannya yang tinggal satu lalu memutar tubuhnya lari menyingkir

"Hm Mau kabur?" bentak si jago tua, mengejek, sambil melompat menyambar. "Aduh" jerit orang itu, yang roboh seketika, bahkan napas nyapun segera berhenti

"Sungguh tangan yang lihay" Siauw Pek memuji kawan itu. Ban Liang tersenyum.

"Aku menguji pelajaran yang aku telah yakini belasan tahun" sahutnya. "Rebahlah kamu, hai" mendadak terdengar seruan Kho Kong. Siauw Pek dan Ban Liang segera menoleh. Maka terlihatlah oleh mereka robohnya seorang lawan dari saudaranya yang aseran itu.

Kejadian itu membikin bingung semua musuh lainnya. Mereka telah melihat empat kawan mereka roboh, sedang dua yang didalam pemimpin mereka tak terdengar suaranya, tak nampak munculnya. Karena itu, sisa lawan Kho Kong segera saja lari kabur

Kho Kong gusar, ia melompat mengejar. Baru lima tombak jauhnya, ia sudah berhasil menyandak. Maka satu toyoran, ia membuat musuh itu roboh tengkurap ditanah

Hampir serentak dengan kemenangan Kho Kong itu, Oey Eng berhasil merobohkan kedua lawannya, maka dengan begitu selesailah pertempuran yang lima rombongan itu.

"Adik kecil, bagaimana dengan kedua nona itu?" Ban Liang bertanakepada Siauw Pek perlahan "Apakah mereka kaget ?"

"Jangan kuatir loocianpwee, mereka tidak kurang suatu apa," sahut sianak muda, "Mereka mempunyai kepandaian untuk melindungi diri mereka. Dari dua musuh yang menyerbu kedalam rumah, yang satu roboh ditangan mereka itu yang lain terkena totokanku." Ban Liang menghela napas lega.

"Bagus" pujinya. "Sekarang kita bekerja Yang luka harus dibawa kedalam rumah, yang terbinasa mesti lekas dikubur"

Dari tujuh musuh diluar, lima mati, yang dua terluka. Lalu yang lima dikubur sekedarnya, dan yang dua digotong kedalam rumah.

Kedua nona itu duduk dikursi, melihat datangnya rombongan sianak muda, keduanya bangkit, terus mereka memberi hormat.

"Kalian terkejut, nona-nona" berkata Ban Liang. Maaf, kami datang terlambat."

"Terima kasih loocianpwee," berkata sinona tunanetra. "Tidak apa-apa."

"Ada satu hal yang kurangaku jelas," kata Siauw Pek. "aku mohon sukalah nona memberikan keterangan kepada kami." "Apakah itu, saudara kecil?" Ban Liang bertanya mendahului sinona.

"Apakah sebelum ini orang-orang ini pernah datang kemari?" tanya sianak muda.

"Tidak-" sahut nona sang kakak itu, "seingatku, belum pernah ada orang, berlebih lebih musuh yang datang kemari."

"Jikalau begitu nona, kamilah yang membawakan kepusingan kepada kalian-.." Sinona berdiam. Itulah pertanda benarnya kata kata sianak muda. Siauw Pek berpaling kepada Ban Liang.

"Apakah loocianpwee dapat mengenali mereka ini dari golongan mana?" tanyanya. "Dapatkah loocianpwee melihat tanda-tandanya?" orang yang ditanya menggeleng kepala.

"Loohu tidak tahu, sudah puluhan tahun loohu mengundurkan diri, maka mengenai kaum Kang ouw, loohu telah jadi asing sekali."

"coba tolong beritahukan boanpwee dandanan dan roman mereka itu," sinona tunanetra minta.

Ban Liang menarik napas tertahan-

"Menurut penglihatanku, mereka ini bukan termasuk pemimpin mereka," berkata ia. "Mereka semua menyamar menjadi orang tani..."

Ketika itu terdengar suara Kho Kong, yang berjaga jaga diluar: "Ada orang datang"

Mendengar isyarat itu, Siauw Pek segera menanya orang tawanannya: "Aku ingin menanya satu urusan kepadamu, tuan tuan,"

Dari dua orang itu, yang satu terluka parah, napasnya sudah putus-putus. Yang kedua, yang lukanya lebih ringan, mengawasi sianak muda dia membungkam. Sementara itu Oey Eng menghunus pedangnya. "Aku hendak membantu shatee" serunya, sambil ia terus lari keluar. Melihat lawan berdiam saja, Ban Liang tertawa dingin. "Ditanya secara sabar, mana dia mau bicara" katanya, Maka ia maju untuk menyambar lengan orang itu, dan terus bertanya^ "Eh, bagaimanakah lukamu?" orang itu berani, dia terus membungkam, Tak mau dia memandang sijago tua.

"Bagus, sahabat" tertawa si jago tua tawanya dingin. "Hendak aku coba kau, untuk kau merasai Hun-kit co kut-hoat "

"Hun kit co kut-hoat" ialah ilmu memencet "Memisah otot menyalahi tulang". Justru itu dari luar terdengar bentakan Kho Kong, "berhenti"

Ban liang melepaskan Cekalannya, ia berpaling kepada Siauw Pek seraya berkata: "Saudara kecil tolong kau berdiam disini melindungi kedua nona, aku hendak melihat siapa itu yang datang."

Tanpa menanti jawaban lagi, jago tua ini segera bertindak keluar.

Siauw Pek mengawasi orang berlalu, lalu ia melihat kepada  kedua nona. ia mendapatkan kedua nona duduk berendeng, masing masing sebelah tangannya saling berpegangan. Sikap mereka sangat tenang, agaknya mereka tak guncang pikiran walaupun ada musuh yang datang mengancam. Kembali ia jadi sangat kagum. Diam-diam iapun merasa heran sekali. Kecantikan sinona nona memancarkan sinar keagungan

sinona bisu rupanya melihat sianak muda memperhatikan mereka, diam diam tangannya menekan tangan kanannya, mementil mentil.

sekonyong konyong nona yang tak dapat melihat itu tertawa perlahan.

Siauw Pek mendengar dan melihat, tiba tiba hatinya guncang sendiri, maka ia lekas lekas ia menoleh, tak berani ia mengawasi lebih lama. ia memandang keluar, hingga ia dapat melihat siapa itu yang datang.

Seorang muda dengan pakaian perlente tampak didepan rumah. Dia menanggung yang bagus. Tempat dia berada itu adalah dibawah pohon besar, terpisah dari rumah kira-kira dua tombak. Dengan sepasang mata yang tajam, dia memandang Oey Eng dan Kho Kong berdua:

Untuk sejenak. Siauw Pek merasa ia kenal anak muda itu akan tetapi ia tak ingat benar dimana mereka pernah bertemu muka.

Ban Liang berdiri menyender didinding rumah, ia berdiam saja, agaknya dia lagi memikir sesuatu yang membuatnya sulit.

"Apakah tuan tuan berdua pasti hendak merintangi aku?" demikian terdengar suara siperlente itu Suara itu tidak keras akan tetapi dingin, nadanya mengandung kesombongan. Sejak Kho Kong dan Oey Eng melengak. akan tetapi siaseran segera menjawab tegas. "Jikalau kami tidak benar bear, apakah kami bersenda gurau dengan kau?" Berkata begitu sipolos juga mengangkat sepasang senjatanya.

Anak muda itu tertawa hambar. Dia berkata pula: "Setiap orang selama hidupnya, dia mati cuma satu kali Karena itu, tuan tuan berdua apakah benar benar kamu sangat memandang ringan kepada mati atau hidup kamu?"

Tepat itu waktu Siauw Pek baru ingat bahwa ia pernah ketemu pemuda itu diJie sie wan-

"Sungguh mulut besar" terdengar suara Kho Kong. "Sebelum kita bertanding, sungguh sukar buat memastikan kematian ada bagian siapa"

Agaknya pemuda itu tahu bahwa orang sudah menjadi marah, ia berkata pula dengan sama hambarnya^ "Kau Kaulah yang pertama bakal mati" Berkata begitu, sinar matanya menyapun kearah Oey Eng, kearah Ban Liang dan juga Siauw Pek. Sinar mata itu bagaikan kilat berkeredep. Dia menambahkan: " juga dia juga itu anak muda diambang pintu serta orang tua kurus didinding" Bukan main gusarnya Kho Kong,

Belum pernah aku bertemu orang sesombong kau" bentaknya. Terus dia menentang kedua belah tangannya, seraya menambahkan: "Kita baik jangan adu mulut lagi Lekas kau turun dari kudamu beranikah kau?"

Anak muda itu berdongak, dia tertawa terbahak Tawa itu nyaring seakan emas dan batu saling bentrokan, iramanya berpengaruh.

Tiba tiba saja Ban Liang yang lagi berpikir keras itu berseru^ "benarlah dianya" Dan segera dia melompat maju untuk lari kedepan. Ketika itu tiba tiba juga sianak muda melarikan kudanya maju

Menyusul itu, mendadak Kho Kong yang memegang sepasang senjatanya roboh sendirinya

Oey Eng yang mendampingi adiknya itu heran dan kaget, hingga ia berdiam menjublak, dua matanya terpentang lebar. ia heran sebab ia tidak melihat bagaimana caranya saudara itu dirobohkan orang

Siorang muda bergerak secara aneh, habis ia merobohkan Kho kong, terus dia menyerang kepada sianak muda she Oey itu.

Oey Eng kaget, tetapi la gelap. ia insaf akan bahaya, dengan gesit ia berkelit. Maka ia selamat

Berbareng dengan itu, Ban liang melompat maju

"Liap Hun ciang" seru Seng supoan, sedang dengan tangan kanannya, dia menyerang dengan menggunakan ilmu Ngo Kwie Souw hun ciang.

Ilmu silat yang dipakai sianak muda, yang disebut "Liap Hun ciang", adalah ilmu "Tangan membetot nyawa"

Anak muda itu melihat dan mendengar, ia menerka siorang tua liehay. maka sambil menarik les kudanya, dia berseru, membuat kudanya berlompat menyingkir jauh satu tombak lebih.

Siauw Pek terkejut melihat saudaranya roboh, maka ia melompat maju, sambil berseru: "Turunlah kau" ia menyerang dengan pedangnya, untuk menyerang dari jarak jauh. Maka meluncurlah pedangnya itu, bagaikan halilintar. Sianak muda pernah dipesan gurunya, kecuali terpaksa, tak dapat ia menggunakan tipu pedang itu. Itulah bukan salah satu jurus dari Tay pie kiam hoat, Ilmu Pedang Mahakasih, hanya satu ilmu lain yang diciptakan Kie Tong selama dia menyendiri didalam lembahnya. Itulah semacam senjata rahasia.

Sianak muda kaget ketika ia melihat melesatnya pedang itu, tak sempat ia lompat menyingkir, maka ia merosot turun, berputar ke perut kuda, sesudah mana baru dia menyingkir lebih jauh. Maka kasihanlah kuda yang bagus itu, dengan turunnya pedang, tubuhnya berikut pelananya tertebas kutung menjadi dua. Begitu dia selamat, anak muda terus kabur.

Siauw Pek tidak sempat mengambil pedangnya, dia lari menghampiri Kho Kong^ "Bagaimana, adik?" dia bertanya.

"Tubuhnya mulai dingin," berkata Oey Eng, yang telah mendahului menghampiri saudara muda itu. Ia berduka dan khawatir sekali.

Siauw Pek meraba tangan kiri saudaranya itu benar ia merasa jeriji tangannya dingin seperti es. Ia mengerutkan alisnya.

sementara itu Ban Liang, yang kagum atas kepandaian si anak muda, heran melihat anak muda itu diam tertegun darn romannya berluka. Ia mengerti tentulah Kho kong parah. Maka iapun lari menghampiri. "Apakah lukanya parah?" tanyanya.

"Mungkin dia terkena pukulan yang beracun," kata Siauw Pek, menghela napas.

"Jangan putus asa, saudara kecil," berkata sijagotua. "Kakak Hoan pandai ilmu pengobatan, kedua nona muridnya sudah menerima warisan kepandaian itu, mungkin nona nona itu sanggup menolong saudara Kho. Mari kita bawa saudara Kho kepada mereka..."

Siauw Pek masih bingung. Iapun heran, katanya didalam hati. Kedua nona itu, yang satu buta, yang satu gagu, benarkah mereka sanggup mengobati luka saudara Kho ini? Biar bagaimana itu perlu lekas ditolong, maka bertiga mereka memperpanjang saudara muda itu, dibawa kedalam rumah.

Kedua nona duduk tenang berendeng, kedua tangan mereka masih berpegangan satu dengan lain, tetapi ketika si bisu melihat dibawa masuknya Kho kong, ia terperanjat. Tidak ayal lagi tangannya yang memegangi tangan kakaknya, dipentil pentilkan Segera nona yang satunyapun tampak tegang.

"Apakah dia yang luka, tanyanya. "Betul, Siauw Pek menjawab.

Dan Ban Liang terus menambahkan. "Kakak Hoan pandai ilmu ketabiban, apakah nona nona mewarisi kepandaiannya itu?"

Si nona mengangguk sambil menjawab, "Meski suhu pernah mengajarkan kami akan tetapi kami belum pernah mencoba menolong orang, karena itu tak tahu kami, kami sanggup mengobati atau tidak..."

"Ai, Kakak Hoan telah mewariskannya, pasti tak akan gagal," kata Ban Liang, yang kepercayaannya terhadap Tiong beng teguh sekali. Si nona bangkit perlahan.

"coba bawa dia kemari," katanya. "Mari aku lihat lukanya."

Siauw pek memondong tubuh Kho kong, didekatkan kepada nona itu.

"Ini dianya," katanya, "Tolonglah"

Nona itu meraba bahu kiri Kho kong, terus hingga kena di, yang dipegang dengan dua jeriji tangannya.

"Lukanya parah," katanya selang sesaat.

"Dia kena terhajar angin angin, dia roboh seketika dan pingsan," Siauw Pek memberitahukan. "Sejak tadi dia belum sadarkan diri... Tahukah nona dia terlukakan racun apa ?" Ban Liang tanya. Nona itu menghela napas. "Belum pernah aku memeriksa orang sakit," berkata ia terus terang. "Semenjak aku mulai kenal urusan dunia, kecuali suhu dan adikku ini, belum pernah aku berurusan dengan siapapun."

Alis Ban Liang berkernyit.

"Dengan begini, jadi artinya nona tidak kenal luka ini luka apa?" tanyanya.

"Melihat sudah tetapi aku belum berani memastikannya," sahut si nona.

"Tak apa nona, asal nona sudi memberikan keterangan," kata Siauwpek. "Nanti kita rundingkan bersama..."

Nona itu berdiam, ketenangannya pulih. Ia berpikir beberapa lama, baru ia berkata: "Luka ini mestinya disebabkan pukulan angin dari suatu ilmu silat Gwa kang yang istimewa..."

"Gwa kang" ialah ilmu silat "Bagian Luar". Ilmu silat imbangannya yaitu "Lay kang" (atau Lweekang), "Bagian Dalam". Lay kang mementingkan tenaga dalam, dan Gqa kang tenaga luar, yaitu kekuatan tenaga. Gwa kang disebut juga Nge kang, ilmu "Keras", dan Lay kang yaitu Nui kang, ilmu "Lunak".

Si nona mengerutkan alis ketika ia berkata pula: "orang itu mempunyai latihan yang sempurna sekali, dengan sekali saja, dia melukai orang dibagian dalam, hingga jalan nadinya kena terintangi, sedang jantung dan lain anggota didalam itu hilang tenaganya..."

"Itulah rupanya yang menyebabkan saudaraku ini pingsan seketika," kata Siauw Pek.

"Sekarang aku akan mencoba menolongnya," berkata si nona. "Hanya, seperti aku telah katakan aku tak punya pegangan.Jikalau pertolonganku gagal, aku minta tuan tuan memaafkan aku, sebenarnya aku telah mencoba apa yang aku bisa..."

"Silahkan, nona," berkata pula Siauw Pek. "Mati atau hidupnya seseorang bergantung kepada nasibnya, kalau saudaraku ini tidak dapat tertolong, apa boleh buat..." "coba letakkan dia ditanah," berkata si nona. "Akan aku tusuk dia dengan jarum, untuk mencoba menyadarkannya."

Siauw pek merebahkan saudaranya. Ia berkata perlahanpada si nona: "Nona, cobalah tolong, apabila nona tidak berhasil, jangan khawatir, nona tidak bertanggung jawab."

Tiba tiba wajah si nona ditabur dengan senyumannya. Dengan perlahan dia berjongkok. Tanpa ayal lagi, sepuluh jerijinya yang lancip. yang putih halus, mulai bergerak gerak ditubuh Kho kong. Nampak sepuluh jari itu bagaikan bergemeter. Terang si nona sedang mencari sasarannya. Kemudian jari manisnya yang kiri berhenti dijalan darah "hok kiat" dari Kho kong dibiarkan disitu, dilain pihak, tangannya merogoh sakunya, mengeluarkan sepotong jarum. berbuat begitu, mulutnya berkemak kemik.

Ban Liang dan Siauw Pek mempunyai telinga yang lihay akan tetapi mereka masih tidak dengar kata-kata si nona Hanya kemudian si anak muda berkata perlahan sekali: "Jangan ragu ragu, nona, gunakanlah jarummu" Nona tunanetra itu tertawa perlahan-

"Aku tidak ragu ragu," katanya. akan tetapi walaupun demikian, kedua tangannya bergemeter keras .Jarum yang sudah diarahkan kejalan darah hokkiat, tidak segera ditusukkan-..

Siauw Pek hendak menganjurkan pula tetapi Ban Liang mencegahnya.

Untuk sedetik lagi, nona itu masih bersangsi, tapi dilain saat, sambil menggerakkan giginya dengan keras, jarumnya lalu ditusukkan

Berbareng dengan itu, peluh si nona keluar bercucuran, dari dahinya sampai kepipinya, suatu tanda bahwa hatinya sangat tegang. Tubuh Kho kong, yang sekian lama itu berdiam saja, terlihat berkutik.

"Ah, dia mulai sadar" kata Siauw Pek, girang. "Benarkah?" tanya si nona sambil menyusuli peluhnya. Belum berhenti suara si nona, tiba-tiba Kho kong sudah memperdengarkan suaranya.

Wajak si nona menjadi terang, segera dengan tangan kanannya dia meraba pelipis kiri si anak muda sambil berkata: "jangan bergerak"

Suara itu halus dan merdu, menyayang bagaikan seorang ibu yang mencinta. Mendengar itu, Kho Kong berdiam. Tadinya anak muda ini mau bergerak pula.

Ban Liang berbisik ditelinga Siauwpek: "Nampaknya benar nona ini sudah mewariskan seluruh kepandaiannya sahabat karibku..."

Si nona merogoh pula kesakunya, mengeluarkan sepotong jarum lainnya. Ia menggunakan tangan kirinya.

"Rebahlah dengan tenang," katanya, sabar. "Tutup matamu, jangan melihat..."

Kho kong menurut, baru ia melek tapi lalu memejamkannya pula.

Si nona memindahkan jarum ketangan kanannya, dengan tangan kirinya, dia menekan jalan darahnya thian-tie, kali ini hanya dengan berdiam sejenak. dia segera memberikan injeksinya.

Kho kong bergerak sedikit, lalu dia menghela napas lega. Si nona membuka bibirnya yang merah dadu.

"coba jalankan napasmu," katanya sabar. "coba lihat, ada atau tidak yang tidak lurus."

Kho kong menurut, lalu ia bernapas. dari perlahan sampai dipercepat. Tiba tiba semangatnya terbangun-"Semua lurus" serunya girang. Si nona menghela napas lega. Dia bangkit.

"Syukur aku tidak menyia nyiakan pengharapan kamu..." katanya.

"Terima kasih, nona" mengucap Siauw pek sembari memberi hormat. Si nona tunanetra tidak melihat perbuatan si anak muda akan tetapi si nona bisu telah memberikan tanda kepadanya, maka juga lekas sekali dia sudah membalas hormat sambil berkata: "Sekarang ini biarlah dia beristirahat sebentar, baru jarumnya dapat dicabut.Jikalau aku tidak keliru, sebentar dia harus diberi makan dua bungkus obat, setelah beristirahat dua tiga hari, kesehatannya akan pulih seperti sediakala."

Oey Eng kagum sekali, katanya didalam hatinya: "Dia buta, dia toh bisa mempelajari ilmu pengobatan penusukan jarum... Dia juga lemah lembut, dia seperti terpelajar tinggi, sungguh luar biasa..."

Tanpa merasa anak muda ini mengawasi nona itu. hingga ia melihat tegas sepasang mata yang ditawungi alis lentik, hidung bangir mulut mungil merah dadu, sepasang mata si nona pun bagus duduknya, kecuali tampak putihnya saja...

"Kapan jarum ini dapat dicabut?" Siauwpek tanya. "Paling lama setengah jam lagi," sahut si nona.

Tiba tiba saja Ban Liang bertanya^ "Nona nona, kami belum ketahui nama kalian-.."

Si nona tidak dapat melihat, tetapi telinganya celi, dengan mendengar suara saja, segera ia mengenali suaranya sijago tua.

"Loocianpwee menjadi sahabat kekal suhu. Tidak berani kami yang rendah mendustai loocianpwee." sahutnya, "kami dua saudara adalah orang orang yang bernasib malang, semenjak kecil kami dirawat suhu, sampai sekarang kami belum tahushe dan nama kami, Loocianpwee aku bicara dari hal yang benar," Ia diam sejenak. untuk menarik napas perlahan, baru ia menambahkan: "Sejak kami turut suhu, dengan kebaikan hati suhu, kami telah turut she suhu."

"Dengan begitu kamu jadi she Hoan, nona" Sinona mengangguk. "Benar loocianpwee," sahutnya. "Suhu yang telah memberi nama

kepada kami. Aku ialah Soat Kun, dan adikku ini soat Gie,.." Ban Liang melengak, kata dia seorang diri: "Rasanya aku pernah dengar nama ini. Soat Kun-. Soat Gie,.. oh, ya, ada seorang sahabatku, dia mempunyai seorang anak perempuan yang namanya Soat Kun-.."

"She dan nama kebetulan sama adalah umum saja," berkata nona tunanetra itu, "hanya yang beda yaitu lain orang cukup segalanya dan kami dua saudara tidak beruntung..."

Mendadak sinona bisu menepuk tubuh kakaknya dengan tangan kanannya hingga dua kali. Itulah kembali isyarat mereka berdua, yang lain orang tak ketahui artinya.

Karena muka sinona tunanetra tampak merah karena jengah, terus terdengar suaranya yang perlahan. "Adikku memberitahukan bahwa kita selanjutnya akan tinggal bersama buat waktu yang lama, oleh karena itu sudah sepantasnya jikalau kami belajar kenal dengan loocianpwee sekalian, apakah she dan nama besar loocianpwee ?"

"Benar, itulah benar," berkata Ban Liang cepat, "Aku siorang tua bernama Ban Liang." Sinona tertawa.

"Nama locianpwee telah lama kami dengar," katanya. "suhu sering menyebutnya."

"Aku yang rendah Oey Eng," Oey Eng memperkenalkan dirinya. "oh, Kakak Oey," berkata sinona.

Kho Kong yang tengah beristirahat turut memperkenalkan dirinya: "Aku bernama Kho Kong akan tetapi nona nona boleh panggil saja aku Kho Loo Sam ?"

Berkata begitu, mendadak sipolos ini memutuskan kata katanya. Ia jengah sendirinya. Ia kuatir nanti disangka mengejek salah satu dari kedua nona itu, yang bisu. Ia lantas tunduk, tidak berani mengawasi kedua nona ini. "Masih ada satu saudara lagi?" bertanya Hoan Soat Kun, karena ia tidak mendengar orang atau tamunya yang keempat memberitahukan namanya.

"Aku yang muda coh siauw Pek." sianak muda menjawab, sedangkan, sejenak tadi dia beragu-ragu harus memperkenalkan diri dengan sebenarnya atau tidak. Adalah diluar dugaannya, si nona justru menanyakannya.

"coh Siauw Pek... coh Siauw Pek..." si nona berulang-ulang menyebut nama orang itu. "Ada seorang nona she coh, Nona Bun Koan, apakah saudara kenal dia ?" Siauw Pek tercengang. Nama itu mengejutkannya.

"Dialah kakakku" sahutnya, suaranya menggetar, "bagaimana nona kenal dia?"

"Nona itu pernah bersama kami dua saudara tinggal satu kamar buat beberapa hari lamanya," menjawab Soat Kun. "Nona itu baik sekali, dia tidak menghina kami berdua ya bercacad ini, suka dia memberitahukan kami tentang keluarganya. Ah, sungguh suatu pengalaman hidup yang sangat memanaskan hati dan menyedihkan sekali. Ia sekarang.."

Hati Siauw Pek sangat tegang, hingga sulit dia menguasainya. "Dimana adanya kakakku itu sekarang?" tanyanya mendesak. Tak heran adik ini sangat memikirkan kakaknya itu, kakak satu-satunya. Soat Kun menghela napas.

"Ketika nona coh itu datang kemari, dia membawa sepucuk surat perantara." katanya. "Dia datang untuk minta suhu menerimanya sebagai murid..."

"Dan guru nona tak suka menerimanya, bukan?" tanya Siauw Pek.

"suhu mempunyai kesulitannya sendiri, menyesal ia tak dapat menerima nona itu sebagai muridnya."

"Setelah ditolak. kemana perginya kakakku itu?" tanya pula siauw Pek. "Nona coh berdiam tujuh hari disini, setelah dia pergi, selanjutnya tak tahu kami berdua dia pergi kemana."

Dengan matanya berCaCad, nona Hoan tidak dapat melihat perubahan air mukanya Siauw Pek, yang sangat menyesal dan berkuatir. Ia menghela napas, lalu ia menambahkan: "Nona coh halus budi pekertinya. Baru berapa hari kita berkenalan, sinona pergi, pernah aku tanya suhu, kenapa suhu menolak permintaannya. Nona itu datang dengan penuh pengharapan tetapi berlalu dengan menyesal dan berduka."

Sebelum orang sempat berbicara terus, Siauw Pek memotong suaranya tawar : "Tentu itu disebabkan keluarga coh sangat banyak musuhnya dan guru nona tidak berani menerima dia sebab itu bisa menyebabkan datangnya bahaya."

soat Kun tidak bisa melihat akan tetapi dari lagu suara Siauw Pek ia dapat menerka hati anak muda itu, maka lekas-lekas ia berkata: "Kakak coh keliru menilai suhu. Suhu bukannya manusia yang takut mati tetapi serakah hidup,"

Siauw Pek mencoba menguasai hatinya.

"Sudikah nona memberi keterangan kepadaku kenapa guru nona menolak kakakku itu."

"Walaupun kau tidak menanya, aku akan beri tahu, saudara." berkata si nona. Dia mencari kata-kata yang tepat, baru dia melanjutkan : "Menurut suhu, suhu menolak sinona disebabkan dua hal, Pertama yaitu suhu tidak sanggup melindungi keselamatan Nona coh, dan kedua suhu merasa kesehatannya terganggu hingga suhu kuatir hidup tak akan lama lagi. Dengan batas waktu yang pendek. tidak dapat suhu menurunkan semua  pelajarannya. Didalam ilmu silat, kepandaian suhu sangat terbatas, dia tak ada derajatnya buat menjadi seorang guru."

Siauw Pek menghela napas lega. "oh, kiranya begitu..." katanya lesu. "Suhu juga menjelaskan lebih jauh," Nona Hoan menambahkan: "Katanya, jikalau dia menerima Nona coh, itu bukan saja bakal mencelakakan sinona, tetapi berbareng melenyapkan kesempatan kelak dibelakang hari nona itu melakukan pembalasan sakit hatinya..."

"Bagaimana artinya ini, nona?" tanya Siauw Pek heran-

"Suhu bilang aku, kalau suhu menerima Nona coh, tak sanggup suhu mewariskan kepandaiannya, kesulitan yang lain ialah sikapnya delapan belas partai besar nanti. Ada kemungkinan partai-partai itu tidak mau melepaskan suhu seorang saja, suhu kuatir mereka juga nanti mencelakai kami dua saudara. celakalah kalau kamipun dibinasakan, sebab itu berarti batu biasa dan kemala habis terbakar bersama. Jikalau sampai suhu dan kami terbinasa, lalu kepandaian tidak dapat diwariskan kepada siapa juga..." Siauw Pek setuju dengan cara pemikiran itu.

"Benar, katanya.

"Begitulah suhu terpaksa menolak Nona coh Soat Kun" mengakhiri keterangannya. Siauw Pek menghela napas. Dia menyesal dan berduka sekali.

"Nona, katanya kemudian, apakah kakakku itu pernah menuturkan kepada nona nona tentang nasib keluarga Coh? Atau, pernahkah guru nona menanyakannya?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar