Pedang dan Golok yang Menggetarkan Jilid 28

JILID 28

"Jangan kecil hati, nona, Loohu, tidak mendendam apa apa," kata si orang tua.

"Mudah-mudahan," berkata si nona, yang terus memutar tubuh dan dengan tangan kiri memegang bahu adiknya, dia berjalan pergi perlahan lahan. Siauw Pek mengawasi kakak beradik itu.

"Nona Hoan telah berubah..." katanya.

"Dia lemah lembut dan manis budi, wajahnya selalu gembira, tetapi sejak toako menjadi bengcu, tak pernah tampak lagi tawanya," berkata Oey Eng. "Setiap waktu aku melihat dia bersungguh sungguh dan keren, bagaikan dia tengah memimpin satu angkatan perang..."

"Seorang kuncu, apabila dia tidak menghargai dirinya, dia tak berwibawa," berkata Ban Liang perlahan. "Si nona selanjutnya bakal membantu bengcu memimpin Rimba Persilatan, tanggung jawabnya berat, tidak heran kalau dia membawa sikap yang memegang derajat itu."

"oh, begitu," kata Kho kong bagaikan baru mengerti. "Dia cantik dan cerdas sekali, akan tetapi karena dia bercacat,  tak luput dia dari rasa rendah diri. Dahulu itu tidak ada soal, tidak apa apa, tapi setelah dia mengangkat saudara coh sebagai bengcu, dengan sendirinya dia menjadi kunsu, ahli pemikir tentara, dari bengcu. Aku lihat, berhasil atau tidak Kim Too bengcu menguasai Rimba Persilatan, semua itu akan bergantung kepada si nona itu..."

"Menurut kau, tidaklah ada keadilan, loocianpwee," kata Oey Eng "Kim Too bengcu boleh berhasil memimpin Rimba Persilatan tetapi kita turut masuk hitungan berjasa karena kita membantunya"

"Kau benar, saudara," berkata sijago tua, "tetapi kau tidak berpandangan sebagai si nona. Untuk dia, orang yang paling  berjasa membantunya adalah adiknya yang bisu itu."

"Memang tugas si nona berat," kata Kho kong turut bicara pula, "Yang terang ialah bantuan kita terlalu sedikit..." Ban Liang kemudian bicara dari hal lain.

"Ilmu silat kamu, saudara-saudara, sudah termasuk kelas satu," demikian katanya. "Hanyalah, musuh-musuh kita itu terlalu tangguh" ^

"Maka itu, berat tanggung jawab kita," berkata Oey Eng. "Hal itu membuat hatiku kurang tenang. Aku pikir, selanjutnya baiklah kita bersungguh-sungguh melatih diri, supaya ilmu silat kita bertambah maju." Mendengar itu, Ban Liang tertawa.

"Jikalau kamu berminat," katanya, "Jikalau kamu setuju, bersedia aku menurunkan apa yang aku bisa"

Oey Eng mau bicara pula ketika ia melihat Soat kun keluar dari dalam rumah. Dengan segera nona itu berkata: "Tuan-tuan berdua, suhu meninggalkan beberapa macam ilmu silat yang mudah dipelajari, Jikalau kamu sudi, suka aku mewakili suhu memberi pelajaran kepadamu."

"Selama kita menghadapi musuh, aku merasa ilmu silatku masih sangat rendah," berkata Kho kong, yang mengaku dengan jujur, "dengan kepandaian sebagai itu, sulit tanggung jawab kami, kalau nona sudi memberi Pelajaran, sungguh kami bersyukur tak habisnya "

"Jikalau kamu sudi, nah, marilah kita segera mulai" berkata sinona. Kho kong menoleh pada Oey Eng. "Bagaimana pikiranmu, kakak?" dia tanya. Oey Eng mengangguk.

"Mari lebih dahulu kita menghaturkan terima kasih kepada nona Hoan," katanya. Dan dia mendahului memberi hormat dengan membungkuk. Kho kong meneladani kakak itu.

"Jangan mengucapkan terima kasih," Soat Kun menolak, "Aku cuma mau mengajari hafalnya saja, kemudian tuan-tuan berdua hasil atau tidak, itu akan bergantung kepada kesadaran dan kerajinan kamu sendiri "

"Itu benar" kata Oey Eng.

"Apakah loohu dan bengcu dapat turut masuk ?" Ban Liang bertanya.

"Jikalau loocianpwee dan bengcu mempunyai kegembiraan, senang kami menyambutnya " berkata nona manis.

Nona itu segera bertindak masuk. Oey Eng dan Kho Kong segera menyusul, mereka ini benar benar sangat menghormat kepada nona tuna netra itu.

Ban Liang dan Siauw Pek turut masuk, selagi berjalan bersama, sijago tua membisiki si anak muda: "Seperti pernah aku terangkan, apa yang aku tahu mengenai kakak Hoan, ialah ilmu surat ia pandai luar biasa, otaknya cerdas, tapi dalam ilmu silat ia tidak berhasiL. Meski begitu sering ia membicarakan tentang ilmu silat pelbagai partai, perihal kekurangannya. Ternyata ia bicara dari hal yang benar, karena itu loohu percaya, warisannya ini bukan sembarang ilmu silat."

"Ia dapat membicarakan ilmu silat pelbagai partai, itu saja sudah menandakan pengetahuannya luas" berkata Siauw Pek, "cuma heran kenapa tak dapat memahirkan ilmu silatnya." "Menurut kakak Hoan, itulah karena bakatnya. Belakangan kakak Hoan tak pernah bicara lagi tentang ilmu silat denganku, mungkin disebabkan dia menyangka aku tidak percaya segala keterangan itu. Barulah kemudian, setelah aku mengundurkan diri, sesudah mendapat kesempatan berpikir, aku mendapat kenyataan bahwa apa yang kakak Hoan bilang benar semuanya. Tentu sekali sudah terlambat bagiku, karena tak dapat aku bertemu pula dengannya."

Siauw pek manggut manggut.

"Sayang aku terlahir terlambat beberapa puluh tahun," berkata sianak muda. "hingga aku tak sempat menemui Hoan Loocianpwee itu.."

"Kedua nona telah mewarisi kepandaian kakak Hoan, sekarang kita berkesempatan melihat bagaimana dia memberikan pelajaran kepada dua saudara Oey dan Kho. Mungkin kita akan mendapat sesuatu."

Didalam, Oey Eng dan Kho kong sudah bersemadhi, mulut mereka kemak kemik, entah apa yang diucapkan. Teranglah bahwa si nona sudah memberikan pelajaran hafalan teori ilmu silat yang diajarinya itu.

Soat kun berdua berdiri dipinggiran, tangan sinona tetap berada dibahu adiknya. Mereka berdiam sikapnya sangat bersungguh sungguh.

Ban Liang dan ketuanya bertindak perlahan terus berdiri disisi lain, untuk mengawasi sambil memasang telinga.

Lewat kira-kira seperminuman teh, mendadak terdengar pertanyaan nona Hoan^ "Tuan-tuan kamu sudah hafal atau belum

?"

"Sudah" jawab Oey Eng dan Kho kong. "Bagus!! Silahkan berdiri " Kedua anak muda itu bergerak bangun, lalu keduanya mengatakan bahwa ada diantara teori itu yang mereka kurang paham.

.o.o^o.o.o^o.o.

"Asal kamu berlatih terus menuruti hafalannya, perlahan-lahan kamu akan mengerti sendiri," berkata sinona "senjata apakah yang kamu gunakan berdua ?"

"Aku menggunakan pedang," sahut Oey Eng.

"Aku menggunakan poan koan pit," jawab Kho kong.

"Pedang menjadi leluhurnya alat senjata," berkata sinona pula, " pedang mudah dipelajarinya tapi juga pedanglah yang paling sulit digunakannya dengan sempurna. Tahukah kau ilmu pedangmu dari cabang mana ?" Oey Eng melongo.

"GutUku cUma menyebutnya ilmu tetapi tidak asal usulnya." Si nona menghela napas.

"Kau tak dapat disalahkan," ujarnya. "Banyak pelajar ilmu pedang,jumlahnya sampai ratusan ribu, tetapi banyak juga yang tidak tahu asal usulnya."

Kemudian nona itu menceritakan panjang lebar tentang, yang terutama memerlukan bakat, sebab ketekunan dan kecerdasan saja masih belum cukup, Ban Liang dan Siauw pek kagum mendengar penuturan nona itu.

Oey Eng sangat tertarik hingga ia bertanya "Nona, dapatkah aku belajar pedang sampai mengerti atau sampai sempurna ?"

Ditanya begitu Soat Kun melengak. Ia tidak bisa melihat roman orang.

"coba kemari " katanya setelah ragu ragu sebentar.

Oey Eng kira dia salah bicara, hatinya tidak tenang, setelah meletakkan pedangnya, ia menghampiri. soat kun mengulurkan tangannya, untuk meraba raba belakang kepala serta bahu sianak anak. setelah mana ia menggelengkan kepala.

"Melihat tulang tulangmu, lebih baik kau tidak mempelajari ilmu pedang," katanya kemudian-

"Terima kasih, nona," berkata si anak muda. Iaheran tetapi ia tidak menanyakan jelas. Perlahan lahan, ia mengundurkan diri.

"Dapatkah nona memeriksa bengcu?" Ban Liang bertanya. Iapun tidak mengerti, maka ia ingin mencoba Siauw pek Kembali agaknya si nona ragu ragu^

"Entahlah, bengcu sudi memberi kesempatan kepadaku mencoba atau tidak..." katanya.

Sebenarnya Siauw pek tidak setuju, tetapi karena Ban Liang telah menanyakannya dan sinona tidak berkeberatan, terpaksa ia mengajukan diri.

"Memberabekan saja, nona," ujarnya.

"Tidak menjadi soal, bengcu," berkata sinona, yang terus meraba belakang kepala serta bahu sianak mudaseperti ia memeriksa Oey Eng tadi, hanya menggunakan waktu lebih lama. Selama itu nampak ia berpikir keras, terus ia berdiam saja.

Ban Liang berpikir, Siauw pek tampan danpandai ilmu pedang Thian Kiam dan golok Pa Too, mestinya ia berbakat baik, mestinya si nona bakal memuji tinggi kepadanya, maka itu heran ia menyaksikan nona itu membungkam. Kho Kong tidak sabaran.

"Nona, bagaimana dengan bengcu," tanyanya.

"Tulang bengcu luar biasa, tidak berani aku sembarang menyebutkannya," sahut si nona.

"Nona," berkata Siauw Pek, yang melihat kesangsian orang, "biasanya seorang laki laki menanyakan tentang bahaya tetapi tidak tentang bahagia, demikian dengan aku. silakan nona bicara secara terus terang saja" "Aku tidak bisa melihat, bengcu," jawab sinona. "Mungkin wajahmu beda daripada tulangmu, mungkin pada wajahnya ada sesuatu yang luar biasa. bicara dari hal tulang saja, walaupun bengcu berjodoh dengan ilmu pedang, peruntunganmu harus menemui kesukaran, pelbagai macam... "

Siauw pek tertawa hambar mendengar keterangan itu.

"Dari masa kecilku, yaitu semenjak aku ingat aku sudah hidup terlunta lunta didalam pelarian," berkata ia. "Setiap kami menyingkirkan diri dari ancaman ancaman maut. Nona benar mengatakan nasib celakaku berlapis lapis."

"Ada satu hal lain, yang aku kurang mengerti..." kata si nona pula.

"Apakah itu, nona?"

"Menurut tulang bengcu, tak selayaknya bengcu siang siang, kehilangan ayah bundamu, akan tetapi..."

"oh, begitu, nona?" si anak muda menegaskan Dia heran.

"Ya. Menurut keterangan bengcu sendiri, yang begitu lengkap bagaikan lukisan gambar, ayah bunda bengcu telah mati dimedan pertempuran didepan jembatan Seng Su Klo Sebab bengcu ini, aku jadi tak berani lancang bicara..." Paras Siauw Pek berubah.

"Nona, sukakah kau bicara terus terang, kata ia. "Apakah ramalan nona itu?"

"Tak selayaknya ayah bunda bengcu menutup mata bersama." "Apakah nona artikan, salah satu harus masih hidup" sipemuda

tegas kan pula.

"Kira kira begitulah."

"Yang mana, nona? Ayah atau ibuku ?" "Harusnya ibumu yang masih hidup^.."

Hati Siauw Pek berjekat, sampai ia tertegun. "Aneh sekali, kata katanya."

"Aku bicara hanya berdasarkan pemeriksaan tulang kepala dan bahu bengcu," Soat Kun menjelaskan Ia menghela napas perlahan "Aku kawatir bahwa ramalanku tidak tepat. Bengcu menyaksikan sendiri ayah bunda bengcu bertempur didepan jembatan dan telah terbinasa karenanya, pastilah penglihatan bengcu itu tidak keliru."

Siauw pek mendongak. ia menarik nafas perlahan-

"Yang aku masih tidak mengerti ialah kenapa delapan belas partai memusuhi ayahku, katanya. Benarkah itu disebabkan kematian ketua keempat partai? Benarkah mereka itu terbinasa ditangan ayahku ?"

"Didalam hal ini mesti ada sebabnya," kata Soat Kun menghibur. "Mungkin ayah bengcu mengetahui sebab itu, hanya ia telah tiada."

"Pernah aku bertanya kepada ayah akan tetapi ayah tidak mau menuturkannya. Mungkin ada kesulitan, yang membuatnya susah membuka mulut..."

"Itulah yang membuatku curiga. Dua kemungkinan. ayah tahu tetapi tidak mau menceritakan, atau ia tak tahu. Kalau ayah tahu, kenapa kah ayah tidak mau memberi keterangan?"

"Sekarang ini, baiklah bengcu bersabar, perlahan lahan saja, mengandal kepada kecerdasan kita, kita nanti menyelidikinya," kata nona. Siauw pek membenarkan pikiran itu.

"Tapi satu hal aku masih tidak mengerti, ingin aku memohon keterangan nona," katanya.

"Apakah itu, bengcu? Titahkan saja."

"Selama dirumah, musuh mengatakan aku dapat menemui ibuku. Sekarang menurut ramalan nona, ibuku masih hidup, Bagaimanakah itu kiranya? Hal ini membuatku tidak tenang..."

"oh, begitu?" Soat Kun heran. "Benar" Dan Siauw pek menuturkan apa yang terjadi "Ya inilah aneh" Sinonapun heran.

"Sebelum ramalan nona, walaupun aku heran aku toh tidak percaya..."

"sekarang?"

"sekarang aku menjadi setengah percaya setengah tidak..." "Bengcu, ingin menanyakan sesuatu..."

"Silahkan nona"

"Paling baik, aku tanya satu, bengcu jawab satu." "Baik nona, silah nona tanyakan."

"Semasa kecil, pernahkah bengcu melihat wajah ibumu?" "Tentu saja, nona."

"Sekarang ini aku tanya, apa bengcu merasa pasti bahwa wanita itu benar ibu kandungmu?" Siauw pek melengak.

"Delapan tahun aku hidup bersama ibuku, mungkinkah aku salah mengenalinya?"

"Aku hanya menanya saja, bengcu. Bagaimana sikap ibumu terhadap bengcu?"

"Seingatku, ibu berlaku baik kepadaku."

"Mungkin ada bagian bagian yang aneh, yang luar biasa?" siauw pek berpikir.

"ibuku cuma sedikit bicara."

"Apakah ayah dan ibu bengcu hidup akur satu dengan lain?" "Selama delapan tahun, belum pernah aku menemukan mereka

selisih mulut."

"Paling belakang, berapa usia bengcu ketika bengcu masih ada bersama ayah bunda bengcu?" "Lima belas tahun."

"Apakah ketika itu bengcu sudah mengerti segala sesuatu?" "Ya. Nona ingin tanyakan hal apakah ?"

"Ketika itu kamu lagi terlunta lunta didalam pengungsian, mungkin kamu tidak mempunyai kesempatan buat membicarakan banyak urusan maka dari itu, tentunya bengcu tidak banyak ingat ini dan itu..."

"Asal yang aku ingat, akan akujawab, nona."

"Ingatkah bengcu kalau bengcu pernah memperhatikan ayah bundamu, merundingkan soal pengungsian kamu ?"

"Pernah beberapa kali."

Mata sinona bercahaya. Itulah tanda ia merasa aneh. Rupanya jawaban si anak muda berada diluar sangkanya. Si anak muda itu menghela napas. "Apakah yang tak seksama, nona ?"

"Apakah bengcu hadir ketika ayah bundamu berunding itu ?" "Ya. Aku berada bersama kakak kakakku."

Jawaban si anak muda lancar, hal itu membuat si nona tersenyum.

"Baiklah," katanya. "Sekarang coba ingat-ingat, pernahkah ayah bunda bengcu membicarakan soal pengungsian berdua saja ?"

"Itulah aku tak ingat jelas."

Nona itu diam, untuk berpikir, agaknya ragu ragu.

"Masih ada pertanyaan, yang ingin aku ajukan, hanya aku ragu ragu," katanya kemudian. "Kalau aku tidak tanyakan, hatiku belum puas. Jikalau aku tanya, aku minta bengcu jangan berkecil hati..."

"Bicaralah, nona Walaupun kau bertanya salah, tidak apa." "Aku mencurigai..." Tiba tiba si nona menutup mulutnya. "Nona curiga apakah ?" siauw Pek tanya cepat. "Inilah soal besar. Bagaimana kalau aku pikirkan dahulu, besok baru aku tanyakan ?" Siauw pek bagaikan ingat sesuatu. Ia mengangguk. Maka ia tidak mendesak. Soat Kun menghela napas berduka.

"Sebab musabab peristiwa pek ho bun ini, nampaknya sederhana. tetapi kenyataannya tidak demikian, sebenarnya rumit sekali. Dipikir sekilas lalu, soal sukar dipecahkan. Maka itu, baiklah kita menyelidikinya perlahan lahan saja..."

"Nona," Ba Liang menyela, "bukankah kau hendak mengajari ilmu silat kepada kedua saudara Oey dan Kho?" ^

"Ya, loocianpwee. Silahkan kamu maju tuan tuan" Oey Eng dan Kho kong menghampiri.

"Kami bersedia menerima pengajaranmu, nona." kata mereka, hormat.

"Kamu bersenjata berlainan, sulit mengajarinya berbareng," berkata si nona. "Sekarang baik kamu belajar dahulu ilmu tangan kosong, nanti baru menggunakan senjata."

"Baik, nona, kami menurut saja," kata Oey Eng.

"Sekarang aku ajarkan hafalannya," berkata si nona, perlahan, "habis itu baru kamu menjalankannya. Untuk belajar sampai sempurna, itulah mengandal kepada kecerdasan dan latihan kamu..."

Diam diam siauw Pek mengutik Ban Liang, ia berbisik: "Dengan berada disini, mungkin kita menghalangi mereka itu belajar." Lalu ia mendahului pergi keluar.

Ban Liang mengerti, diam-diam ia mengikuti ketua itu. Mereka sudah mengenal bak tin mereka, dari dalam mereka berjalan terus menuju keluar barisan istimewa itu.

"Tin bambu dan batu semacam ini bisa menentang musuh, sulit aku mempercayainya," Ban Liang berbisik. "Tetapi suasana tin ini demikian rupa hingga aku jadi ingat akan ilmu sesat, bagaimanakah pendapat bengcu?"

"Menurut suhu dahulu, Pat Kwa Tin, Kiu Kiong Tin dan sebangsanya memang aneh sifatnya," sahutsi anak muda, "Hanya mengenai Liok kah tin, belum pernah aku mendengarnya."

Mereka berbicara sambil berjalan, tanpa merasa, tibalah mereka diluar tin-Justru itu, sekonyong konyong mereka mendengar suara melesatnya dua batang anak panah, yang diarahkan kepada mereka.

Dengan sebat Siauw Pek menghunus pedangnya, dengan satu sampokan saja, mental jatuhlah kedua senjata ringan itu. Setelah itu, mereka melihat munculnya dua belas orang berseragam hitam, yang mukanya tertutup topong hitam juga . Semua mereka itu lalu berbaris.

Ban Liang tertawa dingin-

"Sahabat-sahabat, takutkah kamu melihat orang?" tanyanya, mengejek.

Dua belas orang itu berdiri bungkam, cuma dua puluh empat biji mata mereka bersinar bengis.

Kata siauw Pek perlahan: "Silahkan loocianpwee mengabarkan nona Hoan, aku sendiri akan menghadapi mereka ini"

Ban Liang mauk kedalam. Pikirnya, "celaka kalau tin sampai dikepung dari empat penjuru"

Ia tetap kurang percaya. Sebelum memutar tubuh, ia pesan: "berhati-hatilah, bengcu"

Siauw pek lalu menghampiri dua belas orang berpakaian hitam itu.

"Rupa-rupanya tuan-tuan tak puas, mau juga kamu menyusul aku," katanya tawar. "Kenapa kamu tak mau melepas topeng kamu, supaya kita bisa sama sama memperlihatkan wajah sendiri..." Dua belas orang itu tetap berdiri tegak dan membungkam.

"Aneh mereka ini," pikir si anak muda, Kuat sekali hati mereka.

Maka ia lalu maju, untuk menikam satu diantaranya.

Walaupun sudah diancam pedang, si hitam tetap diam mematung Karena itu Siauw pek berlaku sebat, ia membatalkan tikamannya, ia terus menyampok dengan pinggiran pedang itu. Diluar dugaan, orang itu roboh seketika

"Tepat dugaanku," kata Siauw Pek di dalam hati. "Benarkah mereka telah ditotok orang maka juga mereka jadi tak berdaya. Mereka tak bersenjata, pasti dibelakang mereka bersembunyi orang lain" Maka ia lompat mundur tiga kali. terus ia berkata: "Tuan pandai dari manakah disana? Silahkan kau keluar menemui aku"

Pertanyaan itu tidak mendapat jawaban. begitu juga ketika diulangi dan diulangi lagi, hanya si anak muda mendongkol dan berkata nyaring: "Hm, orang macam apakah main sembunyi sembunyi? "

Baru sekarang terdengar jawaban: "IHm Kau berani mencaci?"

Menyusul itu muncullah orangnya, yang keluar dari antara semak semak di bawah tempat itu. Dialah seorang wanita dengan pakaian serba hijau, yang beraman cantik. Melihat nona itu, Siauw Pek tercengang. "Nona Thio" serunya.

Nona itu tersenyum. Dialah Thio Giok Yauw

"Tak salah?" sahutnya, "Kau masih ingat aku ya?"

"Bagaimana, eh?" tanya si nona, tawar. "Apakah cuma kau yang diijinkan datang kemari dan aku dilarang?"

"Bukan begitu nona" berkata si anak muda "Nona salah mengerti. Aku cuma heran di dalam dunia yang begini luas ini kenapa kita kebetulan bertemu pula ditempat semacam ini disini"

siauw pek melengak. Ia heran sekali sikap orang. "Sungguh dia nakal" pikirnya. Bagaikan kilat cepatnya, ia melirik kepada dua belas orang berpakaian hitam itu, terus ia bertanya "Nonakah yang menotok jalan darah kedua belas orang ini?"

"Kalau bukan aku, habis apakah kau?" nona itu membaliki. Dia tetap membawa kenakalannya.

"Benar-benar sulit melayani dia" pikir pula sianak muda. Karena tidak tahu bagaimana harus bicara, ia berdiri diam saja. Mata sinona memain.

"Kenapa kau berdiam?" tegurnya. "Apakah kau tak senang melihat aku?"

"oh tidak. tidak. nona" sahut sianak muda. "Habis kenapa kau tidak mau bicara?"

"Aku bingung, nona. Tak tahu aku bagaimana aku harus bicara" Nona itu tertawa geli.

"Sebab kau sering salah omong, aku jadi tidak senang" katanya. "Kapan aku pernah salah omong nona?"

Nona itu tidak menjawab, hanya dia berkata^ "Kita ini bertemu pula bukannya karena kebetulan, sudah tentu kita bertemu tentu ada maksudnya."

"Kau mencari aku?" "Ya"

"Nona mencari aku, ada pelajaran apakah dari kau, nona?" Thio Giok Yauw mengernyitkan alisnya yang lentik. "Bagaimana?" tanyanya. "Tak bolehkah aku mencari kau ?"

"Pasti boleh, nona Hanya, ada urusan apakah kau mencari aku ?"

"Pasti ada keperluannya," berkata si nona. romannya sungguh sungguh . "Jikalau tak ada urusan, siapakah sudi mencari cari kau?" Kembali Siauw Pek dibuat bingung. ia berbatuk batuk perlahan-" Jikalau benar ada urusan, nona, katakanlah"

"Siapakah kedua nona itu yang berjalan bersama sama kau itu?" "oh, kiranya dia sudah lama sampai di sini dan tahu hal kami,"

pikir si anak muda, yang menjawab cepat. "Itulah nona nona Hoan-"

"Siapakah yang tanya she dan nama mereka? Aku hanya tanya kau, dengan mereka itu kau mempunyai hubungan apa dan bagaimana duduknya ?"

"Hebat budak ini," pikir Siauw pek. mengerutkan alis. Lalu ia menjawab hambar. "Kalau bicara, nona, pakailah sedikit aturan..." Tapi si nona tidak senang.

"Kau larang aku bertanya, benarkah? Aku justru menanya dengan jelas "

Wajah Siau Pek berubah menjadi pucat

"Nona," katanya, sungguh sungguh. "nona nona Hoan dengan kau tidak mempunyai budi atau penasaran, kenapa nona menghina sama orang ?"

"Nona buta... Nona buta... Nah, hendak aku memakinya biar kau dengar "

"Jangan terlalu menghina, nona" kata Siauw Pek. gusar. "Walaupun aku sabar akan tetapi ada batasnya"

"Habis kau mau apa?" si nona menantang.

Tepat waktu itu terdengarlah suara nyaring tetapi merdu^ "Bengcu jangan ambil gusar. Memang aku yang rendah buta sejak dilahirkan tidak apa Jikalau orang mencaci aku "

Mendengar suara itu, Thio Giok Yauw menoleh dengan segera. Ia melihat, dari antara pepohonan lebat, muncullah dua orang nona yang cantik sekali. Siauw pek menghela napas. Lalu ia berkata "Nona Thio ini berbuat keterlaluan, dia tidak memakai aturan, harap nona tidak sependapat dengan dia..."

Mendengar suara Soat Kun demikian suara tadi Giok Yauw sudah merasa malu sendirinya,akan tetapi mendengar suara Siauw pek ini, dia menjadi tidak senang, Maka dia berkata : "Ia toh dasarnya buta. Apakah aku mengatakannya salah ?" Soat Kun tertawa hambar.

"Nona, bukankah kita tidak saling mengenal ?" tanyanya. "Kenapa nampaknya nona sangat membenci aku ? Mungkinkah pernah melakukan sesuatu kesalahan terhadap nona ?"

Berkata begitu, nona yang lemah lembut ini memberi hormat dengan liamjim, membungkuk sambil merapatkan tangannya. Melihat hal itu, Giok Yauw melengak.

"Kau tidak bersalah apa-apa..." sahutnya "Ini cuma sebab coh "(hilang)"

Soat Kun tersenyum

"Nona, harap kau tidak salah mengerti " katanya, manis. "coh Siangkong dengan aku pernah tua dengan bawahan..." Giok Yauw heran.

"Tua dan bawahan ? Bagaimanakah itu ?" dia tanya

"coh Siangkong ialah Kim Too bengcu dan aku adalah seorang bawahannya."

Nona Thio menatap Siauw pek.

"Kapan kau menjadi kim Too bengcu ?" tanyanya.

Siauw pek masih sebal terhadap sikap kasar nona itu, maka ia menjawab dingin : "Urusan ini tidak ada sangkutpautnya denganmu, nona, tak perlu nona susah-susah menanyakannya "

Paras Giok Yauw menjadi pucat Kembali dia menjadi tidak senang. "Bagus ya " katanya sengit. "Aku bermaksud baik. aku melakukan perjalanan ribuan lie untuk menyampaikan kabar dan berita berita kepadamu, dan tidak kusangka kau yang bersikap begini lupa terhadapku. Inilah yang dikatakan, anjing menggigit Lu Tong pin. Tidak tahu kebaikan orang"

Begitu ia berkata, nona itu memutar tubuh, buat lari pergi. "Nona tunggu" memanggil Soat kun, nyaring.

Baru Giok Yauw pergi lima atau enam tombak jauhnya, tetapi mendengar panggilan itu ia berhenti berlari.

"Ada apa?" tanyanya dingin seraya menoleh.

Dengan berpegangan pada bahu Soat Gie, Soat Kun bertindak perlahan menghampiri nona itu. sambil berjalan, ia berkata, sabar : "Aku ada kata kata yang hendak diutarakan terhadap nona, aku minta sukalah nona dengar dan memikirkannya." cepat sekali, sampailah nona Hoan didepan Nona Thio.

Giok Yauw dapat memandang wajah gadis itu dengan jelas sekali. Ia melihat satu wajah yang Cantik luar biasa, cuma matanya yang bercacat. Ia menjadi heran dan kagum.

"Jikalau dia tidak buta," pikirnya. Lalu ia menatap soat Gie dan ini sama cantiknya, yang kalah hanya keayuannya.

"Kami berdua saudara," berkata pula Soat Kun, tetap merdu suaranya, "yang satu bercacat pada matanya, yang lain pada mulutnya. Kamilah orang orang yang kurang sempurna, aku harap nona tidak salah mengerti."

"Salah mengerti apa?" tanya Giok Yauw. "Salah mengerti mengenai coh Siangkong."

Adalah sering Soat Kun memanggil Siauw pek dengan "siang kong" yang berarti seorang gentleman muda, atau tuan yang dihormati. Dengan arti lalu, siangkong juga panggilan untuk suami. "Dia tak ada hubungan apapun denganku Aku tak usili dia" berkata Giok Yauw, senang hatinya tak enak... Nona Hoan tertawa pula.

"Nona, Jikalau kau benar tidak salah mengerti, aku undang sukalah kau tinggal bersama kami disini, supaya sudi kiranya kau membantu kami." Tiba tiba Giok yauw merasa mukanya panas. Ia malu.

"Kenapa aku mesti membunuhnya?" tanyanya keras, tetapi bernada manja.

"Nona berkata bahwa nona datang dari tempat jauh ribuan lie, habis, untuk apakah itu?" Nona Hoan tanya.

"Sekarang ini didalam dunia Kang ouw sudah ramai tersiar berita bahwa turunan keluarga coh dari Pek Ho bun sudah berhasil memperoleh kepandaian tinggi, bahwa turunannya itu berniat menuntut balas sakit hati keluarganya, sebab itu pelbagai partai besar sudah mengirim orang orangnya yang lihay untuk turun tangan terlebih dahulu. Karena itu, dunia Rimba Persilatan menjadi berbahaya sekali untuknya. Karena..." Si nona berhenti dengan tiba tiba, tetapi ia tertawa.

"Karena nona tidak ingin melihat dia dicelakai orang, maka juga dari tempat ribuan lie kau datang menyusul kemari. Betul begitu ?"

"Ya, benar." Nona Thio mengakui. "Aku menempuh bahaya, aku bersusah payah mencarinya, barulah aku berhasil mendapat keterangan perihal perjalanannya ini, maka aku menyusul kemari. Tak kusangka, dia tidak mengenal budi, dia tak berterima kasih..."

"nona melakukan perjalanan ribuan lie cuma untuk menyampaikan kabar, itulah maksud yang baik dan mulia sekali," berkata Soat Kun ramah tamah, "akan tetapi sekarang setelah sampai disini dan telah bertemu dengannya, sebelum nona menyampaikan sepatah kata, nona buru buru mau pergi pula, bukankah itu akan menyia nyiakan maksud dan susah payah nona" "Tapi dia sedikit juga dia tak nampak berterima kasih. Karena itu buat apa aku memperdulikannya lagi?"

"Nona," berkata Soat Kun, "Jikalau nona tak mempersalahkan, ingin aku bicara sedikit, tentang keadilan..."

"Tapi, apakah aku yang bersalah?" Giok Yauw berkata.

"Tidak nona, coh siang kong juga tak bersalah Sebenarnya nona tidak pernah memberi kesempatan berbicara padanya."

Giok Yauw berdiam, otaknya bekerja. Tiba tiba dia tersenyum. "Ah," Soat Kun segera berkata pula: "Nona rumahku rumah

gubuk. pagarku pagar bambu, Jikalau nona sudi, mari singgah barang satu malam disini"

"Apakah tidak ada halangannya?" tanya Giok Yauw tertawa. "Sama sekali tidak. Silahkan nona masuk. untuk sekalian melihat

lihat tinku ini "

"Kalau begitu silahkan nona jalan dimuka."

Soat Kun memutar tubuhnya, maka bersama Soat Gie, la mengajak nona itu masuk,

Giok Yauw mengikuti.

Siauw pek berpaling kepada Ban Liang.

"Loocianpwee..." katanya. Tetapi sijago tua menyela "Jangan, bengcu..." Berkata begitu, jago tua ini segera menghampiri.

"Ada apa, Loocianpwee?"

"Aku mau bicara tentang nona Hoan itu. Dia telah mengangkat kau menjadi bengcu, dia juga mau mengadakan peraturan Aku pikir, cukup dia mengangkat kau, tetapi peraturannya tak usah banyak banyak. Banyak aturan berarti mengikat. Bukankah kita sesama saudara yang bersedia saling menolong" Ia menengadah kelangit, iapun menghela nafas. Lalu ia melanjutkan "Dalam pihak, nona itu benar benar pintar dan pandai bekerja. Didalam hal, ia cepat mengambil keputusan-"

"segala aturan, untuk apa kita membuatnya?" pikir si anak muda. Ban Liang berkata pular "Bengcu musuh nampak kuat sekali.

Dapatkah kita mencegahnya bergerak?"

"Akulah Kim Too bengcu, dapatkah musuh menggertak aku?" Ban Liang menggelengkan kepala.

"Aku tahu maksud nona Hoan Kalau nanti tenaga kita sudah terkumpul, tenaga itu terdiri dari pelbagai macam. Tentu dia kawatir akan sulit mengekang mereka itu, maka ia mau mengadakan aturan agar mereka tunduk."

"Benar, tentu itulah maksud mengadakan suatu aturan." "Bukankah nona Hoan berniat mengumpulkan orang yang terdiri

dari orang orang musuh, atau orang Rimba Persilatan lainnya agar

mereka itu bekerja dibawah perintah kita?" "Benar begitu?"

"Nampaknya dalam hal ini, nona Hoan tidak mau mengadakan pilihan orang itu baik atau buruk, cukup asal ia itu kosen-"

"Bukankah itu soal tidak mudah sebagaimana kita memikirkannya?"

"Mungkin nona hoan telah memikirkannya masak masak. Kecerdasan kita tidak sampai disitu. Aku pikir, baik kita tak usah memikirkannya..."

"Masih ada satu lagi, loocianpwee..." "Apakah itu?"

"Urusan Thio Giok Yauw. Kenapa nona Soat Kun memintanya berdiam disini?"

"Entahlah. Mesti nona Hoan punya rencana." siauw pek berpikir. Mendadak dia berlompat dan terus lari kebelakang sebuah batu besar.

"Ada apakah?" tanya Ban Liang heran sambil lari menyusul.

Siauw pek telah sampai lebih dahulu, cepat sekali ia sudah muncul pula. Hanya, ditangannya, dia menenteng tubuh seorang serba hitam.

"sudah mati..." katanya.

Ban Liang lihat orang itu membawa busur dan anak panahnya, dari dada dan punggungnya keluar darah yang masih segar. Itulah luka pedang yang menembus punggung sampai kedada.

Siauw pek meletakkan mayat itu, ia berkata "Dua belas musuh didepan tin telah ditotok. ia juga tidak membekal panah atau senjata lainnya, sebaliknya kita tadi telah disambut dua anak panah. Setelah itu muncullah nona Thio. Tadi aku melupakan urusan ini, yang mencurigai baru saja aku ingat pula. Siapa sangka dia ini sudah mati."

Berkata begitu, sianak muda mengawasi batu, untuk memperhatikan letak tempat. "Dia pasti terbinasa diujung pedang Nona Thio," ia menambahkan. Ban Liang mengawasi kedua belas orang berseragam itu. Dia berpikir.

"Ada bagian yang tak tepat, bengcu," kata sijago tua, yang menggeleng kepala. "kau lihat"

"Apakah itu, locianpwee ?"

"Mayat ini membekal panah, orang yang memanah kita pastilah dia."

"Habis?"

"Habis siapakah yang menotok kedua belas orang itu ?"

Siauw Pek tercengang. Memang totokan itu tak dapat dilakukan Giok Yauw. "Kalau nona Thio yang menotok. mustahil musuh yang bersembunyi ini tidak dapat tahu? pula tak mungkin Nona Thio demikian sebat, habis membunuh sipenyerang gelap ini lalu menotok dua belas orang itu? Kalau dia yang melakukan itu, pasti kita melihatnya."

siauw Pek menghampiri dua belas orang itu, untuk mengawasinya dengan teliti,

sebenarnya mereka membekal senjata hanya senjata mereka itu belum dihunus. Itulah pertanda bahwa sebelumnya ditotok. mereka tidak melakukan pertempuran-

"Memang tak mungkin nona Thio yang menotok mereka ini tak peduli dia berkepandaian liehay luar biasa."

"Lagi satu hal, kalau sipemanah tiba lebih dahulu, tak mungkin dia tak melihat orang yang menotok itu. Mestinya dia tiba belakangan, kalau dia sembunyi lebih dulu, juga tak mungkin dia membiarkan orana menotok dua belas orang ini."

"Ya, aneh" kata Siauw Pek.

"Maka itu, bengcu, aku duga mesti ada seorang kangouw lainnya yang bersembunyi di dekat tempat ini."

Siauw pek lalu mengawasi sekitarnya. Mari kita cari dia. Ia mengajak.

"Jikalau dia tidak mau memperlihatkan diri, kita caripun sia sia," berkata sijago tua.

Menyusul berhentinya suara sijago tua, terdengarlah tertawa nyaring dan panjang, yang diikuti kata-kata ini: "Benar2 kamu pandai berpikir" Dan menyusul kata-kata itu, terlihatlah seorang melompat turun dari sebuah pohon pek yang besarsejarak lima tombak dari mereka.

Ban Liang dan Siauw pek terperanjat, mereka lalu mengawasi. orang  itu  adalah  seorang  tua  berusia  kira  kira  enam  puluh

tahun, alisnya putih, pakaiannya hitam mulus, kepalanya dibungkus dengan karpus putih, punggungnya menggendol ikan, tangannya mencekal joran.

"Ah, aku seperti mengenalnya." pikir Siauw Pek.

"Hie Sian clang Peng" seru sijago tua, agaknya dia heran.

"Tidak salah Itulah aku situa" berkata orang yang baru muncul itu sambil tertawa lebar.

Ban Liang segera memberi hormat. "Clan tay hiap semenjak kita berpisah, kau sehat-sehat saja, bukan Aku gembira sekali melihatmu "

orang tua itu tertawa "Jikalau aku situa tidak salah ingat, kaulah Seng SU Poan Ban Liang?"

"Itulah aku. syukur Clan tayhiap masih mengingatnya."

"Kita telah bertemu pada dua puluh tahun yang lampau" memperingatkan Hie Sian si Dewa Ikan.

"Benar Tayhiap. bagaimana kau memperoleh kesempatan datang ketempat ini ?" Ban Liang menanya setelah menoleh kepada siauw pek.

"Ah, kalau aku menutur, tak cukup dengan sepatah kata saja," berkata si Dewa Ikan, menghela napas. "Seumurku kalau aku berhubungan dengan orang, belum pernah aku kena dirugikan. Untukku, seekor ikan berarti satu urusan, aku tidak mau rewel. Tapi kali ini, aku kena dipedayakan bocah perempuan itu "

Ban Liang merasa geli, tapi pada parasnya ia tidak mengutarakan itu, sebaliknya ia memperlihatkan sikap sungguh2.

"Bocah siapa telah permainkan kau, tayhiap?" tanyanya.

"Itu, Thio Giok Yauw" sahutnya. "Entah dari mana dapatnya, bocah itu mempunyai seekor ikan luar biasa. Dia datang kepadaku, terus dia minta aku untuk membantunya satu urusan-" "Itulah memang kegemaranmu, tayhiap. kau paling suka membantu orang, tidak ada rekan Rimba Persilatan yang tidak tahu tabiatmu itu, maka Thio Giok Yauw tidak terkecuali ?"

"Aku situa tanya dia, sebenarnya dia mempunyai urusan apa."

Cian peng melanjutkan keterangannya. "Dia bilang, dia ingin aku menemaninya menjelajah. Kalau dia ketemu orang yang menghajarnya, dia minta aku membantunya untuk memukul mundur penyerang itu. ketika itu, pikiranku kena dibikin gelap olehnya, aku terima baik permintaannya itu. Ah, siapa tahu, karena kekeliruanku itu, aku gagal seluruhnya Sampai sekarang ini sudah beberapa bulan lamanya aku selalu mengikuti dia pesiar. Dia doyan mengembara, dia pergi ketimur dan kebarat. dia membuatku situa letih, dia mencelaka aku mesti senantiasa mengawaninya."

Mendengar begitu, Ban Liang berpikir: "Kau si Dewa Ikan, kaulah seorang yang cerdik dan teliti sekali, tak mungkin urusan sederhana ini dapat mempermainkanmu."

Clan Peng melanjutkan ceritanya: "Budak itu sungguh amat menjemukan. Seharusnya dia menyerahkan ikan satu pasang kepadaku, tapi kenyataannya dia memberikan satu ekor. Yang satunya, dia pisahkan. Ketika aku hampir habis sabar, baru dia kata bahwa dia masih menyimpan seekor pula. Dan dia memberitahukan, sampai aku telah cukup menemani dia pesiar, baru dia mau menyerahkan ikan itu"

Ban Liang tertawa didalam hatinya. Ia pikir pula: "Benarlah, manusia tak boleh loba tamak Si Dewa Ikan ini liehay ilmu silatnya dia dapat lompat menyingkir dari pengaruh harta dunia, hingga kaum jalan Putih dan jalan Hitam menghormati dan jeri terhadapnya, tetapi dia ada satu cacadnya, kedoyanannya kepada ikan membuatnya menanam permusuhan, sekarang dia lagi dipermainkan sinona, tentunya dia telah diberikan satu batas waktu oleh nona Thio itu." "Telah aku tanyakan dia, kapan batas waktu itu," Cian Peng meneruskan. "Kau tahu, apakah kata dia? Dia berkata, waktunya bakal datang tetapi waktu itu tidak ditentukan "

"Loocianpwee," Siauw Pek turut bicara, "seandainya loocianpwee tinggal pergi saja, nona Thio Giok Yauw tentulah tidak bisa berbuat apa apa."

"Telah lama aku situa memikir buat tak mempedulikan dia lagi, cuma..."

Suara sijago tua terputus oleh satu celaan nyaring garing bagaikan suara kelenengan: "Cuma tentu disebabkan tak rela melesatkan ikan yang satu ekor lagi itu. Benar bukan?"

Cian peng segera menoleh. Maka ia melihat Thio Giok Yauw dengan pakaiannya serba hijau lagi bertindak dengan wajah penuh dengan senyuman, tandanya hatinya riang. nona itu membuka tindakan lebar. Dibelakang nona itu mengikuti kedua nona Hoan-

"Sungguh hebat Soat kun" berkata Ban Liang didalam hati. "Didalam waktu yang pendek sekali ia berhasil menjinakkan nona yang binal sekali "

Melihat sinona yang membuatnya panas dingin, Cian peng tertawa berkakak.

"Aku hanya bicara main-main" berkata dia. "Mustahil dengan benar benar aku hendak meninggalkanmu pergi ?"

"Hm" sinona memperdengarkan suaranya yang tawar. "Telah kuduga kau tentu tidak berani "

Cian Peng berkedudukan tinggi dalam dunia Rimba Persilatan, banyak orang menghormatinya, dia juga lihay ilmu silatnya dan buruk tabiatnya, siapa sangka Giok Yauw dapat berbuat begini tak mengindahkan terhadapnya. Biasanya kalau memperoleh perlakuan demikian dari orang lain, si Dewa Ikan sudah mengumbar kemendongkolannya. Tapi sekarang? Ban Liang heran sekali. Bukan sekali saja Cian Peng tidak menjadi gusar, sebaliknya, dia tertawa pula

"Kau benar" katanya. "Jikalau aku si tua berani lari, tentulah aku sudah kabur " Seng Supan si Hakim Penuntut Hidup mati melengak.

"Benar benar aneh" katanya pula didalam hati. "Ilmu apa yang si nona gunakan maka juga tua bangka yang ditakuti kaum Rimba Persilatan sekarang mati kutunya terhadapnya? Kenapa dia sekarang menjadi penurut?"

Giok Yauw tertawa cekikikan, katanya "Jikalau kau membantuku, tak nanti aku membiarkan kau membantu secara cuma cuma. Percayalah, dibelakang hari aku akan balas kebaikanmu ini, tak akan kau mendapat rugi."

Kembali Cian peng tertawa terbahak bahak. "Aku si tua percaya kau, nona," katanya. Giok Yauw menyingkap rambut ditelinganya.

"Sekarang ini aku lagi mengalami satu kesulitan," ia berkata, "aku minta sukalah kau orang tua membantu aku^"

"Perkara apakah itu? Nona, kau perintahlah" Mudah saja si Dewa Ikan memberikan kata katanya.

"Kami minta loocianpwee suka membantu kami mengundang beberapa orang yang lihay ilmu silatnya..."

Cian peng menggoyang goyang tangannya.

"Aku si tua, seumur hidupku, aku tak berhubungan dengan kaum Rimba Persilatan" berkata dia. "Diantara begitu banyak orang tak ada jua seorang sahabat karibku. Maka itu, tak dapat aku minta bantuan orang"

"Tapi aku tahu benar kau toh mempunyai beberapa orang sahabat kekal," kata Thio Giok Yauw. "Aku percaya, asal kau suka mengucapkan beberapa kata kataku, pasti mereka datang kemari membantu kami"

"Siapakah mereka itu? Kenapa aku si tua tidak mengingatnya ?" "Bukankah disana ada Tau Pa San Liong houw Siang Kiat?" berkata si nona, menyebutkan Liong Houw Siang kiat sepasang jago Naga dan Macan dari gunung Tay pa san. "Bukankah disana ada Tong Loo thaythay, sinyonya tua dari Su coan, yang dengan senjata rahasia beracun telah menggemparkan dunia persilatan?" Cian peng tercengang.

"Eh, bagaimanakah kau ketahui semua itu?" dia bertanya. "Kenapa kau tahu aku bersahabat dengan Liong Houw Siang Kiat?"

"Segala urusanmu, tak ada satu yang tak kuketahui," sahutnya, tertawa. Cian peng menggaruk garuk kepalanya.

"Sudah belasan tahun aku tidak pernah bertemu Liong Houw Siang kiat," katanya, "Aku tak tahu juga mereka masih hidup atau sudah mati... Bukankah sia sia belaka untuk pergi mencari mereka?"

"Tidak apalah," berkata si nona mendesak. "Andaikata kau gagal, aku tetap akan berterima kasih kepadamu"

Tak bisa berdalih lagi, si Dewa Ikan berkata: "Jikalau aku berhasil mengundang Liong Houw siang kiat, dapatkah aku si  tua berpamitan dari kamu?"

"Itulah urusan yang setelah sampai waktunya baru dapat kita bicarakan pula" sahut sinona.

Dengan roman kecewa, Cian peng memandang Ban Liang dan Siauw Pek^

"Kapan aku berangkat?" ia bertanya. Giok Yauw berpikir, terus dia menjawab:

"Aku tidak peduli kapan kau berangkat. Hanya mulai hari ini, didalam waktu tujuh hari sebelumnya matahari selam, kau sudah harus kembali disini" Si Dewa Ikan berpikir.

"Jikalau begini," kata dia, "aku si tua masih mempunyai waktu dua hari untuk tidur dulu"

"Terserah kepada kamu, tuan yang baik" "Tapi mestikah aku kembali sebelum malam pada hari ketujuh?" sijago tua menegaskan.

"Mestinya, lebih siang pulang,jangan lebih malam" kata si nona tegas.

"Baiklah Aku situa pamit"

Berkata begitu, Hie Sian Cian Peng segera memutar tubuhnya untuk berlompat. Hanya sekejap. dia sudah terpisah jauh beberapa tombak dan disaat lain, lenyaplah ia dari pandangan mata

"Nona Thio" kemudianBan Liang memanggil Giok Yauw tak lagi binal dan kasar seperti tadi. Dia tersenyum.

"Kau toh Ban loocianpwee?" tanyanya.

"oh nona, bagaimana kau mengenal aku si tua?" Seng Supoan balik bertanya.

"Tadi Nona Hoan telah menyebut nama tuan tuan semua serta melukiskan roman wajahnya" sahut sinona, "sedangkan tentang loocianpwee sudah lama aku mendengar dari ayah bundaku"

"Siapakah lengcun, nona?" Ban Liang bertanya. Iamenyebut  "leng cun" (ayah yang terhormat) buat nama ayah si nona. Leng tong ibu yang terhormat.

"Ayahku ialah Thio Hong hong," ia menjawab. Mendengar jawaban itu, Ban Liang tertawa.

"oh, pantaslah" katanya. "Itulah tidak heran, Kiranya kaulah puteri Tiat Tan Kiam kek Thio Honghong si ahli pedang, Nyali besi Sungguh benar pepatah yang mengatakan, ayah harimau tak beranak anjing"

"Loocianpwee memuji saja," kata sinona.

"Nona" sijago tua bertanya, "ada satu hal yang kurang jelas bagiku, maukah nona menerangkannya? "

"Apakah itu loocianpwee? Asalkan yang aku sanggup,.." "Inilah mengenai Hie sian Cian Peng. Dialah jago Rimba Persilatan yang aneh tabiatnya, tapi kenapa nona dapat membentak bentak dan menyuruh sesukanya?"

Giok Yauw tersenyum. Rupanya pertanyaan itu sangat menggembirakan hatinya.

"Sebenarnya hal itu tidak aneh," sahutnya. "Ia menjadi jinak sebab, sebagian dia memandang muka ayahku dan sebagian lagi karena ada sesuatu yang dia khawatirkan..."

"Apakah itu yang dia khawatirkan, nona?"

saking herannya, Ban liang menjadi ingin tahu jelas semuanya. "Itulah sungguh tak ada harganya..." menjawab si nona. "Ah,

lebih baik tidak usah aku menyebutnya..."

Tepat si nona berkata begitu, mereka mendengar derapnya kuda mendatangi dari tempat yang jauh.

"JUmlah mereka sedikitnya belasan orang" berkata Soat Kun cepat. "Baiklah kita masuk ke dalam tin"

"Di luar masih ada dua belas orang serba hitam" Giok Yauw memperingatkan "Mereka itu semua telah tertotok Cian Peng. Perlukah mereka dibawa kedalam tin?"

"Sudah tak keburu..." kata nona Hoan.

Giok Yauw berubah menjadi jinak sekali, segera dia lari masuk.

Siauw Pek bersama Ban Liang menyusul.

Soat Kun segera memesan: "Terkecuali amat terpaksa, jangan ada yang keluar tin-"

siauw pek berpaling keluar tin, ia melihat belasan penunggang kuda mendatangi dengan cepat. Yang mengherankan ialah seragamnya mereka itu, yang terpecah tiga bagian:

Serba hitam, serba putih, serba merah... Yang merah bagaikan api, putih bagaikan salju dan yang hitam mirip cat siauw pek pula menghitung dengan cepat: Dua belas orang jumlahnya mereka itu empat hitam, bersenjatakan golok, empat putih berpedang semuanya, dan empat merah, masing masing membekal poan koan pit. Tapi mereka itu bukannya datang sendiri. Mereka mengiringi seorang pelajar serba hijau yang potongan badannya halus lemah. Terpisah empat, lima tombak dari muka tin rombongan istimewa itu lalu berhenti.

soat kun lalu memesan Soat Gie. "Adikku, perhatikan segala sesuatu diluar tin, dan cepat beritahukan aku" Adik itu memberi tanda mengerti.

Siauw pek berada terdekat dengan garis tin ia melihat tegas sipelajar, yang berkulit muka pucat. Pelajar itu mengeluarkan sejilid buku dan sebatang pit, dia mencorat coret di atas buku itu, terus disimpan disakunya.

Melihat lagak orang itu, diam diam Siauw pek geserkan tubuh mendekat Soat Kun. "Nona, ada seorang pelajar yang berpakaian hijau..." bisiknya.

"Ya, aku sudah tahu," sahut si nona.

"Rupanya dia datang untuk melihat lihat saja, tak ada niatnya menyerbu..."

"Jikalau dia tidak menyerbu, antap aja, kita berpura-pura tidak tahu, biar mereka bingung sendiri"

siauw Pek berdiam, akan tetapi hatinya berpikir: "Si baju hijau ini mesti seorang penting dari musuh, Jikalau dia dapat dibekuk, dari mulutnya tentulah dapat dikorek banyak keterangan-.."

Kembali terdengar derap kuda. Kali ini yang datang ialah seorang penunggang kuda yang bajunya kuning, janggutnya panjang, sedangkan tubuhnya tinggi dan besar hingga dia nampak keren.

si baju kuning menghampiri sibaju hijau sampai dekat sekali. "Apakah sianseng melihat sesuatu?" tanyanya. Panggilan itu sianseng tuan yang terhormat menand akan orang ini menghargai si pelajar.

"Belum," sahut orang yang ditanya, yang menggeleng kepalanya. "Tin ini aneh sekali. Dia bukan Pat Kwa atau Kiu Klong Tin, bukan juga Ngo Heng Tin-.."

Sikap si kuning terhadap si putih sangat memandang tinggi. Dia tersenyum dan berkata sabar^ "Jangan risau, sianseng, adalah lebih penting sianseng menjaga kesehatan dirimu. Perlahan-lahan saja, kita toh akan ketahui juga rahasianya.^."

Sibaju hijau menggelengkan kepala pula.

"pada masa ini sungguh aku tidak dapat menerka siapa orangnya yang berhasil membangun tin yang sekalipun aku tidak dapat mengenalnya," katanya pula.

Siauw pek mendengar kata-kata orang itu.

"Rupanya Liok Kah Tin lebih liehay daripada Kiu klong tin," pikirnya. Lalu terdengar si baju kuning berkata pula:

"Kalau begitu baik kita mendatangkan kayu kering, dan umpan api lainnya, untuk membakarnya dari empat penjUru. Mustahil tin ini berikut pengUninya tak akan mampus semUa?"

Si mahasiswa berbaju hijau menggoyang goyangkan kepalanya. "Daya itu terlalu kasar dan juga belum tentu berhasil," katanya. Si baju kuning agak tidak puas.

"Kenapakah?" tanyanya.

"orang telah mampu membangun tinnya ini, mustahil dia tidak memikir juga tentang serangan dengan api?" si baju hijau balik bertanya. Si baju kuning berdiam, lebih lebih sebab dia tak dapat memikir lainnya.

Sibaju hijau tiba-tiba menarik tali kudanya, membuat binatang tunggangan itu membelok ke selatan, berjalan kearah itu. Selekasnya ia bergerak. barisannya yang berseragam tiga warna itu segera mengikutinya, dikiri dan kanan dan belakang untuk melindungi. Penjagaan itu ketat sekali.

"Nampaknya kedudukan si baju hijau ini tinggi sekali," Siauw Pek menerka-nerka.

Dengan sepergian tiga belas orang itu, tinggallah si baju kuning seorang diri. Masih dia terdiam saja.

"Hm" kemudian terdengar juga suaranya, hambar. "Kau cuma mengandalkan Sin kun yang sangat sayang kepadamu mana kau jadi begini besar kepala. Sungguh aku tak percaya bahwa tin bambu semacam ini dapat mengekang orang" Siauw Pek mendengar kata kata orang itu.

"Kalau begitu pemimpin mereka dipanggil Sin kun..." pikirnya. Ia belum berani memastikan, sin kun itu berarti dewa atau raja. "Sin" berarti malaikat atau dewa, dan "kun" berarti tuan atau raja.

Habis mengoceh seorang diri itu, si baju kuning bertindak kearah tin-

Siauw Pek menyembunyikan diri diatas semak semak rumput, untuk mengintai, sampai didetik itu, ia masih tidak dapat mempercayai keterangan soat kun tentang kegaiban Liok Kah tin, dengan majunya si baju kuning ini, ia jadi akan dapat kesempatan mengujinya. Begitulah ia tidak muncul untuk menghadang.

Si baju kuning berjalan terus, segera ia sudah memasuki tin, setelah berjalan empat atau lima kaki, tiba-tiba dia belok kekiri. Siauw Pek heran-

"Dia toh berjalan lempeng, kenapa dia menyimpang?" pikirnya. Beberapa tindak sibaju kuning berjalan, tiba tiba ia membelok pula.

"Bagus" Siauw Pek berpikir pula "Kalau orang berjalan secara begini, seumur hidupnya tak dapat dia keluar dari tin ini..."

Sibaju kuning nampak tenang-tenang saja walaupun dia mesti berjalan menyimpang sana dan menyimpang sini, tetap ia berjalan dengan sabar, akan tetapi lewat berapa lama, nampaklah perubahannya. Dia membuka tindakan cepat, makin lama makin cepat. Tidaklah heran kalau dilain detik dia sudah mengeluarkan peluh

Siauw Pek didalam pengintaiannya mulai heran Untuk kesekian kalinya, dia berpikir "Tin bambu ini luas tak lebih dari dua bahu, kalau orang tak dikacau pikirannya, kalau dia berjalan lempang langsung, sebentar juga dia dapat keluar Kenapa orang ini begini kebal? Adakah dia tolol?"

Sementara itu terdengarlah suara merdu yang dikenal suara Nona Hoan Soat kun "Adikku memberi tahu aku bahwa orang berbaju kuning itu berkepandaian tinggi, bahwa dia bukan sembarangan orang, dari paling baik dia tangkap hidup hidupan-"

"Entah kepada siapa kata-kata sinona ditujukan?" tanya Siauw Pek didalam hati, Terus dia melihat dikelilingnya.

segera tampak Thio Giok Yauw berjalan menghampiri sibaju kuning.

Ketika itu, si baju kuning sudah habis sabarnya. Beberapa kali dia menyampok nyampok dengan kedua tangannya. Hebat sampokannya itu, hingga terdengar suara anginnya bagaikan menderu deru. Batang batang bambu dari tin itu, yang terkena angin sampokan seperti juga rabah bangun.

Tak terus menerus sibaju kuning membawakan laga seperti orang kalap itu. Dia segera berhenti menggunakan kedua belah tangannya. Sekarang dia berdiri tenang. matanya melihat kedepan mengawasi dengan tertegun.

Sampokan hebat itu membuat dua batang bambu roboh dan robohnya itu membuat tin sedikit berubah. Karena ini sibaju kuning bagaikan sebuah perahu sesat yang tiba-tiba melihat menara laut

Thio Giok Yauw lekas juga tiba dibelakang orang itu. Dia mengulur sebelah tangannya, untuk menotok dengan sebuah jarinya. Hanya sedetik saja, tubuh sibaju kuning menjadi limbung dua tindak. terus dia roboh terguling soat Gie lari menghampiri orang yang jatuh itu, dia bukannya hendak membangunkan atau menolong, dia hanya mengangkat dua batang bambu yang roboh itu, buat ditancapkan lagi.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar