Panji Tengkorak Darah Jilid 17

Jilid 17 .

Angin menderu-deru laksana badai meniup, tetapi yang mengejutkan, ke sepuluh pukulan dahsyat itu malah membuat asap bergulung-gulung deras. Kecuali itu tak ada lain-lain hasil lagi.

“Hi, hi, hi.” Terdengar Jenggot Perak tertawa mengikik.

Semenjak mengangkat panji di dunia persilatan jauh sebelum ia mendapatkan kitab pusaka Im-hu-po-kip, belum pernah ia menelan hinaan sedemikian rupa. Dadanya serasa hangus dibakar api kemarahan. Ia bersiap-siap hendak menerjang ke muka.

Sin-bu Te-kun memiliki apa yang disebut Liok-ji-thong-leng ( enam telinga ajaib), yakni ilmu pendengaran yang sakti. Tetapi pada saat itu ilmu tersebut tak dapat digunakan lagi. Asap yang makin tebal itu seakan mempunyai kekuatan untuk menyumbat telinga, Bukan saja yang terjadi di luar barisan tak dapat didengarnya, bahkan orang-orang yang terkepung dalam barisan itu sedikitpun tak kedengaran suaranya.

Ilmunya melihat di tempat gelappun mengalami nasib serupa. Asap kuning telah menyerang mata sedemikian pedas, sehingga tak dapat dibuka. Dan yang mengejutkan lagi bahwa ilmu menyusup suara yang dicobanya untuk menghubungi ketua Hek Gak dan anak buahnya sendiri, pun tak ada hasilnya alias melempem.

Ia benar-benar merasa sebatang kara dalam barisan asap.

Selain ilmu silat sakti, iapun mengerti segala macam ilmu barisan. Tetapi terhadap barisan asap ini, benar-benar ia asing sama sekali.

“Asal arahkan langkah ke muka, tentu akan dapat menerobos keluar,” katanya dalam hati. Ia percaya dengan ilmunya Hian-im-ciang-ci yang sakti, segala rintangan tentu dapat dihancurkan.

Diam-diam ia menghitung. Sudah tiga puluh tombak jauhnya ia melangkah ke muka. tetapi ah. terpaksa ia

hentikan langkah. Ia merasa bahwa ia sedang berjalan berkeliling sebuah lingkaran. Apabila diteruskan, sehari semalam kakinya pasti letih tanpa hasil apa-apa.

Gigi Sin-bu Te-kun bercatrukan keras. Ingin ia memakan daging Jenggot perak dan minum darahnya, tetapi aah, apa daya.....

Setelah ia dalam keadaan seperti semut dipanggang di atas kuali panas, tiba-tiba terdengar si Jenggot Perak berseru pula , “Ki Pek-lam, mengapa kau sibuk. Aku toh hendak memberimu istirahat! Setelah duapuluhempat jam, barisan ini akan buyar sendiri. Sekarang menyerah sajalah!”

“Lu tua, aku tak peduli dengan segala macam peta Telaga zamrud atau nafsu menguasai dunia persilatan lagi. Asal barisan ini buyar, segera kau akan mengetahui apa yang hendak kulakukan!”

“Heh, heh, tentu akan mengadu jiwa denganku ?” Jenggot perak tertawa mengejek. “Asal kau tahu saja, cukuplah!” Sin-bu Te-kun meraung.

“Ki Pek-lam, jagalah kedua biji matamu, aku hendak membidiknya!” seru Jenggot perak.

Kejut dan marah Sin-bu Te-kun bukan kepalang. Tetapi ia tak berani berayal. Segera ia menutupi matanya dengan tangan. Begitu pula ia menyalurkan tenaga dalamnya untuk melindungi kelima indranya.....

Bagaimana dengan ketua Hek Gak? Diapun serupa nasibnya dengan Sin-bu Te-kun. Hanya bedanya yang menjaga ialah keempat Su-kiat. Ketika ketua Hek Gak hendak berusaha menerobos keluar barisan, keempat Su-kiat dari partai Thiat-hiat-bun serempak menghantamnya. Berbareng itu timpukan empat batang panah Hong-thau-kiong ke dada dan punggung ketua Hek gak. Panah-panah itu dak dapat membinasakan, tetapi cukup untuk menggagalkan rencana Kongsun Bu-wi. Keadaannya senasib dengan Sin-bu te-kun. Bagaikan harimau yang terkurung dalam perangkap meraung-raung di tengah lautan asap kuning.

Sekalipun belum larut, tetapi malam terasa sepi sekali. Tabir asap seluas berpuluh-puluh tombak itu tampak seperti gulungan awan yang menyelubungi puncak gunung....

oo000ooo

Kini kita jenguk keadaan Siau-bun dan Thian-leng yang bersembunyi di dalam hutan. Mereka tak berani bergerak. Apa yang terjadi di luar hutan diikuti dengan seksama. Adalah ketika barisan Thiat-hiat-tin menghamburkan asap tebal, begitulah mereka kehilangan pandangan. Untunglah kedua anak muda itu berada di luar lingkungan asap.

“Hai, kemanakah gerangan Lu Bu-song? Meangapa ia belum menggabungkan diri dengan kakeknya? Celaka, kalau dara yang suka ngambek itu sampai mengalami apa-apa, bagaimana ia nanti hendak memberi jawaban kepada Jenggot Perak?” demikian pertanyaan dalam hati Thian-leng yang menimbulkan kegelisahan.

Dan apa yang paling menggelisahkan hatinya ialah tentang peta Telaga zamrud. Bukankah tokoh-tokoh yang berkumpul di gunung situ datang untuk mencari kitab pusaka itu ? Jelas didengarnya dari percakapan mereka, bahwa siapa yang dapat memiliki kitab itu akan menjadi jago nomor satu di dunia persilatan. Dan bukankah peta yang sudah di tangannya itu hilang ?

Thian-leng melanjutkan lamunannya. “Mengapa Jenggot perak mengepung Sin-bu Te-kun dan Hek Gak ? Apakah bukan karena jago Thiat-hiat-bun itu mengetahui bahwa malam itu ia tentu datang ke gunung Thay-heng untuk mencari pusaka, maka sengaja jago Thiat-hiat-bun itu merintangi orang Sin-bu-kiong dan Hek Gak, agar ia aman mencari pusaka ? Ah, betapalah kecewanya Jenggot Perak nanti apabila mengetahui bahwa peta pusaka itu ia hilangkan ?

Lu Bu-song tak bersamanya, sudah cukup membuat Jenggot perak marah, apalagi ditambah pula dengan menghilangkan peta Telaga zamrud… Seketika berhamburan airmata Thian-leng karena dilanda gelombang

kemengkalan!

Sementara Siau-bun yang sejak tadi menumpahkan perhatiannya pada ketegangan ketiga gembong, ketika barisan Thiat-hiat-bun menghamburkan asap, ia menghela napas, “Hebat barisan Thiat-hiat-tin ! Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak sukar meloloskan diri, kita tak perlu kuatir!”

Thian-leng gelagapan dari lamunannya, “Adik Bun, kita. ” belum sampai ia melanjutkan kata-katanya, sekonyong-

konyong sesosok bayangan hitam melesat dan tahu-tahu di sebelah mereka muncul seorang wanita berambut putih! “Mah! ” serentak Siau-bun brseru girang seraya menubruknya.

Thian-lengpun terkejut girang. Wanita tua itu bukan lain ialah Toan-jong-jin, wanita sakti yang pernah memberinya pedang pusaka. Tetapi yang membuatnya heran, mengapa Siau-bun memanggil ‘mamah’. Thian-leng terlongong- longong heran.

Tiba-tiba terlintaslah sesuatu pada pikirannya dan cepat ia membuat kesimpulan. Nada suara wanita itu bening dan terang, tak menyerupai nada perempuan tua. Dan kerut wajahnya pun tidak wajar. Jelas dia menggunakan topeng kuit. Dan dari panggilan Siau-bun tadi makin menguatkan dugaannya bahwa wanita itu bukan seorang wanita tua! Usia Siau-bun baru tujuh-delapan belas tahun, tak nanti ia mempunyai seorang ibu yang sudah tua sekali.

Pun ketika wanita itu menolongnya di tepi sungai Huang-ho, sehabis menurunkan ilmu pedang, dia memesan padanya untuk mencari seorang yang bernama Pok Thiat-beng yang bergelar Si Pedang bebas.

Toan-jong-jin atau Si Patah hati, nama samaran yang dipakai wanita itu serta nada ucapannya yang penuh kepedihan, membuktikan adanya suatu rngkaian hubungan antara wanita itu dengan pendekar Pok Thiat-beng. Sekurang-kurangnya mereka itu tentulah sejoli kekasih.

Dan teringatlah juga Thian-beng akan keterangan Nyo Sam-koan di dalam penjara Cui-lo tempo hari. Ya, jelas…, jelas.!

Toan-jong-jin tentulah isteri tercinta dari Pok Thiat-beng. Dan toan-jong-jin bukan lain ialah puteri kesayangan Jenggot Perak Lu Liang-ong ketua Thiat-hiat-bun. toan-jong-jin sebenarnya ialah Cu Giok-bun ibu dari si dara Cu Siau-bun!

Otak Thian-leng bernanaran diamuk badai lamunan.....

Toan-jong-jin pernah dengan tandas mengatakan bahwa Thian-leng benar putera dari Ma Hong-ing dan Nyo Sam- koan. Tetapi anehnya, Nyo Sam-koan menyangkal keras. Thian-lengpun bukan putera Nyo Sam-koan dan bukan anak Ma Hong-ing!

Teringat akan semuanya ini, Thian-leng benar-benar seperti terkungkup dalam awan gelap. Siapakah ayah bundanya? Apakah memang ia manusia tanpa ayah ibu? Mengapa orang-orang yang diduganya menjadi orang tuanya, sama menyangkal dan saling melontarkan tanggung jawab. Apakah ia anak haram? Sekalipun anak haram, juga sang orang tua tentu mau mengakuinya.

Tiba-tiba pikiran Thian-leng tertuju pada Pok Thiat-beng dan Cu Giok-bun. Benarkah kedua orang itu mempunyai hubungan suami ister? Dan apakah hubungannya dengan mereka berdua?

Jenggot Perak telah menyerahkan Lu Bu-song menjadi isterinya. Sedangkan Cu Siau-bun an pun tampaknya menaruh hati padanya. Tempo di hotel Hian-gek-can di kota Ceng-liong tempo hari, ia dengan dara itu telah melakukan hubungan. Ah, otak Thian-leng benar-benar nanar mengingat peristiwa yang dihadapinya saat itu, begitu berbelit-

belit sampai-sampai ia lupa apa yang dihadapinya saat ini. “Bu-beng-jin, apa kabar?” tiba-tiba Toan-jong-jin menegur.

Thian-leng gelagapan. Tersipu-sipu ia memberi hormat, “Ah, locianpwe, tak kira berjumpa di sini! Lebih tak kusangka lagi bahwa lo-cianpwe ternyata…… nona Cu.. punya. ”

“O, tak menduga kalau ibu dan anak?” Toan-jong-jin tersenyum.

“Be. nar, sungguh tak kuduga sama sekali,” Thian-leng terbata-bata. Ia memandang Siau-bun lalu menunduk

dengan muka merah.

“Tahukah kau sekarang siapa aku?” beberapa jenak kemudian toan-jong-jin bertanya. Dipandangnya anak muda itu dengan seksama.

“Jika cianpwe tak menyalahkan, kini aku sudah dapat menduga,” sahut Thian-leng. “Coba katakanlah!”

Sejenak Thian-leng merenung, katanya, “Tempo itu dalam penjara Cui-lo di Sin-bu-kiong, aku telah bertemu dengan seseorang.”

“Siapa?”

“Nyo Sam-koan!”

Toan-jong-jin menghela napas, serunya, “Itulah ayahmu!”

“Bukan!” jawab Thian-leng tegas. Jawaban itu membuat Toan-jong-jin terbeliak. “Bagaimana kau begitu yakin?” Toan-jong-jin memandangnya heran.

“Karena Nyo Sam-koan menyangkal keras. Dia bilang… ” sampai di sini Thian-leng berhenti dalam kesangsian. Baik ia

lanjutkan keterangannya atau tidak.

Toan-jong-jin mengerutkan kening, ujarnya,”Apapun alasannya, silakan kau bilang saja!”

Dengan nada berat berkatalah Thian-leng, “Nyo Sam-koan menerangkan bahwa selama mengawini Ma Hong-ing itu, ia belum pernah tidur bersamanya!”

“Ih!” tiba-tiba Toan-jong-jin mendesis ngeri. Tubuhnya terhuyung-huyung hampir pingsan. “Mah!” teriak Siau-bun, “Telah kukatakan bahwa dia bukan anak Ma Hong-ing!”

Toan-jong-jin tenangkan kegoncangan hatinya.

Beberapa saat kemudian baru ia membuka mulut, “Habis, anak siapakah dia itu?” Tiba-tiba mata Toan-jong-jin memandang lekat-lekat ke tengkuk Thian-leng. Ia terbeliak. Jelas tampak pada tengkuk anak muda itu terdapat sebuah tahi lalat merah.

Amboi, mengapa begitu? Toan-jong-jin benar-benar kehilangan akal….

Siau-bun pun berdiam diri tenggelam dalam renungan. Jelas masih segar dalam ingatannya. Ketika berada dalam istana Sin-bu-kiong tempo hari, Ma Hong-ing memanggilnya dengan kata-kata ‘nak’. Mengapa? Mengapa. ?

Thian-leng juga lelap dalam lautan kegelisahan. Siapakah ayah bundanya? Mengapa tiada orang yang sudi mengakuinya sebagai anak....? Apakah ia lahir tanpa ibu bapak..?

Sam-chiu Sin-kun

“Bu-beng-jin, kau belum mengatakan siapa diriku!” sesaat kemudian Toan-jong-jin berseru.

Thian-leng tersipu-sipu dan segera menghaturkan hormat, “Kalau tak salah, cianpwe mungkin….memakai kedok kulit!”

Toan-jong-jin tersenyum. Tiba-tiba ia merenggut kulit mukanya sendiri. Ah. sebuah kedok kulit tersingkap dan

sebagai ganti dari rambut putih dan kulit muka keriput dari seorang wanita tua, kini muncullah sebuah wajah cantik berseri dari seorang wanita yang baru berumur 35 an tahun.

“Ijinkanlah wanpwe berkata sepatah lagi,” kata Thian-leng pula, “Cianpwe tentulah wanita yang dikatakan Nyo Sam- koan, ialah Pedang bebas Pok.... cianpwe. ” sampai di sini Thian-leng tergagap tak dapat melanjutkan kata-katanya.

Toan-jong-jin memakai kedok lagi, sahutnya tertawa, “Benar, memang aku adalah isteri dari Pok Thiat-beng. Hanya sayang kami suami isteri. ” Toan-jong-jin tak melanjutkan keterangannya lebih jauh.

Thian-leng buru-buru memberi hormat lagi, ujarnya “Atas pemberian cianpwe sebatang pedang pusaka itu, sampai matipun aku takkan melupakan. Tetapi. ” ia berhenti meragu sejenak, lalu menyambung lagi dengan nada

menyesal, “Tetapi sampai saat ini wanpwe belum dapat menemukan setitikpun jejak Pok lo-cianpwe!”

Toan-jong-jin tertawa rawan, ujarnya, “Hal itu tak dapat menyalahkanmu. Memang dia sukar dicari jejaknya. Mungkin sudah melenyapkan diri jauh ke luar perbatasan. Mungkin dalam kehidupan sekarang takkan dapat berjumpa lagi. ”

Tiba-tiba Toan-jong-jin alihkan ucapannya pada sebuah pertanyaan, “Apakah yang kau ketahui lagi tentang diriku?” Thian-leng tertegun, sahutnya tergagap, “Hanya itulah yang kuketahui….”

Kembali Toan-jong-jin tersenyum. Dengan penuh misterius ia memandang Siau-bun. Si darapun balas memandangnya dengan tersenyum.

Thian-leng seperti terbungkus dalam kabut rahasia.Tak tahu ia apa yang telah terjadi sebenarnya. Namun ia tak mau banyak tanya. Memang yang diketahui hanya hal-hal yang telah dikatakan tadi. Tak tahu ia apa lagi yang tersembunyi di balik diri wanita Toan-jong-jin yang serba misterius itu.

Sebenarnya Thian-leng telah lengah. Lengah tentang diri Toan-jong-jin. Karena sampai saat itu, ia belum menyadari bahwa wanita Toan-jong-jin yang dihadapinya itu bukan lain ialah momok ganas yang merajai dunia persilatan yakni Hun-tiong Sin-mo!

Tiba-tiba Toan-jong-jin bangkit, “Karena terlibat percakapan , hampir membikin terlantar urusan kalian yang penting!” Memandang ke langit, ia berkata pula, “Sudah saatnya orang itu harus datang!”

“Mah, siapa yang kaumaksudkan?” tukas Siau-bun.

Pun karena ingin mengetahui, Thian-leng diam untuk mendengarkan. Tetapi Toan-jong-jin hanya tersenyum misterius. “Nanti kalian tentu tahu sendiri, tunggu saja sebentar!”

Habis bicara, tiba-tiba ia melesat lima - enam tombak jauhnya. Saat itu asap kuning dari barisan Thiat-hiat-tin masih menghambur tebal. Rombongan Sin-bu-kiong dan Hek Gak tetapa tenggelam di dalamnya.

Siau-bun menarik lengan Thian-leng diajak memburu Toan-jong-jin. Tegurnya, “Eh, mah, mengapa kau menyimpan rahasia terhadap aku?”

Tetapi Toan-jong-jin hanya mengerut sebuah senyum kecil, lalu melesat sepuluh tombak lagi. Siau-bun dan Thian- leng tetap mengejar. Dalam beberapa kejap saja mereka sudah mencapai satu li jauhnya.

Sekonyong-konyong terdengar jeritan ngeri. Jeritan orang yang bunuh membunuh!

Thian-leng terkejut sekali. Sebaliknya Toan-jong-jin masih tetap berjalan tenang. Tampaknya perlahan, tetapi cepatnya bukan main. Malah pada lain saat, ia percepat jalannya sampai seperti angin meniup.

Ilmu ginkang dari Siau-bun dan Thian-leng sebenarnya sudah tergolong tingkat kelas satu. Tetapi ketika mengejar Toan-jong-jin tampak jelas sekali bedanya. Hanya dalam beberapa saat saja mereka sudah tertinggal setengah li di belakang. Dan ketika kedua anak muda itu tiba di tempat yang dituju, di situ sudah terjadi peristiwa yang mengerikan!

Belasan jago-jago baju ungu tampak bergelimpangan tersebar di tanah. Tubuh mereka hancur dan gosong seperti terbakar. Jelas mereka telah dibunuh orang dengan ilmu Ciong-chin-hoat atau tenaga dalam keras. Di samping mereka terdepat tiga sosok mayat pengemis. Belasan pengmis tengah tegak terlongong-longong seperti patung....

Thian-leng cepat mengerti apa yang telah terjadi. Belasan pengemis itu telah dianiaya oleh orang Sin-bu-kiong dan ketika Toan-jong-jin tiba ia hanya berhasil membunuh tiga orang Sin-bu-kiong. Yang lain-lain tentu sudah melarikan diri.

Beberapa saat kemudian rombongan pengemis itu gelagapan seperti orang tersadar dari mimpi. Tersipu-sipu mereka memberi hormat kepada Toan-jong-jin serta menghaturkan terima kasih. Setelah itu mereka juga memberi hormat kepada Thian-leng, seru mereka, “Murid menghaturkan hormat kepada pangcu!”

Thian-leng tersipu-sipu dan buru-buru menyuruh mereka bangun.

“Eh, aku sampai lupa menghaturkan selamat padamu yang dalam usia begitu muda sudah menjadi ketua Kay-pang..” tiba-tiba Toan-jong-jin berseru tertawa, “ hanya.....ah, pengemis-pengemis itu baunya sungguh tak tahan. ” ia

berpaling kepada Siau-bun, “Nak, apakah kau juga bersedia menemaninya seumur hidup makan nasi sisa dan sayur sisa?”

Siau-bun bersungut, “Mah, mengapa kau menggoda aku?”

Tetapi Toan-jong-jin tak menghiraukan urusan itu lagi dan berkata cepat, “Ah, aku masih mempunyai urusan lain. Aku hendak pergi dulu, kalian boleh bersama melanjutkan perjalanan.”

Siau-bun terkejut dan menyambar ujung baju ibunya, “Mah, kami ikut bersamamu!”

Toan-jong-jin mengerutkan kening, “Tetapi aku masih mempunyai urusan penting. Kalian tak perlu ikut!” “Coba katakan dulu urusan apa?” bantah Siau-bun.

Toan-jong-jin mendengus perlahan, “Li Cu-liong ketua Tiam-jong-pay, sudah jatuh di tangan orang Sin-bu-kiong, mamah harus menolongnya!”

“Lalu kemana kita mencarimu?”

“Tak usah kalian cari. Begitu urusan selesai aku tentu dapat mencarimu!” sahut Toan-jong-jin.

Akhirnya terpaksa Siau-bun melepaskan mamahnya. Bagaikan burung garuda melayang, dalam beberapa kejap saja bayangan Toan-jong-jin pun lenyap dalam kegelapan malam.

Sebenarnya Thian-leng masih ingin menanyakan beberapa hal kepada Toan-jong-jin. Tetapi karena cepat sekali wanita itu bergerak, pada saat Thian-leng hendak mengajukan pertanyaannya, Toan-jong-jin pun sudah lenyap.

Siau-bun menghela napas, ujarnya, “Bu-beng pangcu, mamahku sudah pergi. Marilah kita selesaikan urusan di depan mata ini.”

Thian-leng seperti disadarkan. Di hadapannya tampak belasan pengemis masih tetap dalam sikap menghormat kepadanya. Mereka dipimpin oleh Lau Gik-siu, ketua cabang partai Kay-pang.

“Mengapa saudara-saudara datang kemari? Apakah ada urusan penting?”

Lau Gik-siu segera menyahut dengan hormat, “Sejak pangcu pergi, muridpun mengirim berita dengan burung. Ada sebuah berita yang kami terima, bahwa ada seorang misterius yang masuk secara mencurigakan di wilayah gunung Thay-heng-san. ”

Diam-diam Thian-leng membatin,”Sin-bu-kiong, Hek Gak, Tiam-jong-pay dan orang Thiat-hiat-bun semuanya telah masuk ke daerah Thay-heng-san. Jumlah mereka sedemikian besarnya, mengapa hanya seorang saja yang dicurigai?”

“Dewasa ini di gunung Thay-heng-san penuh dengan jago-jago persilatan, baik dari golongan hitam maupun golongan putih. Mengapa kalian hanya mementingkan seorang pendatang saja?”

“Tetapi orang itu adalah seorang tokoh golongan hitam yang termashyur, “ buru-buru Lau Gik-siu menjelaskan, “dan jejaknya memang sangat mencurigakan. Karena itu kami segera mengikutinya!”

“Mengapa mencurigakan?” tanya Thian-leng.

“Kemungkinan dialah yang mencui peta Telaga zamrut milik pangcu,” sahut Lau Gik-siu dengan perlahan. Seketika teganglah Thian-leng, serunya, “Siapakah orang itu?” 

“Cia Bu-sin bergelar Sam-chiu sin-kun ( Malaikat bertangan tiga)!” “Di mana ia sekarang?”

“Menuju ke arah selat Pak-bong-kiap. Tetapi ketika kami sampai di tempat ini, telah bertemu dengan anak buah Sin- bu-kiong. Dalam pertempuran , kami kehilangan tiga orang anggota!”

“Tinggalkan dua orang anggota untuk mengurus mayat-mayat itu. Dan harap Lau-tongcu memimpin rombongan untuk mengejar Sam-chiu sin-kun!” Thian-leng memberi perintah.

Lau Gik-siu segera melakukan perintah ketuanya. Setelah menyuruh dua orang pengmis tinggal di situ untuk mengubur mayat, ia segera ajak rombongannya meneruskan pengejaran.

Thian-leng ajak Siau-bun mengikuti rombongan Kay-pang. Setelah meintasi dua buah jalanan, tibalah mereka di sebuah lembah.

Lembah itu aneh dan seram. Kedua belah dindingnya menjulang ke langit, penuh hutan cemara yang lebat dan batu- batu besar yang berserakan. Sepintas pandang mirip dengan kuburan.

Lau Gik-siu dan rombongannya berhenti, katanya, “Inilah Pak-bong-kiap, tetpai mengapa Sam-chiu Sin-kun tak berada di dalam lembah?”

Thian-lengpun tak melihat barang seorangpun juga. Sesaat kemudian tiba-tiba Siau-bun menggapai anak muda itu, bisiknya, “Lekas kejar, dia memang memasuki lembah ini!”

Girang Thian-leng tak pelang, katanya, “Apakah ilmumu Melihat-langit-mendengar –bumi …. “

Siau-bun menjawab dengan menarik lengan baju anak muda itu terus diajak loncat ke atas batu karang yang tinggi. Karang itu tepat di samping lembah, sehingga dari situ dapat melihat jelas ke dalam lembah. Tetapi hutan cemara yang lebat tetap menutupi pandangan mata.

“Apakah adik Bun tak salah dengar?” tanya Thian-leng dengan menggunakan ilmu menyusup suara

“Meskipun ilmu mendengar bumi ada kalanya menerima rintangan dari hutan, hujan dan angin, tetapi tetap takkan salah dengar!” sahut Siau-bun.

“Kalau begitu tentulah Sam-chiu Sin-kun berada di sini!”

Siau-bun tak menghiraukan anak muda itu. Dia menumpahkan seluruh perhatiannya untuk mendengar dan memandang ke seluruh lembah.

Rombongan pengemis tua yang mengikuti di belakang mereka, tak dapat mendengar apa yang dipercakapkan kedua anak muda itu. Lau Gik-siu yang melihat ketuanya tegak beradu bahu dengan seorang gadis tanpa bicara apa-apa , segera memberanikan diri untuk berseru perlahan,”Pangcu….”

“Apa?” sahut Thian-leng.

“Kami telah menemukan jejak Sam-chiu Sin-kun. Dia memang benar telah memasuki lembah. Harap pangcu lekas mengejar…..” Lau Gik-siu berhenti sejenak, lalu berkata pula, “Sam-chiu Sin-kun memang mempunyai kepandaian istimewa dalam mencuri dan banyak tipu muslihatnya pula!”

Thian-leng sejenak melirik Siau-bun. Nona itu tampak mengerutkan kening seperti tengah memikirkan persoalan yang rumit, sepertinya tak mengacuhkan anak muda itu.

“Ya, aku tahu…..” terpaksa Thian-leng menjawab Lau Gik-siu. Tetapi walaupun begitu, ia tetap tak bergerak melainkan hanya memandang Siau-bun saja.

Beberapa saat kemudian baru kelihatan Siau-bun mengangguk dan loncat turun. “Apakah adik sudah mengetahui tempat orang itu?” tanya Thian-leng.

“Tanyakan Lau tongcu, apakah di belakang lembah ini terdapat jalan tembus?” kata Siau-bun.

Mendengar itu Lau Gik-siu segera memberi keterangan, “ Lembah Pak-bong-kiap ini terkenal berbahaya sekali. Belum pernah aku menyuruh orang menjelajahinya. Maka apakah di belakang lembah ada jalan tembus atau tidak… aku..kurang tahu…” kemudian ia menanyakan Siau-bun perlukah menyuruh orang menyelidiki.

“Terlambat, kita terjang saja!” Siau-bun terus hendak menyerbu ke dalam lembah. tetapi dicegah Thian-leng, “Nanti dulu, apa sajakah yang kau dengar ?”

“Aku sendiri belum dapat memastikannya, ”kata Siau-bun, “di dalam lembah memang ada seorang yang tengah berjalan dengan langkah aneh. Dia seorang sakti, umurnya di antara tujuhpuluhan tahun, jenggot melambai sampai dada. Dia berjalan perlahan sekali seakan mencari jalan. Dan saat ini sudah memasuki lembah sejauh seratus tombak, menuju ke belakang lembah…. ” 

“Itulah Sam-chiu Sin-kun!” Lau Gik-siu menyeletuk. Kemudian ia mendesak Thian-leng supaya lekas mengejar. Tetapi segera ia menutup mulut demi melihat wajah kedua anak muda itu tampak serius sekali. Tentulah sedang menghadapi persoalan yang genting.

“Kalau pendengaranku tak salah, Sam-chiu Sin-kun diam-diam sedang diikuti oleh lima orang!” “Tetapi bukankah kau tadi mengatakan belum dapat memastikan?” tanya Thian-leng.

“Itulah yang membingungkan aku,” kata Siau-bun, “kelima pengejarnya itu tidak mengambil jalan dari tengah lembah, tetapi muncul dari empat penjuru lembah. Padahal jalan di situ sukarnya bukan main. Dan yang lebih hebat, langkah mereka hampir tak tertangkap ilmu Melihat-langit-mendengar-bumi…”

“Oh, mereka tentu orang-orang yang berilmu sakti,” Thian-leng berseru kaget, “Kecuali Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak, tentu tak ada lainnya lagi. Kita beresi dulu kedua durjana itu baru kemudian membekuk Sam-chiu Sin-kun….”

“Tidak,” tukas Siau-bun, “Menurut dugaanku, kalau orang itu memang bangsa manusia, tentu bukanlah Sin-bu Te-kun ataupun ketua Hek Gak!”

“Bagaimana kau dapat memastikan?”

“Sin-bu Te-kun dan rombongan Hek Gak masih dikepung oleh Thiat-hiat-tin. Lain orang tentu tak ada yang memiliki ilmu sehebat itu!”

Thian-leng terbeliak. Habis siapakah kelima orang pengejar yang sakti itu? Jelas tujuan mereka ialah hendak merebut peta Telaga zamrud.

“Dengan munculnya secara terpencar itu, jelaslah bahwa mereka bukan segolongan. Jika kita dapat mencegat di belakang lembah, kita dapat merebut dulu peta itu dari tangan Sam-chiu Sin-kun. Tetapi apa boleh buat, sekarang kita terpaksa aharus menerjang dari sini!”

“Baik, aku yang menjadi pembuka jalan!” kata Thian-leng seraya terus melangkah ke dalam lembah. “Hai, tahukan kau di mana beradanya Sam-chiu Sin-kun?” Siau-bun berseru seraya mengejar.

Thian-leng tertegun, Serunya. “Dia toh berada dlam lembah, masakah kita tak dapat menemukannya?” “Uh, lebih baik kau ikut aku saja!” Siau-bun tertawa hambar.

Thian-leng menurut. Dengan pedang terhunus ia mengikuti di belakang si nona. Begitu pula Lau Gik-siu beserta anak buahnya. Mereka siap dengan senjata masing-masing.

Lembah itu tiada jalannya. Hanya sebuah lembah mati yang penuh batu-batu besar dan hutan lebat. Baru berjalan sepuluhan tombak, Thian-leng merasa kehilangan arah. Coba tak ada Siau-bun yang menjadi penunjuk jalan, tentu ia sedah tersesat.

Siau-bun berjalan dengan hati-hati sekali. Setiap kali ia berhenti untuk memasang telinga. Belum tujuh puluh tombak jauhnya, tiba-tiba nona itu berhenti. Ia gunakan ilmu menyusup suara membisiki Thian-leng, “Sam-chiu Sin-kun berada pada jarak tiga puluh tombak. Para pengejarnyapun sudah muncul mengepungnya. Mereka berilmu tinggi semua. Kita harus menjaga jangan sampai ketahuan mereka.!”

Thian-leng mengiyakan dan segera menyuruh rombongan Lau Gik-siu menunggu di situ.

“Tidak, bagaimana kami disuruh tinggal diam saja melhat pangcu terancam bahaya. ” bantah Lau Gik-siu.

“Tetapi ini harus dilakukan secara bersembunyi. Kalau kalian ikut, lebih besar bahayanya!”

Lau Gik-siu tetap menolak, ”Pesan mendiang cikal bakal kaum Kay-pang, murid-murid Kay-pang harus perintah ketuanya dan melindumginya….”

Thian-leng gugup. Tiba-tiba ia mendapat akal. Diambilnya lencana Kiu-pang-tong-pay dari lehernya, “Lau tongcu, dengarlah perintahku!”

“Hamba siap!” tergesa-gesa Lau Gik-siu menyahut dengan hermat.

“Untuk sementara ini kuserahkan kekuasaan partai kepadamu. Kau jaga di sini. Jika terjadi sesuatu, bertindaklah menurut gelagat!”

Walaupun ragu, tapi Lau Gik-siu terpaksa menerima perintah itu. Thian-leng segera gunakan ilmu menyusup suara untuk mengajak Siau-bun melanjutkan perjalanan lagi. 

Jalan semakin sukar. Hampir sejam mereka baru mencapai lima puluh tombak. Tiba-tiba Siau-bun berkata, “Kalau pendengaranku tak salah, sudah sepenanakan nasi lamanya Sam-chiu Sin-kun berhenti di sebelah muka. ”

“Di mana?”

“Apakah kau melihat tiga batang pohon jati di sebelah muka itu?” tanya Siau-bun.

Memang benar. Thian-leng melihat tiga batang pohon jati tumbuh menggerumbul. Setiap batang besarnya sepelukan tangan orang. Karena berjajar rapat pohon itu seperti tembok tinggi.

“Ya, memang kelihatan.” sahutnya. “Nah, di situlah ia bersembunyi!”

“Lalu pengejar-pengejarnya itu?” tanya Thian-leng.

“Berada di sekeliling tempat ini sekitar sepuluhan tombak jauhnya. Sebenarnya kita sudah masuk dalam kepungan mereka!”

Thian-leng terkejut, “Apakah mereka sudah mengetahui jejak mereka?”

“Entahlah, “ Siau-bun mengerutkan dahi, “aku tak tahu apakah mereka juga mempunyai ilmu gaib seperti Melihat langit mendengar bumi. Tetapi yang jelas mereka tak dapat bertahan menyembunyikan diri lagi!”

“Apakah Sam-chiu Sin-kun benar-benar bersembunyi di belakang ketiga pohon itu?” Thian-leng menegas, rupanya ia mempunyai rencana.

“Masakah aku hendak membohongimu?”

“Bagus, kalau begitu kita harus membekuknya lebih dahulu!”

“Tetapi tahukah kau bahwa di belakang pohon itu penuh dengan batu-batu besar?” “Tahu!” sahut Thian-leng, “mengapa kau tanyakan hal itu?”

Sahut Siau-bun dengan nada bersungguh-sungguh, “Berapa jumlahnya dan dari golongan mana kawanan pengejar itu, kita belum tahu. Tetapi yang jelas mereka itu bukanlah tokoh-tokoh sembarangan dan tujuannya sudah jelas hendak merebut peta pusaka. Maka barang siapa berani turun tangan lebih dahulu, dia bakal menjadi korban bulan- bulan orang yang lain!”

“Tetapi bagaimana dapat menghindari pertempuran?” bantah Thian-leng, “kalah memang toh kita belum tahu! Tanpa berani mengambil resiko mana mungkin kita dapat merebut peta itu kembali? Apakah kau mempunyai cara lain kecuali gunakan kekerasan?”

Siau-bun mengerutkan dahi, ujarnya “Segala apa dapat dipecahkan. Soalnya bukan masalahnya yang tak dapat dipecahkan, tapi kita yang tak mampu memecahkan!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar