Panji Tengkorak Darah Jilid 06

Jilid 6 .

Namun terpaksa ia mengikuti juga. Mereka berjalan di sebuah lorong, tetapi belum setombak jauhnya, empat orang yang berjubah ungu menghalang dengan bentakan bengis.

Thian-leng mencekal pedang erat-erat, bentaknya, “Tahukah kau di mana wisma Ing-jun- wan?”

Salah seorang baju ungu itu tertawa hina, “ Kami mendapat tugas untuk menjaga tempat ini. Sebelum Te-kun kembali, kalian tidak boleh pergi!”

“Eh, kalian hendak mencari mati?” Thian-leng berseru gusar. Ia kibatkan pedangnya, seketika berhamburanlah segulung sinar dingin.

Keempat penghadang itu memelihara jenggot putih yang menjulai ke dada. Matanya bersinar tajam. Baik usia dan dandanannya serupa dengan Ni Jin-hiong. Tiba-tiba mereka mencabut pedang. Gerakannya serempak dan tangkas sekali sehingga Thian-leng terkesiap.

Saat itu Bu-songpun tiba dengan dampratannya, “Goblok, mengapa tertegun…” ia taburkan tangannya, serunya, “Keadaan sudah mendesak, mengapa tak menempur?”

Keempat pengawal baju ungu itu agak terkejut ketika diri mereka tertusuk jarum kepala burung Hong ( Hong-thau- kiong) . Mereka mundur selangkah. Tetapi jarum itu tidak beracun dan tidak mengenai jalan darah penting. Apalagi mereka berempat berkepandaian tinggi, dengan serentak jarum itu dicabutnya.

Sekalipun begitu, ilmu menebar jarum dari si dara cukup menggetarkan hati mereka. Saat itu Thian-lengpun tak mau berayal lagi. Ilmu pedang toh-beng-sam-kiam dan pukulan Lui-hwe-sin-ciang, segera dilancarkan dengan gencar !

Ilmu pedang ke empat pengawal baju ungu itu hebat juga. Apalagi mereka maju bersama, selang beberapa jurus, pertandingan tetap berimbang.

Bu-song marah bukan kepalang, dengan melengking nyaring ia menyerang dengan pedangnya. Seketika berobahlah jalannya pertempuran. Terdengar jeritan dari seorang pengawal baju ungu yang terpapas kutung sebelah tangannya!

Mendapat angin, thian-leng menggerung dan melepaskan tiga buah pukulan dan lima kali tebasan. Dengan bantuan Bu-song, sekejap saja mereka dapat mendesak mundur ketiga lawannya.

“Lekas lari!” seru Bu-song seraya menerobos keluar. Tetapi baru beberapa langkah, ia sudah didampar oleh tenaga dahsyat dan bentakan keras, sehingga kepalanya pusing. Hampir saja dara itu tak dapat mempertahankan keseimbangan dirinya.

Thian-leng yang menyusul tiba terkejut sekali. Ternyata yang menghadang kali ini adalah Ni Jin-hiong. Di Belakangnya tegak belasan anak buahnya dalam seragam warna ungu. Jelas mereka itu ialah rombongan jago-jago kelas satu dalam istana Sin-bu-kiong.

“Hm, apakah kalian hendak menghadang kami?” bentak Bu-song.

“Bukan hanya menghadang, tapi hendak mencincang kalian berdua…” sahut Ni Jin-jiong dengan bengis. Kemudian ia memebri perintah kepada anak buahnya, ”Tangkap kedua budak itu hidup atau mati!”

Belasan jago-jago kelas satu itu mengiyakan. Serempak mereka menyerang. Thian-leng cepat menyrang Ni Jin-hiong. Karena pernah menderita kerugian menghadapi ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam maka Ni Jin-hiong bertempur dengan hati-hati sekali, maka dapatlah Thian-leng mendesaknya mundur. Sambil menarik pulang serangan, Thian- leng berseru pada Bu-song dengan ilmu menyusup suara, “Harap nona lekas lolos, biarlah aku yang menghadapi urusan di sini….”

“Goblok! Jangan banyak bicara kosong, curahkan perhatianmu sepenuhnya untuk menghadapi musuh!” tukas Bu-song juga dengan ilmu menyusup suara.

Thian-leng mengerutkan keningnya. Ia bertempur lagi dengan seru. Belasan jago-jago baju ungu itupun cepat menerjang. Kepandaian mereka memang hebat, apalagi jumlahnya banyak. Bu-song terkurung dan Thian-leng pun sibuk sekali.

Bu-song menggunakan taktik, sambil memainkan pedang, tangan kirinya tak henti-hentinya menaburkan jarum Hong-thau-kiong. Setiap batang jarum tentu mendapat hasil, tetapi karena jarum itu tak beracun dan hanya dapat menimbulkan luka kecil, maka belasan jago baju ungu itupun tidak menderita apa-apa. Mereka tetap melancarkan serangan bertubi-tubi. Tak berapa lama, jalannya pertempuranpun berubah lagi.

Ilmu pedang Bu-song tak sehebat ilmu pedang Thian-leng. Jarum Hong-thau-kiong pun telah dipakai habis. Berhadapan dengan Ni Jin-hiong saja, Thian-leng sudah payah, apalagi menghadapi serangan serempak dari belasan jago-jago lihay. Sudah tentu makin payah lagi. Kedua anak muda itu berada dalam keadaan berbahaya, sewaktu- waktu tentu akan celaka.

Sekonyong-konyong sesosok bayangan merah melayang tiba. Ketika masih berada di udara, orang itu menaburkan senjata rahasia. Seketika dua orang baju ungu terjungkal rubuh. Tiga orang lagi menderita luka parah dan terhuyung- huyung beberapa langkah ke belakang, lalu jatuh terduduk di tanah!

Hebat sekali. Rombongan pengawal baju ungu itu adalah jago-jago kelas satu dalam istana Sin-bu-kiong, bahwa sekali muncul, pendatang tak dikenal itu dapat merubuhkan lima orang baju ungu sungguh mengejutkan sekali. Ni Jin-hiong menjadi pucat dan terpaksa ia mundur serta menghentikan serangannnya.

Ketika pendatang itu sudah melayang tiba di tanah , sekalian orang semakin terbeliak kaget. Bukan dewa bukan lelaki gagah perkasa, melainkan hanya seorang dara yang cantik jelita, segar meriah dalam pakaian merah menyala.

Thian-leng terbelalak matanya. Ia seperti pernah melihat dara itu tapi entah di mana.

“Hai, siapa kau budak,” teriak Ni Jin-hiong, “kau berani mengganas dalam istana Sin-bu-kiong? Hm, tidakkah kau mengetahui bahwa istana ini mudah dimasuki tapi sukar keluarnya?”

Si dara merah itu tertawa hina, “Kalau berani masuk tentu berani keluar!”

” Tetapi Sin-bu-kiong toh tak bermusuhan padamu, mengapa kau menggunakan senjata rahasia mengganas anak buah kami ? ”

Secepat kilat dara merah itu mencuri lirik ke arah Thian-leng dan Bu-song, lalu tertawa dingin, ” Senjata rahasia milikku itu tanggung tak beracun, tetapi dapat menembus ke jantung dan menyebabkan orang mati seketika ! ”

Ni Jin-hiong menggertek gigi, ” Kalau tak dapat mencincang tubuhmu, aku segera akan bunuh diri di tempat ini !”

”Ih, mungkin kau tak mempunyai kemampuan melakukan hal itu,” ejek si dara baju merah. Tiba-tiba menaburkan senjata rahasia jarum. Tetapi Ni Jin-hiong sudah siap. Ia mengerahkan lwekang untuk menutup seluruh jalan darahnya.

Tring … tring… terdengar dering jarum terbentur benda keras dan jatuh berhamburan ke tanah.

Si dara baju merah terbeliak kaget. Ia tak mengira bahwa kepala pengawal Sin-bu-kiong memiliki ilmu Thiat-poh-san ( ilmu baju besi) yang tak tembus jarum Tui-hong-kiong.

Selagi dara itu masih terkesima, tiba-tiba Ni Jin-hiong menerkam dengan jurus Jip-hay-kin-kau (masuk ke laut menangkap naga ). Marah sekali kepala pengawal Sin-bu-kiong itu , maka serangannyapun dilakukan dengan cepat dan dahsyat sekali.

Tiba-tiba terdengar lengking bentakan, ”Berhenti!” Menyusul sesosok tubuh langsing melayang di udara. Ketika orang itu tiba di tanah, kembali sekalian orang terbeliak matanya…..

Ternyata yang muncul itu ialah Te-it-ong-hui Hong-ing sendiri, diikuti oleh keempat dayangnya. Ni Jin-hiong dan belasan pengawal baju ungu itu segera menghaturkan hormatnya.

“Sudahlah, jangan banyak peradatan!” Ma Hong-ing melambaikan tangannya.

Ni Jin-hiong segera menggunakan ilmu menyusup suara, “Adik Ing, mengapa kau tak tahu gelagat? Mengapa kau mencampuri urusan ini. Kalau Te-kun sampai mengetahui hubungan kita berdua….”

Sahut Ma Hong-ing juga dengan ilmu menyusup suara, ” Lain-lainnya boleh kau bunuh, tetapi dara baju merah ini jangan kau apa-apakan! ” 

” Wanita selalu lemah hati! Apakah kau tak takut membuat kapiran urusan besar?” masih Ni Jin-hiong menyanggah. “Ni cong-houhwat!” bentak Ma Hong-ing dengan suara biasa. Tidak lagi menggunakan ilmu menyusup suara.

Sekalipun marah sekali, namun di hadapan para pengawal baju ungu terpaksa Ni Jin-hiong berlaku hormat kepada ‘permaisuri’ ini. Buru-buru ia mengiyakan.

“Dara baju merah itu hendak kubawa pergi….” Ma Hong-ing menuding pada Thian-leng dan Bu-song. “Mereka berdua terserah padamu hendak mengurusnya. Lain-lainnya harus segera melapor kepada Te-kun.!”

“Baik, hamba segera mengerjakan!” Ni Jin-hiong mengiyakan. Kemudian ia menggunakan ilmu menyusup suara, “Hong-ing, kau gila! Jika Te-kun menyelidiki, bagaimana kau hendak menjawab. Jangan karena urusan kecil membikin kapiran urusan besar. Ada hubungan apa kau dengan budak perempuan ini hingga kau hendak melindunginya!”

Ma hong-ing pun menyahut dengan ilmu suara, “Lain-lain urusan memang aku boleh berunding dengan kau. Tetapi urusan ini, janganlah kau bertanya. Jika takut urusan kita ketahuan Te-kun, bunuh saja budak laki itu. Lebih baik kalau dapat menemukan jejak kedua taci beradik Ki….. Entah bagaimana akibatnya, sekalipun harus mempertaruhkan jiwa di hadapan Te-kun, tetap aku harus menolong anak peremouan ini!”

Habis itu segera ia memberi anggukan kepada si dara baju merah,” Ikutlah aku!” “Kemana?” si dara baju merah tertawa dingin.

Ma Hong-ing tertegun. Buru-buru ia gunakan ilmu menyusup suara, “Hendak kutolong jiwamu dan mengantarkan engkau keluar dari istana ini! Lekas!”

Sudah tentu dara baju merah itu tertegun. Heran ia mengapa Te-it-ong-hui ini begitu baik hati kepadanya. Setelah merenung sejenak, segera ia memaberi isyarat mata kepada Thian-leng, serunya, “Mengapa tak ikut!”

Karena ingin bicara berdua dengan Ma Hong-ing untuk meminta penjelasan tentang asal-usul dirinya, maka Thian- lengpun segera meloncat mengikuti. Lu Bu-song juga segera menyusul. Tetapi secepat itu Ni Jin-hiong dan rombongan pengawal segera menghadang, “Tinggalkan jiwamu!”

Ni Jin-hiong memelopori. Ia mencengkeram dengan ke sepuluh jarinya. Thian-leng cepat menyabet siku lengannya. Karena gentar akan ilmu pedang si anak muda, Ni Jin-hiong menarik kembali cengkeramannya dan berganti menusuk dengan sebuah jarinya. Seketika itu dada Thian-leng seperti dilanda lwekang yang berat. Cepat-cepat ia menagkisnya dengan pukulan Lui-hwe-sin-ciang.

Terjadi suatu benturan antara lwekang keras dan lwekang lunak. terdengar semacam suara mendesis, kedua macam lwekang itu hampir buyar kekuatannya. Thian-leng masih merasakan tubuhnya seperti terserap lwekang dingin sehingga ia menggigil dan terpaksa mundur selangkah.

Kedua pihak bergerak cepat sekali. Dua jurus serangan hanya berlangsung dlam sekejap mata saja. Celakanya, ketika Thian-leng terhuyung mundur, belasan pengawal baju ungu itupun segera mengepungnya.

Di lain pihak Lu Bu-song pun mendapat rintangan berat. Ia mainkan pedangnya dan berhasil mendesak dua pengawal baju ungu. Berbareng itu si dara berbalik dan menaburkan serangkum jarum Tui-hong-kiong ke arah Ni Jin-hiong.

Saat itu Ni Jin-hiong tengah memusatkan perhatiannyauntuk membinasakan Thian-leng. Serangan jarum dari belakang oleh si dara baju merah itu membuatnya sedikit lambat menangkis. Apalagi jarum si dara baju merah itu memang tak mengeluarkan suara. Betapapun Ni Jin-hiong berusaha hendak menghindar, namun tak urung pahanya tertusuk juga. Sebatang jarum telah menembus pahanya. Sakitnya bukan kepalang. Karena marahnya ia berkaok- kaok seperti kerbau. Dengan berputar tubuh, cepat ia menyerang si dara baju merah. Kacaulah jalannya pertempuran, acak-acakan tak keruan.

“Berhenti!” tiba-tiba Te-it Ong-hui Ma Hong-ing membentak nyaring.

Belasan pengawal baju ungu meloncat mundur. Ni Jin-hiong pun terpaksa mendengus dan mundur beberapa langkah. “Apa kau sudah bosan hidup ? “ tatap Ma Hong-ing kepada si dara baju merah.

Dara itu tertawa ringan, “Belum tentu kalian dapat merenggut jiwaku!”

Ma Hong-ing membanting-banting kaki, “Ah, sungguh tak nyana, kaupun menirukan perangainya… sekalipun

mempunyai tiga kepala enam lengan, belum tentu kau dapat keluar dari istana Sin-bu-kiong!”

Dara baju merah itu mengerutkan alisnya keheranan….Bukan saja tingkah laku Ma Hong-ing itu tak wajar, tetapi ucapannya….’tak nyana kaupun menirukan perangainya’…. makin membuatnya tak mengerti. Siapakah perempuan yang dimaksudkan dengan ‘nya’ itu? Dan perlu apa ia harus mengucapkan kata-kata semacam itu?

Tiba-tiba dari dalam gedung terdengar suara genta bertalu. Ma Hong-ing tegang wajahnya, buru-buru ia gunakan ilmu menyusup suara, “Budak perempuan, jika kau ingin hidup, lebih baik iktu aku tinggalkan tempat ini. Begitu Te- kun datang bersama anak buahnya, tentu sudah terlambat…..!

Kutanggung tentu dapat mengantarkan engkau keluar. Kalau kau masih penasaran, di kemudian hari bolehlah kau kemari lagi ! “

Rupanya kali ini termakan dalam hari si dara baju merah. Sahutnya dengan ilmu menyusup suara, “ Aku mau, tetapi pemuda she Kang itupun harus bersama-sama diantar keluar! “

Berobahlah wajah Ma Hong-ing sesaat. Diam-diam ia menghela napas, “Keparat apakah kau juga jatuh hati kepadanya…..” ia merenung sejenak, lalu cepat menjawab, “Baik! Kuturuti permintaanmu!”

Wajah Ni Jin-hiong mengerut. Marah dan gelisah, mengkal dan cemas. Tetapi di hadapan rombongan pengawal anak buahnya, tak mau ia mengunjukkan reaksi apa-apa.

Rombongan baju ungu yang menjadi jago-jago kelas satu dalam istana Sin-bu-kiong itupun tercengang heran. Mereka saling berpandangan. Mereka menyaksikan sendiri keeratan hubungan Ong-hui dengan si dara baju merah. Aneh, mengapa Ong-hui tak membunuhnya tetapi kebalikannya malah hendak mengantarnya keluar? Hubungan apakah antara Ong-hui dengan dara itu? Namun kedudukan Ong-hui dalam Sin-bu-kiong hanyalh di bawah Sin-bu Te-kun.

Wanita itu merupakan orang kedua yang berpengaruh. Walaupun pengawal baju ungu itu tak keruan perasannya, namun mereka tak berani berbuat apa-apa.

“Serahkan ketiga budak itu kepadaku. Silakan kalian mundur semua!” tiba-tiba ma Hong-ing berseru keras kepada Ni Jin-hiong.

Ni Jin-hiong gelagapan…..” Ini… hamba takut kepada Te-kun!” Buru-buru ia gunakan ilmu menyusup suara mendamprat, ”Ma Hong-ing, apa kau benar-benar sudah gila ? “

Wajah Ma Hong-ingpun menggelap beku, bentaknya,”Te-kun belum hadir, akulah yang berkuasa. Apa kau berani membangkang perintah Ong-hui?” Tetapi secepat itu juga ia segera menggunakan ilmu menyusup suara,”Barisan Bi- hun-tin di belakang wisma Ing-jun-wan, cukup untuk menahan kedua budak laki perempuan itu. Saat itu bolehlah kau menghancurkan mereka, aku tak perduli. Tetapi anak perempuan baju merah ini harus kuantar keluar istana!”

Dengan mengerutkan gigi, terpaksa Ni Jin-hiong mengiyakan. Belasan pengawal baju ungu itupun meloncat mundur dan menghilang dalam kegelapan.

“Kaupun mundur juga!” bentak Ma Hong-ing kepada Ni Jin-hiong. Lalu menyusuli kata-katanya dengan ilmu menyusup suara, “Hendak kubawa mereka melalui barisan Bi-hun-tin, pergilah kau mengatur persiapan dulu!”

“Harap Ong-hui berhati-hati, hamba mohon diri,” buru-buru Ni Jin-hiong memberi hormat dan ngeloyor pergi.

Kini dalam halaman yang luas itu hanya tinggal empat orang saja. Tiba-tiba thian-leng melangkah menghampiri Ma Hong-ing.

“Mah….!” serunya lirih.

Ma Hong-ing terbeliak. Bu-song dan si dara baju merahpun terkesiap kaget! Tetapi pada lain saat wajah Ma hong-ing pun membeku! “Tentulah kau sudah tahu bahwa aku bukan ibu kandungmu!”

Thian-leng mengakui Ma Hong-ing sebagai ibunya karena percaya akan keterangn wanita sakti Toan-jong-jin. Tetapi sikap Ma Hong-ing yang sedemikian dingin membuatnya ngeri. Cepat-cepat Thian-leng menyusuli kata-katanya pula, “Kutahu kau adalah ibu kandungku. Sekarang aku ingin tahu siapa ayahku dan sebab apa kau menetap di istana Sin- bu-kiong menjadi istri Sin-bu Te-kun, mengapa….?”

“Aku tak butuh membohongimu! Aku tak butuh anak semacam engkau! Aku ingin mencacah-cacah tubuhmu agar puas penasaran hatiku!”

Hati Thian-leng seperti disayat-sayat. Dia tak berdaya mengetahui hal yang sebenarnya. Dan sesaat timbullah kesangsiannya akan ucapan wanita Toan-jong-jin. Menilik sikap Ma Hong-ing itu tak menyerupai seorang ibu kandung.

“Kasih tahu aku hal yang sebenarnya!” teriak nya kalap.

Namun Ma Hong-ing hanya tertawa sinis, “Biarlah kau merasakan siksaan batin begitu. Selamanya tak sudi aku memberitahukan kepadamu!”

Thian-leng mengertek gigi, “Tetapi aku sudah mendengar dari seseorang!” “Siapa?” Ma Hong-ing terbeliak.

“Toan-jong-jin!” sahut thian-leng. Ia tertegun. Tak tahu ia siapa nama sebenarnya dari wanita sakti yang menggunakan nama samaran Toan-jong-jin atau si Patah hati itu. “Toan-jong-jin….” Ma Hong-ing tergugu. “Bagaimana wajah orang itu?” “Seorang wanita tua yang sudah berambut putih!”

Kendor ketegangan di dahi Ma Hong-ing, ujarnya,” Wanita tua…. mungkin kau menjumpai seorang wanita edan!” Si dara baju merah terkejut. Wajahnya sebentar pucat, sebentar merah. Jelas bahwa ia menderita goncangan hati.

“Sekalipun aku tak tahu nama beliau, tetapi rupanya ia mempunyai hubungan erat dengan beliau. Tentunya kau dapat menduga siapa orangnya!” seru Thian-leng.

“Apa hubunganku dengan dia?” Ma Hong-ing terkesiap.

“Beliau mengatakan bahwa kau pernah menjadi budaknya pada tujuh belas tahun yang lalu!”

Mendengar itu seketika pucatlah wajah Ma Hong-ing. Tubuhnya gemetar dan terhuyung mau rubuh. Mulutnya meracau, “Dia? Apakah dia hendak sungguh-sungguh menyelidiki urusan ini…! Kata-katanya itu diucapkan seperti orang mengoceh tak keruan sehingga si dara baju merah yang berada di dekatnyapun tak mengerti maksudnya.

“Benar, memang dia! Dan saat ini beliaupun sudah berada dalam istana ini!” seru Thian-leng.

Ma Hong-ing melonjak kaget, serunya,”Apa? Dia …. msauk ke dalam istana ini, dia…. berada di mana?”

Thian-leng mengerutkan alisnya. Diam-diam ia merasa aneh mengapa mendadak Ma Hong-ing begitu tegang ketika mendengar kisah tentang Toan-jong-jin. Ah, tentu ada sesuatu yang terselip di antara kedua wanita itu!

“Entah beliau berada di mana, tetapi tentu masih berada di dalam istana ini…. Beliau seorang wanita yang memiliki kepandaian sakti. Mau datang bisa datang seketika. Mau pergipun dapat lenyap seketika. Istana Sin-bu-kiong yang begini kecil mana mampu menghalanginya?”

Tiba-tiba Ma Hong-ing mendongak dan tertawa nyaring, “Baik, biarlah datang! Agar segala urusan dapat dibereskan!”

“R upanya kau mempunyai hubungan yang berbelit-belit dengan Toan-jong-jin itu….!” tiba-tiba si dara melengkingkan tawa ejekan kepada Ma Hong-ing.

”Aku tak kenal dengan segala macam Toan-jong-jin…! bentak Ma Hong-ing. Berpaling pula kepada Thian-leng berserulah ia dengan menggertek gigi. “Jangan coba memburuk-burukkan namaku. Masakah aku pernah menjadi budak orang. Lelucon yang edan….!”

“Habis mengapa kau perlu memelihara aku selama tujuh belas tahun? Mengapa kau tak mau memberitahukan nama ayah bundaku ? Mengapa kau menjerumuskan aku supaya mati bersama Hun-tiong Sin-mo? Mengapa … ? ”

“Aku tak punya waktu ribut-ribut dengan kau…!” Ma Hong-ing membentak bengis.

“Lekas! Kalau ayal tentu terlambat!” Ma Hong-ing berseru kepada si dara baju merah. Tanpa menghiraukan reaksi Thian-leng dan si dara baju merah lagi, iapun terus mengayunkan langkah. Keempat bujangnya segera mengiringkan.

Si dara baju merah memberi anggukan kepada Thian-leng lalu mengikuti Ma Hong-ing. Sementara itu Bu-song yang masih terlongong-longong mendengari percakapan itu, begitu melihat Ma Hong-ing pergi, segera menggamit Thian- leng, ”Goblok ! Mengapa tak lekas mengikuti wanita itu. Jika Te-kun sampai muncul kemari, tentu sukarlah lolos.

Rupanya Ong-hui itu memang bersungguh hati hendak menolong si gadis baju merah itu tadi. Ayo , kita ikuti ! ” Thian-leng seperti tersadar dari mimpi. Cepat ia melesat.

Ma Hong-ing diiringi keempat dayangnya berjalan di sebelah muka, menyusur lorong yang berliku-liku.

Tetapi mereka berjalan perlahan dan setiap kali berhenti, seolah-olah kuatir ketahuan orang. Si dara baju merah mengikuti di belakangnya. Tiap-tiap kali ia berpaling ke belakang menengok Thian-leng dan Bu-song.

Karena pikirannya dipusatkan untuk mengungkap asal-usul dirinya, Thian-leng tak sempat memperhatikan diri si dara baju merah. Tetapi rasanya ia pernah kenal, tetapi entah di mana. Dia mengikuti di belakang si dara. Tiba-tiba timbul keinginannya bertanya, ”Terima kasih atas bantuan nona tadi, entah nona….. ”

“Apa yang hendak kau tanyakan?” tukas dara baju merah itu.

“Rasanya aku pernah kenal dengan nona, tetapi entah di mana?” kata Thian-leng. “Benar?” dara itu mengulum tawa, “mengapa aku tak merasa?”

Thian-leng terpaksa menyeringai, “Mungkin aku yang lupa….!” Entah siapakah nama nona…..” “Cu Siau-bun…..!” 

Thian-leng seperti disengat lebah, ulangnya,”Cu….Siau….bun…!” ”Apa kau sungguh kenal padaku?” dara baju merah itu melengking.

Thian-leng sejenak tertegun, lalu menggelengkan kepala, ”Tidak! Hanya karena mendengar nama nona, maka teringatlah aku akan seorang sahabat. Sejak berpisah, aku belum tahu rimbanya……!”

Thian-leng menghela napas panjang.

“Apakah kau teringat padanya?” Cu Siau-bun bertanya dengan nada bersemangat. Thian-leng mengangguk, ” Sudah tentu, dia banyak melepas budi padaku, dan lagi…. ” “Dan lagi bagaimana?” tukas Cu Siau-bun.

Thian-leng menghela napas sebelum menyahut, “Dia pernah mengucap janji indah kepadaku. Dikuatirkan di dalam kehidupan sekarang hal itu sukar terlaksana, mungkin besok dalam penjelmaan yang akan datang!”

Wajah Cu Siau-bun berwarna merah, bisiknya, « Mungkin dalam kehidupan sekarang hal itu bisa terlaksana. Apabila aku dapat mencari orang itu, apakah kau masih bersedia memenuhi janji itu? Bersama-sama mengasingkan diri dari dunia keramaian dan hidup tenang sampai di hari tua. ? ”

Sampai beberapa jenak Thian-leng tak menyahut. Dipandangnya dara itu lekat-lekat. Cu Siau-bun risih, buru-buru ia berpaling ke muka lagi.

“Di saat dan tempat seperti sekarang, mengapa nona mengemukakan hal itu?” tanya Thian-leng.

Cu Siau-bun menghela napas, ujarnya,” Aku hanya menruh simpati kepada kalian. Tetapi mungkin aku dapat membantu kalian agar kalian dapat melaksanakan cita-cita kalian itu!”

Thian-leng menghela napas rawan. “Ah, mungkin dalam kehidupan sekarang hal itu sukar. Karena setiap saat jiwaku terancam maut, dan aku kuatir sahabatku itupun sudah…. tiada di dunia lagi!”

Tiba-tiba Cu Siau-bun tertawa, ”Mengapa karena aku maka kau lantas teringat padanya?”

“Karena nama nona sama dengan dia! Sahabatku itupun bernama Cu Siau-bun, dan lagi…” ia berhenti sejenak, “maaf, meskipun tubuhnya lemah dan sakitan, tetapi mirip sekali dengan nona…. inilah sebabnya kukatakan aku seperti pernah kenal dengan nona!”

Cu Siau-bun merah mukanya. Ia menundukkan kepalanya dan tidak mengatakan apa-apa.

Pembicaraan kedua anak muda itu didengar jelas oleh Ma Hong-ing. Tetapi ia tak mau mencegah. Bu-song pun menangkap pembicaraan itu. Juga seperti Ma Hong-ing ia mengerutkan dahi.

Tiba-tiba Ma Hong-ing berhenti. Tibalah mereka di muka sebuah gedung. Meskipun kala itu sudah musim rontok, tetapi beberapa batang pohon dahlia masih menyiarkan bau yang harum. Pintu gedung yang bercat merah perlahan- lahan terbuka. Setelah melepaskan pandangan ke sekeliling penjuru, Ma Hong-ing pun segera melangkah masuk.

Keempat dayang dan anak-anak muda itupun mengikuti di belakangnya.

Gedung itu sebuah gedung bertingkat yang luas dan indah. Lampunya terang benderang, kain jendela warna warni. Gedung itu adalah Ing-ju-wan (wisma menyambut musim semi) yang didiami oleh Te-it Ong-hui Ma Hong-ing.

Ma Hong-ing segera membisiki keempat dayangnya. Keempat dayang itupun segera menuju ke ruang belakang.

Thian-leng gelisah. Bukan karena menghadapi bahaya maut, bukan pula takut memikirkan bagaimana akibatnya nanti. Ia hanya merasa dadanya penuh sesak seolah-olah tertindih batu besar.

Sesaat kemudian tampak Ma Hong-ing bergegas ke arah Cu Siau-bun, “Dari belakang gedung kediamanku ini dapat menembus keluar. Sekarang tiada tempo lagi untuk menahan kalian lebih lama, segeralah kalian keluar dari istana ini.!”

Ma hong-ing segera mengitari sebuah loteng kecil lalu menuju ke bagian belakang. Setelah beberapa kali membelok, tibalah di sebuah lorong yang gelap. Rupanya lorong itu disanggah oleh tonggak-tonggak balok besar. Tonggak- tonggak itu dipenuhi semak-semak lebat sehingga pada malam hari makin tampak gelap.

Ma Hong-ing mempelopori di muka. Tiba-tiba Cu Siau-bun mendengus dingin, “Jangan cepat-cepat!” Ma Hong-ing menghentikan langkahnya, “Mengapa?”

“Katakan terus terang, kau hendak mengatur perangkap apa ? “ Cu Siau-bun berseru bengis. Mata Ma Hong-ing berkaca-kaca, katanya dnegan nada gemetar, “Nak, aku tak memasang perangkap apa-apa, kecuali hendak menolongmu keluar dari bahaya… “ Dua butir air mata keluar dari mata Ma Hong-ing, buru-buru ia melengos ke samping.

Cu Siau-bun tergetar hatinya. Dari sinar matanya yang rawan, ia mendapat kesan bahwa air mata Ma Hong-ing itu sungguh-sungguh air mata kesedihan. Beberapa perkataan yang sedianya hendak dilontarkan kepada Ma hong-ing terpaksa tak jadi diucapkan.

Sebagai gantinya kini timbullah berbagai macam perasaan heran. Betapapun ia membuat analisa, namun tetap tak memperoleh jawaban. betapapun kejam sikap Ma Hong-ing terhadap puteranya, namun mengapa wanita itu bersikap begitu sayang sekali kepadanya. Mengapa wanita itu mengucurkan air mata? Mengapa menyebutnya pula dengan kata-kata’anak’? Dan mengapa bertekad keras untuk menolong dirinya keluar dari Sin-bu-kiong? Ya , mengapa, mengapa…..?

Berdenyut-denyut otak Cu Siau-bun merenungkan sikap dan tindakan Ma Hong-ing yang begitu aneh. Namun tak jua ia dapat menyingkap tabir teka-teki yang menyelimuti diri Ma Hong-ing.

Tiba-tiba pikirannya jauh melayang ke puncak lamunan yang ngeri. Ah, tidak, tidak ! Tak dapat ia mempunyai ikatan apa-apa dengan wanita yang ganas ini. Biar, biarlah ….. tak mau Cu Siau-bun menyelidiki rahasia apa yang terselip antara Ma Hong-ing dengan dirinya. Biarlah hal itu terpendam. Ngeri ia membayangkan andaikata Ma Hong-ing itu benar-benar mempunyai ikatan hubungan darah dengan dirinya!

Tiba-tiba ia menemukan suatu keputusan yang seram. Ya, tak ada jalan lain kecuali harus melenyapkan Ma Hong-ing. Asal wanita itu mati, maka segala rahasia…-andaikan ada- biarlah turut lenyap selama-lamanya.

Saat itu tampak Ma Hong-ing membesut air matanya, kemudian berpaling ke arah Cu Siau-bun, “Nak, percayalah kepadaku. Jika lambat tentu sudah kasip.”

Tetapi Cu Siau-bun sudah mempunyai keputusan. Sahutnya tertawa, “Apakah kau sungguh hendak menolong kami dari bahaya?”

“Perlukah aku bersumpah?” Ma Hong-ing berkata dengan nada berat.

“Hal itu tak perlu, hanya saja…. “ Cu Siau-bun sejenak kerlingkan pandangannya ke arah lorong gelap, katanya,” Lorong segelap itu, masakah tak tada perkakas rahasianya?”

“Nak, kau memang terlalu curiga,” Ma Hong-ing banting-banting kaki, “ Di dalam istana Sin-bu-kiong terdapat lebih dari dua belas lorong yang segelap itu. Meskipun lorongnya berliku-liku dan sempit, tetapi dapat menembus keluar istana……. ”, ia berhenti sejenak dan katanya pula, “Memang lorong itu dijaga oleh jago-jago tangguh, tetapi asal aku mengantar kalian sampai di pintu istana, tentulah kalian selamat….”

Cu Siau-bun tertawa dingin, “Sin-bu-kiong dapat dimasuki dari empat penjuru. Ketika kami masuk, kami tak menemukan rintangan apa-apa. Perlu apa kau harus memilih jalan gelap yang begini berbahaya?”

Wajah Ma Hong-ing mengerut gelap, “Memang Sin-bu-kiong bisa dimasuki, tetapi tak mungkin bisa keluar dari sini. Te-kun sendiri yang mengatur perlengkapan istana ini. Tak peduli tokoh-tokoh silat yang bagaimana saktipun, sekali berani masuk ke sini, jangan harap dia dapat keluar lagi.!”

Cu Siau-bun merenung sejenak, ujarnya,”Baik, tolong kau tunjukkan jalannya!”

Ma Hong-ing menghela napas longgar. Segera ia memelopori jalan di muka. Lorong gelap itu memang penuh dengan lika-liku tikungan. Ada kalanya ke timur, adakalanya menikung ke barat dan setempo ke selatan , setempo ke utara. Atap dari lorong itu penuh tertutup semak-semak lebat, sehingga sukar melihat langit.

Thian-leng dan Bu-song mengikuti di belakang. Berkat lwekangnya yang tinggi, sekalipun dalam malam gelap, mereka dapat melihat terang. Tetapi di dalam lorong yang rindang dengan semak-semak lebat itu, merekapun tak berdaya, hanya dapat melihat pada jarak beberapa meter saja.

Tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring. Di tempat sesempit itu, bentakan orang itu terdengar menggelegar sekali, Thian-leng terkejut dan cepat siap mencekal pedangnya.

Sesosok bayangan hitam melesat keluar dari sebuah sudut lorong. dengan pedang terhunus, orang itu menghadang di tengah jalan. bentaknya, “Siapa tengah malam berani melintasi Kian-koan? Apakah membawa perintah Te-kun?”

“Aku Ong-hui yang datang, perlu apa harus membawa perintah Te-kun? Apakah matamu buta?” Ma Hong-ing mendamprat.

Orang itu mengeluh dan buru-buru berlutut minta maaf. ”Hamba tak tahu kalau Ong-hui yang datang ! ” Kemudian ia bangkit dan berdiri dengan kepala menunduk.

Ma Hong-ing mendengus sambil melangkah masuk diikuti oleh rombongan anak muda itu. Orang itu tetap tak berani mengangkat kepala. Setelah rombongan Ong-hui lewat, barulah ia bersembunyi lagi. 

Pada saat lewat di sisi pengawal itu, thian-leng memerhatikan wajah orang. Seorang tua berjubah ungu, mata bersinar-sinar tajam, pelipisnya menonjol, menandakan seorang ahli lwekang yang berilmu tinggi.

Kira-kira berjalan lima-enam puluh tombak jauhnya dan sudah melalui tiga pos penjagaan yang semuanya dapat dilalui Ma Hong-ing dengan mudah, tiba-tiba cu Siau-bun berhenti, serunya, “Masih berapa lama lagi kita harus menyusuri?”

Ma Hong-ing menghentikan langkah, “Cepat, paling lama dua puluhan tombak lagi sudah tiba di luar istana!” “Apakah masih ada penjagaannya?”

“Tidak asal….” Ma Hong-ing bersangsi.

“Kalau begitu tolong lekas sedikit saja!” buru-buru Cu Siau-bun meminta.

Baru Ma Hong-ing pun berputar dan hendak melangkah, tiba-tiba Cu Siau-bun taburkan tangannya ke punggung Ma Hong-ing. Karena tak menduga, menjeritlah Ma Hong-ing dan rubuh di tanah….. !
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar