Panji Sakti Bab 27 : Jangan lengah menjaga orang

27. Jangan lengah menjaga orang

„Apakah hal itu berbahaya sekali?" tanya Ceng Ih.

„Memang sungguh berbahaya, karena kau tak mengetahui bagaimana pribadi Lian Hoa Kaucu itu. Kelak pabila Thian-lam- ping-siu menyertai, itu tentu berlainan halnya. Betapa panjang lebar keteranganku ini, akhirnya toh kembali pada apa yang kukemukakan dimuka tadi. Itu tidak termasuk ilmu kepandaian silat tapi tergolong dalam urusan-dunia!"

Ceng Ih segera membantu mengemasi cawan dan alat-alat makan. Setelah siap, mereka berdua lalu turun dari Ke-hong- san. Rupanya Ceng Ih merasa gembira sekali bercakap-cakap dengan tokoh aneh itu.

„Bercakap beberapa jam, rasanya melebihi belajar buku beberapa tahun. Lo-koko, kau sungguh baik sekali" katanya.

„Ai, jangan keliwat memuji" kata Swat-nia-koay-siu. „Ceng lote, percaya tidak kau akan hukum karma sebab dan akibat?” 

„Ah, sari pelajaran Buddha itu sungguh dalam sekali.

Sampai pun kulitnya saja, aku tak berani coba-coba memberi tafsiran!" sahut Ceng Ih.

Mengusap jenggotnya yang putih panjang, Swat-nia-koay- siu tertawa: „Akupun tak berani sembarangan mengungkap. Hanya saja aku percaya ada sebab tentu ada akibat. Berbicara tentang hukum sebab-akibat itu, kalau sewaktu di Ciang-gwan kau tak menawarkan diri membawakan koporku, tentu aku tak nanti mengetahui bahwa perangaimu itu murni. Dan akupun tentu terlepas dari banyak kerepotan, hingga tak sampai perlu ke Su-chwan ”

Ceng Ih tertegun hentikan langkah.

„Kau maksudkan ......karena aku maka lo-koko ke Su-

chwan ?"

„Mengapa tidak? Akulah yang menyuruhmu melukai orang, padahal telah kuketahui bahwa kau hendak buru-buru menuju ke Lam-hay. Masakan aku tega begitu saja membiarkan Hoa Hoa Kongcu menempuh perjalanan jauh dengan membawa luka berat? Apakah aku tak secara bersembunyi merawatnya?”

„Amboi, sungguh hebat sekali perhitungan lo-koko itu!"

„Ai, jangan terlalu memuji, aku memang gemar menolong dendammu dengan Bu-san Hi-cu, barulah hatiku lega!" kata Swat-nia-koay-siu. „Sebenarnya aku bermaksud ke Lam-hay melihat ramai-ramai, tapi pihakmu sudah cukup orangnya apalagi semuanya lebih lihay dari aku ”

„Ai, benar jumlahnya mencukupi, tapi kalau dikatakan setiap orang itu lebih lihay dari lo-koko, itulah tidak benar!" tukas Ceng Ih. 

„Bo-ang Sancu, Swat-san Lojin, Thian-lam-ping-siu, adalah tokoh-tokoh yang terkemuka dalam jaman ini. Ditambah pula dengan kau Ceng Ih , ha, kini teringat aku. Si baju putih

yang telah mendahului perjalanan kita itu, bukankah kawanmu wanita?"

„Hai, apakah lo-koko jelas kalau dianya?" seru Ceng Ih dengan kaget, tapi pada lain saat dia tenang kembali, katanya: „Rasanya tak mungkin kalau dia, karena dia tengah menuju ke Swat-san!"

Kini tertawalah Swat-nia-koay-siu: „Akupun sudah tahu kalau ia pergi ke Swat-san itu. Tapi si baju putih itu benar- benar mirip dengannya. Ilmunya mengentengi tubuh luar biasa cepatnya, dalam sekejap saja ia sudah dapat mengejar aku. Terang kulihat ia itu seorang wanita dan mengenakan pakaian serba putih "

Memang sewaktu berada di kota Peh-sat-tin, Ceng Ih pun pernah melihat bayangan putih itu. Diapun mempunyai perasaan serupa dengan yang dikatakan Swat-nia-koay-siu itu. Begitu tangkas ilmu gin-kang si baju putih itu, hingga dia tak dapat melihatnya jelas.

„Lo-koko, telah berapa lama kiranya Bo-ang Sancu tadi lalu disini?" kata Ceng Ih selang berapa jenak kemudian.

„Lebih dari sejam lamanya, barangkali sukar untuk mengejarnya!" kata Swat-nia-koay-siu. Dalam pada bercakap- cakap itu, mereka sudah turun dari gunung Ke-kong-san.

Swat-nia-koay-siu ajak Ceng Ih singgah dulu di desa Tang- kong karena dia perlu membeli kuda untuk mengejar perjalanan Hoa Hoa Kongcu. Ceng Ih menanyakan apakah setelah urusan di Su-chwan selesai, tokoh itu akan terus pulang ke Swat-nia.

„Ada apa sih?" tanya Swat-nia-koay-siu.

„Setelah masalah Lam-hay selesai, aku berhasrat untuk mengunjungi Swat-nia-san, tapi kukuatir tentu mengganggu ketenteraman seorang ko-jin agung seperti lo-koko ini!"

„Ha, ha, rupanya kau telah ketularan gaya si Hoa Hoa Kongcu, ialah hendak mengili hati orang. Ha, ha, terima kasih atas budi kecintaanmu itu. Inilah yang dikata 'kalau berjodoh sekalipun ribuan li tentu berjumpa, tapi jika tak berjodoh meskipun berhadapan juga tak bakal bertemu'. Turut pendapatku, kita masih mempunyai rejeki untuk bertemu lagi."

Habis berkata, Swat-nia-koay-siu tertawa panjang, tapi pada lain kilas dia teringat sesuatu. Tangannya merogoh kedalam baju dan mengeluarkan sebuah benda, katanya:

„Siaocu, kau hendak minta apa saja itu?"

„Lo-koko, urusan dunia terlalu sulit, aku tak berani mencita- citakan sesuatu yang tidak-tidak. Kita bertaruh saja, bagaimana?"

„Bagus, bagus, habis kulak (beli) lalu dijual. Kau hendak menggunakan permainan Hoa Hoa Kongcu menimpa kepalaku. Bagus, bagus, katakanlah!"

„Begini, biarlah kutebak benda yang berada didalam tanganmu itu. Kalau menebak tepat, berikanlah benda itu kepadaku. Kalau salah, akan kuhaturkan tiga kati arak dan lima kati daging, bagaimana?" „Seorang lelaki mana dapat dipikat dengan barang makanan. Kau kira aku mudah kau selomoti, ya?"

„Ai, dalam menebak, kalah menang bukan soal. Nah, biar sekarang kutebaknya."

Swat-nia-koay-siu kebutkan tangan mencekak pinggang, katanya dengan tertawa: „Ternyata kau belum lulus dan masih perlu belajar beberapa tahun lagi kepada Hoa Hoa Kongcu.

Tapi aku lebih tampan dari kau, tak usah kau susah-susah menebak, aku sudah mengetahui apa pikiranmu itu. Ho, ni kuberikan padamulah!"

Dalam tangan yang disodorkan Swat-nia-koay-hiap itu ternyata berisi sebuah botol kecil dari kumala. Diatas kertas yang menempel pada botol kecil itu tertera tiga buah huruf yang berbunyi Siok-beng-tan atau pil penyambung nyawa.

Memang tepat seperti yang dikatakan Swat-nia-koay-hiap itu. Yang dikehendaki hati Ceng Ih, ialah pil mujijad siok-beng- tan itu.

Tapi karena isi hatinya telah diduga orang, dia malahan merasa tak enak. Diam-diam dia bersyukur, yang berhadapan itu seorang sahabat, kalau musuh, wah tentu amat berbahaya.

Setelah menerimakan botol kumala kedalam tangan Ceng Ih tokoh dari Swat-nia itu tertawa lagi: „Ceng-lote terlalu jujur, tak mau meniru perbuatan orang. Orang kuno memberi petunjuk 'sekalipun tak boleh mengandung hati untuk mencelakai orang, tapi jangan meninggalkan kewaspadaan untuk menjaga orang'. Tak usah kau ke Swat-nia mencari padaku, karena lebih mudah kalau aku yang mencarimu. Nah, selamat jalan!" Terhadap pribadi tokoh dari gunung Swat-nia itu, sungguh- sungguh tak tahu Ceng Ih untuk mengatakan perasaan hatinya. Mengindahkan ataukah rasa sayang. Setiap kata dan tingkah tokoh itu, selalu berkesan dalam lubuk hatinya.

Sebenarnya masih merasa kurang saja dia, tapi karena orang sudah mengucapkan kata perpisahan, dia merasa berat sekali hatinya.

„Kelak apabila berjumpa lagi, apakah aku masih harus membahasakan lo-koko atau Swat-nia-koay-hiap atau Tian-to- kian-gun?"

Tertawalah Swat-nia-koay-hiap, sahutnya: „Apa halangannya dengan sebutan lo-koko itu? Itu atas kemauanku sendiri, orang lain masakan mengurusi. Sebenarnya kurasa empat kata Tian-to-kian-gun, lebih sedap didengar dari Swat- nia-koay-hiap. Sampai bertemu lagi!"

Dengan ucapan itu, sambil menjinjing kopor rotannya, dengan beberapa loncatan, menghilanglah sudah tokoh aneh itu dari pemandangan.

Ceng Ih terlongong-longong memandang orang tua yang muncul perginya selalu secara mendadak itu. Dia merasa seperti kehilangan sesuatu.

Dengan hati hampa, dia ayunkan langkah menuju ke kota Tong-hong. Setelah mengasoh sehari, malamnya dia lanjutkan pula perjalanannya menuju ke selatan.

Makin masuk ke daerah selatan, hawanya makin berlainan, jauh berbeda dengan iklim daerah Kwan-gwa yang bersalju itu. Melalui Oulam lalu ke Kwitang. Ceng Ih tetap menempuh cara yang sama, siang mengasoh malam berjalan. Setiap harinya dia harus menempuh delapan ratusan li.

Kemudian setelah sehari semalam naik perahu melayari selat Leng-ciu, akhirnya tibalah dia dikota Hay-go. Kota itu merupakan kota dagang yang besar di daerah Lam-hay.

Pantainya penuh berhias dengan lampu dari perahu-perahu nelayan.

Ceng Ih mencari sebuah penginapan. Diam-diam dia merasa heran mengapa selama tiba di kota bandar situ, dia tak menampak bayangan Peng-ji.

Akhirnya dia mengambil putusan, malam nanti hanya akan pesiar dulu melihat-lihat keadaan kota, sekalian untuk mencari tahu dimana tempat menginapnya Bo-ang Sancu dan rombongannya.

Sehabis makan malam, dia segera keluar melihat-lihat kota.

Ternyata kehidupan malam di kota situ, amat ramai sekali. Kedai minum dan rumah-rumah makan penuh sesak dengan tetamu-tetamu.

Suatu hal yang membuat heran Ceng Ih, ialah kota itu banyak terdapat orang-orang persilatan. Ada yang berpakaian jubah, ada yang berdandan ringkas, mereka mencampurkan diri ke dalam rombongan orang yang berbondong-bondong, di jalanan. Sikapnya seperti hendak mendengar-dengar dan mencari-cari sesuatu.

„Apakah keadaanku ini telah diketahui, atau karena rombongan Bo-ang Sancu itu maka pihak Lam-hay-pay lalu berjaga-jaga. Kalau benar begitu, ah, rencanaku untuk menyelundup secara diam-diam, tentu akan gagal!" pikirnya. Sembari berjalan, tak putus-putusnya Ceng Ih memasang mata ke arah orang yang sikapnya mencurigakan itu. Sejak mendapat kuliah dari Swat-nia-koay-hiap kini Ceng Ih makin terbuka lebar matanya. „Jangan lengah menjaga orang", demikian selalu dia teringat akan petuah tokoh itu.

Dengan sikap wajar, dia berjalan, namun mata dan telinganya selalu dipasang. Tapi untuk kekagetannya, makin lama dia makin merasa ada sesuatu yang kurang beres.

Setiap rumah makan, kedai minum dan hotel, tentu terdapat beberapa orang yang bersikap aneh. Mereka berdiri dimuka pintu, sembari pasang omong sembari mendengarkan sesuatu.

Tiba-tiba dari arah muka tampak ada serombongan orang berduyun datang. Berisik dan kacau sekali keadaan mereka itu. Ceng Ih terpaksa menyingkir kepinggir.

Ketika mengawasi, ternyata di dalam rombongan itu terdapat empat orang paderi yang berjubah merah dengan berjalan terhujung-huyung ditengah jalan, seperti orang yang mabuk.

„Bukankah mereka itu rombongan keempat Cuncia? Turut gelagatnya, mereka itu memang sengaja menampakkan diri" diam-diam Ceng Ih terkejut demi melihat keempat paderi itu.

Dalam dia berpikir begitu, keempat Cuncia itu sudah menuju ke tepi pelabuhan. Ceng Ih segera campurkan diri dalam rombongan orang-orang itu menuju kesana. Ai, di tepi laut situ ternyata ramai sekali.

Lima buah perahu besar berjajar-jajar, ditengah-tengahnya terdapat perahu mewah yang biasanya dipakai Bo-ang Sancu. Lampunya yang terang benderang, membuat tubuh perahu- perahu itu seperti di siang hari. Suara seruling, khim dan lain- lain alat tetabuhan, melengking sahut menyahut.

Diburitan dan haluan perahu, semua dijaga oleh pengawal- pengawal yang tegar. Hem, segala keangkeran yang terdapat di Siao-ngo-tay-san, semuanya didatangkan ke Lam-hay.

Begitu tiba di tepi laut, keempat Cuncia itu segera naik ke atas perahu. Sampai disitu barulah rombongan orang-orang itu sama bubaran. Oleh karena tak leluasa kalau sampai kepergok anak buah Bo-ang Sancu, Ceng Ihpun segera pulang ke hotelnya.

„Ho, kiranya Bo-ang Sancu mengerahkan seluruh anak buahnya, maka tak mengherankanlah kalau jejaknya segera ketahuan oleh pihak Lam-hay. Makanya mereka segera menyebar mata-mata utk menyelidiki" kata Ceng Ih seorang diri. „Ini kebenaran sekali bagiku. Selagi mereka tumpahkan perhatian pada rombongan Bo-ang Sancu, dapatlah malam ini aku menyelundup ke markas mereka!"

Melihat persiapan itu, Ceng Ih menduga kalau Bo-ang- Sancu secara terang-terangan akan mengadakan konfrontasi dengan pihak Lam-hay. Buru-buru dia kembali ke hotel.

Diputuskan, selagi pihak Lam-hay pusatkan perhatian kepada pihak Bo-ang, malam nanti dia akan menyelundup masuk untuk membebaskan Tan He Kongcu.

Tiba di hotelnya, Ceng Ih terus langsung menuju kekamar. Oleh karena kamarnya gelap, jadi dia segera menyulut korek. Tapi baru hendak disulutkan ke arah lampu, tiba-tiba ada serangkum angin halus meniup api itu padam.

Didalam kamar tertutup rapat, tak mungkin angin masuk.

Jadi yang meniup tadi terang bukan angin biasa. Dalam kejutnya, Ceng Ih menyurut mundur ........

Ceng Ih yang selalu waspada itu, segera enjot tubuhnya kemuka kamar. Disulutnya pula sebatang korek dan astaga

...... siapakah gerangan yang duduk didalam kamar itu? Begitu keras hati Ceng Ih bergoncang, hingga beberapa jenak dia terlongong-longong!

Dari dalam kamar yang remang-remang cahayanya itu, tiba-tiba terdengar lengking ketawa.

„Mengapa berdiri seperti patung di luar? Dikamar sini gelap seperti setan, lho!" menyusul sebuah nada tinggi berseru.

Seperti tersedot magnet, Ceng Ih menerobos masuk dan memeluk tubuh orang itu erat-erat. Siapakah gerangan dia? Tak lain tak bukan ialah Tan He Kongcu.

Ceng Ih melepaskan rindu dendamnya dengan cumbuan yang mesra. Lama nian kedua kekasih itu kelelap dalam lautan asmara, sampai akhirnya setelah berhasil melepaskan diri dari pelukan Ceng Ih, Tan He lalu menyulut lampu.

„Ayuh, kita makan dulu! Cici Peng mengatakan, tak usah menunggunya!"

Ceng Ih seperti diguyur dengan air dingin. Serentak dia loncat berdiri dan berkata dengan terbata-bata: „Jadi kau .....

adik Peng .... yang membawa kemari? Dia sekarang

dimana?"

Sikap Ceng Ih itu, sudah diduga lebih dahulu oleh Tan He.

Tenang-tenang saja nona itu menyahut: „Mengapa begitu ngotot? Kan lebih baik sambil makan sambil bercerita bukan?" Ceng Ih masih seperti bermimpi. Serambut dibelah tujuhpun dia tak percaya Peng-ji bisa berbuat begitu. Dipandangnya Tan He Kongcu lekat-lekat.

„Mengapa memandang orang begitu macam? Apa wajahku tumbuh bunga?" Tan He menegurnya dengan likat.

„Sudah lama tak berjumpa, aku seperti bermimpi," Ceng Ih tertawa.

Tan He tertawa juga, serunya: „Memang penghidupan itu, seperti impian. Akupun mempunyai perasaan begitu. Kini ayahku hendak menempur Lam-hay, apakah aku harus munculkan diri? Ai, repot ini.”

Ceng Ih pun tak tahu bagaimana harus menyawab.

Mengusulkan Tan He bersembunyi sajakah? Ah, rasanya terlalu ingat pada kepentingan diri sendiri saja. Bo-ang dan Tan He adalah ayah dan anak.

Sebaliknya kalau mengusulkan nona itu munculkan diripun salah. Bo-ang tetap berwatak keras. Setelah pertempuran selesai, tentu dia akan membawa pulang puterinya ke Siao- ngo-tay-san lagi. Dengan demikian, bukankah dia (Ceng Ih) akan menggigit jari pula? Ah, sulit .......

Tan He mengetahui kesukaran Ceng Ih. Dia simpangkan pembicaraan, ujarnya: „Lebih baik tunggu saja bagaimana cici Peng nanti memutuskan. Ai, sejak dari Thay-guan-hu, kita sudah berpisah hampir dua bulan. Untuk jerih payahmu mondar mandir kian kemari, hendak kuhaturkan secawan arak tanda terima kasihku!"

Ceng Ih cepat meneguk habis arak pemberian kekasihnya itu, lalu menanyakan beradanya Peng-ji dan bagaimana nona itu dapat membebaskan Tan He. 

„Cici Peng datang kemaren hari. Selagi orang tak bersiaga, ia menyelundup ke Ngo-ci-san dan membebaskan aku. Sehari tadi kita tunggu kedatanganmu disini, sekalian menjaga diri kalau-kalau Lam-hay Ji-lo melakukan pengejaran. Kemudian setelah rombongan ayahku tiba, barulah kita masuk ke hotel ini ”

Berhenti sejenak, ia melanjutkan pula: „Cici Peng memperlakukan aku dengan baik sekali. Katanya dia hendak membuat kau terkejut besar. Tapi, ai, tadi kau terkejut tidak? Aku sepertinya tak melihat jelas ”

„Apa? Kau tak tahu tadi?!" seru Ceng Ih sembari melangkah maju.

„Sungguh aku tak tahu ai, tadi kau kasar sekali!”

dengan wajah kemerah-merahan Tan He melirik ke arah anak muda itu.

Bertabur warna merah jambu, Tan He makin cantik tampaknya. Kalau Peng-ji ibarat sekuntum bunga teratai yang suci bersih, adalah Tan He laksana bunga bo-tan yang cantik agung. Pikiran Ceng Ih jauh melayang-layang .........

„Selagi orang-orang Lam-hay pusatkan perhatian kepada rombongan ayah, cici Peng kembali menyelundup ke Ngo-ci- san untuk menyelidiki keadaan mamanya", menerangkan Tan He.

Kembali Ceng Ih seperti terpagut ular.

„Jadi seorang diri dia menerjang usahanya? Ayuh, kita lekas menyusulnya!" seru Ceng Ih tergopoh-gopoh. Tan He hanya tertawa tenang, ujarnya: „Memang penglihatan cici Peng itu tajam sekali. Dia bilang, kau ini berwatak terburu-buru seperti kera.”

„Dengarkan, tadi cici Peng pesan wanti-wanti supaya kau menunggu saja disini. Dengan kepandaian yang dimiliki, dia dapat leluasa masuk keluar ke markas Lam-hay, apalagi bala bantuan dari Swat-san, akan segera tiba disini!"

Ceng Ih kagum atas kelihayan nona dari gunung salju itu.

Dalam ilmu gin-kang, dia mengaku kalah dengan nona itu. Lebih baik dia mengindahkan pesan nona itu saja.

Namun waktu mendengar keterangan terakhir dari Tan He, dia terperanjat heran, tanyanya: „Rombongan Swat-san akan kemari? Kan adik Peng tak mampir kesana, masakan mereka mengetahui urusan ini?"

„Apa kau yakin dia tak kesana?" Tan He balas bertanya. Ceng Ih pentang matanya lebar-lebar menatap Tan He:

„Kiranya hanya setan yang percaya kalau dia mampir ke Swat- san. Kalian hendak mempermainkan aku, ya? He, kalau tak bicara terus terang hem!"

Tiba-tiba tangan si nona yang masih dipegangnya itu, segera dipijat keras-keras. Saking sakitnya, Tan He sampai menjerit.

„Ya, ya, aku bilang, lepaskan dulu tanganku ”

Waktu dilepaskan, tangan si nona yang putih halus itu berobah merah. Buru-buru Ceng Ih mengelus-elus dan meniup dengan mulutnya untuk mengurangi rasa sakit. Dia tampak menyesal telah berbuat kasar. „Otakmu memang tolol, jadi tak dapat memikirkan kalau cici Peng mempunyai kuda sakti say-cu-hoa!" kata Tan He.

Namun Ceng Ih masih belum jelas, serunya: „Say-cu-hoa

......, ai, benar! Justeru memang aku hendak menegur adik Peng, mengapa kuda kesayanganku itu diberikan lain orang!"

„Jangan ngelantur! Say-cu-hoa adalah seekor kuda cerdas.

Dia dapat mewakili cici Peng minta bantuan ke Swat-san!"

Ceng Ih makin terheran-heran, serunya dengan kaget:

„Say-cu-hoa dapat mengundang bala bantuan? Apa kuda itu bisa bicara?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar