Panji Sakti Bab 25 : Pertunjukan Yang Gagal

25. Pertunjukan Yang Gagal

„Benar, mengapa?"

Wanita itu menghela napas, serunya: „Siangkong, sungguh lucu kata-katamu itu. Telah kukatakan tadi, bahwa kita terpaksa pasrah nasib melihat Siao-kui diculik. Kami tak mengharap kau melakukan sesuatu yang berbahaya untuk kami. Ketahuilah, bahwa sejak partai agama itu berdiri, belum pernah ada seorang yang pulang selamat waktu coba menyerbu mereka. Walaupun besar sekalipun kecintaan kami kepada anak, namun kami tak ingin kau menjadi mayat hidup yang menari tarian tengkorak!"

Ceng Ih geleng-geleng, ujarnya: „Dengarkanlah sepatah kataku ini sajalah. Kong-tong-kau itu hanya sebuah partai agama jahat. Apa yang dikatakan ilmu gaib itu, hanyalah omong kosong belaka untuk menipu orang!"

„Salah besar!" teriak wanita itu dengan ngotot, „Siangkong mengatakan mereka itu sebuah partai agama jahat, itu aku tak hendak membantah. Juga kau tentunya tak mau percaya segala cerita tentang ilmu gaib yang tiada buktinya itu, bukan? Aku sendiri sih belum pernah melihat, tapi beberapa orang didesa kami, pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Orang-orang itu tiada hubungannya sama sekali dengan Kong- tong-pay, jadi rasanya mereka tak perlu berbohong. Hampir keterangan yang mereka berikan itu, tiada berbeda satu sama lain bahwa orang Kong-tong-kau itu dapat memanggil hujan menurunkan angin dan menyebar kedele menjadi serdadu!"

Sepintas kedengaran masuk diakal, logika (nalar) yang dikemukakan oleh si wanita dusun itu. Ceng Ih hanya geleng- geleng kepala saja. Saat itu, desa Sip-li-poh sudah tak jauh letaknya. Memandang ke atas, Ceng Ih dapatkan matahari sudah condong disebelah barat.

Tiba-tiba dia mendapat pikiran bagus. Kalau hanya dengan perkataan saja, mungkin susah untuk menyadarkan pikiran wanita itu. Paling baik harus mengunjukkan sedikit demonstrasi agar matanya terbuka.

„Nyonya, masih ada sepatah kata yang hendak kukatakan, entah kau dapat mempercayainya, tidak?" katanya sambil hentikan langkah.

„Katakanlah, siangkong!" wanita itupun tertarik berhenti juga.

Kata Ceng Ih tertawa: „Tetap kukatakan ilmu gaib dari Kong-tong-kau itu bohong. Kalau kau tak percaya, akupun bisa menggunakan ilmu gaib semacam itu, percaya tidak?"

„Ini kalau hanya aku seorang yang percaya, apa

gunanya?

Kalau dapat menarik kepercayaan orang banyak, barulah

......."

Jadi harus mengundang orang banyak untuk menontonnya, bukan?" tanya Ceng Ih.

Wanita itu mengiakan. 

„Baik, sekarang kau boleh lebih dulu menyaksikan aku naik keudara mengendarai awan!"

Sejenak memandang ke arah si wanita, cukup dengan menekankan kaki kebumi, tubuh Ceng Ih segera melayang keudara sampai empat tombak tingginya. Sebenarnya yang digunakan itu ialah jurus it-ho-jong-thian atau burung bangau menerobos kelangit.

Tapi karena ilmunya ginkang arnat tinggi, jadi gerakannyapun mengagumkan sekali. Kalau dia meluncur turun dengan lurus, tentu tak sesuai dengan janjinya tadi ialah hendak mengendarai awan. Maka ketika berada diudara, segera dia gunakan jurus liu-si-sui-hong atau ranting pohon liu mengikut angin. Bagaikan seorang dewa turun dari langit, dia melayang perlahan-lahan turun kebumi.

Benar dua buah gerakan itu, boleh dikata setiap orang persilatan tentu dapat melakukan. Tapi untuk mencari orang yang mampu bergerak seindah gerakan Ceng Ih itu, sungguh tak mudah. Lebih-lebih yang menyaksikan demonstrasinya itu hanya seorang wanita desa yang tak mengerti ilmu silat, jadi tentunya akan heran setengah mati.

„Bagaimana pendapatmu dengan ilmuku mengendarai awan tadi?" tanya Ceng Ih.

Diluar dugaan, wanita itu sungguh bandel sekali. Merenung sejenak, ia menyahut: „Bagus sih bagus, tapi tak begitu mengherankan!"

„Tidak mengherankan ? kejut Ceng Ih bukan kepalang.

Kalau yang mengatakan itu supehnya atau Swat-san Lojin, mungkin dia takkan begitu kaget. Paling-paling dia hanya tertawa saja. Tapi justeru yang rnengatakan itu seorang wanita desa yang tak mengerti nol puntul ilmu silat. Ai, bo- hwat benar ya .......

Sekilas menimang, Ceng Ih mengambil kesimpulan.

Pertama. mungkin wanita itu sudah pernah menyaksikan ilmu mengentengi tubuh orang lain yang lebih lihay dari dia. Kedua, memang wanita itu sama sekali tak mengerti ilmu silat, jadi ibarat ‘orang bermain khim dihadapan seekor kerbau'.

Ditatapnya wanita itu lekat-lekat sampai beberapa jenak.

Melihat sianak muda itu tak puas, dengan tersenyum getir, wanita itu memberi penjelasan: „Sungguh aku tak mengira bahwa siangkong, ternyata ahli dalam ilmu silat. Tapi kalau mengatakan hal itu sebagai ilmu gaib mengendarai awan, sungguh siangkong hendak membohongi aku seorang wanita desa!”

„Jadi kau dulu sudah pernah menyaksikannya?”

„Benar, ialah sejak kedatangan orang-orang Kong-tong-kau itu kemari. Hanya saja gerakan mereka tak seindah dan setinggi loncatan siangkong tadi!"

Kedok terbuka. Ceng Ih tertawa kemalu-maluan, ujarnya:

„Tadi kau mengatakan orang Kong-tong-kau dapat menyebar kedele menjadi serdadu, nah, sekarang saksikan aku hendak mengujuk sedikit ilmu 'malaekat menjebol pohon'!"

Menghampiri sebuah pohon siong yang besarnya sama dengan garis tengah sebuah piring, Ceng Ih segera angkat tangan kanan. Dengan gerak tarik-dorong dalam jurus kay-cu- na-si-mi, pohon itu bergontai keras. Dan cukup tiga kali dia lancarkan pukulan maka pohon itupun terjebol berikut akarnya. Ternyata kali ini, wanita itu belum pernah menyaksikan demonstrasi kekuatan yang sedemikian hebatnya. Dengan terkejut, dia berseru: „Hai, siangkong ternyata memiliki tenaga yang sedemikian besarnya. Tampaknya siangkong ini hanya seorang anak sekolahan yang lemah!”

Ceng Ih membantah: „Benar, masakan seorang lemah seperti aku ini, dapat menjebol sebuah pohon besar, yang kugunakan tadi bukan tenaga, melainkan sebuah ilmu gaib 'malaekat menjebol pohon’!''

„Malaekat dimana adanya malaekat itu? Mengapa aku

belum pernah melihatnya?" seru wanita itu dengan tak habis herannya.

„Apakah matamu lamur?" Ceng Ih balas bertanya.

„Lamur? Benar, aku memang lamur. Tapi heran mengapa mata lamur dapat menyaksikan pertunjukan ilmu gaib dari Kong-tong-kau?”

Ceng Ih tertawa menyahut: „Itulah dia! Bukankah tadi kukatakan bahwa Kong-tong-kau itu sebuah partai agama jahat! Bangsa malaekat dan dewa, tidak sembanang orang bisa melihatnya!"

„Tapi bukankah tadi siangkong mengatakan bahwa harus membuktikan dengan mata kepala?”

Ini senjata makan tuan namanya. Pertanyaan wanita itu telah membuat Ceng Ih bungkam. Sejenak merenung, kembali dia mendapat pikiran.

Dengan sengaja bersikap sungguh-sungguh, berkatalah dia,

„Tadi kau mengatakan bahwa orang Kong-tong-kau itu mempunyai barisan mayat hidup yang dapat menari tarian tengkorak. Heran benar aku. Bangsa malaekat kau tak dapat melihat, mengapa bisa melihat mayat hidup menari?"

„Apakah ada manfaatnya kalau aku berdoa?"

„Coba saja, bagaimana peruntunganmu itu!”

Wanita dusun itu segera meramkan mata, berdoa. Ceng Ih menghampiri kesebuah batu yang terletak ditepi jalan. Dengan daun, dibersihkan permukaan batu besar itu. Kemudian dipungutnya lima butir batu sebesar telur itik lalu dijajar menjadi sebuah lingkaran kecil.

Habis itu, sembari menunjuk ke arah lingkaran batu-batu itu, dia tertawa berseru: „Kuharap kau dapat melihat malaekat. Ai, cobalah lihat dia sudah datang!"

Menerima aliran Iwekang dari jari Ceng Ih itu, kelima butir batu itu bergelundungan diatas permukaan batu besar. Dan sewaktu Ceng Ih tambahkan saluran lwekang untuk menyedotnya, maka batu-batu kecil itu segera „terbang" ke atas. Pada lain kejap, kembali turun ke atas permukaan batu besar lagi dan tak henti-hentinya berputar-putar.

Wanita itu tetap tak melihat sesuatu malaekat, tapi apa yang disaksikan diatas permukaan batu besar itu, membuatnya kaget terheran-heran. Masakan batu-batu kecil dapat berlincahan menari? Matanya lekat-lekat memandang tarian istimewa itu.

Kini Ceng Ih yakin bahwa wanita itu sudah terpikat perhatiannya. Tangan dihentikan dan bertanyalah dia:

„Bagaimana, apakah cukup bagus tarian para malaekat itu?" Menyahut sriwanita dengan tertawa: „Lihat sih melihatnya tapi dasar mataku lamur, jadi apa yang kulihat itu hanyalah lima butir batu kecil saja."

„Nah, bagaimana anggapanmu tentang ilmu gaib yang kupertunjukkan itu?"

„Oh uh, tidak salah, tidak salah!"

„Katakan baik atau tidak, mengapa bilang tidak salah! Apakah kau hendak mengatakan bahwa ilmuku tadi tak sebagus ilmu orang Kong-tong-kau?" tanya Ceng Ih dengan penasaran.

„Uh ”

„Itulah sebabnya maka kukatakan bahwa ilmu gaib dari Kong-tong-kau itu bohong. Sekarang kau percaya tidak?"

„Hem ”

„Rupanya kau masih belum seratus persen percaya omonganku, bukan?"

Berkata wanita itu dengan wajah bersungguh, „Siangkong, bahwa kau juga paham ilmu gaib, itu aku percaya. Tapi kalau kau mengatakan bahwa ilmu gaib orang Kong-tong-kau itu palsu, bukan melainkan aku sendiri, pun setiap hidung tentu tak mau percaya!"

„Kuberitahu dengan sejujurnya, bahwa ilmuku gaib tadi sebenarnya bohong belaka!" teriak Ceng Ih dengan bernapsu.

„Ya, aku percaya omongan itu, karena sama sekali aku tak menampak malaekat dan dewa. Jadi sudah tentu bohonglah!" „Nah, kalau kukatakan ilmu gaib dari orang Kong-tong-kau itu juga palsu, mengapa tak mau percaya?"

„Taruh kata benar palsu, toh kepalsuannya itu masih jauh lebih baik dari ilmumu itu. Karena pertunjukan mereka itu, setiap orang dapat melihatnya. Ah, terserah sajalah kalau kau tak percaya," sahut si wanita.

Kewalahan mengurus wanita yang tolol keras kepala itu, Ceng Ih geleng-gelengkan kepala.

„Aku tetap tak sudi percaya!" akhirnya berteriaklah dia dengan keras untuk melonggarkan kemengkalan hatinya.

Namun dengan yakinnya, wanita itu berkata: „Siangkong, terserahlah padamu. Tapi jika nanti kau sudah menyaksikan sendiri, barulah kau mempercayai aku si wanita dusun ini.

Kebetulan, hari upacara sembahyangan bendera itu, sudah hampir tiba, tunggu sajalah nanti!"

Terpaksa Ceng Ih mengangguk. Demi dilihatnya perempuan itu hendak berjalan lagi, buru-buru dia menghadangnya.

„Bibi, kau menghendaki aku menolong Siao-kui tidak?" tanyanya.

Juga perempuan itu dengan putus asa menyahut: „Turut perasaan seorang ibu terhadap anaknya, mengapa aku tak menghendaki? Tapi andaikata siangkong memiliki ilmu kesaktian, juga orang-orang Kong-tong-kau itu tak nanti hentikan tindakannya sewenang-wenang terhadap rakyat."

Perempuan dusun itu menjudahi kata-katanya dengan isak tangis. „Jika kaum Kong-tong-kau itu dihancurkan semua, tentu mereka tak nanti menumpahkan dendam pada rakyat. Bibi, dimanakah rumahmu itu?"

Menunjuk ke arah desa Sip-li-poh, wanita itu menerangkan bahwa rumahnya itu terletak di sebelah kanan jalan rumah nomor dua. Kemudian ia menegas apakah anak muda itu benar-benar hendak berusaha menolong puterinya.

„Aku toh tidak meminta pembayaran, mengapa berbohong?” balas Ceng Ih.

„Siangkong, aku sungguh kuatir ”

Kuatir aku jadi mayat hidup dan menari tarian tengkorak bukan?" tukas Ceng Ih.

Wanita itu mengiakan.

„Aku tetap akan berusaha menolong Siao-kui, tak usah kau kuatir terhadap diriku. Hanya saja aku hendak meminta sedikit bantuanmu, entah boleh tidak!”

„Minta bantuan?" seru wanita itu dengan tekejut.

„Ya, sederhana dan mudah sekali. Ialah asal sejak hari ini kau jangan menyanjung-nyanjung orang Kong-tong-kau memiliki ilmu gaib yang sungguh-sungguh hebat!"

Wajar sekali wanita itu menyahut: „Untuk melarang aku mengatakan orang Kong-tong-kau itu tidak sakti, itu sih boleh. Tapi kalau suruh aku mengatakan kau lebih sakti dari mereka, wah, sungguh aku tak berani!"

Dengan kewalahan, Ceng Ih menegaskan: „Baiklah, asal kau jangan lagi mempropagandakan mereka, itu sudah cukup. Tentang pujian untuk diriku, tunggu saja sehabis aku herhasil menolong Siao-kui dan menghancurkan kaum Kong-tong-kau itu!"

Dengan napas longgar, si wanita dusun mengiakan.

Walaupun belum berbuat apa-apa, namun Ceng Ih sudah merasa terhibur juga. Dia ambil putusan hendak mengunjuk lagi sebuah demonstrasi untuk membikin kaget hati perempuan itu.

„Bibi, tu lihat, siapa yang datang kemari itu?" serunya sembari menunjuk ke arah desa.

Tersipu-sipu perempuan itu berpaling dan melihat sampai beberapa saat. Serunya: .,Siangkong, dimana ya? Mengapa tak kelihatan ada orang datang?"

Kiranya sewaktu perempuan itu berpaling kebelakang dan mengawasi ke arah yang ditunjuk Ceng Ih, diam-diam anak muda itu sudah enjot tubuhnya ke atas sebuah dahan pohon besar.

Agar jangan dapat dilihat si wanita, dari situ dia terus menyusup ke atas dan bersembunyi diantara daunnya yang lebat. Kini dia memandang kebawah untuk menunggu bagaimana gerak gerik perempuan itu nanti.

Karena tak mendapat penyahutan, cepat-cepat wanita itu berpaling lagi kebelakang dan .......

„Ai, siangkong ..... mana dia ..... sungguh aneh "

serunya dengan kaget. Matanya menyapu kesekeliling tempat situ, namun tetap tak dapat melihat anak muda tadi. Dengan putus asa, barulah dia lanjutkan perjalanannya menuju ke Sip- li-poh lagi. Kala itu rembulan susut menampilkan wajahnya di angkasa.

Angin malam berkesiur mengantar bau harum dari bunga- bunga yang tumbuh di sekitar hutan situ. Tak berapa lama, wanita itupun lenyap dari pemandangan.

Ceng Ih tak menduga sama sekali., bahwa perjalanannya kali itu, secara kebetulan telah kesamplokan dengan orang- orang Kong-tong-kau. Perdebatan singkat dengan perempuan dusun tadi, sedikit banyak telah menambah pengertiannya terhadap kaum Kong-tong-pay.

Turun dari tempat persembunyiannya. Ceng Ihpun segera lanjutkan larinya menuju ke selatan. Dia merasa geli-geli mengkal, karena dalam dua hari ini dia hanya melakukan perjalanan sejauh tujuh ratusan li saja.

Kalau begitu naga-naganya, entah berapa lama dia dapat mencapai Lam-hay nanti. Saking hendak mengejar kelambatan perjalanannya, sampai lupa dia akan rasa lapar. Yang berkecamuk dalam benaknya, hanyalah berlari secepat mungkin.

Ditingkah cahaja remang dari rembulan susut, tampak sesosok tubuh meluncur pesat laksana terbang. Cepat sekali dia sudah melalui Keng-seng dan Po-hong. Pada dua tempat ini, dia tak mau berhenti tapi terus menyusur sepanjang jalan.

Dalam perjalanan itu, dia tak menjumpai gangguan apa- apa. Kalau kemarin malam karena dihadang Hoa-hoa Kongcu itu, dia sampai terlambat dalam perjalanan, adalah kini karena tak menjumpai barang seorang makhluk, dia berbalik merasa kesepian. Memang manusia itu makhluk yang aneh, sukar dituruti kemauannya.

Seorang diri berlari ditengah malam itu, telah membuat pikiran Ceng Ih melamun. Kejadian beberapa jam yang lalu tadi masih segar dalam ingatannya. Teringat dia, bahwa itulah yang pertama kali dia pamerkan kepandaian pada seorang wanita tadi itu.

Namun dalam gelinya itu dia masih mendendam kemengkalan. Masakan sudah ngotot dia unjuk demonstrasi, tapi si wanita dusun itu tetap tak percaya.

Beberapa menit dia gunakan untuk adu lidah, tetap wanita itu mengangkat pundak. Kesimpulannya, wanita desa itu tetap memberi ulasan bahwa kepandaiannya itu tetap tak dapat menyamai kelihayan orang Kong-tong-kau.

Benarkah begitu? Jika demikian halnya, dia tetap kalah lihay dengan mereka. Tapi sekilas teringat dia akan kata-kata yang sering jadi buah bibir Peng-ji, yakni „belum tentu".

Habis kalau bukan dalam ilmu silat, tentu benar apa yang dikatakan si wanita desa tadi bahwa orang Kong-tong-kau itu memang memiliki ilmu gaib untuk memanggil hujan, angin dan menjulap serdadu-serdadu kedele. Amboi, biar bagaimana tak nanti dia mau percaya akan cerita nonsense semacam itu.

Sekalipun sudah menggunakan waktu beberapa jam tapi tetap gagal untuk meyakinkan seorang wanita desa, membuktikan bahwa pengaruh dan propaganda yang dilakukan oleh kaum Kong-tong-pay itu benar-benar lihay sekali. Sedemikian hebat organisasi partai itu, hingga seorang ibu yang anaknya diculik masih mandah terima nasib dan mengatakan bahwa itu memang sudah suratan takdir.

Tapi mengapa hu-ciangkau Kong-tong-kau si Peh-siu-su setiap setengah tahun melakukan penculikan seorang anak perawan? Kalau dia itu seorang gila paras cantik, bukankah ia memiliki Coa Leng -- ibu Peng-ji -- yang kini sudah menjadi isterinya lagi? 

Hai, jangan-jangan kaum Kong-tong-kau itu tengah mengadakan peyakinan ilmu sakti yang disebut thiat-kim-kong (si malaekat besi) atau thong-lo-han (malaekat tembaga), ialah ilmu-ilmu lindung yang tak mempan senjata tajam! Atau apakah mereka itu sedang melakukan sesuatu yang sangat terahasia?

Anehnya, mengapa penculikan itu dilakukan setengah tahun sekali? Ya, mengapa tidak setiap tiga bulan atau sembilan bulan atau satu tahun saja?

Mungkin karena pada setiap setengah tahun mereka mengadakan upacara sembahyangan bendera, jadi penculikan itu pun dilakukan setiap setengah tahun. Tapi mengapa bersamaan waktunya? Apa hubungannya menyembahyangi bendera dengan penculikan anak gadis itu? Hem, ini sungguh suatu teka teki.

Sebulan lagi, Kong-tong-kau akan mengadakan sembahyangan besar. Ingin dia datang melihatnya untuk mengetahui bagaimana ilmu gaib mereka itu, sehingga begitu berpengaruh sampai dapat menguasai pembesar negeri dan mengelabuhi mata rakyat. Dan perlulah kiranya dia menyelidiki sepak terjang partai itu di dunia persilatan.

Swat-san Lojin dan puterinya, rasanya tentu takkan berani berbuat apa-apa terhadap partai Kong-tong, dikarenakan mereka masih memerlukan keterangan tentang diri Coa Leng. Kalau dia coba-coba menggempur partai itu, satu-satunya orang yang mengeritiknya hanyalah supehnya. Orang tua itu tentu akan menasehatinya, agar dia jangan melibatkan diri dalam permusuhan dengan gerombolan yang berpengaruh besar. Tapi dia selalu ingat akan amanat Panji Sakti. Panji Sakti adalah tempat bernaung dari seluruh kaum persilatan, menegakkan keadilan membasmi kejahatan!

Kong-tong-kau terang adalah sebuah perkumpulan yang terlarang karena sepak terjangnya yang ganas merugikan kepentingan rakyat. Sudah selayaknya kalau dia turun tangan membereskan mereka. Demikian berbagai lamunan membayangi benaknya. Diam-diam dia tersenyum puas sendiri, suatu kepuasan yang hanya dapat dirasakan oleh seorang pewaris Panji Sakti saja.

Dalam satu malam itu, Ceng Ih telah dapat menempuh perjalanan sejauh delapan ratusan li. Disebelah muka sana adalah gunung ke-kong-san yang menjadi tapal batas antara propinsi Holam dan Hopak. Melintasi gunung itu, akan tibalah dia kewilajah Hopak.

Dalam pagi yang masih terbungkus dengan kabut itu, jalanan tampak masih remang-remang. Mendaki ke atas gunung, Ceng Ih terpaksa pentang mata lebar-lebar mengawasi jalan yang hampir tak kelihatan itu sembari jinjing sebelah tangan kemuka dada untuk melindungi diri.

Ketika hampir memasuki sebuah hutan tiba-tiba dia mendengar suara helaan napas. Sungguh kejut Ceng Ih bukan kepalang.

Dihentikan langkahnya dan mendengari dengan seksama.

Tapi karena suara helaan napas itu datangnya begitu mendadak serta hanya sebentar saja, jadi tak dapat dia mencari tahu arah datangnya

Aneh, dalam hari sepagi itu masakan sudah ada orang menghela napas duka. Dari nadanya teranglah itu seorang tua. Dibawah siur angin pagi, semangat Ceng Ih dirasakan segar.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar