Panji Sakti Bab 20 : Berjalan Di Waktu Malam

20. Berjalan Di Waktu Malam

„Nanti begitu sudah melalui Thay-goan-hu, kau ambil jalan Ke Tong-kwan terus menuju Swat-san, sementara aku mengambil jalan ke selatan menuju Lam-hay. Aku akan menanti kedatangan kalian ditepi laut. Mudah-mudahan rencana kita ini berhasil. Kalau dapat menghindari bentrokan dengan pihak Lam-hay-pay, itulah yang paling baik!"

„Apakah kau yakin akan dapat tiba di Hay-go lebih dahulu dari aku?" masih Peng-ji menggodanya.

Ceng Ih menyahut tertawa: „Walaupun ilmuku gin-kang tak hebat, namun dengan berjalan siang malam, rasanya tentu tak nanti kalah cepat dari kau yang harus membelok mampir ke Swat-san itu. Nah, kita nanti berjumpa lagi di Hay-go-lah!"

„Baik," kata Peng-ji, „say-cu-hoa aku yang pakai bukan?" Ceng Ih mengiakan. Tampaknya Peng-ji masih enggan, seperti ada sesuatu yang dipikirkan. Pada lain kilas, tiba-tiba ia berkata: „Kalau tak salah, dalam rencana kita Ke Lam-hay itu, kita masih mempunyai seorang pembantu yang boleh diandalkan!"

„Siapa?" buru-buru Ceng Ih menegas.

Kini giliran Peng-ji yang main berahasia. „Coba saja tebaklah!"

Merenung sebentar, Ceng Ih membuka mulut: „Tentu Bo- ang Sancu bukan?”

„Ai, kau juga seorang setan cerdik" seru Peng-ji tertawa mengikik, „ikatan-kasih ayah dan puterinya, masakan dia tak mau turun gunung!”

„Amboi! Kalau semuanya itu terjadi, Lam-hay pasti akan ramai Bo-ang Sancu bersama Chit-Cincu, keempat Cuncia dan kedua Sian-ong boleh mengurus keempat thian-ong, sementara kita akan berhadapan dengan Lam-hay Ji-lo, tentu banyak menghemat tenaga!" kata Ceng Ih dengan kegirangan.

„Karena itulah maka lebih baik kau jangan terburu-buru. Soalnya apakah hal itu bisa terjadi? Kalau dapat, wah tentu akan gempar juga," Peng-ji memberi komentar.

Ceng Ih hanya tertawa gelak-gelak.

„Soalnya apakah dia dapat diajak tidak? Karena itu sebaiknya kau kembali ke Siao-ngo-tay-san saja untuk mengundangnya. Kalau berhasil, tentu akan lebih gempar lagi, percaya tidak?" Ceng Ih tertawa gelak-gelak, serunya: „Percaya, percaya!"

Dengan ucapan itu, seolah-olah dia sudah mengakhiri perundingan. Sebenarnya kedua anak muda itu sama mempunyai watak keras. Masing-masing sama memaklumi, jadi walaupun dalam hati, masih menyimpan sesuatu rencana, namun mereka lebih suka tinggal diam karena mengetahui toh percuma saja untuk adu mulut.

Adalah karena keduanya tak mau mengutarakan simpanan hatinya itu, kelak bakal menimbulkan suatu peristiwa besar yang menggoncangkan. Kalau pada saat itu mereka menumpahkan isi hatinya, tentu bakal tak mengalami kejadian-kejadian pahit dikemudian hari ...........

Keesokan harinya, say-cu-hoa melanjutkan perjalanan, dengan masih membawa dua penumpang. Hanya kali ini Peng-ji duduk di muka Ceng Ih dibelakang. Jalanan makin ramai dengan orang. Mereka sama memandang dengan perasaan mengiri akan kedua muda mudi yang boncengan diatas kuda itu.

Setiap perpisahan itu, bagi orang yang tersangkut, tentu dirasakan cepat sekali datangnya. Melintasi Thay-goan-hu, tibalah mereka dikota Tong-kwan. Sesudah kota itu, mereka akan berpisahlah. Lebih dahulu Ceng Ih ajak sang kekasih mengisi perut disebuah rumah makan yang memakai merek Cui-sian-ki (tempat dewa-dewa mabuk).

Kali ini Peng-ji melanggar pantangan dan minum arak.

Karena tak biasa wajahnya menjadi kemerah-merahan. Dalam keadaan dimana wajahnya makin tampak cantik itu, si dara bertanya: „Engkoh Ih, tak lama lagi kita akan berpisah.

Sebelum itu, hendak kutanya lagi padamu, apakah kau benci padaku?" Ceng Ih sedang terlongo-longo menikmati kecantikan wajah si dara, ketika mendengar pertanyaan itu, dia menjadi terkejut, sahutnya: „Mengapa aku benci padamu, ah, jangan melantur!"

„Ah, semoga Allah memberkahi orang yang tak berdosa. Selekas dapat menolong Tan He Kongcu, hatiku baru dapat tenteram!" kata Peng-ji dengan nada bersungguh.

„Untuk menahan hawa udara di Swat-san yang begitu dingin, harap adik memakai mantel ini. Karena kau tak dapat melupakan Tan He Kongcu, biarlah mantel ini kuserahkan padamu untuk peringatan!" kata Ceng Ih.

Dalam detik-detik perpisahan itu, Peng-ji tak dapat menahan cucuran air matanya. Ceng Ih buru-buru menghiburnya dan mengatakan kalau perpisahan itu hanyalah untuk sementara waktu saja. Begitulah setelah selesai menikmati makan-perpisahan itu, keduanya lalu keluar dari rumah makan situ.

Dengan berat hati, Peng-ji melangkah ke atas say-cu-hoa. Begitu sang mulut dengan nada rawan mengucapkan selamat tinggal, say-cu-hoa pun segera ayunkan langkahnya mencongklang ke arah barat.

Ceng Ih sampai sekian saat masih berdiri tegak terpaku ditempat. Kini baru dia insyaf bagaimana rasanya berpisah dengan orang yang dikasihinya itu.

„Berpisah mati, memang berat. Tapi lebih berat pula adalah bercerai hidup.” Ucapan itu diakui kebenarannya oleh Ceng Ih.

Karena jalanan amat ramainya, jadi Ceng Ih terpaksa tak leluasa gunakan ilmu berlari cepat. Dia ikut dengan orang- orang itu, berjalan pelahan-lahan. Tapi beberapa waktu kemudian dia merasa, berjalan seperti itu akan menghabiskan waktu saja. Kalau sampai Peng-ji nanti lebih dahulu tiba di Hay-go, dia pasti akan ditertawainya.

„Ah, mengapa aku tak melakukan tian-to-kian-gun (menjungkir balikkan dunia), siang mengasoh malam berjalan. Dengan begitu, baru aku dapat mengejar waktu!" akhirnya dia mengambil putusan.

„Tapi apa salahnya berjalan disiang hari, toh dapat menikmati pemandangan alam yang indah untuk mengisi kesepian? Ya, ya, aku mengambil ketetapan begitu saja, ketetapan itu!" karena melamun, dia kedengaran berkata dengan nada agak keras kepada dirinya sendiri, lupa kalau sedang berjalan diantara orang banyak.

Dan karena tak sadar itu, kakinyapun makin melangkah cepat, Hai, orang terbang atau melaekatkah itu? Demikian orang-orang sama ribut-ribut demi melihat Ceng Ih berjalan seperti terbang itu.

Namun Ceng Ih tetap tak merasa, kakinya menderap lincah. Tiba-tiba telinganya mengiang tersusup seruan seseorang: „Ya, ya, aku mengambil ketetapan itu!"

Anehnya orang-orang itu seperti tak mendengar seruan itu, hanya Ceng Ih seorang saja. Dia terbeliak kaget. Bukankah kata-kata itu, dia yang mengatakannya tadi? Mengapa ditirukan orang dengan gembar gembor begitu kerasnya.

Cepat dia mengawasi orang-orang yang berada disebelah muka dan belakangnya.

Dari beberapa belas orang yang berada didekatnya situ, empat orang memikul dagangannya, tiga orang saudagar yang sama menjinjing kopor yang berat. Hanya ada seorang pemuda yang naik kuda dan masih ada lagi sepasang suami isteri petani. Jadi diantara ke sebelas orang itu, tiada yang mencurigakan.

Menengok ke arah belakang sana, juga ada serombongan belasan orang berjalan. Tapi kalau seruan keras yang memekakkan telinganya tadi, mereka yang melakukan, itu terang tak mungkin.

Ah, mungkin hanya kedengar-dengaran sajalah tadi dia itu.

Dia tertawa sendiri lalu teruskan langkahnya. Melihat gerak gerik anak muda yang sebentar seperti diburu setan kemudian sebentar lagi kendorkan langkah itu, orang-orang menjadi keheranan. Hanya karena mereka tak kenal satu sama lain, jadi merekapun tak mau mencari tahu lebih jauh.

Namun karena mata sekalian orang diarahkan padanya, Ceng Ih menjadi kemerah-merahan juga. Saat itu orang tua yang berpakaian seperti saudagar dan menjinjing kopor berat tadi, rupanya menjadi lelah. Diletakkan kopor itu ditanah untuk beristirahat sebentar. 

Melihat itu timbul kasihan Ceng Ih. Dihampiri orang tua itu dan menyatakan suka membantunya membawakan untuk beberapa waktu.

„Ah, terima kasih, tak usah Siao-ko capekan diri. Losin hanya akan menuju ke Ciang-gwan saja, tak apalah," sahut orang tua itu.

„Ai, lo-jin-ke jangan sungkan," Ceng Ih tertawa, „biar kubawakan sebentar rasanya tak menjadi halangan. Bukankah diempat penjuru lautan ini, semua ”

Ceng Ih tertegun tak dapat meneruskan kata-katanya.

Saudagar itu sudah tua, rasanya tak pantas dia menyebutnya sebagai saudara. Dia hanya buru-buru mengangkat kopor si saudagar, serunya: „Lo-jin-ke, mari kita berjalan lagi!"

Melihat keramahan pemuda itu, si orang tuapun tak mau banyak bersungkan lagi. Dia segera berjalan mengikut dari belakang.

Baru saja saudagar tua itu berkata atau telinga Ceng Ih kembali mengiang mendengar suara orang tertawa, kemudian terdengarlah lengking keras dari orang yang berseru tadi:

„Menjungkir-balikkan dunia (tian-to-kian-gun), akupun hendak 'menjungkir-balikkan dunia'!"

Buru-buru Ceng Ih berpaling kebelakang lalu bertanya kepada si saudagar tua: „Lo-jin-ke, perlu apa kau hendak ber- tian-to-kian-gun itu?"

Saat itu mulut si orang tua masih terbuka tertawa. Ditanya Ceng Ih secara begitu mendadak, dia menjadi gelagapan, sahutnya: „Siao-ko, apa katamu? Kaukatakan aku hendak menjungkir ...... balikkan dunia?"

Melihat kesungguhan wajah orang, Ceng Ih insyaf keliru alamat. Dia tertawa, ujarnya: „Lo-jin-ke, sehabis kau mengatakan beruntung karena mendapatkan seorang saudara kecil seperti diriku itu tadi, apakah kau mengatakan apa-apa lagi? Adakah kau mendengar suara apa-apa?"

Kepala menggeleng, jenggot bergontai, saudagar tua itu menyahut: „Tidak, tidak!"

Menilik sikapnya, terang kalau orang tua itu mengatakan yang sesungguhnya. Ceng Ih makin bercekat. Kalau seruan yang pertama tadi, masih dikiranya hanya kedengar-dengaran saja, seruan yang kedua ini terang tak mungkin begitu. Ya, jelas sekali tadi telinganya menangkap suara itu. Nyata sudah, orang itu hebat sekali kepandaiannya. Tapi siapakah gerangan dia? Kawan atau lawankah?

Orang dapat mengetahui dirinya, sebaliknya dia tak mampu melihat orang itu. Ah, ini berbahaya, Ceng Ih mulai gunakan kewaspadaan. Dengan kerahkan seluruh perhatiannya, dia perhatikan gerak gerik orang-orang yang berada disebelah muka dan belakang itu.

Saat itu sepasang suami isteri petani tadi sudah membelok disebuah tikungan, jadi kini hanya tinggal delapan orang kawan perjalanannya itu. Menilik perwujutan mereka itu, tak mungkin ada yang berkepandaian tinggi. Lengking suara tadi, adalah menggunakan ilmu lwekang tinggi yang disebut coan- seng-ji-bi atau menyelundupkan suara kedalam lebatan.

Melihat perobahan sikap Ceng Ih, saudagar tua itu tertawa:

„Siao-ko, mengapa tampaknya kau begitu gugup, apa kau sakit? Losiu sedikit-sedikit, mengerti ilmu pengobatan. Apa kau suka kuperiksa?"

„Harap lo-jin-ke jangan sibuk. Aku tak merasa sakit, melainkan karena memikirkan kejadian yang aneh tadi," kata Ceng Ih.

Begitulah mereka melanjutkan perjalanan dengan sebentar- sebentar tukar pembicaraan dan tertawa-tawa. Tiada terasa, tibalah sudah kota Ciang-gwan itu. Dengan mengucapkan terima kasih, saudagar tua itu menerima kembali kopornya yang berat, lalu pamitan pada Ceng Ih.

Hari mulai petang, lampu mulai dipasang. Karena mengambil keputusan hendak ber-tian-to-kian-gun (berjalan diwaktu malam), maka Ceng Ih pun singgah dahulu dikota tersebut. Teringat dia, orang misterius (dalam rahasia) itu, pun akan ber-tian-to-kian-gun. Dengan begitu dapatlah malam nanti dia mengetahui siapa gerangan orang itu. Lawan atau kawankah dia itu.

Entah secara kebetulan atau tidak, ketika pemuda itu habis makan dan siap akan membayar rekeningnya, dia menyadari ada sepasang mata menyorot ke arahnya. Berpaling ke arah meja disebelah kanannya, didapatinya yang duduk disitu bukan lain ialah pemuda pelancong yang naik kuda tadi. Juga pemuda itu tengah siap-siap membayar rekening makanannya.

Karena tak menyukai kaum pemuda pelancongan yang berpakaian secara mewah-mewahan, sejak dalam perjalanan siang tadi, Ceng Ih tak mau mengenali pemuda itu. Tapi kini karena orang telah mengawasinya begitu rupa, terpaksa mengangguklah dia kepada pemuda itu. 

Pemuda itupun bersenyum balas mengangguk. Tanpa mengucap, mereka sudah berkenalan.

Keluar dari rumah makan itu, haripun sudah gelap, jalanan sepi dengan orang. Begitu keluar dari kota Ciang-gwan tersebut, Ceng Ih segera gunakan ilmu berjalan cepat.

Bagaikan kilat dia "terbang" ke kota Lok-an.

Selama merasa lebih rendah dari Swat-san Lojin, apalagi karena mengandalkan kuda say-cu-hoa, Ceng Ih tak mau gunakan ilmu gin-kangnya. Kini begitu digunakannya, ternyata luar biasa cepatnya.

Suatu hal yang membuatnya keheran-heranan sendiri. Ai, dia tentu lupa bahwa itulah khasiat dari ulat salju. Memang benarlah ucapan Swat-san Lojin itu, bahwa ulat salju akan dapat membuat seseorang berlipat ganda lwekangnya. Yang menakjubkannya, dalam beberapa puluh menit saja, dapatlah sudah dia mencapai jarak tiga-empat puluh li jauh, dengan tanpa merasa lelah sedikitpun juga. Nyata prestasinya (hasilnya) itu, tak kalah dengan kuda say-cu-hoa.

Teringat akan say-cu-hoa, pikirannya melayang pada Peng- ji. Ah, nona itu tentu tak mengira bahwa dia (Ceng Ih) dapat berjalan sedemikian pesatnya. Bahwa Peng-ji merasa pasti akan dapat mendahuluinya tiba di Hay-go itu, tentu akan kecele.

Lok-an telah dilalui, menyusul Cek-ciu pun dilewatinya. Kini dia akan memasuki tapal batas propinsi Holam lah. Saat itu dia tiba di Thian-keng-kwan, ialah sebuah tempat pos penjagaan yang terletak diatas gunung Thay-heng-san. Sekali enjot tubuhnya, dapatlah dia melompati pos itu.

Tiba-tiba timbul keisengannya. Dia loncat ke atas sebatang pohon yang empat tombak tingginya. Dari situ, dapatlah dia menikmati pemandangan disekeliling pos penjagaan yang ternyata amat indah.

Pos penjagaan itu, dijaga oleh beberapa orang. Oleh karena hanya terpisah kurang lebih empat tombak, jadi dapatlah Ceng Ih melihat dan mendengarkan gerak gerik para penjaga.

„Huh, mungkin matamu sudah kabur. Terang tadi ada segulung asap meluncur kemari, kau mengatakan tidak ada. Tapi nyatanya ketika asap itu lewat, kaupun lantas mengatakan mendengar ada angin meniup, hem, rupanya kau kesetanan ini!” salah seorang penjaga mengomeli kawannya.

Kawannya yang dicomeli itu, dengan nada suara yang menyatakan usianya lebih muda, berkata: „Toa-siok, jadi yang melintasi pos tadi, orang atau setankah?" 

„Aku si orang she Sun ini sudah pernah menjelajahi seluruh penjuru dunia, tapi belum pernah bertemu dengan bangsa setan. Hem, pengetahuanmu sungguh picik sekali. Orang itu tentu seorang yang pandai ilmu silat, ah, sekarang dia sudah mabur beberapa li jauhnya!"

Menyahut pula si orang muda tadi: „Astagafirullah! Jadi itu tadi bangsa manusia? Tapi mengapa manusia dapat terbang

......."

„Bah, telah kukatakan kau ini picik pengetahuan. Mengapa hal itu dibuat heran? Aku si orang she Sun ini kalau disuruh terbang ...... pos hai, apa itu?"

Saat itu sebenarnya Ceng Ih hendak tertawa karena geli mendengar si orang she Sun membual. Tapi demi penjaga itu berteriak kaget, diapun batalkan tertawanya.

Memandang ke arah yang dimaksud orang she Sun itu.

Ceng Ih tampak ada segulung asap meluncur datang dengan pesat sekali. Timbul dugaannya, kalau gulungan asap itu tentulah si orang yang dengan gunakan lwekang coan-seng- jip-bi menyatakan hendak ber-tian-to-kian-gun itu.

Cepat sekali asap itu meluncur datang. Belum lagi Ceng Ih sempat memikir lebih jauh, atau orang itu sudah ayunkan tubuh loncat ke atas. Indah sekali gerakannya ketika melompati pos penjagaan dibawah itu.

Malah diluar dugaan Ceng Ih, tanpa turun lagi kebumi, kaki kiri orang itu dipijakkan kekaki kanannya, terus melambung naik kesalah sebuah dahan dari pohon tempat persembunyian Ceng Ih situ. Dan sekali ayun lagi, orang itu sudah lenyap dari pemandang. Ceng Ih sekarang sudah dapat digolongkan sebagai seorang ko-chiu (jago kelas tinggi) dari dunia persilatan. Namun sedemikian hebat gerakan orang itu, hingga mata Ceng Ih pudar tak dapat melihat tegas roman muka orang itu. Satu-satunya yang dapat dilihat, ialah warna pakaian orang itu adalah kelabu, jenggotnya memanjang sampai menjulai kedada dan tangannya seperti mencekal sebuah benda.

Diakah orang yang menyusupkan lwekang coan-seng-jip-bi itu? Serentak pikiran Ceng Ih mengambil putusan untuk mengejar, tapi pada lain kilas dia menimang: „Ditilik dari kepandaiannya nyata dia itu lebih tinggi dari aku, mengejarpun tak ada gunanya. Daripada menambah kesulitan lebih baik mengurusi pekerjaanku sendiri sajalah!"

Belum lagi Ceng Ih mendapat kebulatan niat untuk mengejar atau tidak, kembali penjaga dipos sana kedengaran berkata-kata.

„Kali ini seharusnya kau sudah melek! Percaya tidak kalau bukan bangsa setan, melainkan manusia biasa. Yang terakhir tadi, barulah dapat mempesonakan aku si orang she Sun ini!"

Mendengus sejenak, kembali orang she Sun itu membuka mulut: „Hai, bung, apa kau berani bertaruh dengan aku?"

„Bertaruh apa?" sahut kawannya yang muda.

„Bertaruh bahwa orang yang belakangan itu, tak sampai sepuluh li tentu akan dapat menyusul orang yang pertama tadi!"

„Ai, jangan main pintar sendiri, bung, ha, ha!" kawannya menertawai orang she Sun yang hendak menyelomoti uangnya itu. Orang she Sun itupun turut tertawa gelak-gelak. Ceng Ih marah, dipetiknya sebuah tangkai kecil untuk ditimpukkan ke arah orang she Sun si tukang pembual itu. Tapi belum lagi tangannya bergerak, penjaga muda itu terdengar berteriak: „Toa-siok, itulah datang lagi yang lebih besar, apa maksudnya ini?"

Ceng Ih terkejut, katanya seorang diri: „Apa? Datang lagi yang !ebih besar? Apanya yang lebih besar itu?"

Tapi ternyata memang benar. Cepat laksana kilat, dijalan sana meluncur datang sebuah benda yang besar. Kira-kira dua puluhan tombak jauhnya, barulah ketahuan kalau yang datang kali ini adalah seorang yang naik kuda.

„Aneh benar ini," pikir Ceng Ih, „pintu pos sudah ditutup, bagaimana penunggang kuda itu dapat melintasinya?"

Baru dia berpikir begitu, penunggang kuda itu sudah tiba dibawah pintu pos. Tiba-tiba orang itu melorot turun kebelakang kuda. Sekali membetot ekor kuda, orang bersama kudanya „terbang" melampaui pos penjagaan disitu. Turun disebelah sana, dengan tangkasnya orang itu sudah loncat pula kepunggung kudanya dan terus mencongklang pesat.

Seorang yang naik kuda dapat bersama binatang tunggangannya melompati sebuah tempat yang tingginya lebih dari empat tombak, bukanlah hal yang mengherankan. Ketika menuju ke Swan-san tempo hari, Ceng Ih dengan menunggang say-cu-hoa pernah melompati sebuah tembok kota. Tapi itu adalah kuda sakti say-cu-hoa, bukan kuda biasa. Hai, jadi apakah kuda orang itu juga seekor binatang sakti?

Karena gerakan orang dan kudanya itu agak lambat, jadi dapatlah Ceng Ih melihatnya dengan jelas. Penunggang itu bukan lain ialah si pemuda pelancong yang bertemu padanya dirumah makan dikota Ciang-gwan itu. 

Orang itu pernah menjadi kawan perjalanan selama sehari, tapi baru sekaranglah Ceng Ih mengetahui bahwa kudanya itu juga kuda istimewa. Pula tadinya dia mengira kalau pemuda itu tak mengerti ilmu silat, tapi nyatanya memiliki ilmu gin- kang yang hebat. Ah, benar-benar dia tak bermata.

Kini Ceng Ih mereka dugaan. Dari kedua orang yang berturut-turut dapat melompati pos penjagaan itu, tentu salah seorang ialah orang yang menyusupkan lwekang coan-seng- jip-bi hendak ber-tian-to-kian-gun itu.

Pemuda pelancongan itu, umurnya kurang lebih baru dua puluhan tahun. Kemungkinan karena mendapat penemuan yang aneh, maka dapat memiliki kepandaian yang begitu hebat. Tapi jika dapat juga memahami ilmu lwekang sakti coan-seng-jip-bi macam yang dimiliki supehnya (Thian-lam- ping-siu) itu, rasanya mustahillah!

Kedua orang itu, satu tua satu muda, tak pernah kenal padanya. Tapi mengapa mereka menguntit langkahnya? Ah, mungkin mereka itu juga mempunyai urusan penting yang buru-buru harus diselesaikan, jadi` malam haripun mereka juga meneruskan perjalanan.

Sekalipun begitu, karena adanya olok-olok coan-seng-jip-bi itu, dia (Ceng Ih) harus waspada juga. Jadi apakah mereka itu sengaja menguntit dirinya atau tidak, rasanya harus dikejar untuk ditanyai seperlunya.

Diam-diam Ceng Ih bersyukur kepada pos penjagaan Thian-keng-kwan situ. Karena kalau tiada pos penjagaan yang letaknya sangat berbahaya itu, tentulah dia takkan berhenti beberapa saat ditempat itu. Dan kalau dia tak berhenti, tentulah takkan mengetahui kalau dirinya diam-diam diikuti oleh orang. 

Dari pada dibuntuti, lebih baik dia membayangi mereka. Daripada dibokong orang, lebih baik dia menghadapi mereka secara terang-terangan. Dengan pikiran itu, niat untuk mengejar makin tetap dalam benak Ceng Ih.

Menunduk kebawah, didapatinya tangkai pohon tadi masih berada dalam tangannya. Dan saat itu, didengarnya si pembual she Sun, masih tetap menghamburkan bualannya.

Ah, lebih baik kupersenkan ini padanya. Sekali tangan mengayun, maka melayanglah tangkai itu ke arah si orang she Sun.

Orang itu tengah asyik membual (omong besar), jadi tak menduga kalau bakal menerima hadiah. Andaikata dia mengetahui sekalipun, juga tak nanti dapat lolos dari timpukan Ceng Ih.

„Kuda? Seekor kuda apanya yang dikata hebat. Aku si orang she Sun ini, baik mempunyai kuda sakti atau tidak, juga sama saja .... aduh mak ..... auk, auk, auk, uk ”

Mulutnya yang tengah menganga itu, tahu-tahu sudah kemasukan sebatang tangkai pohon. Begitu lekas-lekas dimuntahkan, ternyata bukan saja hanya tangkai, pun membawa empat buah giginya. Mulut berbusa darah seperti moncong serigala yang habis mengganyang korbannya .........
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar