Panji Sakti Bab 19 : Kedukaan Seorang Suami

19. Kedukaan Seorang Suami 

Pada tahun berikutnya, Coa Leng melahirkan seorang puteri, ialah Peng-ji sekarang ini. Kelahiran bayi itu menambah kebahagiaan mereka. Kecintaannya makin bertambah erat.

Semoga anak kesayangannya itu kelak dapat mewarisi kepandaian Swat-san Lojin dan menjadi tiang penyambung cabang Swat-san-pay.

Kalau kedua suami tua dan isteri muda itu tengah menikmati kebahagian hidup, adalah didunia persilatan terbit kegemparan besar. Murid kesayangan dari Lam-hay Ji-lo mendadak sontak menghilang tiada beritanya sama sekali.

Adakah ia itu mendapat kecelakaan dibunuh atau diculik orang?

Demikian kaum persilatan ramai memperbincangkannya. Tapi kesemuanya itu hanya duga menduga saja, tiada bukti yang positif sama sekali.

Ikatan guru dan murid, menyebabkan Lam-hay Ji-lo naik pitam (marah). Dia perintahkan keempat muridnya yakni keempat tay-thian-ong itu untuk pergi ke Tiong-goan menyelidiki peristiwa itu. Lima tahun lamanya keempat thian- ong itu menjelajahi seluruh daerah Tiong-goan, tetap tak mendapat hasil suatu apa. Namun mereka tetap tak hentikan usahanya.

Akhirnya entah siapa yang memberitahukan, mereka dapat juga mencium bau. Kesanalah mereka bergegas-gegas menuju. Jika dikatakan segala apa itu terjadi karena kebetulan, memang begitulah halnya. Ketika keempat thian- ong itu tiba di Swat-san, kebetulan Swat-san Lojin sedang bepergian.

Coa Leng menyambut kedatangan mereka. Masing-masing memegang pendiriannya sendiri. Coa Leng tak mau meninggalkan Swat-san Lojin dan puterinya. Sedang keempat suhengnya itupun tak mau melanggar perintah suhunya.

Akhirnya mereka bertempur.

Digembleng ilmu ajaran sumber Lam-hay, kemudian ditambah dengan ilmu sakti dari Swat-san Lojin, telah menjadikan Coa Leng seorang jago wanita yang lihay sekali. Namun dengan sepasang tangan, memang sukar untuk melayani empat orang. Akhirnya Coa Leng dapat dikalahkan oleh keempat suhengnya itu dan terpaksa mau juga dibawa ke Lam-hay.

Betapa kesedihan Swat-san Lojin demi mengetahui isterinya hilang itu, sukar dilukiskan. Setelah jelas akan persoalannya, dengan membawa puterinya yang masih berumur lima tahun itu, dia ngeluruk ke Ngo-ci-san di Lam- hay.

Keempat tay-thian-ong itu menyangkal bahwa Coa Leng berada disitu. Karena naik darah, Swat-san Lojin melabrak mereka. Kalau pada saatnya Lam-hay Ji-lo tak muncul, keempat tay-thian-ong itu pasti sudah menjadi setan tanpa kepala!

Bersama dengan Hoa-he Hi-hu dan Swat-san Lojin, pada lima puluhan tahun berselang Lam-hay Ji-lo merupakan tiga serangkai tokoh yang sangat dimalui dalam dunia persilatan. Jadi sampai dimana kesaktian Lam-hay Ji-lo itu, dapat dibayangkan.

Melihat munculnya tokoh itu, kemarahan Swat-san Lojin makin meluap. Begitulah kedua tokoh itu, segera mengadu kesaktian. Ternyata dua-duanya sama saktinya, sehingga setelah tenaganya sama habis, mereka baru berhenti. Dalam keadaan mendesak seperti kala itu, Lam-hay Ji-lo mau juga akhirnya menceritakan tentang duduk diri Coa Leng. Ternyata Coa Leng itu, sebelum menjadi isteri Swat-san Lojin, sudah setuju akan diperisteri oleh hu-ciangkau (wakil pemimpin) partai Kong-tong-pay yang bernama Jui Cu-eng gelar Peh-i-siu-su atau si Pelajar baju putih. Tetapi karena tak puas pada sepak terjang Jui Cu-eng yang jahat, bukan saja Coa Leng menarik janji pernikahannya dengan tokoh itu, pun ia rela ikut pada Swat-san Lojin.

Tindakan Coa Leng itu, dilakukan secara diam-diam Sekali gus dia mengelabuhi tiga orang, Lam-hay Ji-lo, Kong-tong-pay dan Swat-san Lojin!

Mengira kalau bakal isterinya hendak mengingkari janji, beberapa kali Peh-i-siu-su Jui Cu-eng datang ke Lam-hay meminta pertanggungan jawab Lam-hay Ji-lo. Coa Leng harus diserahkan, atau Kong-tong-pay akan menggempur Lam-hay.

Karena ilmu pelajaran dari Lam-hay itu merupakan aliran tersendiri, maka layaklah menganggap dirinya sebagai sebuah cabang persilatan. Kalau dua gajah beradu, tentu banyak binatang-binatang kecil lainnya yang binasa. Pengaruh Kong- tong-pay amat besar, ini diinsyafi oleh Lam-hay Ji-lo. Bukan dia takut, tetapi soalnya pertempuran itu tiada manfaatnya karena yang dibuat perebutan, adalah orang yang tak ketahuan rimbanya.

Akhirnya tokoh dari Laut Selatan (Lam-hay) itu meluluskan tuntutan pihak Kong-tong, ialah akan mengerahkan seluruh anak muridnya untuk mencari jejak Coa Leng. Baik dalam kedaan sudah mati atau masih hidup, Coa Leng harus diserahkan dan Kong-tong-pay akan menerimanya sebagai penyelesaian terakhir. Sebagaimana diketahui, akhirnya keempat tay-thian-ong itu setelah membuang waktu selama hampir lima tahun, dapatlah menemukan Coa Leng di Swat-san kemudian rnenawannya kembali ke Lam-hay. Ketika Swat-san Lojin tiba di Ngo-ci-san, sebenarnya Coa Leng disembunyikan dalam gunung situ.

Maklum juga Lam-hay Ji-lo bagaimana kecintaan suami- isteri itu, namun karena dia sudah berjanji pada pihak Kong- tong, jadi diapun tak rnau mengingkari. Akhirnya dengan serta merta Ji-lo memberi kesanggupan kepada Swat-san Lojin.

Nanti apabila dalam pertemuan dengan pihak Kong-tong-pay, Coa Leng benar-benar menyatakan tak mau menikah dengan Peh-i-siu-su Jui Cu-eng, Lam-hay Ji-lo akan menentang pihak Kong-tong apabila sampai berani melakukan paksaan.

Semuanya baik diserahkan akan pendirian Coa Leng sendiri, menikah pada Jui Cu-eng atau kembali pada Swat-san Lojin. Juga Ji-lo itu berjanji, selama pihak Lam-hay belum mengantarkan Coa Leng kepada Swat-san Lojin, dia akan melarang keras semua anak muridnya tak boleh menginjak bumi Tiong-goan. Swat-san Lojin dapat memaklumi keadaan Lam-hay Ji-lo, apa boleh buat dia terpaksa membawa puterinya kembali ke Swat-san lagi.

Swat-san Lojin menghitung hari demi hari. Empat belas tahun lamanya genap sudah hitungan itu, namun sang isteri tak kunjung datang beritanya. Bahwa kini mendadak sontak keempat tay-thian-ong itu berani menginjak Tionggoan dan bahkan menculik seorang gadis (Tan He Kongcu) yang menyamar sebagai Ceng Ih, sudah tentu akan menimbulkan kegemparan besar.

Demikian Peng-ji mengakhiri penuturannya. Oleh karena peran utama dalam cerita itu adalah ayah bundanya sendiri, jadi tiap kali dara itu kedengaran menghela napas dan mendenguskan rasa kebencian. 

Ceng Ih mendengari kisah kasih yang dramatis itu dengan pikiran melayang. Dia tak menyangka sama sekali, bahwa di dunia terdapat peristiwa yang begitu aneh berbelit. Akhirnya dia sampai pada kesimpulan, penghidupan ini adalah sebuah lautan derita yang penuh siksa dan berbagai percobaan.

Demikian berlaku juga pada dunia percintaan. Kecuali orang yang sudah mensucikan diri, barulah terlepas dari golak derita asmara itu.

Ruangan itu sejenak menjadi hening, karena Peng-ji sendiripun tengah dilamun oleh perasaan yang duka merana. Akhirnya berkatalah ia dengan nada rawan: „Engkoh Ih, baik pulang dulu ke Swat-san, atau tidak, tujuan kita ialah hendak menolong Kongcu. Permintaanku, janganlah kau benci padaku karena urusan itu dan maafkan kekhilafanku itu. Hancur sekalipun tubuhku, namun aku bertekad untuk menyelesaikannya.”

Matikah atau masih bernapaskah gadis itu? Seketika terbayang-bayanglah Kongcu yang jelita itu dalam benak Ceng Ih. Ya, kalau tiada kesesatan Peng-ji yang berhati cemburu, tak nanti Tan He Kongcu menderita diculik ke Lam-hay.

Bencikah dia kepada Peng-ji? Ceng Ih adalah seorang pemuda yang lapang dada. Baik Tan He maupun Peng-ji sama-sama melepas budi besar kepadanya. Tindakan Peng-ji itu diluar kesadarannya, jauh lebih kalau dibanding budi yang dilepaskannya itu. Paling penting sekarang ini harus lekas- lekas bertindak menolong Tan He Kongcu.

Munculnya keempat tay-thian-ong ke Tionggoan itu, sudah jelas motifnya (tujuannya), yakni akan merebut Panji Sakti!

Berpuluh tahun pihak Lam-hay menutup diri karena hendak berlatih keras. 

Kalau anak murid mereka berani muncul lagi, tentulah sudah mempunyai kepandaian yang hebat. Tentunya ilmu mereka itu sakti sehingga berani merebut Panji Sakti untuk menjadi yang dipertuan dalam dunia persilatan. Tapi apakah ilmu kesaktian mereka itu?

Mengenai peristiwa penculikan Tan He Kongcu itu, dia (Ceng Ih) pun tak terlepas dari kesalahan. Bukankah tempo kesamplokan dikota Hin-peng, keempat thian-ong itu mengatakan kalau berhasil rnenawan ‘Ceng Ih’? Kalau itu waktu dia mau menyelidiki, tentu Tan He Kongcu tak sampai dibawa ke Lam-hay.

Ah, sudahlah, kesemuanya itu sudah lalu. Yang nyata keempat thian-ong itu, turut keterangan Peng-ji tadi, adalah jago-jago yang pernah dipecundangi oleh Swat-san Lojin.

Rasanya mereka tak perlu dikuatirkan. Tapi bagaimana dengan suhu mereka, Lam-hay Ji-lo itu? Bagaimana pula dengan kekuatan partai Kong-tong-pay?

Kesemuanya itu berkeliaran diotak Ceng Ih. Rasanya perjalanan yang dihadapinya itu penuh dengan bahaya, namun demi untuk menolong Tan He Kongcu, dia tetap bertekad untuk menuju ke Lam-hay.

Sekarang yang harus dipikirkan, dengan cara bagaimanakah dia harus bertindak. Memang kalau lebih dahulu mampir ke Swat-san, mungkin akan mendapat dukungan kuat dari kedua cianpwe itu. Namun itu berarti waktunya akan lebih lama lagi, pada hal Tan He perlu lekas- lekas ditolong.

Langsung menuju ke Lam-haykah? Dia hanja bersama Peng-ji saja, kekuatannya kurang. Kalau sampai terjadi apa- apa, Panji Sakti akan hilang dan hancurlah kepercayaan sang supeh yang diletakkan pada bahunya itu. Begitu pula jika Peng-ji tertimpah ini itu, bagaimana dia akan mengatakan pada Swat-san Lojin nanti?

Gelisah, cemas, ragu-ragu, demikian keadaan Ceng Ih sampai beberapa saat. Sepasang mata Peng-ji yang bundar, menatap tajam-tajam ke arah pemuda itu.

Ternyata tak kecewa Ceng Ih dipilih menjadi ahliwaris turunan kelima dari Panji Sakti. Akhirnya setelah lama merenung, dia berkata kepada Peng-ji: „Adik Peng, tak perlu kita mencari siapa-apa yang bersalah, karena toh barang sudah terlanjur tak perlu kita sesali. Telah kupikirkan sebuah daya, entah kau dapat menyetujuinya tidak?"

„Katakanlah lekas, engkoh Ih!" seru Peng-ji dengan girangnya.

„Terang munculnya keempat thian-ong kedaerah Tionggoan itu karena hendak mengangkangi Panji Keramat untuk menjagoi dunia persilatan. Tapi apakah modal mereka itu? Toh sudah kaukatakan tadi bahwa mereka itu bukan tandingan ayahmu, jadi masakan mereka mampu menjadi pemimpin dunia persilatan. Kalau kita memandang mereka dengan kaca mata itu, terang terlalu meremehkan kekuatan mereka. Orang kuno mengatakan „berpisah tiga hari saja, kita harus melihat lebih waspada pada lawan.” Bukan hanya tiga tahun, tapi sudah lima belas tahun lamanya mereka mengasingkan diri, bukan?"

Peng-ji menyadari kata-kata itu dan mengangguk.

„Masih ada pula sebuah hal," kata Ceng Ih lebih jauh,

„meskipun sudah berusia lebih dari seratus tahun, seperti juga halnya dengan ayahmu, Lam-hay Ji-lo masih segar badannya dan tentu juga lebih sakti kepandaiannya!" 

Peng-ji tertawa, sahutnya: „Meskipun berputar-putar, tapi aku sudah dapat menangkap kemana jatuhnya perkataanmu itu. Bukankah maksudmu hendak mengatakan bahwa kalau toh dahulu saja Lam-hay Ji-lo itu seimbang kepandaiannya dengan ayah, kini setelah muncul lagi, tentu dapat mengatasi kepandaian ayah atau sekurang-kurangnya tentu tak kalah dengannya, bukan?

Ceng Ih mengangguk, ujarnya: „Kurasa kepandaian keempat thian-ong itupun sekarang tak disebelah bawah kau atau aku. Percaya tidak kau?"

Peng-ji mengunjuk sikap tak acuh, seolah-olah belum mau mengakui kata-kata pemuda itu.

„Tapi toh kenyataan sudah berbukti, masakan kau tak mau mempercayainya," kata Ceng Ih sambil tertawa. Setelah melirik ke arah si dara, dia bertanya: „Adik Peng, coba jawablah pertanyaanku ini. Terhadap kawanan Chit-Cincu itu apa kau yakin dapat mengatasinya?"

Menyahut Peng-ji dengan nada yang angkuh: „Sekurang- kurangnya permainan tujuh pedang bergabung mereka itu, tak mampu mengepung aku!"

„Benar!" tukas Ceng Ih, „tapi kaupun belum tentu dapat melukainya, benar tidak?"

Betapapun bandelnya Peng-ji, kini dia tak dapat berbuat lain daripada mengangguk.

„Tapi ternyata keempat thian-ong itu dapat melukai mereka hanya dalam waktu satu jam saja!" kata Ceng Ih pula. Bermula agak jelas Peng-ji akan maksud si anak muda itu, tapi demi mendengar keterangannya yang terakhir, bertanyalah ia dengan heran: „Keempat thian-ong maju berbareng untuk melukai Chit-Cincu, dalam hal itu apakah dapat dibanggakan? Mengapa kaukatakan mereka dapat melukai Chit-Cincu dalam waktu sejam saja? Kecuali kau menyaksikan sendiri, apa buktinya?"

„Sekalipun keempat thian-ong serempak maju berbareng pun pihak Chit-Cincu bertujuan juga dibantu oleh keempat Cuncia. Jadi pukul rata mereka masing-masing melayani tiga orang musuh. Maaf, andaikata keempat thian-ong itu diganti dengan empat orang Peng-ji, rasanya pertandingan itu paling banyak hanya berkesudahan seri saja!"

Berhenti sejurus, Ceng Ih melanjutkan pula: „Menurut perhitungan, keempat thian-ong dapat mengalahkan kawanan Chit-Cincu itu bahkan kurang dari satu jam saja. Karena baru saja kita selesai bertempur dengan Bo-ang Sancu dan turun gunung lantas kesamplokan dengan Chit-Cincu. Itu waktunya kurang lebih hanya terpaut tiga jam saja!"

Peng-ji mengicupkan biji matanya yang bundar beberapa kali, lalu tertawa: „Kalau kukatakan mereka itu melakukan perjalanan siang malam, kau tentu akan membantah dengan mengatakan bahwa mereka itu membawa orang luka, bagaimanapun hendak cepat-cepat, tentu tak selekas itu.

Apalagi kuda mereka, bukan seperti kuda say-cu-hoa. Benar tidak?"

Sejenak berhenti memainkan lidah kebibir, Peng-ji melanjutkan: „Meskipun analisa (pembahasanmu) itu dapat kusetujui, namun kalau kau mengatakan bahwa kepandaian keempat thian-ong diatas kita berdua, aku tetap tak percaya! Benar mereka itu berlatih keras selama lima belas tahun, tapi kita toh juga tak tinggal diam. Sekurang-kurangnya bukankah kita dapat menyamai kekuatan mereka?"

Melihat si anak muda berdiam diri, dengan tertawa riang, kembali Peng-ji berkata: „Janganlah lupa, engkoh Ih, apa yang ayahku pernah mengatakan padamu itu. Ilmu Sakti pelindung Panji Sakti itu, mendasarkan pada berat, dahsyat dan ketepatan, Ilmu aliran Swat-san-pay menitik-beratkan pada kelincahan, kecepatan dan ketenangan. Kedua ilmu itu masing-masing mempunyai keistimewaan dan kelemahan.

Bersatu teguh, bercerai runtuh!"

Dalam mengucapkan kata-kata yang terakhir, Peng-ji sengaja menandaskan dengan nada yang tetap, menyatakan keyakinannya dan keberaniannya. Tapi sebaliknya Ceng Ih beranggapan lain. Benar ucapan itu keluar dari mulut Swat- san Lojin setengah bulan yang lalu.

Dan memang pada kala itu, Ceng Ih mempercayainya bulat-bulat. Benar sampai sekarang, ucapan itu masih mempunyai segi-segi kebenarannya, tapi sudah tak dapat seratus persen menjadi keyakinan Ceng Ih.

Mengapa?

Swat-san Lojin itu berhati tinggi, jadi dalam ucapannya tentu tak luput dari sifat-sifat kesombongan. Ceng Ih pada ketika itu, masih belum luas pengertiannya. Jalan pikirannya hanyalah sederhana sekali. Dikolong jagad ini hanya terdapat dua tokoh lihay, Swat-san Lojin dan Bo-ang Sancu. Bo-ang Sancu kalah dengan Swat-san Lojin dan Lojin itu tak dapat memenangkan ketiga ilmu sam-coat-ciau pelindung Panji Sakti.

Kalau kedua aliran ilmu Swat-san-pay dan sam-coat-ciau itu bergabung, dunia tidak akan ada yang melawannya. Tapi kini barulah terbuka matanya bahwa didunia ini masih ada lain partai yang lihay ialah Lam-hay-pay dan Kong-tong-pay.

Dahulu Lam-hay Ji-lo pernah bertanding melawan Swat-san Lojin, dengan kesudahan seri. Ini berarti, bahwa Swat-san Lojin yang tiada tandingannya itu, sebenarnya masih ada tandingannya juga, jadi bukan orang paling Sakti didunia persilatan. Gelar „tokoh tersakti didunia" itu perlu ditinjau lagi.

Mengenai partai Kong-tong-pay itu, kalau sekiranya memang tiada mempunyai ilmu kepandaian yang dahsyat, masakan mereka dapat memberi tekanan pada Lam-hay Ji-lo. Hukum rimba juga berlaku didunia persilatan. Siapa kuat menang, siapa lemah kalah.

Terbukti sudah bahwa tokoh-tokoh baru yang muncul itu, yang satu lebih sakti dari yang lain. Apakah selain tokoh-tokoh itu, tiada lain tokoh lagi yang terlebih sakti? Entahlah.

Mengapa tokoh-tokoh itu dahulu tak berani unjuk diri, adalah dikarenakan mereka belum mempunyai „modal" untuk menghadapi Hoa-he Hi-hu.

Tapi kini setelah berselang lima belasan tahun, mungkin lain kenyataannya. Siapakah yang dapat memastikan kalau diantara mereka itu tiada yang berhasil mendapat penemuan aneh atau keyakinan ilmu kepandaian yang istimewa?

Panji Sakti merupakan lambang supermasi (keunggulan) dalam dunia persilatan. Bahwa dirinya sudah diangkat menjadi pewaris turunan kelima itu, tentu akan menghadapi banyak sekali rintangan-rintangan besar. Tugas besar terletak dibahumu. Demikian tempo hari sang supeh pernah memesannya. Dapatkah kini dia melaksanakan tugas maha berat itu? Jauh, jauh sekali pikiran Ceng Ih melayang. Terhadap dara yang keliwat dimanjakan oleh ajahnya itu, sukar dia memberi penjelasan. Kalau dia bersitegang leher membantah, dikuatirkan Peng-ji makin meradang. Akhirnya kalau sama- sama ngotot mempertahankan pendiriannya, Peng-ji tentu akan meminta bukti yang nyata. Ah, runyam ni!

Selama Ceng Ih terbenam dalam keraguannya itu, Peng-ji hanya mengawasinya saja tak mau mengganggu. Kini serta dilihatnya wajah pemuda itu menampilkan suatu ketetapan, barulah dia berani bertanya: „Engkoh Ih, bukankah tadi kau mengatakan telah mendapatkan daya? Sampai saat ini, hal itu belum kau utarakan!"

„Hem,” kedengaran Ceng Ih lebih dahulu mendengus, baru menyahut: „Bahwa pihak Lam-hay sudah berani menawan Tan He kongcu, bagiku sudah bulat tentu akan menuju kesana.

Tapi bagaimana dengan kau ”

„Mengapa kau masih meragukan diriku?" tukas Peng-ji dengan kurang senang, „aku kan juga mempunyai kewajiban untuk menolong Kongcu, ayuh lekas katakanlah dayamu itu!"

Ceng Ih mengangguk, katanya: „Lam-hay jauh bedanya dengan Siao-ngo-tay-san. Kalau dahulu Lam-hay Ji-lo seimbang dengan leng-cun (ayahmu), kini kekuatan kita berdua belum tentu dapat melawannya, maka "

„Maka maka kita harus singgah dahulu ke Swat-san

untuk mengajak ayah dan supehmu ke Lam-hay, bukankah begitu?" tukas Peng-ji.

Ceng Ih tertawa: „Kau menduga tepat. Tapi berulang telah kukatakan, menolong orang tak ubah seperti memadamkan kebakaran, jadi tak dapat kita menghamburkan waktu mampir ke Swat-san. Apa yang kurencanakan itu dapat dikatakan sekali tepuk dua lalat!"

Peng-ji ternyata amat cerdas. Cepat sekali ia sudah dapat memberikan reaksi, serunya: „Maksudmu, kita harus berpencar. Aku ke Swat-san dan kau langsung ke Lam-hay. Waktunya sudah mendesak, janganlah kita main mengulur kambang!"

„Benar," jawab Ceng Ih. „Lawan tentu mengira kita akan lebih dahulu meminta bantuan ke Swat-san. Kita turutkan jalan pikir mereka itu. Tapi dalam pada itu, selagi mereka tak berjaga-jaga, aku hendak menyelundup masuk ke Lam-hay. Kalau beruntung aku dapat menolong Kongcu, kita dapat menghemat tenaga. Tapi kalau gagal, tak terlambatlah kiranya kita adakan konfrontasi dengan mereka secara terang- terangan!"

Sebenarnya enggan juga Peng-ji berpencar itu, namun apa boleh buat, karena tiada lain jalan, ia hanya menundukkan kepala memutar otak. Dalam hati kecilnya, ia sebenarnya tak menyukai saingannya itu, ya itu memang sudah sewajarnya.

Tapi karena untuk merebut hati Ceng Ih, terpaksa ia menerima juga. Kalau ingin mendapat sang burung harus sekalian sangkarnya. Demikianlah keadaan Ceng Ih.

„Pikiranmu itu memang jempol," tiba-tiba ia menyeletuk,

„tapi aku menghendaki pertukaran!"

Ceng Ih terbeliak kaget, tegasnya: „Jadi aku yang akan ke Swat-san dan kau ke Lam-hay?"

Peng-ji bersenyum mengangguk. „Mana boleh!" Ceng Ih menggelengkan kepala, sewaktu turun gunung, ayahmu telah menyerahkan kau padaku, kalau sampai ada apa-apa aku tentu celaka!"

Saking gugupnya, Ceng Ih berkata dengan suara keras macam orang kalap. Sejenak kemudian barulah dia agak tenang, lalu meneruskan kata-katanya: „Jika kau yang ke Swat-san, dengan memandang mukamu, Swat-san Lojin tentu akan suka turun gunung, bukankah begitu?"

Tahu bagaimana tabiat pemuda yang berhati keras itu, Peng-ji tak mau banyak berbantah lagi. Dia menyetujui rencana Ceng Ih tadi dan menanyakan bila mereka hendak mulai berpencar nanti.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar