Panji Sakti Bab 18 : Kesamplok Jago Lam-hay

18. Kesamplok Jago Lam-hay 

Ceng Ih lalu suruh dara itu duduk bersemadhi menyalurkan lwekang. Beberapa jam kemudian, peluh ditubuh Peng-ji menganak sungai, peluh yang busuk baunya. Dadanya terasa sesak, perut mulas.

Setelah muntah-muntah dan berak-berak, barulah ia merasa enak. Tapi seorang dara yang gemar berpakaian putih bersih, kini sudah berobah kusam musam dan berbau.

Akhirnya Peng-ji mencopot pakaian dan mencucinya disebuah tebat (telaga kecil) yang berada didekat situ, lalu dijemurnya.

Ceng Ih mengawani didekatnya. Bermula masih malu, lama-lama Peng-ji menjadi biasa juga. Walaupun sudah mendapat ijin dari Swat-san Lojin untuk perjodoan itu, namun selama dalam perjalanan Ceng Ih dan Peng-ji tetap menjaga batas-batas kesopanan.

Lama nian sejoli muda mudi itu diasyik buaikan oleh asmara, atau tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara orang bercakap-cakap dengan keras: „Suheng, lihatlah itu apa? Jangan-jangan ada orang mati gantung dihutan sini?"

„Mati saja mereka tak mau memilih tempat. Berani datang ke Siao-ngo-tay-san, itu termasuk bernyali besar juga!" sahut seorang lain lagi.

Ada lagi seorang berseru dengan nada kasar keras: „Tak peduli setan mana itu, biar hud-ya menjenguknya!"

Kaki kuda berderap dan masuklah delapan orang penunggang kuda ke dalam hutan situ. Mereka adalah dua orang hweshio yang bermata besar dan enam orang tojin. Dari dandannya nyatalah mereka itu keempat Cuncia dan ketujuh Cincu. Mengapa kini hanya tinggal delapan orang saja? „Ai, bagaimana ni? Kawanan paderi dan imam itu sama datang kemari" kata Peng-ji dengan gugup, karena ia hanya mengenakan pakaian dalam saja.

Memandang kesana, Ceng Ih dapati memang yang datang itu ialah salah dua orang dari keempat Cuncia dan enam orang dari ketujuh Cincu. Ceng Ih segera berikan mantelnya pada si nona, sementara dia siap akan menghadang mereka.

Saat itu kedelapan orang itupun sudah tiba. Waktu dilihatnya bahwa yang berkibaran itu hanya sepotong pakaian putih, mereka kecewa. Namun masih mereka tak terima dan menyelidiki disekitar situ. Sekonyong-konyong sesosok bayangan melayang datang.

„Ceng Ih berada disini!!"

Dari dalam semak belukar, melesatlah keluar sesosok bayangan ditengah-tengah kedelapan orang itu. Demi mengetahui siapa yang muncul itu, saking kagetnya kedelapan orang itu serentak sama mundur sampai setombak. Kini delapan pasang mata memandang lekat-lekat ke arah Ceng Ih.

„Mengapa Chit-Cincu dan Su Cuncia lari pontang panting begitu? Apakah masih ingin bertanding lagi?" seru Ceng Ih dengan tertawa.

Keenam Cincu yang kuat imannya masih dapat bersabar, tapi tidak demikian dengan kedua Cuncia yang berangasan itu.

„Budak, jangan sombong kau. Disini kurang lebar, kalau berani ayuh kita bertanding diluar hutan sana!" teriak keduanya. Ceng Ih segera mengikut mereka keluar hutan. Tiba disana, ternyata disebabkan lapangan rumput masih terdapat tiga ekor kuda lagi, hanya saja penunggangnya kelihatan sama duduk kepayahan. Dari wajahnya pucat seperti kertas dan sikapnya yang lemas lunglai, nyata kedua Cuncia dan seorang Cincu itu menderita luka berat.

„Kulihat kalian beramai ini tak ubah seperti anjing ditempat orang kematian. Tentu kalian habis dihajar orang dilain tempat. Tapi kalau masih belum kapok, biarlah kuberi hajaran lagi!" kata Ceng Ih dengan tertawa sinis.

Macam iblis unjuk gigi, kedua Cuncia itu segera tarikan senjata sekop baja, satu mengepruk keatas kepala satu membabat kekaki. Ceng Ih gunakan gerak le-hi-toa-thing atau ikan lehi meletik, loncat kebelakang sembari berseru:

„Pulanglah!" — tangan kanan menggurat-gurat dan meluncurkan kay-cu-na-si-mi.

Tahu kelihayannya kedua Cuncia itu berpencaran menghindar, tapi agak terlambat sedikit. Kakinya kena tersambar angin pukulan, sehingga keduanya sama terhuyung-huyung tiga tindak baru dapat berdiri jejak.

Keenam Cincupun tak tinggal diam. Dengan menghunus pedang, mereka pencarkan diri dan menyerang dari tiga jurusan, kanan kiri dan belakang.

Ceng Ih berilmu tinggi dan bernyali besar. Tangan kanan dan kiri mainkan kay-cu-na-si-mi dan beng-kun-san-ho, bahkan setempo juga memberi it-ci-ting-kian-gun, sehingga lihay sekalipun kedelapan pengeroyoknya itu, namun mereka tak berdaya mendekatinya. Mereka berdelapan itu, adalah jago-jago kelas satu. Tetapi makin lama makin kecil juga nyali mereka. Hanya satu bulan lamanya, mengapa anak muda itu jauh sekali bedanya.

Kedelapan orang itu berpecah menjadi empat dan menyerang dari empat jurusan, namun kesudahannya mereka sendiri yang jatuh bangun terkena sambaran pukulan si anak muda. Ramai sekali jalannya pertempuran itu. Dering pemerincing senjata tajam, seolah-olah merupakan irama musik yang mengirimkan gerak tarian kedelapan orang dalam pakaiannya warna warni itu.

Lama kelamaan, Ceng Ih jengkel juga. Dengan bersuit keras, kedua tangan dilingkarkan kebelakang. Dua buah jurus it-ci-ting-kian-gun sekali gus dilancarkan. „Trang, trang,” dua buah sekop-baja dan enam batang pedang terdengar jatuh dari cekalan.

Namun kedelapan paderi dan imam itu tak kecewa karena senjatanya hilang. Tiada senjata, mereka masih dapat gunakan kepalan tangan yang tak kurang lihaynya. Terutama kedua Cuncia itu. Dengan mata mendelik dan mulut berkuik- kuik, mereka memburu Ceng Ih dengan kalapnya.

Melihat serangan nekad itu, Ceng Ih hanya tersenyum dingin. Tenaga pada pukulannya diperhebat, sehingga kawanan pengeroyoknya itu menjadi ketakutan. Bermula cara mereka menghindar memang amat cepat sekali, tapi sepeminum teh berselang, gerakannya makin kendor, napasnya memburu, keringat mengucur deras.

Sebaliknya Ceng Ih seorang muda yang kuat-kuatnya, apalagi telah memakan ulat mustika, makin lama malah makin gagah. Sampai dipuncaknya, kedelapan orang itu menjadi kelabakan, bukannya menyerang supaya musuh jatuh tapi memutar otak cara bagaimana dapat meloloskan diri. Hati ingin, tapi mulut berat mengajak sang kawan, inilah beratnya orang menjadi jago kelas satu.

Bahwa keadaan lawan sudah mencapai titik penghabisan, dapat diketahui Ceng Ih juga. Dia benci kepada kawanan paderi dan imam yang banyak melakukan kejahatan itu.

Serangannya tak dikendorkan, tinju dan pukulannya tak kenal kasihan mencecer, hingga mereka makin senin kemis napasnya. Musuh yang terdesak tentu akan nekad. Ini memang benar.

Serangan anak muda itu, telah membuat kedelapan orang itu menjadi kalap. Mereka bertekad akan berkelahi sampai mati. Dengan menggerung keras, merekapun keluarkan seluruh kepandaiannya dan menyerbu lagi secara membabi buta.

Ceng Ih sudah mengetahui cara-cara mereka berkelahi. Dia tak jeri. Kepada kedua Cuncia yang menyerang dari muka dengan berteriak-teriak seperti orang kerangsokan setan itu, Ceng Ih menyongsong dengan sebuah tinju beng-kun-han- san-ho.

Seperti biasanya, kedua Cuncia itupun cepat menghindar, tapi Ceng Ih yang sudah jengkel, terus loncat memburunya dari belakang. Karena beberapa kali terjadi begitu, maka ketika loncat menghindar tadi, kedua Cuncia itu merasa sudah aman. Tak tahunya baru saja mereka hendak putar tubuh, tahu-tahu ada angin menampar dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi, jalan darahnya sudah tertutuk.

Waktu Ceng Ih loncat mengejar kedua Cuncia itu, keenam Cincu terkejut sekali. Mereka menduga tentu bakal celaka Cuncia itu. Sebat sekali mereka lantas ikut menubruk maju untuk menolongnya. Hanya membalikkan tangan menghantam dua kali kebelakang, dapatlah sudah Ceng Ih mengundurkan mereka.

„Sungguh tak tahu diri, liok-Cincu! Dua tiga kali telah diampuni jiwamu, tapi masih tak sadar. Nah, katakanlah sekarang, apa benar-benar kalian sudah bosan hidup?" tiba- tiba terdengar suara nyaring melengking.

Mendengar suara itu, kejut keenam Cincu itu bukan kepalang. Berpaling ke arah datangnya suara, semangat mereka serasa terbang. Seorang gadis berpakaian putih muncul dari semak-semak hutan.

Siapa lagi ia kalau bukan puteri kesayangan Swat-san Lojin, nona yang paling disegani mereka berenam. Berhadapan dengan Ceng Ih saja, walaupun sudah mengerahkan seluruh kebiasaannya, tetap mereka tak dapat lolos, apalagi kini ada si nona baju putih. Benar-benar mereka mati kutunya!

Setelah saling berpandangan, pemimpin mereka si Cincu baju merah. buru-buru menyongsong kedatangan Peng-ji, ujarnya: „Sebulan tak berjumpa, tak nyana kami dapat bertemu dengan li-sicu di Siao-ngo-tay-san sini. Atas bantuan li-sicu dahulu, pinto menghaturkan banyak terima kasih."

Alis si gadis berjungkat. Dengan mata bersinar, ia menyahut: „Jangan banyak peradatan lagi. Jawablah dengan jujur, Tan He Kongcu yang kuserahkan pada kalian dikota Hong-hian tempo hari itu, kini berada dimana?”

Mendengar itu wajah si Cincu baju merah tampak tegang. Tersipu-sipu dia menjawab: „Setengah bulan berada di Siao- ngo-tay-san, Tan He Kongcu berhasil lagi melarikan diri. Kami mendapat perintah Sancu untuk mengejarnya, tapi tak terduga ” „Tak terduga telah kesamplokan dengan keempat

Thian-ong bukan?" tukas Peng-ji tertawa sinis.

Sudah tentu mereka terkejut sekali, mengapa nona itu dapat mengetahui. Memang mereka tak sadar bahwa kejadian dihotel Hin-peng itu, telah diketahui kedua anak muda itu.

„Ya, ya, ya. Pinto tak dapat melawannya, tiga orang sute pinto kena dilukai mereka. Maka pintopun tak berdaya untuk menolong Kongcu yang ditawan mereka itu!" menerangkan si Cincu baju merah.

„Jadi karung besar yang dibawa keempat thian-ong itu, berisi Tan He Kongcu?" bergegas-gegas Ceng Ih menanyakan.

„Benar, itulah Kongcu. Kongcu menyamar menjadi pria dan mengaku jadi Ceng-sicu itu. Kedatangan mereka berempat itu ternyata hendak merebut Panji pusaka Sakti. Pinto sekalian tak punya guna, hingga beginilah kesudahannya," kata Cinncu baju merah.

Kini tahulah sudah Ceng Ih akan duduknya perkara.

„Hai sekarang dimana keempat tay-thian-ong itu?"

serunya.

„Mereka sudah kembali kegunung Ngo-ci-san lagi. Hanya sewaktu hendak pergi, mereka mengatakan tetap akan mencarimu untuk merebut Panji pusaka itu!" sahut si Cincu baju merah.

Hendak Ceng Ih berkata lagi, tapi Peng-ji sudah menyeletuk: „Tak mampu menolong Kongcu, seharusnya kalian lekas-lekas pulang melapor pada Sancu. Tapi mengapa keluyuran kemari cari perkara?" Cincu baju merah cepat menuding ke arah kawannya yang tertutuk jalan darahnya itu, seraya berkata dengan terputus- putus: „Kesemuanya ini dia .... dia ..... yang punya mau .........

„Karena memandang muka Tan He Kongcu, hari ini nonamu suka untuk memberi ampun lagi. Lekas ajak kawan- kawanmu pulang!" seru Peng-ji dengan garang.

Ceng Ih rupanya masih tak puas dan menyatakan akan memberi sedikit „tanda mata" kepada kedua Cincu yang jahat itu. Tapi dicegah Peng-ji.

„Engkoh Ih, biarkan sajalah! Biar air mata mereka mengucur karena sudah diperas keempat tay-thian-ong itu!"

Demikian si Cincu baju merah segera minta diri dan ajak kawan-kawannya pulang melapor pada Bo-ang Sancu.

Sementara say-cu-hoa dengan meringkik seperti naga itu, sudah lantas terbang di sepanjang jalan yang kedua tepinya dipagari dengan pohon-pohon yang rindang.

Malam dipermulaan musim dingin, awan salju memenuhi di udara. Dingin menusuk ketulang-tulang.

„Adik Peng, bertahanlah sebentar lagi,” kata Ceng Ih sembari menutupkan mantel kulit rasenya ketubuh Peng-ji,

„kita nanti berhenti dikota Tay-tong-hu sana, kau tentu amat letih, ya!"

Bagi sejoli muda mudi yang sedang dilamun asmara, tentu tak mengenal rasa letih lelah. Walaupun sejak berusia lima tahun sudah ditinggalkan sang ibu, namun dibawah asuhan sang ajah yang melatihnya dengan pelajaran silat, Peng-ji berangkat dewasa menjadi seorang dara yang bertubuh kuat. Bahwa ia mempunyai perangai aneh, itu dapat dimaklumi karena tidak pernah mendapat kasih sayang dari seorang ibu. Sampai pada usia sembilan belasan tahun, kecuali terhadap ayahnya Swat-san Lojin, ia tak pernah mempunyai rasa suka pada lain orang.

Perjumpaannya dengan pemuda Ceng Ih digunung Leng- san, merupakan lembaran baru dari sejarah kehidupan dara itu. Hatinya yang diselubungi kehampaan selama ini ternyata dapat diterobos oleh panahnya dewi Asmara.

Cinta itu serakah. Seorang yang mencintai, tentu ingin memiliki sendiri orang yang dicintainya itu. Demikianpun Peng- ji. Tan He Kongcu dianggapnya sebagai duri dalam daging, saingannya yang menusuk mata.

Itulah sebabnya ia menyerahkan Tan He Kongcu kepada kawanan Chit-Cincu dan mencemburui juga kepada Wan-ji. Bahwasanya ia kemudian menjadi menyesal itu, adalah dikarenakan ia sudah dapat memahami pribadi Ceng Ih.

Pemuda itu sangat menjunjung tinggi akan budi dan kasih. Bagaimanapun juga, dia tetap tak dapat melupakan diri Tan He Kongcu. Ibarat sampai keujung langitpun tentu akan diburunya.

Letihkah dara itu? Sama sekali tidak. Andaikata ia sampai binasa dibawah pukulan Ciak-tok-liong-ciang, rela juga ia. Mati untuk pemuda yang dicintainya, ia merasa puas juga.

Demikianlah dengan memeluk erat-erat pinggang si pemuda, ia merasa seperti melayang-layang diatas nirwana, dibawa terbang say-cu-hoa dimalam nan lelap.

„Engkoh Ih, bukankah sekarang hendak menempur keempat tay-thian-ong itu?" masih mulutnya melengking walaupun tubuhnya berjuang melawan hawa dingin. 

Pikiran Ceng Ih tengah melayang-layang pada Tan He Kongcu lalu kepada supehnya, Ngo-ci-san kemudian kepada Panji Sakti. Maka dia menjadi gelagapan demi mendengar pertanyaan Peng-ji itu.

„Adik Peng, kau mengatakan apa?" serunya menegas.

Peng-jipun tak tentu pikirannya, merenung sejenak, ia menyahut: „Dari timur laut ke laut selatan berarti menjelajah seluruh Tiongkok, menempuh perjalanan seribuan li. Apakah kita tak singgah dulu ke Swat-san?"

Untuk sesaat, Ceng Ih tak dapat menyahut. Menolong orang laksana memadamkan kebakaran, lebih lekas lebih baik. Tapi untuk menuju ke Laut Selatan yang puluhan ribu li jauhnya itu, sekurang-kurangnya memakan waktu satu bulan.

Kedua cianpwe, Swat-san Lojin dan Thian-lam-ping-siu, yang masih berada di Swat-san pun terbayang dipelupuk matanya. Namun kalau jalan mengitar menuju ke Swat-san, berarti akan memakan waktu lebih banyak lagi. Dan kalau nantinya kedua lo-cianpwe itu merintangi maksudnya pergi ke Laut Selatan, bagaimana nanti jadinya?

Dalam menimang-nimang keputusan itu, tahu-tahu kota Tay-tong-hu sudah berada didepan mata. Ceng Ih sudah tak asing lagi tentang kota itu. Langsung dia menuju kesebuah hotel, disana seorang jongos sudah menanti sambil bernyanyi kecil.

Diapun tak lupakan pemuda tetamunya itu. Adalah gara- gara kuda bulu suri kuning emas itu, maka dia sampai mengalami kekagetan besar. Sampai sekarang dia masih ingat betul peristiwa itu. „Ai, tuan muda ini, baru sebulan tak kelihatan kini tampak lebih gagah lagi,” serunya menyongsong kedatangan Ceng Ih,

„Apakah tuan masih mau pakai kamar sebelah barat itu? Hidangan perlu lekas dikirim kesitukah? Apakah kuda tuan perlu diberi makan kacang direbus arak?"

Melihat keramahan si jongos, Ceng Ih hanya ganda tertawa. Tanpa menyahut, dia segera ikut si jongos menuju kekamar barat. Setelah membersihkan badan, mereka mulai bersantap.

„Adik Peng, kau tentu paham tentang keempat Tay-thian- ong itu, sebaiknya ceritakan dululah sesuatu tentang mereka. Aku sama sekali belum pernah mendengar mereka!'' kata Ceng Ih.

Mendengar disebutnya keempat thian-ong itu, Peng-ji buru- buru habiskan hidangannya, kemudian mulailah ia berkata:

„Untuk menceritakan diri mereka, lebih dahulu harus memulai dari diri mamaku. Apakah kau sudah pernah mendengar cerita tentang mamaku itu?"

Ceng Ih teringat akan cerita supehnya ketika didalam goa di gunung Leng-san, tapi oleh karena waktunya sempit jadi cerita supehnya itupun tak jelas. Maka demi Peng-ji mengatakan bahwa keempat thian-ong itu ada hubungan rapat dengan mamanya, Ceng Ih amat ketarik sekali. Rasanya peristiwa itu tentu menyangkut diri tokoh-tokoh terkenal dalam dunia persilatan.

Dengan penuh perhatian, Ceng Ih mendengari penuturan sang kekasih.

> ∞ < Dahulu, karena mengindahkan nasehat Hoa-he Hi-hu, maka Swat-san Lojin ambil putusan tinggalkan dunia persilatan, mengasingkan diri mencari ketentraman digunung Swat-san.

Dalam perjalanan kegunung salju itu, dia membawa pulang bersamanya seorang wanita muda yang rupawan. Nona itulah ibunya Peng-ji.

Nona itu bernama Coa Leng, li-tecu atau murid perempuan satu-satunya dari Lam-hay Ji-lo, suhu dari keempat Tay-thian- ong itu. Dengan begitu Coa Leng adalah sumoay dari keempat thian-ong tersebut. Dalam keadaan yang tak diduga-duga, Coa Leng telah bersua dengan Swat-san Lojin. Melalui sebuah pertempuran yang sengit, akhirnya Swat-san Lojin dapat menundukkan nona itu.

Dikata aneh memang boleh, tapi kenyataannya demikianlah. Segala apa didunia ini, memang penuh dengan keanehan. Yang tarnpak tak mungkin, toh mungkin juga.

Lebih-lebih dalam persoalan asmara Swat-san Lojin yang sudah beruban rambutnya dan Coa Leng yang masih segar wajahnya, bermula bertempur mati-matian tapi akhirnya jatuh cinta. Coa Leng menyatakan rela melepaskan diri dari perguruannya, memperbaiki perjalanannya yang sesat dan ikut serta menemani Swat-san Lojin kegunung Swat-san.

Setitikpun tak terkilas dalam pikiran Swat-san Lojin, bahwa dikala menjelang hari tuanya, dia bakal bertemu dengan seorang wanita muda yang rela menjadi isterinya. Dimabuk oleh kegirangan, lupalah Lojin itu akan akibat dan bencana- bencana dikemudian hari. Coa Leng diajaknya pulang ke Swat- san. Digunung salju nan terpencil sunyi itulah, mereka terangkap menjadi suami isteri.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar