Panji Sakti Bab 17 : Pesan Panji Sakti

17. Pesan Panji Sakti

Saat itu kedua Sian-ong sudah tiba dibelakang Ceng Ih, tapi seperti bermata pada punggungnya, Ceng Ih lontarkan tangannya kebelakang. „Wut,” kay-cu-na-si-mi menderu dan kedua Sian-ong yang sudah mengenyam rasanya pukulan itu, cepat menghindar kesamping.

Dengan rangkapkan sepasang tangan, Bo-ang berkeliaran kesebelah kanan kiri Ceng Ih. Kakinya amat berat, sehingga menimbulkan derap langkah yang keras. Dia hendak menunggu kesempatan untuk memberi hantaman berat.

Tapi demi menyaksikan bagaimana dalam dua buah pukulannya tadi tenaga si anak muda berlipat ganda dari sebulan yang lalu, dia menjadi bersangsi. Sampai sekian saat belum juga pukulannya dilancarkan. Hanya sang mata tetap dilekatkan ke arah sepasang muda mudi itu untuk menanti kesempatan dimana sekali hantam dapatlah dia meremukkannya.

Kedua Sian-ong itu rupanya tahu akan rencana sang pemimpin. Setelah menghindar, dengan cepatnya mereka maju merangsang lagi. Walau sejenakpun Ceng Ih tak mau lepaskan pandangannya ke arah Bo-ang, namun gangguan kedua Sian-ong dari belakang itu, tak diabaikannya juga.

Tangan kiri meninju, tangan kanan memukul kebelakang, maka terdengarlah teriakan mengaduh yang keras. Kedua Sian-ong itu menjerit kesakitan.

Justeru Ceng Ih tengah pencarkan tangannya kebelakang, Bo-ang tak mau mensia-siakan kesempatan sebagus itu.

Dengan gunakan seluruh tenaga, pemimpin Siao-ngo-tay-san itu cepat lancarkan pukulan dahsyat siu-li-kian-gun, sebuah pukulan lwekang yang sudah menggetarkan dunia persilatan.

Bagaimanapun juga, Ceng Ih sudah tak keburu menangkis atau menghindar lagi. Dan kalau dia coba kisarkan tubuh menghindar, tentu akan membentur Peng-ji yang berada disisinya itu. Dalam saat-saat yang genting itu, sekonyong- konyong dari sisinya terasa ada angin meniup, bukan sembarang angin, tetapi angin yang dingin sekali sampai menusuk masuk tulang.

Sungguh mengherankan, pukulan siu-li-kian-gun dari Bo- ang Sancu itu, seperti hilang lenyap masuk kedalam laut.

Sambaran angin dingin itu ternyata adalah berasal dari pukulan thian-hud-ciang yang dilepas Peng-ji.

Bagaimana lega perasaan Ceng Ih, dapat dibayangkan.

Justeru saat itu, keempat selir Bo-ang maju dari dua jurusan. Ceng Ih cepat teruskan kedua tangannya meninju dan memukul. „Wut,” keempat selir itu terpental sampai setombak lebih jauhnya.

Bo-ang berkuik-kuik seperti anjing digebuk, teriaknya:

„Kalau hari ini tak dapat memberesi kamu berdua anjing, kecewa aku menjadi keturunan Hoa-he Hi-hu!"

Seruan itu ditutup dengan gerakan maju, pukulan demi pukulan, sekali gus tujuh buah pukulan dilancarkannya.

Melihat lawan menjadi kalap, Peng-jipun berseru kepada Ceng Ih: „Engkoh Ih, mengapa kita bergerombol disini. Setan tua ini serahkan saja padaku, dan kau lekas beresi orang-orang itu!"

Ceng Ih mengiakan. Sekali sang kaki menginjak keras, dengan gerak liong-heng-it-si, dia mengapung sampai empat tombak keudara. Tepat pada saat itu kedua Sian-ong maju menyerang lagi. Diudara Ceng Ih berjumpalitan, dengan kaki diatas kepala dibawah, dia melayang turun sembari meninju dalam beng-kun-han-san-ho kepada kedua penyerangnya itu.

Mimpipun tidak kedua Sian-ong itu bahwa si anak muda mempunyai gerakan yang sedemikian tangkasnya itu. Belum lagi tubuh mereka berdiri jejak karena menyerang maju tadi, atau kepalanya terasa seperti disambar badai angin yang dahsyat. Namun tak kecewa kedua Sian-ong itu menjadi orang pilihan Bo-ang Sancu. Dalam keadaan yang serba sulit itu, mereka tak menjadi kacau.

Secepat kilat mereka buang tubuhnya menghindar kesamping sampai setombak lebih jauhnya. „Bum,” tempat dimana habis ditempati kedua Sian-ong itu, telah amblong menjadi sebuah lubang sedalam setengah meter. Tanah dan batu-batu berhamburan terbang kemana-mana!

Benar-benar bandel kedua Sian-ong itu. Lolos dari lubang jarum, mereka segera memberi isyarat kepada selir Bo-ang untuk memburu anak muda itu lagi. Terang mereka berhadapan dengan musuh yang mempunyai pukulan sakti, namun mereka tetap berpantang mundur, karena taatnya kepada perintah sang pemimpin.

Pada partai sana, Bo-ang bergebrak dengan serunya pada Peng-ji. Bo-ang yang membanggakan dirinya sebagai tokoh yang menjagoi dunia persilatan itu ternyata tak dapat berbuat banyak terhadap dara gunung salju itu. Keadaan pemimpin Siao-ngo-tay-san itu laksana manusia iblis. Sepasang matanya berkilat-kilat memancarkan api, rambutnya yang merah sama menjengkat. Berkeliaran kian kemari dihadapan si dara, setapak demi setapak kakinya melangkah berat, meninggalkan bekas telapakan kaki yang dalam. Dengus dengkurnya yang menggelegar, makin menambah keseramannya.

Wajah Peng-ji tetap membeku, bahkan sempat pula ia mengolok: „Harimau yang tak berani makan orang, hanya macam iblis yang menakut-nakuti anak kecil saja. Apakah kau kira dengan lagakmu keseram-seraman itu, dapat menakuti nonamu ini? Hem, hendak kubuka matamu agar kau mengetahui bahwa diatas gunung masih ada langit yang tinggi lagi. Ilmu Sakti dari Swat-san juga bukan permainan anak- anak!"

Sembari berlincah mulut itu, Peng-ji makin maju menerobos disela-sela deru pukulan lawan. Tubuhnya yang kecil ramping, lemas gemulai bagai dahan batang liu tertiup angin, tangkas lincah laksana kupu-kupu berterbangan diantara kuntum bunga. Seperti bayangan setan, ia mengitari Bo-ang, ada kalanya mencuri lubang kesempatan untuk menjotos atau mendupak, suatu hal yang membuat pemimpin Siao-ngo-tay- san itu berkuik-kuik murka.

Bahwa Bo-ang Sancu sangat dimalui dalam dunia persilatan itu memang pada tempatnya. Baik ilmu pukulan maupun lwekangnya, memang telah mencapai tingkat tertinggi. Namun berhadapan dengan ilmu dari Swat-san yang luar biasa itu, dia benar-benar mati kutunya. 

Sedemikian rupa kelincahan gin-kang dara itu, sehingga yang tampak hanya bayang-bayang putih saja yang memudarkan mata. Sedikit lengah dara nakal tapi lihay itu pasti akan memberi persen jotosan atau dupakan. Karena kewalahan, akhirnya Bo-ang timbul keganasannya.

Ciak-tok-liong-ciang atau pukulan naga merah berbisa yang dilatihnya bertahun-tahun itu, kini akan dikeluarkan. Diam- diam lwekang ganas itu disalurkan ke arah tangannya. Begitu ada kesempatan, dia hendak memberi pukulan yang menentukan.

Disebut Ciak-tok-liong-cian, karena memang lwekang itu menyemburkan warna merah. Maka bagaimanapun Bo-ang hendak merahasiakan, tetapi kentara juga. Sepasang tangannya, kesepuluh jari-jarinya, segera tampak merah tua. Sudah tentu, Peng-ji segera mengetahuinya.

Tahu juga ia, bahwa Ciak-tok-liong-ciang itu maha ganas, maka tak mau ia memberi kesempatan pada lawan untuk melepaskan pukulannya itu. Kini gin-kangnya diperganda.

Laksana naga memain di air, ia berputaran gesit sekali mengitari lawan.

Sebenarnya sudah beberapa kali, ia memperoleh kesempatan untuk menghabisi jiwa lawan itu, namun mengingat bahwa Bo-ang itu adalah angkatan tua dalam perguruan Ceng Ih, sengaja ia tak mau turunkan tangan ganas.

Kembali pada partai Ceng Ih, ternyata pemuda itu dapat mengatasi keenam pengeroyoknya yang maju dengan senjata pedang dan kebut hud-tim. Setiap kali dia meninju atau memukul, lawan tentu akan ngacir.

Sudah tentu Ceng Ih banyak mempunyai kesempatan untuk meninjau pertempuran partai Bo-ang lawan Peng-ji. Demi dilihatnya Bo-ang mempersiapkan Ciak-tok-liong-ciang, Ceng Ih menjadi rusuh hatinya. Kuatir sang dara akan mendapat celaka, begitu menghalau Ceng-hui dan Ciang-hui, dia cepat meneriaki Peng-ji: „Adik Peng, hati-hatilah dengan tok-ciang lawan, jangan sekali-kali berani merapat!"

Ketika Ceng Ih pencarkan perhatian untuk meneriaki Peng- ji itu, kedua Sian-ong cepat sudah menyerangnya lagi. Tetapi dalam gaya gerakan kay-cu-na-si-mi, dia songsong serangan kedua Sian-ong itu, sudah tentu kedua Sian-ong itu cepat melompat kesamping.

Dalam pada itu, Sing-hui dan Kui-hui pun sudah membacok dari arah kiri. Ceng Ih abitkan tangan kirinya dalam beng-kun- han-san-ho. Celaka, karena sudah terlalu merapat dekat, kedua wanita itu tak sempat menghindar lagi. „Bluk, bluk,” dua buah tamparan keras dengan telaknya telah menghantam muka Siang-hui dan Kui-hui. Mulut menyembur darah, menggeleparlah kedua wanita itu roboh ketanah dan putus jiwanya .........

Pada saat Ceng Ih gerakkan tangan kiri menghantam Siang-hui dan Kui-hui tadi, kedua Sian-ong dan Ceng-hui, Ciang-hui sudah mengetahui bakal terjadi suatu malapetaka. Dari dua jurusan, mereka berempat cepat menyerbu. Empat orang dengan pukulan tangan, dan hantaman senjata, berbareng menyerang Ceng Ih dari atas, tengah dan bawah.

Lihay benar Ceng Ih itu! Setelah mendapat pengalaman berharga dalam percobaan dengan Swat-san Lojin tempo hari, Ceng Ih dapat berlaku tenang untuk menguasai diri. Sekali melambung ke udara, dia hindari serangan-serangan dari dua jurusan itu. Diatas udara, dia segera membagi pukulan, kay- cu-na-si-mi ke arah kedua Sian-ong dan beng-kun-han-san-ho untuk kedua wanita.

Bahwa Ceng Ih ternyata dapat bergerak setangkas itu, sungguh diluar dugaan keempat orang itu, karena itu mereka tak sempat menghindar serangan balasan si anak muda. Tiada lain pilihan lagi bagi kedua Sian-ong, kecuali gunakan kekerasan menangkis kay-cu-na-si-mi.

„Plak,” siapa-siapa yang keok segera kelihatan. Kedua Sian- ong rasakan lengannya seperti remuk, darah didada berombak keras, wajahnya pucat lesi. Terpelanting sampai jauhnya, mereka laksana busur yang terpentang penuh, atau pelita yang sudah kehabisan minyak.

Sedang kedua wanita itu? Ceng-hui dan Ciang-hui berkepandaiannya jauh lebih rendah dari kedua Sian-ong, lebih mengenaskan lagi keadaannya. Belum lagi mereka melihat jelas apa yang akan terjadi, tahu-tahu darah didada bergolak dan jantungnyapun sudah putus. Susul menyusul kedua wanita itu rubuh tak bernyawa dita¬nah ..............

Dari keenam pengeroyoknya, yang empat mati yang dua luka berat. Kini bebaslah Ceng Ih dengan girangnya. Betapa tidak? Kalau keempat selir Bo-ang sama binasa itulah jamak. Tapi bahwa kedua Sian-ong itupun dapat dilukai berat, itu sungguh mengagumkan sekali. Bagaimanapun juga, kedua Sian-ong yang bertugas untuk menjaga pintu markas Siao- ngo-tay-san selama ini, adalah dua tokoh persilatan kelas satu yang lihay.

Kesudahan pertempuran dalam partai Ceng Ih itu, diketahui juga oleh Bo-ang dan Peng-ji. Tapi oleh karena mereka sendiri tengah terlibat dalam pertempuran maut, jadi tak dapat berbuat apa-apa.

Bahwa keempat selirnya sama binasa dan kedua orang kepercayaannya terluka berat, mau tak mau membuat Bo-ang terpengaruh juga hatinya. Kalau dapat hendak dia telan hidup- hidupan kedua pemuda itu. Namun apa daya, ciak-tok-liong-ciang yang sudah disiapkan itu, tetap belum memperoleh kesempatan untuk melepaskannya. Untuk melepaskan kemarahannya, dia hanya dapat berkaok-kaok seperti orang kerangsokan setan saja.

Sebaliknya demi tampak sang kekasih mendapat kemenangan, semangat Peng-ji makin bertambah. Ia sengaja pamerkan kepandaiannya. Gerakannya masih lincah, sehingga membuat Ceng Ih kagum melihatnya.

„Engkoh Ih, jangan kau kesima. Bangsa kaum persilatan bebodoran ini, memang tak pantas diberi hidup. Kematian mereka mengapa perlu disesalkan ”

Belum sempat Peng-ji menyebutkan kata terakhir itu, Bo- ang sudah bertindak. Melihat lawan terpencar perhatiannya karena bicara itu, Bo-ang tak mau sia-siakan kesempatan yang jarang terdapat itu. Sepasang tangannya didorongkan kemuka dan meniup serangkum angin panas membakar diri Peng-ji.

Merasa kepanasan, Peng-ji terkejut. Buru-buru ia hendak keluarkan thian-hud-ciang yang berhawa dingin, tapi sudah tak keburu lagi. Dalam keadaan darurat, terpaksa ia enjot tubuhnya melambung sampai empat tombak keudara.

Benar wajahnya dapat terhindar dari sambaran angin panas, tetapi bagaimanapun juga tubuhnya tak dapat lolos. Tubuh yang putih meletak laksana salju itu, segera berobah merah warnanya ..........

Sewaktu Ciak-tok-liong-ciang melancar, Ceng Ih yang turut merasa kepanasan, sudah mengeluh celaka. Tapi dalam keadaan seperti itu, diapun tak berdaya lagi untuk menolong dengan ketiga pukulan saktinya. Belum sempat sang mulut berteriak, Peng-ji sudah dapat meloloskan diri dari pukulan lawan. Tapi demi melihat tubuh gadis itu berobah merah warnanya, dia segera mengetahui bahwa dara itu sudah terkena pukulan.

Dalam keadaan terpaksa, tentu timbul pikiran. Kiranya kata-kata itu benar dan terjadi juga pada diri Ceng Ih. Melihat kulit tubuh sang kekasih kena racun, dia cepat gunakan pukulan yang terlihay it-ci-ting-kian-gun.

Sebuah jari tengah ditutukkan ke arah sepasang tangan Bo- ang tadi, sambil meneriaki Peng-ji: „Adik Peng, lekas jalankan pernapasanmu, apakah hawa murni dalam tubuhmu sudah ada tanda-tanda terkena racun tidak! Aku hendak memberesi Bo-ang Sancu ini dulu!”

Bahwa gerak mencuri memberi pukulan tadi, walaupun lawan dapat lolos dari lingkaran tok-ciang namun kulit tubuhnya terkena racun juga, telah membuat Bo-ang kegirangan setengah mati. Tak sampai tiga jam lagi, racun itu akan menjalar kejantung dan binasalah tentu sudah dara itu. Demikian keganasan Ciak-tok-liong- ciang!

Justeru karena dimabuk kegirangan itu, sampai lupa dirilah pemimpin Siao-ngo-tay-san itu. Serambut pun dia tak menyangka sama sekali, bahwa Ceng Ih sudah begitu cepat memberi reaksi serangan pembalasan.

Dia tak keburu menarik balik kedua tangannya dan seketika itu juga tangannya seperti dihantam dengan palu godam berat. Jalan darah pada pergelangan lengannya kena ditutuk kencang, ya kencang sekali rasanya hingga dia tak kuasa berusaha membuka jalan darah yang tertutuk itu lagi.

It-ci-ting-kian-gun merupakan ilmu yang tersakti dari ketiga ilmu pelindung Panji Sakti. Pukulan itu dapat menghancur- leburkan emas dan logam keras, dapat menyampok jalan darah pula. Kedahsyatannya tiada tertara.

Mengetahui bahwa Bo-ang Sancu itu masih keturunan dengan kakek gurunya (Hoa-he Hi-hu), pula adalah ayah dari gadis yang dicintainya (Tan He Kongcu), sebenarnya Ceng Ih tak mau mencelakainya. Tapi karena Peng-ji kala itu terkena pukulan beracun yang memerlukan pertolongan dengan segera, ditambah pula karena dia benci kepada lawan yang sudah menurunkan tangan begitu keji itu, maka kemarahannya tak dapat dikendalikan lagi.

Ilmu simpanan terpaksa dikeluarkan dan kini akhirnya dapatlah Bo-ang Sancu dikuasainya. Kesudahan itu amat melegakan hati si anak muda.

Saat itu Peng-ji tampak sudah duduk ditanah dan menjalankan peredaran darahnya. Percobaan beberapa kali memhuktikan bahwa jalan darahnya masih normal. Membuka mata, dara itu segera memberi tahu pada Ceng Ih: „Engkoh Ih, kiranya tak ada luka didalam. Aku hanya merasa tubuhku panas tiada terkira!

Habis itu, Peng-jipun lantas berbangkit. Menyengir muka ke arah lawan yang sudah tak dapat berkutik, ia tertawa melengking: „Baru beberapa detik yang lalu menjadi Bo-ang Sancu yang menepuk dada sebagai jago tiada lawan dikolong dunia, kini berdiri mematung seperti ayam-ayaman kaju yang tak dapat berkokok. Engkoh Ih, aneh sekali bukan?"

Kembali dara itu tertawa manis, seolah-olah ia tak merasa dirinya sedang terancam bahaya maut. Sebaliknya jelas kelihatan oleh Ceng Ih bahwa warna merah pada tubuh gadis itu makin tua, bagaikan yang mabuk minum arak. Tiga jam lagi, apalagi warna merah racun itu sudah menyerang jantung, maka sekalipun Hwa To itu tabib Sakti pada jaman Sam Kok hidup kembali, tetap tak nanti dapat menolongnya.

Adakah seorang dara suci laksana bidadari menjelma itu, harus mengalami nasib sedemikian mengenaskan? Teringat hal yang mengerikan itu, Ceng Ih terlongong-longong memandangnya. Tak terasa butir-butir air mata mengucur dari mata turun membasahi bajunya.

Melihat sikap pemuda itu, Peng-ji tak habis herannya, buru- buru ia bertanya: „Engkoh Ih, seorang lelaki tak boleh sembarangan mengucurkan air mata. Mengapa kau menangis itu? Membunuh beberapa orang saja, buat apa digetuni? Lekas sudahi benggolannya dan kita lantas turun gunung!"

Ceng Ih seperti disadarkan dari mimpinya. Menatap ke arah Bo-ang Sancu, dia teringat akan kata-kata orang persilatan

„menolong orang keracunan harus minta obat kepada orang yang membuat racun itu.” Ya, karena berlatih Ciak-tok-liong- ciang, Bo-ang tentu sedia dengan obat pemunahnya. Lebih dahulu Ceng Ih memandang ke arah kedua Sian-ong itu.

Dilihatnya kedua orang itu tengah berusaha sekuat usaha untuk menyalurkan pernapasan. Rupanya mereka terluka parah sekali.

Setelah yakin kedua orang itu tak nanti dapat mengganggunya, Ceng Ih segera melangkah kehadapan Bo- ang Sancu, serunya: „Sekarang kau ibarat burung dalam sangkar atau ikan dalam jaring. Mati hidupmu tergantung ditelapak tanganku. Apa yang hendak kaukatakan lagi?"

Bo-ang dongakkan kepala tertawa keras, sahutnya: „Apa yang hendak kukatakan lagi? Keturunan Hoa-he Hi-hu masakan berjiwa rendah untuk mohon belas kasihan pada orang? Karena telah kaukuasai, mau bunuh silahkan bunuh, aku tiada punya omongan lagi!" 

Peng-jipun menghampiri, mulutnya segera menghamburkan rangkaian kata-kata: „Ah, tak nyana Bo-ang Sancu yang tiada lawannya di kolong langit itu, ternyata seorang jantan yang herhati keras, sungguh pantas dikagumi, layak mendapat penghormatan!"

„Jangan kau mengumbar lidah tajam, budak hina!” bentak Bo-ang dengan gusarnya, „kalau aku mati, apa kau juga masih hidup? Coba lihat saja nanti, apakah Swat-san Lojin dapat menolongmu?"

Mendengar itu, tak kurang juga amarah Peng-ji. Serentak mengangkat tangan ia sudah akan menghantam pemimpin gunung itu. Cepat Ceng Ih mencegahnya, tapi demi dia memegang tangan dara itu, cepat-cepat dilepaskannya lagi karena tak tahan panasnya.

„Adik Peng, kaurasakan tubuhmu bagian mana yang sakit?" tanyanya dengan cemas.

Namun masih tertawa riang, dara itu menyahut: „Ah, tidak apa-apa, hanya merasa panas dan haus saja."

Bo-ang Sancu tertawa sinis: „Panas dan haus? Tak sampai tiga jam lagi, kaupasti akan merasa ‘bahagia'!"

Tak dapat dikendalikan lagi gusarnya, Peng-ji terus hendak ayunkan tangan tapi lagi-lagi dihadang Ceng Ih. Kemudian berkatalah pemuda itu kepada Bo-ang Sancu: „Aku adalah murid pewaris nomor lima dari Panji Sakti dan kau adalah keturunan dari Hoa-he Hi-hu. Seharus kita tak boleh saling bermusuhan, tapi harus bersatu agar keagungan Panji Keramat itu makin semarak. Apalagi aku telah mengikat janji pada Tan He Kongcu untuk menjadi kawan hidup selama- lamanya. Dengan begitu nama-baikku juga berarti nama baikmu. Mengapa kau selalu membanggakan kekuatan dan memusuhi diriku?"

Bo-ang Sancu tundukkan kepada tak berkata-kata. Ceng Ih maju lebih lanjut. Bersuit keras, dia teruskan kata-katanya:

„Panji Sakti berkibar dan bernaunglah semua kaum persilatan. Adakah kau yakin akan mampu melindungi Panji Keramat itu? Jangan mengira Ceng Ih sekarang ini sama dengan Ceng Ih sebulan yang lalu, coba lihatlah ”

Ucapan itu ditutup dengan sebuah gerakan tangan kiri dalam jurus beng-kun-han-sam-ho. „Krak, krak,” sebatang pohon besar yang terletak dua tombak jauhnya segera roboh terjebol sampai pada akarnya. Itu saja Ceng Ih hanya seenaknya meninju, belurn menggunakan seluruh tenaganya.

Mau tak mau terkejut juga Bo-ang Sancu akan kesaktian anak muda itu. Heran dia mengapa dalam waktu sebulan saja pemuda itu sudah berobah sedemikian saktinya, ya bahkan lebih lihaylah dari Thiam-lam-ping-siu. Kalau tak menyaksikan sendiri, dia tentu tak mau percaya sama sekali. Hati merasa kagum, namun mulut pemimpin Siao-ngo-tay-san itu tetap mengancing rapat-rapat.

Melihat perobahan kerut wajah Bo-ang, Ceng Ih berkata pula: „Kalau aku berwatak seperti perangaimu, tentu dengan mudahnya akan kuratakan markas Siao-ngo-tay-san ini. Tapi pohon dan air adalah merupakan kesatuan. Aku tak mau berbuat begitu, asal kau dapat meluluskan dua buah syarat yang kuajukan."

Dua buah syarat? Kesatu, tentu akan minta obat untuk Peng-ji, tapi apakah yang kedua itu? Demikian Bo-ang menduga-duga. Tokoh yang biasanya amat congkak itu, kini terpaksa menggunakan pertimbangan hati. „Apakah kedua syarat itu?" tanyanya dengan mata berkilat- kilat.

Ceng Ih tertawa lepas, ujarnya: „Sederhana sekali.

Pertama, sejak kini kau harus memperlakukan baik-baik kepada Tan He Kongcu, jangan menghalangi kemauannya. Kemudian yang kedua, harap kau suka berikan obat pemunah racun itu."

Itulah! Bo-ang tadi sudah dapat menduga salah satu dari syarat yang akan diajukan padanya. Tapi sedikitpun dia tak menyangka, bahwa syarat yang lainnya sedemikian sepelenya. Ayah harus menyayangi anaknya, itukan sudah jamak. Tanpa si anak muda meminta, dia tentu sudah berlaku demikian juga. Tapi bahwa pemuda itu toh mengajukannya juga, nyata kalau mengandung maksud tertentu.

Baru Bo-ang hendak membuka mulut mengiakan, Peng-ji sudah menyeletuk: „Mengapa minta obat? Siapa yang mau minum obat?"

Ceng Ih dan Bo-ang diam-diam menahan geli. Bahkan pemimpin Siao-ngo-tay-san itu lantas tertawa terbahak-bahak, serunya: „Ya, ya, kuterima syaratmu itu, tapi jangan menambahi ini itu lagi?"

Ceng Ih mengangguk dan tanpa menghiraukan pertanyaan Peng-ji tadi, dia kebutkan tangan untuk membuka jalan darah Bo-ang yang tertutuk itu. Seketika terasa darah mengalir pula pada lengannya, Bo-ang rasakan kedua lengannya itu menjadi hidup lagi.

Merogoh dari bajunya sebuah botol kumala, dia menuang tiga butir pil warna biru yang besarnya sama dengan biji kacang. Pil itu diangsurkan kepada Ceng Ih, katanya:

„Walaupun kesaktian Swat-san Lojin itu menyamai dewa, namun tak nanti dapat mengobati Ciak-tok-liong-ciangku itu. Kulihat kau ini seorang pemuda yang jujur maka kuberikan tiga butir pil ini kepadamu. Tapi akupun mempunyai sebuah permintaan yang tak berarti."

Ceng Ih buru-buru menanyakannya.

Bo-ang lebih dahulu tertawa, baru menyahut: „Cita-citaku juga sederhana sekali. Karena aku tak becus melindungi Panji pusaka leluhurku, kiranya tak berlebih-lebihan kalau aku kepingin saja untuk melihatnya barang sejenak!"

Kini giliran Ceng Ih yang melongo. Serambutpun dia tak mengira bahwa Bo-ang Sancu akan mengajukan permintaan begitu. Namun selagi dia masih ragu-ragu, Bo-ang sudah berkata lagi dengan nada bersungguh: „Lohu mempunyai reputasi (nama) yang jelek, jadi tentu tak dipercaya orang. Begini sajalah, tutuk lagilah jalan darahku, agar aku tak dapat mempunyai maksud untuk merampasnya!”

Ceng Ih adalah seorang pemuda yang berhati kesatria. Sudah tentu dia malu mendengar ucapan Bo-ang Sancu itu. Secepat tangan merogoh kedalam baju, maka dikeluarkanyalah sehelai Panji. Begitu Panji itu ditebarkan, dia segera berseru: „Lihatlah!"

Jangankan Bo-ang Sancu, sedangkan Peng-ji yang hampir sebulan bergaul rapat dengan Ceng Ih itu, tak pernah melihat bentuk yang sebenarnya dari Panji Keramat. Selama itu mereka hanya pernah mendengar namanya saja. Saat itu Peng-ji bersama Bo-ang tegak berdiri dimuka Panji dan mengawasi dengan perdata.

Sehelai Panji bersulamkan benang putih dan ditengahnya terdapat lukisan sebuah hati merah, memancarkan cahaja yang berkilau-kilauan. Sambil menikmati, Bo-ang nyaring- nyaring membaca huruf-huruf yang tersulam pada Panji itu:

„Peribudi dan peri kebenaran, itulah yang dinamakan berbakti dan cinta tanah air. Pat tek su wi (delapan budi susila, empat dasar hidup), harus dijunjung tinggi. Panji Sakti berkibar, bernaunglah seluruh kaum persilatan."

Membaca habis huruf-huruf yang bersulam benang emas itu, dengan hikmat Bo-ang Sancu bersujud ketanah. Setelah memberi hormat sampai empat kali, barulah dia berdiri lagi. Katanya dengan wajah bersungguh: „Baik, terima kasih! Tapi anak muda, karena aku adalah keturunan Hoa-he Hi-hu, maka tak nanti membiarkan Panji pusaka jatuh ditangan orang lain untuk selama-lamanya. Kubersumpah kelak pasti akan mengambilnya kembali, itulah keris pulang kerangkanya, pusaka kembali ke tuannya.”

Mendengar itu„ berserulah Ceng Ih dengan lantang:

„Kepicikan pandangan Sancu itu, sukar diterima dengan Ceng- li (nalar atau logika). Tujuan mendiang Hoa-he Hi-hu menciptakan Panji Keramat ini, ialah hendak mempersatukan kaum persilatan yang terpecah belah agar semuanya bernaung dibawah perlindungan Panji itu. Dalam pengumumannya dihadapan para orang gagah, beliau menyatakan ikrarnya, bahwa kelak bagi yang akan mewarisi Panji pusaka itu, tentu akan diberi pelajaran ketiga ilmu pelindung Panji yang amat sakti. Tolong tanya, berdasarkan alasan apa maka Sancu tadi menyebut-nyebut tentang dalil 'keris pulang kekerangkanya, pusaka kembali kepada tuannya' itu? Setelah empat turunan ahli waris, kini Panji itu jatuh menjadi beban Ceng Ih. Sudah tentu akupun tetap akan menjunjung cita-cita Hoa-he Hi-hu almarhum. Tubuh Ceng Ih boleh hancur lebur, namun Panji Sakti tak nanti kuijinkan orang menghinanya. Kalau Sancu masih tetap mengandung hati tak puas, Ceng Ih rela menerima segala dampratan dan petunjuk-petunjuk!" Bo-ang mengiakan dan memberikan ketiga pil itu. Masih dengan nada kasar lantang dia berseru: „Minumkan pil ini dan jalankan lwekang sampai sehari. Siaoli (anakku perempuan) benar-benar tak berada digunung. Jika tak ada lain urusan kalian boleh pergi!"

Ceng Ih dan Peng-ji mengangguk lalu naik say-cu-hoa turun gunung. Gunung Siao-ngo-tay-san kembali sunyi. Dengan menahan luka berat, kedua Sian-ong mengubur korban-korban yang jatuh, lalu pulang kedalam markas.

Bo-ang Sancu yang menjagoi dunia persilatan, pada saat itu dilamun dengan pelbagai perasaan ..........

> ∞ <

Sewaktu turun dri Siao-ngo-tay-san, tetap Peng-ji tak merasa dirinya terkena racun maut. Ia hanya tak henti- hentinya menyatakan mulutnya haus kering. Adalah ketika ia mengetahui kulit tubuhnya makin merah, baru ia berteriak kaget.

Pada sebuah hutan lebat, Ceng Ih hentikan kudanya. Peng- ji dipondong turun diatas rumput. Katanya: „Adik Peng, lekas minum pil ini. Racunnya sudah merangsang hebat, tak boleh banyak bergerak. Habis minum, lekas salurkan lwekang, tentu akan sembuh!"

„Jadi kaukatakan aku sudah terkena racun pukulan setan itu?" tanya Peng-ji dengan terkejut sembari minum ketiga pil itu. Seketika dadanya terasa nyaman, semangatnya segar.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar