Panji Sakti Bab 13 : Khasiat Ulat Salju Peng-jan

13. Khasiat Ulat Salju Peng-jan

Sesaat Ceng Ih mendarat dipuncak, barulah diketahuinya bahwa si nona baju putih itu berada disisi Swat-san Lojin.

Yang pertama-tama menarik perhatiannya ialah rambut si nona yang mengurai panjang sampai keatas bahunya itu. Kalau rambut itu jurai untuk menutup muka, bukankah itu akan menjadi „si hantu dari pekuburan" tempo hari? Pikir Ceng Ih.

Dengan kemalu-maluan gadis itu segera sembunyi dibelakang ayahnya.

„Ho, kau juga kenal perasaan malu? Aneh, aneh!" Swat-san Lojin terkial-kial. Ceng Ih menyela dengan berlutut: „Wanpwe haturkan hormat kepada Lojin !"

Tempo hari berulang kali Ceng Ih hendak menghaturkan hormat, tetapi selalu dihindari orang tua itu. Kini Lojin itu ternyata berlapang hati menerima hormat si anak muda.

Tangan mengelus janggut, mulut tertawa dan wajah ramah berseri.

„Yah, orang kan datang dari jauh, mengapa kau ajak berdiri saja?" sesaat kemudian kedengaran gadis baju putih itu menegur Swat-san Lojin, lalu berlari masuk kedalam rumah.

Entah bagaimana, timbul rasa unsymphati (tidak suka) Ceng Ih terhadap gadis itu. Makin berat tuduhannya bahwa gadis itulah yang menyaru jadi hantu kuburan dan menculik Tan He Kongcu.

Namun karena kedatangannya kesitu itu akan meminta obat untuk supehnya, jadi terpaksa dia tahan perasaannya. Tanpa disadari matanya memandang kearah gadis yang lari masuk kedalam itu. Dia baru gelagapan ketika Swat-san Lojin menarik lengannya terus diajak masuk kedalam rumah.

Penerangan dalam rumah itu amat benderang. Walaupun alat perabotannya tak mewah, namun bersih dan menimbulkan suasana ketenangan. Sekilas teringat Ceng Ih akan pembilangan supehnya bahwa Lojin itu seorang tokoh yang berperangai aneh, bukan golongan jahat pun bukan blok kaum persilatan putih (baik). Heran, mengapa dia begitu baik kepadanya?

Begitu masuk kedalam rumah, Ceng Ih segera berlutut dihadapan orang tua itu seraya menerangkan maksud kedatangannya untuk mohon obat. Tiada terduga-duga, Lojin itu tertawa terkekeh-kekeh, ujarnya: „Masuklah kedalam, lihat siapa didalam ruangan itu?"

Belum Ceng Ih mengerti apa yang dimaksudkan Lojin itu, tiba-tiba dari arah ruangan yang ditunjuk orang tua itu terdengar sebuah suara parau dari seorang tua: „Supeh sudah lama berada disini, Ih-ji, mengapa tak lekas masuk kemari!"

„Supeh!!" teriak Ceng Ih dengan kagetnya.

Memburu keambang pintu kamar, Ceng Ih menjublek seperti patung. Diatas ranjang yang bersih, duduklah Thian- lam-ping-siu dengan mengulum senyum. Walaupun wajahnya masih pucat, namun nada suaranya sudah tak gemetar lagi. Anehnya, Wan-ji tak berada disitu.

„Supeh, kau ”

Biji mata Thian-lam-ping-siu mengedip, kepalanya mengangguk dan dengan tertawa menyahutlah dia: „Benar, aku sudah lebih dahulu berada disini!"

„Engkoh Ih, pun aku juga!'" tiba-tiba dari belakang Ceng Ih, terdengar nada seruan seorang gadis.

Benar Ceng Ih tak asing lagi dengan suara itu, namun tetap dia tersurut kebelakang saking kagetnya. Secepat berputar tubuh, mulutnya ternganga. Tegak berdiri dibelakangnya, ialah Wan-ji.

Hanya sepuluhan hari berpisah, gadis yang kurus kumal itu kini berobah menjadi seorang nona yang cantik. Dia tetap mengenakan pakaian pemberian dari si anak muda sekolahan alias Tan He Kongcu. Gadis itu merasa jengah dan tundukkan kepala. Ceng Ih seperti orang yang sadar tak sadar. Berulang kali dia mengoceh seperti orang kerangsokan setan. Menjambak- jambak rambut, dia berkata: „Mimpikah aku? Apakah kesemuanya ini dalam impian?”

Bahwa Swat-san Lojin dan puterinya dapat mendahului lari kuda Sakti say-cu-hoa dan tiba lebih dahulu ke Swat-san, itu tak seberapa mengherankan Ceng Ih. Tapi yang menakjubkan hatinya, mengapa supehnya yang sakit berat dan sumoaynya itu bisa berada disitu juga!

Kejadian-kejadian aneh yang dialaminya ditengah perjalanan, munculnya say-cu-hoa ditempat kediaman Swat- san Lojin, adanya sebuah tempat yang indah dengan alam musim semi ditengah-tengah pegunungan salju ini, merupakan serentetan kejadian aneh yang membayangi benak Ceng Ih. Lagi pula, keramahan budi Swat-san Lojin menyambut kedatangannya dan sikap malu-malu kucing dari si nona baju putih itu, amat membingungkan hatinya.

Mimpikah dia?

„Mengapa bukan impian? Lohu sudah hidup seratusan tahun dalam impian nan panjang!" tiba-tiba Swat-san Lojin tertawa berseru.

Memalingkan kepala, Ceng Ih dapatkan orang tua Sakti itu berdiri dibelakangnya. Berbareng itu, Thian-lam-ping-siu kembali menyuruhnya masuk: „Lekas kemari, kuceritakan halnya. Akupun belum berapa lama lebih dahulu dari kau!"

Waktu Ceng Ih melangkah masuk, kedengaran Swat-san Lojin tertawa lagi: „Baiklah, kalian boleh berunding. Lebih lekas selesai, berarti ringanlah bebanku, tercapailah idam- idaman hatiku!" — Habis berkata, orang tua Sakti itu sudah ngeloyor pergi. Tertegun Ceng Ih mendengar ucapan Swat-san Lojin itu. Tapi saat itu Thian-lam-ping-siu sudah menyuruhnya maju lebih dekat. Baru Ceng Ih maju menghampiri, pintu tertutup dan larilah Wan-ji kedekat pembaringan ayahnya.

„Engkoh Ih, kuhaturkan selamat padamu!" katanya dengan berbisik.

Untuk apa ucapan selamat itu dihaturkan? Kembali Ceng Ih terbenam dalam kegelapan.

Sebaliknya Thian-lam-ping-siu sudah lantas melarang puterinya banyak omong. Sesudah itu baru dia berkata kepada Ceng Ih: „Tiga hari sepeninggalmu, tahukah kau kalau supehmu ini tertimpah bahaya?"

Ceng Ih terbeliak kaget, sahutnya: „Mengetahui supeh berada dalam goa itu, tentulah Bo-ang tak mau melepaskan. Ini sudah kuduga semula. Apalagi Tan He Kongcupun pergi, tentulah Bo-ang segera adakan penyerbuan. Walaupun goa itu cukup pelik dan kamar rahasia supeh itu amat rapatnya, tapi lama kelamaan, dia tentu berhasil juga menemukannya!'"

Thian-lam-ping-siu mengangguk, ujarnya: „Akupun sudah mengetahui hal itu. Tapi dengan kepergianmu itu, akupun sudah siap dengan sebuah rencana untuk menghadapi musuh, kalau tidak masakan supehmu mandah saja menerima kematian?"

Rupanya Wan-ji tak sabar lagi menunggu pembicaraan ajahnya berdua itu. Menatap kearah Ceng Ih, ia bertanya:

„Tan He Kongcu, siapakah Tan He Kongcu itu?"

Ceng Ih tak mau menyahuti pertanyaan sumoaynya itu.

Buru-buru dia meminta keterangan dari supehnya bagaimana orang tua itu dapat lolos dari bahaya. 

Dengan wajah bersyukur, Thian-lam-ping-siu menunjuk keluar seraya menjawab: „Dewasa ini, kecuali Swat-san Lojin, siapakah yang sanggup melawan serangan Bo-ang Sancu dan kawan-kawannya? Jangankan mengerahkan seluruh anak buahnya, sedang dengan hanya membawa empat Cuncia dan tiga selirnya saja, kala itu serangan Bo-ang sudah sukar ditahan!"

„Lalu bagaimana jadinya?" desak Ceng Ih seperti semut diatas kuali panas.

Wan-ji menertawakan: „Ai, kau ini bagaimana engkoh Ih? Bukankah kami berdua selamat tak kurang suatu apa disini?"

„Memang Wan-ji ini seperti anak kambing yang tak takut pada harimau. Syukur dalam saat-saat yang berbahaya, seperti sudah tahu lebih dahulu apa yang bakal terjadi, muncullah Swat-san Lojin. Bo-ang Sancu mengkeret, tapi keempat Cuncia yang tak tahu kalau sedang berhadapan dengan gunung Thay-san, sudah lantas menyerang Lojin!"

Lagi-lagi Wan-ji menukas dengan bertepuk tangan. Katanya dengan tertawa riang: „Engkoh Ih, sayang kau tak melihat bagaimana keempat Cuncia itu dihajar pontang panting oleh Lojin. Seperti orang-orangan rumput saja, keempat paderi itu dilemparkan kebawah gunung!"

Siang malam Ceng Ih menempuh perjalanan yang begitu jauh, mimpipun tidak dia kalau ternyata supehnya, Thian-lam- ping-siu sudah lebih dahulu tiba di gunung Swat-san. Namun rasa herannya itu tetap tak mengurangkan kegirangannya yang meluap-luap karena bertemu kembali dengan supeh dan sumoaynya dalam keadaan tak kurang suatu apa. Walaupun wajah Thian-lam-ping-siu masih kentara belum sembuh, namun nada suaranya tak gemetar lagi. Atas permintaan Ceng Ih, maka berceritalah tokoh buta itu akan kejadian yang telah lalu.

Kiranya pada hari ketiga sejak kepergian Ceng Ih, maka datanglah Bo-ang Sancu bersama ketiga selir dan keempat Cuncia kegoa tempat persembunyian Thian-lam-ping-siu. Untunglah Swat-san Lojin tepat pada waktunya datang juga.

Melihat munculnya tokoh Sakti itu, Bo-ang kuncup nyalinya.

Tetapi tidak demikian dengan keempat Cuncia yang belum kenal siapa tokoh Swat-san Lojin itu. Mereka berempat maju menyerang dengan kesudahan, mereka sama dilemparkan kebawah gunung macam orang melemparkan orang-orangan rumput saja, oleh Swat-san Lojin. Dengan sedikit unjuk gigi itu, dapatlah Swat-san Lojin melepaskan Thian-lam-ping-siu dari bahaya.

„Engkoh Ih,” tukas Wan-ji seraya bertepuk tangan tertawa cekikikan „bukankah kausering mengatakan bahwa pemuda pelajar itu seperti mempunyai indera pengawasan, tahu lebih dahulu apa yang akan terjadi. Tapi nyatanya kali itu dia tak muncullah!"

Yang dimaksudkan si pemuda pelajar oleh Wan-ji itu bukan lain ialah nona cantik yang siang malam dibuat kenangan oleh Ceng Ih, pernah memberi kuda say-cu-hoa-cian-li-ma dan pernah menolong jiwanya, yakni Tan He Kongcu. Tadi karena menguatirkan keselamatan supehnya, lupalah sudah Ceng Ih akan bayangan Kongcu itu.

Tapi kini serta didapatinya sang supeh tak kurang suatu apa dan Wan-ji membangkitkan nama nona itu, benak Ceng Ih serasa diselubungi oleh bayangan Tan He. Serongga dadanya penuh sesak dengan sesal kecewa, mengapa dia tak mempunyai sayap untuk segera terbang ke Siao-ngo-tay-san menolong Kongcu itu ........

Teringat akan Tan He, tak lepas pula Ceng Ih memikirkan diri puteri tunggal dari Swat-san Lojin yang aneh sikapnya itu. Bahwa ayah dan puterinya mau mengeluarkan tenaga untuk menghalau Bo-ang, pula selama dalam perjalanan ke gunung salju itu tak henti-hentinya nona itu menyiapkan segala keperluannya, diam-diam Ceng Ih menarik kesimpulan bahwa nona itu tentu mengandung maksud tertentu kepadanya.

Tetapi mengapa nona itu menawan Tan He Kongcu dan menyerahkannya kepada Chit-Cincu?

Dalam bayangan teka teki aneh dari si gadis gunung salju itu, dengan sadar tak sadar, Ceng Ih menyahuti pertanyaan Wan-ji: „Apakah yang kau maksudkan itu Tan He kong .....

cu:'"

Bahwa ternyata jawaban Ceng Ih lain dari pertanyaannya, telah membuat Wan-ji keheran-heranan. Tanyanya dengan cepat: "Jadi kaukatakan kalau pemuda pelajar itu adalah puteri Bo-ang Sancu si Tan He Kongcu? Habis mengapa dia

.........”

„Kau sendiri seorang budak yang tak cermat!" tukas Thian- lam-ping-siu dengan mata terbalik, „Tan He Kongcu mengganti konde dengan kopiah, masih kau tak dapat mengetahuinya. Ih-ji, bukankah kau bermula menuju ke Swat- san dengan Tan He Kongcu?”

Ceng Ih segera tuturkan bagaimana Kongcu itu menjumbangkan seekor kuda say-cu-hoa-cian-li-ma tapi kemudian dirampas oleh puteri Swan-san Lojin yang menyamar, bahkan akhirnya Kongcu telah diculik olehnya (puteri Swat-san Lojin) dan diserahkan kepada Chit-Cincu. Ceng Ih menyatakan tak mengerti akan sikap puteri dari Swat- san Lojin itu.

Thian-lam-ping-siu merenung beberapa jenak, lalu berkata dengan nada lemah: „Ih-ji, sebenarnya aku mempunyai angan-angan begini. Apalagi kau sudah balik dari Swat-san dan jiwaku tertolong, maka hendak kutilik benar-benar pelajaran tiga jurus sin-kang agar dapat kauyakinkan dengan sempurna. Dengan begitu takkan sia-sialah harapan cousu kita. Tapi ternyata segala apa berjalan diluar dugaan. Kini kita harus berhadapan dengan sebuah pilihan berat, dimana

sebuah keputusan ya atau tidak merupakan penyelesaian yang terakhir."

Mata Ceng Ih terbeliak, tanyanya buru-buru: „Ya atau tidak? Apanya yang perlu di-ia-kan dan di-tidak-kan itu? Supeh, diluar Bo-ang Sancu, masih ada masalah berat lagi, apa itu?”

Biji mata Thian-lam-ping-su yang lebih banyak bagian putihnya itu terbalik, lalu dengan suara pelahan berbisik:

„Swat-san Lojin seorang tokoh yang berhati tinggi dan beradat aneh. Apakah kau tak mendengar tadi dia mengatakan perihal menyelesaikan tugas harapannya? Adalah ketika aku minta obat kepadanya, dia telah mengajukan syarat ”

„Syarat apa? Supeh, syarat apa yang dikehendaki itu?" tukas Ceng Ih.

„Puteri Swat-san Lojin itu bernama Peng-ji. Juga seperti ajahnya, dara itu berhati tinggi, suka aleman sekali. Tapi diluar dugaan, ia jatuh hati padamu. Kalau kau dapat terangkap jodoh dengannya, bukan melainkan penyakit supehmu akan sembuh, pun kau sendiri akan mendapat tambahan ilmu yang Sakti!" Ternyata penyakit Thian-lam-ping-siu itu sudah berakar sangat dalam. Walaupun ketika di goa, Swat-san Lojin telah gunakan lwekang untuk mengobatinya sehingga keadaannya agak mendingan, tapi dikala dia banyak bicara itu, tak urung suaranya menjadi gemetar juga, pertanda napasnya masih belum kuat.

Dengan wajah yang mengembang air mata dan suara yang sember, berkatalah Wan-ji mendesaknya: „Engkoh Ih, demi untuk kepentingan dia si orang tua yang sakit ”

Belum sempat Ceng Ih membuka suara, Thian-lam-ping-siu sudah mendahului: „Wan-ji, tak boleh lancang mulut!" — Habis itu dia berpaling ke arah Ceng Ih lagi, ujarnya:

„Harapanku telah tercapai, jiwa dalam tubuh yang sudah rusak itu tak perlulah disayangkan. Dibawah naungan Panji Sakti, tiada barang suatu ancaman yang perlu dijerikan. Ih-ji, kau bebas dan tak perlu takut untuk menjatuhkan pilihan!"

Suasana menjadi hening, yang terdengar hanyalah helahan napas dan isak tangis yang tertahan ........

> ∞ <

Ternyata dimuka dan dibelakang pintu ruangan itu, ada orang bersembunyi mendengarkan. Begitu pembicaraan dalam kamar sudah sirap, maka bayangan putih kecil yang bersembunyi di belakang pintu itu, segera melesat pergi.

Sementara orang yang bersembunyi dimuka pintu, terdengar tertawa gelak-gelak. Pintu cepat terbuka dan orang itu yang bukan lain Swat-san Lojin adanya, segera melangkah masuk sembari tangan kirinya memegang sebuah peti emas.

Demi melihat wajah tegang dari Thian-lam-ping-siu bertiga, berkatalah Swat-san Lojin: „Aku si orang tua ini meskipun berwatak tinggi (jumawa), tapi tak mau melihat orang direnggut bayangan maut. Mengingat bahwa Hoa-he Hi-hu itu sahabatku yang paling akrab, maka kini lohu hendak mengobati dulu penyakitmu untuk mempertahankan selembar jiwamu itu."

Mendengar itu, Ceng Ih tersipu-sipu berlutut memberi hormat: „Atas budi pertolongan lo-cianpwe itu, selama hayat masih dikandung badan, Ceng Ih tentu takkan melupakan.”

Swat-san Lojin tertawa gelak-gelak.

„Ini bukannya karena nuraniku terketuk memberi pertolongan, melainkan gara-gara anakku perempuan yang sudah rusak karena keliwat kumanjakan itu. Biasanya ia amat angkuh dan jumawa, tapi entah bagaimana demi berjumpa dengan kau si buyung ini, lantas jatuh hati. Budikah, kebaikankah, tak perlu kau mengucap terima kasih padaku.

Penasarankah, haramkah, pun tak usah kau menyalahkan padanya!"

Selesai berkata, tokoh aneh itu lalu membuka peti emas dan berkata pula: „Aku si tua bangkotan ini, selama berpuluh tahun tinggal digunung Swat-san sini, hanya dapat menemukan dua ekor ulat peng-jan (ulat salju) yang berumur ratusan tahun. Yang seekor kuberikan kepada supehmu, dan yang seekor lagi turut kemauan Peng-ji, supaya diserahkan kepadamu. Ini berarti lohu memberi padamu peyakinan lwekang selama berpuluh tahun!"

Dari dalam peti itu, dibukanya sebuah buntalan kecil dari kain beludru, kemudian dengan gunakan sebuah sendok kumala, diambilnya dua ekor ulat salju yang berwarna putih mulus. Seekor dimasukkan kedalam mulut Thian-lam-ping-siu, seekor disuruhnya Ceng Ih makan. Kemudian terdengar orang tua aneh itu berseru: „Mengapa tak lekas-lekas duduk menyalurkan hawa dalam. Ayuh, lekas pusatkan seluruh perhatianmu dan salurkan hawa dalam keseluruh tubuh. Tiga kali penyaluran itu harus kalian ulang

.....”

Ceng Ih menurut perintah. Habis melakukan tiga kali penyaluran hawa dalam, ketika membuka mata, Ceng Ih rasakan semangatnya penuh, jalan darahnya serasa lancar. Karena berjalan siang malam dalam sepuluh hari, tenaga Ceng Ih sudah hampir habis. Tapi begitu menelan peng-jan, semangatnya terasa segar kembali, letihnya hilang lenyap, tenaganya berlipat ganda.

Sementara itu, Thian-lam-ping-siu tengah menghadapi saat-saat yang genting ketika melakukan penyaluran hawa- dalam itu. Rupanya hawa cin-gi mengeram pada jalan darah ki-kwat. Kini dia berusaha untuk menembusnya agar darah dapat mengalir dengan normal. Rupanya karena masih menderita sakit, hampir saja Thian-lam-ping-siu gagal dalam percobaannya itu.

Untunglah Swat-san Lojin segera tempelkan sebuah tangannya kepunggung Thian-lam-ping-siu. Lojin itu hendak membantu Thian-lam-ping-siu untuk menyalurkan peredaran darahnya. Kedua tokoh itu sama bersimbah peluh pada dahinya.

Rupanya Thian-lam-ping-siu tengah berjuang mengusir hawa murni yang kesasar berkumpul dijalan darah ki-kwan- hiat. Ubun-ubun kepalanya seperti mengeluarkan uap.

Wan-ji mengawasi kedua tokoh itu dengan mata tak terkesiap. Sedang Ceng Ih yang kala itu sudah pulih, dengan berjengket supaya tak membikin kaget, sudah keluar dari ruangan situ. Sekonyong-konyong terdengarlah suara kuda meringkik sangat nyaringnya bagai aum naga ”

Itulah kuda Sakti say-cu-hoa! Adakah kuda itu dicuri orang lagi? Dalam kejutnya, Ceng Ih cepat memandang ke arah datangnya suara itu. Hai, itulah dia! Jauh didataran lamping gunung, tampak seekor benda kecil hitam meluncur dengan pesatnya. Saking jauhnya, benda itu hanya sebesar kacang saja tampaknya, sedang penunggangnyapun kelihatan macam setitik benda putih yang amat kecil.

Ha, bukankah si penunggang itu si nona baju putih?

Beberapa kali dia sudah menerima budi bantuan nona itu, namun belum sempat untuk menghaturkan terima kasihnya. Ah, kini dia harus menemuinya.

Setelah makan ulat salju yang berumur ratusan tahun itu, tenaga Ceng Ih berlipat beberapa ganda. Ceng Ih yang sekarang, jauh bedanya dengan Ceng Ih yang baru datang kemarin. Mendongak kemuka, dilihatnya sang surya baru mulai mengintip diufuk timur. Tiba-tiba dia bersuit keras, begitu keras nada suitannya itu hingga seperti membelah angkasa.

Rupanya kuda say-cu-hoa itu mendengar juga akan suitan itu. Dengan sigapnya, binatang itu lari balik. Benda putih yang berada diatas kuda itu makin jelas kelihatan. Dia bukan lain yakni biji mata dari Swat-san Lojin si gadis baju putih Peng-ji.

Sekali enjot kakinya, maka Ceng Ih segera loncat seperti tadi malam dimana dia hampir terperosok jatuh kedalam rawa itu. Hanya saja, kali ini loncatannya jauh lebih tangkas dan indah. Dengan gerakannya itu dia sudah tiba didataran yang penuh ditumbuhi alang-alang. Dan begitu dia menginjak tanah, kuda Sakti itupun sudah tiba dihadapannya. Dinamakan Sakti karena ternyata say-cu- hoa itu mempunyai indera istimewa yang tak dipunyai oleh kuda biasa. Begitu melihat tuannya, binatang itu tak henti- hentinya melonjak-lonjak.

Betapapun si gadis baju putih berusaha hendak menahan, namun tetap tak dapat. Kuatir kalau nona itu akan terbanting jatuh, cepat-cepat Ceng Ih loncat untuk menahan les kuda.

Ditingkah oleh cahaja keemasan matahari pagi, dalam pakaiannya yang putih laksana salju dihembus angin itu, wajah gadis itu tampak suci berseri bagai bunga teratai. Adalah karena jengkel diombang-ambingkan say-cu-hoa, maka wajah nona itu bersemu merah. Ini makin menonjolkan kecantikannya yang asli. Saking terpesonanya, Ceng Ih memandang dengan terlongong-longong.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar