Panji Sakti Bab 11 : Hantu Dari Kuburan

11. Hantu Dari Kuburan.

Menurut arah yang ditunjuk Tan He, pada jarak antara satu li jauhnya tampak setitik api sebesar kacang yang gelap-gelap terang cahayanya. Sebaliknya Ceng Ih menjadi heran. Kala itu sudah lewat tengah malam, sekalipun disana ada sebuah rumah penduduk atau biara, masakan masih memasang pelita. Namun sebagai pemuda yang berilmu tinggi, nyalinya besar.

„Say-cu-hoa adalah seekor kuda sakti, kawanan Cincu itu pasti tak mampu mengejar. Aku sih sejak kecil biasa menderita, tapi kongcu yang sudah dua hari menempuh perjalanan siang malam tanpa mengasoh, tentu akan kecapean. Baiklah kita kesana untuk beristirahat," kata Ceng Ih.

Mendengar anak muda itu begitu memperhatikan dirinya, Tan He merasa amat berbahagia. Mulut mengiakan mata memandang kearah pemuda itu. Justeru pada saat itu Ceng Ihpun tengah memandang kearah si nona. Kembali dua pasang mata saling beradu. Keduanya menjadi kemerah- merahan dan buru-buru sama berpaling. Tan He keprak kudanya, dalam beberapa kejap saja tibalah sudah mereka ditempat itu. Tapi apa yang didapatinya disitu, membuat mereka terkesiap. Tempat itu ternyata bukan sebuah rumah penduduk maupun biara, melainkan sebuah kuburan. Api penerangan itu kiranya sebuah lentera yang digantung diatas sebatang pohon ditengah kuburan situ. „Kita tertipu dengan lentera itu. Rupanya adat kebiasaan disini, ditanah kuburan diberi penerangan,” kata Ceng Ih seperti hendak minta maaf kepada Tan He. Tapi untuk kekagetannya, ternyata nona itu sudah loncat turun dari kuda, dengan beberapa loncatan, ia sudah tiba dipohon yang diberi lentera itu. Hanya beberapa kejap saja nona itu sudah kembali lagi dengan membawa lentera itu. Memang ilmu gin-kangnya bukan olah-olah.

„Sudah kuduga lentera ini tentu ada apa-apanya, coba lihatlah, apakah lentera ini milik orang biasa?" kata Tan He sembari serahkan benda itu.

Sewaktu menyambuti, Ceng Ih terperanjat. Sebuah lentera yang istimewa buatannya dan tak ternilai harganya.

Rangkanya terbuat daripada emas, bungkusnya ditaburi oleh intan permata. Kiranya didunia ini tiada lagi lentera macam begitu. Tengah Ceng Ih terheran-heran itu, sekonyong- konyong terdengar sebuah suara tertawa. Nadanya dingin, datangnya dari jauh dan dalam sekejap saja sudah dekat.

Kejut Ceng Ih dan Tan He bukan alang kepalang. Tan He sudah segera mengisar kakinya untuk tegak berjajar dengan Ceng Ih. Dari arah belakang pohon yang yang tak berapa jauh disebelah sana, terdengar seseorang berseru: „Kalau sudah mengetahui lentera itu untuk menerangi rohku yang kesepian, mengapa berani mengambil?"

Betapapun lihay ilmu kedua muda mudi itu, namun tak urung mereka mengkirik (tegak bulu romanya) juga. Hantu atau setankah itu? Ja, nada suaranya begitu dingin menyeramkan sekali. Berbareng itu, sebuah bayangan putih berkelebat muncul dari balik pohon. Ceng Ih dan Tan He menyurut mundur selangkah. Siapakah gerangan orang itu? Mengapa rambutnya penuh diikat dengan pita hijau dan mukanya memakai kerudung hitam sampai sebatas pinggang. Pakaiannya yang sebelah bawah berwarna putih. Hi, apakah itu?

Saat itu Ceng Ih rasakan tubuh Tan He makin menempel rapat. Hem, dara tetap dara. Betapapun memiliki ilmu silat tinggi, tetap takut pada setan. Demikian sembari membatin perbuatan Tan He, Ceng Ih hanya ajukan kakinya selangkah untuk menutupi si nona. Sebenarnya dia sendiri sudah tak-tik- tok hatinya, namun dihadapan seorang nona, mau juga dia unjuk aksi kegagah-gagahan.

„Orang atau setankah kau ini!" bentaknya. Dia gunakan lwekang untuk membentak karena teringat akan pembilangan orang, bahwa memedhi (iblis dan setan) takut akan hawa murni manusia. Mudah-mudahan setan itu akan menghilang, demikian dia mengharap.

Tapi diluar dugaan, bukannya mundur sebaliknya hantu itu malah maju setindak demi setindak menghampiri kemuka.

Setelah dekat, kembali terdengar sebuah tertawa seram:

„Coba jawab, mengapa kau berani mengambil lentera kuburan itu!"

Runtuhlah kegagahan Ceng Ih tadi. Tanpa disadari, kakinya menyurut setengah langkah. Tapi begitu tubuhnya terasa hangat karena menempel pada Tan He nyalinya timbul lagi.

Dengan busungkan dada, dia berseru: „Kalau begitu, kau memang bangsa jejadian roh. Tentunya lentera itu milikmu. Kata orang 'kalau tak tahu itu tak berdosa', Nah, lentera ini kukembalikan padamu!"

Lentera yang dipegang ditangan kiri itu sekali disorongkan kemuka, lalu melayang kearah si hantu. Tampaknya hantu itu keluarkan sebuah benda putih macam jaring. Entah bagaimana caranya ia menyambuti, tahu-tahu lentera itu padam dan lenyap. 

Tan He menjerit kaget dan Ceng Ih berdiri bulu tengkuknya. Hantu itu maju lagi dua langkah, lalu tertawa seram, serunya: „Kau bukan orang yang mengambil lentera itu, jadi tak bersalah. Ayuh, lekas menyingkir kesamping!"

Ceng Ih tiba-tiba rasakan tangannya kiri mengencang serta dingin seperti es. Kiranya Tan He sudah mengepal tangannya erat-erat. Yang dingin itu adalah tangan si nona. Bulat tekad Ceng Ih, biar bagai mana dia hendak menghajar hantu itu.

„Lekas enyah!” serunya sembari gerakkan tangan kanan dalam ilmu kay-cu-na-si-mi. Kay-cu-na-si-mi adalah salah satu dari tritunggal ilmu sakti. Sampaipun Bo-ang Sancu tak berani menyambuti dengan kekerasan.

Cepat seperti kilat, hantu putih itu melesat dan tahu-tahu sudah berada dibelakang mereka berdua. Pukulan Ceng Ih hanya menghantam angin saja. Tan He menjerit, terus putar tubuhnya hendak bersembunyi mendekap kedada Ceng Ih. Heran Ceng Ih dibuatnya, mengapa nona gagah itu sampai sedemikian ketakutan. Ceng Ih sendiripun gentar hatinya, bukan karena takut setan tapi sebab kay-cu-na-si-minya itu tak dapat mengapa-apakan si hantu. Kalau bangsa manusia, tentu tak dapat bergerak segesit itu!

Sebat sekali Ceng Ih putar lengan, menyampok dalam pukulan kay-cu-na-si-mi lagi. Tapi kali ini dia hanya gunakan separoh tenaganya, karena hendak menjagai bilamana lawan menghindar lagi. Tapi rencananya itu diketahui si bayangan putih. Ia tak mau menghindar sebaliknya malah merapat maju. Kejut Ceng Ih tak kepalang. Cepat tangan kirinya merangkul Tan He lalu mundur kebelakang. Tapi belum saja kaki mereka menginjak tegak. bayangan putih melesat dan melengkinglah Tan He menjerit! Ceng Ih naik pitam (marah). Menahan napas, lengan menekuk, tubuh mundur miring, kembali pukulan sakti dilancarkan lagi. Karena pukulan itu menggunakan seluruh tenaganya, jadi tangan kirinya agak mengendor. Adalah pada detik itu, sibayangan putih lenyap secara mendadak dan tahu- tahu Tan He sudah lepas dari pelukan Ceng Ih. Menyusul terdengar jeritan kongcu itu, makin lama makin jauh ............

Kejadian itu berlangsung dalam setengah kejap, sampai ketika Ceng Ih merasa kehilangan Tan He, nona itu sudah digondol pergi oleh si bayangan putih. Untuk mengejarnya, terang sudah tak keburu lagi. Bagaimana kejut Ceng Ih, sukar dilukiskan. Kalau Tan He tak ketakutan setengah mati sampai lemas lunglai tubuhnya, tak nanti ia begitu mudah diculik si setan putih.

Say-cu-hoa adalah seekor kuda yang mempunyai pancaindera tajam. Demi melihat tuannya (Tan He) diculik orang, binatang itu meringkik keras, terus berjingkrak keatas. Ceng Ih sebat sekali loncat keatas punggung kuda itu. Tanpa dikeprak lagi, kuda itu lari mengejar kearah kegelapan sana.

Tak berapa lama haripun sudah mulai terang. Jauh diluar kota Kiang-hian-seng, tampak tujuh orang penunggang kuda lari dengan pesatnya. Mereka itu adalah ketujuh Cincu yang menuruti pesan si nona baju putih, telah tiba diluar kota tersebut.

„Itu dianya!" tiba-tiba Cincu jubah merah berseru kepada kawannya. Keenam orang itu cepat turut contoh pemimpinnya untuk hentikan kudanya. Kini mereka jajar kudanya dalam sebuah lingkaran. Ditengah-tengah ternyata ada seorang gadis tengah duduk numprah ditanah. Itulah Tan He kongcu. „Syukur beribu syukur kami dapat menemukan kongcu lagi. Harap kongcu naik kuda dan ikut kami pulang!" kata si Cincu merah sembari loncat turun dari kudanya.

Tan He kongcu membisu tak bergerak. Ia duduk, sepasang mata dikatupkan seperti orang tidur dengan duduk. Kuatir kalau terbit rintangan lagi, si merah memberi isyarat kepada keenam orangnya supaya siap-siap menjaga jangan sampai kongcu itu lolos lagi, atau ada orang yang datang menolongi. Karena Tan He masih tak berkutik, si Cincu merah tertegun lalu melangkah maju setindak. Tiba-tiba dia tertawa gelak- gelak. Hal itu sudah membuat keenam kawannya keheranan. Serempak merekapun maju mendekati.

Setelah memeriksa barulah ketujuh Cincu mengetahui bahwa Tan He tertutuk jalan darah pemingsannya. Dalam keadaan seperti itu, selain kehilangan kesadaran, pun tubuhnya lemah lunglai. Oleh karena ketujuh Cincu ahli tutuk semua, jadi mereka cepat mengetahui keadaan itu. Diam-diam mereka mengagumi kelihayan si nona baju putih itu.

„Tutukan hun-hiat itu dilakukan tepat sekali, jadi tak sampai membahayakan kongcu. Nona baju putih itu memang hebat sekali kita harus malu pada diri kita sendiri", kata si Cincu merah.

„Ah, lebih baik jangan buang tempo. Sekarang sudah mulai terang tanah, sebentar lagi pintu kota tentu sudah dibuka dan orang pun tentu akan ramai hilir mudik. Baik kita lekas-lekas berlalu dari sini," usul si Cincu jubah kuning.

Cepat Cin-cu jubah merah lolos jubahnya terus dibuat membungkus Tan He lalu dipanggulnya keatas kuda.

„Sekarang kita terus langsung pulang ke Siao-ngo-tay-san. Walaupun masih belum diketahui mengapa nona baju putih itu suka membantu kita, namun menilik caranya dia menawan kongcu begitu mudahnya, tentulah ia dapat juga mengatasi si anak muda itu. Rasanya dalam perjalanan pulang nanti, kita tak kuatir dicegat anak itu lagi, kata Cincu merah.

> ∞ <

Pada saat itu, Ceng Ih tengah larikan say-cu-hoa menuju ke Siao-ngo-tay-san. Tiba-tiba kuda itu berhenti, kedua telinganya tak henti-hentinya mengipas-ngipas. Ceng Ih coba mengepraknya, tapi kuda itu tetap membangkang.

„Say-cu-hoa, kalau kau tak lekas-lekas berlari, tentu tak dapat mengejar tuanmu" seru Ceng Ih

Namun bukannya lari, sebaliknya kuda say-cu-hoa malah melonjak keatas, berputar kepalanya terus lari kesamping. Ceng Ih tahu kuda say-cu-hoa bukan sembarang kuda, tapi seekor kuda yang mempunyai indera tajam. Dia percaya kalau kuda itu lari balik, tentu menuju ketempat ditawannya Tan He. Dia biarkan saja kuda itu lari sekehendaknya.

Ceng Ih seperti dibawa terbang. Tiba-tiba timbul pertanyaan dalam pikirannya: „Hai, mengapa Bo-ang Sancu mempunyai jago wanita selihay itu? Astaga, wanita itu

meskipun wajahnya ditutup dengan kerudung dan rambutnya diurai tapi bentuk badannya itu, seperti pernah kukenal, terutama ”

Serentah bertepuk tanganlah dia seraya berseru: „Ya, ya, terang itu kan puteri dari Swat-san Lojin. Mustahil didunia ada setan, kecuali dia siapakah yang sanggup bertahan menerima serangan ketiga sin-kang itu!"

Tapi pada lain kilas, dia menggelengkan kepala dan membantah sendiri: „Ah, tidak! Bukankah tempo hari Swat- san Lojin dan puterinya menghajar Bo-ang Sancu, sehingga supeh dapat tertolong jiwanya? Masakan sekarang membantu momok itu?!"

Selagi dia terbenam dalam teka teki, tiba-tiba say-cu-hoa meringkik keras. Ketika Ceng Ih mendongak, ternyata disebelah muka tampak ada sesosok bayangan putih berkelebat menghilang.

Seperti melihat setan, kuda say-cu-hoa berputar dan terus lari mengejar bayangan itu, namun bayangan itu luar biasa cepatnya. Betapapun pesatnya lari say-cu-hoa, tetap tak dapat menyandak bayangan itu, yang makin lama makin jauh.

Beberapa detik kemudian, bayangan itu laksana segulung asap putih hilang lenyap ditelan keremangan rembulan ..........

Sekalipun bayangan itu berkelebat laksana kilat, dapat juga Ceng Ih memastikan kalau dia itu adalah wanita yang menculik Tan He. Hanya sayang karena kejutnya dia sampai tak sempat mewaspadakan apakah Tan He kongcu turut dibawa serta.

Kini "hantu" itu sudah lenyap, Ceng Ih hanya dapat menghela napas dan hentikan kudanya. Ditepuk-tepuknya tengkuk kuda itu. Nyata karena semalam berlari-larian, kuda itu mandi keringat. Ceng Ih turun dan mengelus-elus kepala kudanya, katanya: „Say-cu-hoa, aku seorang yang tak berguna karena tak dapat melindungi kongcumu. Karena kini sudah fajar dan dia (si penculik) sudah lari jauh, jadi tak gunalah kita lanjutkan pengejaran."

Seperti mengerti bahasa orang, kuda say-cu-hoa itu mendengus hidungnya menyembur dua gumpal asap putih. Ceng Ih makin resah dengan gelisahnya. Tan He diculik orang dan dibawa entah kemana, sedangkan kepergiannya mencarikan obat supehnya, tak dapat ditangguhkan lebih lama lagi. Ceng Ih benar-benar bingung tak tahu apa yang harus dilakukan. Akhirnya setelah beberapa saat terbit perkutatan dalam otaknya, dia mengambil keputusan.

„Siapapun nona baju putih itu, tapi dari arah penculikannya terang mempunyai hubungan dengan Chit-Cincu, jadi tentu dibawa ke Siao-ngo-tay-san. Pepatah mengatakan: 'harimau yang buas, tetap takkan makan anaknya sendiri'. Bo-ang tentu tak nanti membunuh puterinya sendiri. Benar kongcu itu telah melepas budi besar padaku, namun penyakit supeh perlu lekas ditolong. Kini aku terpaksa menuju ke Swat-san dulu, begitu sudah mendapat obat untuk supeh, barulah aku pergi ke Siao- ngo-tay-san!"

Dengan keputusan itu, dia keprak kudanya menuju kearah barat. Selama dalam perjalanan itu, dia tak menjumpai barang sesuatu halangan. Hanya yang dibuatnya heran, dimana saja dia berhenti mengasoh atau menginap, tentu disitu segala keperluannya sudah disediakan atas perintah seseorang.

Namun karena memikirkan keadaan supeh dan tambahan lagi diri Tan He kongcu, dia tak sempat mencari tahu siapakah gerangan orang misterius itu. Kalau ada orang yang mengatur keperluan makan dan penginapannya, baginya malah kebenaran sekali, tak usah dia cape-cape diri mencarinya.

Pegunungan Toa-pa-san sudah dilalui dan kini masuklah kedaerah Such-wan. Paling banyak dalam dua hari, dapatlah dia sudah tiba di Swat-san. Ah, legalah hatinya sekarang.

Kelegaan itu membuatnya senggang untuk memikirkan tentang orang misterius itu. Ya, siapakah gerangan orang yang selalu membayangi dirinya itu? Dalam sehari, kuda say-cu-hoa dapat menempuh perjalanan sejauh enam-tujuhratus li, tapi mengapa orang itu tetap selalu mendahuluinya? Orang yang dapat berbuat begitu, tentu luar biasa ilmu gin-kangnya (mengentengi tubuh). Merenung sampai hal itu, dia terperanjat, heran, kagum dan akhirnya mengambil putusan hendak mencari tahu orang lihay itu.

Kink tibalah Ceng Ih dikota pegunungan Kiam-kek. Kota itu merupakan urat nadi lalu lintas daerah barat dengan Such- wan. Benar kotanya kecil, tapi cukup ramai. Ketika masuk kota, kembali ada seorang pegawai hotel sudah menyambut kedatangannya. Kejadian ini sudah berulang lagi, setiap kali dia tiba disebuah kota.

„Ai, bung, cape aku. Apa sudah tersedia semua?" tanyanya sembari loncat turun

Pegawai itu mengangguk serta mengiakan: „Ceng-ya, siang-siang semuanya sudah tersedia, silahkan!"

Ceng Ih tak terkejut maupun heran. Dia segera ikut pelayan itu menuju kesebuah hotel yang terletak diutara jalan. Sedang say-cu-hoa sudah ada lain pelayan yang menuntunnya. Memang dalam beberapa hari ini, Ceng Ih selalu mendapat pelayanan begitu.

Sehabis bersihkan badan, pelayan membawa hidangan.

Macam hidangannya tetap sama seperti setiap kali dia makan dihotel, hanya saja kali ini jauh lebih komplit dan lezat.

Sekarang Ceng Ih sempat memikirkan, mengapa tiap kali hidangan yang disuguhkan itu, tepat seperti yang dia pesan dihotel sewaktu pertama-tama berangkat dari Leng-san. Itulah hidangan yang paling digemarinya. Jadi nyatalah orang aneh itu telah menguntitnya sejak dia berangkat. 

Kembali benak Ceng Ih diliputi pertanyaan, siapakah gerangan orang itu? Mengapa dia begitu memperhatikan sekali kepada dirinya?

„Siao-ji-ko, apa pesananku? Mengapa tak menurut permintaanku? Makanan ini tak sesuai dengan seleraku semua!" Ceng Ih sengaja kerutkan dahi, untuk mengorek keterangan dari si pelayan.

Pelayan tersipu-sipu menyahut dengan tertawa: „Jika Ceng- ya tak menyukai, kami akan segera menggantinya, segala apa sudah siap sedia didapur!"

Ceng Ih gelengkan kepala, sengaja dia mengunjuk sikap kurang senang, katanya: „Selama beberapa hari, semuanya beres, tidak seperti hari ini. Siao-ji-ko, siapakah yang datang kemari memesan makanan ini, jangan-jangan kamu salah dengar?"

„Ceng-ya, kami hanya tinggal menurut pesanan saja.

Langganan kami orang-orang kaya semua, jadi kami selalu menurut perintah. Sejam yang lalu, ada seorang nona kemari pesan makanan untuk Ceng-ya dan dalam membayar lipat dua kali, dengan pesanan supaya kami mengerjakan baik-baik perintahnya itu. Ceng-ya, nona itu royal sekali, masakan kami berani melanggarnya?"

„Itulah kiranya, kiranya dia malas-malasan, Siao-ji-ko, bukankah nona itu amat cantik dan mengenakan pakaian serba putih?"

Mendengar pertanyaan itu, bertepuklah tangan si pelayan, sahutnya: „Benar, kalau Ceng-ya tak mengingatkan, hampir kami lupa. Ketika ia datang, kami sedang sibuk. Memang itulah nona yang Ceng-ya maksudkan. Kiranya nona itu anaknya orang yang Ceng-ya suruh, mungkin karena orang itu ada lain urusan jadi dia suruh gadisnya kemari.”

Makin besar keheranan Ceng Ih. Siapa lagi nona baju putih itu kalau bukan puteri Swat-san Lojin? Kalau benar ianya, mengapa dia berbuat begitu kepadanya? Mengapa tak lantas memberikan obat itu saja, agar supehnya lekas-lekas tertolong? Lain hal yang membuat Ceng Ih terkesiap kaget, nona itu ternyata datang satu jam lebih dahulu dari kuda say- cu-hoa. Apakah ia mempunyai sajap untuk terbang?

Karena perut sudah keroncongan, dia suruh si pelayan keluar. Sembari makan, otaknya berputar memecahkan rahasia si gadis baju putih itu. Sebentar menggeleng kepala, sembari berseri girang. Setelah habis makan, dia terus masuk tidur. Keesokan harinya, karena tahu rekening hotel sudah dibayar si nona baju putih, dia lantas langsung menuju keistal kuda lalu berangkat lagi.

Karena hari masih pagi benar, jadi pintu kota belum dibuka.

Satu-satunya jalan ialah melompati tembok kota yang tak begitu tinggi. Diperhitungkan, say-cu-hoa tentu dapat melompatinya. Kuda itu seperti mengerti kemauan Ceng Ih, sekali loncat dapatlah dia melewati tembok itu.

Dari situ dia segera keprak kudanya lari kencang. Haripun makin terang. Tiba-tiba jauh disebelah muka sana dilihatnya ada sesosok bayangan putih terbang kearah barat. Dengan girangnya, Ceng Ih congklangkan kuda memburu.

„Apakah kau masih mau sembunyikan diri lagi?" serunya.

Berbareng dengan seruannya itu, say-cu-hoapun kedengaran meringkik keras, rupanya binatang itupun melihat bayangan putih tadi. Pada waktu sepagi itu, jalanan masih sepi. Suara say-cu-hoa yang bagaikan naga meringkik itu, berkumandng jauh sekali sampai beberapa li.

Ceng Ih tak kuasa mencegahnya. Dia gugup dan benar juga bayangan putih itu lalu melesat hilang. Sebenarnya karena sudah mengetahui arah larinya, kalau mau dapat juga Ceng Ih mengejarnya. Hanya saja kini dia terang persoalannya.

Mengapa nona itu selalu dapat mendahului lari say-cu-hoa, kiranya karena setiap kali sudah berangkat lebih dahulu.

Ilmunya gin-kang tak dapat melampaui larinya say-cu-hoa. Dan lagi kini dia makin percaya pada dugaannya kalau nona itu ialah si gadis baju putih yang telah menculik Tan He kongcu.

Hentikan kudanya, Ceng Ih bertanya seorang diri: „Ia baik sekali kepadaku, tapi mengapa menculik Tan He kongcu?"

Tiba-tiba Ceng Ih tersadar, pikirnya: „Ya, ya, say-cu-hoa ini tentu dia yang merampas dan juga yang mengembalikan lagi kepadaku!"

Pikiran Ceng Ih makin kelebuh dalam kegelapan. Tak tahu dia akan tujuan nona itu. Keinginannya untuk mengetahui nona aneh itu makin keras. Karena diperhitungkan Swat-san hanya dua hari lagi akan sudah dapat dicapainya, maka baiklah dia kejar saja nona itu. Say-cu-hoa dikepraknya menuju ke barat.

Pada waktu tengah hari, tibalah dia didaerah yang sepi. Dia mulai mencari rumah makan, tapi sampai setengah jam lamanya, jangankan rumah makan atau hotel, sedang sebatang hidung manusiapun tak dijumpahinya. Terpaksa dia teruskan perjalanan. Adalah karena pesatnya say-cu-hoa dalam setengah hari saja sudah berlari sampai ratusan li. Kini tibalah dia didaerah Siong-hwan. Daerah ini merupakan tempat yang tak didiami orang.

Perut Ceng Ih mulai meminta isi. Diam-diam dia sesali dirinya yang begitu turuti kemauan hati untuk mengejar nona baju putih itu. Melihat naga-naganya, dia bakal menahan lapar sampai dua hari lamanya, hingga tiba di Swat-san.

Selama mengadakan perjalanan berhari-hari itu, tak pernah dia mengalami kejadian seperti itu. Biasanya setiap tiba disebuah tempat, tentu sudah ada orang yang menyediakan makanan untuknya. Tapi kali ini, tiada seorang insan yang dijumpahinya.

Menjelang petang hari, perut Ceng Ih berontak keras.

Kepalanya serasa berkunang-kunang, tenaganya lemas. Say- cu-hoa pun lapar dan lelah. Kembali hidung kuda itu mendenguskan gumpalan asap badannya basah dengan keringat.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar