Panji Sakti Bab 10 : Lolos Dari Chit-sing-tin

10. Lolos Dari Chit-sing-tin

Ketika itu baru Ceng Ih dapatkan kalau dia sudah berdiri dihadapan kuda Tan He. Walaupun terkejut melihat kesigapan ketujuh lawannya itu, namun berada dekat sinona, dia merasa girang juga. Sebaliknya Tan He tak menghiraukan sikap anak muda itu. Diatas kudanya, kongcu itu kedengaran menghela napas panjang.

Dari arah belakang, Cincu tua yang rupanya menjadi pemimpin itu, kedengaran tertawa mengekeh. serunya: „Ini namanya pucuk dicinta, ulam tiba (mendapatkan sesuatu lebih dari apa yang diharapkan). Kecuali membawa pulang kongcu, pun mendapat Panji Sakti. Sungguh perjalanan kami kali ini. memperoleh sukses sebesar-besarnya!”

„Jangan bergirang dulu!" seru Ceng Ih sembari miringkan tubuh. Tapi dikala dia berseru begitu, tampak pakaian ketujuh Cincu itu sama berkibaran. Ceng Ih menjadi terkesiap dibuatnya.

Kiranya kecuali tertua Cincu yang bicara tadi, keenam Cincu yang bermula mengenakan jubah merah, kini berganti warnanya. Keenam orang itu kini masing-masing mengenakan jubah warna kuning, biru, hijau, biru muda, ungu dan coklat.

„Pakaian mereka berganti tujuh warna barisan mereka berformasi tujuh bintang, ah, kali ini jangan harap kita dapat meloloskan diri,” Tan He kedengaran berkata dengan pelahan.

Tanpa menoleh kebelakang, Ceng Ih tertawa keras, serunya: „Justeru aku ingin berkenalan dengan Chit-sing-tin mereka itu!" Tangan kiri diangkat dan kay-cu-na-si-mi melancar. Ketujuh Cincu itu sama bergontaian tak dapat berdiri jejak. Dua Cincu yang tersambar pukulan sakti itu, menjadi terhuyung. namun dua kawannya cepat maju mengganti untuk menutup lubang barisan.

Secepat lancarkan pukulan tadi, Ceng Ih terus mengawasi keadaan lawan yang berada dibelakangnya. Ternyata tiga Cincu yang bermula berada disebelah kanan dan belakang, kini berobah formasinya. Ketujuh Cincu itu saling berganti kedudukannya, namun formasi Chit-sing-tin (barisan tujuh bintang) itu tetap utuh bentuknya, makanya tadi Tan He menyerah tak melawan lagi.

Kiranya barisan Chit-sing-tin mereka itu sedemikian rupa. Kecuali dapat menyerang keseluruhannya (muka belakang, kanan kiri), rasanya barisan itu sukar dijebolkan. Setiap tempat yang berlubang. mereka tentu akan cepat-cepat bergerak mengisinya lagi!" diam-diam Ceng Ih berkata dalam hati.

Namun darah mudanya, tak kenal menyerah. Tiba-tiba dia mengelus-elus kepala kuda Tan He, ujarnya: „Harap kongcu jangan cemas. Sekalipun perpaduan barisan mereka itu lihay, namun kalau kita berdua bersama-sama menyerang, masakan tak dapat membobolkan."

Dalam kepungan barisan Chit-sing-tin yang termasyhur itu, Ceng Ih malah tampak bergembira. Tak lain ini disebabkan, karena Tan He kongcu yang siang malam dikenangkannya itu berada disampingnya.

Dalam dandanan sebagai seorang gadis, Tan He tampak cemerlang kecantikannya, walaupun tak memakai bedak pupur. la kemalu-maluan sikapnya, namun demi diketahui cara Ceng Ih memandangnya itu begitu rupa, tahu jugalah ia apa gelora hati anak muda itu. Tanpa disadari iapun balas menatap. Dua pasang mata beradu pandangan, menggenggam ratusan patah kata-kata yang tak terucapkan oleh mulut ”

„Malam ini kongcu telah memberi muka terang kami dan suka ikut pulang. Apabila saudara yang datang ini juga berbuat demikian, kami jamin dengan memandang muka kami bertujuh. Sancu tentu takkan membikin susah!" kata Cincu tua yang berjubah merah itu.

Tan He kerutkan alis, sementara Ceng Ih tertawa memanjang. Tiba-tiba nona itu sudah loncat turun dari kudanya dan diam-diam menarik lengan baju Ceng Ih. Ada dua hal yang membulatkan tekad Ceng Ih. Pertama. biar bagaimana dia tak nanti sudi disuruh ikut ke Siao-ngo-tay-san dan kedua kalinya, karena hendak menolongi Tan He, jadi dia harus menempur mereka dengan mati-matian.

„Perbawa ketujuh pedang mereka tak boleh dipandang enteng. Jangan gegabah bergerak, ingat peristiwa pertempuran ditepi telaga tempo harilah!" berbareng hidung Ceng Ih mencium bau barum, telinganya mendengar bisikan Tan He.

Memang Ceng Ih teringat akan pertempuran itu. Sekalipun memiliki ketiga ilmu sakti, namun coba tak ditolong oleh Tan He, tak nanti malam itu dia dapat lolos dari kepungan barisan Chit-sing-tin. Pun mengingat bahwa Tan He itu puteri pemimpin Siao-ngo-tay-san, jadi tentunya paham betul akan kelihayan barisan itu maka itulah sebabnya mengapa ia menyerah dibawa pulang.

Namun pada lain kilas, timbul reaksi pada pikiran Ceng Ih:

„Aku menerima tugas melindungi Panji Sakti, kalau hanya dengan ketujuh Cincu itu saja jeri, dapatkah aku melakukan tugas itu? Juga apabila kembali ke Siao-ngo-tay-san, dapatkah Bo-ang mengampuni puterinya itu?"

Berada disamping nona yang dikenangkan, semangat Ceng Ih tambah menggelora. Tertawalah dia keras-keras, serunya:

„Silahkan kongcu melihat disamping, bagaimana kuundurkan mereka itu!"

Cepat dicabutnya golok yang menggamblok dipunggungnya lalu diserahkan pada Tan He. Kemudian melangkah maju, tangannya kiri sudah segera lancarkan kay-cu-na-si-mi kearah Cincu jubah merah itu. Seketika terbitlah angin topan, batu dan pasir berhamburan.

Tetapi rupanya lawan itu sudah siap, pedang dipindah ketangan kiri dan tubuh beralih kesamping sejauh setombak. Deru pukulan menghantam tempat kosong dan secepat itu juga. Cincu jubah hijau menutup lubang kekosongan itu.

Pukulan Ceng Ih tepat sekali jatuh disela-sela lubang kekosongan dari gerak peralihan kedua Cincu itu. Sebaliknya baru saja dia lancarkan pukulannya itu, dari arah belakang segera terasa ada angin menyambar. Ceng Ih tahu dirinya diserang oleh tiga batang pedang dari belakang. Begitu tangan kiri ditekuk, dia mengirim tinjunya kebelakang sembari memutar tubuh.

Tan He tak mau tinggal diam lagi. Begitu si anak muda itu membuka serangan iapun cepat menyelinap kesamping anak muda itu untuk menanti kesempatan. Tapi ternyata ketiga Cincu penyerang itu, menaulad gerakan kedua Cincu tadi.

Belum lagi pedangnya ditusukkan kemuka, mereka segera pencarkan diri beralih posisi. Lagi-lagi pukulan dahsyat dari Ceng Ih itu menemui lubang kosong.

Pohon-pohon ditepi jalan yang beberapa tombak jauhnya, seperti mau tumbang. Dan berbareng pada saat itu, Cincu jubah kuning dan ungu yang berada disamping, menusuk dari kedua sisinya. Gerakan mereka itu cepat dan dahsyat!

Ceng Ih terperanjat. Betapapun dahsyatnya ketiga ilmu sakti yang dimilikinya itu, namun menghadapi cara perlawanan yang cepat dan luwes dari ketujuh Cincu itu, dia kewalahan juga.

Begitu yang diserang bagian muka. yang dibelakang cepat balas menyerang. Menyerang yang dibelakang, yang disamping kanan kiri balas menyerang. Yang paling mengagumkan, setiap lubang yang ditinggalkan mereka itu, tentu segera akan diisi lagi oleh kawannya. Pun setiap serangan balasan dari mereka itu, sukar dirabah sungguh tidaknya. Mengingat ketujuh Cincu itu amat tinggi, kalau dibiarkan tusukan mereka tentu akan membawa maut. Namun kalau dihalau dengan pukulan sakti, dengan sebatnya mereka menarik pulang pedang dan loncat menghindar.

Untuk serangan kedua Cincu dari samping kanan kiri itu, Ceng Ih terpaksa menyurut mundur, kemudian membarengi hantamkan kay-cu-na-si-mi kepada Cincu jubah ungu.

Sekalipun serangan itu hanya menggunakan tenaga tiga bagian namun Cincu jubah ungu itu sudah cepat menarik pedang dan loncat mundur satu tombak jauhnya!

Berbareng itu, sekonyong-konyong Tan He berseru keras dan menyerang Cincu satunya yang berjubah kuning itu. Cincu jubah ungu itupun cepat beralih posisi dengan Cincu jubah merah. Sedang dalam pada itu, Cincu jubah hijau dan biru muda sudah menyerang Tan He dari kanan kiri. Kemudian Cincu jubah birupun menyusuli tusukkan ujung pedangnya ke alis si nona.

Demikianlah kalau barisan tihit-sing-kiam-tin sedang beraksi. Saling mengisi kekosongan, sating menyerang dengan berbareng. Bertahan untuk menyerang!

Tan He mengangguk, rupanya ia mendapat siasat untuk memecahkan kepungan lawan. Secepat ia papaskan pedang kerusuk Cincu jubah biru, berserulah ia kepada Ceng Ih:

„Lekas, lekas, kita bertempur bahu membahur

Saat itu Ceng Ih tengah lancarkan pukulannya dan ke tujuh Cincu itu sedang beralihan posisi. Tiba-tiba punggungnya terasa hangat. Ai, kiranya itulah punggung Tan He yang menempel rapat kepunggungnya. Hawa hangat itu menembus sampai keulu hatinya. Dan berbareng itu, Tan He tampak bolang balingkan pedangnya untuk menyerang Cincu yang berada disamping kanan dan kiri, dan menjaga serangan Cincu yang dibelakang. 

„Ah, dengan begini asal kuserang bagian muka, tentu dapat menjebolkan kepungan mereka!" diam-diam Ceng Ih bergirang dalam hati. Tanga berayal lagi, dia lancarkan kay- cu-na-si-mi sembari tertawa mengejak: „Ho, kiranya barisan Chit-sing-kiam-tin yang termasyhur itu hanya begini sajalah!”

Saat itu yang berada dihadapan Ceng Ih ialah Cincu jubah hijau yang semestinya bergantian posisi dengan Cincu jubah biru Namun karena dihadang oleh pedang Tan He, jadi mereka tak dapat beralihan. „Wut,” kedua Cincu itu terlempar sampai dua tombak jauhnya! 

Girang Ceng Ih bukan kepalang. Mengira barisan musuh sudah jebol, dia cepat menyerang maju. namun Tan He cepat mengikutinya sembari lekat-lekat menempelkan punggung.

Baru saja Ceng Ih hendak melangkah maju, atau Cincu jubah merah sudah berkelebat menghadang dimuka untuk mengisi kekosongan itu. Dan berbareng itu, dari arah belakangpun terdengar pula gemerencing Tan He mainkan pedangnya menyerang Cincu yang berada disebelah belakang.

Kiranya kedua Cincu jubah hijau dan biru yang terlempar tadi sudah cepat loncat dan menyerang Tan He dari samping kiri. Sedang Cincu jubah kuning dan biru mudapun menyerang dari samping kanan. Napas Tan He kedengaran terengah- engah. Ke tujuh Cincu itu masing-masing memiliki kepandaian hebat. Besar Tan He bukan seorang jago lemah, namun sebatang pedang mana dapat menghadapi empat-lima batang pedang musuh?

Melihat itu, Ceng Ih mengertak gigi, matanya merah seperti banteng melihat darah. Setelah menekuk tinju kiri, dia menyerang Cincu jubah hijau dan biru, berbareng itu dia ulurkan jari tengah dari tangan kanannya untuk menutuk pedang Cincu jubah merah yang menyerang dari muka. Itulah it-ci-ting-kian-gun atau sebuah jari mengamankan dunia!

Di antara ketiga ilmu sakti itu, adalah it-ci-ting-kian-gun itu yang terdahsyat sendiri, tapi juga yang tersukar sendiri untuk meyakinkannya. Mengingat peyakinannya masih kurang, Ceng Ih jarang sekali gunakan ilmu sakti itu. Kini untuk menyusuli dua buah ilmunya yang sudah dilancarkan itu, terpaksa dia keluarkan ilmu simpanan itu.

Pemimpin Chit-Cincu yakni Cincu jubah merah itu sejak bermula selalu waspada terhadap setiap pukulan dan tinju si anak muda. Andaikata saat itu Ceng Ih gerakkan tinjunya, dia tentu sudah cepat-cepat menghindar. Tapi demi dilihatnya anak muda itu hanya menjulurkan sebuah jari tengahnya, dia meremehkan. Pedangnya dilingkarkan untuk memapas jari anak muda itu dan, baru saja dia gerakkan pedang, atau

dadanya sudah disambar oleh suatu angin yang tajam.

Kejutnya bukan main, namun untuk beralih posisi sudah tak keburu lagi. Seketika itu dia rasakan jalan darah ki-kwat-hiat didada, menjadi linu kesemutan. Tangannya tak kuasa lagi mencekal pedang, „trang,” jatuhlah pedang itu ketanah!

Harus diakui bahwa Cincu jubah merah itu memang lihay. apalagi memangnya Ceng Ih belum begitu paham untuk memperkembangkan ilmu it-ci-ting-kian-gun itu. Begitu menyalurkan darah, Cincu itu dapat membuka lagi jalan darahnya yang tertutuk itu.

Bahwa ilmunya it-ci-ting-kian-gun itu telah memberi hasil yang diluar persangkaaannya, telah membuat Ceng Ih tertegun saking kejutnya. Tapi Tan He segera meneriakinya dengan gugup: „Lekas, lekas, terjang kemuka!” Ceng Ih segera melihat keadaan barisan musuh. Begitu Cincu jubah merah itu terlepas pedangnya, keenam Cincu lainnya sama lamban gerakannya. Kini jelaslah dia, bahwa komando barisan Chit-sing-kiam-tin itu terletak ditangan ciucu jubah merah. Walaupun tertutuk dan dapat membuka jalan darah itu, hanya berlangsung dalam dua-tiga kejap saja, namun barisan itu mengalami kelambatan geraknya. Tanpa berayal lagi, Ceng Ih cepat lancarkan kay-cu-na-si-mi kearah Cincu jubah merah itu lagi!

Cincu itu baru saja dapat membuka jalan darahnya, jadi tak sempat dia menghindar apalagi bertahan diri terhadap pukulan sakti itu. Seketika itu juga, tubuhnya terlempar melayang seperti layang-layang putus. Cincu jubah ungu dan biru muda tersipu-sipu loncat mundur untuk menolongi pemimpinnya itu. Adalah karena tadi naik keatas punggung kuda. Sekali loncat, say-cu-hoa sudah meleset beberapa tombak jauhnya dan terus lari bagaikan terbang.

Pada berapa saat kemudian, ketika ketujuh Cincu itu tiba, mereka hanya menubruk angin kosong.

„Terlambat! Say-cu-hoa sudah jauh, bagaimana kita dapat menyusulnya!” si Cincu jubah merah menghela napas. Ia nyatakan lebih baik pulang saja melaporkan pada Sancunya.

Keenam Cincu lainnya hanya mengiakan saja. Sekonyong- konyong terdengarlah sebuah tertawa melengking kecil.

Terang itulah nada seorang perempuan. Ketujuh Cincu itu terperanjat dan buru-buru pecah diri untuk mengepung sebatang pohon besar.

„Kongcu ternyata amat berbudi sekali, sehingga berada disini untuk ikut pulang bersama kami,” seru Cincu jubah merah dengan girang. Dia memastikan, nona yang tertawa diatas pohon itu adalah Tan He kongcu. Kuda say-cu-hoa yang sudah jauh itu tentulah hanya membawa Ceng Ih seorang.

Diluar dugaan, dari arah pohon itu terdengar seorang nona tertawa mengejek: „Fui, masakan ia pantas disebut kongcu, hem, sekalipun Bo-ang Sancu, aku tetap tak memandang mata!”

Keenam Cincu mengunjuk sikap marah, tapi cepat dicegah oleh pemimpin mereka. Bertanya Cincu jubah merah itu:

„Kalau bukan kongcu, mengapa saudara tak mau unjuk diri!"

„Apa itu sih, Chit-sing-kiam-tin? Apa kamu kira nonamu tak berani turun?" tukas nona tak dikenal itu dengan tertawa dingin.

Setelah mendengar orang bukannya Tan He kongcu, ketujuh Cincu sudah cepat hendak pasang barisan Chit-sing- kiam-tin. Baru si Cincu jubah merah menyilahkan si nona turun, atau sesosok bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu dibawah pohon itu berdirilah seorang nona berpakaian putih dan rambutnya diikat dengan pita hijau.

„Hai, tak usah obral minta maaf dan jangan buru-buru bubarkan barisan dulu. Aku hendak coba main-main dengan Chit-sing-kiam-tin yang konon amat termasyhur itu!"' seru si nona dengan tertawa sinis.

Secepat berkata, secepat itu ia sudah menerjang Cincu jubah biru. Chit-sing-kiam-tin, telah dilatih dengan sempurna oleh kawanan Chit-Cincu. Setiap kali mendapat serangan, barisan itu akan cepat memberikan reaksinya. Cincu jubah biru itu cepat beralih dan menyusul empat Cincu segera maju menyerang si nona. Cincu jubah merah yang ikut maju menyerang, diam-diam membatin: „Munculnya nona ini sangat aneh, kata-katanyapun jumawa sekali. Coba saja lihat sampai dimana kepandaiannya itu!""

Atas serangan keempat pedang Cincu itu, tiba-tiba si nona menyelinap hilang, hingga serangan mereka itu menemui tempat kosong. Kalau saja mereka tak cepat-cepat mengambil posisi, tentulah nona itu akan lolos dari kepungan. sihijau dan coklat mundur, berbareng sikuning dan sibiru muda menusuk. Kembali empat batang pedang menyerang si nona,

,,Aduh, boleh jugalah. Tapi permainan anak kecil semacam ini hanya dapat dipergunakan menangkap Tan He kongcu.

Kalau hendak menawan aku, hem, jangan mimpi!" kembali si nona hamburkan olok-oloknya.

Entah bagaimana caranya, tapi begitu tubuhnya bergerak, tahu-tahu ia sudah meiejit lolos dari taburan pedang dan secepat itu malah lantas menyerangi si Cincu merah. Karena gelagapan, si merah itu tak sempat mengeluarkan aba-aba (komando), dan sesaat macetlah gerakan barisan itu.

Dalam gugupnya, si merah itu loncat mundur. Oleh karena gerakannya itu menyebar (tak menurut) gerakan Chit-sing-tin, maka barisan itupun menjadi macet. Keenam Cincu lainnya melongo keheranan. Pun si nona baju putih itu, tampak tertegun juga.

Kedengaran Cincu tua berjubah merah itu tertawa gelak- gelak, serunya: „Ho, kiranya puteri Swat-san Lojin, itulah benar dugaanku! Dalam jaman ini, kecuali dari aliran persilatan beliau si orang tua itu, tak nanti dapat lolos dari kepungan barisan Chit-sing-kiam secara begitu mudahnya!”.

Si nona baju putih tertegun. Dibawah cahaya rembulan, wajah nona itu bagai sekuntum bunga melati yang molek mungil. Benar, ialah puteri dari orang tua aneh Swat-san Lojin. 

,,Kau kenal padaku?" tanya nona itu dengan terkejut.

Kuatir menimbulkan salah saham, Cincu jubah merah itu sudah lantas sarungkan pedangnya. Tindakan itu diturut oleh keenam kawannya. Setelah itu barulah Cincu itu berkata:

„Mungkin nona tak kenal pada pinto ini. Tapi perguruan pinto, serumpun sumbernya dengan lengcun (ayahmu). Kalau tidak, masakan pinto mengetahui kepandaian sakti nona tadi!"

Namun si nona tak mau menghiraukan sikap mengambil hati dari Cincu tua itu. Dengan masih bernada dingin, menyambutlah ia: „Ya, sudahlah. Bukankah kalian hendak menangkap Tan He kongcu? Jangan tanyakan ini itu lagi, seratus li kesebelah barat daja, adalah kota Ciat-hian.

Berkudalah siang malam kesana, bila sudah tiba diluar kota itu, tentu akan kuajarkan menurut apa yang kalian kehendaki!"

Kata-kata si nona itu sukar ditangkap maksudnya, sehingga keenam Cincu sama bercuriga. Namun tidak dengan si Cincu jubah merah yang dengan serta merta berkata seraya memberi hormat: „Jika nona sudi membantu, kami tentu akan berhasil. Sebelumnya kami haturkan terima kasih dan silahkan nona berjalan lebih dahulu. Kuda say-cu-hoa itu terlalu cepat sekali!"

Si nona hanya mendengus ewa, sekali bergerak tubuhnya sudah melesat jauh. Kawanan Chit-Cincu itupun segera menyusul.

Jauh disebelah barat daja sana, samar-samar terdengar suara kuda meringkik. Dari nadanya yang mirip dengan aum naga, tentulah kuda say-cu-hoa. Sementara itu jauh dibelakang sana, tampak kawanan Chit-Cincu itu memburu kearah suara itu. Cincu jubah merah itu mendongak kemuka, lalu menghela napas panjang. Rupanya si Cincu coklat tak sabar lagi, tanyanya: „Apakah ucapan nona itu dapat dipercaya?"

Memang demikianlah dalam pikiran keenam Cincu itu.

Walaupun mulut tak menyatakan apa-apa, tapi hati mereka tetap meragu. Sejenak sapukan mata kearah keenam orangnya itu, berkatalah si Cincu merah: „Bukankah biasanya sudah sering sekali kuceritakan bahwa pada jaman ini kecuali ilmu sakti dari Hoa-he Hi-hu, rasanya tiada manusia yang dapat melawan Swat-san Lojin itu! Benar Thian-lam-ping-siu telah mewarisi kepandaian Hoa-he Hi-hu itu, namun sayang pada kala itu dia menderita luka dalam yang parah, hingga peyakinannya tak dapat mencapai kesempurnaan. Lebih-lebih kini nasibnya belum ketahuan, entah mati atau hidup. Dengan demikian, dikolong dunia persilatan, Swat-san lo- jinlah yang menduduki tempat tertinggi. Ketika pulang, tempo hari Sancu telah menceritakan padaku tentu asal usul orang tua sakti dan gadisnya itu, jadi kuketahuilah riwayat mereka. Bahwa kukatakan perguruanku serumpun dengan Swat-san Lojin, itulah hanya untuk membohongi gadisnya yang masih hijau itu. Ia berjanji hendak menangkap Tan He kongcu itu, tentu sembilan bagian dilaksanakannya. Hanya saja, aku sendiri tak tahu cara bagaimana nona lihay itu hendak membantu kita?"

> ∞ <

Selagi ketujuh Cincu itu tengah bercakap-cakap, disana kuda say-cu-hoa masih tetap mencongklang dengan pesatnya. Samar-samar jauh disebelah muka sana tampak beberapa pelita berkelap-kelip. Itulah tanda adanya sebuah kota.

„Sayang sekarang sudah tengah malam, jadi tak dapat kiranya kita berhenti dikota itu," kata Ceng Ih. „Mengapa kita perlu masuk kekota, coba tu lihat disana, kalau bukan rumah orang tentulah sebuah biara kecil," sahut Tan He.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar