Panji Sakti Bab 05 : Perjuangan Hidup atau Mati

5. Perjuangan Hidup atau Mati 

Ceng Ih dapat hati. Tangan kiri meninju dengan beng-kun- han-san-ho, tangan kanan menghantam dengan pukulan kai- cu-na-si-mi. Dua buah pukulan sakti sekali gus dilontarkannya. Perbawanya laksana harimau tinggalkan sarang, naga keluar dari laut.

Keempat Hui menjerit ketakutan, Chit Cin-cu menjadi kalang kabut posisinya. Bo-ang Sancu marah bukan kepalang. Sebelum pemuda itu sempat memulai bergerak lagi, dia dahului dengan dua buah biat-gong-ciang. Sekalipun jaraknya terpisah beberapa tombak, namun Ceng Ih dapat tersurut mundur juga. Kini keempat Cun-ciapun sudah sempat menghadang lagi. Dengan begitu Ceng Ih terkurung sekali lagi. Namun sedikitpun dia tak gentar. Kembali dia lancarkan kai-cu-na-si-mi dan beng-kun-han-san-ho.

Berbareng dengan datangnya kedua pukulan sakti itu, tiba- tiba Siang-hui menjerit keras: „Awas, ada senjata rahasia!" Dari arah kaki karang sana, meluncur sebuah benda bergemerlap ......

Pada masa itu, baik dari kalangan Hek-to maupun Pek-to, kecuali terhadap Thian-lam-ping-siu, Bo-ang Sancu tak memandang mata pada seluruh tokoh persilatan lainnya.

Keadaan yang mencurigakan diatas karang tadi, dia percaya akan dapat diatasi oleh kedua Sian-ong. Maka waktu mendengar teriakan Siang-hui itu, dia segera membentaknya:

„Jangan ribut, curahkan saja tenagamu untuk menangkap dia dan merebut Panji keramat. Bocah itu sudah mewarisi ketiga jurus ilmu sakti, jadi harus ditawan hidup-hidup!"

Sewaktu benda bergemerlapan itu melayang tiba, Bo-ang Sancu: „Gunakan biat-gong-ciang untuk menghantamnya.

„Bum,” benda itu meletus dan berhamburanlah letikan api yang segera berobah menjadi gulungan asap. Seketika itu, sekeliling tempat situ seperti terbungkus dengan asap tebal. Ceng Ih bersorak melihat itu. Terang ada seorang bintang penolong yang mengisiki dia supaja lekas-lekas lolos. Ceng Ih bertindak cepat. Sambil bergerak maju mundur, dia main obral pukulan dan tinju lwekang. Keempat Cun-cia dan ketujuh cincu itu terdesak mundur.

„Sekaranglah saatnya aku harus lekas-lekas lolos," pikir Ceng Ih.

Ternyata asap itu berkembang dengan cepatnya. Saat itu tepi telagapun sudah tertutup asap, mata sukar memandang apa-apa. Serentak kedengaran Bo-ang Sancu berseru nyaring:

„Jangan sampai bocah itu lolos!"

Tapi seruan itu disambut dengan teriakan kaget dari Siang- hui: „Celaka, ada orang melarikan sisetan sakit!"

Derap kaki terdengar riuh, beberapa orang segera lari kearah pondok. Suasana menjadi kacau balau. Didalam selubung asap yang tebal itu, berselang saling terdengar deru angin pukulan, pedang dan hong-pan-jan menyambar- nyambar. Orang ber-kaok-kaok dengan ributnya.

> ∞ <

Adalah ketika asap bertebaran menyelubungi tepi telaga dan adalah dengan teriakan Siang-hui tadi, tampak ada sesosok tubuh melesat masuk kedalam pondok.

„Yah, mengapa kau berada disini, oh !" demikian

orang itu berseru demi melihat keadaan Thian-lam-ping-siu begitu rupa. Orang itu bukan lain ialah Wan-ji.

Pada saat itu dengan dipimpin Siang-hui, ketiga Hui lainnya yakni Ceng-hui, Ciang-hui dan Kui-hui, lari memburu kearah pondok. Sedang Bo-ang Sancu hanya menggerung-gerung seperti orang kebakaran jenggot. Tahu musuh mengacau, dia tak dapat berbuat apa-apa, karena kuatir keliru menghantam anak buahnya sendiri. Cepat juga gulungan asap itu menjalar kearah pondok.

Tiba-tiba ada sesosok tubuh langsing menyelundup masuk kedalam pondok. Dengan suara pelahan orang itu memberi perintah pada Wan-ji: „Mengapa tak lekas-lekas memanggul ayahmu? Ayuh, lekas!"

Habis berkata, orang itu mencelat keluar dan lancarkan dua buah pukulan. Siang-hui yang lari paling muka sendiri, segera terhuyung mundur. Dalam pada itu, Wan-ji sedang main terka siapakah gerangan orang itu. Sebenarnya wajahnya tertutup tak kelihatan, tapi nada suaranya rasanya ia tak asing.

Bahwasanya orang itu mengunjukkan diri sebagai kawan, cepat-cepat Wan-ji lakukan perintahnya. Secepat sang ayah dipanggul, ia terus dari kearah barat.

Orang yang mukanya berkerudung itu, tak memberi kesempatan pada ke empat Hui. Berturut-urut dia lancarkan hantaman, hingga keempat wanita itu jatuh rebah bangun dan terpaksa mundur lagi ke dalam lingkungan asap. Tiba-tiba terdengar Bo-ang Sancu tertawa, lalu melepaskan pukulan biat-gong-ciang. Orang berselubung itu terkejut. Dilihatnya asap mulai menipis dan benda-benda dapat dibedakan dengan jelas.

„Kalau tak lekas menolonginya, dia tentu celaka!" kedengaran orang berkerudung itu berkata seorang diri.

Tapi tiba-tiba dari kejauhan sana, terdengar Wan-ji berteriak kaget. Nyata nona itu telah dihadang orang. Pikiran orang berkerudung itu terpecah. Manakah yang lebih dahulu ditolongnya? Tapi pada lain kejap, dia sudah mengambil putusan. Sekonyong-konyong tubuhnya mencelat masuk kedalam gulungan asap.

Asap cepat sekali buyarnya. Kini tepi telaga itupun sudah kelihatan tegas. Dengan lintangkan pedangnya, kedua Sian- ong itu menghadang Wan-ji, serunya: „Lepaskan ping-kui!"

Dari gerakannya tahulah Wan-ji bahwa kedua penghadangnya itu tak boleh dibuat main-main. Karena memanggul ayahnya, ia tak berani gegabah adu kekerasan. Cepat ia loncat kesamping terus lari kearah bawah karang. Tapi berbareng dengan berkelebatnya sebuah sinar, salah seorang Sian-ong itu sudah loncat menghadang lagi. Sedang Sian-ong yang satunya, pun turut loncat. Selagi masih diudara, tangan kirinya diulurkan untuk menyambar Thian- lam-ping-siu.

Tahu dirinya dikepung dari muka dan belakang, Wan-ji kertak gigi. Sekali kaki dijejakkan, tubuhnya melambung sampai satu setengah tombak tingginya. Ia melayang turun kesamping. Dalam mata kedua Sian-ong itu, Wan-ji hanyalah seorang nona yang bertubuh kurus lemah. Maka betapa kejutnya ketika nona itu dapat menghilang dari terjangannya. Kedua Sian-ong itu cepat mengejar, tapi Wan-ji sudah lari jauh dua tombak disebelah muka.

> ∞ <

Menengok keadaan Ceng Ih, ternyata berkat lindungan kabut asap yang tebal, dia dapat berlincahan menghindar dari serangan pedang Chit Cin-cu dan rangsangan hong-pian-jan keempat Cun-cia. Sebenarnya pertempuran itu lebih mirip kalau disebut seperti orang main petak. Keempat Cun-cia dan ketujuh cincu itu tak berani menyerang sepenuhnya. Asap sedemikian tebal jangan-jangan nanti mengenai kawan sendiri. Sedang Ceng Ihpun idem. Hanya bedanya, dia tak berani lancarkan pukulan sakti itu karena kuatir posisinya diketahui musuh. Satu-satunya orang yang mirip dengan semut diatas kuali panas, adalah Bo-ang Sancu. Dia hanya berteriak kalang kabut, tapi tak dapat berbuat apa-apa

............

Tiba-tiba Ceng Ih merasa ada sesosok tubuh melesat kearahnya. Selagi dia hendak menghindar, terdengar orang itu berseru lemah: „Lekas ikut aku!" Tangannya melambai menyuruh Ceng Ih ikut.

Waktu lewat disisinya tadi, karena jaraknya amat dekat, jadi Ceng Ih dapat melihat dengan tegas. Orang itu bersuara amat pelahan, tapi cukup jelas didengar. Tergerak juga hati Ceng Ih. Dilihatnya orang itu bergerak dengan lincahnya.

Menghindar kekanan, nyerong kekiri. Dua tabasan pedang dan sebuah hantaman hong-pian-jan dapat dikelitnya dengan mudah. Buru-buru Ceng Ih lari mengikutnya ...........

> ∞ <

Kedua Sian-ong bergerak seperti angin untuk mengejar Wan-ji, tapi dengan menggigit gigi nona kurus itu enjot tubuhnya keras-keras. Dengan loncat jauh tiap kali dua tombak, ia tinggalkan pengejarnya beberapa tombak dibelakang. Tetapi setiap kali ia kendorkan langkah, kedua Sian-ong itu tentu sudah memburu datang!

Tanpa disadari tiba-tiba Wan-ji putar arah kakinya, terus ter- bang kesebelah kanan dan celaka itulah sebuah karang buntu! Wan-ji terperanjat. Dalam keputusan asa, ia ayunkan tangan kanan „kena”, serunya dengan lantang. Sebuah bintang-bintangan perak melayang kearah salah seorang Sian- ong. Tapi tojin itu dengan tertawa dingin, tetap menerjang maju sembari hantamkan pedangnya. „Dor,” peluru itu terpental setombak dan meletus diudara. Seketika itu asap berkembang biak menutupi sekeliling tempat situ. Wan-ji hilang lenyap ditelan kepekatan asap.

Kini baru tersadarlah kedua Sian-ong itu kalau kena diselomoti. Mau terus menerjang maju, mereka bersangsi jangan-jangan terbokong musuh. Adalah pada detik-detik mereka bersangsi itu, asap makin membungkus tebal-tebal hingga mata tak dapat melihat apa-apa lagi.

Girang Wan-ji tak terperikan. Kiranya peluru pemberian anak muda aneh itu mempunyai khasiat hebat. Tanpa berayal lagi, ia terus panggul ayahnya lari kedalam sebuah hutan yang lebat. Setelah mendapatkan tempat yang aman dan terlindung, barulah ia letakkan tubuh ayahnya ketanah. Kala itu lelahnya bukan kepalang, tenaganya habis sama sekali.

Baru saja ia turunkan ayahnya, tiba-tiba dari arah belakang terasa ada angin berkesiur dan sebelum ia sempat melihat apa-apa, tahu-tahu terdengar ada orang berkata: „Coba tunggu dulu. Katamu Thian-lam-ping-siu sudah berada dimuka, mengapa belum kelihatan?”

Seorang kawannya menyahut: „Hem, rupanya kau ini amat perangsang (buru-buru). Kalau tak percaya, biar kau gelisah beberapa saat lagi!”

„Ai, mengapa ada orang menyebut-nyebut ayah?" kata Wan-ji seorang diri. Namun karena melihat ayahnya tetap diam tak bergerak, ia berteriak dengan cemas: „Yah! Yah!"

Berbareng dengan seruannya itu, selarik sinar berkelebat dan tahu-tahu disisinya ada seorang duduk berdjongkok dengan menekuk sebelah kakinya. Kejut Wan-ji bukan terkira. Ayahnya dalam keadaan luka parah lalu tiba-tiba ada orang seperti hendak menubruk. Cepat ia akan membuat reaksi, tapi sebelum tangan sempat bergerak. orang itu sudah berseru:

„Supeh! Supeh!”

„Siapakah supehmu itu?" tegur Wan-ji. Saat itu ia sudah melihat jelas bahwa orang itu bukan lain ialah pemuda Ceng Ih yang pernah dilihatnya ketika berada dirumah penginapan di Pat-tat-nia mengapa dia membahasakan supeh atau paman guru pada ayahnya?

Namun pemuda itu tak menghiraukan teguran sinona dan sebaliknya sudah lantas memeriksa nadi tangan dan pernapasan Thian-lam-ping-siu. Pada lain saat wajah anak muda itu berobah pucat. Sebelum dia tahu apa yang harus dilakukan, sesosok tubuh melayang datang lagi.

„Lekas buka bajumu, biar aku yang menyiasati musuh dan kalian lekas-lekas lari ke Leng-san!" serunya dengan pelahan.

Bagi Ceng Ih, menolong supehnya itu adalah lebih penting, maka tanpa ragu-ragu lagi dia terus copot baju dan diberikan pada orang yang datang itu yang ternyata ialah si anak muda sekolahan adanya. Tanpa sempat mengucap terima kasih, Ceng Ih gendong supehnya dan mengajak Wan-ji: „Adik Wan, ayuh lekas ikut aku!"

Pertama mendengar orang menyebut supeh pada ayahnya, lalu memanggilnya adik Wan kemudian mengatakan menuju ke Lengsan. Bagi Wan-ji kesemuanya itu menjadi terang gamblang. Apa lagi pada saat itu jauh disebelah sana sudah kedengaran suara berisik dari orang-orang ditelaga yang datang mengejar. Tanpa berayal lagi, ia terus mengikut Ceng Ih melintasi rimba dan menyusup jauh kedaerah pedalaman.

Memang suara berisik itu berasal dari rombongan orang Siao-ngo-tay-san yang dipimpin sendiri oleh Bo-ang Sancu. Dibelakang pemimpin itu ialah keempat selirnya, disebelah kiri kedua Sian-ong dan keempat Cun-cia. Sebelah kanannya ketujuh Chit Cin-cu. Mereka berlari dengan cepatnya. Jauh dibelakang mereka adalah keempat gadis berpakaian serba putih dengan menghunus pedang. Dan lebih jauh lagi dibelakang sendiri barulah ke delapan gadis pemain seruling dan harpa itu.

> ∞ <

Mengapa mendadak sontak Ceng Ih bisa datang ketempat Wan-ji dan ayahnya tadi, baiklah kita mundur sebentar.

Kiranya, walaupun berkat bantuan asap letusan peluru, ancaman musuh dapat dihindari tapi untuk meloloskan diri, ternyata tak semudah apa yang dikira oleh Ceng Ih. Tiba-tiba anak sekolahan itu muncul disisinya seraya melambaikan tangan. Tanpa ragu-ragu lagi, dia (Ceng Ih) segera menghampiri. Entah dengan cara bagaimana, tapi dengan mengikuti anak sekolahan itu, dapatlah dengan mudahnya Ceng Ih menerobos keluar dari lingkungan lautan asap, menuju ketempat yang aman dibawah karang. Kesekian banyak jagoan-jagoan keras dari Bo-ang Sancu tadi, tak merasa kehilangan yang dikepung. Sebenarnya Ceng Ih terus saja hendak menuju kepondok, tapi enak saja anak sekolahan itu berkata: „Pak tua itu sudah pergi, lekas ikut aku sajalah!”

Ceng Ih menaruh kepercayaan bulat kepada anak sekolahan itu. Selama menyusur tepi telaga mereka tetap belum ketahuan musuh. Baru beberapa saat kemudian, jejak mereka tercium lawan. Bo-ang Sancu pimpin anak buahnya untuk melakukan pengejaran. Ketika mengetahui Ceng Ih berada disebelah muka, segera Bo-ang Sancu enjot tubuhnya keudara. Loncatan itu tak kurang dari empat-lima tombak jauhnya. Su-hui., kedua Sian-ong, keempat Cun-cia dan ke tujuh cincu pun tancap gas menyusul menyerbu. Tiba-tiba tampak kaki Ceng Ih seperti tergelincir pada sebuah batu gunung. Serempak tertawalah Bo-ang Sancu:

„Bocah kecil, mau lari kemana kau?" serunya sembari tak kendorkan langkah. Jarak mereka kini hanya terpisah empat- lima tombak saja. Dan pada saat itu Bo-ang Sancupun sudah lancarkan sebuah biat-gong-ciang. Angin menderu-deru, batu dan pasir berterbangan. Pemimpin durjana itu enjot kaki kiri untuk meleset maju menerkam, tapi hai Ceng Ih tak

kelihatan bayangannya dan sebagai gantinya ditanah tampak ada sebuah lubang.

Kedua Sian-ong yang tiba lebih dahulu, segera pecah diri meleset dikanan kiri sang pemimpin.

„Disini!” seru Sian-ong yang mengejar disebelah kanan. Dengan berkelebatnya pedang, orangnya pun menerobos keluar dari hutan dan terus lari kebatu karang yang dikanan.

Bo-ang Sancu semakin beringas. Jelas dilihatnya disebelah muka ada lengan baju berkibar-kibar. Sekali enjot, dia melambung tiga tombak tingginya sembari kirim dua buah biat-gong-ciang. Tampak sesosok tubuh terputar-putar diudara. Kejut Bo-ang Sancu tak terkira. Tak menyangka dia, anak muda itu dapat diringkus begitu mudah. Serunya: „Lekas sambuti dia, jangan sampai binasa!”

Kedua Sian-ongpun cepat bersiap dan tak lama kemudian disusul pula oleh Chit Cin-cu. Kalangan disitu dikepung rapat, seumpama seekor lalatpun tak nanti dapat menembus masuk. Kalau tak sampai terluka, anak muda itupun tentu tak nanti mampu lolos.

> ∞ <

Sembari berlari, hati Wan-ji tetap gelisah memikirkan keadaan sang ayah yang berada diatas punggung Ceng Ih. Berulang kali ia memanggili: „Yah, yah, mengapa kau tak dapat bergerak sama sekali!"

Baru mereka melintasi sebuah bukit, sekonyong-konyong dikaki bukit ada sesosok tubuh menerjang datang. Gerakannya cepat sekali. Ceng Ih buru-buru hentikan langkah dan angkat tangannya kanan kedada. Tapi ternyata prang itu kedengaran tertawa dan tahu-tahu kembali tangannya menowel pipi si Wan-ji. serunya: „Lekas ikut aku, adik kecil, jangan bersuara!”

Ya, siapa lagi kalau bukan sipemuda sekolahan yang beberapa kali mentowel pipi Wan-ji itu. Ternyata pemuda itu tak turun kebawah sebaliknya malah kembali naik lagi keatas bukit. Dan baru mereka bertiga kira-kira sepuluhan tombak mendaki atau dikaki bukit tadi tampak beberapa sosok tubuh berkelebat seperti angin puyuh.

„Sungguh berbahaya!" seru Ceng Ih. Kalau tadi sampai turun, tentu mereka bakal kepergok dengan pengejarnya. Dalam sakejap saja, orang-orang itu sudah jauh sekali. Tiba- tiba pemuda sekolahan itu mengajak turun lagi. Hanya saja tidak mengambil jalanan tapi dengan mengitari lamping gunung terus turun kebawah.

„Mengapa kita berjalan balik lagi, bukankah kita hendak menuju ke Leng-san?" tanya Wan-ji.

„Inilah yang dinamakan mengacaukan dugaan musuh. Bo- ang sidurjana tentu tak menduga, kita bakal mengambil jalan balik, dengan begitu mudahlah kita meloloskan diri!” Ceng Ih memberi penjelasan.

„Jangan memaki orang!" tiba-tiba pemuda sekolahan itu buka suara, sembari berpaling kebelakang. Wan-ji yang sudah beberapa kali ditowel pipinya, menjadi kuatir jangan-jangan anak muda ugal-ugalan itu akan menowelnya lagi. Buru-buru ia menghindar kesamping, tapi ternyata pemuda sekolahan itu hanya ganda tertawa dan teruskan larinya ...........

> ∞ <

Menyusup hutan, melintasi gunung, menyusur tebing karang, pada puncak karang dari sebuah gunung yang dirindangi dengan pohon siong tua, bersembunyilah sebuah goa batu. Diluar goa itu terdapat suatu halaman karang datar seluas satu bahu. Warna batu disitu putih kebiru-biruan seperti batu giok. Diempat penjuru dikelilingi oleh barisan pohon Siong dan bambu, setengah ditanam orang setengah tumbuh sendiri. Benar-benar merupakan sebuah tempat suci. Pada pintu batu dari goa itu terdapat ukiran empat buah huruf

„Leng-san sian-hu” atau Kediaman Dewa digunung Leng-san.

Sekonyong-konyong dari dalam goa itu menerobos keluar seorang nona seraya berseru: „Engkoh Ih, engkoh Ih!"

Nona itu mengenakan baju warna hijau, hingga serasi benar dengan warna batu karang disitu. Benar mukanya agak kurus, namun tak mengurangkan kecantikannya yang gemilang.

Dari halaman luar dibawah sebuah pohon siong, tampak ada seorang memutar tubuh dan menyahut: „Adik wan, aku berada di sini!”

Orang itu bukan lain ialah Ceng Ih dan nona yang meneriaki tadi si Wan-ji adanya. Hanya kini nona itu sudah berganti pakai¬an seperti lazimnya seorang nona cantik, jauh bedanya seperti dikala berada dirumah penginapan di Pat-tat- nia tempo hari. Wan-ji lari beberapa langkah tapi tiba-tiba berhenti. Dengan tertawa kemalu-maluan ia memain dengan ujung lengan bajunya. Ceng Ih agak heran melihat tingkah laku nona itu. Biasanya sangat periang, mengapa kini malu- malu kucing.

„Engkoh Ih, lihatlah pantas tidak aku pakai baju ini!” seru Wan-ji kemalu-maluan.

„Bagus, sudah menyerupai seorang nona dewasa!” sahut Ceng Ih.

Wajah Wan-ji bersemu merah. Sejenak ia melirik si anak muda, lalu menunduk pula. Berulang kali ia berbuat begitu, lalu tiba-tiba ia berputar tubuh. Sikap yang dibawakannya itu memang mirip dengan dara yang jinak-jinak merpati.

„Adik Wan, apakah supeh sedang berlatih lwekang?" tanya Ceng Ih sembari menghampiri.

Wan-ji memamerkan senyuman, sembari mengangguk ia menyahut: „Sudah tadi-tadi dia berlatih, masakan kau tak tahu? Ai, engkoh Ih, kemarin lusa hampir saja beliau tak ketolongan. Coba kau tak lekas-lekas membantu ayah dengan saluran lwekang, mungkin ayah sudah runyam. Pertolongan selama dua hari itulah yang dapat merebut jiwa ayah!"

Tiba-tiba wajah Ceng Ih mengunjuk kemuraman, tetapi ketika Wan-ji menatapnya, buru-buru dia tertawa untuk menghapus kemuramannya itu.

„Engkoh Ih, coba kau terka, darimanakah pakaianku ini?” tanya Wan-ji. Karena melihat anak muda itu tak memperhatikan pakaian yang baru itu, ia merasa agak kecewa.

Sebaliknya Ceng Ih seperti merenungkan sesuatu, sahutnya: „Karena pemuda itu tetap tak mau muncul, tentu pakaian itu dia yang memberikan padamu!” 

Wajah Wan-ji memerah jambu, mulutnya mengikik tawa, ujarnya: „Kau selalu mengincar padanya, sebaliknya dia tak mau padamu. Dia bilang, tak mau bertemu padamu!"

Sepasang mata Ceng Ih berkedip terang, sahutnya dengan tertawa: „Dia tak mau menemui aku, tapi aku tetap akan menemuinya!"

Wan-ji banting-banting kaki berseru dengan uring-uringan:

„Engkoh Ih, dia kesalahan apa saja padamu?"

„Kalau tak salah, sudah dua kali dia menolongi aku, sampai-sampai aku belum sempat menyatakan terima kasih. Hanya saja Adik Wan, apakah kau tak merasakan

sesuatu yang aneh pada dirinya? Pernahkah kau melihat hal- hal yang aneh itu?” sahut Ceng Ih tertawa.

„Dia menolongmu dan pernah menolong ayah, itu sudah cukup. Kalau kau curiga ini itu, kau seorang manusia yang tak tahu menerima kasih!” kata Wan-ji.

Baru berkata sampai disitu, tiba-tiba Ceng Ih memberi isyarat supaya Wan-ji jangan bicara. Kemudian sekali ayun tubuh, dia sembunyi dibalik pohon siong yang berada ditepi karang. Wan-ji mengikutinya. Ternyata pada saat itu dibawah lembah sana tampak ada sesosok bayangan merah muncul lenyap. Tapi karena ditingkah oleh sinar matahari pagi, jadi kelihatan jelas. Hanya saja karena kabut mengungkap keatas lembah, jadi bayangan itu segera ditelan lenyap.

„Engkoh Ih, tentu orang-orangnya Bo-ang menyerbu kemari! Dalam dua hari ini ayah telah memberi petunjuk banyak mengenai beberapa inti rahasia tiga jurus ilmu sakti itu dan kau sudah bertambah maju, rasanya tak takut terhadap mereka!” kata Wan-ji. 

Sembari matanya tak lepas memandang kedasar lembah, Ceng Ih menjawab: „Adik Wan, aku tak kenal perasaan takut. Tapi mengapa kau mengetahui kalau malam itu supeh menderita luka parah? Supeh memang sangat menderita sekali!"

Ceng Ih menghela napas, lalu sambungnya pula: „Adik Wan, sebenarnya aku tak ingin kau menjadi cemas. Dalam dua hari ini, aku tak mengatakan apa-apa padamu. Tapi kini karena musuh sudah diambang pintu, terpaksa kukatakan juga. Kalau malam itu tak keburu mendapat pertolongan, rasanya supeh tentu akan sudah tak dapat tertolong jiwanya. Walaupun telah kugunakan lwekang untuk membantunya menyalurkan hawa murni, namun hanya dapat memperpanjang hidup beberapa hari saja. Sekalipun ada pil dewa, tetap takkan menolongnya!"

Kaget Wan-ji bukan kepalang.

„Lekas jaga pintu goa, biar kuundurkan musuh. Keadaan supeh masih kritis (gawat) sekali, sekali-kali tak boleh diganggu!” kata Ceng Ih dengan gugup.

Adalah selagi kedua muda mudi itu berbicara, disebelah lembah sana kembali bayangan merah itu tertampak, malah jumlahnya ada dua-tiga. Kali ini mereka sudah dekat kaki gunung jadi terang mereka itu hendak menuju keatas. Ketiga titik merah itu dengan lajunya terbang mendaki. Dari gerakannya, mereka itu memiliki kepandaian yang sakti, tapi karena jaraknya masih jauh jadi belum diketahui jelas siapa mereka itu sebenarnya.

Ceng Ih segera mengitari halaman goa dan dengan sangat hati-hati dia turun kebawah gunung. Sedangkan Wan-ji demi mendengar keterangan anak muda itu tentang keadaan ayahnya, segera bercucuran air mata. Namun karena kuatir musuh mengganggu ayahnya lagi, iapun keraskan hati dan lari kearah goa. Tetapi belum lagi ia tiba dimulut goa, sesosok tubuh berkelebat menghadang dimuka. Begitu sekonyong- konyong sekali munculnya orang itu hingga hampir saja Wan-ji membenturnya. Cepat dia hentikan langkah. Sekalipun begitu, karena jaraknya sudah keliwat dekat jadi ia tak sempat melancarkan pukulan. Cepat ia tekuk siku lengannya dan menjotos melalui bawah lengan satunya.

Orang itu tak sempat bersiaga, untuk mundurpun tak dapat lagi. Jotosan Wan-ji itu cepat menjuju kearah dadanya. Ai. orang itu ternyata si anak sekolahan itu. Kini Wan-ji baru dapat mengetahuinya jelas, namun sudah tak keburu menarik kepalannya lagi. Tangannya menjotos dada anak sekolahan itu, tapi syukur hanya menyerempet sedikit saja. Wan-ji merah mukanya, sedang si anak sekolahan itu lebih merah padam lagi.

„Bagus, kebetulan kau datang, lekas bantui aku?" kata Wan-ji.

Sembari mencekal tangan Wan-ji, pemuda sekolahan itu menyahut: „Lekas jaga ayahmu didalam, mulut goa sini biar aku yang menjaganya!"

Wan-ji cepat lakukan perintah orang. Mereka berdua masuk kedalam goa. Goa itu terletak dipuncak gunung yang menyusup masuk kedalam awan. Hal itu disebabkan karena puncak disitu. ialah puncak yang tertinggi dari gunung Leng- san. Jangankan insan manusia, sedangkan bangsa burung saja, jarang yang datang kesitu.

Dikaki gunung sana, ketiga buah warna merah tadipun berhenti. Mereka ternyata adalah seorang tojin dan dua orang paderi. Tojin itu ialah salah seorang dari kedua Sian-ong, sedangkan kedua paderi itu bukan lain adalah dua dari keempat Cun-cia.

„Totiang, ini sudah termasuk daerah Leng-san. Puncak ini ialah puncak yang tertinggi sendiri. Dalam daerah pegunungan yang seluas ini, bagaimana kita hendak pergi mencarinya?" kata salah seorang Cun-cia.

Cun-cia yang kedua kedengaran menggerutu: „San-cu memang banyak curiga. Terang kalau setan tua itu sudah seperti pelita ke habisan minyak. Entah besok entah lusa, dia tentu mati sendiri, jadi tak usah mencarinya lagi," kata Cun-cia yang satunya.

„Tentulah Cun-cia berdua tak tahu duduk perkaranya. Mengapa Sancu sampai mengerahkan pengejaran besar- besaran, tentulah ada sebabnya. Tentang keadaan si ping-kui (setan berpenyakitan) yang sudah tunggu ajal itu, Sancu tentu sudah mengetahui. Yang diincar Sancu bukan lain ialah anak muda itu. Dewasa ini siapakah yang dapat menyaingi kelihayan Sancu?" kata Sian-ong itu.

„Tepat sekali!" teriak salah seorang Cun-cia itu, „jangankan Sancu. sedang terhadap kami berdua Sian-ong ini, siapakah yang mampu menandingi? Ilmu persatuan pedang dari Chit Cin-cu itu, siapa yang kuasa membobolkannya!” sahut salah seorang Cun-cia.

Baru saja Cun-cia itu mengucap kata-katanya yang temberang, tiba-tiba terdengar dengusan suara dari seorang tua. Sudah tentu tojin dan kedua Cun-cia tadi menjadi terperanjat. Cepat mereka pecah diri, lalu menyerang lawan dari tiga jurusan. Tetapi dalam lingkungan kesekeliling sepuluhan tombak persegi, jangankan batang hidung manusia, sedang kicauan burung saja tak terdengar. Mengira kalau salah dengar, kedua Cun-cia itu kembali. Sebalik nya si Sian-ong itu segera melakukan pemeriksaan sendiri.

„Suara aneh tadi bukan lain batang pohon ditiup angin. Kita jangan sampai tertipu", seru kedua Cun-cia itu sembari menertawakan.

Setelah tak mendapat hasil apa-apa, Sian-ong itu kembali, ujarnya:

„Kiranya berdua Cun-cia tentu belum mengetahui bahwa anak itu telah menerima warisan Panji Sakti dan ilmu sakti tiga jurus. Taruh kata Sancu berlatih lagi dengan kerasnya, belum tentu dia dapat meringkus anak muda itu. Coba saja contoh lusa malam ketika bertempur ditepi telaga. Anak itu baru saja mempelajari ilmu sakti itu, namun perbawanya sudah bukan olah-olah. Kalau dia dibiarkan hidup, dunia persilatan tentu akan dikuasainya. Bukankah hal itu akan merupakan ancaman bagi kita semua? Kalau sampai dia sudah keburu memahami pelajaran itu, Sancu dan kawan-kawan kita tentu takkan dapat duduk tenang.

Kedua Cun-cia itu seperti disadarkan. Memang dalam malam pertempuran dipondok telaga, keempat Cun-cia tak dapat mengatasi si anak muda.

„Sakti sekalipun ilmu yang diturunkan Thian-lam-ping-siu kepada anak itu, namun yang penting ialah Panji Sakti.

Berpuluh tahun lamanya Sancu menjelajah dunia untuk mencari Panji keramat itu. Kini setelah tahu dibawa anak itu, tentu saja tak mau melepaskannya,” kata salah seorang Sian- ong.

Kedua Cun-cia itu mengiakan. Sian-ongpun segera ajak mereka bergerak. Memandang keatas tampak puncak gunung itu menjulang tinggi ditutup selimut kabut. Tebingnya nan curam melandai, sukar didaki. Justeru dalam ginkang (ilmu mengentengi tubuh), kedua Cun-cia itu tidak begitu hebat. Diam-diam mereka mengeluh.

„Cun-cia berdua menjaga disini, biar aku seorang diri yang naik keatas,” kata Sian-ong itu yang rupanya mengetahui isi hati orang. Sudah tentu tawaran itu disambut girang oleh kedua Cun-cia.

Setelah menyingsingkan jubahnya, Sian-ong itu segera enjot tubuhnya melambung sampai tiga tombak. Tapi baru saja kaki menginjak padas, sekonyong-konyong kepalanya tersambar oleh angin dan berbareng itu terdengar orang membentak: „Turun!”

Sebenarnya imam tua (Sian-ong) itu belum lagi berdiri teguh. namun dia tetap membangkang. Serentak diapun gerakan tangan untuk menyongsong hantaman. Tapi baru tangan bergerak, dadanya terasa sesak dan tubuhnya tersapu berjumpalitan jatuh kebawah karang.

Melihat perobahan yang mencurigakan itu, kedua Cun-cia itupun cepat menyerbu keatas. Tapi seperti dikatakan diatas, situasi (keadaan) gunung itu amat berbahaya sekali, apalagi kedua Cun-cia itu bertubuh gemuk berat. Baru saja lari beberapa langkah, sudah terdengar gelak tertawa dari seorang tua: „mau cari mati? Ayuh, lekas enyah tidak! Hari ini aku siorang tua masih suka memberi ampun!”

Senasib dengan imam tua tadi, tahu-tahu kedua paderi (Cun-cia) itupun tersambar angin keras. Karena tubuhnya gemuk, jadi jatuhnyapun cukup berat. „Blak, bum,” kedua hong-pian-jannya menghantam beberapa batang pohon hingga pohon-pohon itu menjadi tumbang. Setelah bergelundungan sampai tiga-empat tombak, barulah kedua Cun-cia itu dapat memperbaiki posisinya. Muka dan sekujur badan serta hidungnya, penuh berlumuran dengan pasir dan lempung. Kedua Cun-cia itu merintih-rintih kesakitan.

Sebaliknya siimam Sian-ong masih penasaran. Dengan memotong kesamping dia memutar dan lari menyerbu keatas. Tapi sekonyong-konyong dari atas udara terdengar deru angin yang bergemuruh. Buru-buru iman menangkis dengan tangan kanan dan balas menghantam dengan tangan kiri kemudian loncat melayang kesamping. Pada tempat dimana dia jatuh, berdirilah seorang pemuda dengan pedang terhunus, itulah Ceng Ih. Deru tadi berasal dari pedangnya itu. Kejut Sian-ong itu bukan kepalang.

Imam tua itu mengira kalau yang mendampar jatuhkan dia dari karang tadi ialah Ceng Ih. Maka demi berhadapan dengan pemuda itu, dia agak bercekat juga. Namun karena marahnya, cepat dia cabut pedangnya. Pun kedua Cun-cia tadi siang- siang sudah lantas mendahului menyerang dengan hong-pian- jan. Oleh karena senjata itu cukup panjang tangkainya, jadi belum orangnya datang serangannya sudah tiba!

Tiba-tiba Ceng Ih bersuit keras, tubuhnya mencondong kebelakang. Begitu punggung menempel karang, kakinya segera melorot turun. „Blak, blak,” karang hancur terhantam hong-pian-jan. Beberapa puingnya muncrat mengenai kedua Cun-cia itu sendiri. Dalam pada itu, Ceng Ih sudah berada ditengah kedua penyerangnya. Dengan jurus hun-hoa-hud-liu (bunga bertebaran meniup pohon liu), dia babat kedua musuhnya. Gerakannya cepat bukan kepalang.

Bahwa gumpalan karang tadi jatuh menimpah dirinya, malah menjadi keuntungan bagi kedua Cun-cia itu. Oleh karena dengan begitu mereka lalu loncat turun kebawah karang dan dengan demikian terhindarlah mereka dari maut pedang Ceng Ih. Namun sekalipun begitu, gerak serangan pedang anak muda itu, cukup meruntuhkan nyali kedua Cun- cia. Itu saja baru serangan pedang, kalau sampai anak itu mengeluarkan tiga jurus sin-kang (ilmu sakti), mereka tentu akan binasa. Tanpa banyak pikir lagi, salah seorang Sian-ong timpukkan dua buah peluru beruntun-runtun keudara. „Bum bum,” peluru itu meletus, kumandangnya mengalun sampai jauh.

„Hem, sekalipun kau panggil semua orang Siao-ngo-tay- san, aku tak jeri! Ayuh, kalau berani ikut aku kemari!” seru Ceng Ih menantang. Habis itu, dia ayun tubuhnya melayang melampaui kepala kedua Cun-cia itu menuju kebawah karang.

Gerakannya itu menimbulkan deru angin keras hingga pohon-pohon disekitar tempat situ sama tersiak daunnya. Tiba-tiba dari semak-semak daun yang tersiak itu, tampak sebuah kepala dari seorang tua. Tapi pada lain saat ketika semak itu tersiak lagi, kepala orang itu sudah tak kelihatan. Hanya jauh beberapa tombak pada sebuah pohon, terdengar daunnya sama berkeresekan.

Maksud Ceng Ih turun kebawah karang itu, ialah hendak memikat musuh supaja turun gunung. Dan rencananya itupun berhasil. Dengan membolang-balingkan hong-pian-jan kedua Cun-cia itu mengejar. Tapi siimam tua Sian-ong itu, setelah melepaskan peluru, tak ikut mengejar, melainkan loncat kesebuah dahan menantikan sesuatu. Wah, celaka, ni! Sedang berhadapan dengan imam tua itu sendiri Wan-ji tentu sudah keripuhan apalagi kalau sampai datang bala bantuan musuh.

Ceng Ih sengaja lambatkan kakinya, begitu kedua Cun-cia tiba dengan serangan dari kanan kiri, diapun segera balas menyerang. Sembari bersuit panjang, pedang dipindah ketangan kiri dan tangan kanan bergerak cepat dalam ilmu kay-cu-na-si-ni. Seketika itu kedua Cun-cia merasa terdampar oleh suatu tenaga dahsyat. Tubuhnya terhuyung, syukur dapat tersangga oleh hong-pian-jan yang menghantam tanah. Mata serasa gelap dan mulut menyembur segumpal darah segar!

Memang selama telentang dalam pembaringan itu, Thian- lam-ping-siu membeberkan rahasia inti dari ketiga sin-kang itu kepada Ceng Ih lebih jelas. Dihadapan jago tua itu, Ceng Ih memperaktekkannya dengan latihan. Setelah diberi petunjuk sana sini, kai-cu-na-si-mi menjadi lebih bergaja, beng-kun- han-san-ho menjadi lebih berperbawa dan it-ci-ting-kian-gun makin dahsyat. Maka taklah mengherankan ketika dia keluarkan kai-cu-na-si-mi, kedua Cun-cia itu tak kuat menerimanya. Kedua paderi itu terluka dalam yang cukup berat.

Ceng Ih tak sempat untuk menyiksa mereka lebih jauh. Begitu loncat melampaui kedua korhannya itu, dia sudah berada dibawah pohon dimana si imam Sian-ong berdiri. Lengan kiri ditekuk lalu ditarik, menyusul tangan kanan melancarkan pukulan beng-kun-han-san-ho kearah pohon.

„Krek, krek,” pohon yang besarnya hampir sepemeluk orang itu tumbang. Ceng Ih incar arah kemana larinya Sian-ong dan dengan tangan kiri dia susuli lagi sebuah beng-kun-han-san- ho. Terdengar badai meniup dan sembari mengerang kesakitan si imam itu melayang jatuh kebawah tebing gunung!

„Bagus. anak muda, kelak tentu akan menyagoi dunia persilatan!" tiba-tiba terdengar seorang tua berseru memuji.

Ceng Ih terkesiap. Pikirnya, kalau musuh tentu tak memuji begitu. Namun dia tak sempat memperhatikan arah suara itu karena pada saat itu, dari kanan kiri ada enam orang menerjangnya. Buru-buru Ceng Ih loncat menghindar sampai tiga tombak jauhnya. Ketika memperhatikan, ternyata penyerang dari sebelah kiri itu ialah salah seorang Sian-ong dan dua orang Cun-cia lainnya, sedang yang dari sebelah kanan adalah tiga dari ketujuh cincu. Mereka menyerbu dengan pedang.

Ceng Ih memperhitungkan, kalau sampai kena terkepung tentu dirinya repot, maka baik dia turun tangan lebih dulu. Dengan bersuit keras, tangan kiri menyambut kesebelah kiri, menyusul tangan kanan bergerak, dia berputar menyerang kebagian kanan. Kai-cu-na-si-mi memang sakti. Ketiga cincu yang tak sempat menarik pulang serangannya itu serasa seperti digempur tenaga dahsyat dari belakang, hingga mencelat kemuka.

Sian-ong dan kedua Cun-cia tadi begitu mengetahui dirinya ditipu lawan, segera menyerang dengan kalap. Justeru pada saat itu ketiga cincu menjorok maju. Bagi Sian-ong dan kedua Cun-cia itu, tak mungkin lagi untuk menarik pulang serangannya. Wah, celaka, berbaku hantam dengan kawan sendiri nanti. Serempak mereka sama berteriak kaget. Akibat dari benturan itu, Sian-ong dan kedua Cun-cia, karena menang posisi, jadi tak kurang suatu apa. Tapi sebaiknya, ketiga cincu itu terhuyung-huyung sampai tiga tindak kebelakang dan rubuh .........

Memang sebenarnya keenam orang itu berkepandaian tinggi. Begitu terancam saling bentur sendiri, mereka berteriak sembari gerakan tangan untuk bertahan agar jangan sampai berbenturan. Sekalipun begitu ketiga cincu itu tetap terjerembab jatuh, justeru perbawa angin pukulan kai-cu-na- si-mi itu masih menderu, maka begitu jatuh ditanah, ketiga cincu itupun segera terdampar jatuh kebawah gunung.

Setelah tiga dari enam pengeroyoknya rubuh, Ceng Ih tak mau sia-siakan kesempatan. Dia maju menyerbu lagi. Pedang ditangan kiri menyerang Sian-ong dan tinju kanan bergerak dalam kay-cu-na-si-mi lagi untuk mendorong kedua Cun-cia. Belum lagi kedua Cun-cia itu sempat menggerakkan hong- pian-jannya, dada mereka serasa ampek sesak, kakinya serasa tak menginjak tanah dan tanpa sempat menjerit, mereka sudah terdampar jatuh bergelundungan kebawah gunung!

Kesemuanya tadi hanya berlangsung dalam beberapa kejap saja. Dari sembilan musuh tangguh, sudah delapan yang remuk. Sudah tentu imam Sian-ong yang masih belum terluka itu menjadi copot nyalinya. Dengan memutar pedangnya kalang kabut untuk melindungi diri, dia terbirit-birit mundur.

Tapi dasar pikirannya sudah bingung, maka kakinyapun tergelincir ketempat kosong. Tak ampun lagi, dia pun menyusul bergelundungan kebawah gunung.

Bahwa dalam tiga-empat gebrak saja sudah dapat mengkocar-kacirkan sembilan orang ko-chiu, telah membuat Ceng Ih terkesiap sendiri. Ketika melongok kebawah, keempat paderi dan kelima imam itu tampak sama menggeletak ditanah tak berkutik.

Tiba-tiba telinganya tersusup suara yang amat halus:

„Jangan kegirangan dahulu, anak, yang lihay segera akan datang!"

Ceng Ih terperanjat. Itulah ilmu lwekang yang disebut coan-im-jip-bi atau menyusupkan suara kedalam lebatan. Nyata orang yang mengeluarkan lwekang itu telah mencapai tingkat kesempurnaan. Pada lain saat, Ceng Ih dikejutkan dengan datangnya suara tertawa dari lamping gunung. Dari

nadanya yang jumawa, Ceng Ih segera menduga bahwa itulah Bo-ang Sancu. Yang lebih mengejutkan lagi, nada ketawa itu sudah berada didataran muka goa. Kalau benar begitu, Wan-ji tentu tak dapat bertahan. Dengan demikian rencananya untuk memikat musuh supaja jauh dari goa itu, mengalami kegagalan total. Dalam gugupnya, Ceng Ih segera ayun tubuhnya menuju ke dataran goa. Sesosok tubuh kecil langsing tengah berlincahan didera pukulan biat-gong-ciang dari Bo-ang.

Dalam radius satu tombak, pohon-pohon siong yang tumbuh disekeliling dataran situ sama bergontaian mau rubuh. Namun si kecil langsing itu, luar biasa lincahnya. Begitu asjik kedua orang itu bertempur. sehingga mereka tak sempat melihat kedatangan Ceng Ih. 

Saking cepatnya, Ceng Ih sampai tak dapat melihat jelas siapakah gerangan si langsing itu. Namun dari potongan tubuhnya. terang kalau ia itu seorang wanita.

„Pada masa ini, kecuali ketiga sin-ciau (ilmu sakti) dari supeh, siapa lagikah yang dapat menandingi Bo-ang? Lebih- lebih dia itu hanya seorang gadis remaja saja!” diam-diam Ceng Ih menimang dalam hati.

Dari jalannya pertempuran, nyata nona itu merupakan lawan berat bagi Bo-ang. Ia telah membuat dirinya laksana sebuah rantai bayangan, sehingga betapapun dahsyatnya pukulan maut Bo-ang itu, tetap tak mampu menjamah tubuh nona itu. Kebalikannya, pemimpin gunung Siao-ngo-tay-san itu tampaknya mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi lawan, karena nyata selain mempunyai gerakan yang luar biasa lincahnya, nona itupun dapat juga mengadakan serangan balasan yang cukup berbahaya.

Terpesona oleh kejadian itu, sampai lupalah Ceng Ih untuk menjenguk supehnya didalam goa. Nyatalah sudah bahwa Bo- ang tadi belum sempat memasuki goa karena dihadang oleh nona itu. Bahwa tadi durjana itu perdengarkan tertawa sinis, karena bermalu memandang rendah pada lawannya ini. Makin memperhatikan gerakan nona itu, makin Ceng Ih menjadi kagum. Tepat benar kiranya apa yang dikatakan oleh sebuah pepatah: „diatas gunung masih ada langit. Orang yang pandai masih ada yang melebihi pandai lagi.” 

Gerak permainan nona itu memang aneh. Ia tak menyerang secara merapat, tapi hanya dengan kebutan dan tutukan tangan. Namun setiap kali tampak Bo-ang sibuk sekali untuk menghindar. Dan yang lebih mempesonakan Ceng Ih, ialah gerakan kaki sinona itu. Sedemikian ringan laksana berjalan diatas awan, sedemikian cepat bagai air mengalir.

Nampaknya ia berada dihadapan musuh, tapi begitu sang kaki bergerak, tahu-tahu sudah berada dibelakang lawan.

Tengah perhatian Ceng Ih terpikat dengan permainan luar biasa dari sinona itu, tiba-tiba dari puncak goa sana terdengar suara seorang tua: „Hai, nona kecil, bukankah kau hendak menyaksikan sam-ciau (tiga ilmu sakti) yang tiada tandingannya dikolong jagat itu? Orangnya sudah datang lho!”

Suara itu disudahi dengan sebuah tawa keras. Ceng Ih makin terkejut dan buru-buru mendongak keatas. Disana, diatas puncak goa itu, berdirilah seorang tua yang rambut kepala dan alisnya sudah putih semua. Pakaiannyapun serba putih juga. Sepintas pandang, sukar diketahui bagian-bagian wajah orang tua yang rambut kepala dan alisnya sudah putih semua. Ya, semuanya serba putih, sampaipun sepasang matanya juga putih kelihatannya karena bagian hitamnya sedikit sekali. Yang luar biasa, kecil sekalipun bagian hitam pada matanya itu, namun memancarkan sinar yang luar biasa tajamnya.

Menampak perawakan orang tua itu, Ceng Ih sudah terperanjat. Tapi lebih kaget lagi dia sewaktu memperhatikan cara yang licin, tapi kakinya tergantung diatas permukaan karang, orang tua aneh itu berdiri. Punggungnya menempel pada karang jadi tak menginjak bumi. Sebagai orang persilatan Ceng Ih kenal juga bahwa kepandaian itu disebut lwekang bik-hou-kang (ilmu cicak). Namun ada satu hal yang membuat Ceng Ih tak habis herannya. Biasanya, bik-hou-kang itu harus dilakukan dengan memusatkan seluruh panca indera, hawa murni didalam tubuh dipersatukan sedemikian rupa, sekali-kali tak boleh bicara. Begitu bicara, hawa murni itu tentu akan lepas dan tubuhpun tentu akan melorot turun. Tapi tidak demikian dengan orang tua aneh itu. Bukan saja menghamburkan kata-kata, pun malah tertawa gelak-gelak juga. Bagaimanapun juga, Ceng Ih menjadi melongo dibuatnya.

„Yah, bukankah dia ini yang disebut Bo-ang? Hendak kubuktikan apakah kemasyhuran namanya itu benar-benar berisi. Lihatlah, aku telah membuat enam buah tanda lubang pada badannya. Biar kutambah lagi satu, jadi genap menjadi jenderal berbintang tujuh!” tiba-tiba nona itu berseru dengan suara melengking kecil.

Buru-buru Ceng Ih berpaling kearah suara itu. Saat itu dengan menggerung keras, Bo-ang mencelat ketepi dataran. Rambut dan janggutnya tampak menjigrak. Kesepuluh jarinya dipentang, warnanya marah seperti bara.

Pemimpin itu sudah naik pitam (marah) rupanya.

Suatu hal yang membuat kejut Ceng Ih, ialah demi melihat pada leher baju durjana itu benar-benar terdapat tujuh buah lubang.

„Astaga, kalau nona itu benar-benar maukan jiwa Bo-ang, adalah semudah orang membalikkan telapak tangan saja!” diam-diam Ceng Ih membatin dengan terperanjat.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar