Panji Sakti Bab 01 : Pelarian Istimewa

1. Pelarian Istimewa

Malam mulai menebarkan selimut hitam. Deretan pohon yang tumbuh di kedua tepi jalan dikaki gunung, memanjang digoyang gontai oleh angin malam, laksana bayang-bayang para jin yang tengah berbaris ..........

Tiba-tiba sebuah benda hitam tampak bergerak menurun dari lamping gunung. Makin dekat benda itu, makin jelas kedengaran derap kaki kuda memecah kesunyian malam. Memang benda itu adalah seekor kuda dengan penunggangnya. Mantel orang itu berkibaran ke belakang bahu karena pesatnya kuda mencongklang. Hampir tiba di kaki gunung, sekonyong-konyong penunggang kuda itu lenyap. Tapi berbareng pada saat itu, muncul pula seorang penunggang kuda dari lamping gunung, lalu disusul oleh dua tiga orang lagi. Semua berjumlah lima orang. Mereka melarikan kudanya pesat-pesat ......

Waktu Penunggang kuda yang terakhir baru turun ke kaki gunung, penunggang yang pertama sendiri tadi, sudah tiba di jalanan. Sekonyong-konyong dia loncat berdiri diatas pelana kuda, sekali menyambar sebatang dahan yang melintang di tengah jalan, ia ayunkan tubuh bersembunyi diatas pohon.

Kudanya tetap lari mengencang .......

Tepat pada saat orang itu bersembunyi di atas pohon, kelima pengejarnya itupun tiba. Tiba-tiba orang yang dimuka sendiri hadangkan lengan. Sekali kakinya menjepit, kudapun berhenti. kepala dan kaki muka mendongak keatas, mulutnya meringkik-ringkik. Sejenak berputaran, binatang itu melintang di tengah jalan. Empat orang yang menyusul, buru-buru menyiak ke pinggir, terus hentikan kudanya. Cara mereka mencongklangkan kuda dan menghentikan binatang yang tengah lari keras itu, sungguh mengagumkan.

„Tahan!" seru orang yang lintangkan kudanya itu," kita kena diselomoti Kongcu lagi! Ringkik kuda say-cu-hoa-cian-li- ma itu sudah jauh sekali, mana kita dapat mengejarnya!"

„Kongcu" artinya tuan puteri atau anak perempuan dari pemimpinnya. Sedang say-cu-hoa-cian-li-ma artinya kuda yang bulu surinya seperti singa dan dapat menempuh perjalanan seribu li dalam sehari. „Tapi besok pagi sudah habis waktunya. Kalau tak dapat membawa pulang kongcu, kita tentu akan dimarahi Sancu (pemimpin gunung)!" sahut orang yang berada di sebelah kiri.

„Juga kita tak mampu mengejar seorang siaocu (bocah) saja, huh, sungguh memalukan,” kata seorang lagi yang di belakangnya.

„Tapi memang siaocu yang masih bocah itu, lihay sekali. Sancu kita yang begitu sakti, terpaksa harus banting tulang untuk mengatasinya,” kata seorang kawannya yang di sebelah kanan.

„Setan keparat! Kongcu cantik laksana sekuntum bunga dan lihay ilmu silatnya. Tapi begitu melihat siaocu itu, ia jatuh hati dan menolongnya lari. Hem, kalau siaocu berwajah putih itu jatuh ketanganku, tentu akan kucacah-cacah dia!” kedengaran seorang lagi bersuara dengan nada parau kasar.

Keempat kawannya, tertawa geli. Saat itu angin berembus. Di dalam gerombolan daun yang menaung di atas mereka itu, tersiak sebuah wajah seorang nona yang cantik. Alisnya yang melengkung seperti busur terpentang, tampak menjungkat ke atas. Sedang sepasang matanya berkilat. Tapi pada lain saat, ketika angin berlalu, daun-daun itupun merapat pula dan wajah itupun tak kelihatan lagi.

„He, kiranya Bong-kim-kong (si Malaekat Buruk) kini berobah menjadi romantis, tut, tut, katak bengkerok ingin makan daging angsa ini namanya, ha .... ha ”

Kembali suara tertawa menggema riuh. Tiba-tiba angin meniup lagi dan berhamburanlah daun-daun gugur kebawah.

„Hak, huk, huakkk ” demikian kelima orang itu buru-buru

tundukkan kepala, namun mulut mereka tak urung kemasukan hamburan bubuk kayu yang lapuk dan kutungan ranting serta rontokan daun-daun kering. Ada yang berludah mati-matian, ada yang muntah-muntah, ada pula yang mati-matian menggaruk tenggorokannya yang gatal-gatal sakit ........

Angin itupun menyiak juga gerombolan daun di atas, hingga wajah nan cantik itu kelihatan pula. Walaupun matanya masih berkilat merah, tapi bibirnya merekah senyum. Rupanya iapun geli melihat kelima orang di bawah itu.

„Bagus, kalau si burung gagak merangkai sarang, kita yang kalang kabut ni!” kata salah seorang dari mereka dengan tertawa kecut.

Kawannya ikut tertawa, sambungnya: „Siaocu itu memang ganteng dan cakap, ilmu silatnyapun jempol. Kalau dia tak menyalahi Sancu, tentu pantas sekali dipasangkan dengan kongcu!”

„Tutup bacotmu!” tiba-tiba orang yang melintangkan kudanya tadi membentak marah. „siapa yang berani ngerasani (membicarakan) kongcu, jangan salahkan aku Giok-bin-sam- long berhati kejam!”

Baru si Giok-bin-sam-long atau si Wajah Kumala sumbar- sumbar, tiba-tiba terdengar seorang tertawa dingin: „Giok-bin- sam-long memang seorang jantan yang kejam dan romantis, tapi belum tentu orang sudi padamu!”

Kelima orang itu kaget sekali. Tergopoh-gopoh mereka turun dari kuda dan berdiri tegak. Mata mereka berkeliaran mencari arah datangnya suara itu. Dari balik sebuah pohon, tampak berkelebat sesosok tubuh langsing. Begitu muncul, orang itu ayunkan tangannya dua kali ke udara. „Tar, tar,” dua bola api meletus di udara. Sinarnya terang benderang menerangi tempat itu sampai pada radius sepuluhan tombak. Kini tampak dengan tegas siapa orang itu. Seorang wanita cantik dalam pakaian merah darah dan sebatang pedang menyelip di belakang bahunya. Sepasang matanya berkilat- kilat menatap tajam-tajam ke arah Giok-bin-sam-long.

Selangkah demi selangkah ia menghampiri maju. Bola api yang memancar di udara tadi hampir pudar, maka kembali wanita itu ayunkan tangannya lagi. Timpukan pertama lambat jalannya, tapi timpukan kedua cepat sekali. „Tar”, begitu berbenturan, kembali keadaan di sekeliling tempat itu menjadi terang benderang. Tampak sejenak ia sapukan matanya ke atas pohon. Dalam pada itu, kelima orang tadi memberi hormat dengan hikmatnya.

„Hebat benar bola api liu-hwat-tan itu! Siang-hui, hadiahkan aku dua buah sajalah!” kata orang yang digelari si Bong-kim-kong tadi.

Siang-hui, si wanita muda yang cantik itu, kini sudah tiba dihadapan mereka. Matanya berkilat-kilat.

„Mana budak perempuan itu?" tanyanya dengan kereng. Ia timpukkan lagi dua buah bola api ke udara untuk menggantikan bola api yang sudah hampir pudar.

Kalau keempat kawannya sama menundukkan kepala, adalah Bong-kim-kong malah mendongak mengawasi pertunjukan kembang api yang luar biasa itu.

„Tring”, wanita itu sekonyong-konyong mencabut pedang dan berseru keras-keras keatas pohon: „Budak, apa kau masih tak mau turun terima hukuman!”

Kelima orang itu terperanjat. Cepat-cepat mereka mencabut pedangnya, mundur selangkah dan menggaplok pantat kudanya. Pada saat kuda-kuda itu hiruk pikuk meringkik-ringkik, wanita cantik itu timpukkan lagi dua buah bola api. Sekonyong-konyong dari arah pohon tadi meluncur sebuah benda, „plak” dua bola api itu terhantam jatuh, lalu

disusul dua bola api terdahulu yang sudah padam. Sekeliling tempat situ menjadi gelap gelita.

„Fui, orang apa sih macammu itu! Karena memandang muka ayah, kali ini kuampuni jiwamu!” terdengar suara ejekan keluar dari pohon di atas, diiring dengan tertawa sinis. Terang kalau kata-kata itu ditujukan kepada si wanita Siang-hui itu.

„Plak ” tiba-tiba terdengar suara pipi ditampar, dan

meringkiklah seekor kuda mencongklang dengan kerasnya. Suasana menjadi gaduh. „Wut, wut”, Siang-hui timpukkan dua bola api. Di bawah penerangan bola api itu, tampak sesosok tubuh kecil tengah melarikan kudanya jauh menuju kearah selatan!

Siang-hui terkejut. Namun ia lebih terkejut lagi ketika meraba pipinya. Ternyata pipinya itu terdapat bekas telapak tangan berwarna merah. Terang kalau yang menamparnya itu ialah nona yang lari itu. Dengan gusarnya, wanita itu pecut kudanya mengejar. Pada lain kejap, kedua wanita itu sudah lenyap dalam kegelapan.

Siapakah gerangan yang bersembunyi diatas pohon dan mencuri menampar pipi Siang-hui itu? Dia bukan lain ialah nona yang dibahasakan Tan He kongcu oleh kelima orang tadi. Kini kelima orang itupun bergegas-gegas naik kudanya mengejar.

Bola api pudar dan jatuh ke tanah. Keadaan disekeliling tempat situpun kembali gelap dan hening pula .......

> ∞ < Dimuka sebuah rumah penginapan, ada seorang nona tengah menuntun seorang pak tua yang buta. Nona itu bertubuh kurus, rambutnya dikepang menjadi dua. Orang tua itu lebih kurus lagi, seolah-olah hanya tinggal tulang terbungkus kulit saja. Jalannya kaku, rupanya dia seorang tua yang berpenyakitan.

„Yah, malam ini sebaiknya kita menginap disini saja!” kata nona itu.

Orang tua itu tak memberi reaksi apa-apa. Memang dia sudah payah berjalan tampaknya.

„Asal sudah tiba digunung Leng-san, harapan ayahpun sudah terlaksana. Sisa tugasku, hanyalah untuk dirimu saja

..... Ai, Wan-ji, apakah tempat ini sudah termasuk daerah Pat- tat-nia?" kata pak tua itu.

Dara yang dipanggil Wan-ji itu menyahut dengan ibanya:

„Yah, jangan pikirkan yang tidak-tidak. Kau akan berusia sampai seratusan tahun. Ya, memang disini sudah termasuk daerah Pat-tat-nia!”

Orang tua itu mengangguk lalu menghela napas: „Pat-tat- nia. Pat-tat-nia! Tempo dahulu ayah hanya gunakan waktu setengah hari untuk pulang balik dari Leng-san ke Pat-tat-nia. Kini kita sudah gunakan waktu tiga-empat hari, masakan tak dapat tiba pada waktunya?”

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda mendatangi. Orang tua itu tampak pasang telinga dan nona itupun buru-buru berpaling melihatnya. Diseberang jalan sebelah selatan sana, muncul enam penunggang kuda. Yang disebelah muka sendiri, ada seorang wanita muda yang mengenakan pakaian warna merah darah. Bahunya memanggul sebatang pedang. Pijakan dan pelana kudanya tersalut emas, hingga membuat wanita itu makin cantik mewah tampaknya.

Dibelakang wanita itu, adalah seorang lelaki muda yang berwajah putih bersih dan ganteng. Juga orang muda ini memanggul pedang dibelakang bahunya. Kemudian tiga orang yang mengikut dibelakangnya, sama bertubuh kekar besar.

Masing-masing membekal senjata ruyung dan golok. Yang paling belakang sendiri, kudanya hitam mulus, orangnya tinggi besar, alis tebal mata besar.

Pat-tat-nia adalah sebuah jalanan penting di daerah Kwan- gwa (luar perbatasan Tiongkok). Jalanan itu penuh dengan orang yang mengadakan perjalanan hilir mudik. Saat itu, orang-orang sama menyingkir untuk memberi jalan pada keenam penunggang kuda tadi. Ya, memang mereka berenam adalah rombongan Siang-hui yang tengah mengejar Tan He kongcu.

Nona kurus tadi buru-buru melengos kemuka lagi untuk memimpin ayahnya ketepi jalan. Disitu ada sebuah rumah penginapan yang memakai merk “Ko Seng”. Pada papan merek itu tertulis beberapa patah perkataan „Sebelum malam mencari penginapan, besok pagi ayam berkokok tentu akan merasa segar.” Kata-kata itu adalah semacam propaganda, tentunya.

„Tiam-ke, tiam-ke!” demikian nona itu memanggil jongos penginapan tersebut.

Seorang jongos buru-buru lari keluar.

„Apa ada kamar kosong, cukup sebuah saja!" kata nona itu sembari memapah ayahnya. Bukan menjawab pertanyaan orang, sebaliknya jongos itu memandang keluar. Nona itu heran dan berpaling. Kiranya dibelakang sana tampak ada seorang penunggang kuda datang. Kuda itu berbulu kuning emas, sedang penunggangnya seorang pemuda sekolahan yang cakap. Dia mengenakan kopiah orang sekolahan dan jubah bersulam benang emas. Dalam dandanan demikian, pemuda itu tampak menonjol sekali kecakapannya.

„Tuan, mari silahkan masuklah! Cepat benar kau sudah kembali dari Ki-yong-kwan!” seru jongos itu kepada pemuda yang baru datang tanpa mempedulikan lagi pada si nona tadi.

Pemuda itupun turun dari kuda dan si jongos buru-buru menyanggapi kendali binatang itu. Tapi begitu pandangannya tertumbuk dengan si nona tadi, pemuda itu agak terkesiap.

Sebaliknya Nona itu lagi deliki mata ke arah si jongos.

„Wan-ji!” kedengaran ayahnya yang buta itu menghela napas. „memang sudah lazimlah jiwa manusia didunia ini, kebanyakan lebih menghargakan pakaian indah daripada orang pandai. Biarkan sajalah, Leng-san sudah tak jauh, jangan timbulkan onar!”

Walaupun menurut, tapi rupanya nona itu masih penasaran. Tanpa menghiraukan pemuda tadi, ia memapah ayahnya naik ketitian penginapan.

Pemuda itu terlongong-longong memikir sesaat. Kudanya sudah dituntun si jongos, tapi dia sendiri masih tegak termangu disitu. Mulutnya kedengaran berkata-kata seorang diri: „Leng-san sudah tak jauh?"

Tiba-tiba dari arah utara jalan, terdengar derap kaki kuda mendatangi. Pemuda itu terkejut dan memandang kesana. Dia tertawa dingin seorang diri. Tepat pada saat itu, dari dalam penginapan ada lima-enam orang keluar. Dari dandanannya mereka adalah orang dagang segera pemuda itupun ikut pergi.

Kiranya derap kaki kuda dari sebelah utara itu, adalah Siang-hui dengan kelima pengikutnya. Entah apa sebabnya mereka balik lagi kesitu. Begitu tiba di muka rumah penginapan, Siang-hui terus loncat turun. Gerakannya tangkas dan lincah sekali. Begitu menginjak tanah, ia lantas berputar ke arah pengikutnya: „Kita mengasoh disini. Pat-tat-nia merupakan urat nadi penting dari lalu lintas daerah selatan dan utara. Masakan budak perempuan itu dapat lolos."

Cantik sekalipun wanita itu, tapi sikap dan nada suaranya amat bengis. Kelima pengikutnya itu sangat patuh sekali.

Mereka sama turun dari kudanya. Siang-hui melangkah masuk kedalam penginapan. Begitu melihat warna pakaiannya yang merah menyilaukan mata itu, pemilik dan jongos rumah penginapan itu menjadi kalang kabut. Si pemilik lemparkan swi-poanya, sedang si jongos tinggalkan lain-lain tetamunya. Tergopoh-gopoh mereka lari menyambut dengan hormatnya. Dengan tingkah laku seperti seorang ratu, Siang-hui terus langsung masuk kedalam ruangan dalam.

Dalam ruangan sebelah dalam, ada seorang jongos tengah menuding dan membentak-bentak seorang lelaki tua yang buta: „Seorang tua macam kau ini tak seharusnya bepergian. Apakah kau tak mengerti bahwa kekuasaan Bo-ang Sancu dari gunung Siao-ngo-tay-san itu meliputi jauh sampai di padang pasir? Begitu isteri Sancu itu muncul, siapa yang berani tak menyingkir? Suruh kau mengalah pindah kamar saja, kan sudah terlampau baik, masakan kau mau membandel? Hem, rupanya tulang-tulangmu yang sudah lapuk itu kepingin dicopoti, ya?” Pada saat itu ketiga deretan kamar dari ruangan situ, ialah kamar sebelah utara, timur dan barat, tetamu-tetamu yang bermula menempatinya, kini sudah sama berbondong- bondong keluar membawa barang-barangnya untuk pindah. Tinggal kamar selatan yang dipakai oleh si nona kurus bersama ayahnya yang buta itu saja yang masih membangkang.

Gadis yang bertubuh kurus itu tak gentar mendengar gertakan si jongos.

Dengan menolak pinggang, ia deliki jongos itu, bentaknya:

„Apa peduli itu Sancu atau Haycu! Kita bayar penuh, masakan disuruh pindah kamar!"

Sancu ialah pemimpin gunung dan Haycu adalah kepala perompak di laut. Kata-kata itu terang untuk mengolok-olok. Tiba-tiba bagian putih dari mata orang tua buta itu, terbalik.

„Wan-ji!" teriaknya hendak mencegah, tapi pada saat itu Siang-hui dengan mencekal cambuk kuda, sudah melangkah masuk. Apa yang diucapkan nona kurus tadi, didengarnya semua. Ia melirik nona itu tajam-tajam.

„Budak bernyali besar, apa kau bosan hidup?" seorang pengikutnya yang dijuluki Tiang-cui-oh-ya atau gagak hitam paruh panjang, maju menggertak.

Jongos tadi menjadi ciut nyalinya, lalu teringsut-ingsut mundur.

Sementara si orang tua buta buru-buru berkata dengan gemetar: „Tuan tuan ”

Tapi sebaliknya si nona kurus malah deliki mata. Tiang-cui- oh-ya melangkah maju terus hendak menerkam. Sedangnya Siang-hui tanpa menoleh lagi, berjalan masuk kedalam ruangan utara. Ia berlaku seperti tak kejadian suatu apa, hanya mulutnya kedengaran memerintah: „Long-long, wakili aku memberi pengajaran padanya!"

Juga Giok-bin-sam-long, Bong-kim-kong dan kedua kawannya itu, tak mau melihat ke arah si gadis. Mereka percaya Tiang-cui-oh-ya tentu sudah dapat memberesi. Hanya tinggal si jongos yang mendelik pucat tak berani bercuit.

Tiba-tiba gadis kurus itu mengerang, cepat laksana kilat, tangannya kiri membalik dan mencengkeram siku si Tiang-cui- oh-ya. Dan sekali tangan kanan menganyun, ia beri sebuah tamparan ke pipi orang. Menyusul kaki kirinya menendang,

„aduh ” Tiang-cui-oh-ya menjerit, melayang jatuh

mencium tanah!

Pada saat itu Nyo Pi-tau yang bergelar Bong-kim-kong itu, justeru berpaling ke belakang. Demi tampak ada sesosok tubuh melayang ke arahnya, dia cepat menyongsong dengan tinju dan berseru: „Keparat, berani membokong aku!"

„Hai, aku, jangan pukul!" orang itu berseru mati-matian.

Mendengar suaranya Tiang-cui-oh-ya, Bong-kim-kong terkejut, namun dia sudah tak keburu menarik pulang tinjunya tadi. Paling-paling dia hanya dapat „mengerem" sedikit. „Bum” keduanya berbenturan dan sama-sama jatuh meloso ........

Siang-hui, Giok-bin-sam-long dan kedua kawannya itu, terkesiap kaget. Mereka serentak berhenti. Sedang si jongos mandi keringat seraya mengingau: „Celaka, kiamat ini ”

„Ai, ternyata disini terdapat ko-chiu!" seru Siang-hui terus loncat kehadapan si nona kurus. Kalau menilik perawakannya, sekalipun si nona dan ayahnya yang kurus berpenyakitan itu digabung satu, cukup dengan sebuah jari saja si Tiang-cui-oh- ya tentu dapat mendorongnya jatuh. Tapi anehnya, Tiang-cui- oh-ya yang bertubuh kokoh kekar itu, dapat diringkus dan dilemparkan sampai dua tombak jauhnya. Aneh tapi nyata.
3
Sebaliknya sebagai seorang persilatan yang berpemandangan luas, Siang-hui tak berani gegabah turun tangan. Ia yakin gadis dan ayahnya itu tentu memiliki kepandaian sakti. Siang-hui hanya memandang lekat-lekat kepada gadis itu, tangan dan kakinya mengambil sikap berjaga-jaga.

Adalah si Giok-bin-sam-long yang hendak jual muka dihadapan Siang-hui, terus saja tampil kemuka, serunya: „Tak usah Siang-hui cape-cape, sibuta berpenyakitan itu tentu mabuk makan hati macan!”

Pak tua buta itu menghela napas dan berkata dengan gemetar: „Tuan tuan ”

Belum Giok-bin-sam-long menyahut, tiba-tiba dari arah belakang ke dengaran suara orang memaki: „Keparat!”

Kalau Tiang-cui-oh-ya belum dapat berbangkit, adalah si kasar Bong-kim-kong sudah bergelundungan dan dapat loncat bangun. Dengan memaki tadi, dia mendahului kemuka Giok- bin-sam-long, terus merangsak si nona. Siang-hui malah mundur selangkah. Agaknya ia tak tega melihat si gadis kurus

„diremas-remas" Bong-kim-kong. Giok-bin-sam-longpun terpaksa menyingkir memberi jalan si kasar itu.

Gadis kurus itu perdengarkan tertawa dingin. Sekali bergerak, tahu-tahu tubuhnya sudah menyelinap dibelakang Bong-kim-kong. Kali ini ia tak mau gunakan tangan, cukup dengan ayunkan sebelah kakinya maka tubuh Bong-kim-kong yang tinggi besar itu terlempar beberapa meter jauhnya dan terbanting ........

Rupanya tebal sekali kulit Bong-kim-kong itu. Dia tak mengerang kesakitan melainkan menjerit dan meringis seperti kunyuk!

Pak tua buta kedengaran memanggil puterinya. Tiba-tiba sepasang matanya berkeredep mendongak ke atas. Dengan nada suara yang makin gemetar, dia berseru: „Oh, Allah apakah ini memang sudah kehendak takdir bahwa aku tak dapat pulang mengantarkan Panji Sakti ke Leng-san? Aku telah menyanggupi pesan Cousu. apakah ‘daun gugur tak dapat pulang ke akarnya’? Adakah hal ini karena Cousu menjatuhkan hu ...... ku man padaku?”

Suara yang mirip rintihan dari pak tua itu sudah tersirap dengan hiruk pikuk para tetamu penginapan yang ketakutan karena Giok-bin-sam-long dan kedua kawannya sudah bertempur dengan si dara kurus. „Gedebak, gedebuk, wut, wut,” demikian Giok-bin-sam-long dan kedua kawannya merabu dengan tendangan dan jotosan. Namun gadis itu berlincah kian kemari bagaikan seekor kupu-kupu menyusup di antara tangkai bunga. „Blak, bluk, bum,“ pada lain saat kedengaran tiga sosok tubuh jatuh ke tanah. Giok-bin-sam- long dan kedua kawannya, kini mendapat giliran mencium lantai .......

Sepasang mata Siang-hui berkilat, wajahnya menampil rasa kejut-kejut girang. Ia bagaikan tak ambil peduli kelima pengikutnya dihajar pontang panting oleh si gadis itu.

Matanya hanya lekat-lekat memandang ke arah si orang tua buta dan mengulang kata-katanya tadi: „Panji Sakti, Panji sakti!” Tiba-tiba ia berseru nyaring: „Tahan! Ayuh, mengapa tak lekas-lekas mundur? Dihadapan Thian-lam-ping-siu, masa berani berlaku kurang ajar! Buta kalian barangkali, he?!”

„Tring,” terdengar ia melolos pedang. Walaupun wajah dan ucapannya bernada girang, namun ia berbuat lain. Mendengar teriakan nyonya pemimpin mereka, Giok-bin-sam-long bertiga hendak menurut, tapi tak mampu meloloskan diri. Setiap kali hendak ngacir, tentu mendapat persen tendangan atau tabokan dari si nona. Gadis yang bertubuh kurus itu ternyata tangkas sekali tangan kakinya. Ketiga lelaki tegap begar itu, dibuatnya main-main. Setempo ada yang saling dibenturkan, setempo ada yang jumpalitan tindih menindih .............

„Hai,” tiba-tiba ia hentikan serangannya demi mendengar Siang-hui sebut nama ayahnya (Thian-lam-ping-siu) itu, „Yah, dia kenal padamu!”

Giok-bin-sam-long atau Pemuda Berwajah Kumala kini berobah menjadi Hoa-Lian-sam-long atau Pemuda Berwajah Konsol hidung penyok, mata begap, pipi matang biru. Kedua kawannya yang berpakaian indah mewah tadi pun menjadi macam orang gelandangan yang berpakaian compang camping. Melihat kesempatan itu, mereka beringsut-ingsut menyingkir .........

Adalah pak tua buta yang mendengar namanya disebut itu, terkejut bukan kepalang. Seperti kena arus listrik, dia menyurut sampai ke ambang pintu.

„Pernah apa kau dengan Bo-ang Sancu?" dari gemetar kini suaranya berobah kereng.

Wan-ji, si gadis kurus itu, cepat melesat kesisi ayahnya. Dengan wajah cemas. ia berkata: „Yah, kau ..... kau ” Siang-hui selipkan pedangnya dibalik siku, kemudian dengan tertawa nyaring ia menyahut: „Thian-lam-ping-siu adalah tokoh yang diindahkan dunia persilatan. Dibawah kibaran Panji Sakti bernaung seluruh tokoh diempat lautan. Tiga tahun menghilang tak terduga kini muncul disini. Siaoli-cu tak berani berlaku kurang adat!"

Jongos dan pemilik rumah penginapan situ menjadi patung, lebih-lebih jongos yang hendak mengusir Thian-lam-ping-siu (Kakek Kurus berpenyakitan dari Thian-lam) dan puterinya tadi. Mereka seperti bermimpi melihat setan di tengah hari.

Mengapa Siang-hui, nyonya dari pemimpin gunung Bo-ang, yang sangat berpengaruh itu mau mengalah? Takutkah nyonya besar itu kepada seorang tua buta saja?

Habis berkata tadi, Siang-hui lantas ajak pengikutnya berlalu, tapi pada saat itu dari atas wuwungan rumah terdengar seseorang berseru keras: „Tahan! Jangan menghina orang tua yang lemah. Ceng Ih disini!"

Semua orang mendongak keatas dengan terkejut. Dari atas wuwungan rumah sebelah utara, sesosok tubuh berloncatan bagaikan seekor burung walet. Dalam sekejap saja, orang itu sudah melayang turun menghadang Siang-hui dan kelima gundalnya.

Dua kali tadi si kasar Bong-kim-kong mendapat pil pahit dari si nona. Untuk melampiaskan kemengkalan hatinya, si kasar belum sempat mencari sasarannya. Justeru kini orang dari atas rumah itu kebetulan melayangnya turun paling dekat dari tempatnya. Nah, inilah kesempatan yang paling bagus.

Belum kaki orang itu menginjak tanah, dia segera menyongsong dengan sebuah jotosan: „Keparat, rasakan ketupat ini!” Orang itu tenang-tenang saja. Begitu tinju si kasar tiba, dia cepat memapak dengan tinjunya kiri. „Krek,” tubuh yang tinggi besar dari si kasar itu, melayang seperti layang-layang putus. „Bum,” dia jatuh terkapar sampai dua tombak jauhnya!

„Trang, trang,” Giok-bin-sam-long melolos pedang dan kedua kawannya masing-masing menarik tombak-rantai dan sebatang golok. Serempak mereka maju berbareng.

„Siaocu, ke taman sorga kau tak mau pergi, sebaliknya ingin masuk ke dalam neraka!"

Ternyata orang itu adalah seorang pemuda yang cakap. Dia balas memaki: „Bo-ang Sancu termasyhur di seluruh dunia, tapi ternyata anak buahnya adalah bangsa manusia rendah yang beraninya hanya menindas orang-orang tua yang lemah saja!"

Dibawah penerangan lampu, ternyata pemuda itu tubuhnya mandi darah. Dengan gerak Ya-can-pat-hong (malam menempur musuh dari delapan jurusan), dia bolang balingkan pedangnya dengan gencar. Ketiga pengeroyoknya itu terkejut dan mundur selangkah.

Tiang-cui-oh-ya yang sudah pecah nyalinya itu tersipu-sipu bersembunyi di belakang Siang-hui: „Celaka .... Siang-hui ......

orang-orang kita yang mengejar siaocu itu, tentu sudah dibunuhnya!”

„Ceng Ih kan berada disini, mengapa kalian tak menangkap!" jawab pemuda itu dengan lantang garang.

Adalah karena mengenali siapa Thian-lam-ping-siu itu Siang-hui tak berani berkutik. Tapi ucapan pemuda itu benar- benar membangkitkan amarahnya. Dengan menggertak gigi, matanya mengicup-ngicup. Tiba-tiba ia memberi hormat kepada Thian-lam-ping-siu, katanya: „Sebenarnya siao-li-cu tak berani kurang adat, tapi keadaan memaksa!”

Thian-lam-ping-siu tetap tegak tak memberi reaksi apa-apa. Mencekal tangan puterinya, dia kedengaran berkata acuh tak acuh: „Siapa yang sempat mengurusi urusanmu itu!"

Siang-hui tersipu-sipu memberi hormat lagi seraya menghaturkan terima kasih. Sebaliknya pemuda yang bernama Ceng Ih itu terkesiap. Memang dialah pemuda yang ditolong oleh Tan He kongcu dari kejaran anak buah ayahnya. Dia bermaksud bermalam dirumah penginapan situ, dan kebetulan menyaksikan bagaimana rombongan orang-orang kasar itu hendak mengganggu seorang tua buta. Nuraninya tak mengizinkan hal yang sedemikian itu.

Tampak tubuh Siang-hui memanjang dan bagaikan ular naga memagut, ujung pedangnya menusuk ulu hati pemuda itu, lalu memapas rusuk. Jadi sekali gebrak, dua serangan. Pemuda Ceng Ih itu tertawa dingin, pedangnya diputar laksana kitiran, „trang ... trang” begitu pedang Siang-hui terdorong kesamping, dia barengi tusukkan jarinya ke batok kepala wanita itu. Siang-hui tundukkan kepala, pedangnya kembali merangsang. Ia keluarkan seluruh kepandaiannya.

Permainan Ceng Ih pun tak kurang hebatnya. Pedang dimainkan dengan tangan kiri, sementara tangan kanan tak henti-hentinya mengimbangi dengan pukulan dan tusukan jari. Pedang dan tangan merupakan keseimbangan yang indah sekali. Thian-lam-ping-siu tampak pasang telinga mendengari.

„Astaga, yah, pemuda itu mainkan ilmu pedang kita! Hai, jurus heng-toan-bu-san itu dimainkannya secara bagus sekali! Bagus, yah, ing-bin-ki-long, wan-kiong-shia-gwat, han-bwe- tho-im, tiga jurus sekaligus dilancarkan!” seru gadis itu menceritakan kepada ayahnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar