Misteri Lukisan Tengkorak Bab 34 : Pedang Sepasang Tangan

34. Pedang Sepasang Tangan.

Li Hian-ih tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya malah berkata lagi, "Sekarang kau pun hanya mempunyai dua jalan yang bisa dipilih."

"Coba katakan."

"Pertama, yaitu membunuh kami berdua, membunuh orang-orang Sin-wi-piau-kiok, membunuh semua saksi hidup. Kedua, bunuh diri atau segera kembali ke kotaraja dan minta maaf kepada Hu-thayjin sambil menunggu hukuman darinya."

"Tahukah kau bagaimana akibat yang harus diterima orang yang gagal melaksanakan tugas yang dibebankan Hu-thayjin kepadanya?" tanya Li Ok-lay sambil tertawa, tiba-tiba sorot mata tajam memancar keluar dari matanya dan beradu dengan sorot mata Li Hian-ih. "Itulah sebabnya, terlepas siapa yang bakal mati malam ini, kau sudah seharusnya membongkar rahasia ini, toh andaikata kami yang mati, rahasia itu akan ikut terpendam di dalam tanah liat, sebaliknya bila kau yang mati, masalah rahasia ini terbongkar atau tidak, paling hanya menyangkut Hu-thayjin, sama sekali tak ada sangkut-paut dengan dirimu lagi."

"Bagaimana kalau aku hanya berhasil membunuh salah satu di antara kalian sementara yang lain berhasil kabur dan membocorkan rahasia ini?" tanya Li Ok-lay lagi.

"Sudahlah, mau bicara atau tidak terserah padamu," tukas Li Hian-ih dingin.

"Tahu tidak, aku paling mengagumi akan satu hal pada diri kalian," tiba-tiba Li Ok-lay berkata.

Li Hian-ih maupun Leng-hiat tidak bertanya, dengan mengucapkan perkataan itu mereka tahu Li Ok-lay pasti akan melanjutkan perkataannya.

"Tampaknya Ni Jian-ciu telah mengikuti perkataan dan bujukan kalian sehingga dalam situasi yang amat kritis dan penting dia telah pergi meninggalkan aku."

"Bukan menuruti perkataan kami, tapi saudara angkatnya yang telah menemukan kembali dirinya," sambung Leng-hiat.

"Maksudmu saudara angkatnya yang keji dan tega itu?" tanya Li Ok-lay dengan kening berkerut dan tercengang.

"Dia memang berbuat jahat dan sesat lantaran saudara- saudaranya berkhianat dan meninggalkan dirinya."

Li Ok-lay tertunduk sedih.

"Kalian masih ingat Hong Yu-kang, ajudan menteri peperangan pada masa lalu?" dia bertanya.

Li Hian-ih maupun Leng-hiat tidak mengerti mengapa dia mengajukan pertanyaan itu, karena itu mereka hanya mengangguk tanda tahu. "Dulu, Hu Tiong-su, Hong Yu-kang dan Cukat-sianseng adalah tiga orang kepercayaan mendiang kaisar, kemudian ketika mendiang kaisar mulai mencelakai banyak pembesar setia hingga menimbulkan pergolakan, ketiga orang ajudan ini menyadari kalau gelagat tidak menguntungkan, melihat pemerintah kerajaan terjerumus dalam kondisi kritis dan berbahaya, sementara mereka sendiri pun sulit menjaga keselamatan diri sendiri dimana setiap saat kemungkinan besar bisa ikut dimusnahkan, maka ketiga orang ajudan kaisar inipun merencanakan sebuah pemberontakan."

Leng-hiat maupun Li Hian-ih tidak menyangka kalau Li Ok- lay bakal menceritakan sebuah rahasia besar yang begitu mengerikan dan menggetarkan, untuk sesaat mereka berdiri tertegun.

"Ketiga orang ini membuat rencana yang amat teliti dan seksama, mereka mempersiapkan sebuah rencana untuk mencopot kaisar lama dengan kaisar baru. Oleh sebab itu semua tempat strategis khususnya dimana ada pemusatan pasukan dituangkan dalam sebuah peta, di samping itu mereka pun mulai membahas langkah dan gerakan cepat untuk bisa mengumpulkan kekuatan, peta rahasia ini mencakup semua tempat penting, tempat rahasia dan tempat strategis yang ada dalam istana sehingga boleh dibilang peta itu merupakan sebuah peta yang maha penting."

Secara lamat-lamat Li Hian-ih dan Leng-hiat mulai dapat merasakan hubungan penting peta rahasia itu dengan lukisan tengkorak, hanya untuk sesaat mereka tak tahu bagaimana cara menghubungkan kedua hal itu.

"Tapi kemudian kaisar tua keburu mangkat dan diganti oleh kaisar muda, perubahan politik pun terjadi, banyak pembaharuan dilakukan, banyak peraturan diperbaiki, karena situasi kembali berjalan normal maka ketiga orang itupun menunda rencana pemberontakannya, tapi peta rahasia itu keburu sudah dibuat, padahal isinya menyangkut sebuah rahasia kekuatan luar biasa, barang siapa berhasil mendapatkannya apalagi jika dia pun memegang kekuasaan tertinggi keprajuritan, maka berdasarkan petunjuk peta itu dengan mudah dia bisa menurunkan sang kaisar, waktu itu Cukat-sianseng, Hu Tiong-su dan Hong Yu-kang sangat mempercayai Sik Hong-sian, mereka merasa sayang untuk memusnahkan peta rahasia itu, lagi pula untuk persiapan bilamana suatu ketika dibutuhkan kembali, tapi mereka pun tidak percaya bila peta itu disimpan oleh satu orang, maka diusulkan untuk merajah peta tadi di tubuh Sik Hong-sian!"

Bicara sampai di sini, dengan sorot mata tajam dia menyapu kedua orang itu sekejap, kemudian baru melanjutkan, "Waktu itu Sik-thayjin mengusulkan untuk merajah peta itu di tubuh seseorang yang sama sekali tidak mengetahui persoalan sebenarnya, karena tindakan itu jauh lebih aman. Maka pilihan pun jatuh pada Ko Hway-sik, pemilik perusahaan Sin-wi-piau-kiok. Itulah sebabnya lukisan tengkorak akhirnya dirajah di badan Ko Hway-sik."

"Masa ketiga pembesar negeri tidak ingat isi lukisan tengkorak itu?" tanya Leng-hiat.

"Pertanyaan yang bagus, ketiga orang itu masing-masing merajah kode rahasia yang mereka ketahui, tapi untuk merangkai semua kode itu menjadi satu maka sebelum dirajahkan, masing-masing pihak sudah mengetahui dahulu bagian mana yang menjadi wilayahnya, oleh sebab itu mereka hanya mengingat bagian terpenting dari wilayah sendiri dan tak pernah mengetahui kode pihak lain. Hanya perajah kode saja yang mengetahui dengan pasti ketiga bagian itu yakni ketika menggabungkannya di tubuh Ko Hway-sik. Selama merajah dilakukan, ketiga pejabat tinggi itu tidak hadir, sedang Ko Hway-sik juga tak tahu gambar apa yang dirajahkan di tubuhnya, dia hanya tahu masalah itu menyangkut sebuah rahasia besar negara." "Ko Hway-sik jujur dan bisa dipercaya, itulah sebabnya semua orang memilihnya, benar saja, selama puluhan tahun bahkan hingga Ko Hway-sik meninggal dunia, memang tak pernah ada orang yang menyaksikan lukisan rahasia ini," Li Ok-lay menambahkan, "apalagi kecuali ketiga pejabat tinggi itu hadir bersama dan menurunkan perintah untuk melihat peta itu, siapa pun dilarang mengintipnya, bahkan Ko Hway- sik sendiri pun pernah bersumpah, bila keadaan terdesak dia akan memusnahkan rajah di dadanya dan mati bersama lukisan itu”

"Aku tidak mengerti," gumam Leng-hiat.

"Kalau memang begitu, kenapa peta rahasia itu bukan disulam pada secarik kain sutera atau kulit hewan dan disembunyikan?" sambung Li Hian-ih.

"Aku pun tidak paham persoalan ini," Leng-hiat menambahkan.

"Alasannya sangat sederhana, penjagaan dan pertahanan yang dilakukan di seputar istana seringkali dilakukan perombakan dan perubahan, bila titik pemusatan pasukan dipindah, jika tempat strategis dirubah, dengan sendirinya kegunaan peta itu menjadi tak ada artinya. Selain itu bila disimpan di tubuh Ko Hway-sik, dengan ilmu silat yang dimilikinya, meski belum tentu bisa melindunginya, paling tidak ia memiliki kekuatan untuk memusnahkannya!"

"Tapi...”

"Tapi perhitungan manusia tak bisa mengungguli kemauan takdir, konon kaisar yang sekarang berhasil mendapatkan peta pertahanan istana peninggalan mendiang kaisar tua, ditambah bujukan Coa-thaysu, dia justru memperkuat posisi pertahanan lama, oleh karena itu arti peta rahasia ini menjadi lebih penting lagi."

"Aaah, aku tahu sekarang," seru Leng-hiat. "Katakan!" Li Ok-lay tertawa.

"Setelah kaisar yang sekarang naik tahta, dia menuruti bisikan Hu Tiong-su untuk membasmi sembilan keturunan Hong-thayjin, hanya tinggal Cukat-sianseng seorang yang masih dipertahankan," ujar Leng-hiat, "sayang pengaruh iblis bertambah meluas, Sri Baginda pun semakin mempercayai Hu Tiong-su, akibatnya semua peraturan berjalan terbalik, negara makin kacau dan rakyat makin sengsara, walaupun Sianseng berulang kali memberi masukan, namun tak pernah berhasil. Coba kalau Hu Tiong-su tidak kelewat dini menggerakkan Kan- liok-ong untuk melakukan pemberontakan hingga akhirnya berhasil dihancurkan Cukat-sianseng, mungkin Baginda betul- betul akan menyerahkan semua urusan penting negara ke tangan manusia she Hu itu."

"Justru karena pemberontakan raja muda Kan-liok-ong mengalami kegagalan, Hu-thayjin semakin getol mencari tahu peta rahasia itu, dia merasa perlu menguasai keadaan dalam istana terlebih dahulu, sesudah yakin gempurannya berhasil baru ia akan melakukan gerakan lagi," lanjut Li Ok-lay.

"Maka dari itu dia pun membujuk kaisar untuk meniru sistim pertahanan kaisar yang lama, sementara mengutus kau untuk menemukan lukisan tengkorak. Li Hian-ih pun termasuk salah satu jago andalan Hu Tiong-su. Rencana perdana menteri Hu sudah barang tentu harus mendapat persetujuan dari Coa-thaysu, padahal intrik busuk dan konspirasi jahat ini sudah diketahui setiap insan masyarakat, mungkin yang belum menyadari akan hal ini tinggal kaisar seorang."

"Padahal Hu-thayjin hanya mengutus aku untuk membereskan urusan Sin-wi-piau-kiok," kata Li Ok-lay sambil tertawa getir, "tugas penting untuk menemukan kembali lukisan tengkorak tetap diserahkan kepada 'si tua, menengah dan muda' untuk melaksanakannya, tak disangka gara-gara orang Bu-sun-bun menyerbu ke dalam penjara untuk menolong orang, masalahnya berkembang menjadi besar, dimana pada akhirnya memancing kehadiran opas Leng dan mengejutkan Cukat-sianseng yang ada di kotaraja."

Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas, dengan nada serius Li Ok-lay bertanya lagi, "Apakah orang berjas hujan yang berhasil memusnahkan tua, menengah dan muda itu adalah ...?”

Leng-hiat mengangguk.

Li Ok-lay nampak tertegun, akhirnya ia tertawa nyaring, begitu nyaring suaranya hingga menggugurkan bunga salju dari atas ranting pohon.

"Kalau begitu kematian si Tua tak mau mati dan si Bambu muda bukan kematian yang sia-sia!"

"Hu Tiong-su toh bisa datang sendiri untuk membantu kekuatannya," sela Leng-hiat.

Dengan cepat Li Ok-lay menggeleng. "Kau anggap Cukat- sianseng itu siapa? Sejak awal dia sudah mengatur rencana dan tindakan sehingga membuat Hu-thayjin tak bisa menyusul kemari. Hal ini disebabkan Cukat-sianseng maupun perdana menteri Hu adalah orang yang terlibat langsung dalam rencana pemberontakan di masa lalu, maka dari itu kedua belah pihak sama-sama tak ingin mengganggu pihak lain, yang berbeda sekarang adalah Hu¬ thayjin dengan segala upaya berusaha mendapatkan lukisan tengkorak, sementara Cukat-sianseng berusaha mencegah terjadinya kekalutan dalam kerajaan, tapi lantaran kuatir Coa Keng memanfaatkan kesempatan ini melakukan kekacauan, maka dia sendiri pun harus membuat persiapan untuk menghadapinya."

"Saat ini dunia kacau, rakyat sengsara dan musuh sudah mendekati perbatasan, dalam keadaan seperti ini sepantasnya jika kita bersatu padu menghadapi serbuan musuh, jangan sampai orang sendiri malah saling gontok," ujar Li Hian-ih perlahan. Li Ok-lay berpaling memandang sekejap ke arahnya, setelah menghela napas panjang ujarnya, "Padahal perdana menteri Hu telah salah memperhitungkan satu hal."

"Soal apa?" tanya Li Hian-ih. "Dia telah salah menilai dirimu."

"Dia selalu memandang tinggi kemampuanku."

"Tapi dia salah sangka, dalam perkiraannya kau pasti akan membalas dendam bagi kematian putramu, kau akan menghabisi nyawa orang-orang Sin-wi-piau-kiok dan Bu-su- bun, dia sangka kau bakal membantu pihakku."

"Sayang keinginan kalian tak sesuai dengan harapan, apalagi hingga sekarang aku belum bertemu dengan musuh yang telah membunuh putraku."

"Li-cianpwe...” seru Leng-hiat dengan perasaan bergetar keras.

Li Hian-ih tidak menanggapi, tukasnya, "Kenapa peta rahasia itu disebut lukisan tengkorak?"

"Baik, kau bertanya dan aku menjawab, yang digunakan dalam lukisan itu hampir semuanya berupa kode rahasia, sehingga bila orang awam melihat maka mereka tak akan mengartikan apa-apa. Lukisan itu menggambarkan sekelompok tengkorak yang sedang mengadakan perjamuan, menurut laporan kode rahasia yang digunakan Cukat-sianseng berupa alat-alat minum arak seperti cawan, guci dan lain sebagainya, kode rahasia Hu-thayjin lebih menitik beratkan pada bangunan loteng, gardu pemandangan, sedang kode rahasia Hong-thayjin lebih ke arah lentera, gunung-gunungan, bunga dan jembatan. Lukisan tengkorak itu terdiri dari tiga bagian, setelah diisi dengan kode rahasia, lukisan itu diserahkan ke tangan seorang pakar rajah untuk dipersatukan dan dipindahkan ke dada Ko Hway-sik, tapi sejak menyelesaikan pekerjaan itu, pakar rajah itu turut lenyap sehingga rahasia itupun hanya ada di tubuh Ko Hway-sik."

"Tapi dengan matinya Ko Hway-sik, bukankah segala sesuatunya akan kembali menjadi tanah," sela Leng-hiat dingin. "Sebetulnya memang begitu."

"Lantas buat apa kalian menggali kubur untuk mencari kain pembungkus mayatnya?" desak Leng-hiat lebih jauh.

"Selama ini aku telah menjawab semua pertanyaan yang kalian ajukan," kata Li Ok-lay sambil tertawa, "tapi menyangkut pertanyaan ini, asal aku tidak menjawabnya maka semua rahasia yang telah kalian ketahui inipun menjadi percuma, tak ada gunanya karena tak nanti kalian bisa memecahkan misteri ini."

"Itulah sebabnya kau telah memberitahukan semua rahasia itu kepada kami kecuali rahasia terakhir," sambung Li Hian-ih cepat, "agar bila kau tak mampu menandingi kami berdua, paling tidak masih bisa menyelamatkan nyawa sendiri."

"Tapi ingat," kata Li Ok-lay pula sambil tertawa, "sekali kalian tak mampu menandingiku, aku tak bakal mengampuni kalian berdua."

"Aku tahu, kau memang harus membunuh kami," tukas Li Hian-ih langsung, "sebab kau telah membocorkan begitu banyak rahasia besar kepada kami."

"Bila aku mati, tentu saja tak ada keharusan bagiku untuk menyimpankan rahasia ini bagi Hu-thayjin, selama ini meski dia selalu memupuk aku, mempromosikan aku, namun aku pun selalu berjuang mati-matian demi dirinya, aku sudah banyak memeras keringat dan darah bagi kepentingannya, boleh dibilang antara kami berdua sudah impas, tak ada yang saling berhutang," kata Li Ok-lay, "bila aku tetap hidup, berarti kalianlah yang mati, aku mau memberitahu atau tidak, hasilnya sama saja, setelah kematian kalian, paling kalian berdua hanya bisa membocorkan rahasia ini kepada kawanan setan."

"Aku masih ingin menanyakan satu pertanyaan lagi," tiba- tiba Li Hian-ih menyela.

"Harus kulihat dulu, dapatkah kujawab pertanyaanmu itu." "Peran apa yang sedang kau jalankan dalam persoalan ini

hingga Hu-thayjin menaruh kepercayaan penuh kepadamu?"

Li Ok-lay tertawa bangga. "Akulah yang dikirim untuk melenyapkan sang pakar rajah waktu itu."

Li Hian-ih termenung sejenak, kemudian katanya, "Dulu ada seorang pakar rajah bernama Am-hoa Thaysu, konon dia bisa merajah seekor harimau putih di punggung seseorang dan hasil rajah itu bisa mengundang auman harimau lain yang melihatnya, dia pun pernah merajah seekor rajawali raksasa di punggung seseorang, semua burung di angkasa yang melihat lukisan itu hampir semuanya terbang mendekat."

Tampaknya Leng-hiat pun pemah mendengar dongeng seperti itu, lanjutnya, "Betul, aku pun mendengar Am-hoa Thaysu pernah merajah lukisan seorang pria di punggung seseorang, lukisan yang membuat pelacur kenamaan di kota Tiang-an jadi tergila-gila, membuat mereka tak enak makan tak enak tidur dan akhirnya bersama-sama membunuh pemilik rajah itu lalu menguliti punggungnya."

"Ternyata pakar rajah semacam ini akhirnya tewas di tanganmu," kata Li Hian-ih setelah terbatuk.

"Hanya orang kenamaan yang pantas kuhadapi sendiri," ujar Li Ok-lay sambil tertawa, kemudian setelah memandang Li Hian-ih dan Leng-hiat sekejap, tambahnya, "Kalian berdua pun terhitung orang-orang kenamaan."

Tampaknya dia sama sekali tak pandang sebelah mata terhadap Kwan Siau-ci. "Siapa hidup siapa mati susah untuk dikatakan," sela Li Hian-ih sambil menarik napas, "mau di sini, atau di luar?"

Dia bertanya mau bertarung di situ atau di lapangan luar, tapi jawaban dari Li Ok-lay aneh sekali, "Sekarang!"

Begitu ucapan itu diutarakan, tiba-tiba Leng-hiat merasa ada desingan angin tajam membokong punggungnya.

Dalam terkejut dan ngerinya dia tak sempat lagi menghindarkan diri.

Namun tubuhnya tetap berusaha mengegos ke samping, sekalipun egosan itu tak bisa membuatnya lolos dari tusukan maut, paling tidak ia berhasil menciptakan perbedaan yang besar pada akibat yang diterimanya.

Tusukan maut itu sebenarnya diarahkan ke punggungnya, jika punggung itu tertusuk telak, dapat dipastikan Leng-hiat akan tewas.

Egosan itu membuat mata pisau hanya menusuk iga kanannya, meskipun berakibat ia menderita luka parah namun tak sampai merenggut jiwanya.

Tampaknya sang penyergap memang berniat menghabisi nyawanya.

Karena kuatir tusukan itu belum tentu bisa menewaskan Leng-hiat, pada saat yang bersamaan jari tangan kirinya melancarkan pula sebuah totokan ke punggung lawan.

Saat itulah Leng-hiat telah melancarkan serangan balasan, pedangnya langsung menusuk ke belakang.

Tapi totokan jari itu sudah keburu menghajar jalan darah Hian-ci-hiat di punggungnya.

Leng-hiat muntah darah, tusukan pedangnya tak mampu dilanjutkan, tubuhnya segera roboh terjungkal ke samping. Walaupun begitu, tusukan pedang yang dilancarkan Leng- hiat berhasil juga memukul mundur sang pembokong.

Ternyata orang yang melancarkan serangan bokongan itu tak lain adalah Kwan Siau-ci.

Begitu tusukannya mengenai sasaran, sebenarnya Kwan Siau-ci hendak menotok jalan darah kematian Leng-hiat untuk mencabut nyawanya.

Siapa sangka serangan balik yang dilakukan Leng-hiat sedemikian cepatnya, dalam keadaan tak menduga, tulang rusuknya termakan satu tusukan, dalam kagetnya ia segera melompat mundur, dengan begitu sodokan jari tangannya pun hanya ada tenaga dua bagian yang menghantam jalan darah lawan.

Di satu sisi Kwan Siau-ci melancarkan bokongan untuk membunuh Leng-hiat, di pihak lain Li Ok-lay telah menggunakan kesempatan itu untuk membunuh Li Hian-ih.

Sambil membentak nyaring, pedangnya telah dilolos dari punggungnya.

Sungguh dahsyat tenaga yang dipancarkan dari pedangnya itu, begitu dicabut keluar dari sarungnya, seluruh angkasa seolah dilapisi kabut tebal yang penuh mengandung hawa pembunuhan.

Sebetulnya saat itu Li Hian-ih sedang berkonsentrasi menghadapi Li Ok-lay, serangan bokongan yang diarahkan ke punggung Leng-hiat membuat perhatiannya bercabang.

Sebenarnya dia ingin menolong Leng-hiat, tapi hawa pedang Li Ok-lay sudah keburu menyelimuti angkasa.

Kalau bukan gara-gara Leng-hiat, mungkin saat ini dia sudah tewas. Walaupun Leng-hiat sudah terluka parah, namun di saat tubuhnya berguling ke samping itulah dia telah menggunakan pedangnya untuk menangkis serangan maut Li Ok-lay.

Sayang dia dalam keadaan terluka parah, bagaimana mungkin sanggup menghadapi serangan maut Li Ok-lay?

"Traaang!", diiringi suara dentingan nyaring, pedang itu sudah mencelat ke udara.

Li Ok-lay membentak gusar, dia ingin menusuk untuk kedua kalinya, tapi waktu itu Li Hian-ih sudah menghadang di depan Leng-hiat sembari membangunkan tubuhnya.

Bukan hanya begitu, dengan garpu baja yang sedang dipakai untuk memanggang daging dia lancarkan sebuah tusukan ke belakang.

Garpu baja itu meluncur cepat ke belakang, menembus bahu kiri Kwan Siau-ci yang sedang mundur dan menancap di atas dinding ruangan.

Kini ia berada dalam keadaan tanpa senjata. Dengan sorot mata tajam dia  mengawasi  lawannya, biarpun tanpa senjata, Li Hian-ih masih tetap bersikap tenang, mengawasi Li Ok-lay tanpa berkedip.

Tampaknya Li Ok-lay sendiri pun tidak ingin segera menghabisi nyawa lawannya.

Menurut rencananya semula, dia akan memancing Li Hian- ih dengan pembicaraan yang asyik hingga membuatnya terlena, kemudian baru sekali gempur menghabisi nyawa mereka berdua. Kini rencana itu hanya berhasil setengahnya. Dia tak menyangka dalam keadaan terluka parah, Leng-hiat masih sanggup menyelamatkan rekannya.

Tapi dalam perintah rahasia yang disampaikan Hu-thayjin kepadanya, dia memang hanya diperintahkan untuk membunuh Leng-hiat seorang, berarti jika di sana hanya ada Leng-hiat seorang, mungkin sejak tadi dia sudah tewas. Tapi sekarang di situ masih ada Li Hian-ih, kehadiran si Raja opas ini membuatnya tak bisa bertindak leluasa.

Namun dia tak kuatir, dia pun tidak merasa takut sebab Li Ok-lay selalu percaya diri, sebab dia berpendapat ilmu pedangnya sudah tiada tandingan di kolong langit.

Ucapan 'tiada tandingan di kolong langit' memang tak bisa digunakan siapa pun, sebab jika tidak, selain akan ditertawakan orang dan dianggap orang gila, bahkan kemungkinan besar akan memancing datangnya bibit bencana kematian.

Li Ok-lay cukup mengerti kemampuan silat yang dimilikinya, dengan ilmu pedang tangan sebelah, dia memang merasa belum cukup disebut sebagai jagoan yang tiada tandingan.

Tapi ilmu pedang Siang-jiu-kiam-hoat (ilmu pedang sepasang tangan) miliknya benar-benar sudah mencapai tingkatan yang luar biasa, tingkatan yang tak mungkin bisa ditandingi siapa pun.

Tentu saja Li Ok-lay pun cukup mengerti kehebatan ilmu silat yang dimiliki Li Hian-ih sudah mencapai tingkatan yang luar biasa.

Konon dalam menghadapi perampok ulung atau jago silat sehebat apapun, Li Hian-ih selalu berhasil menangkapnya hidup-hidup, cukup ditinjau dari kemampuannya ini, Li Ok-lay merasa dirinya belum tentu bisa melakukan hal yang sama.

Karena membunuh orang itu gampang, menawannya hidup-hidup baru merupakan satu pekerjaan yang sulit.

Dia pun tahu Li Hian-ih bisa merubah setiap benda yang dijumpai menjadi senjata pembunuh yang mematikan, padahal selama ini hanya ada tiga orang tokoh silat yang mampu melakukan hal seperti ini. Tak disangka Pui Ceng-bi (Fang Cen-mey) adalah salah satu di antaranya, kebetulan Li Hian-ih pun merupakan salah satu di antara ketiga orang itu.

Namun Li Ok-lay tak ambil pusing, karena dia sudah mempunyai keyakinan yang matang untuk menghadapinya.

Dia percaya tak lama lagi darah Li Hian-ih akan bercucuran membasahi sepasang pedangnya. Bercucuran karena termakan ilmu pedang sepasang tangannya.

"Bagaimana?" jengek Li Ok-lay kemudian sambil mengayunkan pedang di tangan kirinya.

ooOOOoo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar