Misteri Lukisan Tengkorak Bab 33 : Wajah Cantik

33. Wajah Cantik.

Ko Siau-sim dengan membawa sebaskom air berjalan naik ke atas loteng, air dalam baskom memang hangat tapi perasaan hatinya dingin membeku, hatinya seakan tenggelam ke dasar samudra.

Ketika melewati pintu kamar, tiba-tiba ia lihat seorang wanita cantik sedang bercermin, wajah cantik yang terbias dari cermin tembaga itu menampilkan seraut wajah yang cantik luar biasa. Waktu itu dia sedang menyisir rambutnya yang hitam, ujung baju yang terbuka membuat kulit lengannya yang putih mulus tertera jelas.

Wanita itu memang cantik, tubuhnya indah, kulitnya putih bersih dan payudaranya montok, jangan kan kaum pria, wanita seperti Ko Siau-sim pun merasa jantungnya berdebar keras, dia seakan lupa sedang apa di situ.

Ketika mendengar ada suara langkah kaki berhenti di depan pintu, sambil melanjutkan menyisir Ting Tong-ih menyapa, "Nona Ko?"

Mendengar sapaan itu Ko Siau-sim baru melangkah masuk sambil balas menyapa, "Enci Ting!"

Sekarang ia dapat menyaksikan raut muka cantik dari Ting Tong-ih yang baru selesai mencuci muka, alis matanya yang lentik kelihatan masih basah, bibirnya nampak merah sambil mengulum senyum, dia nampak begitu cantik, begitu anggun, begitu mempesona hati, jangan kan kaum pria bahkan Siau- sim sendiri terbuai perasaannya dan ingin sekali mencium bibirnya.

Segera dia letakkan baskom air di atas meja sembari berbisik, "Aku datang membawakan air untuk Cici mencuci muka."

Di atas permukaan air muncul dua lembar wajah, Ting Tong-ih berada di bagian depan dan ia sendiri berada sedikit jauh, dua lembar wajah dengan dua aroma yang berbeda dan warna berbeda pula.

Mendadak Ting Tong-ih menggenggam tangannya seraya berpaling, tegurnya, "Ada apa? Kau tidak senang?"

Segera Siau-sim berusaha menutupi perasaannya, sayang air mata keburu menetes di atas lengan Ting Tong-ih.

"Aaai, kenapa kau bersedih? Kenapa kau meneteskan air mata?" kembali tegurnya. "Mana mungkin kau tahu?" pikir Siau-sim dalam hati, "bagaimana kau bisa memahami perasaanku?"

Cepat dia menyeka air matanya sambil menjawab, "Aku terlalu gembira, aku kelewat gembira hingga mengucurkan air mata."

Ting Tong-ih tahu gadis itu sedang berbohong, kembali dibelainya tangan si nona yang halus dan berkata, "Ayahmu telah kembali, sudah tentu kau merasa sangat gembira, bagaimana dengan Tong Keng? Apakah dia mengajakmu ngobrol?"

"Dia, dia baik sekali," sahut Siau-sim sambil menarik kembali tangannya.

Dari nada suara gadis itu Ting Tong-ih yang pintar dan berpengalaman segera memahami apa yang telah terjadi.

Untuk sesaat dia pun bingung dan tak tahu apa yang mesti diucapkan, terpaksa katanya sambil membelai rambut gadis itu, "Dasar anak bodoh... dasar bodoh”

Tampaknya Siau-sim pun sadar Ting Tong-ih telah mengetahui rahasia hatinya, segera katanya, "Enci Ting, aku berharap kalian bisa selalu baik, aku berharap kalian bisa rukun, sungguh...” Kemudian sambil menutupi wajahnya dia berlari keluar ruangan.

Untuk beberapa saat lamanya Ting Tong-ih berdiri tertegun, dia merasa bimbang, merasa ragu, apa yang harus diperbuatnya sekarang? Mencari gadis itu dan menghiburnya?

Baru saja dia berniat mencari Siau-sim, tiba-tiba cahaya ruangan terasa gelap dan sesosok tubuh tinggi besar telah muncul di hadapannya, berdiri di depan pintu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Ting Tong-ih segera berpaling dan dia pun menyaksikan Tong Keng sudah berdiri di hadapannya dengan wajah gelisah. Mimik muka lelaki itu sangat aneh, setelah berdiri sesaat dengan bibir gemetar, tiba-tiba ia menubruk maju, memeluknya sambil berbisik, "Aku...”

Kemudian dia pun menciumi perempuan itu secara kalap, menciumi seluruh tubuhnya, menciumi seluruh wajahnya.

Saat ini dada Tong Keng yang bidang menempel rapat payudara Ting Tong-ih yang hanya tertutup selembar baju tipis. Kekenyalan, kelembutan dan montoknya payudara seketika membuat seluruh tubuh Tong Keng terbakar, napasnya mulai kasar, dengus napasnya mulai tersengal.

Bagaimana pun juga Ting Tong-ih adalah seorang wanita dewasa yang sudah matang, ciuman dan pelukan Tong Keng segera membangkitkan pula napsu birahinya.

Perempuan itu mulai memejamkan matanya, mulai merintih, mendesis, "Oooh, Kwan Hui-tok!"

Sekujur tubuh Tong Keng seketika membeku, seketika menjadi kaku, peredaran darahnya yang semula cepat dan mendidih seketika menjadi dingin lalu membeku. Seluruh napsunya hilang, bahkan kini dia mulai berdiri dengan tubuh gemetar.

Pada saat itulah Ting Tong-ih mulai melepaskan pelukannya, menyeka air liur yang tertinggal di bibirnya dan memandang wajahnya dengan pandangan sayu.

Tong Keng sangat tersiksa, merasa amat menderita, desisnya, "Nona Ting, aku...”

Sambil menuding sebatang hio yang terletak di atas meja, tukas Ting Tong-ih, "Dalam hidupku kini, hatiku hanya milik dia seorang!"

"Maaf...” Tong Keng mengepal tinjunya, kulit mukanya mengejang keras. "Kau tak perlu minta maaf," kata perempuan itu lembut, "aku hanya wanita murahan yang sudah sering tidur dengan kaum pria, siapa pun orangnya, asal dia suka dan aku pun suka, setiap saat kita bisa tidur bersama, setiap kali bisa berhubungan badan, tapi hatiku hanya untuk Kwan-toako seorang."

Kemudian sambil menatap wajah Tong Keng, lanjutnya, "Kau sudah memiliki nona Ko, dia adalah seorang gadis yang baik, gadis semacam itulah yang pantas menjadi pasangan hidupmu. Jangan gara-gara kehadiranku, hubungan kalian yang baik menjadi berantakan."

"Aku...” Tong Keng merasa tenggorokannya kering. Ting Tong-ih mengalihkan pokok pembicaraan, katanya,

"Apakah di tempat ini masih terdapat perusahaan piaukiok lain, maksudku piaukiok yang sudah dibuka sejak tujuh delapan tahun?"

Tong Keng berpikir sejenak, dengan susah payah akhirnya baru menjawab, "Perusahaan piaukiok ... rasanya yang cukup lama hanya ada satu ... perusahaan lain rasanya tak ada yang tahan lama ... Oya, Li-piauthau telah membuka perusahaan ekspedisi, tapi perusahaannya baru berjalan beberapa bulan”

Beberapa saat Ting Tong-ih termangu, sesudah berpikir sejenak katanya, "Berarti di perusahaan ini terdapat seorang marga Kwan yang berusia antara dua puluh tahunan, mempunyai sebuah tahi lalat di atas alis matanya."

"Punya tahi lalat di atas alis matanya," Tong Keng tertegun, meskipun ciri itu gampang dikenal namun untuk sesaaat dia tak menemukan seseorang dengan ciri semacam itu.

Akhirnya Ting Tong-ih menambahkan, "Dia bernama Kwan Ci."

"Kwan Ci? Kwan Siau-ci!" Tong Keng melompat kaget, "Kwan Siau-ci adalah si ketapel cilik!" Ting Tong-ih turut dibuat terperanjat. "Jadi si ketapel cilik adalah...”

"Ya, tapi sekarang si ketapel cilik telah menjadi seorang petugas keamanan di kantor pengadilan!"

"Menjadi petugas keamanan di kantor pengadilan?

Maksudmu...”

"Tentu saja dia menjadi seorang opas!"

Segera Ting Tong-ih masuk ke dalam kamar, berganti pakaian, mengambil pedang dan mengenakan mantel ungu sambil bersiap pergi dari situ.

"Nona Ting, mau kemana kau?" segera Tong Keng menegur.

Dengan wajah dingin bagaikan salju, ujar Ting Tong-ih, "Kwan-toako paling menguatirkan keselamatan adiknya, dia hanya mempunyai seorang adik yang amat disayanginya, aku tak boleh membiarkan dia menderita atau mengalami sesuatu kejadian yang tak diinginkan."

Tong Keng ingin menghalanginya, namun tak tahu bagaimana harus bicara.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Ko Hong-liang berkata, "Nona Ting, kalau sampai kami pun tidak mengetahui lelaki yang setiap dua tiga bulan sekali datang menjenguk adalah Kwan-tayhiap, aku rasa pihak keamanan serta pengadilan pun tak bakal mengetahui rahasia ini, untuk sementara waktu keselamatan Kwan Siau-ci tak akan ada masalah."

Melihat Ko Hong-liang suami istri telah muncul di situ, dia pun merasa kurang leluasa untuk memaksakan kehendaknya, katanya, "Kwan-toako tahu namanya kurang baik di luaran, maka dia tak ingin adiknya tahu dia mempunyai seorang kakak yang menjadi perampok." "Heran, kenapa selama ini aku pun tak pernah melihat Kwan-toako datang menjenguk si ketapel," gumam Tong Keng termangu.

"Aaah, kau kan cuma pintar menggali lubang," goda Ko- hujin sambil tertawa, "mana sempat memperhatikan tamu yang datang?"

"Padahal Kwan-tayhiap adalah seorang pendekar sejati, dia pun seorang perampok budiman," sambung Ko Hong-liang, "oleh karena pihak pemerintah membencinya maka mereka mencap dia sebagai perampok. Siau-ci memang masih muda, namun dia bukan orang bodoh yang tak bisa memilah-milah, semestinya Kwan-tayhiap tak perlu mengelabui adiknya!"

Ting Tong-ih menghela napas panjang.

"Kwan-toako selalu berharap adiknya bisa lebih berjaya ketimbang dirinya, dulu Kwan-toako berasal dari keluarga ningrat, karena dicelakai orang, rumah tangganya hancur berantakan, terpaksa Kwan-toako pun menjadi perampok budiman, tapi ia tetap berharap suatu saat keturunan keluarga Kwan akan muncul seorang yang bisa menjayakan kembali nama keluarganya."

"Nona Ting, aku sangat memahami perasaanmu," kata Ko Hong-liang dengan tulus, "selesai bersantap malam nanti, aku pasti akan mengajakmu menyusup ke kantor pengadilan, aku rasa kau belum pernah bertemu Siau-ci bukan? Kalau ada aku sebagai perantara, urusan tentu akan lebih gampang."

"Kalau begitu, baiklah."

"Kokcu!" tiba-tiba Tong Keng berseru. "Ada apa?"

"Selesai bersantap malam nanti, aku juga ingin ikut!" Sebenarnya Ko Hong-liang tidak berniat mengajak dirinya, namun melihat keinginan Tong Keng, terpaksa dia pun mengabulkan permintaannya.

Meskipun penghuni kantor pengadilan sudah kabur, namun di situ masih tersedia banyak bahan makanan, tiga orang sedang memanggang daging, bau harum membuat seluruh ruangan terasa lebih hangat.

"Menurut pendapatmu, lukisan tengkorak sebetulnya benda macam apa?" kata Leng-hiat, "kenapa bisa membuat Li Ok-lay ketakutan? Apa pula hubungannya dengan perusahaan ekspedisi Sin-wi-piau-kiok?"

"Aku sendiri pun tidak tahu," sahut Li Hian-ih, "tapi aku dengar pendiri perusahaan Sin-wi-piau-kiok, Ko Hway-sik, mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan Menteri sekretaris negara saat itu, Sik Hong-sian, sementara Sik- thayjin berseteru dengan perdana menteri Hu, Li-thayjin adalah orang kepercayaan perdana menteri Hu, jadi urusan ini

... mungkin ada keterkaitan."

"Aku sama sekali tak paham dengan pertikaian antar pejabat Negara," seru Kwan Siau-ci.

"Jika tidak paham, kenapa mesti jadi petugas negara?" seru Li Hian-ih sambil tertawa.

"Justru karena tak paham maka aku menjadi petugas Negara."

"Oya?"

"Kakakku pernah bilang, bila aku sudah tahu urusan maka tirulah yang baik dan hindarilah yang jelek," kata Kwan Siau-ci dengan mata berkilat.

"Siapa sih nama kakakmu yang luar biasa itu?" tanya Leng- hiat sambil tertawa. "Kwan Hui-tok!"

Leng-hiat maupun Li Hian-ih berseru tertahan.

Melihat perubahan aneh di wajah kedua orang itu, Kwan Siau-ci ingin memberi penjelasan, tapi pada saat itulah dari atas tiang penglari terdengar seseorang berseru, "Ternyata tak malu disebut Raja opas dan opas kenamaan, ternyata jejakku sudah kalian ketahui."

Paras muka Leng-hiat maupun Li Hian-ih berubah hebat, di antara lidah api yang bergoyang tersampuk angin, tampak sesosok bayangan manusia meluncur turun dari atas tiang penglari, ternyata dia adalah Li Ok-lay.

Begitu orang itu muncul, seluruh ruangan terasa berubah menjadi lebih kecil, lebih gelap dan lebih pendek.

Sebilah pedang berwarna hijau tersoreng di punggungnya, cincin batu kemala yang melingkar di jari tangannya membiaskan cahaya yang menyilaukan mata, kemunculan orang ini benar-benar ibarat munculnya sesosok bayangan setan dari balik kegelapan.

Begitu muncul, dengan senyuman masih menghiasi wajahnya ia menyapa, "Saudara Li, tempo hari aku tak berhasil mengenalimu sebagai Raja opas Li Hian-ih yang nama besarnya telah menggetarkan sungai telaga, mohon kau sudi memaafkan."

"Aku pun minta maaf karena dalam pertemuan tempo hari tidak memberi hormat padamu," sahut Li Hian-ih hambar.

Mereka berdua merasa terperanjat sekali ketika menyaksikan Li Ok-lay secara tiba-tiba muncul dari balik tiang penglari, seandainya waktu itu Li Ok-lay melancarkan serangan bokongan, mungkin siapa pun di antara mereka tak ada yang mampu menghadapinya.

Yang membuat mereka keheranan adalah mengapa Li Ok- lay muncul karena merasa jejaknya telah mereka ketahui? Rupanya sewaktu Leng-hiat berdua berseru tertahan karena kaget mendengar Kwan Siau-ci menyebut nama kakaknya, secara kebetulan Li Ok-lay yang bersembunyi di atas tiang penglari sedang meraba gagang pedangnya siap melancarkan serangan bokongan.

Baru saja pedangnya dicabut setengah, dia pun mendengar suara teriakan kaget Leng-hiat berdua.

Li Ok-lay menyangka suara tarikan pedangnya telah ketahuan lawan, karena tak yakin sergapannya akan berhasil, maka dia pun muncul dari tempat persembunyiannya.

"Saudara Li, padahal kita berdua mempunyai hubungan yang sangat erat, kenapa kau mesti bersikap sungkan padaku," ujar Li Ok-lay.

"Oya?"

"Saudara Li dan aku sama-sama bekerja di bawah perintah perdana menteri Hu, berarti kita adalah sesama rekan kerja. Putra saudara Li pun sudah lama hidup bersamaku, selama ini aku sudah menganggapnya bagai anak kandung sendiri, berarti di antara kita berdua sudah terjalin hubungan keluarga. Aaai, sayangnya putramu mati terbunuh di tangan orang- orang Sin-wi-piau-kiok dan perguruan Bu-su-bun, untuk membalaskan dendam kematian putramu ini, kita sudah seharusnya bersatu-padu, sebab musuh yang harus kita hadapi adalah sama."

Leng-hiat yang mendengar uraian itu menjadi sangat terkejut, dia tak menyangka Li Wan-tiong ternyata adalah putra tunggal Li Hian-ih, sementara Li Ok-lay hanya memelihara serta mendidiknya.

Kedekatan hubungan antara Li Hian-ih dan Li Ok-lay benar- benar di luar dugaan Leng-hiat, ternyata Li Ok-lay pun baru kali pertama ini bertemu muka dengan Li Hian-ih. Terdengar Li Hian-ih bertanya, "Apakah Wan-tiong adalah orang yang menyiksa narapidana, menguliti tubuh mereka serta membuat lukisan tengkorak?"

"Benar!" jawab Li Ok-lay tenang.

"Sewaktu Wan-tiong terbunuh, apakah dia sedang menyiksa Tong Keng bahkan mencelakai Kwan Hui-tok hingga tewas?"

"Rasanya memang begitu," jawab Li Ok-lay lagi setelah berpikir sejenak.

"Berarti uang pajak yang dikawal Sin-wi-piau-kiok dirampok oleh si Tua tak mau mati beserta seorang jago tangguh lainnya atas perintahmu?"

Leng-hiat tertegun, dia tak menyangka Li Hian-ih bakal mengajukan pertanyaan secara langsung dan blak-blakan.

"Betul, seorang jago yang lain adalah Gi Ing-si." "Kemudian kau telan sendiri uang pajak hasil rampokan itu

dan memerintahkan rakyat menyetor uang pajak untuk kedua kalinya?"

"Benar!" ternyata Li Ok-lay mengakui berterus terang.

"Kenapa kau mesti memfitnah Sin-wi-piau-kiok?" "Dulu ketika Sik Hong-sian masih berkuasa, dia pernah

mengancam dan memojokkan posisi Hu-thayjin, kini Sik Hong- sian sudah disingkirkan, tentu saja semua sisa ancaman dan bibit bencana di masa lalu harus dibasmi hingga keakar- akarnya."

"Sebenarnya di tubuh Ko Hway-sik terdapat rahasia apa? Kenapa kalian bersikeras ingin mendapatkannya?" tanya Li Hian-ih lebih jauh.

Sambil menggendong tangan Li Ok-lay memperhatikan kedua orang itu sekejap, kemudian ujarnya, "Bila aku tidak menceritakan rahasia ini, jangan harap kalian bisa mengetahuinya sekalipun sampai mati."

"Tapi aku percaya kau akan menceritakannya malam ini," jawab Li Hian-ih yakin.

"Oya? Masa aku tak boleh membungkam?"

"Kecuali malam ini kau tak muncul di sini, sekarang kau sudah dating, berarti hanya ada dua jalan untuk kau pilih. Pertama, bunuh kami berdua untuk menghilangkan saksi dan yang kedua, menyuap kami agar menyimpan rahasia ini."

Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Sebab kami sudah memegang banyak bukti kesalahanmu."

"Lantas kau suruh aku memilih jalan yang mana?" tanya Li Ok-lay.

ooOOoo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar