Misteri Lukisan Tengkorak Bab 29 : Jenazah Yang Mencurigakan

29. Jenazah Yang Mencurigakan

Waktu itu Ko Hong-liang hanya berdiri termangu sambil membayangkan kembali rekan-rekannya yang mati mengenaskan, sementara Li Siau-hong kembali ingin kabur dengan memanfaatkan kesempatan itu, tapi lagi-lagi tubuhnya diinjak Yong Seng hingga sama sekali tak mampu bergerak.

Yong Seng berjuluk 'Tiada tempat tanpa jejak kaki', sepasang kaki bajanya boleh dibilang memiliki kekuatan luar biasa, siapa pun yang diinjak kakinya sekalipun Ko Hong-liang sendiri, jangan harap bisa melepaskan diri secara mudah.

Terdengar Yong Seng berkata dengan jengkel, "Oleh sebab itu kau pun memfitnah Kokcu telah merampok barang kawalannya bukan?"

"Yong-loji," seru Li Siau-hong penuh dendam, "sebenarnya Li-thayjin sudah ingin melenyapkan dirimu sejak awal, tapi selalu berhasil kuhalangi, aku bilang kau baik bagaikan saudara sendiri, tapi hari ini... kau ... kau seperti sudah melupakan budi kebaikanku itu”

"Hmm ... hmmm” Yong Seng tertawa dingin, "luka dalamku ini merupakan hadiah pemberianmu, coba terangkan kenapa kau bersikap begitu keji kepadaku?"

"Li Siau-hong!" sela Ko Hong-liang pula, "aku pun selalu bersikap baik kepadamu, tapi kenyataan kau telah menyebabkan keluargaku berantakan, usahaku hancur dan anak buahku tewas”

Li Siau-hong menundukkan kepala dengan lesu dan tak berani membantah lagi.

"Ada beberapa orang di ruang seberang?" tanya Ting Tong- ih kemudian.

"Lima orang!" sahut Yong Seng.

"Kita habisi dulu orang-orang itu!" kata Ko Hong-liang kemudian dengan wajah serius. Sekali lagi sekujur badan Li Siau-hong gemetar keras, sekarang baru ia tahu bagaimana tersiksanya bila seseorang sedang dicekam rasa takut.

"Jangan," terdengar Ting Tong-ih mencegah, "lebih baik kita biarkan mereka hidup, siapa tahu mereka bersedia membantu kita menuntut balas."

"Sudah jelas semua peristiwa berdarah ini merupakan ulah Li Ok-lay seorang, mana mungkin kita punya peluang untuk membalas dendam!"

"Belum tentu, jangan lupa masih ada Leng-hiat!" "Betul," sambung Tong Keng lantang, "di atas opas Leng

masih ada Cukat-sianseng!"

"Baik, kalau begitu kita ampuni jiwa anjingnya," kata Ko Hong-liang kemudian sambil menotok tujuh jalan darah penting di tubuh Li Siau-hong, kemudian sambil menengok keluar ruangan, ujarnya lagi, "Kita bantai kelima orang di seberang sana!"

"Tapi ... mereka semua adalah petugas keamanan” seru Ko-hujin ketakutan.

Sambil menuding ke arah mayat Nyo Beng-hoa dan Tan Lui yang terkapar di lantai, ujar Ko Hong-liang, "Membunuh seorang juga dituduh sebagai pembunuh, dua orang tetap pembunuh, bagaimana pun kita memang sudah dianggap orang berdosa, apa salahnya kita habisi mereka? Toh para petugas keamanan itupun bukan manusia baik-baik!"

Ting Tong-ih, Tong Keng maupun Yong Seng merupakan sekelompok manusia yang sudah lama hidup dalam tekanan, kini mereka merasa semangat berkobar kembali, tanpa membuang waktu lagi serentak mereka menyerbu ke dalam ruang Ciang-siang-lo. Waktu itu kelima orang petugas keamanan itu ada tiga di antaranya sedang minum arak, seorang sedang meniduri Siau- kim dan seorang lagi sedang tertidur lantaran mabuk.

Dengan sekali gebrakan saja keempat orang petugas itu sudah berhasil mereka habisi nyawanya.

Sisanya yang seorang sebetulnya sedang tertidur nyenyak, begitu membuka mata dan melihat keempat rekannya sudah kehilangan nyawa, segera dia bermaksud menyambar senjata andalannya.

Sayang sebuah bacokan kapak membuat senjatanya tersampuk jatuh, tahu-tahu sebilah golok besar ditambah sebilah pedang sudah menempel di atas tengkuk dan dadanya.

Orang itu ketakutan setengah mati, bahkan saking takutnya hingga terkencing-kencing, dia menyesal kenapa saat bertugas harus tertidur pulas sehingga tak punya kesempatan melarikan diri.

"Apakah kau diutus Li Ok-lay dan Lu Bun-chang?" tanya Ko Hong-liang kemudian.

Orang itu mengangguk. "Siapa namamu?"

"Pan Kiat-beng!"

"Beberapa banyak jago yang dibawa Li Ok-lay dalam operasinya kali ini?"

"Mendekati ratusan orang."

"Ada beberapa banyak jago kelas satu yang menyertainya?" tanya Ting Tong-ih, "tentu saja tidak termasuk manusia sampah macam dirimu." Pan Kiat-beng berpikir sejenak, lalu sahutnya tergagap, "Ada ... Li-thayjin ... Lu-thayjin ... lalu ... ada si harimau yang mengaum ... manusia she ... she Ni... Ni itu...”

"Ni Jian-ciu maksudmu? Aku tahu, lanjutkan!" tukas Ting Tong-ih.

Pan Kiat-beng tak berani membantah, katanya lagi, "Masih ada lagi Li Hok, Li Hui...”

"Sepasang manusia hokki dan cerdas?" "Benar, memang mereka berdua” "Kemudian?"

"Masih ada tiga orang lagi, satu tua, satu menengah, satu muda ... konon jauh lebih menakutkan ketimbang si harimau mengaum itu ... aku ... aku tidak tahu siapa ... siapa nama mereka bertiga”

Sorot mata ngeri, seram dan kaget segera memancar keluar dari balik mata Ko Hong-liang, Ting Tong-ih, Tong Keng serta Yong Seng, tanpa terasa mereka membayangkan ketiga orang tokoh ampuh yang konon sudah bergabung dengan pihak kerajaan dan sekarang menjadi andalan atasan Li Ok- lay.

Apakah ketiga orang tokoh sakti itu yang dimaksud?

Benarkah Li Ok-lay telah berhasil mengundang kehadiran ketiga orang itu?

Ko Hong-liang, Ting Tong-ih, Tong Keng serta Yong Seng merasa keringat dingin telah membasahi tubuh mereka, tangan mereka terasa basah dan dingin, bahkan senjata yang sedang menempel di tubuh Pan Kiat-beng pun kelihatan mulai gemetar keras.

Bila ketiga orang gembong iblis itupun turun tangan, biarpun mereka berhasil kabur dari kota ini, jangan harap bisa lolos dari kejaran mereka walau sampai ke ujung langit. Nama besar gabungan ketiga orang ini jauh lebih tersohor ketimbang nama empat opas, biasanya orang yang terjatuh ke tangan mereka hanya menyesalkan akan satu hal, tidak seharusnya mereka dilahirkan di dunia ini!

Tiga orang manusia yang betul-betul menakutkan!

Sebenarnya Ko Hong-liang ingin menghadiahkan sebuah tebasan untuk menghabisi nyawa budak anjing yang suka menindas rakyat ini, tapi begitu terbayang akan ketiga orang itu, keinginannya untuk membunuh orang hilang seketika, dia hanya menotok jalan darahnya saja.

Ketiga gembong iblis itu merupakan sekawanan manusia aneh, cara turun tangannya aneh dan memiliki nama aneh pula.

Yang tua bernama si Tua tak mau mati. Yang menengah bernama Manusia penengah. Yang muda bernama si Bambu muda.

Ketiga orang ini sudah tidak membutuhkan nama lagi, mereka hanya memerlukan julukan, julukan yang didengar dan diketahui setiap orang.

Tujuan kedatangan Ko Hong-liang semula adalah menyusup masuk ke situ dan berpamitan dengan sanak keluarganya, kemudian setelah mengatur segala sesuatunya mereka berencana kabur sejauh-jauhnya.

Tapi sekarang mereka telah menghapus ingatan itu, bila si tua, si menengah dan si muda telah mendekati kota Cing- thian, kemana pun mereka kabur, biar punya sayap pun jangan harap bisa meloloskan diri.

Mereka hanya saling menatap sorot mata rekannya, walau tanpa mengucapkan sepatah kata pun semua orang sudah paham apa arti semua itu.

Suara hujan di luar rumah terdengar semakin lirih, Ting Tong-ih membuka jendela sambil menengok keluar kebun, ternyata air hujan telah berubah menjadi bunga salju, lapisan putih bagai kapas mulai menyelimuti seluruh permukaan bumi.

Ko Hong-liang dan Tong Keng memasang hio dan bersembahyang di depan meja abu Ko Hway-sik, selesai menyembah, dengan sedih Ko Hong-liang berkata, "Ayah, maafkan anakmu yang tidak berbakti, bukan saja aku gagal membuat jaya nama besar Sin-wi-piau-kiok, sebaliknya kini perusahaan terjerumus dalam ketidak-pastian, gara-gara fitnah dari anjing pejabat, aku...”

Bicara sampai di situ dia tak sanggup lagi melanjutkan perkataannya, air mata bercucuran membasahi wajahnya.

Dengan sedih Tong Keng bersembahyang pula, "Toaloya, aku Tong Keng tak akan melupakan budi kebaikanmu yang telah memelihara dan membesarkan aku, apapun yang akan kukerjakan pasti akan kuselesaikan hingga titik darah terakhir. jika Kokcu ditangkap, aku akan ikut masuk penjara, bila Sin-wi tumbang aku pun akan mati duluan, siapa berani membunuh Kokcu, aku akan mengadu jiwa dengannya

Kebetulan waktu itu Ting Tong-ih sedang berjalan masuk dari depan pintu, tiba-tiba dia menyela, "Masih ada sebuah cara lagi...”

Serentak semua orang berpaling sambil menantikan perempuan itu melanjutkan perkataannya.

"Kita masih mempunyai dua orang saksi hidup," kata Ting Tong-ih kemudian.

"Kau maksudkan Pan Kiat-beng dan Li Siau-hong?" tanya Ko Hong-liang, semua orang tidak mengerti apa maksud dan tujuan perempuan itu.

"Li Siau-hong adalah pemfitnah, dialah saksi yang memberikan laporan palsu," kata Ting Tong-ih lebih lanjut, "sementara Pan Kiat-beng adalah orang yang dikirim Li Ok-lay serta Lu Bun-chang untuk memusnahkan perusahaan Sin-wi- piau-kiok, asal kita serahkan kedua orang ini kepada Leng- hiat, ia pasti akan melaporkan peristiwa ini kepada Cukat- sianseng, ada kemungkinan kasus ini bisa terungkap hingga jelas."

"Hanya kuatirnya sampai saat itu, tulang belulang kita semua sudah lama mendingin," kata Ko Hong-liang sedih.

"Sekalipun kita mati, asal kasus ini bisa terungkap, nama baik kita pun bisa dipulihkan," sambung Tong Keng penuh semangat.

"Tidak!" kata Ting Tong-ih tegas, "yang lebih penting lagi adalah membongkar semua kejahatan serta rencana busuk yang dilakukan kawanan anjing pejabat itu, bisa membuat kejahatan mereka terungkap, paling tidak bisa membuat mereka kelabakan dan kalang-kabut”

"Baiklah," seru Ko Hong-liang kemudian dengan bersemangat, kesempatan hidup yang muncul secara tiba-tiba, meski kecil sekali membuat semangatnya timbul kembali, "Ayo, kita segera berangkat."

Tapi membayangkan harus berpisah kembali dengan istrinya yang baru saja dijumpai, hatinya terasa sedih dan perih, namun sambil mengertak gigi ia berusaha mengendalikan perasaannya.

"Pergi sih harus pergi, cuma bukan hari ini," kata Ting Tong-ih.

"Kalau hari ini tidak berangkat, aku kuatir...” Ko Hong-liang tertawa getir, "aku kuatir kita tak bakal bisa pergi lagi!"

"Secepat apapun tindakan yang bakal mereka lakukan, paling tidak juga mesti menunggu besok pagi," ujar Ting Tong-ih tegas, nampaknya ia sudah mempunyai rencana yang matang, "aku telah bertanya kepada Li Siau-hong dan Pan

Kiat-beng, menurut mereka paling cepat pun anak buah Li Ok- lay baru akan masuk kota tengah malam nanti, mereka berencana bila besok masih ada yang enggan membayar pajak atau ada orang berani melakukan perlawanan, maka mereka akan membantai anggota Sin-wi-piau-kiok lebih dahulu kemudian baru membantai yang lain, tampaknya mereka menduga kita belum tiba di sini, apalagi di luar sana ada orang-orang Lu Bun-chang yang melakukan pengawasan, sedang di dalam pun sudah ditaruh Li Siau-hong beserta begundalnya, pikir mereka pertahanan semacam ini cukup tangguh dan tak mungkin bobol, oleh sebab itu sebelum fajar menyingsing, tak bakal terjadi sesuatu di sini, aku pikir berangkat di saat fajar pun masih belum terlambat."

Padahal tujuan utama rencananya ini adalah ingin memberi waktu yang cukup kepada orang-orang Sin-wi-piau-kiok untuk saling berkumpul melepaskan rindu.

Yong Seng segera menyatakan persetujuannya, "Betul, seandainya tak sempat, biar berangkat sekarang pun sama saja tak sempat."

Yang dia maksudkan adalah seandainya si tua, si menengah dan si muda sudah datang, cepat atau lambat semuanya sama saja.

Sambil tertawa Ko Siau-sim berkata, "Sungguh tak disangka gua yang kita gali tempo hari ternyata mempunyai manfaat, gara-gara urusan itu ayah sempat mencaci-maki kita habis- habisan!"

Tampaknya Ko Hong-liang terbayang juga peristiwa itu, serunya sambil tertawa, "Ya, kau masih nampak gembira! Gara-gara kalian berhasil menggali keluar sesosok mayat, Yong-sute dan Tiong-piauthau jadi repot setengah mati mengubur kembali mayat itu."

Begitu kata "mayat" berkelebat dalam benak Tong Keng, untuk kedua kalinya satu ingatan melintas dalam pikirannya, tak kuasa lagi dia berseru, "Mayat!" "Aaah, betul! Mayat!" Ko Hong-liang serta Yong Seng ikut berseru tertahan, tampaknya mereka pun teringat sesuatu.

Ting Tong-ih, Ko-hujin maupun Ko Siau-sim tidak mengerti apa gerangan yang terjadi, serentak mereka berdiri tertegun dengan perasaan keheranan.

Yong Seng segera berkata lagi, "Delapan tahun lalu, kota Cing-thian pernah dilanda gempa bumi”

"Gempa itu sangat kuat," sambung Tong Keng, "bukan saja membuat tanah merekah, bahkan sempat membuat retak

peti-peti mati."

"Aaah, mungkinkah jenazah ayah!" tiba-tiba Ko Hong-liang menjerit tertahan.

Kini Ting Tong-ih baru mengerti apa yang sedang mereka pikirkan, rupanya tempat itu pernah dilanda gempa yang sangat kuat sehingga mereka curiga gempa itu membuat batu peti mati retak dan terbelah sementara jenazahnya bergeser tempat. Retakan yang ditemukan Tong Keng dan Siau-sim ketika menggali gua tempo hari merupakan sebuah bukti yang paling tepat.

"Kalian ... kalian telah mengubur jenazah itu dimana?" segera Ko Hong-liang bertanya.

"Dikubur di tengah pekuburan umum belakang bukit sana!" jawab Yong Seng.

Karena waktu itu mereka tidak tahu dengan pasti jenazah siapakah yang ada di sana, terpaksa mereka kubur di belakang bukit, kebetulan saat itu Li Siau-hong sedang bertugas mengawal barang sehingga dia tak tahu adanya peristiwa itu, sekembalinya dari bertugas juga tak ada yang menyinggung kembali.

"Jadi mereka telah membongkar kuburan Ko-toaya dan memeriksa peti matinya?" tanya Ting Tong-ih. "Benar," sahut Ko-hujin, "tapi berhubung peti mati itu sudah retak dan kuburan pun kosong ... mereka pun bertanya kepadaku apakah pernah memindahkan kuburan itu, aku bilang tak pernah, setelah membuktikan sendiri peti mati itu sudah retak, mereka baru percaya”

Bicara sampai di situ dia jadi ragu untuk melanjutkan kata- katanya.

"Peristiwa ini sangat mencurigakan," Ko Hong-liang segera berseru, "kalau ada sesuatu, katakan saja terus terang."

"Mereka ... mereka bertanya pula kepadaku ... apakah ... apakah aku pernah melihat...”

"Melihat apa?" tanya Ko Hong-liang dengan kening berkerut.

"Pernah melihat tubuh Loya ... tentu saja aku tak pernah melihat ... mereka bertanya lagi apakah kau pernah melihat tubuh ayahmu ... kujawab aku tidak tahu, kemudian aku berbalik menanyakan kabar beritamu, tapi mereka menghindar dan tak mau menjawab”

"Ngaco-belo!" dengus Ko Hong-liang jengkel, tapi dalam hati dia berpikir, "Aneh juga, kenapa ayah tak pernah bertelanjang dada sekalipun di musim panas yang gerah, aneh, benar-benar sangat aneh!"

Setelah termenung beberapa saat Ting Tong-ih berkata, "Kelihatannya di tubuh Ko-lotoaya tertatto sesuatu rahasia besar, jenazahnya bergeser ke tempat lain ketika terlanda gempa bumi, bisa jadi jenazah yang dikubur di belakang bukit adalah jenazahnya, Li Ok-lay maupun Li Siau-hong sekalian tidak mengetahui terjadinya perubahan alam itu, tentu saja mereka tak akan menemukan apa-apa meski sudah membongkar kuburannya, maka terpaksa mereka pun mencari tahu soal tatto yang ada di tubuh Lotoaya Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Kita harus menyelidiki tatto apa yang ada di tubuh Lotoaya, sebab hal itu ada sangkut paut penting dengan peristiwa ini”

Tiba-tiba terdengar Ko Siau-sim menjerit tertahan.

Semua orang segera berpaling, tampak ia sedang menutupi mulut sambil berusaha mencegah suaranya terdengar orang lain.

Meski semua orang keheranan, namun tak ada yang menggubrisnya karena mereka mengira gadis itu sedang terbayang kembali kejadian waktu itu.

Terdengar Ting Tong-ih berkata lebih jauh, "Berarti Li Ok- lay sekalian baru mengalihkan perhatian untuk mencari kain pembungkus mayat setelah gagal menemukan jenazah Loya dalam peti matinya, mungkin mereka sangka dari kain pembungkus mayat itu bisa ditemukan sesuatu petunjuk”

Mendadak terdengar Ko Siau-sim menjerit lagi.

Kalau jeritan pertama suaranya sangat wajar, maka jeritan kedua seperti orang kaget karena teringat sesuatu.

Sekali lagi semua orang mengalihkan perhatian ke arahnya. "Kain pembungkus mayat itu bisiknya agak tergagap, "aku

... aku telah menyimpan kain itu."

Sekali lagi semua orang terperangah, berita ini sangat mengagetkan seolah suara yang datang dari luar angkasa.

"Aku pikir ... kita tak kenal mayat siapakah itu ... mungkin di kemudian hari ada keturunannya yang datang mencari, maka ... maka kusimpan kain itu sebagai barang bukti... maka

... maka aku ... aku pun menyimpannya”

"Aaah, bagus sekali," puji Ting Tong-ih girang bercampur emosi, "kau simpan dimana kain itu? Cepat bawa kemari."

"Tapi ” "Sudah kau buang?" Ko Hong-liang mempertinggi suaranya. "Bukan, bukan ” jawab Ko Siau-sim gugup, setelah ragu

sejenak akhirnya dia mengambil keputusan dan melanjutkan.

“Cuma aku telah mencucinya hingga bersih."

ooOOOoo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar