Misteri Lukisan Tengkorak Bab 28 : Kain Pembungkus Mayat

28. Kain Pembungkus Mayat.

Li Siau-hong tidak pendek tapi sangat gemuk, keningnya menonjol tinggi, dagunya maju ke depan membuat hidungnya kelihatan pesek dan amblas ke dalam, persis seperti manisan yang menempel di atas kue gepeng.

Biarpun hidungnya tidak mancung, namun di saat sedang bangga, sedang gembira, dia akan menganggap hidungnya mancung sekali.

Saat itu dia sedang berbicara dengan penuh semangat, penuh kebanggaan.

"Enso, kalau kau berusaha menghindar terus dengan berbagai alasan, jangan salahkan kalau aku tak berlaku sungkan lagi kepadamu. Kalau bukan aku yang mengurusi tempat ini, siapa yang bakal mengurusinya? Aku sangat hapal dan kenal baik dengan para pejabat negara, selama beberapa tahun terakhir pun sudah mengawal berpuluh kali barang berharga, semua kepandaian yang dimiliki Ko-kokcu sudah kupelajari, bila kau menyerahkan perusahaan ini kepadaku, paling tidak kau masih bisa menikmati kehidupan yang aman, nyaman dan tenteram selama beberapa tahun."

"Sayangnya aku tak berani mengambil keputusan," jawab Ko-hujin dengan air mata bercucuran, "aku mesti menunggu sampai Ko Hong-liang balik."

"Ko Hong-liang?" Li Siau-hong tertawa dingin, "dia sudah mampus, kau masih ingin menunggunya? Hmmm, hmmm, untuk menikahkan putrimu kau bilang harus menunggunya, menyerahkan perusahaan Sin-wi-piau-kiok kepadaku juga dibilang menunggunya, kelihatannya kau memang sengaja hendak mempermainkan aku?"

"Li-susiok, jangan bicara kasar kepada ibuku," sela Ko Siau- sim yang ada di sisi ibunya gusar, "dulu ... dulu kau tak berani berbuat begitu!"

"Dulu? Itu cerita dulu!" ujar Li Siau-hong sambil tertawa, "waktu itu aku ... aku hanya seorang piausu tak bernama di bawah perintah Ko-kokcu, mana mungkin aku punya kesempatan untuk bicara? Tapi sekarang ... asal kau menikah denganku, ibumu berarti ibu mertuaku, tentu saja aku akan bersikap baik kepadanya, aku akan melakukan apapun sesuai keinginannya, bagaimana menurut kau?"

Saking jengkelnya Ko Siau-sim sampai tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

Di meja lain duduk dua orang lelaki kekar, salah seorang di antaranya segera berseru, "Lo-li, tak usah membuang banyak waktu dan tenaga, untuk menghadapi seorang cewek kenapa mesti repot-repot? Mending kau naiki dulu badannya, kalau nasi sudah jadi bubur masa dia tak akan menurut?"

Seorang rekannya yang lain tertawa tergelak, serunya pula dengan suara yang menyebalkan, "Mendingan tua muda disikat semuanya, terus terang yang muda masih kenyal, yang tua pun masih mulus kulitnya, kalau kau tak mau, biar aku Tan Lui yang menyikat keduanya!"

Dalam ruang tengah hadir seorang pelayan tua, saat itu dengan mata merah padam menerkam ke depan sambil berteriak keras, "Kalian semua memang telur busuk sialan! Jaga mulut kalian ... aku... aku...”

Sambil menerkam maju, dia mengayunkan kepalannya memukul kedua orang itu.

"Sin-pek!” jerit Ko-hujin.

Sebenarnya kungfu yang dimiliki Sin-pek terhitung cukup tangguh, namun baru maju beberapa langkah, ia sudah disapu Li Siau-hong hingga jatuh terjerembab.

Dua orang petugas yang lain segera menerkam ke muka sambil mengayunkan kepalan dan kakinya, menghajar pelayan itu habis-habisan.

"Dasar keparat!" umpat salah seorang lelaki itu sambil mencabut senjatanya, "kau ingin cari mampus!"

Senjata itu siap ditusukkan ke bawah. "Sin-pek!" jerit Ko Siau-sim sambil mencabut pedangnya dan maju ke depan.

"Traaang!", tusukan itu segera ditangkis.

Lelaki itu menyeringai licik, tiba-tiba dia mengegos ke samping, lalu memanfaatkan kesempatan itu untuk meremas payudara sang nona.

Merah padam wajah Siau-sim lantaran jengah, dengan gusar dia mundur ke belakang, sedemikian mendongkolnya gadis itu hingga ujung pedangnya kelihatan gemetar keras.

"Nyo Beng-hoa, apa-apaan kau?" bentak Li Siau-hong tak senang.

"Ada apa? Meremasnya sebentar juga tak boleh?" sahut lelaki itu sambil tertawa.

"Kau berani!"

"Hahaha!" Nyo Beng-hoa tertawa cabul, "kau tak perlu berlagak sok suci, masih ingat beberapa hari berselang? Bukankah kau pun ikut menaiki badan Siau-kim, si budak cilik itu?"

Paras muka Li Siau-hong sebentar memerah sebentar memucat, untuk sesaat dia tak mampu berkata-kata.

Dalam pada itu Tan Lui, lelaki yang lain sudah mendekati Ko-hujin, kelihatannya dia pun bermaksud kurangajar. Ko- hujin yang tak mengerti ilmu silat segera mundur ketakutan, segera Siau-sim melintangkan pedangnya menghadang.

"Jelas ini berbeda!" teriak Li Siau-hong kemudian.

"Aaah, semuanya toh perempuan, apa bedanya?" kata Tan Lui sambil tertawa, "kalau dinaiki, rasanya juga sama saja ... hahaha ... mungkin ada sedikit perbedaan, tapi kita mesti menjajal dulu satu per satu” "Tidak bisa!" hardik Li Siau-hong marah. "Meskipun selama berada di piaukiok Ko Hong-liang tak pernah menghargaiku, namun berulang kali Ko-hujin mempromosikan aku, apalagi... Siau-sim pun pernah menaruh perhatian kepadaku, suatu saat ketika aku sedang sakit, ia pernah mengambilkan obat dan mengganti perban di lukaku”

Bagi seorang lelaki kangouw yang terbiasa hidup diujung senjata, dia akan merasa sangat berhutang budi bila ada orang mau menaruh perhatian kepadanya, dan biasanya orang semacam ini tak akan melupakan budi kebaikan itu kendati hubungan mereka berada dalam kondisi terjelek pun.

Tan Lui saling bertukar pandangan sekejap dengan Nyo Beng-hoa, kemudian sambil mengangkat tangannya mereka berkata, "Yaa sudahlah, bila kau ingin melindungi mereka, kami sebagai orang yang diutus atasan untuk mengikuti perintahmu juga tak bisa berbuat apa-apa. Cuma ingat, bila kau telah berhasil mendapatkan orang dan hartanya, kain pembungkus mayat itu mesti secepatnya ditemukan dan diserahkan kepada Thayjin!"

"Benar, kalau tidak ... jangan harap kau bisa hidup dengan hati tenang!"

Butiran peluh mulai bercucuran membasahi ujung hidung Li siau-hong, kepada Ko-hujin segera tanyanya, "Kain pembungkus jenazah Ko Hway-sik sebenarnya kalian sembunyikan dimana?"

"Peti mati pun sudah kalian bongkar, darimana aku bisa tahu?" sahut Ko-hujin sengit.

"Masalah ini merupakan sebuah masalah yang amat serius, masalah yang menyangkut mati hidup kita semua, bila kau tahu lebih baik cepat katakan."

"Aku tidak tahu, darimana bisa menjawab?" Ko-hujin tertawa pedih. "Kau betul-betul tidak tahu?" hardik Li Siau-hong dengan mata mendelik.

Dengan perasaan gugup Ko-hujin menggeleng.

Menyaksikan mimik mukanya, Li Siau-hong tahu dia tidak sedang berbohong, tanpa terasa gumamnya, "Tidak mungkin, mana bisa begini? Tempo hari sewaktu kami bongkar peti matinya, Ko Hway-sik hanya tinggal seonggok tulang yang bau, jelas di tubuhnya tidak ditemukan kain pembungkus mayat."

"Waah, bisa celaka kali ini," sambung Nyo Beng-hoa, "seandainya mayat Ko Hway-sik sudah dirusak oleh air tanah dan lumpur sehingga dasar peti mati rusak dan jenazahnya membusuk, biar ada kain pembungkus mayat pun bisa jadi sudah ikut hancur berantakan, mana mungkin bisa ditemukan bekas-bekasnya."

"Bekas apa?" tanya Tan Lui.

"Aku sendiri pun tidak jelas," Nyo Beng-hoa mengangkat bahunya, "atasan hanya berpesan supaya kain pembungkus mayat dari keluarga Ko disembunyikan di dalam peti mati batu lapisan ketiga, di dalamnya sudah diberi obat anti pembusukan sehingga menurut aturan tak bakal rusak atau membusuk dalam jangka waktu dua tiga puluh tahun, karena itu kita diperintahkan untuk mengambilnya. Tapi ketika kita bongkar kuburan itu, dasar peti mati sudah hancur, bukan saja lapisan pertama dan kedua hancur, lapisan ketiga pun ikut hancur, isinya sudah hancur berantakan, busuk dan tidak dijumpai kain pembungkus mayat, tentang tanda-tanda bekas...”

Bicara sampai di situ sorot matanya segera dialihkan ke wajah Li Siau-hong.

Hijau membesi wajah Li Siau-hong, serunya, "Pesan yang disampaikan atasan kepadaku merupakan perintah rahasia, aku tidak perlu menjelaskan kepada kalian!" Begitu Li Siau-hong membentak, Tan Lui dan Nyo Beng-hoa segera menyahut, "Baik!"

Namun dalam hati mereka merasa sangat tidak puas, pikirnya, "Kau menggunakan bulu ayam sebagai lencana perintah, hmm, akan kulihat bagaimana cara matimu bila sampai saatnya kau tetap tak berhasil menemukan kain pembungkus mayat itu!"

Li Siau-hong sendiri pun merasa hatinya sangat kalut, dia tahu jika kain pembungkus mayat tak berhasil ditemukan, maka dirinya pun akan tertimpa nasib malang.

Setelah berpikir sesaat, ujarnya kemudian, "Enso Ko, aku selalu menghormatimu, aku tak ingin menggunakan kekerasan, bila kau tidak segera menjawab pertanyaanku, jangan sampai kesabaranku habis."

"Tapi aku benar-benar tidak tahu kain pembungkus mayat itu berada dimana," seru Ko-hujin sambil menangis, suaranya gemetar, "Ketika jenazah Loya dimasukkan ke dalam peti mati, aku tidak tahu betapa pentingnya kain putih yang ada di situ, aku tak pernah menaruh perhatian”

"Kalau begitu, malam ini juga aku akan meniduri Siau-sim!" tukas Li Siau-hong habis kesabarannya.

"Terlambat sudah!" mendadak terdengar seseorang menimpali, "hari ini aku datang untuk mencabut nyawa anjingmu!"

Li Siau-hong merasa sangat mengenal suara itu, dengan terperanjat ia berpaling, tampak empat sosok bayangan manusia telah menerjang masuk ke dalam, lalu dengan gerak serangan yang luar biasa cepatnya menghabisi nyawa Nyo Beng-hoa serta Tan Lui yang masih berdiri tertegun.

Baru saja Li Siau-hong hendak melarikan diri, keempat orang itu sudah mengepungnya dari empat penjuru.

"Hong-liang!" teriak Ko-hujin kegirangan. Ko Siau-sim pun berteriak dengan nada terkejut bercampur gembira, "Engkoh Tong!"

Rasa gembira yang menyelimuti perasaan Ko-hujin serta Ko Siau-sim benar-benar tak terlukiskan, bahkan untuk ditampilkan pada mimik mukanya pun susah.

Rasa gembira bercampur kaget yang mereka rasakan saat ini boleh dibilang merupakan luapan perasaan yang luar biasa.

Biarpun sejak awal Ko Hong-liang serta Tong Keng sudah membuat persiapan, tak urung mereka ikut terharu atas perjumpaan ini, dengan cepat Ko Hong-liang memeluk istri serta putrinya, sedangkan Tong Keng segera membangunkan Sin-pek yang terkapar di tanah.

Menggunakan kesempatan itu, sekuat tenaga Li Siau-hong melarikan diri!

Dia tahu, kepandaian silat yang dimiliki Yong Seng hampir seimbang dengan kemampuannya, tapi semenjak terluka parah tempo hari, kemampuan silat Yong Seng sudah mengalami kemunduran, dia termasuk orang yang tak berani mencari gara-gara, apalagi terhadap orang yang punya dukungan pejabat negara.

Dia pun tahu, bila berhasil menerobos keluar ruang utama, maka kelima orang jago lihai yang dikirim Li-thayjin dan saat ini sedang beristirahat di ruang depan tentu akan turun tangan bersama, bila sudah begitu dia tak perlu takut lagi menghadapi Ko Hong-liang.

Maka dia pun mengincar sisi samping Tong Keng dan menerobos keluar.

Dengan satu gerakan cepat Yong Seng menerobos dari samping seraya melakukan penghadangan.

Kaitan kanan Li Siau-hong diayunkan untuk membuka jalan, sementara kaitan sebelah kiri dibacokkan ke tubuh Yong Seng. Sepasang kapak Yong Seng segera dibacokkan ke depan, menghantam persis di atas kaitan lawan.

"Traaang!", diiringi percikan bunga api, dentingan nyaring bergema memecah keheningan.

Menggunakan peluang itu Li Siau-hong menjejakkan kakinya dan menerobos keluar dengan menjebol jendela.

Sayang dia melupakan sesuatu, dia lupa masih ada Ting Tong-ih.

Walaupun Ting Tong-ih adalah seorang wanita cantik, namun dia tak tahu kalau ada sementara wanita justru memiliki kehebatan ilmu silat yang tak boleh dipandang enteng.

Baru saja dia menerobos jendela sambil bersiap minta tolong, tiba-tiba selapis awan berkelebat, awan berwarna ungu, warna ungu yang memancarkan cahaya kilat.

Biarpun dia sudah menghindar cukup cepat, tak urung tubuhnya tersambar juga oleh sambaran cahaya kilat itu, tak ampun kaitan di tangan kanannya terjatuh ke tanah.

Tergopoh-gopoh Li Siau-hong mengayunkan kaitan di tangan kirinya untuk membendung datangnya sambaran mantel ungu lawan, tapi saat itulah ayunan kapak Yong Seng telah menyambar tiba.

Dalam gugup dan terdesaknya, tak ada kesempatan lagi bagi Li Siau-hong untuk berteriak minta tolong.

Sementara itu Tong Keng sudah terjun pula ke dalam arena pertarungan.

Li Siau-hong merasa tenaga tekanan yang menghimpit tubuhnya semakin bertambah kuat, dia makin tercecar hebat, sebuah tendangan Yong Seng yang bersarang telak di lambungnya membuat ia mundur dengan sempoyongan. Baru beberapa langkah dia mundur, sesosok bayangan manusia kembali berkelebat di hadapannya, sebilah golok raksasa langsung dibacokkan ke atas kepalanya.

Tak terlukiskan rasa kaget, ngeri dan takut yang mencekam perasaannya, serasa nyawa meninggalkan raga lekas dia melakukan tangkisan.

"Traaang!", kembali terjadi benturan nyaring, kaitannya segera mencelat ke udara.

Yong Seng merangsek maju, melihat musuhnya terhuyung, dia segera melepaskan satu tendangan kilat yang persis menghajar tulang pinggulnya, tak ampun tubuhnya segera jatuh terkapar di atas tanah.

Pada saat bersamaan golok besar itu sudah menempel di atas keningnya.

Hati Li Siau-hong serasa tenggelam, air mata bercucuran membasahi pipinya, tak tahan dia menjerit, "Jangan bunuh aku, kumohon, jangan bunuh aku!"

Ternyata orang yang memegang golok besar itu tak lain adalah Ko Hong-liang.

Dengan sorot mata setajam sembilu Ko Hong-liang mengawasinya, lalu teriaknya pedih, "Jawab! Kenapa kau harus berbuat begini?"

Li Siau-hong termangu, lalu sahutnya sambil tertawa pedih, "Aku tak punya pilihan lain, Li-thayjin yang menyuruh aku menuduh kalian sebagai perampok uang pajak itu, bukan keinginanku sendiri!"

Ko Hong-liang ikut tertegun, dia tak menyangka akan mengetahui rahasia besar ini, sebuah rahasia yang luar biasa pentingnya, saking tertegunnya, untuk sesaat dia lupa untuk bertanya lebih jauh. Ting Tong-ih segera menghardik, "Kalau begitu siapa yang sebenarnya yang membegal uang pajak itu?"

"Aku tidak tahu, aku benar-benar tidak tahu," seru Li Siau- hong ketakutan, "Li-thayjin minta aku jangan mencampuri urusan ini, katanya sampai waktunya nanti ada orang yang akan membegal uang pajak itu."

Ko Hong-liang saling bertukar pandang sekejap dengan Tong Keng, rasa kaget dan tercengang yang mencekam perasaan mereka tak terlukiskan dengan kata.

Sementara itu Ting Tong-ih telah menekan ujung pedangnya ke tenggorokan Li Siau-hong, seketika orang itu merasa bagaimana ujung pedang yang tajam mulai menembus kulit tenggorokannya.

"Cepat jawab, bagaimana ceritanya hingga kau bisa berhubungan dengan Li Ok-lay?" hardik perempuan itu lagi.

Li Siau-hong mulai menjerit-jerit, suaranya seperti babi yang sedang disembelih, dengan air mata bercucuran pintanya, "Jangan bunuh aku, jangan bunuh aku”

"Kalau kau tidak menjawab, segera akan kubunuh!" ancam Ting Tong-ih sambil menekan ujung pedangnya lebih dalam, mata pedang mulai menembus kulit lehernya, darah pun mulai bercucuran.

Li Siau-hong merasa sukmanya serasa melayang meninggalkan raganya, "Aku ... aku ... dengan Li-thayjin ... ooh bukan ... Li Ok-lay ... kami tidak saling mengenal... yang

... yang kenal... Li-thayjin adalah Lu-thayjin”

Dengan gagang goloknya Ko Hong-liang mengetuk jidatnya dengan keras, hardiknya, "Bicara perlahan-lahan, yang jelas sedikit!"

"Baik, baik ..." dengan susah payah Li Siau-hong berusaha mengendalikan kegagapannya, "aku sebetulnya tidak kenal dengan Li-thayjin ... tapi sudah dua kali bertemu dengan Lu- thayjin ... suatu kali ... kira-kira pada akhir tahun ... Lu-thayjin memanggil aku, Tiong Ing serta The Tiong untuk menghadiri perjamuan di rumah makan Thian-keng-lau, malam itu kami makan minum sampai mabuk, bahkan...”

"Peduli amat apa yang kalian lakukan pada malam itu," tukas Ting Tong-ih dengan kening berkerut, "cepat jawab, apa saja yang disampaikan Lu Bun-chang kepada kalian?"

Bayangan keindahan dan kenikmatan yang pernah dicicipinya di rumah makan Thian-keng-lau seketika berantakan dari benak Li Siau-hong, yang tersisa kini hanya kekerasan dan situasi gawat yang harus dihadapinya.

"Lu-thayjin bertanya kepada kami," katanya kemudian, "apakah ada yang tahu tentang tatto di tubuh Lokokcu?"

Ting Tong-ih terperangah, tapi Ko Hong-liang segera manggut-manggut dengan wajah serius.

"Kami semua menjawab tahu tentang tatto itu, maka dia pun bertanya, apakah kami pernah memperhatikan dengan jelas gambar apa tatto di atas tubuh Ko-lokokcu, kami pun menjawab, Ko-lokokcu jarang sekali bertelanjang dada, kami baru sempat menyaksikan gambar tatto di atas dadanya jika ia selesai berlatih silat ketika bajunya basah kuyup oleh keringat, sehingga kami tak tahu apa gambar tattonya ... malam itu Lu- thayjin pun hanya menjamu kami makan minum, dia tidak menyinggung soal apa-apa lagi”

"Kemudian?" tanya Ting Tong-ih sambil mengernyitkan alis matanya yang lentik.

"Kemudian ... sekali lagi Lu-thayjin mengundang kami, dia berpesan agar kami tidak mengatakan kejadian itu kepada Kokcu."

Mendengar sampai di sini Ko Hong-liang segera mendengus dingin, ujarnya, "The-piauthau pernah memberitahukan persoalan ini kepadaku, waktu itu kusangka tak ada masalah lain, sebab walaupun aku tak suka berhubungan dengan mereka, namun aku tak pernah menghalangi anak buahku berhubungan dengan para pejabat negara dan menjadi kaya raya karena itu, karenanya aku tidak bertanya lebih jauh."

Dalam hatinya tentu saja timbul perasaan amat menyesal, dia menyesal kenapa waktu itu tidak bertanya lebih jelas.

"Betul, betul ... Kokcu memang selalu menganggap kami sebagai saudara kandung sendiri. Hari itu Ko-thayjin berkata, 'Ketika jenazah Ko Hway-sik dimakamkan, apakah tubuhnya dibungkus dengan kain pembungkus mayat yang sangat tebal?'. Kami pun menjawab, 'benar.'. Lu-thayjin segera menghembuskan napas lega seraya bergumam, 'Aah, akhirnya diperoleh juga sedikit titik terang.'."

"Kemudian ia perintahkan kami untuk menggali jenazah Ko- kokcu, katanya dia hendak memeriksa sesuatu benda, waktu itu kami sangka dia hendak memeriksa tatto yang tertinggal di tubuh Ko-kokcu, maka Tiong-hupiauthau berkata, 'Lokokcu sudah dikubur tujuh tahun, besar kemungkinan tubuhnya sudah membusuk, hancur dan rusak.'. Dengan wajah tak senang Lu-thayjin segera menjawab, 'Bila tubuhnya sudah hancur, kalian mesti mengambil keluar kain pembungkus mayatnya!'."

"Kemudian” tiba-tiba Ko Hong-liang memotong, "apa yang terjadi dengan Tiong dan The dua orang piausu itu?"

"Mereka ... mereka telah menyalahi Lu-thayjin, maka ... maka...” suara Li Siau-hong mulai tergagap.

"Omong kosong!" hardik Ko Hong-liang sambil mengayun goloknya, "sudah jelas mereka mati dicelakai bajingan she Lu itu gara-gara tak mau mengusik jenazah ayah."

Melihat golok yang mulai diayunkan ke udara, Li Siau-hong semakin gugup dan gelagapan. "Bukan Lu-thayjin, melainkan Li-thayjin, ya ... Li-thayjin...” serunya.

"Bagaimana ceritanya hingga Li Ok-lay tampil? Cepat katakan!" bentak Ko Hong-liang.

Dengan wajah masam dan nyaris menangis sahut Li Siau- hong, "Malam itu Li-thayjin ikut muncul dalam pertemuan, dia minta kami pergi menggali kuburan Lokokcu, kami menolak melakukannya, maka Li-thayjin pun berkata, 'Kalian menolak karena takut menghadapi Ko Hong-liang bukan? Kujamin hanya cukup dalam satu malam Sin-wi-piau-kiok bakal bubar, siapa di antara kalian yang ingin menjadi Kokcu?'. Kami semua menampik, dalam gusarnya Li-thayjin pun membunuh Tiong dan The piausu berdua!"

"Hmm, kenapa hanya kau yang tidak dibunuh?" jengek Ting Tong-ih sambil mendengus dingin, "mungkin di antara ketiga orang itu, hanya kau seorang yang tertarik dengan iming-imingnya."

Sementara Ko Hong-liang bergumam sambil menghela napas panjang, "Aaai, demi piaukiok, Tiong Ing dan The Tiong harus mengalami nasib tragis!"

Tong Keng tak kuasa menahan diri, dia mencengkeram kerah baju Li Siau-hong dan" teriaknya, "Jawab, apakah kau yang telah mencelakai Tiong Ing serta The Tiong dua orang piausu itu?"

Dengan gugup Li Siau-hong menggeleng, cengkeraman yang kuat pada kerah bajunya membuat napasnya sesak.

"Sudahlah," ujar Ting Tong-ih sambil mendengus dingin, "ditanya juga percuma, tak nanti dia mau mengaku."

"Aku benar-benar tidak membunuh mereka” teriak Li Siau- hong keras.

"He, kenapa berteriak?" tegur Ko Hong-liang gusar, "memangnya kau berharap teriakanmu bisa didengar orang- orang di ruang seberang hingga datang menolongmu? Sekali lagi berteriak, segera kupotong lidahmu!"

Li Siau-hong segera membungkam dan tak berani berteriak lagi.

"Jadi siasat yang digunakan Li Ok-lay untuk meruntunkan perusahaan Sin-wi-piau-kiok adalah memfitnah perusahaan ini telah merampok uang pajak yang sedang dikawalnya?" kata Ting Tong-ih kemudian.

"Ia tidak mengatakan begitu, tapi setelah kejadian aku pun menduga begitu."

"Ada beberapa orang yang bersembunyi di ruang seberang?" tanya Ting Tong-ih lagi.

"Ada puluhan orang anak buah Li-thayjin, kelihatannya Li- thayjin telah membawa ratusan orang jago tangguh, tujuannya adalah untuk menghadapi batas akhir penyerahan uang pajak besok pagi, dia kuatir rakyat melakukan pergolakan dan pemberontakan, selain itu dia pun ingin mengawasi wilayah seputar sini."

"Hmmm, untungnya kami berhasil menyusup kemari tanpa diketahui siapa pun," kata Tong Keng sambil tertawa.

"Engkoh Tong, jadi kalian melalui...” seru Ko Siau-sim kegirangan.

"Benar!" tukas Tong Keng sambil tertawa tergelak. "Lantas apakah kau bertemu dengan mayat yang tempo hari itu?" tanya si nona sambil memandang mesra pemuda itu. "Tidak, sama sekali!" jawab Tong Keng tertegun.

oooOOooo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar