Misteri Lukisan Tengkorak Bab 24 : Opas Kenamaan Dan Raja Opas

24. Opas Kenamaan Dan Raja Opas.

Leng-hiat dan kakek itu sudah berjalan sangat jauh, suara kokok ayam dan jeritan itik sudah terdengar di kejauhan sana, suara yang bercampur aduk dengan gonggongan anjing membuat orang terbayang keheningan sebuah dusun, mendatangkan pula rasa kantuk dan lelah.

"Kita akan segera tiba di kota Cing-thian," kata kakek itu sambil terbatuk, dari sakunya dia mengeluarkan sebungkus kue kering, pemberian penduduk desa tadi, "kau merasa lapar? Ayo kita makan bersama."

Siapa tahu begitu pembungkus dibuka, kue kering itu telah remuk menjadi bubuk hingga tersebar kemana-mana, agaknya kakek itu tidak menduga.

"Aaai, tak nyana kue kering ini sudah remuk, sayang." "Bukan masalah roti yang remuk," sahut Leng-hiat hambar,

"barusan kau telah menghimpun tenaga dalam untuk

memukul mundur Li Ok-lay, tentu saja roti kering itu tak tahan dengan gempuran hawa murnimu."

"Ooh, benarkah begitu? Kenapa aku sendiri tidak merasakannya ” gumam si kakek sambil terbatuk-batuk.

Kemudian seakan di luar dugaan ia menemukan sebuah warung teh di tepi jalan, serunya girang, "Ayo, kita minum teh dulu sebelum melanjutkan perjalanan."

Walaupun sudah tengah hari, namun suasana di warung teh itu amat sepi, tamu yang jajan pun tak banyak.

Setelah Leng-hiat dan kakek itu duduk, si kakek masih saja terbatuk-batuk, maka Leng-hiat pun bertanya kepada sang pelayan, "Ada hidangan apa di sini?"

Pelayan itu menyebutkan beberapa jenis makanan, semuanya terbuat dari kedelai, maka Leng-hiat pun berkata, "Kalau begitu siapkan sepiring ca tauge, dua mangkuk arak, sepiring kacang, dua mangkuk bakmi ada daging asap atau

daging asin?" "Tuan, di sekitar sini tak ada daging, darimana kami bisa menyediakan masakan daging? Bagaimana kalau kue saja?"

"Baiklah," baru saja pelayan itu berlalu, kembali Leng-hiat berseru, "Siapkan dua mangkuk arak Kao-liang!"

"Tuan, darimana datangnya arak Kao-liang?" sekali lagi kata pelayan itu menyesal.

“Baik, baiklah, kalau begitu arak putih saja."

Sementara itu si kakek berbicara sambil terbatuk-batuk, "Kita makan seadanya saja, makan seadanya saja."

Di meja lain terlihat bebeberapa orang sedang bersantap, seorang di antaranya duduk dengan wajah murung, seorang lagi berkeluh-kesah, hanya seorang cebol yang masih duduk sambil tertawa lebar, seakan tak ada yang menjadi beban pikirannya, bila ditinjau dari dandanannya, jelas mereka adalah penduduk desa sekitar.

Terdengar orang itu berkeluh, "Tampaknya kalian berasal dari luar daerah, jadi tidak tahu kalau wilayah sini sedang dilanda kemiskinan, kami sebagai rakyat kecil hanya diperah seperti kerbau, sudah menyetor uang pajak harus membayar lagi, aaai... masih mending jadi seekor kuda”

"Ssstt, hati-hati kalau bicara," rekannya segera memperingatkan, "penyakit masuknya dari mulut, bencana keluarnya dari perkataan."

"Kalian tak usah kuatir," segera Leng-hiat menyela, "aku bukan petugas yang datang memungut pajak, bagaimana sih ceritanya hingga kalian ditarik pajak ganda?"

"Aaai, hidup di sini bertambah susah," kembali orang itu berkeluh, "lebih banyak memelihara seekor ayam berarti lebih banyak membayar pajak. Lebih banyak menanam sebatang pohon berarti bertambah beban pajaknya, oleh sebab itu kami lebih rela memotong semua ayam dan menebang semua pohon ketimbang dibebani pajak yang besar." "Bukankah kalian sudah membayar pajak?" tanya Leng- hiat.

"Kau sangka begitu gampang membayar uang pajak? Ada beberapa ratus ribu orang yang tak sanggup membayar pajak, sekarang kalau bukan mati, anggota badan mereka tak utuh, atau menunggu kematian dalam penjara, atau dikirim ke perbatasan jadi orang buangan."

"Kurangjar, ada kejadian seperti ini? Siapa yang melakukan perbuatan biadab ini?" seru Leng-hiat gusar.

"Hahaha, masa kau tak tahu?" seru orang itu sambil tertawa sinis, "tentu saja para pejabat kerajaan, tentu saja orang-orang pemerintahan!"

"Memangnya di sini tak ada hukum ” gumam kakek itu

lirih.

"Yang berlaku di sini adalah hukum rimba, apa itu hukum?

Apa itu peraturan negara?"

"Apakah kau sudah membayar uang pajak?" tanya kakek itu kemudian.

Orang itu tertawa getir. "Kami sekeluarga lima orang, setelah banting tulang kerja keras selama satu tahun, hasil yang bisa dikumpulkan paling tiga sampai lima tahil perak, padahal uang pajak yang harus disetor tahun ini adalah enam tahil, bayangkan, aku harus mencari kekurangannya dimana? Kalau pajak sudah kubayar, memangnya aku mesti bermuram durja."

"Bagaimana pula dengan kau?" tanya si kakek sambil berpaling ke arah lelaki di sampingnya.

"Aku tiga generasi hidup sebagai buruh tani, jangankan tanah sehektar, secukil pun tidak kumiliki, dari muda sampai tua hanya bekerja sebagai buruh tani orang, tapi entah bagaimana cara menghitungnya, ternyata pihak pemerintah menuduh aku punya sawah tujuh bahu, bahkan tak mau tahu alasanku, mereka tetap memaksaku membayar pajak”

Berbicara sampai di sini, ia benar-benar mulai menangis, "Coba bayangkan, kemana aku harus mencari uang untuk membayar pajak?"

Terpaksa Leng-hiat menghiburnya dengan kata-kata manis, kemudian ia berpaling ke orang ketiga, tanyanya, "Bagaimana dengan kau?"

"Baru saja kujual istriku keluar propinsi guna membayar pajak tahunan, siapa sangka uang pajak dirampok orang hingga mesti menyetor kembali, sekarang apa lagi yang bisa kujual untuk membayar pajak itu?"

Leng-hiat tertawa getir, ketika dilihatnya sisa orang terakhir masih duduk sambil cengengesan, timbul secercah harapan dalam hatinya, dia pun bertanya, "Setiap orang bermuram durja dan berkeluh-kesah, kenapa kau malah tertawa berseri, apakah...”

Orang itu memandang ke arah Leng-hiat, senyuman masih menghiasi wajahnya, tapi tatapan matanya nampak kosong.

"Aaai, dia sudah gila karena tak mampu menyetor uang pajak, mana mungkin sanggup menjawab pertanyaanmu!" kata rekannya.

"Betul," si muram durja menambahkan, "setelah selesai mengajaknya makan kali ini, kami akan melepas dia untuk hidup bebas, sebab kami sendiri pun sudah tak mampu mengurusi diri sendiri."

"Ya, aku justru merasa iri kepadanya, seluruh anggota keluarganya, yang mati sudah mati, yang edan sudah edan, babi tak punya, atap rumah pun tak punya, dia sudah tak perlu memikirkan uang pajak lagi."

Leng-hiat amat gusar sehabis mendengar perkataan itu, ketika hidangan disajikan, dia merasa tak ada selera untuk menelannya, berbeda dengan si kakek, dia menikmati dengan lahapnya.

Sekali teguk Leng-hiat habiskan isi cawannya, lalu berkata. "Tak nyana sistim pajak yang berlaku di sini begitu semena- mena."

"Sebetulnya sistim pajak dimana pun sama saja," kata si kakek hambar, "hanya tergantung pada oknumnya, apakah dia melaksanakan dengan disiplin dan pakai aturan, atau korupsi sebesar-besarnya lalu menindas rakyat."

"Kalau cara ini dibiarkan berlangsung terus, bukankah lama-kelamaan rakyat akan memberontak?"

Waktu itu si kakek sedang menghabiskan potongan kue yang terakhir, ketika mendengar perkataan itu, ia segera mendongakkan kepalanya, sambil menatap dengan sorot mata tajam katanya, "Bila perkataanmu itu sampai terdengar orang lain dan dilaporkan kepada petugas, seluruh anggota keluargamu bisa dihukum pancung!"

"Mau hukum pancung silakan, mau menghabisi keluargaku silakan," jengek Leng-hiat sambil tertawa dingin, "toh aku tak punya keluarga, tak punya rumah”

Sebenarnya ia tak pandai minum arak, tapi terdorong oleh gejolak emosinya dia minum semakin banyak, ketika poci mulai kosong, dia pun berteriak, "Pelayan, tambah arak!"

"Toaya, arak yang tersedia di sini hanya itu, biar ingin minum lagi pun tak ada," jawab sang pelayan kemalas- malasan.

Tampaknya Leng-hiat sudah hilang seleranya untuk bersantap, segera ia bangkit berdiri sambil membayar rekening.

Kakek itu segera berseru, "Yang kumakan, biar aku bayar sendiri." "Seharusnya kau memberi muka kepadaku, biarlah aku yang bayar."

"Tidak bisa, biar aku bayar sendiri, biar aku bayar sendiri." "Aaah, hanya urusan kecil, tak perlu diperdebatkan!" Leng-

hiat menggoyangkan tangannya berulang kali.

"Aku akan membayar sendiri apa yang telah kumakan," ujar kakek itu serius.

Sekarang Leng-hiat baru memperhatikan kekukuhan hati kakek itu, dia melengak sejenak kemudian ujarnya, "Tapi ... toh hanya uang kecil, apa artinya?"

"Aku tidak terbiasa ditraktir orang, aku selalu membayar rekeningku dengan uang hasil keringat sendiri, aku tak mau mentraktir orang, aku pun tak sudi ditraktir orang."

Bicara sampai di situ lagi-lagi ia terbatuk keras, malah batuknya kali ini sangat hebat sehingga nyaris memuntahkan juga paru-parunya.

"Baiklah," segera Leng-hiat berkata, "kau bayar sendiri, kau bayar sendiri, kau saja yang mentraktirku."

"Tidak, aku tak akan mentraktirmu," kakek itu menarik napas panjang, "terus terang, aku tak mampu mentraktirmu."

Dari sakunya dia mengeluarkan sejumlah potongan perak, tapi setelah dihitung-hitung ternyata jumlahnya tak mencapai satu tahil perak, seraya tertawa getir kembali kakek itu berkata, "Terus terang, gajiku dalam setahun hanya empat tahil perak, terpaksa aku harus irit, tak boleh digunakan secara sembarangan."

Leng-hiat merasa tak tega setelah mendengar perkataan itu, selanya, "Kau bekerja begitu keras tapi hasil tahunan begitu sedikit, bagaimana "

Kakek itu segera menukas, senyum kepuasan terlintas di wajahnya yang penuh berkeriput, "Aku menyukai pekerjaanku, uang sedikit atau banyak bukan masalah, apalagi aku sudah bekerja tiga puluhan tahun, tak terlintas dalam benakku untuk berganti haluan."

Leng-hiat pun tidak melanjutkan kembali kata-katanya, namun pandangan matanya masih menatap potongan uang perak yang berada dalam genggaman kakek itu. Kelihatannya sulit bagi sang pemilik kedai untuk mencari uang kembalian dari rekening sebesar lima ketip itu.

Si kakek masih mengawasi potongan peraknya dengan pandangan serba salah, sedang si pemilik kedai dengan wajah pahit berseru, "Tuan, bila kau membayar dengan potongan perak itu, kami pun kesulitan mencari uang kembaliannya."

Belum selesai dia berkata, mendadak "Pleetak!", dengan jari telunjuk dan ibu jarinya si kakek telah memotong potongan perak itu seberat lima ketip, lalu diserahkan ke tangan pemilik kedai itu.

Sang pemilik kedai berdiri terbelalak, dia seakan tidak percaya dengan apa yang barusan disaksikan.

Leng-hiat sendiri pun sangat terkejut, dia tahu kalau kakek itu memiliki kepandaian silat yang luar biasa, tapi tidak tahu kalau tenaga dalamnya telah mencapai tingkatan yang begitu sempurna.

Padahal potongan perak itu hanya sebesar kuku tangan, untuk memotong benda sekecil itu dengan jari tangan jelas merupakan satu pekerjaan yang amat sulit, bahkan Leng-hiat sendiri pun sadar kalau dia tak sanggup melakukannya.

Kehebatan kungfu yang dimiliki kakek itu benar-benar di luar perkiraan Leng-hiat.

Waktu itu si kakek sedang menimang sisa perak yang ada di tangannya, ketika ia merasa potongannya sudah sesuai, dengan perasaan puas dia mengangguk dan bangkit berdiri. "Ayo kita berangkat!" Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan menelusuri jalan negara, lambat-laun suasana di sekeliling pun bertambah ramai, rumah penduduk semakin banyak dijumpai.

Mendadak mereka lihat ada beberapa ekor kuda sedang berhenti di depan sebuah rumah dengan pagar bambu, beberapa orang sedang ribut di depan pintu rumah.

Tampak seseorang berdandan Suya dengan membawa buku kuning yang tebal sedang membolak-balik halaman bukunya, di tangan lain memegang sebuah pit, dia seakan sedang memeriksa isi catatan di kitab tebalnya itu.

Sementara di sisinya berdiri dua orang opas, yang kurus sedang membawa bak tinta, melayani sang Suya menulis, sementara yang kekar dengan sebelah tangan menggenggam gagang golok, tangan yang lain mengayun cambuknya berulang kali sambil membentak, "Uang pajak kalian mau dibayar tidak!"

Seorang kakek dengan membawa sebuah tongkat nyaris berlutut ketika mendengar bentakan itu, rengeknya, "Tuan opas, beri kami waktu, berilah waktu lagi kepada kami”

Di samping kakek itu berdiri seorang lelaki dan seorang wanita, kelihatannya mereka adalah anak dan menantunya.

Terdengar sang Suya mendengus dingin, lalu berkata, "Seng-siu Lotia, apa maksudmu minta waktu lagi? Kami sedang melaksanakan tugas yang diperintahkan Yang mulia, memangnya gampang melepaskan kalian begitu saia? Kau anggap kami punya berapa banyak batok kepala untuk ditebas?"

"Suya," mohon kakek Seng-siu dengan air mata bercucuran, "berilah waktu beberapa hari lagi."

Putranya yang ada di sisinya mulai naik darah, mendadak serunya penuh amarah, "Kalian pakai aturan tidak? Keluarga kami hanya memelihara seekor babi, kenapa harus membayar pajak seekor kerbau, apa-apaan kau ini?"

Dengan penuh kemarahan ketiga orang itu menatap wajah para petugas tanpa berkedip.

Saat itulah terdengar suara tangisan bayi dari dalam rumah, segera sang wanita berlari masuk ke dalam rumah.

Tampaknya sang Suya baru memperhatikan wanita itu setelah melihat ia berlari masuk ke rumah, sambil tertawa cabul ia bertanya, "Apakah wanita itu menantumu?"

"Mau apa kau?" bentak sang lelaki gusar.

"Tidak mau apa-apa," jawab sang Suya sambil tertawa licik, ia berpaling lagi ke arah kakek Seng-siu, kemudian menambahkan, "Mau membayar pajak seekor kerbau atau pajak seekor babi, itu tergantung apa yang akan kutulis dalam kitab ini."

"Tolonglah Suya, tulislah yang benar, tulislah yang benar," pinta sang kakek lagi.

Suya itu segera mendorong tubuh si kakek berulang kali, dengan gusar lelaki itu memayangnya.

"Tulis yang benar? Apa itu tulis yang benar?" jengek sang Suya sambil tertawa dingin, "siapa tahu justru kalian memelihara tujuh delapan ekor sapi di belakang rumah sana."

"Mau apa kau?" bentak lelaki itu sambil maju ke depan.

Sang Suya tidak menanggapi pertanyaan itu, sambil mengerling penuh arti dia balik bertanya, "Bagaimana dengan menantumu?"

Lelaki itu bertambah berang, dia maju mendekati Suya itu, tapi belum selangkah, opas kekar itu sudah maju sambil menampar wajah lelaki itu dengan kuat. Kontan wajah lelaki itu merah bengkak hingga tak sanggup berkata-kata, kembali opas itu menjejakkan kakinya, lelaki itu segera jatuh terduduk ke tanah.

"Mau ... mau apa kau ” teriak kakek Seng-siu kaget.

Sang Suya mendengus dingin. "Hmm! Putramu berkomplot dengan penjahat, dia amat berdosa, pengawal ”

Dua orang opas itu segera menyahut, dengan wajah penuh rasa bangga sang Suya melanjutkan perintahnya, "Borgol orang ini dan gusur dia ke penjara!"

Waktu itu sang wanita sudah muncul kembali, mendengar perintah itu segera ia dan sang kakek segera menjatuhkan diri berlutut.

Sementara itu kedua orang opas tadi sudah mulai memukul dan menghajar lelaki itu.

"Seng-siu!" ujar sang Suya sambil tertawa, "makin tua nampaknya kau makin bodoh, masa apa yang menjadi keinginan Ong-suya juga tidak kau pahami”

Dia segera mengangkat bahunya seolah urusan itu tak ada hubungan dengan dirinya, lalu sambil mengawasi opasnya yang sedang menghajar lelaki itu, ia menambahkan, "Kau bisa menyelamatkan putramu tapi tak bisa menyelamatkan menantumu!"

Bicara sampai di situ Ong Mia-kun, Ong Suya mulai tertawa kegirangan, "Waah, perempuan ini putih mulus, lembut bagai sekuntum bunga yang baru mekar, sama sekali tak kelihatan kasar macam perempuan dusun, tampaknya aku segera akan menikmati kehangatan tubuhnya yang bahenol”

Mendadak dua orang manusia telah muncul di depan mata.

Kemunculan kedua orang itu sangat tiba-tiba dan sama sekali tak menimbulkan suara, seketika hatinya terkejut. "He, apakah kalian petugas keamanan?" terdengar sang pemuda menegur sambil menatapnya tajam.

Ong-suya segera teringat posisinya sebagai seorang Suya di wilayah itu, tiada alasan baginya untuk takut menghadapi dua orang tamu asing.

"Manusia busuk darimana kau ini?" tegurnya sambil membusungkan dada, diam-diam ia memberi kode agar kedua orang opas itu maju mendekat.

"Aku pun petugas yang makan nasi negara!" kata Leng-hiat kemudian.

Melihat sang opas sudah berada di sisinya, Suya itu bertambah berani, dia tertawa sinis, "Ooh, kau pun petugas negara? Hmmm, yang kau makan justru muntahanku, manusia macam kau pun ingin sejajar dengan posisiku!"

"Justru karena dalam pemerintahan terdapat manusia macam kalian, maka rakyat jadi hidup sengsara, tertindas, banyak yang mati kelaparan."

"Sialan! Maknya! Kau tahu, aku adalah Suya kesayangan Lu-thayjin, aku ingin berbuat apa, itu hakku dan sesukaku, kau tak usah mencampuri urusanku."

Leng-hiat menggelengkan kepala berulang kali, "Aku tak ingin membunuhmu!"

Sementara sang Suya melengak, opas yang kurus sudah mengepal tinjunya sambil maju ke depan.

"Apa katamu?"

Opas yang bertubuh kekar pun ikut menghampiri sambil bersiap menghajar musuhnya.

Leng-hiat tetap menggelengkan kepala berulang kait "Sebetulnya aku tak ingin membunuhmu!" Habis berkata, opas kurus itu hanya melihat cahaya petir menyambar lewat, tahu-tahu sebuah serangan sudah mengancam kening Suya itu.

Jika dilihat dari situasi saat itu, jelas sang Suya bakal mampus, tapi si kakek yang berada di sisi arena tiba-tiba mengayunkan tangannya.

Tiga kali cahaya pedang berkelebat, tiga kali kakek itu mengayunkan tangannya.

Opas kurus yang berada di tengah arena hanya berdiri melongo, ia dapat melihat Leng-hiat telah melancarkan tusukan, tapi dia merasa tak mampu menghadapinya, menghindar pun tak sanggup, bahkan hingga sekarang dia masih belum sempat melihat dengan jelas cahaya dingin itu sebetulnya cahaya pedang atau cahaya petir, tusukan itu ditujukan kepadanya atau sedang menusuk sang Suya?

Tapi Leng-hiat Sahu dengan jelas, andaikata si kakek tidak menyambut ketiga tusukan pedangnya, paling tidak Suya itu sudah mampus sembilan kali.

"Kenapa kau tidak membiarkan aku membunuhnya?" tanya Leng-hiat sambil menarik kembali pedangnya.

Kakek itu menggeleng, seakan gelengan kepalanya bukan tertuju pada satu orang melainkan menggeleng untuk seluruh umat manusia di dunia ini. "Dosa kesalahannya belum cukup dijatuhi hukuman mati," katanya.

"Hmm! Manusia macam dia hanya menindas rakyat, menyengsarakan orang banyak, apakah perbuatan semacam ini tidak pantas untuk dihukum mati? Orang ini bernama Ong Mia-kun, dialah salah satu orang yang mengkhianati Pek-hoat- huang-jin (manusia latah berambut putih) di masa lalu hingga membuat Ni Jian-ciu nyaris terjerumus ke jalan sesat, apakah manusia semacam inipun tidak pantas untuk dibunuh?" Kakek itu menghela napas panjang, "Sekalipun harus dihukum mati, kita mesti menunggu keputusan dari atasan atau paling tidak aturan hukum mesti dilaksanakan. Kau maupun aku tak lebih hanya seorang opas, tidak berhak menentukan mati hidup orang, kalau tidak, kita sama saja akan dikenai hukuman karena perbuatan itu."

Berkilat sepasang mata Leng-hiat, kali ini dia tidak bicara lagi.

Suya itu segera tahu kalau kedua orang itu mempunyai asal-usul yang luar biasa, apalagi bisa mengenali identitasnya secara tepat, segera dia mengeluarkan jurus andalannya sebagai seorang Suya, serunya cepat, "Saudara berdua, kalau tidak berkelahi maka tak akan saling mengenal, air bah menerjang di kuil raja naga, rupanya kita berasal satu aliran, lebih baik

"Percuma," tukas kakek itu cepat, "dia tak bakalan menerima caramu itu."

"Jadi Toako ini adalah ” dengan sangat hati-hati Suya itu

mencari tahu.

"Dia adalah salah satu anggota empat opas kenamaan di kolong langit, orang menyebutnya Leng Ling-ci, julukannya adalah Leng-hiat, si Darah dingin."

Hampir saja Suya itu jatuh semaput saking kagetnya. Kedua orang opas itu tidak menunjukkan sikap kaget,

karena mereka memang tak pernah mendengar nama itu, tapi melihat paras muka Suya mereka berubah pucat bagai kertas, mereka segera sadar kalau kedua orang itu punya asal-usul yang luar biasa, karena itu sikap mereka pun berubah sangat menaruh hormat.

Di dalam keputus asaan, tiba-tiba Suya itu teringat di hadapannya masih hadir seorang kakek yang tampaknya berulang kali telah menyelamatkan jiwanya, segera dia memohon dengan penuh belas kasihan, "Toaya, tolong katakan bebeberapa patah kata, mohon ... Leng-ya sudi memaafkan kami kali ini saja ... padahal kami pun hanya menjalankan tugas!"

Kakek itu menggeleng berulang kali. "Memaksa rakyat untuk membayar pajak yang bukan menjadi bebannya, memanfaatkan jabatan untuk berbuat cabul, itukah yang kau maksud sebagai urusan dinas? Kau telah melanggar hukum, siapa pun tak akan mengampuni jiwamu."

Tampaknya Suya itu tak mau menyerah, kembali dia merengek, "Tolonglah berbuat kebajikan ... aku pasti tak akan melupakan budi kebaikanmu”

"Percuma saja kau memohon kepadanya," tiba-tiba Leng- hiat berkata, "dia... dia tak bakal menyanggupi permintaanmu."

"Siapa pula dia itu?" tanya opas bertubuh kekar itu dengan suara lantang.

"Siapakah dia?" Leng-hiat tertawa dingin, "dialah nenek moyangmu, dialah orang paling berkuasa, raja diraja kaum opas, si Raja opas Li Hian-ih!"

oooOOOooo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar