Misteri Lukisan Tengkorak Bab 20 : Tukang Perahu Di Sungai A-kong

20. Tukang Perahu Di Sungai A-kong.

Sambil memperhatikan bayangan punggung Ikan rebus yang lenyap di balik pintu, Yan Yu-gi tertawa cabul, mendadak ia berkerut kening kemudian mulai merintih.

"Kenapa kau?" Yan Yu-sim segera menegur.

Seakan menahan rasa sakit sahut Yan Yu-gi, "Aku akan masuk ke kamar untuk bersemedi sebentar, bagaimana kalau kau yang menjaga mereka?"

Yan Yu-sim manggut-manggut, maka Yan Yu-gi pun segera masuk ke ruang belakang. Lampu minyak yang menerangi dalam rumah semakin redup, tampaknya minyak bakar sudah mendekati habis.

Baru saja Yan Yu-sim hendak menambah minyak lampu, tapi dia pun tak tahu dimana minyak disimpan, mendadak terdengar Ting Tong-ih memanggilnya dengan lirih, "Kau, kemarilah sebentar!"

Begitu membalikkan badan, dia pun menyaksikan gadis itu.

Cahaya lentera semakin redup, kulit tubuh Ting Tong-ih nampak jauh lebih pucat, tapi sepasang pipinya justru kelihatan bersemu merah.

Kulit tubuhnya yang putih bersih tampak dari bawah telinga hingga mencapai tengkuk, lalu dari tengkuk memanjang hingga ke dadanya yang sedikit tersingkap, satu pemandangan yang mendebarkan sukma.

Yan Yu-sim hanya melirik sekejap, tapi gejolak perasaannya berkobar, ingin dia memeluk perempuan itu, membuka bajunya dan memegang sepasang payudaranya....

Akhirnya setelah menarik napas panjang ia menuding ke arah ujung hidung sendiri.

Ting Tong-ih manggut-manggut membenarkan. Tak sempat menyulut lampu lagi Yan Yu-sim maju menghampiri.

"Lepaskan aku!" bisik Ting Tong-ih kemudian sambil mengerling sekejap ke arahnya.

Yan Yu-sim berpikir sebentar, kemudian menggerakkan kedua jari tangannya seakan hendak membebaskan Ting Tong-ih dari totokan.

Tiba-tiba angin tajam berkelebat, bukan Ting Tong-ih yang dibebaskan pengaruh totokannya, ia justru menotok dulu beberapa buah jalan darah di tubuh Ko Hong-liang serta Tong Keng. Totokan itu bukan saja membuat kedua orang ini tak mampu bersuara, bahkan sama sekali kehilangan kesadaran.

"Apa maksudmu berbuat begitu?" Ting Tong-ih segera menegur dengan marah.

"Bukankah kau minta aku membebaskan pengaruh totokanmu?" ujar Yan Yu-sim, kemudian tanyanya lagi, "kau bukan minta padaku untuk membebaskan mereka bukan?"

Paras muka Ting Tong-ih sedikit berubah, tapi kemudian sahutnya sambil tertawa, "Tentu saja bukan minta kau membebaskan mereka."

Gadis ini memang berparas cantik, bertubuh ramping, apalagi bibirnya yang kecil mungil dan merah merekah.

Yan Yu-sim yang mengendus bau harum tubuhnya seketika merasa jantungnya berdebar keras, sampai lama kemudian baru ia berkata, "Setelah kupikir-pikir, rasanya aku tak akan berani membebaskan dirimu."

"Kenapa?"

"Aku pikir seandainya kau kubebaskan lalu tiba-tiba menyerangku atau melarikan diri, apa yang mesti kuperbuat?"

"Dasar rase tua!" umpat Ting Tong-ih dalam hati, tapi sahutnya sambil tertawa lembut, "Tolol! Memangnya kenapa aku mesti kabur!"

Kembali Yan Yu-sim termenung.

Cahaya lampu makin lama semakin redup, di balik kegelapan yang mencekam ia merasa daya tarik yang terpancar dari tubuh Ting Tong-ih makin lama semakin kuat, semakin membuat jantungnya berdebar keras.

Lama, lama sekali, akhirnya dia berkata, "Nona Ting, padahal dulu kau pernah bertemu aku, cuma saja kau tidak mengetahuinya." Angin dingin yang berhembus membuat suasana dalam ruangan makin membeku, cahaya lentera yang bergoyang membuat bebeberapa mayat yang terkapar dalam ruangan nampak semakin menggidikkan hati.

Terdengar Yan Yu-sim berkata lebih jauh, "Sebenarnya keluarga Yan di kota Seng-ciu merupakan keluarga persilatan yang termashur dalam dunia persilatan, tapi ayahku Yan Tay- yok memaki kami berdua sebagai orang dengan watak labil, bukan saja tidak mewariskan ilmu pukulan mayat hidupnya kepada kami, bahkan setelah mengusir kami dari keluarga besar, dia malah lebih mempercayai adik misan kami Yan Lan."

Ting Tong-ih tidak mengerti apa maksud Yan Yu-sim menceritakan kisah asal-usulnya ini, tapi dia cukup tahu kalau orang ini setengah sinting, marah senang sesuka hatinya bahkan merupakan seorang tokoh yang menakutkan, terpaksa ia mendengarkan dengan sabar. 

"Setelah meninggalkan benteng keluarga Yan, kami banyak menyalahi orang sehingga bebeberapa kali dikejar orang hingga nyaris mati terbunuh, maklum waktu itu kepandaian silat yang kami miliki sangat cetek, akhirnya kami pun hidup menggelandang dalam dunia luas. Satu hal yang beruntung adalah di saat akan kabur, kami sempat mencuri kitab pusaka keluarga yaitu kitab ilmu pukulan mayat hidup. Sambil melarikan diri, kami berlatih terus dengan tekunnya, kami bersumpah bila suatu saat berhasil meyakini kungfu tinggi maka semua dendam sakit hati ini akan kami balas."

Diam-diam Ting Tong-ih tertawa dingin, pikirnya, "Tak nyana dua bersaudara ini mencuri kitab pusaka lebih dulu sebelum kabur dari benteng keluarga Yan, bukan saja mereka telah mengkhianati leluhur sendiri, bahkan masih berniat membalas dendam, tak heran banyak orang memandang hina mereka berdua." "Tapi musuh kami terlalu banyak, bahkan berusaha menelusuri jejak kami kemana pun juga, terpaksa sebelum kepandaian silat berhasil diyakini, kami pun merahasiakan identitas dengan hidup menyamar sebagai rakyat biasa. Waktu itu aku pun bekerja menjadi seorang tukang perahu di sungai A-kong. Nona Ting, kau masih ingat dengan arus deras di sungai A-kong?"

Ting Tong-ih tertegun, "Sungai A-kong? Rasanya memang ada nama sungai semacam itu?"

Tapi untuk sesaat dia tak bisa mengingat kembali kejadian itu, dia pun tak ingat peristiwa apa yang pernah terjadi di situ, maka sembari berpikir dia manggut-manggut berulang kali.

Yan Yu-sim nampak gembira sekali, teriaknya kegirangan, "Jadi kau sudah ingat? Saat itu aku bersama beberapa orang tukang perahu sedang mendayung rakit di sungai A-kong, kami memang khusus melayani orang yang mau menyeberang. Kalau tidak salah hari itu adalah hari Pekcun, masih ingat? Kau bersama orang she Kwan dan tiga empat orang lelaki kekar hendak menyeberangi sungai”

Sekarang Ting Tong-ih teringat kembali, peristiwa itu berjadi pada suatu siang sepuluh tahun berselang, waktu itu dirinya masih seorang bocah cilik ... saat itu matahari bersinar terik.

Berpikir sampai di situ, tanpa terasa Ting Tong-ih merasa wajahnya berkilauan, tubuh pun terasa panas sekali....

Dia adalah anak gadis seorang hartawan, tidak mengerti urusan dunia persilatan, tidak mengenal dendam sakit hati.

Saat itu Kwan Hui-tok dengan membawa tujuh delapan orang menyerbu ke dalam rumahnya dan menculik dirinya.

Melihat sekawanan lelaki kekar berwajah kasar melarikan dirinya, ia terkejut bercampur ketakutan, ketika Kwan Hui-tok melihat dia mulai menangis, maka dengan suara lembut katanya, ia bukan datang untuk mencelakai dia, tapi lantaran ayahnya pernah menodai ibunya, bahkan membuat ayahnya bunuh diri, maka ia khusus datang untuk balas dendam.

Pada mulanya Ting Tong-ih merasa ketakutan, tapi setelah dibujuk dan dihibur dengan kata-kata lembut, entah mengapa rasa takutnya hilang seketika.

Dia minta kepada Kwan Hui-tok jangan melukai ayahnya, tapi lelaki itu diam saja bahkan melamun. Dalam suasana begitulah mereka lewatkan malam itu.

Hari kedua, Ting Soat-khi, yaitu ayah Ting Tong-ih, mengirim pasukan untuk mengepung mereka, ketika Kwan Hui-tok berusaha meloloskan diri dari kepungan, ternyata para pasukan itu berusaha juga menghabisi nyawa Ting Tong-ih.

Dengan akibat menderita luka bacokan di sebelas tempat, akhirnya Kwan Hui-tok bersama anak buahnya mati-matian melindungi keselamatan jiwanya bahkan berhasil memukul mundur pasukan lawan.

Pada mulanya Ting Tong-ih mengira ayahnya berniat membunuhnya karena menyangka dia sudah dinodai musuh, maka dia pun memohon kepada Kwan Hui-tok agar mengizinkan dia pulang.

Karena menguatirkan keselamatan jiwanya, Kwan Hui-tok memutuskan untuk mengantar sendiri Ting Tong-ih pulang ke rumahnya.

Saat itulah tanpa sengaja mereka telah mendengar pembicaraan antara Ting Soat-khi dengan istrinya.

Ternyata Ting-hujin pun wanita yang dilarikan Ting Soat- khi. ayah kandung Ting Tong-ih, Ting Lan-lim tewas dibantai Ting Soat-khi, kemudian ia memaksa Ting-hujin untuk kawin dengannya.

Karena kuatir putrinya dibunuh, akhirnya Ting-hujin dengan membawa serta putrinya menjadi istri Ting Soat-khi. Saat mereka berdua tiba di depan rumah itulah Ting-hujin sedang merengek kepada Ting Soat-khi agar jangan membunuh Ting Tong-ih, tapi dengan alasan Ting Tong-ih telah dinodai para bandit, ia tak ingin kejadian itu menjadi bahan tertawaan rekan-rekan pejabat.

Ting Tong-ih tak kuasa menahan diri, dia pun mencaci-maki Ting Soat-khi habis-habisan.

Lantaran malu Ting Soat-khi menjadi naik pitam, ia segera menitahkan para jagonya untuk mengepung Kwan Hui-tok.

Waktu itu kungfu yang dimiliki Kwan Hui-tok tidak terlampau hebat, sementara Ting Tong-ih pun belum mengerti silat, ketika Ting-hujin berusaha mencegah suaminya berbuat jahat, akibatnya dia malah mati terbunuh.

Peristiwa ini membuat Kwan Hui-tok naik pitam, dalam pertarungan yang tak berimbang itu ia berhasil menghabisi nyawa Ting Soat-khi. Untung saudara-saudara Kwan Hui-tok tiba tepat waktu, mereka berhasil menyelamatkan Kwan Hui- tok dan Ting Tong-ih dari kematian.

Berhubung Ting Soat-khi adalah seorang pejabat, maka peristiwa berdarah itu menjadi kejadian yang menghebohkan, perintah penangkapan disebarkan, mereka pun menjadi buronan negara.

Karena menjadi yatim piatu, Ting Tong-ih pun memutuskan untuk turut bergabung dengan Kwan Hui-tok dan ikut mengembara dalam dunia persilatan.

Pada mulanya Kwan Hui-tok tidak setuju, dia mengejek Ting Tong-ih yang dikatakan tak akan tahan hidup mengembara, akan tetapi hati kecilnya merasa berat untuk berpisah dengan gadis itu, akhirnya permintaan itupun dikabulkan.

Suatu sore mereka tiba di sungai A-kong, saat itu pasukan pemerintah sudah hampir mencapai belakang mereka, sementara Kwan Hui-tok pun tak mengerti cara berenang, maka ia perintahkan tukang perahu untuk mengangkut dulu Ting Tong-ih menyeberangi sungai.

Untuk memudahkan perjalanan, di samping untuk mengelabui pengawasan para opas, Ting Tong-ih menyamar menjadi seorang pria dengan mengenakan topi lebar yang nyaris menutupi seluruh wajahnya, dengan dandanan ini siapa pun tak akan tahu kalau dia adalah seorang gadis.

Di musim gugur arus sungai A-kong sangat deras, mereka harus menggunakan sampan untuk menyeberanginya, tapi ketika tiba musim dingin, di saat air sangat cetek, biasanya tukang perahu yang berpengalaman akan membopong tamunya untuk menyeberang.

Karena waktu itu Kwan Hui-tok sedang dikejar para prajurit, kawanan tukang perahu itu tak berani membopong mereka menyeberangi sungai.

Dalam cemas dan gusarnya Kwan Hui-tok segera mencengkeram seorang tukang perahu seraya membentak gusar, "Kau bersedia membopong tidak?"

Tukang perahu itu tidak menjawab. Ting Tong-ih kuatir Kwan Hui-tok membuat gusar tukang perahu itu, maka segera dia memegangi bahu rekannya itu seraya berkata, "Toako, biar aku mengadu jiwa bersamamu di tempat ini."

Saat itu angin amat deras, tapi peluh sebesar kedelai telah membasahi jidat Kwan Hui-tok, dengan jengkel ia mendepakkan kakinya berulang kali seraya berseru, "Kau tak pandai silat, mana mungkin...”

Pada saat itulah tiba-tiba tukang perahu itu berseru, "Biar aku bopong dia menyeberangi sungai."

Sebetulnya Ting Tong-ih ingin mendampingi Kwan Hui-tok bertempur, terdengar tukang perahu itu berkata lagi, "Lebih baik kau menyeberang dulu, dengan begitu baru ia bisa berkonsentrasi melawan musuh."

Akhirnya sambil menggigit bibir Ting Tong-ih menyeberang dulu.

Arus sungai waktu itu sangat deras, tapi dengan mantap tukang perahu itu membawanya hingga mencapai tepi seberang, dia tiba di seberang dengan aman, Kwan Hui-tok pun bisa memusatkan perhatiannya untuk bertarung.

Tak disangka peristiwa yang telah berlalu hampir sepuluh tahun lamanya kini disinggung kembali oleh Yan Yu-sim, yang lebih tak disangka adalah tukang perahu yang pernah membopongnya menyeberangi sungai waktu itu ternyata bukan lain adalah Yan Yu-sim.

"Jadi tukang perahu itu adalah kau?" seru Ting Tong-ih tertegun.

"Betul, memang aku," jawab Yan Yu-sim dengan mata berbinar, "waktu itu aku pun sedang menghindari pengejaran musuh tangguh sehingga harus menyamar menjadi tukang perahu. Tapi terus terang saja, meski penyaruanku bakal terbongkar pun aku tetap akan membantumu menyeberang."

Kemudian dengan sorot mata yang lebih lembut daripada penampilannya di hari biasa, ia berkata lagi, "Saat itu, kau mengenakan topi lebar yang nyaris menutupi seluruh wajahmu, yang kelihatan hanya dagumu yang mungil, ketika kau sedang berbicara, aku dapat mengendus bau tubuhmu yang harum, kemudian sewaktu melihat lenganmu yang muncul dari balik baju begitu halus dan putih, aku segera tahu kalau kau adalah seorang wanita yang sedang menyaru."

Menggunakan kesempatan itu Yan Yu-sim maju selangkah, tanpa sadar Ting Tong-ih menyurut ke belakang, tapi lantaran jalan darahnya tertotok, hanya sepasang matanya yang berkedip, sementara tubuhnya tak mampu bergerak. Terdengar Yan Yu-sim berkata lagi, "Nona Ting, maafkan aku, padahal waktu itu aku sudah tahu kalau kau adalah seorang wanita, saat itu arus sungai sangat deras, air telah membasahi kakimu, aku pun dapat melihat gaunmu basah, kakimu ikut terendam, karena kuatir kau terjatuh maka aku memegangi kakimu. Kemudian aku tak kuasa menahan diri. dengan janggutku kutusuk kakimu, tapi kau sama sekali tidak menampik, aku hanya merasa belakang kepalaku sangat hangat, setiap kakiku melangkah maju, air sungai terasa makin panas, aku merasa seakan-akan terjerumus ke dalam kubangan yang sangat dalam."

Ting Tong-ih masih teringat semua kejadian yang dialaminya waktu itu, ia teringat betapa kuatnya arus sungai, dia pun melihat awan yang menyelimuti angkasa, tapi dia tak ambil peduli semua itu karena seluruh perhatiannya saat itu sedang tertuju pada pertempuran yang sedang berlangsung di tepi sungai.

Dia pun merasa gaunnya basah, tapi dia tak ambil peduli, dia juga merasa kakinya panas, tapi ia tak berminat menengoknya.

Dia tak menyangka kalau kejadian yang sebenarnya saat itu ternyata begitu.

Waktu itu Ting Tong-ih baru saja hidup berkelana, ia belum mengerti ilmu silat.

Waktu itu Kwan Hui-tok baru memimpin seribu orang anak buah, baru saja memperoleh sedikit nama besar.

Sementara saat itu Yan Yu-sim dan Yan Yu-gi pun belum berhasil mempelajari ilmu pukulan mayat hidup yang ganas dan mematikan.

Yan Yu-sim mempunyai watak yang jauh berbeda dengan Yan Yu-gi, kalau Yan Yu-gi cabul dan suka memperkosa, sebaliknya Yan Yu-sim meski suka perempuan namun belum pernah melakukan perbuatan cabul apalagi memperkosa. Saat dia menggendong Ting Tong-ih menyeberangi sungai waktu itu dia pun merasa sangat terangsang, apalagi ketika melihat pahanya yang basah, pinggangnya yang ramping, tapi dia berkeras mempertahankan godaan perasaannya, dia hanya berjalan dan berjalan terus menyeberangi sungai.

Akhirnya ia berhasil mencapai tepi seberang dan menurunkannya ke daratan.

Ketika hembusan angin menyingkap gaunnya, ketika sinar matahari menyinari paha putihnya, Yan Yu-sim hanya berdiri sambil termangu.

Waktu itu berbagai ingatan sudah berkecamuk dalam benaknya, beberapa kali dia ingin nekad melarikan perempuan itu, tapi dia pun kuatir perbuatannya justru menimbulkan rasa benci si nona terhadap dirinya.

Sementara ia sangsi, tiba-tiba terlihat Ting Tong-ih sudah bersorak-sorai sambil berteriak kegirangan, "Kwan-toako, Kwan-toako”

Ternyata pertarungan di tepi seberang telah berakhir.

Waktu itu Kwan Hui-tok sedang menyeberangi sungai.

Yan Yu-sim tahu bahwa dia tak punya harapan, sebab dia sadar kungfunya bukan tandingan lawan.

Tapi dia masih berusaha mengintip tubuh Ting Tong-ih yang montok, sambil menggigit bibir dan mengepal tinjunya ia berpikir, "Suatu hari nanti aku harus mendapatkan dirimu, suatu hari nanti aku harus mendapatkan kau."

ooOOOoo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar