Misteri Lukisan Tengkorak Bab 13 : Raja Opas

13. Raja Opas.

"Mengapa kau bergabung dengan perkumpulan Bu-su-bun?

Mengapa kau menolong kami? Sebetulnya kau ingin mencelakai kami atau menolong kami? Atas dasar apa kau mengatakan bahwa kami tak bersalah, difitnah orang, dijadikan kambing hitam? Kalau memang tahu kami tak bersalah, mengapa kau biarkan Kwan-toako mati mengenaskan? Mengapa kau biarkan perkumpulan Bu-su-bun dimusnahkan orang? Sebenarnya apa tujuanmu? Mau apa kau datang kemari? Apa lagi yang akan kau lakukan?"

Serangkaian pertanyaan diajukan Ting Tong-ih bagai berondongan senapan mesin.

Semua orang segera berpaling, sama-sama menengok ke wajah Leng-hiat dan menanti jawabannya.

"Kita harus segera berangkat meninggalkan tempat ini," jawab Leng-hiat, "lebih baik kita bicara sambil berjalan, kalau tidak, bila sampai pasukan pengejar tiba dan terkepung sekali lagi, mungkin tidak mudah untuk lolos dari kepungan."

Ting Tong-ih mengerling sekejap dengan sepasang matanya yang jeli. "Tapi ada satu hal mesti kau jawab terlebih dulu sebelum aku bersedia meninggalkan tempat ini," katanya.

Tentu saja perkataan Ting Tong-ih ini sangat masuk akal, sebab mau pergi atau tidak hanya masalah keselamatan dia bersama Ko Hong-liang dan Tong Keng, bagi Leng-hiat sendiri, pergi atau tidak sama sekali tak menjadi masalah.

Sekarang Ting Tong-ih berkeras memaksanya untuk menjawab dulu satu pertanyaan sebelum pergi, andaikata orang lain yang mengucapkan perkataan itu, orang pasti akan menuduhnya mencari menang sendiri, berbeda ketika Ting Tong-ih yang mengatakan, gayanya seperti seorang kakak yang sedang menggoda adiknya.

"Apakah kau takut terhadap seseorang?" ia bertanya.

Tiba-tiba mencorong sinar tajam dari balik mata Leng-hiat, tapi dia tidak menjawab.

"Sebenarnya siapa yang kau takuti?" kembali gadis itu mendesak.

Leng-hiat menarik kembali sorot matanya sambil berkerut kening, sampai lama kemudian baru ia menjawab, "Li Hian- ih!"

Walaupun tiga patah kata itu diucapkan dengan enteng, namun bagaikan tiga bongkah es yang membeku, serentak menghantam wajah Ting Tong-ih, Ko Hong-liang serta Tong Keng.

"Maksudmu si Opas sakti Li Hian-ih ...!" pekik Ko Hong- liang kaget.

"Dia bukan opas sakti," Leng-hiat menggeleng, "opas sakti adalah Liu Ce-in, sementara dia adalah raja di antara kawanan opas yang ada, kami menyebutnya sebagai si Raja opas”

Liu Ce-in adalah si opas sakti, tiga tahun lalu dalam kasus 'Tangan pembunuh', dia telah mati terbunuh karena telah melanggar hukum dan akhirnya tewas di ujung pedang Leng- hiat. (baca Pertemuan dikotaraja jilid-1, telah terbit).

Sebenarnya di dalam urutan empat opas, Leng-hiat selalu dianggap orang menempati urutan paling buncit karena tak pernah berkarya cemerlang, tapi setelah peristiwa itu, posisinya dalam urutan empat opas menjadi lebih cemerlang dan dikenal orang.

Terdengar Ting Tong-ih segera berkata, "Dulu si opas sakti Liu Ce-in pun tewas di tanganmu, apalagi sekarang hanya seorang Raja opas”

"Kepandaian silat yang dimiliki Raja opas luar biasa hebatnya," tukas Leng-hiat segera, "jangan kau bandingkan dengan kepandaian yang dimiliki Liu Ce-in, sekalipun dia tak pernah bersua denganku, tapi tujuh tahun berselang, berkat surat permohonannya kepada kaisar yang diusulkan dia bersama paman, kami berempat baru bisa diangkat menjadi opas yang memiliki wewenang bunuh dulu baru laporan menyusul”

Kemudian sambil mempertinggi nada suaranya, dia melanjutkan, "Dulu aku bunuh Liu Ce-in karena dia pura-pura berbuat baik, padahal telah menyalah gunakan wewenang dan kekuasaan, beda dengan Raja opas, dia adalah seorang opas hebat yang selalu setia pada jabatannya."

Kemudian dengan sorot mata berkilat terusnya, "Dahulu Cukat-sianseng selalu memberi wejangan kepada kami agar banyak belajar dari dua orang opas Cianpwe itu, yang satu adalah opas sakti Liu Tok-hong, sedang yang lain adalah si Raja opas Li Hian-ih”

"Aku tahu," sela Ting Tong-ih sambil tertawa, "kau takut kepada Li Hian-ih pertama karena dia adalah idolamu, kedua karena dia adalah Cianpwemu dan ketiga karena perbuatannya tak pernah tercela, ditambah kungfu yang dimilikinya sangat tangguh” "Ya, tangguhnya bukan kepalang!" Leng-hiat membenarkan.

"Kalau begitu pergilah dari sini."

"Kenapa aku harus pergi?" tanya Leng-hiat keheranan. "Sebab aku tak ingin kau menghadapi kesulitan gara-gara

urusan kami."

"Aku percaya semua masalah yang sulit pasti ada cara untuk mengatasinya."

"Tapi dia adalah Cianpwemu ” seru si nona.

"Dan kalian pun sahabatku!" tukas Leng-hiat.

Kemudian setelah berhenti sejenak, dengan wajah serius tambahnya, "Sejak dulu hingga sekarang, sudah banyak peristiwa mengenaskan yang terjadi gara-gara salah tuduh atau dijadikan kambing hitam orang, terlepas siapa pun yang dihadapi, aku tak ingin kejadian semacam ini berlanjut."

Ringkikan kuda kembali bergema membelah keheningan malam.

Angin malam pun masih berhembus kencang menggoyang pepohonan.

Ting Tong-ih tidak menanggapi perkataan Leng-hiat lagi, dia berpaling dan tanyanya pada Ko Hong-liang serta Tong Keng, "Kalian berencana pergi kemana?"

"Piaukiok!" sahut Ko Hong-liang berdua serentak.

"Tapi " Ting Tong-ih berkerut kening, "saat ini seluruh

opas dan petugas keamanan sedang menunggu kedatangan kalian di sana”

Ko Hong-liang menghela napas panjang. "Tapi bagaimanapun juga kami harus balik ke sana," sahutnya dengan kepala tertunduk. "Benar, kami harus kembali ke sana," sambung Tong Keng sambil menganggukkan kepalanya.

Leng-hiat sama sekali tidak bertanya, dia hanya menjawab, "Baik!"

Balik ke perusahaan ekspedisi Sin-wi-piau-kiok tak ubahnya seperti tahu di atas gunung ada harimau, justru berjalan ke arah sang harimau'.

Sin-wi-piau-kiok adalah perusahaan yang sudah disegel atas perintah penguasa karesidenan Cing-thian-sian, sementara Congpiautau perusahaan ini, Ko Hong-liang, sudah ditetapkan sebagai buronan, apalagi kepala piausu si Nyali macan kumbang Tong Keng, dia sudah dituduh sebagai pembunuh yang harus diringkus hidup-hidup.

Ketika pasukan keamanan menggropyok markas besar mereka, Ting Tong-ih dan Tong Keng sekalian berhasil melarikan diri, pihak keamanan pasti curiga mereka akan balik ke markas besarnya di perusahaan Sin-wi-piau-kiok, berarti perjalanan mereka menuju ke sana lebih banyak bahayanya daripada selamat.

Tapi sekarang Ko Hong-liang dan Tong Keng berkeras akan mengunjungi tempat itu, jelas keselamatan mereka menjadi taruhan.

Ko Hong-liang sendiri pun tahu, Leng-hiat dan Ting Tong-ih yang ikut bersamanya boleh dibilang pergi untuk mengantar kematian, oleh sebab itu sepanjang jalan mau tak mau dia harus menjelaskan, "Aku harus bisa pulang ke sana, biar hanya satu kali."

"Semenjak barang kawalan kami dirampok, berulang kami berusaha pulang ke rumah, tapi pihak pemerintah tanpa kompromi telah menyegel perusahaan piaukiok, mengirim pasukan keamanan untuk menjaga dan menempel lukisan wajahku di setiap sudut kota dengan perintah penangkapan, beberapa kali aku berniat menyerahkan diri kepada pihak berwenang, tapi dari cerita beberapa saudara yang berhasil lolos dari peristiwa itu, katanya sekali ditangkap maka tanpa diperiksa lagi langsung disiksa hidup-hidup atau dijatuhi hukuman mati, maka aku pun selalu bersembunyi di seputar penjara sambil menunggu, tak bisa pulang juga tak berani sembarangan bergerak."

"Kemudian aku dengar terjadi kebakaran hebat dalam penjara, lalu terdengar ada kehebohan di situ, maka aku pun secara diam-diam menyusup keluar untuk melihat keadaan, saat itulah kusaksikan nona Ting dan saudara Tong sedang menyerbu keluar kepungan, begitu bertemu nona Ting, aku lantas teringat akan kejadian Kwan Hui-tok, Kwan-toako yang belakangan terjerumus juga dalam penjara, aku segera tahu kalau sobat-sobat dari perkumpulan Bu-su-bun sudah melakukan pergerakan."

"Dalam organisasi Bu-su-bun, aku mempunyai seorang sahabat yaitu Wan Hui, ketika aku berniat mendatangi Kiok- hong-wan untuk mencari berita Wan Hui tentang kabar saudara Tong, kebetulan berjumpa sekawanan pasukan pemerintah sedang membasmi para sahabat dari Bu-su-bun, aku pun sadar bahwa di Kiok-hong-wan telah terjadi sesuatu, maka aku segera menyusul ke sana”

Kejadian selanjutnya, Ko Hong-liang berhasil merobohkan seorang prajurit, mengenakan pakaian seragamnya lalu dengan mengenakan kerudung wajah ia menyelamatkan jiwa Tong Keng.

"Sejak peristiwa itu aku tak pernah balik ke piaukiok, kali ini seandainya berhasil mengunjungi tempat itupun mungkin sepuluh tahun kemudian baru ada kesempatan pulang lagi ke situ, aku tak tahu hingga kapan sakit hati ini baru terbalas dan fitnahan ini baru bisa dicuci bersih, aku bisa membayangkan betapa sedihnya anak istriku, itulah sebabnya aku harus bertemu mereka, paling tidak harus kusampaikan beberapa pesan sebelum pergi meninggalkan mereka." Empat manusia dengan empat ekor kuda pun melakukan perjalanan cepat.

Menjelang fajar, mereka beristirahat sejenak di sebuah tempat pemberhentian.

Angin fajar yang dingin berhembus kencang mengibarkan ujung baju.

Dengan termangu Tong Keng duduk beristirahat di sisi sebatang pohon, dengan tinjunya dia menghantam batang pohon itu berulang kali.

Leng-hiat berdiri di sisi kudanya, sambil menggendong tangan mengawasi kabut pagi yang bergerak tak menentu.

Ting Tong-ih sendiri pun berdiri termangu sambil mengawasi tusuk konde emasnya, sesaat kemudian baru ia berjalan menghampiri Ko Hong-liang yang masih melamun, katanya, "Padahal kepergian kita kali ini mungkin hanya sebuah perpisahan sementara, bagaimanapun opas Leng sudah berada bersama kita, dia pasti bisa menyelesaikan persoalan yang menimpa kita sampai tuntas."

"Opas Leng sudah terlalu banyak membantu kita," sahut Ko Hong-liang sambil tertawa getir.

Tong Keng berpaling, dia hanya menyaksikan bayangan punggung Leng-hiat yang kekar bagai sebuah patung tembaga.

Saat itu Leng-hiat masih berdiri sambil menggendong tangan, namun kepalannya sudah digenggam dengan kencang.

Menyaksikan hal itu, tanpa terasa Tong Keng menegur, "Apa ... apa yang sedang kau pikirkan?"

Leng-hiat tidak langsung menjawab pertanyaan itu, setelah memandang sekejap awan yang menyelimuti permukaan tanah, ujarnya, "Hari hampir terang tanah." "Setelah terang tanah, kita bisa segera melanjutkan perjalanan," sambung Tong Keng sambil tertawa.

"Keliru," Leng-hiat menggeleng, "setelah terang tanah, Ni Jian-ciu akan mulai membunuh manusia."

Sekarang Tong Keng baru teringat ucapan Ni Jian-ciu menjelang pergi meninggalkan mereka, "Malam ini aku berjanji tak akan membunuh, tapi kemana pun mereka pergi, cepat atau lambat akhirnya pasti akan mati di tanganku."

Kepandaian silat yang dimiliki si Auman harimau di tengah malam Ni Jian-ciu memang luar biasa hebatnya, sedemikian hebat hingga Ko-kokcu sendiri pun tak mampu menandinginya.

Seandainya Kwan Hui-tok masih hidup, dapatkah dia menghadapi kehebatan kungfunya? Sayang Kwan-toako sudah menemui ajalnya, padahal dalam keadaan cacad pun dia masih mampu bertarung seimbang melawan kerubutan dua bersaudara Yan serta Gi Eng-si, hanya belum sempat ia bertarung melawan Ni Jian-ciu.

Bagaimana pula dengan kemampuan Leng-hiat? Sanggupkah opas kenamaan ini mengungguli kemampuan

Ni Jian-ciu?

Nama besar si Raja opas Li Hian-ih kelihatannya masih jauh di atas kepopuleran Leng-hiat, sampai dimanakah kehebatan ilmu silat yang dia miliki? Bagaimana pula dengan kemampuan Li Ok-lay, Li-thayjin, otak yang menciptakan semua pertikaian ini?

Dalam situasi yang kritis dan membahayakan keselamatan jiwanya, ternyata Tong Keng masih berminat memikirkan persoalan semacam itu, padahal dia disebut orang persilatan sebagai Nyali macan kumbang, bukan lantaran nyalinya saja yang besar, tapi lebih disebabkan semangatnya yang berprinsip 'biar langit ambruk pun aku akan menahannya', setiap saat dia selalu memiliki semangat untuk menyelesaikan setiap kesulitan yang sedang dihadapi dan memiliki kepercayaan tinggi untuk menghadapi setiap tantangan.

Biasanya orang yang tak takut jatuhlah yang akan menjadi manusia paling lama bertahan.

Dengan wajah tersenyum Leng-hiat mengawasinya, tampak lelaki ini berwajah penuh cambang, beralis tebal dengan mata yang besar, meski dia pernah masuk bui, terluka parah, dijadikan kambing hitam, menjadi buronan, bahkan kini sedang dikejar-kejar orang untuk dibunuh, mati hidupnya pada saat inipun masih menjadi tanda tanya, tapi dia masih bisa bicara gembira, berwajah penuh semangat, semuanya ini membuat salah satu dari empat opas kenamaan ini sangat mengagumi dan menyayanginya.

Maka dengan suara lembut ujarnya, "Mari kita bicarakan tentang dirimu, apakah kau sudah berkeluarga? Sekalipun masih bujangan, paling tidak kau mesti pulang ke rumah bukan?"

"Tentu saja aku harus pulang," jawab Tong Keng tetap bersemangat, "Sin-wi-piau-kiok adalah rumahku, ayahku dulu adalah pembantu utama ayah Kokcu sekarang, setelah ayah wafat, aku pun dipelihara dan dibesarkan Ko-lotoaya, ilmu silat juga kuperoleh atas petunjuk dan didikannya. Aku dibesarkan dalam perusahaan, semua wanita yang ada di sana adalah saudara perempuanku, semua lelaki yang ada di situ adalah saudara lakiku, kami semua hidup bersama bagaikan sebuah keluarga besar. Sepeninggal LoKokcu, Kokcu yang sekarang pun sangat baik kepadaku, memperlakukan aku bagai saudara sendiri, oleh sebab itu aku tetap harus pulang ke sana.

Setelah menarik napas panjang, katanya lebih lanjut, "Aku ingin pulang untuk menengok Sin-wi-piau-kiok, aku ingin berlutut dan berdoa di depan arwah LoKokcu, aku pun akan menyampaikan salam kepada si ketapel cilik dan Siau Sim, mungkin akan meninggalkannya untuk jangka waktu yang tak pasti”

Ketapel cilik adalah seorang rekan kerja Tong Keng yang paling cocok selama di perusahaan ekspedisi, belum pernah Tong Keng menganggapnya sebagai rekan kerja, tapi lebih menganggapnya sebagai saudara sendiri.

Sementara Siau Sim bernama lengkap Ko Siau-sim, dia adalah putri kesayangan Ko Hong-liang, selama ini Ko Hong- liang memandangnya bagai sebuah mestika.

Sejak kecil dia dibesarkan bersama Ko Siau-sim, boleh dibilang gadis itu sangat menyenangkan, Kokcu sendiri pun ada niat untuk menjodohkan putri kesayangannya ini kepadanya, sebaliknya Tong Keng sendiri amat suka dengan gadis itu, bahkan cenderung menyayanginya, tapi bukan sebagai seorang kekasih, melainkan hanya sebatas saudara sendiri, hanya sayang, orang lain tak bisa membedakan perasaan sayangnya itu sebagai cinta kekasih atau cinta sesama saudara.

Dalam hal ini sudah berulang kali Tong Keng menghela napas panjang.

Leng-hiat mengawasi wajah pemuda itu dengan termangu.

Sebuah wajah yang tampan tapi kini sudah dirusak oleh sebuah cap di atas wajahnya, tanda seorang narapidana.

Sebagai seorang pemuda yang ramah dan sangat setia kawan, bagaimana mungkin dia melakukan dosa dan kesalahan sebesar itu?

Kini siapa salah siapa benar masih belum jelas, mengapa keputusan salah sudah dijatuhkan kepadanya? Kenapa di atas keningnya sudah diberi cap sebagai pertanda seorang narapidana?

Dirinya sebagai opas apakah harus berpeluk tangan menghadapi kejadian seperti ini? Pantaskah dia mencampurinya? Bolehkah dia mencampurinya? Sanggupkah dia mencampurinya?

Atasan Li Ok-lay mempunyai pangkat dan posisi yang jauh lebih tinggi dari Cukat-sianseng, bukan saja memiliki kekuasaan atas prajurit, bahkan memiliki banyak sekali jago tangguh yang siap dan bersedia bekerja baginya. Dengan kekuasaan dan kekuatannya, dulu ia pernah menuduh Jian- liok-ong berkhianat, bahkan sempat mengirim tiga belas orang jago tangguh untuk membasmi seluruh keluarganya, sekarang bila dirinya demi beberapa orang rakyat kecil sampai memusuhinya, mungkinkah kejadian ini bisa berakibat bencana bagi Cukat-sianseng beserta ketiga orang saudaranya?

Tiba-tiba terdengar Ting Tong-ih berbisik lirih, "Hari sudah terang tanah!"

Fajar memang sudah mulai menyingsing, secercah sinar terang memancar keluar di ufuk timur.

Leng-hiat seakan terpaku di atas pelana kudanya, segera ia berseru, "Mari kita segera berangkat!"

Diiringi suara ringkikan panjang, bergeraklah keempat ekor kuda itu melanjutkan perjalanan.

Mereka harus melalui To-lan-kiau, menembus bukit Bwe- san kemudian mengitari sumber air panas Lo-un-jwan, satu setengah hari kemudian barulah tiba di kota Cing-thian-tin.

Biarpun Cing-thian-tin disebut sebuah kota, sesungguhnya tidak banyak penduduk kota itu, tapi berhubung tempat itu merupakan daerah strategis yang sejak dulu sudah menjadi daerah yang diperebutkan, tak heran perdagangan di situ amat maju, tanah pun amat subur sehingga hasil buminya berlimpah.

Kini Leng-hiat sekalian sudah berada dalam perjalanan menuju ke bukit Bwe-san, tapi berhubung di bukit itu terdapat markas prajurit, lagi pula merupakan urat nadi yang banyak dilalui orang, Leng-hiat lebih memilih mengitari bukit Cui-pin- san.

Sekalipun harus berjalan setengah hari lebih lambat, namun jalanan itu sepi dan jarang dilalui orang sehingga lebih mudah bagi mereka untuk menghindari pengejaran pasukan.

Dalam dua hari perjalanan mendatang, mungkinkah mereka dapat menghindari segala rintangan dan penghadangan?

Dapatkah mereka melalui perjalanan ini secara aman tenteram? Lalu bagaimana situasi setelah tiba di Cing-thian?

Kini mereka berempat sudah tiba di To-lan-kiau.

To-lan-kiau merupakan sebuah jembatan yang membelah sungai To-lan-si, merupakan jalan utama yang menghubungkan pusat kota Lam-tin.

Ketika tiba di seputar jembatan, waktu sudah menunjukkan tengah hari, banyak sekali manusia yang berlalu-lalang menyeberangi jembatan itu.

Di kedua sisi jembatan berjajar pedagang kaki lima yang menjajakan aneka macam barang, suasana amat ramai.

Empat ekor kuda tunggangan Leng-hiat sekalian sudah mulai menaiki jembatan.

Tong Keng dan Ting Tong-ih dengan wajah penuh senyum mengamati keramaian di seputar jembatan, sementara Ko Hong-liang menghela napas dalam hati, pikirnya, "Aaaai, andaikata aku tak bisa kemari lagi, entah sampai tahun kapan aku baru dapat menikmati lagi suasana riuh seperti ini?"

Berpikir sampai di sini tak kuasa lagi semangatnya makin tenggelam, sejak menjabat Congpiautau perusahaan ekspedisi Sin-wi-piau-kiok, belum pernah dia putus asa, dia tak pernah membayangkan kalau suatu ketika posisinya akan hancur berantakan seperti saat ini. Bukan saja nama besar rusak, usaha bangkrut, ditambah lagi anak buah bubar, keluarga tercerai-berai, baginya kejadian semacam ini tak pernah dibayangkan walau sekejap pun, tak disangka semua musibah ini justru harus dia alami, bukan saja tiada harapan lagi untuk bangkit kembali, bahkan nasibnya nyaris semakin terperosok ke lembah kehancuran.

Baru setelah berjumpa Leng-hiat, harapan mulai tumbuh kembali, paling tidak masih ada seorang petugas negara yang tahu kalau dia tak bersalah, dia hanya difitnah, hanya dijadikan kambing hitam.

Baru berpikir sampai di situ, mendadak terdengar seseorang membentak nyaring, "Berhenti!"

Sebetulnya ia tidak menggubris suara bentakan itu, tapi secara tiba-tiba kudanya berhenti seketika bahkan memperdengarkan suara ringkikan panjang.

Ketika ia menengok ke belakang, tampak olehnya Leng-hiat yang berada di belakangnya sedang mencengkeram ekor kudanya, cengkeraman itu membuat kudanya sama sekali tak mampu bergerak.

Dengan sorot mata yang lebih tajam dari sebilah pedang, Leng-hiat sedang mengawasi sebuah kurungan burung yang diletakkan di atas jembatan.

Di belakang kurungan burung itu berdiri seseorang.

Kurungan burung itu menutupi wajah orang itu, namun tak dapat menutupi sepasang matanya yang dingin dan tajam bagai mata golok.

Serentak mereka berempat menghentikan larinya kuda, tapi hanya Leng-hiat seorang yang melompat turun dari punggung kudanya.

Gayanya sewaktu turun dari kuda sangat aneh, seperti seseorang yang sedang menuruni anak tangga, sama sekali tak kelihatan kaku. Di tengah keramaian orang yang berlalu-lalang di atas jembatan, Leng-hiat mendekati kurungan burung itu.

Burung yang berada dalam sangkar itu segera beterbangan karena ketakutan.

"Rupanya kau telah datang!" tegur Leng-hiat dengan nada dingin.

"Sudah kukatakan, aku pasti akan kemari," jawab orang itu. "Mau apa kau?"

"Sama seperti yang lalu."

Mencorong sinar tajam dari balik mata Leng-hiat, sorot mata yang tajam membuat burung yang berada dalam sangkar semakin ketakutan.

"Kalau ingin membunuh mereka, bunuhlah aku lebih dulu," kata Leng-hiat ketus.

Sorot mata orang di belakang sangkar burung itu menyorot tajam, di balik pandangan yang dingin terbesit kebencian yang mendalam.

Pada saat itulah terdengar suara derap lari kuda yang ramai berkumandang semakin dekat, disusul suasana kalut karena kaburnya orang-orang yang berada di sekeliling situ.

ooOOOoo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar