Misteri Lukisan Tengkorak Bab 11 : Jangan Tanya Siapa Aku

11. Jangan Tanya Siapa Aku.

Di tengah suara pekikan amat nyaring, Ni Jian-ciu telah melancarkan serangannya.

Angin mulai menderu-deru. Rerumputan beterbangan, pohon pun bertumbangan.

Seketika itu juga Tong Keng merasa sepasang telinganya seolah dijirat oleh beribu helai jaring laba-laba yang mulai membetotnya, rasa sakit merasuk tulang sumsum, ditambah suara pekikan yang begitu keras membuat bola matanya penuh darah, isi perutnya bagai diobok-obok, sakitnya bukan kepalang. Kini Tong Keng sudah kehilangan kekuatan untuk melakukan perlawanan.

Dalam waktu singkat angin pukulan yang begitu dingin membeku, tanpa suara, tanpa perasaan, tanpa belas kasihan sudah makin menghimpit dadanya.

Orang yang melancarkan serangan seolah tak punya nyawa, orang yang menjadi sasaran pukulannya seakan tak ada harapan lagi untuk tetap bernyawa.

Cahaya pedang di tangan Ting Tong-ih menembusi lapisan angin mantelnya langsung menggorok leher Ni Jian-ciu.

Tiba-tiba Ni Jian-ciu miringkan kepalanya menghadap ke arah gadis itu, sambil bergerak, kembali dia berpekik nyaring, jauh lebih keras ketimbang pekikan tadi.

Gigi yang putih, lidah yang tajam, bibir yang merah, rambut yang hitam seolah bergabung dalam pekikan yang menusuk pendengaran, segulung aliran hawa serangan bagai pusingan ombak di samudra langsung menghajar mukanya.

Ting Tong-ih merasa sekeliling tubuhnya seakan tergulung di dalam aliran angin pukulan itu, mantelnya tergulung hingga berputar makin kencang, rubuhnya bagaikan sebatang pohon yang tercabut berikut akarnya terlempar ke tengah udara, menanti ia berhasil memaksakan diri berdiri tegak, pedangnya sudah terlepas dari genggaman dan menancap di pohon siong.

Pada saat bersamaan Ko Hong-liang mengayunkan goloknya membacok tubuh Ni Jian-ciu.

Begitu goloknya diayunkan ke depan, suara pekikan Ni Jian-ciu pun terputus di tengah jalan.

Suara pekikan yang menakutkan!

Dalam keadaan begini, Ni Jian-ciu hanya melakukan satu tindakan, mendadak dia mengambil buli-buli yang tergantung di pinggang kirinya, membuka penutupnya dan ... "Sreeet!", sekilas cahaya putih berkelebat.

Menyusul kemudian Ko Hong-liang merasakan tangannya menjadi enteng, ternyata goloknya sudah hancur, hancur menjadi beribu keping dan berserakan di tanah.

Sementara Ko Hong-liang masih terperangah, tubuh Ting Tong-ih sudah terpental oleh suara pekikan bergelombang itu, Ni Jian-ciu dengan tanpa belas kasihan langsung menghujamkan pukulannya ke atas dada Tong Keng.

Ternyata serangan gabungan tiga orang jagoan itu tak mampu menghadang sebuah pukulan yang dilancarkan Ni Jian-ciu.

Di saat kritis itulah sekonyong-konyong Tong Keng merasakan persendian tulang lutut kirinya kesemutan, kejadian itu berlangsung mendadak dan sama sekali di luar dugaan, tak ampun Tong Keng merasakan kakinya lemas dan dia pun jatuh berlutut.

Tapi justru lantaran dia berlutut, serangan yang dilancarkan Ni Jian-ciu menghantam tempat kosong, menyambar lewat hanya tiga inci di atas kepalanya.

Pukulan maut itu sama sekali tidak disertai angin serangan, juga tak ada hawa tekanan yang dahsyat, yang ada hanya kematian.

Dengan melesetnya pukulan itu, Tong Keng pun tak perlu kehilangan nyawa.

Tong Keng sendiri pun tidak habis mengerti bagaimana mungkin dia bisa lolos dari serangan maut itu.

Terkejut bercampur girang Ting Tong-ih dan Ko Hong-liang setelah menyaksikan kejadian ini, mereka pun merasa sedikit terperangah, karena mereka tak tahu apa sebabnya serangan maut itu bisa meleset menghantam tubuh Tong Keng. Kelihatannya Ni Jian-ciu sendiri pun dibuat tertegun, waktu itu telapak tangannya masih berada di atas kepala Tong Keng, asal dia mau menekan ke bawah, niscaya hantaman itu akan bersarang telak di ubun-ubun lawannya. Tong Keng pun mustahil bisa lolos dari kematian.

Namun Ni Jian-ciu tidak melakukan hal itu, sambil mendengus dingin serunya, "Nasibmu memang sedang mujur!" Perlahan-lahan dia menarik kembali telapak tangannya.

Dengan cepat Tong Keng melompat bangun, teriaknya, "Aku tidak bermaksud berlutut di hadapanmu, aku hanya...”

"Peduli apapun yang telah terjadi, kenyataan kau berhasil lolos dari seranganku," tukas Ni Jian-ciu dingin.

Tong Keng mencoba berpikir, namun tetap tak habis mengerti, dia tak tahu mengapa serangan itu bisa dihindari secara jitu, segera serunya, "Kalau gagal dengan serangan pertama, kau bisa mencoba serangan kedua."

Ni Jian-ciu tertawa dingin, tanpa menggubris pemuda itu lagi dia beranjak mendekati Ko Hong-liang.

Ko Hong-liang menghela napas panjang, katanya kemudian, "Tidak kusangka setelah berpisah selama sepuluh tahun, kau telah berhasil melatih ilmu Sam-po-hu-lu (tiga mestika buli-buli)!"

"Ilmu golokmu kelewat bagus, mau tak mau terpaksa aku harus menggunakan salah satu di antaranya," sahut Ni Jian- ciu.

"Tapi sekarang, golok pun tidak kumiliki," kata Ko Hong- liang sambil tertawa getir.

Sambil menunjuk ke tanah, tukas Ni Jian-ciu, "Kau toh masih memiliki rumput!" Ko Hong-liang termenung beberapa saat, kemudian baru katanya lagi, "Sejak awal peristiwa, sebetulnya kami hanya korban fitnah, apakah kau berkeras hendak membunuhku?"

"Semenjak terjadinya peristiwa ini, kalian sudah dipastikan harus mati," tukas Ni Jian-ciu tanpa perasaan, "asal kau bunuh diri, aku tak akan turun tangan."

"Baik, aku akan bunuh diri. Tapi bebaskan mereka berdua." "Aku tak pernah membunuh orang yang bisa lolos dari

pukulan mautku, sedang mengenai Ting Tong-ih, Lu-thayjin

telah berpesan agar menawannya hidup-hidup." "Baik!" seru Ko Hong-liang kemudian.

Sekali lagi rambut hitam Ni Jian-ciu bergelombang bagai riak ombak, dengan menggunakan nada yang paling rendah, lambat dan memilukan hati dia bertanya, "Sudah bisa dimulai?"

"Bisa!"

Tiba-tiba Ko Hong-liang membentak nyaring, dia melepas angkinnya kemudian digetarkan ke udara, angkin (ikat pinggang kain) itu ibarat sebilah golok panjang segera meluncur ke depan.

Sebilah golok panjang yang bisa mengenas, bisa pula lembek.

Golok panjang itu langsung diayunkan ke batok kepala Ni Jian-ciu, memenggalnya disertai desingan angin tajam.

Ni Jian-ciu sama sekali tidak menghindar, dia seolah tak sempat menghindarkan diri.

Dengan cepat Ko Hong-liang melancarkan bacokan kedua, kali inipun Ni Jian-ciu tidak melancarkan serangan balasan, dia seakan masih tak mampu membendung datangnya ancaman. Ko Hong-liang menarik napas panjang, kini dia melancarkan bacokan ketiga.

Ni Jian-ciu masih berdiri mematung, di bawah cahaya rembulan, di sisi pepohonan siong, rambut hitamnya berkibar bagai gelombang ombak, tubuhnya kaku bagai sebuah patung Beng-ong.

Setelah ketiga serangan bacokannya mengenai tempat kosong, Ko Hong-liang menarik kembali serangannya, membuang angkinnya ke tanah dan dengan napas tersengal ujarnya, "Bunuhlah aku"

"Kau masih ingin mencoba lagi?"

"Tak ada gunanya," Ko Hong-liang tertawa getir, "barusan kau telah menggunakan tanganmu membabat sebanyak tiga kali di atas mata golokku, meski dalam pandangan kami kau seakan sama sekali tak bergerak."

"Kecepatan yang sesungguhnya justru menimbulkan kesan seakan gerakan itu amat lamban."

"Ya, seperti peredaran kehidupan kita, seperti saat matahari terbit, matahari terbenam," sambung Ko Hong-liang sambil tertawa getir.

"Seperti juga gerakan cahaya, gerakan suara, berlalunya sang waktu, semua berjalan wajar, padahal mereka berlalu dengan cepatnya," Ni Jian-ciu menambahkan.

"Itulah sebabnya aku tak akan bertarung lagi."

"Oleh karena kau pernah menjadi sahabatku, aku tak tega membunuhmu

Berkilat sepasang mata Ko Hong-liang, tapi sebelum ia berucap sesuatu, Ni Jian-ciu telah berkata lebih jauh, "Akan tetapi kau harus mati ... lebih baik habisi sendiri nyawamu." "Hahaha!" Ko Hong-liang tertawa tergelak, "seorang sahabat yang luar biasa, seorang sahabat yang memaksa sahabatnya bunuh diri!"

Tiba-tiba paras muka Ni Jian-ciu berubah hebat, berubah sangat emosi, membuat orang berkesan rambutnya sedang bergelora bagai ombak samudra, kerutan wajahnya seperti riak air yang terhembus angin.

"Sahabat? Tanpa sahabat mana mungkin ada aku hari ini?" teriakan Ni Jian-ciu bagai jeritan setan, "kau sangka aku tidak menyukai sahabat? Dulu manusia latah berambut putih tidak memiliki apa-apa, yang ada Cuma sahabat, yang paling bisa dibanggakan hanya seorang sahabat!"

Angin malam berhembus kencang, jarum pohon cemara berguguran ke atas tanah.

Jeritan Ni Jian-ciu tak ubahnya seperti lolongan serigala di tengah malam buta, jeritan itu mirip pula seperti jeritan setan dedemit yang sedang berkeliaran mencari sukma gentayangan.

"Kau belum pernah dikhianati oleh sahabat karibmu, darimana bisa tahu apa arti kesetia-kawanan seorang sahabat?" teriaknya, "kau belum pernah dicelakai oleh sahabatmu yang paling akrab, darimana kau bisa memahami ketidak berperasaannya seorang sahabat?"

"Aku ... aku belum pernah mengkhianatimu” ucap Ko Hong- liang tergagap.

Sekali lagi Ni Jian-ciu tertawa seram, suara tawanya seperti jeritan kuntilanak di tengah tanah pekuburan, sekali lagi daun pohon siong berguguran ke tanah, rumput dan semak bergoyang kencang bagai terhembus angin puyuh.

"Tentu saja kau tak pernah melakukannya karena kau hanya seorang sahabat biasa, jika kau yang menghujamkan tusukan di belakang punggungku, mungkin aku tak sedendam ini, paling aku hanya menyalahkan mataku yang tak bisa memilih sahabat, sahabat yang mematikan justru sahabat yang berada dalam lingkaran dalammu, orang yang selalu kau bela, orang yang kau lindungi dengan mempertaruhkan nyawa, orang yang begitu kau percaya sehingga seluruh harta kekayaan, kekuasaan dan ilmu silatnya kau berikan kepadanya”

Sambil memicingkan matanya dan mengertak gigi, tanyanya, "Kau pernah dicelakai manusia macam begini?"

"Jadi kau dikhianati orang yang pernah kau selamatkan?" "Hmm, pernahkah kau dikhianati seorang sahabat yang kau

bina sejak tak punya apa-apa, seorang sahabat yang telah kau

anggap saudara sendiri? Pernahkah kau dijebak, dijerumuskan ke dalam keadaan yang amat mengenaskan tapi masih tetap menganggap dia adalah sahabatmu yang paling karib?

Pernahkah kau merasakan penghinaan, cemoohan dan tekanan batin yang luar biasa besarnya? Seluruh masa depanmu, semua cita-citamu, orang dekatmu, pasangan hidupmu, nama, harta dan nyawa sudah kau percayakan kepadanya, bahkan kau pun masih mempercayainya seratus persen, tak pernah mencurigainya, tak pernah berpikir jelek kepadanya, hingga sampai setitik harapan untuk hidupmu pun diserahkan ke tangannya, pernahkah kau mencicipi keadaan seperti ini?"

Ni Jian-ciu tertawa terbahak-bahak, tertawa bagai orang kalap, teriaknya lagi, "Dimana keadilan? Dimana keadilan?"

Tong Keng tak kuasa menahan diri, dia melompat bangun sambil berteriak keras, "Siapakah dia? Siapakah dia?"

"Dia?" Ni Jian-ciu mencibir, "mereka!"

"Siapakah mereka sebenarnya?" seru Tong Keng cemas. "Buat apa kau mengetahuinya?" tanya Ni Jian-ciu sambil

mengerling sekejap. Dengan mata mendelik sahut Tong Keng, "Tentu saja membalas dendam sakit hatimu!"

Sekali lagi kerutan di wajah Ni Jian-ciu seolah bergolak, dia mendengus dingin.

"Manusia yang tidak setia kawan, seorang pengkhianat sudah sepantasnya dibunuh oleh setiap orang," kembali Tong Keng berteriak lantang.

Ni Jian-ciu tertawa dingin. "Jika kau punya pandangan semacam itu, pergilah ke jalan raya, setiap saat dapat kau temukan sepuluh orang yang berwatak begitu dan delapan di antaranya pantas dibunuh," katanya.

Tiba-tiba Ko Hong-liang menimbrung, "Padahal teman itu terkadang berkumpul terkadang bubar, semakin dalam perasaanmu terperosok dengannya, semakin kuat pantulan rasa sedih dan gembira yang dirasakan, ketika gembira, kau akan menganggapnya melebihi saudara sendiri, di kala kau sedih, dianggapnya dia tak berperasaan dan pantas dibunuh, tapi sesungguhnya, buat apa kau berpikiran begitu?"

"Buat apa?" Ni Jian-ciu menarik wajahnya dengan mata mendelik, "tentu saja kau berkata begitu karena selama ini kau tak pernah merasakan kejadian seperti yang kualami."

Kemudian dengan nada dingin lanjutnya, "Kau beruntung karena belum pernah ada yang mengkhianatimu dengan cara keji, tak nanti kau bisa merasakan penderitaan dan siksaan batin seperti yang kualami."

"Lantas dengan melakukan pembantaian secara besar- besaran, dengan membunuh mereka yang tidak bersalah, maka semua kesedihan dan siksaan yang kau alami di masa lalu bisa terbayar lunas?" jengek Ko Hong-liang ketus.

"Bicara sih gampang, sekarang kau bisa berhati mulia karena belum pernah mengalami nasib setragis aku," Ni Jian- ciu menatapnya tajam, "hmmm, coba kalau kau yang mengalami tragedi semacam itu, ingin kulihat apakah kau pun masih bisa bersikap seperti saat ini?"

Kemudian setelah berhenti sejenak, dengan sorot mata yang lebih tajam dari sembilu tambahnya, "Mungkin pada saat itu kau pun akan melakukan serangkaian pembunuhan dengan cara yang sama kejinya."

Dengan termangu Tong Keng mengawasinya, mendadak teriaknya keras, "Tidak berharga, sama sekali tidak berharga...”

"Apanya yang tidak berharga?" tanya Ni Jian-ciu dengan kening berkerut.

"Hanya disebabkan sebagian kecil manusia yang tak berperasaan, tidak setia kawan, berhati keji dan telengas, lantas kalian mesti melewati kehidupan dengan pembalasan dendam, apakah berharga bagimu untuk melakukan semuanya ini?"

Ni Jian-ciu tertawa terkekeh, didengar dari suaranya, tidak jelas ia sedang tertawa atau sedang menangis. "Hahaha, apanya yang tidak berharga? Justru hidup di dunia pembalasan dendam aku merasa bertambah gembira, lebih bersemangat, lebih puas dan tegar!"

"Benarkah kehidupanmu sekarang jauh lebih gembira dari dulu?" Tong Keng balik bertanya.

Untuk sesaat Ni Jian-ciu tak mampu menjawab pertanyaan itu.

Kembali Tong Keng berkata, "Dengan melakukan pembalasan dendam, apakah semua kegembiraan dan semua yang pernah hilang dari sisimu akan kembali kepadamu? Akan hidup kembali?"

Ni Jian-ciu menatapnya lekat-lekat, kerutan di wajahnya sekali lagi bergetar keras. "Paling tidak, aku akan hidup terus demi pembalasan dendam ini!" katanya.

"Apakah dengan melakukan pembunuhan, kau bisa memperoleh kembali semua kegembiraanmu?" akhirnya Tong Keng bertanya sesudah termangu beberapa saat.

"Bila aku tidak membunuh kalian, akulah yang akan dibunuh orang, sekarang aku telah belajar akan satu hal, daripada aku yang mati, lebih baik kau saja yang mampus!"

Ko Hong-liang menghela napas panjang, katanya, "Kami semua bukan tandinganmu, kalau ingin membunuh, bunuhlah!"

"Kau tak mau bunuh diri?" tiba-tiba Ni Jian-ciu membalikkan badan.

"Aku tak pernah melakukan perbuatan yang merugikan dunia persilatan, tentu saja aku tak mau bunuh diri."

Terlihat rambut hitam, kerutan wajah serta ujung baju yang dikenakan Ni Jian-ciu bergelombang keras bagai riak air samudra, sorot matanya memancarkan sinar tajam yang menggidikkan hati.

"Baiklah," dia berseru, "kau yang memaksa aku membunuhmu, jangan salahkan hatiku keji."

Tiba-tiba Ni Jian-ciu melambung ke udara, sambil melompat dia mengambil buli-bulinya yang berada di sebelah kiri dan membuka penutupnya.

"Blummm!", sekilas cahaya putih meluncur keluar bagai sambaran petir, langsung menghajar sebatang pohon siong yang tumbuh beberapa depa di hadapannya, mengikuti gerakan itu ia membentak nyaring, "Kena!"

"Blaaaam!", beribu daun pohon siong berguguran bagaikan hujan gerimis, batang pohon itu patah menjadi dua bagian, ranting dan cabangnya hancur berserakan, Ni Jian-ciu segera meluncur ke belakang batang pohon itu.

Cahaya putih yang memancar keluar dari buli-bulinya memang luar biasa dahsyatnya!

Begitu tiba di belakang pohon, dia menghimpun tenaga dalamnya dan siap melepaskan pukulan dahsyat.

Ternyata di belakang pohon itu terdapat seseorang.

Bukan cuma ada manusia, juga ada cahaya, cahaya yang sangat tajam.

Kalau cahaya putih yang menyembur keluar dari buli- bulinya tadi seterang cahaya mtahari, maka cahaya yang ada di belakang pohon sepuluh kali lipat lebih terang daripada cahayanya tadi.

Di tengah kilauan cahaya yang menusuk mata, dia lihat seseorang berdiri tenang di sana.

Siapa pun yang menyaksikan kejadian itu, dia pasti akan terperangah dibuatnya, serangan yang telah dipersiapkan pun pasti akan dilontarkan.

Tapi yang dialami Ni Jian-ciu saat ini bukan hanya terperangah dan keheranan, dia pun merasa sangat terkesiap, sedemikian terkesiapnya hingga serangan maut yang telah dipersiapkan tak mampu dilontarkan.

Ternyata bayangan manusia yang dijumpainya saat itu adalah bayangan diri sendiri.

Bagaimana mungkin dirinya bisa berada di belakang pohon?

Dari balik pohon yang tumbang dan hancur, bagaimana mungkin bisa muncul seorang Ni Jian-ciu yang lain?

Hanya sesaat Ni Jian-ciu merasa tertegun, dengan cepat ia segera sadar apa yang telah terjadi. Pada saat itulah sekilas cahaya pedang menyambar tiba, biarpun Ni Jian-ciu sangat lihai dan berilmu tinggi, namun ketika ia merasa dan menyadari akan datangnya ancaman itu, serangan itu sudah berada tiga inci di belakang kepalanya.

Tangan Ni Jian-ciu segera meraba buli-buli yang berada di pinggang sebelah tengah.

Tapi secara tiba-tiba cahaya pedang itu berhenti bergerak, mata pedang tidak melanjutkan tusukannya ke depan.

Ni Jian-ciu pun urung membuka penutup buli-buli yang tergantung di pinggangnya.

Untuk sesaat, baik tusukan pedang maupun orang itu sama-sama berhenti melakukan gerakan.

Batang pohon diiringi suara gemuruh yang keras segera tumbang ke tanah.

Seluruh badan Ni Jian-ciu telah berubah menjadi kaku dan kejang, dia bahkan dapat merasakan kulit tubuhnya yang berada paling dekat dengan ujung pedang lawan mulai merinding, bulu kuduknya mulai berdiri.

Tapi orang yang berada di belakang tubuhnya masih berdiri tenang, tak disangkal orang itu jauh lebih tajam, lebih hebat dan menakutkan ketimbang mata pedang itu sendiri. Tapi siapakah dia?

Hawa pembunuhan milik siapa yang begitu menghimpit dadanya?

Ni Jian-ciu sadar, andaikata orang yang berada di bawah todongan ujung pedang pada malam ini bukan dirinya, orang itu pasti sudah roboh semenjak tadi.

Bukan tertusuk oleh ujung pedang itu, melainkan runtuh karena himpitan hawa pembunuhan yang menggidikkan hati. Pada hakikatnya hawa pembunuhan itu merupakan yang paling mengerikan, paling menakutkan yang pernah dijumpainya selama ini.

Ni Jian-ciu mulai tertawa getir.

Ia dapat merasa dirinya sedang tertawa getir, sebab di hadapannya telah muncul sebuah cermin.

Sebuah cermin yang terang dan bening, sebuah cermin yang ukurannya setara dengan tinggi badannya.

Musuh yang bersembunyi di belakang pohon siong berhasil dia temukan jejaknya, maka tanpa mengeluarkan sedikit suara pun dia melancarkan serangan, tapi kenyataan musuh dapat meletakkan sebuah cermin di situ sebelum bersembunyi di tempat lain, membuat serangannya mengenai tempat kosong, membuat ia dapat menyaksikan senyuman getir diri sendiri, dalam tercengang dan kagetnya, tiba-tiba ia melancarkan serangan lagi.

Dia tahu, situasi yang dihadapinya sekarang belum terhitung sebuah kekalahan, tapi dia sudah kehilangan kesempatan untuk menguasai lawan.

Ketika menghadapi seorang musuh yang menakutkan, apa jadinya bila dia kehilangan kesempatan untuk menguasai lawan?

Berpikir sampai di situ, tak tahan lagi dia memegang buli- bulinya dengan kencang.

"Lebih baik kau jangan bergerak," terdengar orang yang berada di belakangnya berkata.

"Kau belum berhasil mengungguli aku," sahut Ni Jian-ciu dingin.

"Tapi ingat, aku pun belum melancarkan serangan." "Setiap saat aku bisa melancarkan serangan balasan." "Aku tak ingin membunuhmu, selama kau tidak membuka buli-buli itu, aku pun tak akan melanjutkan tusukanku."

Sikap Ni Jian-ciu sama sekali tidak berubah, dia pun tidak berbicara lagi.

Dari pantulan cermin, dia dapat menyaksikan tubuh bagian bawah orang yang berada di belakang tubuhnya itu.

Walaupun tubuh orang itu terbalut pakaian ringkas yang ketat, namun dia dapat melihat bahwa tiada seinci pun tubuhnya yang tidak berotot, orang itupun berdiri dengan santainya.

Tubuh bagian atas sama sekali tak terlihat karena terhalang oleh batang pohon yang tumbang, mungkin orang itu memang sengaja berdiri di sana, agar orang lain tak dapat melihat jelas.

Kulit wajah Ni Jian-ciu mulai mengejang keras, baru saja dia akan membuka suara, orang yang berada di belakang punggungnya telah berkata lebih dulu, "Jangan bertanya siapa aku!"

"Memangnya sepanjang hidup kau akan berdiri di belakang tubuhku terus?"

"Aku bisa saja menarik kembali pedangku." "Kalau begitu silakan."

"Tapi aku punya syarat," kata orang itu lagi.

Ni Jian-ciu menarik napas panjang, sewaktu menarik napas, rambut hitamnya kembali bergelombang bagai ombak samudra.

Kemudian sambil menggenggam buli-bulinya, sepatah demi sepatah dia berkata, "Selama hidup aku tak pernah membicarakan soal syarat di bawah tekanan dan ancaman orang!" 
ooOOOoo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar