Misteri Lukisan Tengkorak Bab 09 : Ilmu Colok Bisul

9. Ilmu Colok Bisul.

Kelihatannya orang itu dibuat bingung oleh ulah Tong Keng, setelah berhasil menumbuk seorang musuh dengan kepalanya hingga mencelat, tanyanya kepada si kakek yang berada di sisinya, "Mau apa dia?"

Kakek itu menggeleng, tampaknya dia pun tak habis mengerti. Sementara itu Tong Keng sudah menyerbu balik dengan nekad.

Melihat terjangan lawan bagaikan seekor harimau sinting, kawanan prajurit dan opas itu malah tak berani menghalangi, mereka membiarkan Tong Keng menerjang hingga ke samping Ting Tong-ih.

"Enci Ting...” dengan napas tersengal, bermandikan keringat dan darah Tong Keng berseru.

"Cepat menggelinding dari sini!" umpat Ting Tong-ih nyaring.

"Tidak, aku tak mau pergi!" jawab Tong Keng ngotot. "Kau ” saking jengkelnya paras muka Ting Tong-ih

berubah menjadi pucat-pias.

Terdengar orang itu menjengek sambil tertawa dingin, "Karena kau tidak mau menggelinding, dia pun tak mau pergi, bagus, bagus sekali, malah kebetulan, jadi aku bisa menangkap kalian berdua!"

Sekarang Tong Keng dapat melihat jelas wajah orang itu, ternyata dia adalah Lu Bun-chang, hanya saja wajahnya yang semula putih bersih dan rajin, kini telah berubah beringas, buas dan menyeramkan.

Tong Keng langsung mengayunkan goloknya membacok kepala lawan, sambil menyerang teriaknya, "Enci Ting, cepat menggelinding pergi!"

Sebetulnya dia ingin mengatakan "pergi", namun lantaran ucapan Ting Tong-ih sebelumnya, maka tanpa disadari yang digunakan adalah perkataan "menggelinding".

Mendengar teriakan Tong Keng ini, mula-mula Ting Tong-ih agak tertegun, tapi akhirnya dia hanya mengerling sekejap ke arahnya tanpa berkata-kata, sementara Tong Keng sendiri sama sekali tidak menyadarinya. Sekonyong-konyong tubuh Lu Bun-chang melambung ke udara.

Ayunan golok Tong Keng dilancarkan dari atas ke bawah, sementara tubuh Lu Bun-chang justru melambung dari bawah ke atas, dengan demikian ia justru memapaki datangnya bacokan itu.

Tapi Tong Keng tak ingin membunuh musuhnya, ketika merasa serangannya kelewat bertenaga, segera dia menarik kembali tenaganya sambil berusaha menghentikan bacokan itu.

Siapa sangka belum sempat ia berbuat sesuatu, tahu-tahu tangannya menjadi kaku, menyusul kemudian golok dalam genggamannya berhasil dirampas Lu Bun-chang.

"Anjing laki perempuan," jengek Lu Bun-chang sambil tertawa dingin, "kalian masih punya simpanan apa lagi? Ayo, gunakan semua”

"Siapa yang kau maksud anjing laki perempuan?" tegur Ting Tong-ih.

"Tentu saja kau dan dia," jawab Lu Bun-chang mendongkol, "kalau seorang lelaki berada satu kamar dengan seorang wanita, kalau bukan anjing laki perempuan, apa namanya?"

"Kalau begitu aku dan kaulah yang paling pantas disebut anjing laki perempuan!" Ting Tong-ih segera menimpali.

Mendengar gadis itu mengucapkan kata-kata yang begini kasar di hadapan orang banyak, Lu Bun-chang semakin mendongkol dibuatnya, kembali teriaknya penuh amarah. "Kau ... kau siluman perempuan, berani amat...”

"Aku tahu selama ini kau selalu bersikap baik kepadaku," tukas Ting Tong-ih cepat, "memangnya orang lain yang baik kepadaku lantas boleh kau sebut anjing laki perempuan?

Bagaimana dengan kau sendiri?" "Anjing laki perempuan! Anjing laki perempuan!" teriak Lu Bun-chang semakin gusar.

Ting Tong-ih tidak tinggal diam, tusukan demi tusukan dia lancarkan secara bertubi-tubi.

Lu Bun-chang mendengus dingin, dengan tangan kosong kembali ia mencengkeram pedang gadis itu.

"Kau dan dia adalah anjing laki perempuan!" teriak Lu Bun- chang lagi, "kau dan Kwan Hui-tok juga anjing laki perempuan”

Tiba-tiba Ting Tong-ih menjerit, dia miringkan kepalanya sambil menyongsongkan tengkuknya ke depan, tampaknya dia hendak mengadu lehernya dengan mata pedang.

Lu Bun-chang melengak, dia tak menyangka gadis itu akan menjadi nekad, untuk mencegah jelas sudah tak sempat lagi.

Tong Keng pun tidak menyangka watak gadis itu begitu keras kepala dan nekad, dia pun tak sempat memberi pertolongan.

Di saat yang kritis itulah mendadak terdengar seseorang membentak nyaring, "Lepas tangan!"

Sambil menghardik, sebuah bacokan golok diayunkan ke bawah.

Menyaksikan betapa dahsyatnya bacokan golok itu. Lu Bun- chang tak berani menangkis dengan tangan kosong, segera dia melepas pedangnya sambil melompat mundur.

Karena dia lepas tangan, pedang pun rontok ke bawah, tindakan Ting Tong-ih yang menyongsong mata pedang dengan tengkuknya itupun mengenai tempat kosong.

"Nona," seru lelaki berkerudung itu sambil menepuk bahu Ting Tong-ih, "kalau belum sampai titik penghabisan, jangan sembarangan mengorbankan nyawa, kalau tidak, kau bakal menyesal!" "Kalau sudah mati, masakah masih bisa menyesal?" dengan tak acuh gadis itu tertawa.

Ternyata orang yang memaksa mundur Lu Bun-chang adalah lelaki berkerudung itu.

"Siapa kau?" dengan wajah serius Lu Bun-chang menegur, "sungguh berat ayunan golokmu, kenapa sembunyi kepala macam kura-kura? Kenapa kau tak berani bertemu orang?"

Orang itu tidak menjawab, dia hanya melintangkan goloknya di depan dada sambil berdiri tegak.

Sementara itu kawanan opas dan prajurit yang melakukan pengepungan sudah siap bergerak maju, apalagi berada di depan atasannya, semua orang ingin unjuk kebolehan sambil berusaha membuat pahala.

"Mundur semua!" segera Lu Bun-chang menghalangi.

Selama ini kawanan opas dan prajurit itu belum pernah menyaksikan Lu Bun-chang tampil dengan wajah begitu serius dan bersungguh-sungguh, tanpa disuruh untuk kedua kalinya serentak mereka mundur, ada yang segera pindah ke posisi lain, ada pula yang cuma mengepung dari kejauhan.

Mereka sadar kepandaian silat yang dimiliki ketiga orang itu sangat tangguh, namun mereka juga tahu kalau mereka bertiga merupakan buronan penting, demi mempertahankan mahkota kebesaran masing-masing, tentu saja mereka tak bisa membiarkan buronan itu kabur begitu saja.

Kembali orang itu berseru kepada Tong Keng, "Akan kutahan dia, sementara kalian segera keluar dari sini."

"Aku ikut bersamamu ... " kata Tong Keng.

Belum selesai dia berkata, kembali orang itu menghardik, "Tak nyana seorang lelaki macam kau begitu rewel dan bawel!" Ting Tong-ih juga sadar kalau situasi bertambah gawat, segera dia menimpali, "Lebih baik kita segera pergi, kehadiran kita hanya akan mengganggu cara kerja Cianpwe."

"Tapi bagaimana dengan Kho Kit?" tanya Tong Keng sangsi, "apakah saudara Kho telah berhasil lolos?"

Kontan Ting Tong-ih melotot ke arahnya.

Jika keselamatan seseorang sudah di ujung tanduk, sudah sewajarnya bila menyelamatkan diri terlebih dulu, tapi lelaki kasar di hadapannya ini berbeda, bukan saja ia tak pernah memikirkan keselamatan sendiri, malah sebaliknya justru menguatirkan keselamatan rekan lain.

Dalam pada itu Lu Bun-chang telah mengeluarkan sisirnya lagi dan mulai menyisir kumis serta jenggotnya, dia melakukannya dengan gerakan yang sangat tenang dan mantap.

Dengan pandangan tajam orang itu mengawasi sepasang tangannya, mengawasi tanpa berkedip.

"Tak seorang pun di antara kalian yang bisa lolos dari sini," kata Lu Bun-chang perlahan.

"Kau tak usah memaksa aku turun tangan," kata orang itu. Lu Bun-chang tertawa sinis. "Bila ingin turun tangan,

lakukan segera, kalau tidak, kau tak usah turun tangan lagi."

Sementara pembicaraan masih berlangsung, dari dalam gedung Kiok-hong-wan telah muncul seorang sastrawan berkapak raksasa, di antara kilatan cahaya yang menyilaukan mata, dalam waktu sekejap dia telah membabat tubuh lelaki yang dijuluki 'telur kerbau' itu hingga kepalanya berpisah dengan badan.

Orang itu mulai mengangkat goloknya tinggi-tinggi, sebuah serangan maut tampaknya segera akan dilancarkan. "Ilmu golok Ngo-kui-kay-san-to (Lima setan membelah bukit)?" berkilat sepasang mata Lu Bun-chang.

Ibu jari tangan orang itu yang sedang menggenggam gagang golok tiba-tiba direntangkan, seakan dia hanya menggunakan delapan jari tangan untuk menggenggam golok.

"Hah? Ilmu golok Pat-hong-hong-yu-liu-jin-to (delapan penjuru hujan angin menahan manusia)?" sekali lagi Lu Bun¬- chang berseru dengan perasaan terkesiap.

Orang itu mendengus dingin, sepasang tangannya yang memegang golok mendadak direntangkan hingga terbuka, ketika golok itu berputar di tengah angkasa, tertampak selapis bayangan cahaya yang menyilaukan mata.

Bagaikan berhadapan dengan musuh tangguh, sekali lagi Lu Bun-chang berteriak kaget, "Ilmu golok Liong-coan-hong- to-hoat (angin berpusing)?"

Orang itu membentak nyaring, sebuah bacokan dilontarkan ke bawah.

Begitu nyaring suara bentakan dan desingan angin golok itu hingga membuat suara bentakan dan bentrokan senjata yang sedang berlangsung di seluruh sudut rumah pelacuran Kiok-hong-wan menjadi sirna.

Lu Bun-chang tak berani gegabah, segera dia menepuk sepasang tangannya berulang kali dan kemudian menjepit bacokan golok itu dengan kuat.

Bacokan itu disertai tenaga yang luar biasa besarnya, meski paras muka Lu Bun-chang seketika berubah menjadi pucat- pias, namun ia berhasil juga menjepit golok itu.

Tiba-tiba orang itu melepaskan goloknya, kemudian tangannya menyambar ke atas dan mencabut sebatang bulu yang berada di topinya. Kemudian bulu itu membabat ke muka dan ternyata tajamnya tidak kalah dengan bacokan golok. Darah segar segera menyembur keluar dari tangan kanan Lu Bun-chang.

Dengan penuh amarah Lu Bun-chang mundur ke belakang, sambil meraung keras dia membuang golok yang berada dalam jepitannya ke tanah.

Baru saja golok itu meluncur ke bawah, kembali orang itu membungkukkan badan untuk menyambar kembali goloknya yang tergeletak di tanah.

Siapa tahu pada saat itulah Lu Bun-chang melemparkan sisir yang berada dalam genggamannya ke depan, tak sempat menghindarkan diri, sisir itu langsung bersarang telak di atas dadanya.

Orang itu mendengus tertahan, serunya keras, "Cepat kabur!"

Ting Tong-ih segera mengebaskan mantelnya melancarkan sebuah gulungan kilat, di antara kilatan cahaya pedang, empat-lima orang prajurit roboh terkapar, melalui jalur itulah Tong Keng sambil memayang orang itu kabur keluar.

Tiba-tiba sekilas cahaya kapak menyambar lewat dari pintu gerbang.

Cahaya kapak itu membawa tenaga ancaman yang lebih dahsyat dari sambaran petir, siapa yang berani menerjang, tubuhnya pasti akan hancur terbelah.

Ting Tong-ih mendengus dingin, sambil memperketat pakaiannya dan mengernyitkan alis, dia bersiap menerjang keluar dari pertahanan musuh.

"Sreeet!", mendadak terdengar suara desingan angin tajam meluncur ke bawah dari atas loteng.

Segera sastrawan kapak raksasa Gi Eng-si menangkis dengan kapaknya, seketika ia merasa pergelangan tangannya seolah dihajar dengan martil berat, genggamannya menjadi kendor, tahu-tahu kapak raksasanya sudah mencelat dari tangan dan membacok tiang penyangga rumah.

Menyusul kemudian "Traaak!", kembali sebuah benda menancap tiang penyangga kayu, ternyata hanya gumpilan lilin.

Sementara Gi Eng-si masih tertegun, Ting Tong-ih sudah memanfaatkan peluang itu untuk menyerobot keluar dari pintu gerbang, cahaya pedang berkelebat dan lapisan mantel berputar melindungi badan.

Tong Keng sambil memayang orang itu tak tinggal diam, ia ikut menerobos keluar pintu gerbang.

Kawanan opas dan prajurit yang berjaga di luar menjadi panik bercampur ngeri, rupanya kemampuan si manusia berkerudung yang berhasil melukai Lu Bun-chang dengan menggunakan sehelai bulu telah menggetarkan perasaan mereka, untuk sesaat mereka hanya memegangi obor sambil menyaksikan rombongan Ting Tong-ih menerjang keluar kepungan.

Mendadak terdengar suara ringkikan kuda disusul munculnya sebuah kereta yang dilarikan dengan kencang, orang yang duduk di kursi kusir ternyata tak lain adalah si kakek yang enggan kabur sendirian itu.

Dengan cepat kakek itu melarikan keretanya membuyarkan pasukan pengepung, dimana cambuknya menyambar, delapan opas sudah digulungnya hingga mencelat.

Segera Tong Keng membantu orang itu naik ke dalam kereta, sementara Ting Tong-ih dengan mengandalkan gulungan mantelnya telah merobohkan beberapa opas yang berhasil mendekat. Kemudian dengan sekali lompatan, dia pun menerobos masuk ke dalam kereta.

Diiringi bentakan nyaring, kakek itu melarikan kembali keretanya dengan cepat. Teriakan dan bentakan nyaring seketika berkumandang dari empat penjuru, dengan golok terhunus kawanan opas dan prajurit itu melakukan pengejaran, bahkan beberapa di antaranya mulai melemparkan obor mereka ke atas kereta.

Sayang mereka berkaki dua sementara kereta itu mempunyai enam belas kaki, tak selang lama kemudian kawanan opas itu sudah ketinggalan jauh.

Saat itu kereta sudah dipenuhi kobaran api, di tengah kegelapan terlihat segumpal api meluncur dengan cepatnya meninggalkan tempat itu dan makin lama meluncur semakin menjauh ....

Gi Eng-si sambil memapah Lu Bun-chang berjalan keluar pintu gerbang, mereka hanya bisa menyaksikan kobaran api yang makin lama semakin menjauh itu dengan pandangan melongo.

Tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda yang sangat ramai bergema memecah keheningan, ternyata ada belasan orang pasukan kuda yang sudah dipersiapkan sejak awal dengan membagi diri menjadi dua kelompok mulai melakukan pengejaran.

Kobaran api yang muncul dalam kegelapan malam justru menjadi target yang mudah diikuti, seakan-akan nasib telah menetapkan bahwa kebakaran merupakan simbol dari kemusnahan. Dan pasukan berkuda itu justru akan menghapus simbol itu hingga lenyap untuk selamanya.

Mengawasi kobaran api yang semakin menjauh dan pasukan berkuda yang melakukan pengejaran. Lu Bun-chang segera menghela napas panjang, gumamnya, "Kalian tak bakal bisa lolos ”

Tampaknya ia tetap menyesal karena gagal menahan Ting Tong-ih di situ, dia tak tahu masih adakah kesempatan baginya untuk bersua lagi dengan gadis itu dalam keadaan hidup. Dengan perasaan heran Gi Eng-si segera bertanya, "Se ... sebenarnya siapakah orang itu?"

Lu Bun-chang memeriksa sekejap luka memanjang di lengannya, mimpi pun dia tak menyangka kalau orang itu mampu memainkan ilmu golok yang dahsyat hanya dengan sehelai bulu, bahkan nyaris mengutungi lengannya.

"Ilmu golok Po-ting-to-hoat (ilmu golok bisul) kemampuan ilmu golok orang ini telah berhasil mencapai taraf melukai orang dengan sambitan bunga, tingkat kesempurnaan yang mengerikan ... aaai, padahal hanya ada tiga orang yang kemungkinan besar memiliki kemampuan semacam ini, khususnya yang berdiam di wilayah beberapa ratus li seputar sini, orang ini...”

"Hah? Jadi orang itu adalah dia?" berkilat sepasang mata Gi Eng-si.

Dengan wajah serius Lu Bun-chang manggut-manggut. "Ya, kelihatannya memang dia."

"Tapi dia ” gumam Gi Eng-si.

Sebetulnya sejak semula pertanyaan yang dia ajukan adalah ingin bertanya siapa yang mampu merontokkan kapak raksasanya hanya dengan mengandalkan gumpilan lilin, kalau dibilang manusia berkerudung itu sanggup melukai Lu Bun- chang dengan sehelai bulu sudah merupakan satu kejadian yang luar biasa, maka kepandaian yang dimiliki si penyambit gumpilan lilin itu jelas jauh lebih dahsyat, mengerikan dan tak masuk akal.

Malah hingga sekarang secara lamat-lamat Gi Eng-si masih merasakan pergelangan tangannya sakit.

Si kakek melarikan kereta kuda itu dengan kencang, dia langsung kabur menuju keluar kota.

Tong Keng dan Ting Tong-ih pun harus bekerja keras melempar keluar semua obor menyala yang ada di dalam kereta, kemudian memadamkan kebakaran yang terjadi di kereta mereka.

Dengan susah payah akhirnya mereka berdua berhasil memadamkan kobaran api, ketika berpaling lagi ke arah lelaki berkerudung itu, tampak sorot matanya yang semula bersinar tajam, kini sudah berubah redup tak bercahaya, tangannya masih menekan di atas dada, sementara cairan darah masih mengucur keluar tiada hentinya.

"Hohan, bagaimana ... bagaimana keadaanmu?" teriak Tong Keng.

Dengan susah payah orang itu menarik napas, dia balik bertanya, "Kita ... kita akan kemana?"

Waktu itu si kakek sedang memusatkan perhatian mengendalikan laju kereta kuda itu sehingga tidak mendengar dengan jelas pertanyaan yang diajukan manusia berkerudung itu, terpaksa Tong Keng harus mengulang kembali pertanyaan yang sama.

Kakek itu sama sekali tidak berpaling, dia seakan tak mau pikirannya pecah sehingga menyebabkan larinya kuda menjadi kendor, sahutnya singkat, "Kita keluar kota!"

"Jangan ke situ!" segera manusia berkerudung itu berseru, "Raja opas baru saja masuk kota, bila bertemu dengannya ... kita semua bisa mampus!"

"Lantas kita harus pergi kemana?" tanya si kakek tanpa memperlambat lari kudanya.

"Cepat belok ke sebelah barat kota, di situ terdapat tanah pedesaan yang sangat luas, kita bisa berusaha mencari tempat persembunyian di situ!"

Tiba-tiba kereta kuda itu berbelok arah, diiringi ringkikan panjang, keempat ekor kuda itu berputar arah secara tiba- tiba, sedemikian tajamnya belokan itu nyaris membuat kereta kuda itu menempel di atas permukaan tanah, kini kereta bergerak menuju ke barat kota.

"Loko," seru Tong Keng kemudian, "kepandaianmu mengemudikan kereta betul-betul hebat!"

"Kau masih muda, tentu saja tak kenal dengan kebesaran namanya di masa lalu," kata lelaki berkerudung itu cepat, "dialah Hui-ki (si penunggang kuda kilat) Wan Hui!"

"Wan Hui?" ulang Tong Keng dengan kening berkerut.

Ketika mendengar namanya disebut orang, tampaknya semangat kakek itu semakin berkobar, teriaknya sambil berpaling ke dalam kereta, "Betul, aku bernama Wan Hui!"

"Aku bernama Tong Keng!" balas lelaki itu sambil melongok keluar kereta.

Sementara itu kereta kuda masih berlarian di tengah kegelapan dengan kecepatan tinggi, terkadang mereka melalui tebing yang curam dan pohon tumbang yang berserakan, meski medannya semakin sulit namun laju kereta sama sekali tidak melambat.

Pada saat itulah Ting Tong-ih yang berjaga di belakang kereta berseru, "Hati-hati, beberapa puluh ekor kuda pengejar sudah tiba di belakang kita."

"Jangan kuatir, kita memiliki Wan Hui yang jagoan," sahut Tong Keng.

"Itupun tidak cukup," kata lelaki berkerudung itu sambil menggeleng, "kuda-kuda itu harus berlarian sambil menarik kereta, jelas larinya tidak akan secepat lari kuda tunggal."

"Lantas apa yang harus kita lakukan?" tanya Tong Keng cemas.

Sambil menggigit bibir kata Ting Tong-ih, "Aku yakin di depan sana pasti ada sejumlah jagoan yang siap menghadang kita, kereta ini menjadi target yang mencolok." "Tampaknya kita mesti meninggalkan kereta," usul lelaki berkerudung itu, "mungkin dengan meninggalkan kereta, gerak-gerik kita menjadi lebih leluasa."

"Tapi lukamu ” tanya Tong Keng.

Lelaki berkerudung itu tertawa paksa. "Hanya luka sekecil ini kenapa mesti dikuatirkan? Kau tak usah menggubris lukaku ini!"

"Baiklah kalau begitu," ucap Ting Tong-ih tegas, "akan kusuruh Wan Hui menyembunyikan kereta kudanya”

Kereta kuda pun segera berhenti berlari.

Padahal waktu itu kereta masih meluncur dengan kecepatan luar biasa, laju kereta yang mendadak terhenti kontan membuat semua orang yang berada di dalam kereta terlempar keluar.

Cepat Ting Tong-ih menjejakkan kaki sambil memegang kencang pinggiran kereta, dengan memanfaatkan kekuatan itu dia melompat naik ke atap kereta.

Sementara lelaki berkerudung itu segera menghimpun tenaga dalamnya, bagaikan besi sembrani dia seolah menempel ketat di atas lantai kereta, ternyata tubuhnya sama sekali tidak bergeming.

Hanya Tong Keng seorang yang terlempar keluar.

Begitu tubuhnya mencelat keluar, Tong Keng segera bergulingan di atas tanah sambil berusaha melompat bangun, ia lihat keempat ekor kuda itu sudah meringkik panjang sambil mengangkat kedua kakinya ke tengah udara, ternyata Wan Hui masih menempel di atas punggung kuda dan tidak ikut terlempar.

Bagaimana mungkin kereta kuda itu bisa berhenti secara mendadak? Dengan cepat Tong Keng saksikan roda kereta itu sudah lenyap, ruang kereta pun sudah hampir menancap di dalam tanah, tak heran kalau kereta itu berhenti seketika.

Tapi siapa yang sanggup mematahkan roda kereta yang sedang bergerak cepat?

Sekarang Tong Keng baru melihat, di bawah cahaya rembulan ada dua orang berdiri di sisi kiri dan kanan mereka, kedua orang itu masing-masing memegang sebuah roda kereta.

Tampaknya mereka berdualah yang secara paksa mencabut lepas roda kereta yang sedang berlari kencang itu.

Berdiri di bawah cahaya rembulan yang redup, kedua orang itu bagaikan mayat hidup yang baru bangkit dari liang kubur.

Tentu saja Tong Keng kenal dengan kedua orang itu.

Mereka berdua adalah jago-jago tangguh yang tak ingin dijumpainya selama hidup, tapi justru di saat dia sedang menyelamatkan diri, kedua orang itu menghadang jalan perginya.

Yan Yu-sim dan Yan Yu-gi. 
ooOOOoo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar