Misteri Lukisan Tengkorak Bab 08 : Mendobrak Kepungan

8. Mendobrak Kepungan. 

Sewaktu si germo dan dua orang dayang itu membuka pintu, mereka pun segera tertegun setelah menyaksikan Lu Bun-chang sedang berdiri saling berhadapan dengan Ting Tong-ih dengan wajah penuh amarah.

Terdengar Lu Bun-chang berteriak penuh amarah, "Ting Tong-ih, kalau kau tetap tak tahu diri, jangan salahkan aku tak berperasaan!"

Tiba-tiba terdengar suara benturan keras, menyusul kemudian setiap jendela dan pintu yang ada di sekeliling tempat itu dibuka orang, dari baliknya bermunculan penjaga bersenjata lengkap, tampaknya seluruh jalan keluar dari tempat itu sudah dikepung.

Berubah hebat paras muka Ting Tong-ih, cepat dia mengebaskan ujung bajunya dan memadamkan cahaya lentera.

Begitu cahaya lampu padam, "Criiing...!", diiringi desingan angin tajam, sekilas cahaya pedang berkelebat melancarkan tusukan, tapi baru menusuk sampai tengah jalan, cahaya pedang itu mendadak lenyap.

Biarpun sinar pedang sudah tak nampak, namun serangan maut masih tetap meluncur ke depan.

"Sreet!", kembali sekilas cahaya berkelebat, ternyata orang yang memegang korek api adalah Lu Bun-chang.

Dengan tangan kiri ia memegang korek api, jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya menjepit ujung pedang Ting Tong-ih.

"Lan-lo-sat," terdengar Lu Bun-chang menjengek, "lebih baik segera menyerahkan diri”

Ting Tong-ih tidak menjawab, sekonyong-konyong dia menendang kain tirai yang tergeletak di tanah. Kain itu langsung melambung ke udara dan mengurung kepala Lu Bun-chang, tak berselang lama mereka berdua sudah terselubung di balik tirai itu.

Tong Keng hanya bisa memandang dari luar, dia saksikan tirai kain itu bergelombang naik turun bagai gulungan ombak samudra, jelas kedua orang itu sedang terlibat dalam pertarungan yang amat sengit.

Tong Keng semakin gelisah, apalagi setelah dari seluruh penjuru rumah pelacuran Kiok-hong-wan bergema suara pertempuran yang amat seru.

"Sreet, sreet, sreet", di tengah desingan angin tajam, tirai kain itu sudah bertambah dengan sebuah lubang, kemudian robekan itu bertambah lebar dan terlihatlah ujung pedang berwarna biru yang sedang mengurung setitik cahaya putih, hanya sejenak, tahu-tahu cahaya itu lenyap dari pandangan.

Menyaksikan hal ini Tong Keng menghembuskan napas lega, paling tidak, berkelebatnya cahaya pedang itu membuktikan ujung pedang Ting Tong-ih sudah tidak berada dalam jepitan jari tangan lawan.

Tapi ada satu hal yang membuatnya tidak habis mengerti, berada di bawah kerudungan kain tirai yang begitu sempit hingga bergerak pun susah, dengan cara apa dia bisa meloloskan diri dari serangan pedang Ting Tong-ih?

Baru saja ia merasa lega, mendadak "Weesss!", bagaikan sebuah piring terbang yang muncul dari balik kain tirai, tahu- tahu sekilas cahaya biru berkelebat sambil menerobos keluar dari kurungan, di belakang bayangan itu menempel ketat sekilas cahaya pedang yang menggidikkan.

Ternyata pedang itu masih berada dalam genggaman Lu Bun-chang. Pedang yang berada di tangan Lu Bun-chang bagaikan seekor ular berbisa, mengejar dan menempel terus punggung gadis itu.

Sungguh cepat gerak tubuh Ting Tong-ih, ketika berkelebat, mantelnya mengembang menjadi selapis dinding baja yang amat kuat, namun ujung pedang itu menempel terus di belakang mantel bajanya sambil beberapa kali melancarkan tusukan ke dalam.

Dengan kecepatan tinggi Ting Tong-ih menerobos ke depan, waktu itu ada tiga empat orang prajurit yang berjaga di depan pintu, sementara si germo beserta dayangnya sudah roboh terbacok senjata.

Ting Tong-ih yakin dengan kemampuan yang dimilikinya hanya dalam tiga jurus ia mampu merobohkan orang-orang itu, tapi sayang ancaman pedang yang muncul dari belakang punggung selalu menempel tubuhnya, hal ini membuatnya tak punya waktu untuk melancarkan serangan.

Dengan satu kali jumpalitan tubuhnya berbelok ke arah lain, kini dia menghampiri jendela, namun di situ pun dijaga beberapa orang prajurit, dengan satu gerakan cepat gadis itu berusaha menerobos keluar.

Diiringi desingan angin tajam, serangan pedang yang datang dari belakang langsung menusuk ke depan.

Saat itu tubuh Ting Tong-ih sudah terpojok hingga di depan lemari baju, mendadak ia menghentikan larinya sembari membalikkan badan, dengan wajah dingin bagaikan salju ditatapnya ujung pedang lawan tanpa berkedip.

Waktu itu serangan pedang Lu Bun-chang nyaris menembus tubuh Ting Tong-ih, belum sampai ujung pedangnya menempel tubuh lawan, segera ia membatalkan ancamannya. Saat itulah mendadak Ting Tong-ih mengayunkan sepasang tangannya, dua kilas cahaya putih langsung menyambar ke wajah Lu Bun-chang.

Segera Lu Bun-chang menarik pergelangan tangannya ke bawah, "Traaak!", dia pentalkan serangan 'pedang tangan' yang pertama, tapi bacokan 'pedang tangan' kedua sudah menyergap ke wajahnya.

Segera lelaki itu memiringkan kepalanya ke samping, di antara kilatan cahaya pedang beberapa utas rambutnya terpapas dan buyar ke lantai.

Di dunia persilatan Lu Bun-chang berjuluk Han-ya-bun- hiang (di tengah malam menikmati salju), bukan saja dia adalah seorang terpelajar, akalnya banyak, otaknya pun cerdas, di antara sekian banyak orang yang mengikuti ujian negara, hanya dia seorang yang mampu lulus ujian bun (sastra) maupun bu (ilmu silat) sekaligus, sehingga tersohor sebagai seorang bun-bu-siang-coan.

Akibat keberhasilan dan kemampuannya ini, banyak orang merasa tak puas dan iri hingga suatu ketika muncul delapan jagoan hebat yang ingin menjajal kemampuannya, waktu itu dia disergap di tengah malam buta yang bersalju.

Waktu itu Lu Bun-chang bersama tiga orang pembesar kerajaan sedang mengelilingi anglo kecil sembari membicarakan syair, kebetulan syair yang sedang dibahas adalah syair "Di malam bersalju menikmati bunga bwe diterangi rembulan'.

Ketika Lu Bun-chang baru saja bersenandungkan, "Di tengah malam menikmati salju mendadak ia berhenti sambil tersenyum karena saat itulah ia mendengar ada beberapa orang Ya-heng-jin (orang berjalan malam) hinggap di atas atap rumah.

Waktu itu sambil tertawa Lu Bun-chang berkata, "Tunggu sejenak, aku segera akan kembali." Begitu melompat naik ke atap rumah dia langsung menyerang ketujuh orang lawannya, dalam pertarungan itu dia berhasil membunuh tiga orang, melukai dua orang dan memukul mundur dua yang lain.

Sekembalinya bertempur, dia pun melanjutkan senandungnya, "Di malam bersalju menikmati bunga bwe diterangi rembulan. Di tengah malam menikmati salju, membunuh sambil tersenyum."

Dari situlah maka Lu Bun-chang dijuluki orang sebagai 'Di tengah malam menikmati salju', dimaksudkan dia adalah seorang jagoan yang bisa membunuh orang sambil tertawa.

Begitulah, baru saja ia berhasil menghindarkan diri dari dua buah serangan 'pedang tangan' yang dilancarkan Ting Tong- ih, belum sempat menarik napas untuk mengucapkan beberapa patah kata, tendangan gadis itu kembali menyambar tiba.

Sampai di tengah jalan tiba-tiba tendangan itu terhenti, dua bilah cahaya pedang tahu-tahu sudah melesat keluar dari ujung sepatunya.

Lu Bun-chang berteriak keras, "Triiing!", dia memukul jatuh sebilah pedang terbang yang menyambar tiba namun gagal menghindari serangan kedua, tak ampun lagi pisau terbang itu menghujam tulang rusuk kanannya.

Rasa sakit yang luar biasa membuat hawa amarahnya memuncak, sebuah serangan maut segera dilancarkan, dia tusuk dada gadis itu.

Ting Tong-ih sendiri meski berhasil melukai Lu Bun-chang dengan pisau terbang yang disembunyikan di balik sepatunya, namun dia sendiri juga sulit menghindarkan diri dari tusukan maut Lu Bun-chang.

Di saat yang kritis, sekonyong-konyong terdengar suara raungan keras bergema dari balik lemari, di tengah kegelapan mendadak menerobos keluar seseorang yang langsung menyambar sebuah jubah dan digulungkan ke atas pedang itu sambil membetotnya kuat-kuat.

Bila kejadian ini berlangsung di hari biasa, mustahil bagi Tong Keng untuk menggulung pedang Lu Bun-chang dengan sebuah jubah, dia pun tak mungkin mampu membetot tubuh lawan hingga terhuyung.

Saat ini keadaannya berbeda, pertama, karena Lu Bun- chang tidak menyangka kalau di dalam lemari masih ada orang lain, kedua, dia pun sudah terluka, maka begitu dibetot, tak ampun tubuhnya langsung terjerembab ke dalam lemari baju.

Dalam keadaan seperti ini, Lu Bun-chang hanya merasakan dadanya sakit bukan kepalang, waktu itu dia hanya sempat melindungi kepala serta dada sendiri, sementara tubuh bagian lainnya entah sudah terhajar berapa kali bogem mentah dan tendangan keras.

Tong Keng sendiri pun tidak menyangka kalau ia berhasil menarik tubuh Lu Bun-chang hingga terjerembab ke dalam lemari, bahkan berhasil menguburnya di tengah tumpukan pakaian dan menghajarnya habis-habisan, belum sempat dia melakukan serangan lebih jauh, sekawanan prajurit telah menerobos masuk ke dalam kamar.

Kawanan prajurit itupun amat terperanjat ketika secara tiba-tiba melihat Tong Keng menerjang keluar dari dalam lemari baju, beberapa orang di antaranya segera mengenali pemuda itu, teriaknya keras, "Tangkap pembunuh! Tangkap pembunuh!"

Tong Keng melengak, batinnya, "Sialan! Aku toh tidak membunuh pembesar she Lu ini, kenapa disebut pembunuh?"

Tak selang berapa saat, kawanan prajurit itu sudah mengayunkan goloknya sambil menerjang maju ke muka. Dengan garang dan buasnya mereka mengayunkan golok sambil menerjang ke arah Tong Keng, tak seorang pun di antara mereka yang menggubris keselamatan Lu Bun-chang, orang-orang itu hanya tahu bila berhasil menangkap Tong Keng atau membunuhnya, maka hadiah besar telah menanti mereka.

Ting Tong-ih tidak tinggal diam, dia rampas sebilah pedang dan kemudian menusuk ke depan merobohkan prajurit yang berada paling depan, sambil menarik ujung baju Tong Keng, bisiknya, "Ayo, cepat kabur!"

"Tunggu sebentar!" kata Tong Keng yang tiba-tiba menjadi kalap, bukannya mundur dia malah maju ke depan, kepalan dan tendangannya silih berganti dilontarkan, dalam waktu singkat serbuan keempat lima orang pengepungnya berhasil dipukul mundur.

Bukan hanya itu, dia berhasil mencengkeram tengkuk salah seorang prajurit dan menariknya ke belakang.

Dengan ketakutan setengah mati prajurit itu membuang goloknya sambil meronta, dengan wajah pucat-pias teriaknya berulang kali, "Tak ada urusan denganku, jangan bunuh aku, jangan bunuh aku”

"Apa maksud kalian menyebutku sebagai pembunuh?" hardik Tong Keng keras.

"Apa?" prajurit itu balik tertegun.

Sementara itu kembali ada dua orang prajurit yang berhasil mendekat, seorang di antaranya segera dirobohkan Ting

Tong-ih sedang yang lain kena bacokan di lengannya oleh sabetan senjata Tong Keng.

Sekali lagi Tong Keng menendang orang itu dengan keras, teriaknya, "Cepat jawab, kenapa kalian menuduhku sebagai pembunuh?" Setahunya, dia masuk penjara dengan tuduhan 'pagar makan tanaman, mencuri barang kawalan sendiri, merampok harta milik pemerintah', tapi sekarang ditambah tuduhan baru sebagai pembunuh, hal ini membuatnya uring-uringan.

Saking takutnya prajurit itu sampai gemetar keras hingga gigi pun saling beradu, sahutnya tergagap, "Aku ... aku ... bukan urusanku ... atasan bilang kau ... kau kabur dari penjara ... membunuh Li-siauya”

Tong Keng meraung keras, sepasang tangannya diayunkan dan dia lempar tubuh orang itu jauh ke belakang, teriaknya semakin kalap, "Bagus, bagus sekali, memang aku yang membunuhnya! Memang aku yang merampok uang negara!

Terserah kalian, senang menuduhku sebagai apa, tuduhkan saja kepadaku, mau menyiksaku dengan cara apapun aku siap menghadapinya."

Tong Keng memang memiliki perawakan tinggi kekar, ucapan yang diutarakan dengan sikap menantang ini membuat keadaannya mirip harimau yang siap menerkam mangsa, untuk sesaat para prajurit yang melakukan pengepungan terkesiap hingga untuk sesaat tak seorang pun berani maju menyerang.

Salah seorang di antara kawanan pengepung itu segera berseru dengan suara berat, "Tong Keng, kalau kau sudah mengakui dosamu, kenapa tidak segera menyerahkan diri? Kalau sampai ditangkap sendiri oleh si opas sakti Li-thayjin, baru tahu rasa nanti!"

Sejujurnya dalam hati kecil Tong Keng pun merasa ketakutan, apalagi sebagai mantan penghuni penjara yang sudah kenyang merasakan segala siksaan dan penderitaan, tentu saja dia tak ingin ditangkap dan dijebloskan kembali ke dalam neraka hidup itu.

Tak heran kalau hatinya menjadi kebat-kebit tak keruan setelah mendengar si opas sakti Li Hian-ih turut terjun dalam pelacakan buronan kali ini, ia sadar kesempatan untuk hidup bertambah sempit.

Sadar posisinya bertambah bahaya, Tong Keng menjadi nekad, sembari meraung keras dia siap menerjang ke muka untuk mengadu nyawa.

Tapi sebelum ia bertindak, mendadak terdengar jeritan ngeri yang memilukan hati berkumandang dari luar kamar.

Jeritan ngeri itu sangat menyayat hati, bukan saja mendatangkan perasaan pilu bagi yang mendengar, bahkan mendirikan bulu roma.

Begitu jeritan ngeri berlalu, suara pertarungan sengit dan bentroknya senjata tajam berkumandang makin ramai, terdengar seseorang membentak nyaring, "He, bangsat, kalau tidak segera menyerahkan diri, nasib tragis beginilah yang akan kalian terima!"

Lalu terdengar ada seseorang menyahut, "Tak usah banyak bacot, mau tangkap mau bunuh silakan dicoba!"

Dari suara jeritan ngeri itu Tong Keng segera mengenali siapakah dia, ternyata suara itu berasal dari Ban Lo-liok.

Bila ditinjau dari jeritan ngerinya yang memilukan hati, bisa disimpulkan bahwa Ban Lo-liok telah ketimpa musibah dan jiwanya tak tertolong lagi.

Suara jeritan ngeri itu bukannya membuat nyali Tong Keng bertambah surut, ia justru terangsang untuk menyerang lebih nekad, semangat bertarungnya semakin berkobar, dia sadar segala fitnah dan tuduhan yang ditimpakan kepadanya secara tertubi-tubi membuat posisinya amat kritis dan berbahaya, setiap saat jiwanya terancam bahaya maut, tapi bagaimanapun ia bertekad mempertahankan nyawanya, paling tidak semua dendam dan sakit hatinya harus dibalas terlebih dulu. Sementara itu untuk kedua kalinya kembali Ting Tong-ih berseru kepadanya, "Ayo, kabur!"

Di tengah kilatan cahaya pedang, ia sudah membuka sebuah jalan berdarah....

Tong Keng segera mengikut di belakangnya menerjang keluar pintu kamar.

Sebenarnya mereka berdua berniat kabur melalui jendela, tapi seluruh atap rumah, luar jendela, bawah loteng maupun di luar pagar pekarangan sudah bersiap begitu banyak jagoan yang siap mengepung mereka, baru saja kedua orang itu tiba di depan pagar loteng, dari balik kegelapan terlihat beberapa tempat mulai terbakar.

Di tengah kobaran api yang semakin membara, tampak bayangan manusia bergerak kian kemari, tak lama kemudian di seluruh pelosok sudah terjadi kebakaran hebat.

Ting Tong-ih sadar, sebagian besar saudara yang selama ini dibina Kwan Hui-tok telah menemui ajalnya terbakar oleh kobaran api dahsyat itu.

Cepat dia menyelinap ke tepi pagar, di balik keheningan yang mencekam seluruh jagad, lamat-lamat ia mendengar suara ujung baju yang tersampuk angin bergema dari empat penjuru, suara ujung baju yang mengandung hawa pembunuhan.

Sadar akan mara bahaya yang mengancam di depan mata, gadis itu urung melompat turun, dia menarik baju Tong Keng dan diajak berbalik ke dalam kamar dan mencoba menyerbu lewat situ.

Tampaknya para opas dan prajurit yang berjaga di dalam kamar tidak mengira kalau Ting Tong-ih serta Tong Keng akan berbalik arah, mereka menjadi kelabakan dibuatnya.

Mereka berdua segera menerjang keluar dari kamar, sepanjang jalan terlihat mayat bergelimpangan dimana-mana, pelayan, dayang, pelacur, ada yang terluka, ada yang merintih di tengah genangan darah, ada pula yang tewas mengenaskan.

Ji-losam serta dua orang lelaki penggotong tandu masih terlibat pertarungan sengit melawan sekawanan opas dan prajurit, sementara dua orang penandu yang lain, satu sudah mati terkapar sementara yang satu lagi sudah tertawan, namun luka yang dideritanya teramat parah.

Tong Keng segera mengayunkan sepasang kepalannya berulang kali dan merebut sebilah golok besar, saat itulah dia lihat ada seorang prajurit sedang menendang seorang wanita yang sudah luka terkapar di tanah sambil merintih.

Tak tahan dengan perlakuan orang itu, Tong Keng langsung menyergapnya sambil melancarkan bacokan, agaknya prajurit itu tidak menyangka kalau di antara lawannya yang sudah terkepung rapat, ada seorang di antaranya sempat membalikkan badan sambil menghadiahkan bacokan ke tubuhnya.

Dalam gugup dan gelagapannya, opas itu segera membalikkan goloknya sambil balas membacok dada kanan Tong Keng.

Tong Keng mendengus, bukan menarik kembali serangannya, dia malah membacok dengan sepenuh tenaga, cepat opas itu menangkis dengan tangan kosong, tak ampun kelima jari tangannya segera terpapas kutung.

Gugup dan takut membuat opas itu seolah lupa dengan rasa sakit yang mencekam tangannya, segera teriaknya, "Ampuni aku, ampuni aku”

Sebenarnya Tong Keng akan menambahi dengan sebuah bacokan lagi, tapi akhirnya dia mengubah bacokan menjadi sebuah tendangan keras, umpatnya, "Perbuatan kalian memang laknat, melihat orang lantas membunuh, tingkah lakumu lebih jahat dari seorang perampok!"

Waktu itu Ting Tong-ih sudah menyerbu turun ke bawah loteng, baju birunya dilapisi cahaya golok menerkam ke sana kemari. Sementara Tong Keng yang tertinggal di atas loteng seketika dikepung tujuh delapan orang opas dan prajurit, gadis itu sempat mendongak ke atas, tampaknya ia sedang mempertimbangkan apakah perlu menolong Tong Keng atau tidak, tapi sebelum memutuskan, pintu kamar sudah diterjang orang hingga hancur berantakan, menyusul kemudian terlihat seseorang menerjang masuk ke dalam.

Sungguh cepat gerakan orang itu, begitu keluar kamar dia langsung menerkam ke bawah loteng, tangan kanannya mencengkeram bahu kiri Ting Tong-ih dengan kuat.

Gadis itu membalikkan pedangnya melepaskan tusukan, cepat orang itu menarik kembali tangannya dan berganti menggunakan tangan kiri untuk mencengkeram bahu kanan nona itu.

Ting Tong-ih segera mundur sejauh tiga langkah, tapi orang itu menempel terus, begitu lawannya mundur dia langsung merangsek maju.

Gadis itu tahu, bertahan terus bukan pemecahan yang menguntungkan. Dalam gugup dan gelisahnya ia membalikkan pedangnya kemudian menusuk tenggorokan lawan.

Orang itu tertawa dingin, tangannya menyapu ke atas dan mencengkeram tubuh lawan.

Sekarang Ting Tong-ih dapat melihat jelas wajah lawannya, ternyata dia adalah Lu Bun-chang. Sadarlah si nona bahwa tiada harapan lagi baginya untuk bisa lolos dari cengkeraman iblis itu malam ini.

Waktu itu Tong Keng yang sedang bertarung sengit di atas loteng kena dihajar sebuah tendangan yang dilepaskan seorang opas, punggungnya langsung menumbuk pagar loteng hingga patah, tubuhnya pun langsung terjungkal ke bawah.

Ketika tubuh Tong Keng terlempar jatuh ke bawah loteng, telinganya sempat menangkap suara deru angin tajam yang mendengung di sisinya, tampaknya potongan kayu pagar dan sejumlah senjata ikut rontok pula ke bawah. Tiga empat orang opas dan prajurit ternyata turut melompat turun ke bawah melakukan pengejaran.

Tak terlukiskan rasa kaget Tong Keng, jeritnya di dalam hati, "Habis sudah riwayatku kali ini, sungguh menyesal aku mesti mati dengan cara begini”

Sekonyong-konyong punggungnya yang terjatuh ke bawah menyentuh sesuatu benda.

Dia mengira sudah mencapai permukaan tanah, diam-diam ia bersiap menghadapi getaran keras karena benturan serta rasa sakit yang luar biasa.

Di luar dugaan, tubuhnya seakan-akan terjatuh di tengah gumpalan awan yang tebal, sama sekali tidak terasa sakit.

Reaksi yang dilakukan Tong Keng cukup cepat, ia langsung melejit bangun, tampak tiga orang opas yang tergeletak di sampingnya kalau bukan tertusuk pergelangan tangannya, lutut kakinya pasti menderita luka parah.

Padahal mereka adalah tiga orang musuh yang sedang mengejarnya, tapi dalam waktu singkat mereka sudah terluka parah dan kehilangan kemampuan untuk melanjutkan pertarungan.

Dengan perasaan terperanjat Tong Keng berpaling, ia lihat ada seseorang berdandan opas dengan mengenakan kopiah kebesaran tapi menutup wajahnya dengan secarik kain, berdiri di situ sambil memegang sebilah golok yang amat besar dan berat. Sekalipun senjata itu amat berat, namun berada di tangannya seolah sebuah benda yang sangat ringan.

Sekilas pandang, Tong Keng dapat menyaksikan dengan jelas bahwa luka yang diderita ketiga opas itu sebenarnya terhitung sangat ringan, walau enteng namun justru membuat mereka sama sekali kehilangan kekuatan untuk bertempur, bila seseorang tidak memiliki kepandaian tinggi, mustahil dia mampu berbuat demikian.

Dia bertambah kaget setelah melihat luka enteng itu ternyata dihasilkan dari serangan sebilah golok raksasa yang begitu besar dan berat, hal ini semakin membuktikan bahwa kungfu yang dimiliki orang ini memang luar biasa.

Sementara dia masih melamun, orang itu kembali membentak dengan suara berat, "Cepat terjang keluar dari sini!"

Tampak dia memainkan golok raksasa itu hingga berubah menjadi cahaya golok yang berkilauan, walaupun tubuhnya menerjang ke tengah kepungan, namun orang itu sama sekali tidak menggunakan goloknya untuk melukai lawan, dia hanya menotok atau menyodok bahu serta lutut lawan hingga saling bertabrakan dan roboh terjungkal.

Sekali pandang Tong Keng merasa seakan pernah kenal orang ini, rasa ingin tahunya membuat dia segera berteriak keras, "He, Hohan, kau adalah...?"

Orang itu berperawakan tinggi besar, senjata goloknya pun amat berat, tapi setiap kali berhasil menerobos masuk ke dalam lingkaran kepungan lawan, goloknya selalu hanya digunakan untuk merobohkan musuh tanpa melukainya, orang ini selain berilmu tinggi dan bernyali besar, hatinya pun sangat mulia.

"Goblok!" terdengar orang itu membentak Tong Keng. Begitu dibentak, Tong Keng baru sadar ia telah berada di hadapan begitu banyak opas dan prajurit yang sedang mengepung, dia malah menanyakan identitasnya secara terbuka, jelas perbuatan semacam ini merupakan perbuatan bodoh.

Dalam waktu singkat orang itu berhasil membuka sebuah jalan berdarah dan memberi peluang kepada Tong Keng untuk kabur dari situ.

Ketika tiba di depan pintu gerbang, Tong Keng segera menyaksikan ada seseorang sedang memainkan sebuah ruyung panjang, ruyung itu bagaikan bayangan naga sakti memaksa para pengepung tak sanggup mendekat.

Tong Keng kegirangan, sebab dia segera mengenali orang itu sebagai kakek si kusir kereta, biarpun cambuknya masih menyambar ke sana kemari, namun napasnya sudah tersengal-sengal, jelas dia sudah mulai kehabisan tenaga.

"Aku segera membantumu!" teriak Tong Keng kemudian.

Kakek itu tidak menjawab, hanya gumamnya, "Patung tanah liat menyeberangi sungai, untuk menyelamatkan diri pun sudah susah, masih ingin membantu orang lain!"

Tong Keng tidak ambil peduli, sambil memutar goloknya ia menerjang ke depan dan menghajar tubuh seorang petugas hingga tubuhnya mencelat ke belakang.,

"He, kalau tidak segera kabur, mau tunggu sampai kapan lagi?" kembali kakek itu membentak.

Begitu melihat kakek itu. Tong Keng pun segera teringat akan keselamatan Kho Kit dan Ji Lo-pat sekalian, segera tanyanya, "Dimana Kho Kit?"

"Sudah mati ... semuanya sudah mati sahut kakek itu dengan mata bercucuran, "aku tidak tahu ... aku tidak tahu” "Sudah, jangan banyak bertanya lagi, segera lari!" mendadak orang berkerudung itu membentak lagi.

Tong Keng bersama kakek itu segera kabur keluar dari pintu gerbang, sembari berlari berulang kali Tong Keng berpaling ke belakang.

Di antara kerumunan orang banyak, lamat-lamat ia saksikan setitik cahaya biru masih bergumul di tengah kepungan berpuluh bayangan hitam dan merah, tampaknya Ting Tong-ih masih terlibat pertarungan sengit melawan seorang berbaju putih.

Tong Keng tak tega menyaksikan kejadian ini, dia merasa tidak seharusnya sebagai seorang lelaki meninggalkan seorang gadis bertarung seorang diri, maka tanpa ambil peduli keselamatan sendiri ia pun berteriak, "Aku tak mau pergi!"

Waktu itu petugas keamanan dan prajurit yang mengepung pintu gerbang makin lama semakin banyak, bahkan dari empat penjuru masih mengalir datang tiada habisnya.

Gelisah bercampur gusar kembali orang itu menghardik, "Mau apa kau?"

Sembari menyerbu ke dalam gedung, sahut Tong Keng, "Kalian pergilah lebih dulu, aku harus pergi bersama enci Ting!"

ooOOOoo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar