Misteri Lukisan Tengkorak Bab 04 : Kehilangan Lengan

4. Kehilangan Lengan.

"Sreeet!", sekonyong-konyong kapak raksasa itu meluncur ke depan.

Dengan cepat Gi Eng-si mengegos ke samping sambil melambung ke udara, cepat dia menyambar kembali senjata kapak andalannya.

Kapak raksasa itu semula berada di tangan Kwan Hui-tok, sekarang mencelat ke udara, ini membuktikan dia bukan tandingan dua bersaudara Yan.

Terbukti juga bahwa kepandaian silat yang dimiliki dua bersaudara Yan masih jauh di atas kungfu yang dimiliki Gi Eng-si!

Dalam hati Tong Keng merasa terperanjat, selama ini dia selalu beranggapan kungfu yang dimiliki Gi Eng-si masih berada di atas kemampuan dua bersaudara Yan, tapi setelah menyaksikan keadaan sekarang, dia baru sadar jika dua bersaudara Yan sebenarnya jauh lebih susah dihadapi.

Kejadian ini membuat perasaannya makin tercekam, perasaan tak tenang mulai mengusik pikirannya.

Terdengar Kwan Hui-tok berkata setelah menghela napas panjang, "Ai! Andaikata kakiku dapat bergerak lebih bebas, belum tentu kalian berdua bisa meraih keuntungan."

Belum sempat dua bersaudara Yan mengucapkan sesuatu, Li Wan-tiong sudah berbicara lebih dulu, "Untung aku mengikuti nasehat dua bersaudara Yan dengan mengutungi kedua kakimu terlebih dulu, coba kalau kau masih dapat berdiri tegak, belum tentu kami sanggup menahan dirimu di sini."

Mendadak terdengar suara ledakan keras bergema dari atap rumah, menyusul suara desingan angin tajam menderu¬- deru, pasir dan atap rumah tahu-tahu berguguran ke bawah menimbulkan kabut tipis yang menyilaukan mata.

Tong Keng tidak menyangka akan terjadinya hal ini, matanya seketika kemasukan debu sehingga untuk sesaat dia tak mampu membuka matanya, dia pun tak tahu peristiwa apa yang telah terjadi.

Terdengar seseorang berteriak keras, "Kwan-toako, kami datang menolongmu!"

Diikuti bergemanya suara pertempuran yang amat sengit.

Tong Keng merasa bahunya bergoncang diikuti getaran yang makin berat, nyaris dia tak kuasa menahan diri.

Ketika matanya dapat dibuka kembali, terlihat noda darah telah membasahi ujung bibir Yan Yu-gi, saat itu dia sedang bersandar di tepi dinding berwarna putih itu, sementara percikan darah menodai seluruh permukaan tembok.

Tiba-tiba Tong Keng merasa orang yang berada di atas bahunya sedikit gontai, baru saja ia akan mengajukan pertanyaan, mendadak ia merasa kepalanya seakan basah oleh cairan kental, lekas dia memeriksa cairan itu yang ternyata adalah darah segar.

"Kwan-toako ” seru Tong Keng terkesiap.

"Cepat kejar Li Wan-tiong” bentak Kwan Hui-tok dengan suara berat, mendadak ucapannya terpotong di tengah jalan, tampaknya ia tersedak seperti paru-parunya mendadak kemasukan air.

"Blaaam!", Tong Keng menyaksikan seorang lelaki berpakaian ringkas roboh bermandikan darah, dalam genggamannya masih memegang sebilah golok.

"Cepat!" kembali Kwan Hui-tok berseru.

Dalam pada itu Li Wan-tiong sudah melompat bangun dari ranjangnya, Gi Eng-si dengan wajah pucat berdiri di sampingnya, sembari bersuit panjang, dia memainkan kapak peraknya ke sana kemari.

Kembali seorang lelaki berpakaian ringkas terbacok telak hingga roboh bersimbah darah.

Tong Keng tidak berpikir panjang lagi, dia langsung menerjang ke arah Li Wan-tiong dengan sepenuh tenaga.

"Weees!", babatan kapak Gi Eng-si kembali menyambar.

Tong Keng segera memejamkan matanya sambil menerjang terus ke muka, dia tak berani memandang datangnya bacokan kapak itu.

Mendadak bahunya terasa ditekan kemudian badannya menjadi enteng, rupanya Kwan Hui-tok sudah melompat melalui atas kepala Gi Eng-si dan langsung menerkam ke tubuh Li Wan-tiong.

Dalam keadaan seperti ini Gi Eng-si tak sempat melanjutkan bacokannya lagi ke tubuh Tong Keng, lekas dia membalik senjatanya sambil berganti membabat ke atas.

Dengan sangat jelas Tong Keng menyaksikan mata kapak itu memercikkan bunga darah, lalu menyambar lewat dari sisi lambung Kwan Hui-tok.

Tapi saat itulah Kwan Hui-tok sudah tiba di hadapan Li Wan-tiong.

"Criiing ...!", lekas Li Wan-tiong mencabut pedangnya.

Kwan Hui-tok mendengus dingin, dengan sebelah tangan dia memukul rontok pedang lawan, tangan yang lain langsung mencengkeram tenggorokannya.

Di saat tubuh Kwan Hui-tok meluncur kembali ke bawah, dia menarik pula tubuh Li Wan-tiong sehingga ikut roboh terjerembab ke tanah. Baru saja tubuh kedua orang itu menyentuh tanah, sesosok bayangan manusia telah menerkam tiba, dia adalah Yan Yu- sim.

Walaupun Yan Yu-sim tiba pada saatnya, namun ia tak berani turun tangan secara gegabah, sebab waktu itu Li Wan- tiong sudah terjatuh ke tangan Kwan Hui-tok.

Tong Keng nyaris tak percaya dengan apa yang dilihat, dia tak mengira kalau kepandaian silat yang dimiliki Li Wan-tiong begitu cetek sehingga tak sampai satu gebrakan ia sudah berhasil ditawan Kwan Hui-tok yang cacad, bahkan sudah terluka parah.

Di belakang tubuh Yan Yu-sim mengikuti tiga orang lelaki bertubuh kekar, seorang bersenjata martil berantai, seorang bersenjata sekop bercula, seorang lagi bersenjata golok bergigi, mereka serentak melancarkan tusukan ke punggung lawan.

Mendadak Yan Yu-sim berpaling, tidak nampak bagaimana caranya dia bergerak, tahu-tahu salah seorang lelaki kekar itu sudah mencelat ke belakang sementara senjata culanya sudah dirampas dan dipakai untuk menangkis bacokan golok bergigi.

"Tahan!" bentak Kwan Hui-tok nyaring.

Yan Yu-sim membuang senjata rampasannya ke tanah, lalu mundur ke samping.

Dalam pada itu Yan Yu-gi dan Gi Eng-si, satu dari depan dan yang lain dari belakang sudah mengepung Kwan Hui-tok dengan rapat, meski mereka mengawasi musuhnya dengan mata buas, namun tak seorang pun di antara mereka yang berani bergerak.

"Jika kalian berani turun tangan lagi” teriak Kwan Hui-tok nyaring, mendadak suaranya tersedak, tampaknya luka dalam yang dideritanya kambuh hingga menimbulkan rasa sakit yang luar biasa, "Aku akan membunuhnya!" Sambil bicara, tangannya segera menggencet dengan sepenuh tenaga, paras muka Li Wan-tiong yang pada dasarnya sudah pucat bagai kertas, begitu kena digencet, kontan mukanya berubah merah padam bagai pantat babi.

Dua bersaudara Yan dan Gi Eng-si saling bertukar pandang sekejap, siapa pun tak berani sembarangan bergerak.

Sementara itu Li Wan-tiong telah berteriak keras, "Kalian tak usah menggubris aku, cepat maju dan bunuh bajingan ini!"

"Kau tidak takut mati?" hardik Kwan Hui-tok gusar. "Hmmm, aku yakin kau tak nanti berani membunuhku!"

ujar Li Wan-tiong congkak.

Cengkeraman Kwan Hui-tok pada tengkuk lawannya segera diperkeras, Li Wan-tiong kontan mendengus tertahan, tapi kembali teriaknya, "Bila kau berani membunuhku, biar kabur ke ujung langit pun jangan harap bisa meloloskan diri! Seluruh opas paling tangguh di kolong langit akan dikerahkan untuk mengejarmu!"

"Bagus, kalau begitu biar kubunuh dirimu!" bentak Kwan Hui-tok sambil tertawa keras, jari tangannya segera disodokkan ke hulu hati lawan.

"Kwan-lotoa, tunggu sebentar!" lekas dua bersaudara Yan berteriak cemas.

"Kalau ada persoalan, mari kita bicarakan secara baik-baik," sambung Gi Eng-si pula dengan perasaan gelisah.

Kwan Hui-tok memandang sekejap sekeliling arena, kemudian memandang pula ke arah Tong Keng, setelah menatap tiga lelaki kekar yang tersisa, ia menarik napas panjang.

"Boleh saja kalau tak menginginkan kematiannya," ia berkata, "tapi biarkan kami pergi dari sini!" Perasaan serba salah segera terlintas di wajah Gi Eng-si, untuk sesaat dia tak tahu apa yang mesti dikatakan.

Sedang Yan Yu-sim segera berkata, "Boleh saja kalian pergi dari sini, tapi bebaskan dulu Kongcu kami."

"Jangan biarkan kawanan bajingan itu kabur dari sini” teriak Li Wan-tiong lagi.

Dengan geram Kwan Hui-tok memperkencang cekikannya, kontan suara teriakan Li Wan-tiong terhenti di tengah jalan.

"Tidak bisa," kembali Kwan Hui-tok berseru, "dia harus pergi bersama kami, setibanya di tempat yang aman, aku pasti akan membebaskan dirinya."

Sementara Yan Yu-sim masih nampak ragu, Yan Yu-gi sudah berseru, "Kwan ... Kwan-toako, kau ... kau harus pegang janji!"

Kwan Hui-tok mendengus dingin. "Hmmm, aku bukan dua bersaudara Yan, perkataan yang sudah diucapkan selalu dianggap sebagai kentut busuk."

"Benar, benar, Kwan-toako memang tersohor karena pegang janji, setiap ucapan yang telah dikatakan tak pernah diingkari," lekas Yan Yu-sim dan Yan Yu-gi berseru hampir berbareng.

Kelihatannya Gi Eng-si kurang setuju dengan keputusan itu, sambil menengok ke arah dua bersaudara Yan, bisiknya ragu, "Tapi ”

"Saudara Gi, yang penting sekarang adalah selamatkan dulu jiwa Kongcu," tukas Yan Yu-sim cepat.

"Betul, apalagi setiap janji Kwan-toako selalu ditepati," Yan Yu-gi menambahkan.

Dalam keadaan begini, terpaksa Gi Eng-si hanya bisa menelan kembali semua perkataannya, andaikata nyawa Li- toakongcu sampai mengalami sesuatu yang tak beres, biar ada dua puluh orang Gi Eng-si pun belum tentu mampu memikul tanggung jawab ini.

Di pihak lain, tiga orang lelaki kekar yang semula bersikap tegang dan penuh kewaspadaan, sekarang mengendorkan ketegangannya dan menghembuskan napas lega. Dua di antara mereka segera memeriksa keadaan luka yang diderita dua orang rekannya, sedang lelaki bersenjata golok bergigi itu segera berseru, "Kwan-toako, kita segera berangkat!"

"Aku kan sudah berpesan, kalian tak usah kemari, kenapa kalian tak mau menuruti perkataanku!" tegur Kwan Hui-tok.

"Bukan hanya kami, enci Ting juga ikut datang," kata lelaki bergolok itu cepat.

Mendadak paras muka Kwan Hui-tok berubah menjadi getir, pahit, sedih bercampur aduk menjadi satu.

Sejak bertemu dengan orang ini, Tong Keng belum pernah menyaksikan jagoan ini memperlihatkan paras muka yang sedemikian sedihnya.

Kendatipun wajah Kwan Hui-tok memperlihatkan kepedihan hati, namun sepasang matanya tetap memancarkan cahaya yang sangat terang.

Tong Keng pernah menyaksikan mimik muka semacam ini, yaitu ketika seorang anak buah dalam perusahaannya jatuh cinta pada putri kesayangan pemilik piaukiok, saat itu rekannya pun tampak macam orang kehilangan semangat.

Mimpi pun dia tak menyangka seorang jagoan tangguh macam Kwan Hui-tok dapat memperlihatkan juga mimik semacam ini.

Tampaknya Yan Yu-sim dan Yan Yu-gi kuatir Kwan Hui-tok salah melakukan pembunuhan dalam situasi seperti ini, lekas mereka maju selangkah sambil bersiap. Mendadak terdengar Kwan Hui-tok berseru nyaring, "Tong- ih berada dimana sekarang?"

Lelaki kekar bersenjata golok bergigi itu tidak menyangka kalau Kwan Hui-tok bakal berteriak sekeras itu, ia tertegun, kemudian sambil membaringkan kembali tubuh rekannya yang bersenjata cula, sahutnya, "Nona Ting mengira kau masih berada dalam penjara, bersama Lo-jit dan Lo-kiu mereka menyerbu ke sana."

"Cepat lepaskan tanda rahasia, perintahkan mereka segera mundur!" lekas Kwan Hui-tok berseru.

"Baik!" sahut lelaki itu, lekas dia bersuit nyaring, satu kali suitan panjang diikuti tiga kali suitan pendek, kemudian tiga kali suitan pendek diikuti satu kali suitan panjang, suara suitan itu keras dan nyaring, bagaikan halilintar yang menggelegar di udara, seketika menggema sampai dimana-mana.

Sementara itu dari dalam penjara sudah terdengar suara gaduh yang sangat ramai, disusul kemudian tampak cahaya api berkobar di sekeliling tempat itu.

Dua bersaudara Yan segera saling bertukar pandang sekejap, kemudian satu dari kiri dan yang lain dari kanan mendesak maju ke muka.

"Celaka!" seru Kwan Hui-tok cemas, "tampaknya jejak mereka sudah ketahuan."

"Toako!" seru lelaki bersenjata martil berantai itu cepat, "lebih baik kau mundur duluan, begitu kau mundur, kami semua segera akan menyusul dari belakang."

"Benar," Tong Keng menambahkan, "Kwan-toako, lebih baik kau mundur dulu...”

"Kita segera mundur bersama” bentak Kwan Hui-tok dengan suara dalam. Ketika dilihatnya dua bersaudara Yan kembali mendesak maju selangkah hingga jarak dengan dirinya begitu dekat, lekas hardiknya, "Berhenti!"

Tiba-tiba "Blammm!", seorang gadis berpakaian ringkas warna biru dengan mantel berwarna ungu telah melayang turun dari atap rumah, dia melayang turun bagaikan sekuntum bunga botan berwarna ungu dan meluncur tiba dalam situasi yang sama sekali tidak terduga.

Begitu tiba di bawah, gadis itu segera berseru, "Kwan- toako!"

Suaranya rendah dan berat, seperti nada rendah dari sebuah khim, tapi iramanya indah dan merdu bagaikan kicauan burung nuri.

Begitu bertemu dengan gadis itu, sorot mata penuh perasaan cinta memancar keluar dari balik mata Kwan Hui-tok, dia seperti ingin mengucapkan sesuatu.

Sedikit dia lengah, Li Wan-tiong yang berada dalam cengkeramannya mendadak membalikkan badan sambil menumbuk ke pinggangnya dengan kuat.

Terdorong oleh tumbukan itu, Kwan Hui-tok mendengus tertahan, cengkeramannya menjadi kendor dan Li Wan-tiong pun terlepas dari cengkeramannya.

Memanfaatkan kesempatan itu, Li Wan-tiong segera melesat ke depan untuk melarikan diri.

Pada saat yang bersamaan Yan Yu-sim dan Yan Yu-gi sudah melesat maju bersama, yang satu menyongsong kedatangan Li Wan-tiong sedangkan yang lain menghadang di muka Kwan Hui-tok.

Kwan Hui-tok sendiri pun sadar, mati hidup mereka tergantung pada apakah dia sanggup menguasai pemuda jahat itu atau tidak, cepat dia meluncur ke muka dan menyusup ke belakang tubuh Li Wan-tiong. Ketika sekali lagi Kwan Hui-tok melancarkan serangan, Yan Yu-sim sudah keburu tiba di tempat kejadian, sepasang jari tangannya segera disodokkan ke muka menusuk sepasang mata lawan.

Kwan Hui-tok menyilangkan telapak tangan kirinya untuk menangkis sodokan kedua jari tangan Yan Yu-sim, sayang tenaga serangan yang disertakan dalam sodokan jari itu sangat kuat, sedemikian dahsyatnya tenaga serangan itu membuat telapak tangannya segera terluka dan muncul dua lubang yang dalam.

Lekas Kwan Hui-tok mengubah tangan kanannya menjadi cengkeraman, dia tangkap tengkuk Li Wan-tiong dan dalam waktu bersamaan berteriak keras, "Kalian cepat pergi, bila Ni Jin-mo keburu datang, jangan harap kita bisa lolos dari sini!"

Li Wan-tiong memang bengal dan angkuh, merasa tengkuknya dicengkeram orang, ia segera membalikkan pedangnya sambil melancarkan bacokan, belum sempat serangan itu mencapai sasaran, kembali Kwan Hui-tok memperkencang kelima jari tangannya lalu secara beruntun menotok tiga buah jalan darah penting di tubuhnya.

Li Wan-tiong lumpuh seketika, pedang yang dipakai untuk menyerang pun segera terkulai lemas.

Kejadian itu berlangsung cepat, serangan sepasang kepalan yang dilepaskan Yan Yu-gi sudah mencapai dada Kwan Hui- tok.

Waktu itu Kwan Hui-tok dengan tangan sebelah sedang menangkis sodokan jari tangan Yan Yu-sim, sedang tangan yang lain dipakai untuk mencengkeram tengkuk Li Wan-tiong, menghadapi pukulan dahsyat yang mengarah ke dadanya, kecuali melepaskan tangkapannya, tidak mungkin dia sanggup menyambut pukulan mayat hidup lawan yang maha dahsyat itu dengan keras lawan keras. Tentu saja Kwan Hui-tok tak sudi melepaskan tawanannya, dia pun enggan mundur ke belakang, dalam waktu yang singkat Yan Yu-gi mengira serangannya pasti akan bersarang telak di dada lawan.

Siapa tahu kenyataan tak seperti yang diduganya, rupanya sodokan kepalan Yan Yu-gi menyambar lewat persis melalui kedua ketiak Kwan Hui-tok dan mengenai sasaran kosong.

Begitu pukulannya mengenai sasaran kosong, Yan Yu-gi sadar gelagat tidak menguntungkan, seandainya waktu itu Kwan Hui-tok memiliki sepasang kaki, jelas dia akan menderita kerugian besar.

Ternyata reaksi yang dilakukan Yan Yu-gi cukup cepat, sambil berpekik nyaring tubuhnya melambung ke atas.

Baru saja Li Wan-tiong meronta keras berusaha melepaskan diri dari cengkeraman lawan, empat lelaki dan si nona tadi sudah serentak meluruk maju ke muka melakukan pengepungan, namun begitu tubuh mereka bergerak, Gi Eng- si ikut bergerak pula ke depan.

Sekali lagi kapak raksasa Gi Eng-si diayunkan ke depan, sekilas cahaya perak menyambar lewat bagai sebuah kipas, diiringi deru angin serangan yang luar biasa, kapak itu sudah mengurung kelima orang musuhnya dengan rapat, sedemikian rapatnya lapisan serangan itu sehingga sulit bagi lawan untuk maju.

Di tengah kilatan cahaya perak, terlihat setitik warna biru menerobos di tengah antara bayangan kapak dan melesat keluar.

Tampaknya kapak raksasa itu segera akan membabat pinggang gadis yang bertubuh ramping itu, sekonyong- konyong gadis itu menjejakkan ujung kakinya di atas permukaan kapak, dengan meminjam tenaga injakan itu tubuhnya melambung ke udara, dengan begitu bacokan kapak raksasa itupun mengenai tempat kosong. Dalam pada itu si nona sudah meluncur ke samping Kwan Hui-tok.

Gi Eng-si tahu, di antara beberapa orang musuh yang berada di hadapannya sekarang, hanya gadis itu yang memiliki ilmu silat paling tangguh, padahal waktu itu dua bersaudara Yan sedang berusaha menolong Li-kongcu, bila dengan kemampuannya tak mampu mengatasi beberapa orang musuh kelas teri ini, mungkin pamornya di kemudian hari, khususnya di mata Li-thayjin, akan turun drastis.

Berpikir sampai di situ, dia pun segera membulatkan tekad, kapaknya sekali lagi dilontarkan ke udara, diiringi pusingan angin tajam, senjata itu langsung mengejar ke tubuh si nona.

Saat itu gadis itu sudah berhasil mencapai belakang punggung Yan Yu-gi, bahkan sempat bertukar satu pukulan dengan lawan, dengan tergopoh-gopoh Yan Yu-gi menangkis datangnya serangan itu, tubuh mereka berdua masing-masing mundur selangkah ke sisi kiri dan kanan arena.

Kwan Hui-tok sangat girang melihat gadis itu berhasil menyusulnya, tapi pada saat itulah dia saksikan kapak terbang itu sudah membabat tiba.

"Hati-hati!" Kwan Hui-tok segera menjerit keras.

Sadar akan datangnya bahaya, cepat gadis itu mengibaskan rambutnya yang panjang, mengikuti kebasan itu mantel yang dikenakan ikut mengembang besar, bagaikan sekuntum bunga raksasa tahu-tahu tubuhnya sudah melambung ke udara.

Kapak terbang itu degan membawa desingan tajam dan cahaya perak nyaris menyambar lewat sisi tubuhnya.

Karena mengenai tempat kosong, kapak terbang itu langsung berpusing kencang dan meluncur ke arah Kwan Hui- tok. Padahal waktu itu Li Wan-tiong persis berada di depan Kwan Hui-tok, dengan begitu pemuda itu malah menjadi tameng hidupnya.

Tentu saja kejadian ini bukan saja membuat Gi Eng-si amat terperanjat, dua bersaudara Yan pun sempat dibuat kalang- kabut, Li Wan-tiong sendiri yang jalan darah di tengkuknya sudah tertotok hanya bisa mengawasi datangnya ancaman itu dengan wajah pucat pasi, pucat karena terperanjat.

Perubahan ini sama sekali di luar dugaan siapa pun, tampaknya kawanan jago itu tak sempat lagi menyelamatkan jiwa Li Wan-tiong.

Di saat yang kritis itulah tiba-tiba terdengar Kwan Hui-tok membentak nyaring, tangan yang semula digunakan untuk mencengkeram tengkuk Li Wan-tiong segera dikendorkan, menyusul kemudian tangannya mendorong ke muka menyingkirkan tubuh Li Wan-tiong dari hadapannya, setelah itu dia bergerak cepat mencengkeram datangnya kapak terbang yang sedang meluncur tiba.

Cengkeramannya amat jitu, dengan tepat dia berhasil mencengkeram gagang kapak itu, dengan sendirinya kapak yang sedang terbang berpusing pun seketika berhenti bergerak.

Menyaksikan adegan ini diam-diam Gi Eng-si menghembuskan napas lega, sementara Yan Yu-sim dan Yan Yu-gi segera bersorak memuji.

Di luar dugaan, tiba-tiba terlihat cahaya pedang kembali berkelebat, Li Wan-tiong yang berhasil lolos dari bahaya maut tahu-tahu sudah memutar pedangnya sambil melepaskan bacokan.

Kwan Hui-tok tidak menyangka kalau Li Wan-tiong bakal memanfaatkan peluang itu untuk mencelakainya, mau menarik kembali tangannya tak sempat, mau mundur pun tak bisa karena sepasang kakinya lumpuh, dalam keadaan begini, mau tak mau terpaksa dia harus menangkis datangnya bacokan itu dengan tangan kanannya.

Tak ampun lengan kanan itu terpapas seketika hingga kutung.

Berhasil dengan bokongannya, Li Wan-tiong tertawa terbahak-bahak, dari gerak serangan pedang dia berganti mencekik dagu Kwan Hui-tok dengan jari tangannya.

"Hahaha, kau tak menyangka akan bernasib seperti hari ini bukan ?” ejeknya sambil tertawa seram, lagaknya amat

bangga.

Saat itulah, "Bruuuk!", lengan kanan Kwan Hui-tok yang masih menggenggam kencang ujung kapak terjatuh ke atas tanah.

ooOOOoo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar