Jilid 38
“SEKARANG JUGA harus berangkat?”
Kakek berjubah hijau itu beranjak menuju ke depan. Sambil berjalan, sahutnya: “Betul, lebih cepat lebih baik untuk kita.”
Dengan mengikuti di belakang kakek berjubah hijau itu, Kwik Soat-kun berjalan menembusi hutan belukar dan semak-semak yang amat lebat…..
Sementara itu perjalanan yang ditempuh kakek berjubah hijau itu makin lama semakin cepat, sehingga mau tak mau terpaksa Kwik Soat-kun harus mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk menyusul dari belakang.
Sepanjang perjalanan, arah yang ditempuh kalau bukan bukit yang tinggi, tentu lembah yang dalam dengan tebing-tebing karang yang curam. Tak selang berapa saat kemudian, Kwik Soat-kun sudah bermandikan peluh…..
Entah berapa bukit dan tebing yang sudah dilewati, entah berapa jurang dan air terjun yang dilalui, beberapa puluh li kemudian kakek berjubah hijau itu baru berhenti di bawah sebuah dinding tebing.
“Mengapa tidak berjalan lagi?” Kwik Soat-kun segera menegur sambil menghembuskan napas panjang.
“Sekarang kita sudah dihadapkan dengan pos penjagaan yang pertama. Aku akan memancing mereka untuk melangsungkan pertarungan, moga-moga saja dua puluh gebrakan saja telah berhasil membinasakan mereka. Jika dalam dua puluh gebrakan aku belum berhasil juga, kemungkinan besar mereka akan dibantu oleh bala bantuan yang segera tiba. Saat itu kau harus berusaha untuk melarikan diri.”
“Tapi bagaimana caranya melarikan diri?” tanya Kwik Soat-kun sambil memandang sekejap sekeliling tempat itu.
“Hal ini harus dipecahkan oleh kecerdasanmu sendiri, aku tak bisa membantumu lagi.” Kwik Soat-kun segera manggut-manggut.
“Baik! Pergilah, aku bisa mengusahakan sendiri untuk kabur dari tempat ini.”
Kakek berjubah hijau itu mengiakan. Mendadak dia melejit ke tengah udara setinggi dua kaki lebih, kemudian melesat dua kaki ke arah depan sana.
Tempat tersebut merupakan sebuah daratan yang amat datar, tapi di sekelilingnya penuh dengan batu karang.
Begitu melayang turun ke bawah, kakek berjubah hijau itu melejit lagi dan melayang dua kaki lebih ke depan.
Di saat tubuhnya siap sedia melompat untuk kedua kalinya itulah mendadak tampak cahaya tajam berkelebat lewat, empat bilah golok telah muncul dari kedua belah sisi batu karang dan bersama-sama melancarkan tusukan ke muka.
Kakek berjubah hijau itu mendengus dingin. Dia miring ke samping untuk mengegos, kemudian menerobos keluar melalui bawah bacokan golok yang datang dari arah utara, sementara tangan kanannya menyambar ke depan mencengkeram kaki dan tangan orang tersebut.
Tergerak hati Kwik Soat-kun setelah menyaksikan peristiwa tersebut, pikirnya: “Hebat sekali kepandaian yang dimiliki orang ini!”
Ketika kakek berjubah hijau itu memuntir tangan orang itu dengan sepenuh tenaga, lelaki bergolok tersebut mendengus tertahan. Tahu-tahu lengan kanannya sudah terpuntir sampai patah menjadi dua sebatas sikunya. Golok yang berada di tangannya pun segera terlepas dari dalam cekalan.
Setelah di tangannya bertambah sebilah golok, maka keadaan dari kakek berjubah hijau itu ibarat harimau yang tumbuh sayap… golok tersebut segera diputar kian ke mari…. “Traang! Traang! Traang!” ketiga bilah golok lawan sudah terbendung semuanya.
Sebenarnya Kwik Soat-kun ada maksud untuk turun tangan membantu, akan tetapi setelah menyaksikan betapa lihaynya ilmu silat yang dimiliki kakek berjubah hijau itu, niat itu pun segera diurungkan.
Di saat dia masih memutar otak untuk memikirkan persoalan inilah, si kakek berjubah hijau itu telah mengembangkan ilmu goloknya untuk melancarkan serangan balasan. Tampak selapis cahaya golok menyelimuti seluruh angkasa, tiga orang lelaki bersenjata golok itu tahu-tahu sudah roboh binasa di ujung senjatanya.
Setelah membunuh ketiga orang itu, kakek berjubah hijau itu baru menggapaikan tangannya ke depan.
Kwik Soat-kun mengiakan dan segera melayang turun dari tempat persembunyiannya. “Locianpwee, ada perintah apa?” tanyanya.
“Cepat tukar pakaian dan ikuti tiga-empat kaki di belakang tubuhku. Bila kau bisa, kau Bagaimana cara kita untuk melarikan diri, sulit untuk ditetapkan mulai sekarang. Segala sesuatunya harus dihadapi menurut keadaan, situasi dan kecerdasan kita sendiri.” “Aku mengerti.”
Sambil membawa golok, kakek berjubah hijau itu melompat ke depan untuk melanjutkan perjalanan. Dalam waktu singkat dia sudah berada dua kaki jauhnya dari tempat semula. Kwik Soat-kun mengikuti di belakang kakek berjubah hijau itu dari kejauhan. Dia tak berani bergerak terlalu dekat sehingga jejaknya mudah diketahui musuh.
Tampaknya kakek berjubah hijau itu bukan cuma hapal dengan wilayah di seputar sana, bahkan terhadap setiap pos penjagaan dari perguruan Tiga Malaikat pun diketahuinya dengan jelas sekali.
Selama ini Kwik Soat-kun hanya mengikuti terus di belakang kakek berjubah hijau itu. Ia pun menyaksikan kakek itu berhasil menembusi enam buah pos penjagaan dan setiap pos penjagaan tidak memerlukan sepuluh gebrakan untuk membereskannya.
Berbicara dari ilmu silat yang dimilikinya itu, boleh dibilang kakek berjubah hijau ini sudah termasuk seorang jago lihay kelas satu dalam dunia persilatan.
Setiap kali pertempuran berkobar, Kwik Soat-kun selalu menyembunyikan diri di belakang batu karang untuk mengamati situasi secara diam-diam….
Bila kakek berjubah hijau itu sudah berhasil menghabisi semua penjaga yang berada di sana, Kwik Soat-kun pun menggunakan gerakan tubuh yang paling cepat untuk menyusul ke depan.
Kelancaran yang berhasil dijumpai kedua orang itu benar-benar di luar dugaan siapa pun. Tak selang berapa saat kemudian, mereka berdua sudah tiba di atas sebuah tebing yang curam.
Darah kental nampak masih meleleh keluar dari atas batang golok yang berada dalam cekalan kakek berjubah hijau itu, sembari berpaling tiba-tiba ia berkata :
“Tampaknya dunia persilatan masih bisa ditolong, kita bisa berhasil tiba disini dengan begitu lancar, sungguh suatu hasil yang sama sekali diluar dugaan.”
Kwik Soat kun mendongakkan kepalanya dan memandang sekejap keadaan sekeliling tempat itu, tampak olehnya diantara dua buah tebing terdapat sebuah celah jurang yang dalam, ketika ia mencoba untuk melongok ke bawah, jurang itu begitu dalam sehingga tak nampak dasarnya…
“Dapatkah nona melompati jurang ini ?” tiba-tiba kakek berjubah hijau itu bertanya. Dengan cepat Kwik Soat kun menggeleng.
“Jurang ini lebarnya mencapai empat kaki, boanpwee tak mampu untuk menyeberanginya.”
“Tapi kau harus melompatinya” ucap kakek berjubah hijau itu dengan suara tegas. Mendengar itu, Kwik Soat kun segera tersenyum.
“Andaikata aku gagal untuk mencapai tempat itu, sudah pasti jiwaku akan melayang, tentu saja aku tak berani untuk melompatinya.”
“Aku akan membantumu, tapi kau harus mempunyai keberanian untuk bertindak lebih dulu karena nasib dari seluruh umat persilatan di dunia ini tergantung pada hasil lompatmu ini.”
Kwik Soat kun memandang lagi ke arah jurang yang lebar dan dalam itu, kemudian menggeleng.
“Locianpwe, boanpwe ingin menanyakan satu hal kepadamu” “Soal apa ?”
“Sanggupkah locianpwe untuk melompati jurang ini ?”
“Sekarang kita tak ada waktu untuk membicarakan masalah tersebut….”
“Boanpwe tidak bermaksud untuk mengajak locianpwe berdebat, bila locianpwe mampu untuk melewati lembah ini, boanpwe bersedia untuk menyerahkan ketiga pucuk surat dari majikanmu itu kepada locianpwe…”
“Buat apa kau berikan kepadaku ?” seru si kakek berjubah hijau itu keheranan. “Diantara kita berdua, yang satu harus menyampaikan surat, sedangkan yang lain harus mati. Bila locianpwe mempunyai keyakinan bisa mengirimkan surat tersebut, boanpwe bersedia untuk mewakilimu mati ditempat ini !”
Kakek berjubah hijau itu segera menghela napas panjang.
“Apabila aku dapat mengirim surat ini, tak nanti aku akan menunggu sampai hari ini.” Kwik soat kun menjadi tertegun setelah mendengar perkataan itu, serunya dengan cepat. “Lantas apa bedanya atanta kau dengan aku ?”
Kakek berjubah hijau itu tidak menjawab, dia hanya menempelkan telapak tangan kanannya keatas punggung Kwik soat kun, kemudian serunya dengan cepat : “Nona, aku akan membantumu !”
Terpaksa Kwik Soat kun harus menghimpun tenaga dalamnya, memejamkan mata dan meloncat ke arah depan.
Disaat tubuhnya sedang melompat ke depan dengan penuh tenaga itulah, tiba-tiba dia merasa munculnya segulung tenaga yang mendorong dari belakang punggungnya sehingga membuatnya terpental jatuh ke arah depan sana.
Oleh karena lompatannya ini menyangkut masalah mati hidupnya, maka Kwik Soat kun telah mengerahkan segenap kekuatan yang dimiliki.
Tatkala dia merasa tenaga yang digunakan sudah habis dan tubuhnya mulai meluncur kebawah, ternyata ia merasakan masih adanya kekuatan yang melontarkan tubuhnya ke depan.
“Blaaammmmm… !” akhirnya dia berhasil mencapai diatas dataran dengan selamat.
Ketika membuka matanya, ia saksikan tubuhnya terjatuh ditepi jurang tersebut, hanya berapa inci saja kebelakang, dia akan terjatuh kedalam jurang.
Kwik Soat kun segera merangkak maju beberapa langkah ke depan, kemudian baru bangkit berdiri dan berpaling.
Tampak kakek berjubah hijau itu mengulapkan tangannya kemudian melompat ke depan dan terjun ke dalam jurang tersebut.
Jurang itu sangat gelap dan tidak nampak dasarnya, sekalipun seorang memiliki ilmu silat yang amat lihai pun, niscaya seluruh tubuhnya akan remuk dan hancur bila terjatuh ke dalam jurang tersebut.
Memandang jurang yang dalam dihadapannya, Kwik Soat kun segera berpikir :
“Dia menghabisi nyawa sendiri tak lain bertujuan agar orang-orang tiga malaikat mengira tiada orang yang terlepas dari sana, bila aku tak mampu untuk menyampaikan surat ini kepada si penerima surat, kematiannya itu benar-benar tak ada harganya.:
Berpikir sampai disitu, dia segera merasakan betapa beratnya tugas dan tanggung jawab yang sedang dipikulnya sekarang.
Tanpa berpikir lebih jauh dia segera membangkitkan lagi semangat sendiri dan melanjutkan perjalanan ke depan.
Berhubung jurang itu tak mungkin bisa diseberangi orang dengan ilmu meringankan tubuh yang betapa sempurnanya, maka orang-orang dari perguruan tiga malaikat tidak menyiapkan penjagaan disekitar tempat tersebut.
Tampaknya kakek berjubah hijau itu memang hapal sekali dengan segala persoalan tentang perguruan tiga malaikat, dalam waktu dan keadaan seperti ini, ditempat tersebut memang tiada orang yang melakukan perondaan.
Kwik Soat kun berlarian kencang meninggalkan tempat itu, dalam waktu singkat dia sudah berada belasan li jauhnya dan berhenti ditengah semak belukar yang lebat.
Sejak orang itu menyerahkan surat tersebut kepadanya, sampai sekarang gadis itu belum sempat memeriksanya.
Maka dia lantas menyembunyikan diri dibalik rerumputan yang lebat, setelah tahu kalau disekitar sana tiada orang, barulah dia mengeluarkan surat tersebut dari sakunya.
Ketiga pucuk surat itu ditulis dalam sampul berwarna putih, diatas sampul it tertera pula nomor-nomor.
Diatas sampul surat yang pertama bertuliskan begini :
“Dibaca sesuai dengan jadwal yang telah diatur, jangan dibuka sebelum waktunya sebab pekerjaan ini merupakan sebuah pekerjaan yang amat sukar, barang siapa telah membaca ketiga pucuk surat itu, maka mereka tak akan berani untuk memikul tugas dan tanggung jawab ini.”
Kwik Soat kun termenung beberapa saat lamanya setelah selesai membaca isi surat tersebut, akhirnya dia memasukkan sampul surat kedua dan ketiga ke dalam sakunya, kemudian membuka sampul surat yang pertama.
Dalam surat itu dituliskan pula beberapa patah kata :
“Berangkat menuju ke jeram Im hong dibukit Thay san dan menjumpai Kiu ci mo ang (kake iblis berjari sembilan), dia adalah seorang tokoh silat yang berada diantara lurus dan sesat, amat suka bermain perempuan, tapi dia seorang yang amat memegang gengsi dan harga diri.”
Isi surat itu pendek namun semuanya mengandung maksud yang mendalam. membuat Kwik Soat kun termenung lama sekali dan belum juga bisa memberi keputusan.
Lama kemudian, akhirnya dia menghela napas, surat itu disimpan kembali didalam sakunya dan segera berangkat menuju kearah timur.
Sepanjang perjalanan Kwik Soat kun merubah dandanan sendiri untuk mengelabui orang lain.
Siang berjalan, malam beristirahat, sepanjang jalan ternyata aman tidak terjadi apa-apa. Hari ini, mendekati tengah hari, dia telah mendekati bukit Thay san yang tinggi menjulan ke awan itu.
Sepanjang jalan Kwik Soat kun berusaha mencari berita, akhirnya selama menghabiskan waktu selama dua hari, sampailah dia di jeram Hong im kian.
Tempat itu merupakan suatu lembah yang amat dalam dan aneh, sekeliling tempat tersebut merupakan batu-batu karang hitam yang tandus dan gundul.
Kabut tebal menyelimuti seluruh lembah sehingga sukar untuk melihat jelas pandangan disekitar sana.
Dengan menggunakan tali yang dibawanya, Kwik Soat kun menuruni lembah tersebut. Sejauh mata memandang, dasar lembah itu penuh dengan rerumputan dan aneka bunga yang indah, pemandangan alam disitu benar-benar memukau hati.
Kwik Soat kun mencari kolam kecil dekat mata air dan duduk disitu, mula-mula dia membersihkan dulu mukanya yang kotor, lalu membuka buntalannya dan mengeluarkan sebuah pakaian yang indah.
Karena sekeliling tempat itu tiada orang, akhirnya gadis itu memutuskan untuk mandi, maka ia segera membuka semua pakaiannya dan segera terjun ke air untuk membersihkan badan.
Ketika selesai mandi dan naik ke darat untuk berpakaian itulah mendadak nampak sesosok bayangan manusia berkelebat lewat, tahu-tahu seorang laki-laki berbaju hitam yang membawa tongkat telah berdiri tujuh depa di depan kolam.
Cepat-cepat Kwik Soat kun menarik pakaian untuk menutupi badannya, kemudian menegur.
“Siapa disitu ?”
Orang berbaju hitam itu mendehem pelan, kemudian menyahut : “Siapa kau ? Mengapa datang ketempat tinggal lohu ?”
Buru-buru Kwik Soat kun mengenakan pakaiannya, setelah itu barulah berkata lagi :
“Apakah kau, Kiu ci mo ang ?”
tampaknya manusia berbaju hitam itu merasa agak tercengang, dia berpaling dan memandang sekejap ke arah Kwik Soat kun, kemudian berseru keras :
“Sudah puluhan tahun lamanya lohu tak pernah meninggalkan lembah ini barang selangkahpun, banyak orang persilatan telah melupakan nama lohu, darimana kau si bocah perempuan bisa mengetahui nama lohu ?”
Kwik Soat kun segera tersenyum.
“Apa yang perlu kau herankan ? Aku datang kemari untuk mencarimu, tentu saja mengetahui pula namamu.”
“Kau datang untuk mencariku ?” tanyanya.
“Kalau bukan datang untuk mencarimu, buat apa aku harus mendatangi lembah sepi yang terpencil dan sama sekali jauh dari keramaian dunia ini ?”
Sekali lagi kakek iblis berjari sembilan mengamati Kwik Soat kun beberapa kejap, kemudian tertawa dingin.
“Heeeh… heeehhh, heeeh, umurmu selisih enam puluh tahun dengan lohu, apabila tiada orang yang memberitahukan hal ini kepadamu, mustahil kau bisa tahu kalau didalam dunia persilatan terdapat seorang manusia seperti lohu ini.”
Kwik Soat kun termenung sejenak, kemudian sahutnya. “Seandainya kau sengaja mengobrol dan mengelabui locianpwe, aku pikir akhirnya toh tak nanti bisa membohongi dirimu.”
“Ya, betul” tukas si kakek iblis berjari sembilan dengan cepat, “selamanya mata lohu tak pernah kemasukan pasir, lebih baik kau berbicara dengan sejujurnya saja,”
“Baiklah ! Tapi sebelum kuterangkan hal ikhwal yang sebenarnya, terlebih dahulu aku ingin mengajukan satu pertanyaan lebih dahulu kepadamu.”
“Katakanlah !”
“Locianpwe sengaja mengasingkan diri dari keramaian dunia, sudah pasti ada sesuatu yang menjadi tujuanmu, bilamana dugaan boanpwe tidak salah, tentunya kau hendak bertapa untuk menjadi dewa bukan ? Entah bagaimanakah hasil pertapaan dari locianpwe
?”
“Budak cilik, kau memang pintar sekali, lohu dapat memberitahukan kepadamu kalau umur panjang mah bisa ada harapan, tapi kalau soal menjadi dewa…. waah, hanya khayalan belaka.”
“Kalau begitu locianpwe belum berhasil mendapatkan ilmu panjang usia dan awet muda
?”
“Aaah, di dalam dunia memang tiada kepandaian untuk memperoleh panjang usia dan awet muda, buat apa lohu mencarinya ?”
“Kalau begitu locianpwe pun dapat meloloskan diri dari kematian…”
Kakek iblis berjari sembilan segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahakbahak.
“Haaahh… haaah… haaahh… tapi lohu masih sehat dan kuat, untuk hidup selama dua tiga puluh tahun lagi pun masih punya harapan.”
“Burung lewat meninggalkan suara, manusia mati meninggalkan nama, apakah locianpwe tidak ingin meninggalkan sedikit kenang-kenangan untuk umat persilatan menjelang saat kematianmu ?”
“Sudah puluhan tahun lamanya lohu menjelajahi dunia persilatan, soal nama dan kedudukan sudah tidak mempunyai daya tarik lagi bagiku…”
Kwik Soat kun segera tersenyum.
“Meskipun locianpwe sudah berhasil mengatasi soal nama dan kedudukan, namun masih belum bisa mencapai tingkatan yang lebih tinggi lagi, sebab hati kecilmu masih tak bisa menghilangkan keinginan dan kesenangan.”
Kakek iblis berjari sembilan segera mengawasi wajah Kwik Soat kun lekat-lekat, kemudian ujarnya.
“Satu-satunya kesenangan lohu hanyalah bermain wanita cantik.” “Apakah boanpwe cukup cantik ?”
“Kau boleh dianggap sebagai nona kecil yang amat cantik namun meski watak lohu tak bisa dibilang sebagai orang baik, namum akupun bukan seorang yang berwatak jelek, bila aku mau menggunakan kekerasan, maka jeram Hong im kian ku sekarang sudah dipenuhi dengan pelbagai gadis cantik.”
“Tentang soal itu mah boanpwe sudah pernah mendengarnya, apabila locianpwe benarbenar seorang setan perempuan tak tahu diri, boanpwe pun tak akan berani datang kemari seorang diri.”
“Sudah lama lohu mengasingkan diri dari keramaian dunia, namakupun sudah dilupakan orang, apalagi umurku sudah lanjut, dan wajahku jelek, sebaliknya kau masih bertubuh perawan, berwajah cantik jelita, mustahil kalau kau datang tanpa disertai dengan suatu maksud dan tujuan tertentu.”
“Kalau dibilang aku tak mempunyai tujuan, sudah pasti locianpwe tidak akan percaya.” “Kalau begitu kau harus mengutarakan alasannya dan merundingkan masalah tersebut dengan lohu sebelum mengambil keputusan.”
“Aku menginginkan kau keluar dari sini untuk menyelamatkan umat persilatan, apakah kau bersedia untuk melakukannya ?”
“Untuk menghadapi perguruan tiga malaikat ?” “Dalam saku boanpwe terdapat sepucuk surat !” “Cepat serahkan kepada lohu.”
Dari dalam sakunya Kwik Soat kun mengeluarkan surat nomor satu, sambil dikeluarkan dia lantas berpikir :
“Orang ini disebut kakek iblis berjari sembilan, meski disebut iblis nyatanya tak sesat.”
Ternyata di dalam sampul surat yang bertandakan nomor satu, selain terdapat sepucuk surat buat Kwik Soat kun, juga terdapat sepucuk surat untuk kakek iblis berjari sembilan. Dengan cepat kakek iblis berjari sembilan menerima surat itu lalu membuka sampulnya dan membaca isinya.
Kwik Soat kun mencoba melirik sekejap ke arah surat tersebut, ternyata isinya amat padat tidak seperti isi surat baginya yang sangat singkat.
Selesai membaca surat tersebut, kakek iblis berjari sembilan segera menyimpan kembali surat itu, kemudian tegurnya :
“Sudah kau baca isi surat itu ?”
“Belum, surat itu sudah dijelaskan hanya tertuju untukmu, bagaimana mungkin boanpwe berani membukanya ?”
“Sayang, sungguh sayang, sudah sepantasnya jika kau membuka sampul ini dan membaca dulu isinya.”
“Mengapa ?”
“Setelah membaca surat itu, kau baru mengambil keputusan untuk datang kemari atau tidak.”
“Tapi, locianpwe yang memberitahukan kepadaku toh sama juga ?” “Lohu mah sulit untuk mengutarakan sendiri akan masalah tersebut.” Diam-diam Kwik Soat kun menghela napas panjang, katanya kemudian :
“Apakah dia mengundang locianpwe untuk keluar dari gunung dan mnyelamatkan dunia persilatan ?”
“Ya, benar ! Memang demikian.” “Apakah locianpwe setuju ?”
“Lohu bisa saja menyanggupi soal tersebut, tapi diantaranya terdapat sebuah syarat.” “Apa syaratnya ?”
“Lohu suka perempuan, apa mau dikata justru tidak memiliki selembar wajah yang bisa menarik hati orang, sedangkan lohu sendiri juga tak ingin memaksakan kehendaknya atas orang lain rupanya dia mengetahui akan penyakitku ini, maka dia telah mengirimkan seorang utusan yang begini cantik dan manis untuk menyampaikan suratnya kepadaku.” Dengan sedih Kwik Soat kun menundukkan kepalanya rendah-rendah, kemudian berkata
:
“Jikalau locianpwe setuju untuk turun gunung dan menolong umat persilatan, boanpwe pun bersedia mempersembahkan tubuhku.”
Terbayang kalau kesucian tubuhnya selama dua puluh tahun ini bakal musnah ditangan seorang gembong iblis yang tua mana jelek lagi, rasa sedih segera muncul dari dalam hatinya, sehingga tanpa terasa dua air mata jauh berlinang membasahi wajahnya.
Kakek iblis berjari sembilan yang menyaksikan peristiwa itu segera tersenyum, tiba-tiba tegurnya :
“Apakah kau merasa bersedih hati ?”
Kwik Soat kun segera tertawa paksa dan cepat-cepat menyeka air mata yang membasahi wajahnya, kemudian menyahut :
“Tidak, aku gembira sekali meski aku harus mengorbankan diri, namun beribu lembar nyawa manusia akan tertolong, aku gembira sekali bisa menyelamatkan mereka dan kegembiraanku ini tak dapat terlukiskan dengan kata-kata !”
“Bila dugaan lohu tidak salah, dalam dunia dewasa ini hanya ada tiga orang yang bisa membantunya, lohu adalah salah seorang diantaranya yang bisa menolong dia.” Mendengar itu, Kwik Soat kun merasa amat terkesiap, segera pikirnya didalam hati : “Walaupun sudah puluhan tahun lamanya ia tak pergi meninggalkan lembah ini, namun terhadap situasi dalam dunia persilatan sama sekali tidak terasa asing.”
Sementara itu, si kakek iblis berjari sembilan telah berkata lebih jauh :
“Dari tiga orang ini, seorang pun tak boleh kurang, moga-moga saja mereka semua masih hidup segar bugar di dunia ini.”
“Seandainya salah seorang diantaranya telah mati ?” tanya Kwik Soat kun dengan cemas. “Bila seorang diantaranya sudah mati, berarti hal ini merupakan kemujuran bagi perguruan tiga malaikat dan sia-sia belaka pengorbanan tubuh sucimu.”
“Maksudmu apabila dua orang yang lain telah mati, maka kau enggan turun gunung ?” “Bila lohu telah mempunyai janji tentu saja aku akan menepati janji, namun sebelumnya aku harus memberitahukan kepadamu, hal mana tak akan banyak membantu.”
Diam-diam Kwik Soat kun menggertak gigi menahan diri, kemudian serunya : “Baiklah ! Aku akan beradu nasib !”
Tiba-tiba saja dia menubruk ke dalam pelukan si kakek iblis berjari sembilan.
Serta merta kakek iblis berjari sembilan merentangkan tangannya untuk memeluk tubuh Kwik Soat kun yang ramping itu, kemudian menundukkan kepalanya mengawasi wajah si nona.
Tampak olehnya, nona itu memiliki perawakan tubuh yang montok dan mempesonakan, kulitnya putih bersemu merah, sepasang matanya dipejamkan rapat-rapat sementara wajahnya kemerah-merahan karena jengah.
Pelan-pelan Kwik Soat kun menyembunyikan kepalanya dalam pelukan kakek iblis berjari sembilan, kemudian ujarnya :
“Walaupun selama ini boanpwe melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, namun
aku selalu menjaga kesucian tubuhku, dalam pandangan boanpwe kesucian badanku jauh lebih penting daripada mati hidupku, apabila locianpwe bersedia turun gunung untuk menolong umat persilatan, boanpwe pun bersedia untuk mempersembahkan tubuh suciku
untukmu, apapun yang hendak locianpwe inginkan dariku, aku bersedia untuk melakukannya.”
“Namun, apabila kau tak bersedia turun gunung, boanpwe minta janganlah merusak kesucian boanpwe.”
Kakek iblis berjari sembilan segera tertawa terbahak-bahak.
“Haaah…. haaaahh… haaah… apabila lohu seorang manusia yang tidak pakai aturan, sudah banyak anak gadis yang rusak ditanganku bahkan jumlahnya mungkin tak terhitung lagi, sudah kukatakan tadi meski lohu suka perempuan namun tidak bermaksud untuk meraihnya dengan kekerasan, bila kau menyesal kini juga aku bersedia untuk melepaskan dirimu.”
Kwik Soat kun mendonngakkan kepalanya memandang sekejap wajah si kakek iblis berjari sembilan yang jelek dan berwarna kehijau-hijauan itu, kemudian katanya : “Ketika boanpwe datang kemari, aku telah bertekad untuk menyelamatkan dunia persilatan, apabila dunia persilatan sudah diselamatkan, meski tubuh harus hancurpun
boanpwe bersedia untuk merasakannya, apalagi menyerahkan kehormatanku ? Tapi yang kukuatirkan adalah janji locianpwe, aku kuatir setelah kau berhasil mencicipi badanku lantas enggan untuk turun tangan, sampai demikian, sudah pasti boanpwe akan bunuh diri seketika itu juga, inilah yang kukuatirkan.”
“Selama hidup, lohu hanya menjaga dua hal, pertama tak mengandalkan ilmu silat untuk menganiaya dan merusak perempuan, kedua memegang setiap janji yang telah diucapkan, apa yang telah lohu sanggupi, tentu saja akan kulakukan….”
Kemudian setelah berhenti sebenta, dia menyambung lebih jauh :
“Diantara perempuan-perempuan yang pernah kujumpai selama ini, kau boleh dibilang terhitung paling cantik, lohu pasti akan mengabulkan permintaanmu itu !”
“Mengapa tidak kau janjikan bahwa pekerjaan tersebut sudah pasti dapat kau selesaikan
?”
“Bila lohu mengatakan sudah pasti dapat kuselesaikan hal itu berarti membohongimu, sebab dua orang yang sudah puluhan tahun lamanya mengasingkan diri dari dunia persilatan, mungkin saja mereka sudah mati karena sakit, mungkin sudah mencapai kesempurnaan dalam pertapaannya, oleh sebab lohu memang tidak bisa menduga apakah mereka masih hidup atau sudah mati di dalam dunia ini.”
“Kalau begitu, kalian bertiga harus berkumpul lebih dulu, dunia persilatan baru ada harapan untuk diselamatkan ?”
“Setelah kami bertiga berkumpul, harus ditambah pula dengan si penulis surat itu sendiri, nah, saat itulah baru boleh dibilang ada harapan…”
“Locianpwe kenal dengan si penulis surat itu ?” “Tentu saja kenal.”
“Siapakah dia ?”
Kiu ci mo ang tertegun, kemudian serunya :
“Kau belum pernah menjumpainya ?”
“Pernah, cuma wakt itu sepasang mataku ditutup denga kain hitam sehingga tidak kuketahui bagaimanakah bentuk wajahnya.”
“Kalau begitu, dia memang ada maksud agar kau jangan mengetahui identitasnya.” “Ya, mungkin saja begitu, boanpwe tak bisa mengetahui maksud hatinya, mungkin memang ada sesuatu maksud, mungkin juga sama sekali tak ada…”
Kakek iblis berjari sembilan segera tertawa hambar.
“Kalau toh dia tidak mengharapkan kau mengetahui identitasnya, lohu pun merasa kurang leluasa untuk membocorkan identitasnya kepadamu.”
Kembali Kwik Soat kun termenung beberapa saat lamanya, kemudian katanya lagi : “Aku tidak dapat menemanimu disini kelewat lama..”
“Kapan kau hendak berangkat ?” tukas kakek iblis berjari sembilan.
“Lebih cepat lebih baik, aku akan menginap semalam disini, besok pagi akan segera berangkat.”
Kakek iblis berjari sembilan menjadi tertegun sesudah mendengar jawaban tersebut, serunya tanpa sadar :
“Apakah kau tidak merasa terlalu terbutru-bur ?” Kwik Soat kun segera tertawa getir.
“Aku bersedia mempersembahkan tubuhku kepadamu karena aku ingin menolong dunia persilatan, kalau bisa, aku ingin sekarang juga mengumpulkan kalian semua dan menciptakan kedamaian dalam dunia persilatan. Kini, setelah aku kehilangan mahkotaku ditanganmu, berarti aku tak mungkin bisa berkumpul denga lelaki yang lain lagi. Oleh sebab itu bila keadaan sudah aman, berapa tahun bisa hidup, akupun akan menemani kau selama beberapa tahun.”
“Kecantikan wajahmu bagaikan bidadari dari kayangan, sedang aku sudah tua mana jelek lagi, lain waktu jikalau kau benar-benar bisa mewujudkan janjimu itu, lohu tiada balas
jasa lain kecuali mewariskan segenap ilmu silatku kepadamu, agar kau bisa mewarisi segenap kemampuan yang kumiliki.”
Kwik Soat kun segera tertawa manis.
“Terima kasih banyak atas maksud baikmu, soal mewariskan ilmu silat, bisa kita bicarakan dikemudian hari saja, sekarang aku justru mempunyai berapa masalah yang kucurigai, aku ingin sekali memohon beberapa petunjuk darimu.”
Dengan langkah lebar kakek iblis berjari sembilan berjalan menuju kedalam gua, dia berjalan sambil membopong tubuh Kwik Soat kun yang cantik jelita itu, kemudian dibaringkan diatas pembaringan dalam gua tersebut.
Waktu itu, Kwik Soat kun memang belum sempat mengenakan pakaiannya dengan baik, dia lantas melompat turun dari pelukan kakek iblis jari sembilan, menyambar sebuah kain dan sambil merebahkan diri diatas pembaringan dia menutupi tubuhnya dengan kain tersebut.
Kemudian sambil tertawa merdu katanya :
“Walaupun si penulis surat itu menitahkan kepadaku untuk menutupi sepasang mataku selagi bertemu dengannya, tapi aku pikir mungkin dia masih mempunyai alasan lain, paling tidak ia menaruh kepercayaan kepadaku sehingga ketiga pucuk surat tersebut baru dia serahkan kepadaku untuk menyampaikannya.”
“Kau ingin menanyakan identitasnya ?”
“Apabila kau tidak ingin membocorkan identitasnya, kau tak usah menyebut nama orang itu tapi aku ingin mengetahui apa gerangan dengan perguruan tiga malaikat itu ? Hingga dewasa ini, apa yang kulihat tentang keadaan dalam perguruan tiga malaikat rasanya makin lama semakin rumit dan kacau membuat orang merasa tidak habis mengerti saja, cukup soal Buyun Tiang kim saja, di dalam perguruan tiga malaikat terdapat tiga orang….”
“Ya, memang cukup kalut” sela kakek iblis berjari sembilan. Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya :
“Beritahu kepadaku, macam apakah Buyung Tiang kim yang pernah kau jumpai itu ?” “Ada diantaranya yang kusaksikan dengan mata kepala sendiri, ada pula yang kudengar dari rekanku.”
“Tapi entah apa yang kau dengar dan apa yang kau lihat, paling baik jika kau utarakan semuanya !”
“Orang pertama disekap dalam kota batu dibawah tanah.”
Sorot matanya segera dialihkan ke wajah kakek iblis berjari sembilan, kemudian terusnya.
“Kau tahu tentang kota batu dibawah tanah ?”
“Ya, mengetahui sedikit, sayang tidak terlalu banyak.”
“Dalam perguruan tiga malaikat, selain ruang Sam seng tong dimana semua perintah dikomandokan, masih ada sebuah kota batu dibawah tanah yang digunakan untuk mengurung jago-jago persilatan kelas satu, ditempat itulah Buyung Tiang kim disekap, cuma kemudian kami mendapat tahu kalau dia itu gadungan, hanya digunakan orang untuk mengelabui musuh.”
Kakek iblis berjari sembilan manggut-manggut.
“Bagaimana dengan Buyung Tiang kim yang kedua ?' ujarnya kemudian.
“Dia adalah orang yang menguasai seluruh kota batu dibawah tanah seolah-olah merupakan dua aliran yang berbeda tapi seperti juga dua aliran yang dipersatukan, sungguh membuat orang tak habis mengerti siapakah sesungguhnya orang yang menguasai perguruan tiga malaikat tersebut.”
Kakek iblis berjari sembilan itu memanggut-manggutkan kepalanya kemudian : “Sekarang, lebih baik kita membicarakan soal Buyung Tiang kim lebih dahulu, dia adalah kunci utama didalam masalah ini. Orang ini pula yang selama puluhan tahun selalu memikirkan soal keselamatan umat persilatan, dulu tiada orang begitu dikemudian
haripun tak akan ada. Sekarang beritahu dulu kepadaku, manusia macam apakah Buyung Tiang kim yang ketiga ?'
Kwik Soat kun termenung beberapa saat lamanya kemudian berkata : “Locianpwe, tampaknya kau tertarik sekali dengan persoalan Buyung Tiang kim ?” “Benar, asalkan gerak gerik Buyung Tiang kim puluhan tahun ini bisa dibikin jelas,
berarti sudah mengungkap banyak masalah dunia persilatan selama puluhan tahun ini.” “Tapi sudah lama kau tidak pernah terjun ke dunia persilatan, bagaimana mungkin bisa mengetahui masalah dunia ?” tanya Kwik Soat kun.
“Walaupun sudah banyak tahun lohu tak pernah meninggalkan lembah ini, namun setiap kejadian besar yang berlangsung dalam dunia persilatan selalu dilaporkan seseorang kepadaku” kata kakek iblis berjari sembilan dengan cepat, “cepat lanjutkan kata-katamu, penyakit lohu yang paling besar adalah tak mampu menahan diri, siapa tahu kalau dalam gembiraku nanti semua rahasia yang tersimpan dalam dada lohu pun kuberitahukan semua kepadamu.”
Kwik Soat kun mengerdipkan sepasang matanya yang bulat sejenak, kemudian katanya. “Buyung Tiang kim yang ketiga adalah sesosok mayat yang sudah mati lama, selain dia masih ada lagi seorang pendeta dan seorang tosu, agaknya tiga sosok mayat tersebut telah diatur secara khusus dan istimewa.”
“Darimana kau bisa tahu ?” tanya kakek iblis berjari sembilan.
“Pakaian yang mereka kenakan sudah lapuk, tapi kulit tubuh maupun raut wajah mereka masih utuh dan sama sekali tidak berubah.”
Kakek iblis berjari sembilan segera manggut-manggut. “Oooh, rupanya begitu.”
“Inilah ketiga orang Buyung Tiang kim yang pernah kudengar dan kusaksikan sendiri” Kwik Soat kun mengakhiri ucapannya.
Kakek iblis berjari sembilan segera menghela napas panjang.
“Aaai… kalau begitu, peristiwa mana benar-benar bikin kepala orang menjadi pusing tujuh keliling, namun kalian toh sudah membuktikan kalau orang yang disekap itu gadungan ! Ini berarti tinggal dua orang Buyung Tiang kim lagi…”
“Kalau dia sudah mati, berarti segala sesuatunya akan beres” sambung Kwik Soat kun. Kakek iblis berjari sembilan menghela napas panjang.
“Aaai… Buyung Tiang kim sudah dua puluh tahun lamanya meninggal dunia, kalau dibilang mati, lebih cocok kalau dibilang sudah lenyap tak berbekas. Selama dua puluh tahun yang lampau tak usah kita singgung, bila kita tinjau dua puluh tahun kemudian, hampir setiap kejadian besar yang berlangsung dalam dunia persilatan, semuanya menyangkut nama Buyung Tiang kim.”
Tergerak hati Kwik Soat kun setelah mendengar perkataan itu, serunya dengan cepat.
“Setelah mengasingkan diri kemari, apakah locianpwe masih mengadakan hubungan terus dengan Buyung Tiang kim ?”
Kakek iblis berjari sembilan segera tertawa terbahak-bahak.
“Haaah… haaahhh… haaah… benar, benar. Andaikata lohu bukan dipaksa oleh semacam kekuatan yang luar biasa, masa aku rela berdiam selama puluhan tahun lamanya dalam lembah ini ?”
Satu ingatan seakan-akan melintas dalam benak Kwik Soat kun, dia seperti menemukan sebuah titik terang, namun tak mampu untuk menangkap beberapa titik penting dari masalahnya, sehingga akhirnya sambil memeluk lutut, ia duduk terpekur sambil melamun.
Inilah sebuah gaya yang indah dan sangat memukau hati, membuat kakek iblis berjari sembilan yang gemar bermain perempuan dan sudah puluhan tahun terkurung dalam bukit itu terpengaruh oleh kobaran napsu birahi, agaknya ia sudah tak mampu untuk menahan diri lagi.
Mendadak kakek iblis berjari sembilan maju dua langkah ke depan dan menarik pakaian yag dipakai Kwik Soat kun untuk menutupi badannya itu hingga robek menjadi dua bagian.
Sesosok tubuh yang putih bersih dengan sepasang payudara yang montok dan kenyal segera muncul didepan mata, sesosok tubuh dengan potongan badan yang amat indah. Kakek iblis berjari sembilan segera membentak keras, sambil membuang tongkat ditangannya dia langsung menubruk ke atas pembaringan beralas kulit harimau itu.
Kwik Soat kun menjerit lengking, tapi dengan cepat dia menjadi sadar kembali akan maksud tujuan dari kakek iblis tersebut, maka sesudah tertawa sedih, diapun membenamkan kepalanya didalam pelukan kakek iblis berjari sembilan.
Agaknya kakek iblis berjari sembilan merasakan suatu kegembiraan dan rangsangan yang amat sangat, sekujur tubuhnya gemetar keras, sementara sepasang cakar burungnya segera memeluk tubuh Kwik Soat kun yang telanjang ini dengan penuh bernapsu.
Kwik Soat kun yang berhati welas asih mau berkorban demi keselamatan orang lain, kini ia telah bersiap sedia menerima terkaman ganas dari lelaki yang sudah lanjut usia itu.
Sepasang matanya segera dipejamkan rapat-rapat, dia sudah bersiap sedia menantikan tindakan berikut dari lawan jenisnya.
Mendadak dia merasakan sepasang tangan yang memeluk tubuhnya itu makin lama semakin bertambah kendor, kemudian… “Blaam !” tubuh si kakek iblik berjari sembilan itu segera roboh terkulai dari atas pembaringan.
Ketika ia membuka matanya, tampaklah kakek iblis berjari sembilan itu sedang duduk bersila diatas tanah sambil memejamkan matanya rapat-rapat.
oooOooo
Tatkala gadis itu meneliti raut wajahnya dengan lebih seksama, maka terlihat kalau hawa napsu birahi yang semula menyelimuti wajah kakek tersebut, kini sudah luntur dan
hilang, sebagai gantinya hanya rasa sakit dan penderitaan yang menyelimuti wajah kakek tersebut.
Kwik Soat kun mejadi keheranan setengah mati, segera tegurnya dengan wajah tercengang.
“Locianpwe, mengapa kau ?”
Kakek iblis berjari sembilan sama sekali tidak menjawab, dia masih tetap duduk bersila tanpa bergerak.
Kwik Soat kun segera mengeluarkan pakaian dan dikenakan kembali, kemudian baru berpaling ke arah kakek iblis berjari sembilan.
Waktu itu rasa sakit dan menderita yang semula menghiasi wajah kakek iblis berjari sembilan, kini sudah lenyap dan hilang, kesegaran telah pulih kembali seperti sedia kala. “Heran, apa gerangan yang telah terjadi ?” demikian ia berpikir, “padahal keadaanku ibaratnya anak domba yang menunggu dijagal, mengapa secara tiba-tiba dia melepaskan diriku dengan begitu saja ?”
Sementara itu, kakek iblis berjari sembilan telah menghembuskan napas panjang, lalu sambil membuka matanya dia berseru :
“Sungguh lihai ! Sungguh lihai !”
Sorot matanya segera dialihkan ke wajah Kwik Soat kun, kemudia katanya : “Bocah perempuan, kau boleh pergi.”
Ucapan mana kontan saja membuat Kwik Soat kun menjadi tertegun, serunya tanpa terasa.
“Kau suruh aku kemana ?”
“Lohu tak dapat memperoleh tubuhmu, hal ini hanya bisa disalahkan ketidakmampuan lohu sendiri, kau berada disinipun tak ada gunanya, lebih baik pergi saja dari tempat ini
!”
“Boanpwe bersedia mengorbankan tubuhku demi menyelamatkan dunia persilatan dari ancaman bencana, tujuanku tulus dan pengorbananku ikhlas, locianpwe tak usah mengasihani diriku.”
Sambil berkata, pelan-pelan dia melepaskan kembali pakaian yang dikenakannya itu. Buru-buru kakek iblis berjari sembilan menggoyangkan tangannya berulang kali.
“Tidak usah, tidak usah. Kulitmu halus seperti susu, tiada tubuh indah seindah tubuhmu yang pernah kujumpai selama ini. Sayang lohu tak punya rejeki untuk menikmatinya, sekarang aku ingin bersemedi selama beberapa hari lebih dulu, kemudian akan berangkat untuk memenuhi janjiku kepadamu itu.”
Ucapan tersebut benar-benar mencengangkan Kwik Soat kun, dia segera mengerdipkan matanya yang terbelalak besar, kemudian serunya :
“Locianpwe, kau..”
“Aku tahu bahwa watakku ini serakah dan kelewat mementingkan diri sendiri, apa salahnya bila aku sekali-kali berbuat sosial ?”
Kwik Soat kun segera bangkit berdiri, kemudian serunya :
“Kalau begitu kita akan berjumpa dimana ?”
“Lohu pasti akan datang berkumpul sesuai dengan saat yang dijanjikan, kau tak usah kuatir.”
Disamping keheranan Kwik Soat kun juga merasa bersyukur karena berhasil meloloskan diri dari cengkeraman mulut harimau, sambil melangkah turun dari pembaringan, dia lantas berkata :
“Kalau begitu, harap locianpwe suka baik-baik menjaga diri, boanpwe akan pergi dulu.” Kakek iblis berjari sembilan manggut-manggut.
“Dua orang yang lain jauh lebih sukar dihadapi daripada diriku, kau harus berhati-hati, lohu hanya bisa mengucapkan semoga kau berbahagia selalu.”
Selesai berkata, dia memejamkan matanya dan tidak menengok lagi ke arah Kwik Soat kun.
Ketika sampul surat kedua dibuka, dari dalamnya ditemukan pula secarik kertas yang berbunyi :
“Berangkat ke kuil Siong gwat koan di bukit Hong san dan mencari Hongya tojin (tosu bisu edan), serahkan surat ini kepadanya, Hong ya tojin berwatak kejam, buas dan paling suka menyaksikan orang lain sedang menderita kesakitan, namun kesadaran otaknya sama sekali tak hilang.”
Walaupun hanya berapa patah kata namun ia telah melukiskan watak dari Hongya tojin ini dengan amat jelas.
Dia adalah seorang manusia yang sadis, bisu, kejam, dingin dan sama sekali tak perasaan. Setelah menyimpan sampul surat itu, Kwik Soat kun menghembuskan napas panjang, kemudian berangkat menuju ke bukit Hong san.
Sepanjang perjalanan tiada sesuatu kejadian yang dialami, maka suatu hari, ketika fajar baru menyingsing, ia telah tiba dibukit Hong san….
Diatas bukit Hong san terdapat sebuah tokoan yang disebut Siong gwat koan, lagi pula terletak dimulut masuk bukit. Dengan mudah sekali Kwik Soat kun berhasil menemukan kuil Siong gwat koan tersebut.
Tempat itu merupakan sebuah tokoan besar dengan bangunan yang lebar, dalam bangunan tersebut tedapat empat buah ruang besar yang amat besar dan luas, seluruh anggota kuil terdiri dari seratus imam lebih.
Kwik Soat kun yang menempuh perjalanan siang malam telah bermandikan debu sekarang, wajahnya amat kotor sehingga otomatis menutupi raut wajah aslinya. Dandanannya yang kotor membuat keadaannya tidak jauh berbeda denga seorang pengemis, maka ketika ia berjalan masuk kedalam ruangan, tak seorangpun diantara penghuninya yang menegur kepadanya.
Diam-diam Kwik Soat kun mencoba mengawasi para tojin yang berada didalam kuil tersebut, ternyata mereka tidak nampak seperti seseorang yang pernah belajar silat, ini samua membuat hatinya keheranan sekali.
“Seandainya tojin yang berada dalam kuil ini rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi, mungkin mereka telah terlibat didalam pertikaian dunia persilatan, mustahil jika suasana ditempat ini bisa begini tenagn dan tentram.”
Berpikir sampai disini, dia telah berjalan menuju ke ruang tengah lapisan ketiga. Tampak seorang tojin berusia pertengahan sedang berdiri di depan pintu menghalangi jalan pergi Kwik Soat kun, kemudian tegurnya :
“Apakah sicu seorang wanita ?”
Ternyata seluruh tubuh Kwik Soat kun kotor oleh debu, sehingga sulit bagi orang untuk membedakan apakah dia lelaki atau perempuan.
Kwik Soat kun segera manggut-manggut. “Lo totiang, tajam amat penglihatanmu !” Totiang setengah umur itu tertawa hambar.
“Ruang ketiga ini belum waktunya dibuka, kedatangan nona kelewat pagi.” “Aku bukan datang untuk memasang hio.”
“Jadi nona sedang mencari orang ?”
“Ya, aku memang sedang mencari orang.”
“Siapa yang sedang nona cari ?” tanya totiang setengah umur lagi sambil tertawa. “Hong-ya tojin!”
Totiang setengah umur itu tertegun.
“Hong-ya tojin ?” serunya, “apa hubungannya dengan nona ?” “Dia masih terhitung salah seorang famili jauhku.”
“Tatkala Hong-ya tojin disekap ditempat ini dulu, pinto belum lagi memasuki kuil ini”
sela totiang setengah umur cepat, “padahal pinto sudah tiga puluh enam tahun bertugas disini, tapi belum pernah kudengar ada orang yang berkunjung kemari, nona.”
“Aku mendapat pesan dari nenek untuk datang menjenguknya.” tukas Kwik Soat kun kemudian, “aai, kasihan sekali dengan nenekku mana sudah tua, berpenyakitan lagi, ia tak dapat kemari bersama-samaku, semoga totiang sudi memberi petunjuk jalan terang untukku.”
Tosu setengah umur itu mengelus jenggotnya sambil termenung berapa saat, kemudian katanya :
“Nona sudah datang dari tempat yang jauh dengan menempuh hujan dan angin, sudah sepantasnya pinto mengajak nona untuk bertemu dengannya nampun pinto ingin menasehati nona dengan sepatah kat.”
“Soal apa ?” 814
“Lebih baik nona jangan menjenguknya.” “Mengapa ?”
“Sudah puluhan tahun lamanya dia disekap dalam ruang rahasia, makan minum serta buang hajat disitu, mana wataknya berangasan lagi, suatu kali seorang tojin yang sedang menhantar makanan baginya telah melakukan suatu kekeliruan yang berakibat bangkitnya kemarahan tosu itu akibatnya ia dibacok hidup-hidup sampai mampus.” Terkesiap juga hati Kwik Soat kun setelah mendengar ucapan mana, tukasnya tiba-tiba : “Kalau begitu, semenjak peristiwa tersebut, tiada orang yang mengantarkan makanan lagi baginya ?”
Teringat olehnya bagaimana jika Hong-ya tojin mati kelaparan, bukankah perjalanannya kali ini akan sia-sia belaka ? Bukankah harapannya untuk menyelamatkan dunia persilatan juga sukar untuk dijadikan kenyataannya.. ?”
Terdengar tojin setengah umur itu berkata :
“Sejak terjadinya peristiwa pembunuhan itu, koancu kami merasa gusar sekali sehingga membuatnya kelaparan selama tiga hari, tapi bagaimanapun juga koancu kami memang seorang yang saleh dan berhati penuh welas kasih, beliau tak tega membuatnya mati kelaparan, sehingga perintah untuk memberi makanan lagi pun segera dilaksanakan kembali…”
Kwik Soat kun menjadi kegirangan setengah mati, segera serunya : “Sekarang, apakah dia masih hidup ?”
“Benar ! Selanjutnya tiada orang yang berani mendekati ruang rahasia lagi, kami selalu melemparkan makanan itu dari tempat kejauhan, tapi makin hidup semakin panjang umurnya dan ia hidup sampai detik ini.”
“Kalau begitu, harap totiang sudi mengajakku pergi menengoknya ! Apabila dia benarbenar gila sehingga sama sekali tidak berperasaan sebagai manusia lagi, setelah bersua sebentar dengannya, akupun akan segera berangkat pulang lagi, paling tidak aku bisa memberi pertanggungan jawab kepadanya.”
“Baiklah ! Bila ingin kesana, pinto akan segera mengajakmu untuk pergi kesitu.” “Terima kasih totiang.”
Tojin setengah umur itu segera membalikkan badan beranjak pergi dari situ, sedangkan Kwik Soat kun mengikuti dibelakangnya.
Setelah melalui dua buah halaman luas, akhirnya sampailah mereka dihalaman belakang. Suasana dihalaman belakang sangat sepi dan menyeramkan, walau segala sesuatunya masih terawat dengan rapi, namun suasana justru begitu hening dan terasa aneh.
Tojin itu segera menunjuk ke arah hutan lebat didepan sana, kemudian serunya : “Itu dia, di dalam sana !”
“Terima kasih banyak atas petunjukmu !” kata Kwik Soat kun, dia lantas beranjak menuju ke dalam hutan itu.
“Nona, kau harus berhati-hati, pinto tidak akan menghantarmu lagi.” “Tidak berani merepotkanmu.”
Buru-buru dia berjalan menuju kedalam hutan tersebut.
Tampak berpuluh batang pohon tumbuh menjadi satu dan bergerombol amat sehingga bentuknya seperti sebuah pagar yang tumbuh secara alami.
Sambil menelusuri jalan kecil itu, Kwik Soat kun berjalan menuju ke balik pagar alam itu.
Ketika mendongakkan kepalanya dia menyaksikan didepan sana berdiri sebuah rumah bata yang amat kokoh, bangunan tersebut tumbuh ditengah pepohonan yang lebat dan akar yang melingkar kemana-mana.
Sebuah pagar besi yang sudah berkarat hingga berubah menjadi merah, menghadang didepan pintu rumah batu tadi, sedangkan dikedua belah sisi dindingnya terdapat pula dua buah jendela kecil, jendela itupun berpagar besi.
Kwik Soat kun menyaksikan tirai besi itu besarnya seperti lengan bocah, sudah jelas kalau sengaja dibangun untuk menyekap seseorang.
Setelah meneliti bangunan rumah batu yang berbentuk aneh itu, tanpa terasa Kwik Soat kun menarik napas dingin, pikirnya :
“Heran, seorang manusia disekap dalam rumah batu dan dipisahkan dengan dunia selama puluhan tahun, tak heran kalau dia berubah menjadi seperti orang gila, kalau bertemu dengan orang gila, memang berbeda juga dibuatnya…”
Tapi inilah satu-satunya kesempatan baginya untuk membongkar latar belakang yang menyelimuti perguruan tiga malaikat, semacam perasaan dibebani oleh tugas yang amat berat membuat semangat dan keberanian Kwik Soat kun berkobar kembali, pelan-pelan dia berjalan mendekati pintu ruangan tersebut.
Ketika menengok kedalam, maka ia saksikan seorang kakek yang berambut panjang sedang duduk bersila disana.
Dalam perkiraan Kwik Soat kun semula, dalam ruangan itu pasti kotor dan penuh dengan bau busuk, sedangkan orang yang bersekap disanapun tentunya seorang kakek yang berambut panjang dan awut-awutan tidak karuan.
Tapi segala sesuatunya ternyata sama sekali diluar dugaan Kwik Soat kun, ruangan batu itu tidak kotor, apalagi berbau busuk, sedang kakek itu meski berambut panjang, namun disisir amat rapi dan terurai ketanah tanpa keliatan awut-awutan.
Kwik Soat kun berdiri beberapa saat diluar pintu, ketika tidak menemukan reaksi dari kakek tersebut, dia segera mendehem sambil memanggil dengan merdu : “Locianpwe !”
Kakek berambut putih itu mendongakkan kepalanya dan memandang sekejap kearah Kwik Soat kun, kemudian setelah menggelengkan kepakanya dia menunduk kembali. Mendadak Kwik Soat kun teringat kalau orang ini mana bisu, mana tuli lagi, maka dengan suara keras dia berteriak :
“Boanpwe Kwik Soat kun ada urusan mohon bertemu dengan locianpwe..”
Kakek berambut putih itu mendongakkan kepalanya lagi dan manggut-manggut, dia lantas menulis diatas tanah.
“Ada urusan apa ?”
Dari dalam sakunya Kwik Soat kun mengeluarkan sepucuk surat, mengerahkan tenaga dalamnya dan melemparkan surat tadi kehadapan kakek tersebut.
Dengan cepat kakek berbaju putih itu menyambut surat itu dan dibaca isinya, kemudian menulis lagi diatas tanah.
“Apakah kau hendak memasuki ruangan batu ini dan berbincang-bincang dengan pinto ?” Kekuatan jari tangannya sangat mengagumkan, goresan huruf yang tertera diatas tanah nampak jelas sekali.
Sambil manggut-manggut Kwik Soat kun segera berkata :
“Boanpwe bersedia untuk memasuki ruangan ini dan mengadaka pembicaraan dengan locianpwe namun boanpwe tidak mengetahui bagaimana caranya membuka pintu ruangan ini.”
Kakek berbaju putih itu termenung beberapa saat lamanya, kemudian baru menulis lagi diatas tanah :
“Berjalan kesebelah kiri dari arah jalan masuk dan carilah kunci untuk membuka pintu ruangan batu ini pada pohon ketujuh, pinto hanya tahu diatas pohon ketujuh, tidak kuketahui tersimpan dibagian mana..”
“Kalau begitu akan kucari.” seru Kwik Soat kun kemudian.
Dengan mengikuti petunjuk kakek itu, betul juga, dari atas pohon ketujuh dia berhasil menemukan sebuah kotak batu, dalam kotak itu berisikan sebuah anak kunci.
Berhubung terlindung dalam kotak batu, maka kunci tersebut masih berada dalam keadaan baik.
Dengan mudah Kwik Soat kun berhasil membuka pagar besi didepan pintu ruang batu itu.
Walaupun Kwik Soat kun merasa Hong-ya tojin yang berada dihadapannya ini tidak terlalu kasar an berangasan seperti apa yang terdengar olehnya, namun rasa takut dan ngeri yang amat besar tetap mencekam perasaannya, diam-diam dia menghimpun tenaga dalamnya untuk melindungi diri, kemudian selangkah demi selangkah berjalan mendekat. Sepasang mata si kakek berambut putih yang melotot besar itu hanya mengawasi terus wajah Kwik Soat kun tanpa berkedip.
Pelan-pelan Kwik Soat kun berjalan menuju kehadapan kakek itu, setelah menjura katanya.
“Aku bernama Kwik Soat kun.”
Kakek berambut putih itu manggut-manggut, kembali dia menulis diatas tanah. “Aku tidak dapat meninggalkan ruangan ini.”
“Mengapa ?” tanya Kwik Soat kun dengan perasaan terperanjat.
Mendadak kakek berambut putih itu membuka pakaian yang sudah kumal dan rusak itu serta memperlihatkan badannya.
Ketika Kwik Soat kun menengok ke arahnya maka tampaklah empat buah tali putih yang kecil masing-masing menembusi tulang bahu serta tulang pie pa kut dari Hong-ya tojin. Tapi tali tersebut panjang sekali sehingga cukup bagi Hong-ya totiang untuk bergerak dalam ruangan batu itu secara bebas dan leluasa.
Keempat buah tali itu menembus datang melalui dinding batu, namun dinding tersebut tiada berlubang, jelas sewaktu membangung bangungan tersebut, disitu sudah disediakan tempat khusus untuk tembusan tali itu.
Pelan-pelan Kwik soat kun menggerakkan tangannya untuk mencengkeram salah satu tali tersebut, kemudian pikirnya :
“Padahal orang ini memiliki ilmu silat yang lihai sekali, tapi heran, mengapa hanya empat buah tali yang begini kecil pun bisa mengurungnya ditempat ini selama puluhan tahun ?”
Berpikir sampai disitu, diam-diam dia lantas mengerahkan tenaganya dan mencoba untuk mematahkan tali itu.
Siapa tahu, meski kecil bentuk tali itu namun kekuatannya luar biasa sekali, sekalipun Kwik Soat kun telah menambahi tenaga dalamnya menjadi berapa kali lipat, akan tetapi tali tersebut sama sekali tidak bergeming barang sedikit pun jua.
Hong-ya tojin tidak berusaha untuk menghalangi perbuatannya itu, sampai Kwik Soat kun menyerah sendiri barulah dia lepas tangan.
Setelah menghembuskan napas panjang, Kwik Soat kun segera berkata :
“Kalau toh tali sekecil inipun begitu besar kekuatannya, sudah pasti keempat buah tali ini mempunyai asal usul yang besar sekali.”
Hong-ya tojin segera menulis diatas tanah.
“Thian jian-si soh, serat ulat langit ini sudah mengurungkan selama puluhan tahun lamanya disini.”
Kembali Hong-ya tojin menulis diatas tanah.
“Benar, termasuk bangunan inipun khusus dibuat untuk menyekap aku ditempat ini.” ( Bersambung ke jilid 39 )