Lembah Tiga Malaikat Jilid 30

Jilid 30

"Haaah.... haah.... haahbocah perempuan, kau bisa menyambut sebuah serangan

lohu, hal ini menunjukkan kalau ilmu silat yang kau miliki memang amat mengagumkan"

Sesudah menghela napas panjang, sambungnya lebih lanjut:

"Lohu telah memikirkan ucapanmu itu dengan seksama, dan aku merasakan apa yang kau katakan memang betul."

"Bagus sekali, aku masih mengira kau ini si pikun tua yang selama hidup tak akan bisa memahami keadaan yang sebenarnya."

Musuh semakin mengalah, gadis ini memaki semakin galak, hal mana membuat Buyung Im seng diam-diam harus berkerut kening. Dia kuatir kalau sampai perkataan itu akan membangkitkan hawa nafsu membunuh dalam hati Siau Sam san.

Khong Bu siang seperti Lian Giok seng hanya membungkam diri saja selama ini, mereka pun bermaksud untuk menghalangi Nyoo Hong leng untuk berbuat demikian.

Suasana sepi dan hening yang panjang membuat lorong gelap gulita itu serasa tercekam dalam ketegangan dan keseraman yang mengerikan hati.

Tiada orang yang bisa menduga bagaimanakah reaksi dari Siau Sam san sesudah mendengar perkataan dari Nyoo Hong leng itu, tiada orang yang dapat menduga pula apakah dia akan melancarkan serangan ataukah bersabar terus untuk menahan diri.

Akhirnya helaan napas panjang merobek keheningan lorong gelap itu, kemudian terdengar Siau Sam san berkata:

606 

"Bocah perempuan berapa usiamu tahun ini?"

Waktu itu Nyoo Hong leng telah menghimpun segenap tenaga dalamnya untuk bersiap siaga menyambut serangan dahsyat dari lawannya, sebab ia tahu seandainya pihak lawan sampai melepaskan sebuah serangan yang dahsyat sudah pasti serangan itu mengerikan hati.

Di luar dugaan Siau Sam san hanya menanyakan usianya, ini semua membuat hatinya merasa agak lega.

"Buat apa kau menanyakan usiaku?"

"Lohu ingin mengetahui umurmu, apakah ini tidak boleh?" "Aku berumur delapan belas tahun."

Mendadak Siau Sam san tertawa terbahak-bahak memotong ucapan Nyoo Hong leng yang belum selesai diucapkan.

"Apa yang kau tertawakan?" Nyoo Hong leng bertanya dengan wajah keheranan. "Lohu bila mempunyai istri dan berputera mungkin cucu perempuanku akan berusia sebaya denganmu, oleh karena itu lohu pun tak ingin terlalu ribut denganmu."

Nyoo Hong leng menundukkan kepala sambil berpikir sebentar, kemudian dia berkata:

"Bila kau punya putra dan cucu, merekapun akan datang kemari untuk mencarimu dan menengokmu. Buktinya Buyung Tayhiap juga mempunyai seorang putra yang mencarinya sampai di sini, tapi nyatanya kau tak punya sanak keluarga, aku mengatakan kau patut dikasihani, tapi kau masih merasa amat tidak puas bukan?" Mendadak dari balik lorong yang gelap gulita berkumandang suara isak tangis yang rendah dan berat, suara itu memilukan hati siapa saja yang mendengarnya.

"Hei, mengapa kau malah menangis?" Nyoo Hong leng segera menegur dengan wajah tertegun.

"Apa yang kau katakan memang masuk diakal, kasihan lohu bukan saja tak bersanak tak bercukur, mungkin kepandaian silat yang kumiliki pun tak bisa diwariskan kepada orang lain. Aaai, dahulu lohu selalu melatih diri dengan tekun dan rajin, siapa tahu sekalipun berhasil kumiliki kepandaian silat yang begini hebat, namun akhirnya hanya bisa terpendam di sini dan akhirnya bakal lenyap dan punah mengikuti kematian lohu."

Buyung Im seng yang berada disamping mendadak berbisik dengan suara lirih: "Lian locianpwe, orang ini betul-betul merupakan seorang yang berwatak terbuka, ingin menangis lantas menangis, ingin tertawa segera tertawa."

"Seandainya Kiu ci ang (kakek berjari sembilan) Siau Sam san tidak memiliki hati yang tabah, setelah disekap selama puluhan tahun ditempat ini, mungkin dia sudah lama mati karena kesepian didalam kota batu ini." sahut Lian Giok seng.

Terdengar Nyoo Hong leng telah berkata lagi dengan suara lantang. 

"Siau locianpwe, jangan menangis lagi, setelah kami masuk ke kota batu dan berjumpa dengan Buyung tayhiap, sebelum meninggalkan tempat ini pasti akan ku ajak serta pula dirimu."

"Sungguhkah perkataanmu itu?" tanya Siau Sam san sambil menghentikan isak tangisnya.

"Tentu saja sungguh."

"Bocah perempuan, kemarilah agar lohu bisa melihat dirimu" Nyoo Hong leng segera maju ke depan sembari berkata:

"Locianpwe, kau berada dimana? Boanpwe tidak dapat melihat kau berada dimana?"

Siau Sam san segera tertawa terbahak-bahak.

"Haaah, haaah, haaah, lohu akan bertepuk tangan sebagai tanda. Kau datanglah mengikuti arah sumber suara tepukan tangan itu."

Selesai berkata dia benar-benar bertepuk tangan dengan nyaring.

Khong Bu siang melompat ke muka secara tiba-tiba dan menghadang jalan pergi Nyoo Hong leng, serunya dengan cepat:

"Biar aku pergi bersamamu."

"Jangan, biarkan aku kesana seorang diri."

Siau Sam san sendiripun tidak berbicara lagi. Dia hanya bertepuk tangan tiada hentinya.

Dengan mengikuti sumber suara tepukan tangan itu, Nyoo Hong leng berjalan sejauh dua kaki lebih sebelum akhirnya berhenti.

Mendadak ia mendengar Siau Sam san berkata lagi:

"Bocah perempuan, ulurkan tanganmu!"

Tampaknya lorong tersebut telah diatur dengan suatu dekorasi yang istimewa, hitam pekat sehingga tak setitik cahaya pun yang tembus. Empat penjuru seakan akan dilapisi oleh kain terpal hitam yang sangat tebal, sehingga saking gelapnya membuat orang tak dapat melihat pemandangan sejauh tiga depa di depannya. Nyoo Hong leng menurut dan segera mengulurkan tangannya ke depan.

Ia merasa ada sebuah telapak tangan yang besar sekali telah menggenggam tangannya yang kecil, halus dan lembut.

Nyoo Hong leng segera mengalihkan sorot matanya dan mengawasi hadapannya dengan seksama, ia lihat di atas dinding yang gelap mencorong keluar dua buah sorot mata yang tajam dan berkilat.

Pantulan cahaya mata yang saling membentur membuat Nyoo Hong leng secara lamat-lamat dapat menyaksikan pemandangan dihadapannya. 

Ia lihat di atas dinding hitam itu terbuka sebuah lubang panjang yang sempit sekali dengan kepanjangan dua kaki, dari balik lubang itulah muncul sebuah batok kepala yang besar.

Sambil tertawa Siau Sam san berkata,

"Bocah perempuan, sudahlah kau melihat wajah lohu ?" "Sudah, apakah locianpwe mempunyai sesuatu petunjuk ?"

"Tempelkan telingamu kemari, lohu ingin memberitahukan beberapa persoalan kepadamu."

Nyoo Hong leng segera menempelkan kepalanya ke atas dinding tersebut... Khong Bu siang yang merasa kuatir, sementara itu telah mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menatap ke arah depan, tapi itupun hanya berhasil melihat bayangan punggung Nyoo Hong leng secara lamat-lamat. Dia tak dapat melihat gerak gerik lainnya, ketika mencoba untuk memasang telinga baikbaik maka yang bisa terdengar olehnya hanya sedikit suara yang sangat lirih, dia tidak berhasil menangkap pembicaraan mereka.

Sementara itu mereka bertiga sudah mengerahkan segenap tenaga dalam yang dimilikinya untuk melakukan persiapan, akan tetapi berhubung tidak mendengar jeritan minta tolong dari Nyoo Hong leng, maka semua orang hanya berdiam diri saja ditempat semula.

Lebih kurang seperempat jam kemudian, baru kedengaran Nyoo Hong leng menghembuskan napas panjang,

"Terima kasih banyak atas petunjuk dari locianpwe !"

"Nah, lohu pun telah berusaha untuk membantumu dengan segala daya upaya yang bisa kulakukan, apakah bisa berhasil dengan sukses atau tidak, hal itu tergantung pada kemujuranmu sendiri."

Baru selesai dia berkata, mendadak tampak sekilas cahaya kuning memancar datang dari tempat kejauhan sana.

Meminjam cahaya lentera tersebut, beberapa orang itu dapat melihat jelas pemandangan di dalam lorong itu.

Tampak Siau Sam san yang berambut awut-awutan memiliki kepala yang besar sekali, sepasang matanya bersinar tajam dan di bawah dagunya memelihara jenggot berwarna hitam.

"Locianpwe" Lian Giok seng segera berkata, "kalau dilihat dari rambutmu yang telah berubah menjadi hitam, tampaknya tenaga dalammu telah berhasil mencapai ke tingkatan yang amat sempurna."

"Rambut lohu sudah pernah di semir jadi warnanya tetap hitam, dalam lorong ini selain hitam tidak diperkenankan ada warna lainya, coba kalian lihat, lentera penyambut tamu telah dipasang, kini kalian boleh berangkat ke situ."

Selesai berkata, "Blaamm!" pintu besi pada lubang dinding itu segera ditutup rapat. Dari kejauhan sana berkumandang suara seruan yang nyaring dan tajam : 

"Lampu penyambut tamu hanya berlangsung dalam waktu yang terbatas, harap kalian segera berangkat."

Mendadak Khong Bu siang mempercepat langkahnya dan bergerak menuju ke depan.

Nyoo Hong leng segera mengikuti di belakang tubuh Khong Bu siang, menyusul di belakangnya Buyung Im seng serta Lian Giok seng.

Setelah berjalan lebih kurang lima enam kaki, lorong itu tiba-tiba saja menikung ke kanan. Cahaya lentera berwarna kuning yang menerangi sekeliling tempat itupun mengikuti keadaan medan, turut membelok pula ke sebelah kanan mengikuti gerakan tubuh dari beberapa orang itu.

Kembali lewat beberapa kaki kemudian, jalan di depan sana tiba-tiba menyempit, cahaya kuning yang menerangi sekitar tempat itupun mendadak saja menjadi padam, tapi menyusul kemudian muncul sekilas cahaya putih yang sangat kuat memantul datang, sedemikian tajamnya cahaya itu sehingga menyilaukan mata setiap orang.

Bersamaan itu pula, kedengaran seseorang berkata dengan suara yang dingin dan nyaring.

"Untuk sementara waktu harap kalian berhenti dulu, kenakan topi besi sebelum melanjutkan perjalanan."

"Topi besi ?" seru Khong Bu siang.

"Benar, topi besi ! Harap kalian berdiri ditempat masing-masing tanpa bergerak, pejamkan mata dan ada orang yang akan mengenakan topi besi tersebut ke atas kepala kalian."

"Kau menyuruh kami menyerahkan diri untuk dibunuh begitu saja ?" Orang itu tertawa dingin.

"Seandainya kau hendak membunuh kalian buat apa mesti mengajak kalian masuk

?"

"Moga-moga saja apa yang kau ucapkan itu dapat dipercaya." Setelah maju ke depan, terusnya :

"Biarlah aku duluan !"

Setelah berhenti sejenak, sambil berpaling ke arah Nyoo Hong leng katanya lagi : "Bila aku sampai kena disergap, sudah pasti akan membalikkan tubuh sambil melancarkan serangan, dalam keadaan begini kalianpun tak usah turut terjebak pula."

Nyoo Hong leng menghela napas panjang, dia ingin mengucapkan sesuatu, namun akhirnya niat tersebut diurungkan.

Ternyata orang itu tidak menggunakan siasat licik untuk menjebak mereka, dengan cepat dia mengenakan topi besi di atas kepala masing-masing orang. 

Topi besi itu dikenakan dari atas kepala sampai pada batas tangkai leher, hingga sinar mata mereka tak dapat menyaksikan pemandangan di sekeliling tempat itu. Terdengar suara yang dingin dan nyaring itu kembali berkumandang :

"Harap kalian memegang tali ini untuk melanjutkan perjalanan, barang siapa berani melepaskan topi besi itu tanpa seijinku, jangan salahkan kalau aku akan turun tangan keji !"

Khong Bu siang mendengus dingin tanpa menjawab perkataan itu.

Tapi dia menurut dan segera memegang tali dan melanjutkan perjalanan tanpa berkata apa-apa lagi.

Dalam hati mereka semua cukup mengerti, mereka diharuskan memakai topi baja karena tujuannya yang terutama adalah agar mereka tak bisa mengingat-ingat jalanan yang telah dilewatinya.

Orang itu berjalan dengan sangat lamban, kurang lebih setengah jam kemudian perjalanan mereka baru berhenti.

"Sudah sampai ?" tanya Khong Bu siang.

"Sudah !" suara yang merdu, lembut dan nyaring menyahut secara tiba-tiba. "Apakah aku boleh melepaskan topi besi yang harus kami kenakan ini ?" "Boleh, tapi tak usah merepotkan kalian untuk melakukan sendiri, sebab di luar

topi besi itu sudah dipolesi dengan racun yang amat keji, untung saja kalian adalah orang yang bisa memegang janji, andaikata ada yang nekad dan melanggar janji dengan melepaskan topi tersebut, niscaya kalian sudah keracunan hebat dan mati." Sementara pembicaraan berlangsung, topi baja yang dikenakan beberapa orang itu telah dilepaskan.

Dengan cepat mereka mengawasi sekeliling tempat itu, ternyata mereka berada di suatu ruangan batu dengan dekorasi yang amat sederhana, kecuali sebuah meja kayu dengan empat buah kursi bambu, di situ tidak nampak benda lainnya.

Di atas meja terdapat sebatang obor yang memancarkan api dengan sangat terang. Seorang perempuan berambut panjang yang berpakaian compang camping berdiri di depan pintu dengan senyum dikulum.

Meski pakaian yang dikenakan perempuan itu compang camping, namun ia tidak mengenakan alat siksaan, dan tidak tercermin pula kesan tragis seperti keadaan Coa Niocu.

Buyung Im seng memperhatikan sekejap keadaan dari perempuan itu lalu ujarnya dengan dingin :

"Apakah kau adalah budak perempuan dari kota batu ini ?" Perempuan berambut panjang itu segera tersenyum.

"Darimana kau bisa tahu kalau didalam kota batu terdapat budak perempuan ?" "Dalam kota batu ini penuh dengan aneka rahasia, mengetahui tiga atau lima macam diantaranya bukanlah suatu hal yang aneh." 

Perempuan berambut panjang itu segera mengerdipkan matanya yang bulat dan besar, lalu serunya sambil tertawa :

"Besar amat lagakmu."

Mendadak paras mukanya berubah, dengan dingin lanjutnya : "kau adalah Buyung kongcu ?"

Diam-diam Buyung Im seng merasa terperanjat sekali setelah mendengar perkataan itu, segera pikirnya :

"Tampaknya, orang-orang yang berada dalam kota batu di bawah tanah ini menaruh perhatian yang khusus terhadap gerak gerik kami sehingga sesuatunya tentang kami bisa diketahui dengan jelas sekali."

Sementara dia masih berpikir, terdengar Khong Bu siang telah bertanya : "Kau kenal dengan diriku ?"

"Kau adalah Toa sengcu dari perguruan Sam seng bun !"

"Benar, tetapi aku rasa pentolan atau otak yang sebenarnya dari perguruan Sam seng bun agaknya berada di dalam kota batu di bawah tanah.."

Setelah berhenti sejenak, sambungnya lebih jauh :

"Sekarang kedua belah pihak telah mengetahui identitas masing-masing dengan jelas, rasanya kita pun tak usah merahasiakan sesuatu lagi, tolong nona suka memberi laporan ke dalam, katakan saja kami ada urusan penting ingin berjumpa." "Ingin berjumpa dengan siapa ?"

"Ingin berjumpa dengan majikan dari kota batu di bawah tanah ini, pentolan yang sebenarnya dari perguruan Sam seng bun ini."

Perempuan berambut panjang itu tertawa.

"Lebih baik tak usah memperhitungkan segala sesuatunya seenak sendiri, ketahuilah, kini kalian sudah berada di tempat yang sangat berbahaya, apakah bisa menyelamatkan jiwa sendiripun masih merupakan suatu tanda tanya besar."

"Kami cukup memahami keadaan yang kami hadapi sekarang, tapi kamipun telah membuang jauh-jauh pikiran tentang mati hidup kami dari dalam benak..." "Ehmm, kau nampak sangat perkasa."

"Kalau memang begitu, merepotkan nona untuk memberi laporan ke dalam..." Nona berambut panjang itu tidak menggubris diri Khong Bu siang lagi, sorot matanya segera dialihkan ke wajah Nyoo Hong leng dan menatapnya lekat-lekat, kemudian dia bergumam :

"Nona berwajah kelewat cantik !"

"Terlalu memuji, terlalu memuji"

"Bila kau ingin meminta bantuanku, maka kau harus meluluskan sebuah permintaanku." 

"Apa syaratmu ?"

"Merusak raut wajahmu yang cantik itu." "Kenapa ?" tanya Khong Bu siang.

"Urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan dirimu, lebih baik kau tak usah mencampuri, aku sedang bertanya kepadanya."

"Berapa besarkah bantuan yang bisa kau berikan kepada kami, hal ini mesti kuketahui lebih dulu, ingin kuperhitungkan dulu untung ruginya, kalau kelewat rugi buat apa ?" kata Nyoo Hong leng kemudian.

"Aku dapat mengatur suatu pertemuan antara kalian dengan pentolan dari kota batu ini, cukup ?"

"Tidak cukup, harus ditambah lagi dengan yang lain."

"Baiklah, akan ku ajak pula kalian untuk berjumpa dengan Buyung Tiang kim" gadis berambut panjang itu menambahkan.

Nyoo Hong leng tertawa rawan.

"Baik ! Kita akan melakukan pertukaran tersebut, aku akan merusak wajahku setelah mengajak kami untuk menjumpai Buyung Tiang kim."

"Tapi aku hendak turun tangan lebih dulu." kata perempuan berambut panjang itu cepat.

"Mengapa kau hendak merusak wajahnya ?" tiba-tiba Buyung Im seng menegur dengan wajah penuh kegusaran.

"Karena dia kelewat cantik, aku tak ingin di dalam dunia ini terdapat perempuan lain yang jauh lebih cantik daripada aku."

Buyung Im seng segera tertawa dingin.

"Heeehhh.....heeehhheeeehh.. karena wajah yang kelewat cantik merupakan

suatu dosa pula" sahutnya.

Perempuan berambut panjang itu merasa seperti kehabisan sabar, dengan suara dingin segera tukasnya :

"Dia punya mulut untuk berbicara, dapat menerima syaratku juga dapat menampik, apa hubunganmu dengannya, mengapa kau harus mencampuri urusannya ?"

"Apa hubunganmu dengannya ?" Pertanyaan ini kontan saja menusuk perasaan Buyung Im seng diam-diam ia menghela napas panjang, pikirnya.

"Ya, benar, apa hubunganku dengannya ? Bukankah dia mempunyai suami yang berada disampingnya, mengapa aku harus banyak mencampuri urusannya ?" Berpikir sampai di situ, dia lantas mundur dua langkah ke belakang dan tidak banyak bicara lagi.

Pelan-pelan perempuan berambut panjang itu mengalihkan kembali sorot matanya ke wajah Nyoo Hong leng, kemudian bertanya :

"Bagaimana ? Kau bersedia untuk meluluskan permintaanku itu atau tidak. ?" 

"Setelah kululuskan permintaanmu itu, tentu saja tidak akan menyesal, cuma kau harus memberitahukan dulu kepadaku, mengapa kau ingin turun tangan sendiri ?" "Sebab aku tidak percaya kepadamu, aku ingin turun tangan sendiri karena aku hendak membuat cacat di mukamu itu tak pernah akan bisa disembuhkan lagi." "Ooohkiranya begitu."

Setelah berhenti sejenak, katanya lebih lanjut.

"Sekarang, seharusnya kau mengajak kami untuk menjumpai Buyung Tiang kim lebih dulu ataukah hendak merusak wajahku lebih dahulu?"

"Tentu saja aku akan merusak raut wajahmu lebih dulu."

"Bila kau telah merusak wajahku, kemudian enggan mengajak kami untuk menjumpai Buyung Tiang kim, bukankah aku bakal menderita kerugian besar.?"

"Keadaan kalian pada saat ini sudah berada dalam keadaan yang berbahaya sekali, kini aku sudah punya perasaan dengki kepadamu maka aku pasti berusaha keras untuk membinasakan dirimu, entah menyerang secara terang-terangan atau menyerang secara gelap. Sebaliknya bila kau merusak wajahmu lebih dulu, berarti aku sudah tidak menaruh perasaan dendam atau dengki lagi kepadamu, itu berarti kesempatan untuk hidup menjadi jauh lebih besar."

"Kalau toh dalam hatimu sudah mempunyai keyakinan yang begitu besar untuk merenggut nyawaku, apa lagi yang kau  risaukan  atau  takut  lagi." "Maksudmu" si gadis berambut panjang itu tertawa hambar.

Sebelum menyampaikan kata-katanya, Nyoo Hong leng telah menukas dengan cepat :

"Berusahalah untuk mengajak kami menjumpai Buyung Tiang kim lebih dulu, kemudian baru merusak wajahku, dan kemudian mengatur pertemuan kami dengan pentolan dari kota batu, dengan begitu kita kedua belah pihak sama-sama tak akan menderita kerugian apa-apa."

Perempuan berambut panjang itu termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian katanya :

"Ucapan itu memang masuk diakal juga, aku akan keluar untuk melihat keadaan, sebentar aku akan balik lagi kemari."

Selesai berkata dia lantas membalikkan badan dan berlalu dari situ....

Menanti bayangan tubuh dari perempuan berambut panjang itu sudah pergi jauh, Khong Bu siang baru bertanya :

"Kau benar hendak merusak wajahmu ?"

"Kau adalah suamiku, sebenarnya aku harus minta persetujuanmu lebih dulu sebelum merusak wajahku ini, cuma"

"Cuma kenapa ?" tukas Khong Bu siang.

"Apakah kau menyukai aku karena wajahku cantik ?" 

"Bukan, bukan begitu, bagi seorang perempuan maka selain wajah yang cantik, juga harus memiliki gaya yang menarik serta tindak tanduk yang menawan." "Nah, itulah dia, sekalian aku telah merusak wajahku, aku masih tetap aku, cuma wajahnya saja yang rada sedikit lebih jelek."

Khong Bu siang termenung sambil berpikir sejenak, lalu katanya lagi : "Seandainya kau bersedia merusak wajahmu atas prakarsamu sendiri, tentu saja aku tak berani melarang. Tapi bila kau berbuat demikian atas dasar paksaan atau ancaman, tentu saja aku akan tampilkan diri untuk membela dirimu."

"Gara-gara aku, nona harus merusak wajahmu, hal ini akan membuat aku merasa menyesal sepanjang masa" ucap Buyung Im seng.

Nyoo Hong leng tertawa hambar.

"Asal suamiku tidak keberatan aku kehilangan wajah asalku, sedang aku sendiripun tidak sayang untuk kehilangan wajah ini, apa urusannya dengan dirimu

?"

Buyung Im seng tertegun.

"Perkataan nona ada betulnya juga" dia berkata, "tapi kalau kami beberapa orang lelaki harus melihat kau menderita sehingga cacat tanpa memberikan pertolongan, bila berita ini sampai tersiar ditempat luaran, sudah pasti hal tersebut akan merusak nama baik kita semua, lagi pula akan dijadikan lelucon bagi orang banyak."

"Oooh... jadi kau takut persoalan ini dibicarakan orang sehingga akan merusak nama baik Buyung kongcu ?"

"walaupun perkataanmu itu benar, tapi tujuanku..."

"Bila apa yang kau pikirkan dan kau ucapkan tak bisa seia sekata, terhitung seorang enghiong macam apakah dirimu itu ?" tukas Nyoo Hong leng cepat. Selain ucapannya tajam juga nadanya amat menyudutkan orang, kontan saja Buyung Im seng dibuat terbelalak dan gelagapan sendiri sampai tak tahu apa yang mesti diucapkan.

Walaupun dia merasa perkataan dari perempuan itu kelewat menyudutkan orang, sehingga membuat hati merasa tak puas, namun untuk sesaat dia pun tidak berhasil menemukan kata-kata yang sesuai untuk membantah perkataan itu, terpaksa sambil mundur berapa langkah dia membungkam dalam seribu bahasa. Untuk sesaat suasana dalam ruangan itu menjadi hening, sepi dan tak kedengaran sedikit pun suara.

Sampai lama kemudian, akhirnya Khong Bu siang baru menghela nafas panjang seraya berkata, "Coba pikirkan persoalan ini sekali lagi, pikirkan dengan seksama dan dengan pikiran yang dingin, ketahuilah soal merusak muka adalah suatu peristiwa yang luar biasa, bila di kemudian hari sampai menyesal maka sepanjang tahun kau akan menderita selalu, apalagi nona itu belum tentu benar bisa membantu usaha kita."

615 

Diam-diam Buyung Im seng berpikir dihati :

"Gara-gara persoalanku, dia rela merusak wajahnya dengan harapan gadis itu mau mengajak kami menjumpai ayah. Bagaimana pun juga, aku tak boleh membiarkan dia menderita kerugian sebesar ini..."

Berpikir demikian, dia lantas bertekad untuk merusak rencana tersebut secara diam-diam.

Terdengar Nyoo Hong leng menghela nafas panjang, lalu berkata " "Belakangan ini, aku merasa mempunyai banyak persoalan yang memusingkan

hatiku, selain membuatku resah, hatiku pun sangat risau bila dipikirkan lebih jauh, aku merasa bahwa kesemuanya ini adalah gara-gara kecantikanku ini." Sementara pembicaraan sedang berlangsung, gadis berambut putih itu gelah berjalan balik kembali ke tempat semula.

Nyoo Hong leng segera memandang sekejap ke arah gadis berambut panjang itu, lalu bertanya :

"Apakah segala sesuatunya telah kau persiapkan ?"

"Sudah. Aku dapat membawa kalian segera menjumpai Buyung Tiang kim..." "Kapan ?"

"Sekarang juga !"

Kemudian setelah berhenti sejenak, sambungnya lebih jauh :

"Kapan pula kau hendak melaksanakan janjimu tadi untuk merusak wajahmu yang cantik ?"

"Setelah berjumpa dengan Buyung Tiang kim."

Gadis berambut panjang itu termenung dan berpikir sejenak, kemudian ujarnya : "Bila kau berubah pikiran setelah berjumpa dengan Buyung Tiang kim nanti, bukankah aku bakal tertipu mentah-mentah ?"

Mendadak Buyung Im seng maju beberapa langkah ke depan, setelah menjura katanya :

"Buyung Tiang kim adalah ayahku, persoalan ini sama sekali tak ada hubungannya dengan nona Nyoo, jika nona ingin mengadakan transaksi, silahkan dibicarakan denganku."

Gadis berambut panjang itu memperhatikan Buyung Im seng sekejap, lalu ujarnya sambil tertawa :

"Tampaknya kau amat menyukai dia ?" "Kalau benar, mau apa kau ?"

Gadis berambut panjang itu termenung dan berpikir sejenak, lalu katanya : "Begini saja ! Bagaimana kalau ku ajak kau seorang untuk berjumpa dulu dengan Buyung Tiang kim ?"

"Beginipun boleh juga" 

"Kemudian kau balik lagi kemari dan memberitahukan kepadanya."

Gadis berambut panjang itu sama sekali tidak memperdulikan Buyung Im seng, seraya berpaling ke arah Nyoo Hong leng katanya.

"Hitung-hitung aku telah membayar dulu setengah dari janjiku, dan kau pun boleh berlega hati membiarkan wajahmu ku rusak."

Dengan cepat Nyoo Hong leng menggelengkan kepalanya berulang kali. "Tidak bisa" tolaknya.

"Tidak bisa ? Kau bakal menyesal nantinya." "Bukan begitu maksudku"

"Lantas apa yang siap kau lakukan ?"

"Aku ingin bersamanya pergi ke sana untuk menengok keadaan."

Gadis berambut panjang itu termenung dan berpikir sebentar, kemudian sahutnya :

"Boleh saja, mari kita segera berangkat !"

Dia segera membalikkan badan dan beranjak pergi dari situ.

Nyoo Hong leng berpaling dan memandang sekejap ke arah Khong Bu siang, lalu dengan sorot mata memohon, ujarnya lembut :

"Boleh bukan aku pergi sebentar ke sana bersama mereka ?" Khong Bu siang tertawa rawan.

"Asal kau senang, terserah apa yang hendak kau lakukan, aku dapat menantimu dengan tenang, entah laut akan kering, batu akan lapuk, aku akan menunggumu di sini sepanjang waktu."

Nyoo Hong leng menyeka air mata yang menderai keluar dengan ujung bajunya dan berkata :

"Aku tahu, kau seorang suami yang sangat baik sekali, aku sudah menjadi istrimu dan aku tak akan berubah hati sepanjang waktu, aku berani bersumpah tak akan melakukan perbuatan yang akan merugikan kau."

Sambil tertawa Khong Bu siang mengulapkan tangannya, ia berkata : "Pergilah! Bila berjumpa dengan Buyung tayhiap nanti, sampaikan salamku

untuknya."

Waktu itu sebenarnya Buyung Im seng sudah siap beranjak pergi dan menyusul di belakang tubuh gadis berambut panjang itu, sementara dalam hatinya ia berpikir : "Walaupun nona ini berhati sangat keji, namun sebetulnya bukan seorang yang berotak cerdas."

Tapi setelah mendengar pembicaraan antara Khong Bu siang dengan Nyoo Hong leng tersebut, seketika itu juga hatinya merasa seakan-akan tenggelam dan diberi beban seberat ribuan kati yang menindih tubuhnya, tanpa sadar peluh dingin mengucur keluar membasahi seluruh badannya. 

Berada dalam keadaan seperti ini, dia tak berani berdiam terlalu lama lagi di situ, dengan cepat ia memburu di belakang gadis berambut panjang tersebut.

Di luar ruangan tiada cahaya lampu, suasana gelap gulita tak nampak setitik cahaya pun.

Dengan langkah sempoyongan Buyung Im seng menerjang keluar dari dalam ruangan, karena terburu nafsunya, tak bisa dihindari lagi, dia menubruk ke dalam rangkulan si nona berambut panjang itu.

Buru-buru gadis itu memayang bangun tubuh Buyung Im seng seraya berkata pelan :

"Tak nyana nyalimu begitu kecil, coba lihat saking takutnya tubuhmu sudah bermandi keringat."

Ternyata pipi kanannya kebetulan menyentuh ditangan kiri si nona yang sedang membereskan rambut hingga air keringat membasahi jari tangan gadis tersebut. Buyung Im seng mendengus dingin sambil mundur dua langkah, katanya : "Maaf !"

Tapi ia segera merasa punggungnya kembali dipegang orang sehingga badannya bisa tegak kembali.

Rupanya karena terlampau tergesa-gesa, lagi-lagi dia menumbuk tubuh Nyoo Hong leng yang kebetulan sedang memburu keluar dari dalam ruangan.

Tak usah berpaling lagi Buyung Im seng sudah tahu siapakah gerangan orang yang berada di belakangnya, dengan cepat dia segera menghindarkan diri ke samping.

Tampak sebuah tangan yang halus dan lembut mengulur ke depan dan menyekakan air keringat di atas wajahnya.

Semua peristiwa itu berlangsung hanya di dalam sekejap mata, kedua belah pihak sama-sama tidak mengucapkan sepatah katapun.

oooOooo

Tiba-tiba terdengar nona berambut panjang itu berkata.

"Jalanan yang akan kita lalui berikut ini gelap sekali, mari ku gendong kalian untuk melewatinya !"

Tampaknya didalam hati perempuan itu sama sekali tiada ingatannya untuk membedakan antara lelaki dan perempuan, tanpa menunggu Buyung Im seng menyelesaikan kata-katanya dia segera menggenggam pergelangan tangan kiri Buyung Im seng dan berjalan ke depan.

Baru saja Buyung Im seng hendak meronta dan melepaskan diri dari cekalan, tangan kanannya telah digenggam pula oleh Nyoo Hong leng sembari berbisik : "Ikuti saja kemana dia pergi !"

Nona berambut panjang itu menarik Buyung Im seng melakukan perjalanan cepat ke depan. 

Lorong tersebut masih tetap gelap gulita, Buyung Im seng serta Nyoo Hong leng tak mampu melihat jelas keadaan di depan sana, tapi nona berambut panjang itu masih saja melakukan perjalanan cepat, sedikitpun tiada bermaksud untuk berhenti.

Setelah membeloki dua buah tikungan, mendadak nona berambut panjang yang berjalan dimuka itu menghentikan langkahnya secara tiba-tiba.

Perempuan itu berhenti secara tiba-tiba dan sebelumnya sama sekali tidak

memberi tanda apa-apa, tak bisa dicegah lagi Buyung Im seng segera menumbuk di atas badan nona berambut panjang itu.

Kejadian itu kontan saja membuat Buyung Im seng merasa amat menyesal, tapi nona berambut panjang itu seperti tak merasakan hal itu, bisiknya lirih :

"Kalian berhenti di situ, jangan bergerak, aku akan membukakan pintu."

Berbicara sampai di situ, dia lantas melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan kiri Buyung Im seng.

Suasana di dalam lorong itu kelewat gelap, sedemikian gelapnya sehingga Buyung Im seng tak dapat menyaksikan gerak gerik si nona berambut panjang yang cuma berada beberapa depa dihadapannya itu, tapi di dalam perasaannya dia nampak gadis itu seperti lagi berjongkok.

Lalu terdengar suara gemerincingan yang amat nyaring berkumandang memecahkan keheningan, disusul serentetan cahaya tajam memancar masuk ke dalam lorong itu.

Ketika dia mencoba untuk mengamati kembali suasana di depan, dilihatnya nona berambut panjang itu sedang membuka sebuah pintu.

Ketika Buyung Im seng menyaksikan gadis itu seakan-akan kepayahan, ia segera turut berjongkok sambil berkata :

"Bagaimana kalau kubantu usaha nona ?"

Dengan cepat nona berambut panjang itu menggelengkan kepalanya berulang kali. "Pekerjaan semacam ini bukan pekerjaan yang menggunakan tenaga, tak perlu kau bantu."

Setelah ketanggor batunya, Buyung Im seng segera mengundurkan diri ke samping dan tak banyak bicara lagi.

Tampak nona berambut panjang itu membuka pintu itu setinggi tiga depa ke atas, kemudian sambil menghentikan gerakannya dia berkata : "Cepat membungkukkan badan dan menerobos masuk."

Nyoo Hong leng dan Buyung Im seng menurut, mereka segera membungkukkan badan dan menerobos masuk ke dalam.

Pemandangan di luar pintu itu nampak sekali tidak berubah.

Tempat itupun merupakan sebuah lorong yang panjang sekali, hanya saja setiap jarak empat kaki tampak sebuah lampu lentera model keraton memancarkan sinarnya, terang. 

Dengan sangat berhati-hati sekali nona berambut panjang itu menurunkan kembali pintu tadi, kemudian baru berkata :

"Kalian ikuti saja di belakangku, entah perubahan apapun yang bakal terjadi, lebih baik jangan banyak bicara ataupun turut menimbrung."

Lalu dia mengambil seutas tali berwarna putih dari dalam sakunya dan melanjutkan :

"Silahkan kalian membelenggu tangan sendiri, tapi harus dibelenggu sedemikian rupa sehingga orang lain sama sekali tidak tahu kalau tali itu bisa dibuka setiap saat."

Nyoo Hong leng menyambut tali itu dan mengikatnya menjadi beberapa macam simpul hidup, kemudian diikatkan pada sepasang tangan Buyung Im seng dan tangannya sendiri.

Nona berambut panjang itu memeriksa sekejap tali simpul mana, lalu berkata : "Sekarang, mari kita berangkat !"

Selesai berkata, dia lantas beranjak pergi dulu ke depan.

Nyoo Hong leng serta Buyung Im seng segera jalan berunding mengikuti di belakang gadis tersebut.

Setelah melalui sebuah lentera lagi, kali ini mereka belok ke lorong sebelah kanan. Tampak seorang kakek berjubah hijau duduk di atas sebuah kursi kayu menghalangi jalan pergi mereka.

Kakek itu berwajah membesi sedemikian hijaunya hingga mirip dengan warna pakaiannya, cukup memandang wajahnya yang hijau, orang sudah merasa ngeri rasanya.

Tampak dia mengalihkan sorot matanya memandang ketiga orang itu, memandang dengan sorot mata yang dingin, sementara mulutnya membungkam dalam seribu bahasa.

Dengan langkah pelan nona berambut panjang itu berjalan ke depan kakek berjubah hijau itu, setelah menjura dalam-dalam, dia mengucapkan sesuatu dengan nada yang lirih.

Kakek berjubah hijau manggut-manggut, dia memandang sekejap ke atas tali temali di atas tangannya Buyung Im seng dan Nyoo Hong leng, kemudian sesudah mengangguk kembali, matanya segera dipejamkan.

"Kemarilah kalian." nona berambut panjang itu segera mengulapkan tangannya. Buyung Im seng dan Nyoo Hong leng menurut dan segera melangkah ke depan dan mengikuti di belakang nona berambut panjang itu.

Kembali mereka membelok suatu tikungan, mendadak Buyung Im seng buka suara sambil berkata :

"Kakek itu berwajah keren dan penuh wibawa, tentunya kedudukan yang di pangku dalam kota batu ini tinggi sekali." 

"Dia mempunyai raut wajah yang istimewa, bagi orang yang seringkali melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, dalam sekilas pandangan saja sudah dapat mengenalinya."

"Sayang sekali waktuku melakukan perjalanan di dunia persilatan belum terlalu lama, belum pernah kudengar nama orang ini."

Nona berambut panjang itu segera mendengus dingin.

"Hmm, tampaknya kau sama sekali tak berpengetahuan apa-apa, masa Cing bing giam ong (Raja akhirat berwajah hijau) pun tidak kau ketahui."

Buyung Im seng tertawa hambar. "Terima kasih banyak atas petunjukmu."

Sementara pembicaraan berlangsung, mendadak nona berambut panjang itu berhenti, lalu sambil menuding ke depan katanya.

"Di ujung lorong sana terdapat sebuah pintu batu, di atas pintu tertulis "Kamar tahanan nomor satu", disitulah tempat tinggal Buyung Tiang kim, kalian pergilah sendiri !"

"Mengapa kau tidak mengajak kami ke situ ?" tanya Nyoo Hong leng dengan cepat. "Aku toh tidak bermaksud untuk menjumpai Buyung Tiang kim, mengapa harus mengikuti kalian untuk pergi menyerempet bahaya ?"

Sebenarnya Buyung Im seng telah beranjak pergi, ia segera berhenti setelah mendengar perkataan itu, serunya:

"Menyerempet bahaya ? Menyerempet bahaya apa ? Masa ayahku sudah tak waras otaknya sehingga sering melukai orang ?"

"Buyung Tiang kim masih berada dalam keadaan baik-baik, tapi si pengemis tua yang gemar bermain ular benar-benar menjemukan, ia berdiam di kamar tahanan nomor tiga persis di depan kamar Buyung Tiang kim, sering kali melepaskan ular untuk menakut-nakuti orang."

"Oooh, kiranya begitu." Buyung Im seng berseru tertahan. "tapi dengan mengandalkan kepandaian silat yang nona miliki, masakah kau akan takut untuk menghadapi seekor ular ?"

"Siapa bilang cuma seekor ? Kecuali pengemis tua itu, dalam ruangannya penuh dengan kawanan ular."

Setelah berhenti sejenak, sambungnya lagi :

"Kalian hanya memiliki waktu selama seperminuman teh saja, mengapa tidak segera pergi ? Bila waktunya ditunda-tunda lagi, mungkin untuk berjumpa muka saja tak bisa."

Mendengar itu Buyung Im seng segera berpikir :

"Setelah kau mengajakku kemari, pergi atau tidak pergi, bukan kau yang bisa mengendalikannya." 

Berpikir demikian, dia lantas beranjak pergi dengan langkah lebar.

Ketika Nyoo Hong leng mendengar ada ular, timbul perasaan takut pula di dalam hatinya, maka dia lantas berjalan ke sebelah kanan Buyung Im seng...

Buyung Im seng yang terbayang sebentar lagi akan berjumpa dengan ayahnya dan pelbagai teka teki akan segera terpecahkan, dalam hatinya entah harus merasa girang atau murung, pedih ataukah girang..."

Tiba di ujung lorong tersebut, betul juga disamping kiri dan kanan masing-masing terdapat sebuah pintu batu, sedangkan di sebelah kanan bertuliskan kamar tahanan nomor satu, sedangkan di sebelah kiri merupakan kamar tahanan nomor tiga, segala sesuatunya persis seperti apa yang dikatakan gadis berambut panjang itu.

Baru saja Buyung Im seng hendak mengetuk pintu nomor satu, mendadak dari balik kamar nomor tiga berkumandang suara teguran yang amat dingin bagaikan es :

"Siapa di situ ?" "Aku !"

"Aku sudah tahu kalau kau, siapakah kau ?" "Aku Buyung Im seng !"

Tampak pintu ruangan nomor tiga dibuka orang, lalu muncul seorang manusia aneh berambut kusut dan berpakaian compang camping di atas badannya melingkar dua ekor ular raksasa sebesar cawan air teh, kepala ular itu melongok keluar dari balik ruangan sambil menjulurkan lidahnya yang merah, sedangkan di belakangnya nampak pula banyak sekali kepala ular yang saling berebut melongok keluar.

Tampaknya apa yang dikatakan nona berambut panjang sebagai seisi ruangan penuh dengan ular bukan cuma omong kosong belaka.

Tampak sepasang mata yang memancarkan cahaya tajam memancar keluar dari balik wajah yang penuh bercambang, setelah mengawasi Buyung Im seng beberapa saat, ia berkata :

"Apakah kau bukan datang kemari sebagai mata-mata ? Kuku garuda dari kota batu ?"

Dengan cepat Buyung Im seng menggelengkan kepalanya berulang kali. "Bukan, aku datang untuk menengok keluargaku."

"Kau datang menengok siapa ?" "Buyung Tiang kim"

"Apa hubunganmu dengannya ?" "Dia adalah ayahku."

"Aku rasa di kolong langit tak mungkin ada orang yang menyaru menjadi anak orang lain. Kalau begitu ketuklah pintu !" 

Selesai berkata dia lantas masuk kembali ke dalam ruangan dan... "Blaamm" menutup kembali pintu kamarnya.

Buyung Im seng segera mendekati kamar tahanan nomor satu dan mengetuk pintunya.

Tak selang berapa saat kemudian, pintu ruangan itu baru pelan-pelan dibuka. Tampak seorang kakek berbaju hijau berambut putih berdiri di depan pintu sambil bertanya :

"Kalian berdua hendak mencari siapa ?"

Buyung Im seng menatap kakek itu beberapa saat, lalu balik bertanya pula : "Apakah locianpwe adalah Buyung Tiang kim ?"

Kakek berbaju hijau itu mengangguk pelan.

"Ya, betul, akulah Buyung Tiang kim, kau adalah"

"Menjumpai ayah," buru-buru Buyung Im seng menjatuhkan diri ke atas tanah dan memberi hormat.

Terlintas rasa heran dan tercengang di atas wajah kakek berbaju hijau itu, namun hanya sekilas pandangan belaka, kemudian dengan cepatnya telah pulih kembali seperti sedia kala.

"Kau adalah "

"Aku adalah Buyung Im seng."

"Ooh, masuklah lebih dulu, kita berbincang-bincang pelan di dalam ruangan saja." kata kakek itu lebih jauh.

Buyung Im seng segera bangkit berdiri dan melangkah masuk ke dalam ruangan itu.

Nyoo Hong leng segera menyusul di belakang Buyung Im seng turut masuk pula ke dalam.

Pelan-pelan kakek berbaju hijau itu merapatkan pintu ruangannya dan berjalan menuju ke sebuah pembaringan batu dekat dinding ruangan dengan langkah sempoyongan, kemudian duduk di situ.

Selama ini Nyoo Hong leng hanya mengawasi semua gerak geriknya dengan seksama, melihat orang itu sukar untuk berjalan atau melangkah seakan-akan segenap kepandaian silat yang dimilikinya telah punah, hal mana membuat hatinya semakin terperanjat, pikirnya :

"Seandainya ilmu silat yang dimilikinya telah punah, maka sudah jelas bukan suatu masalah yang gampang untuk menolongnya meninggalkan tempat ini"

Sementara itu air mata telah bercucuran membasahi seluruh wajah Buyung Im seng, dalam keadaan seperti itu pada hakekatnya dia tak sempat untuk memperhatikan gerak gerik si kakek itu lagi.

Setelah duduk tenang di atas pembaringannya, kakek berbaju hijau itu baru mengalihkan sorot matanya ke wajah Nyoo Hong leng, kemudian tegurnya lirih : 

"Nona adalah"

"Boanpwe Nyoo Hong leng, dengan saudara Buyung adalah sahabat karib, hubungan kami melebihi hubungan saudara sendiri," sambung Nyoo Hong leng cepat.

Kakek berbaju hijau itu manggut-manggut. "Oooh, rupanya begitu ?"

Mendadak Nyoo Hong leng merubah wajahnya menjadi amat serius sekali, kemudian dengan bersungguh-sungguh dia menegur.

"Locianpwe, benarkah kau adalah Buyung tayhiap yang sedang kami cari-cari ?" Sejak mengalami banyak pengalaman pahit dan percobaan-percobaan yang penuh rintangan, Buyung Im seng berubah pula menjadi orang yang sangat berhati-hati, begitu mendengar suara teguran Nyoo Hong leng yang bernada curiga, segera itu juga timbul kewaspadaan di dalam hatinya, dengan cepat dia mendongakkan kepalanya dan berusaha keras menenangkan hatinya yang bergolak keras.

Begitu kepala didongakkan dia lantas menyaksikan si kakek berbaju hijau itu sedang duduk di atas pembaringan sambil mengelus jenggot panjangnya yang terurai sepanjang dada, dia termenung dan membungkam seribu bahasa.

Tampaknya pertanyaan yang diajukan oleh Nyoo Hong leng tersebut telah membuatnya menjadi serba salah sehingga tak sanggup untuk menjawab lagi. Tiba-tiba Buyung Im seng merasa curiga pula, dengan wajah serius dia pun bertanya :

"Locianpwe, sebenarnya kau adalah Buyung Tiang kim atau bukan ?"

Pelan-pelan kakek berbaju hitam itu mendongakkan kepalanya dan membuka lebar sepasang matanya yang sayu, seperti menjawab bukan menjawab, dia berkata : "Kau adalah putra Buyung Tiang kim ?"

"Benar, bilamana locianpwe bukan Buyung Tiang kim, aku harap kau suka berbicara terus terang saja, daripada mendatangkan bencana pembunuhan yang mengerikan."

Tiba-tiba kakek berbaju hijau itu mendongakkan kepala dan tertawa terbahakbahak.

"Haah, haah, haaah, semenjak lohu disekap di sini, aku sudah tidak mengetahui perubahan waktu maupun cuaca, kecuali bersantap, pada hakekatnya keadaanku tak ubahnya seperti sesosok mayat berjalan, aku sudah tidak mempunyai kegembiraan untuk hidup lebih lanjut di dunia ini, seandainya kau ingin menggertak aku dengan ancaman jiwa, haaah, haaah, haaah, kuanjurkan kepadamu lebih baik ganti saja dengan cara lain, karena lohu bukan seorang manusia yang takut menghadapi kematian lagi."

Buyung Im seng menjadi tertegun. 

"Kalau kudengar pembicaraan locianpwe, agaknya kau sudah mengakui kalau dirimu bukan Buyung Tiang kim ?"

Kakek berbaju hijau itu segera menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Lohu toh belum pernah menerangkan kalau aku adalah Buyung Tiang kim ?" dia balik berkata.

Buyung Im seng segera berkerut kening.

"Seandainya kau bukan Buyung Tiang kim, tentu saja kau tak akan mengetahui semua persoalan yang pernah dialami oleh Buyung Tiang kim dimasa lampau bukan ?"

Dengan sorot mata setajam sembilu, kakek berjubah hijau itu menatap wajah Buyung Im seng lekat-lekat, kemudian menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya sambil menghela napas panjang :

"Perduli apakah aku adalah Buyung Tiang kim atau bukan, asal kau adalah putra Buyung Tiang kim, hal mana sudah lebih dari cukup."

"Boanpwe tidak memahami maksud dari perkataan locianpwe tersebut" kata Buyung Im seng dengan wajah tertegun.

Kakek berbaju hijau itu manggut-manggut katanya :" jauh dari ribuan li kau

datang kemari, entah berapa banyak penderitaan dan siksaan yang telah kau alami sebelum berhasil menemukan tempat ini, yang jelas tindakanmu itu sudah mencerminkan jiwa kebaktianmu kepada orang tua, asal kau punya ingatan untuk berbakti saja, hal mana sebetulnya cukup."

Kemudian setelah menghembuskan napas panjang, sambungnya lebih lanjut : "Sekarangkau telah menyampaikan rasa baktimu itu, aku anjurkan lebih baik

janganlah berdiam terlalu lama lagi di sini."

Perubahan yang terjadi sama sekali di luar dugaan namun dia tak pernah menyangka bakal terjadinya banyak perubahan di luar dugaan, namun dia tak pernah menyangka bakal dihadapkan dalam situasi seperti ini.

Untuk sesaat lamanya dia berdiri tertegun di tempat semula dan tidak tahu apa yang mesti dilakukan untuk menghadapi perubahan semacam itu.

Pelan-pelan Nyoo Hong leng menggerakkan tangannya untuk menyeka air mata yang membasahi wajah Buyung Im seng, setelah itu ujarnya dengan lembut : "Tenangkan dulu hatimu, beristirahatlah lebih dulu, biar aku yang berbincangbincang dengan locianpwe ini."

Buyung Im seng menghela napas panjang, dia segera mengundurkan diri ke samping.

Dengan sorot mata yang jeli, Nyoo Hong leng mengawasi wajah Buyung Tiang kim lekat-lekat kemudian pelan-pelan berkata :

"Locianpwe, perduli kau adalah Buyung Tiang kim yang sebenarnya ataukah bukan, tapi dia adalah putra Buyung Tiang kim yang sesungguhnya dan mempunyai banyak persoalan yang hendak dibicarakan, berbeda sekali dengan aku." 

"Kenapa dengan kau ?"

"Aku tidak mempunyai kekuatiran apa-apa, aku bisa berbicara dengan bebas, dapat pula bertindak sesuai dengan kehendak hatiku sendiri..."

Kakek berjubah hijau itu tertawa hambar.

"Baik, lohu siap mendengarkan perkataanmu itu" katanya.

"Andaikata kau bukan Buyung Tiang kim, aku berharap kau suka memahami bagaimanakah beratnya dia menderita dan bersusah payah mencari ke tempat ini, kebaktiannya sangat mulia dan jiwanya pun dijadikan sebagai taruhan dari perbuatannya itu, maka kuharap kau sukalah tahu diri dan berbicara keadaan yang sesungguhnya."

Agaknya kakek berjubah hijau itu kena didesak oleh perkataan Nyoo Hong leng yang tajam bagaikan sembilu itu sehingga tak sanggup untuk menjawab sebagaimana mestinya.

Setelah termenung berapa saat, dia baru berkata. "Andaikata lohu tak bersedia untuk menjawab ?" "Kalau begitu kau bukan Buyung Tiang kim."

"Sekalipun kau dapat membuktikan kedudukan lohu yang sebetulnya dan membuktikan bukan Buyung Tiang kim, apa pula yang bisa kau perbuat ?" "Kalau begitu mah urusan lebih mudah untuk diselesaikan."

"Aku siap mendengarkan penjelasanmu."

Mendadak Nyoo Hong leng mengayunkan tangan kirinya dan mencengkeram urat nadi pada pergelangan tangan kanan kakek berbaju hijau itu, kemudian katanya : "Aku hendak mencabuti jenggotmu itu satu per satu, kemudian mencabuti pula rambutmu yang beruban, dan terakhir kucabuti gigimu dan mengorek keluar sepasang matamu."

Kakek berbaju hijau itu agak tertegun, serunya cepat-cepat. "Lohu sudah bosan hidup, aku tidak takut mati."

"Siapa sih yang menginginkan kematianmu ? Aku menginginkan kau berada dalam keadaan tidak mati pun tidak hidup, tapi hidup menderita lagi selama sepuluh tahun."

Sembari berkata secara diam-diam dia mengerahkan tenaga dalam ke telapak tangan.

Terdengar kakek berjubah hijau itu menjerit kesakitan, air mata sampai bercucuran karena amat menderita, paras mukanya berubah sangat hebat....

"Pelan sedikit" seru Buyung Im seng dengan gelisah, "jangan sampai kau lukai dia orang tua."

"Orang ini bukan ayahmu, ayahmu memiliki kepandaian silat yang sangat hebat, tak mungkin dia begini tak berguna !" 

"Siapa tahu kalau mereka telah memusnahkan ilmu silat yang dimiliki dia orang tua ?"

"Lantas menurut pendapatmu ?"

"Tanyalah pelan-pelan, jangan kau lukai dia"

"Kalau kita mengajaknya berbicara secara halus dan pelan-pelan, mungkin dua hari dua malampun tak akan berhasil menemukan sesuatu keterangan yang diperlukan... "

"Aku berani memastikan, delapan puluh persen dia bukan Buyung Tiang kim, kau tak perlu menguatirkan keselamatan jiwanya lagi."

"Aku benar-benar tidak habis mengerti, apa sebabnya mereka harus mengirim seseorang untuk menyaru sebagai Buyung Tiang kim dan kemudian menyekapnya di sini ?"

"Seandainya persoalan ini gampang dipahami, kita pun tak usah menanyai dirinya lagi."

Mendadak gadis itu menggerakkan tangan kanannya dan mencabut dua batang jenggot kakek itu.

Kontan saja kakek berjubah hijau itu menjerit keras karena kesakitan, air mata sampai jatuh bercucuran membasahi seluruh wajahnya.

Menyaksikan hal itu, Buyung Im seng segera berpikir.

"Ayahku adalah seorang pendekar besar yang dihormati setiap manusia di dunia ini, sekalipun dia telah kehilangan ilmu silatnya, bukan berarti dia bakal berteriakteriak seperti ini, yang tampaknya orang ini memang bukan ayahku."

Sementara itu Nyoo Hong leng telah berkata lagi dengan suara sedingin salju : "Kakek tua, aku mengerti kalau kau tidak percaya dengan perkataanku, kalau memang begitu, marilah kita buktikan bersama-sama."

Tangan kanannya segera diayunkan berulang kali, dalam waktu singkat dia sudah mencabuti belasan batang jenggot kakek itu.

"Cukup, cukup, jangan dicabuti lagi, mari kita bicara secara baik-baik" buru-buru kakek berjubah hijau itu berseru dengan gelisah.

Nyoo Hong leng tersenyum.

"Nah, begitu baru benar ! Sekarang katakan dulu, benarkah kau adalah Buyung Tiang kim ?"

Cepat-cepat kakek berbaju hijau itu menggelengkan kepalanya berulang kali, "Bukan, aku bukan !"

Walaupun Buyung Im seng sudah menaruh curiga kalau kakek ini bukan Buyung Tiang kim, akan tetapi setelah mendengar pengakuan langsung dari kakek berbaju hijau itu, sedikit banyak timbul juga rasa sedih di dalam hatinya, dia segera menghela napas panjang dan mengunjukkan rasa kecewa yang amat sangat. 

Dalam ruangan batu itu terdapat sebuah lentera yang menerangi sekeliling tempat itu, maka rasa sedih dan kecewa yang terlihat di wajah Buyung Im seng dapat dilihat dengan jelas.

Dengan suara rendah Nyoo Hong leng berbisik :

"Toako, janganlah kau bersedih hati dulu, walaupun dia bukan Buyung Tiang kim, tapi aku percaya ayahmu sudah mesti berada didalam kota batu ini."

"Betul juga perkataan ini" Buyung Im seng segera berpikir cepat, "seandainya dia tidak berada dalam ruangan sekapan, mana mungkin dia bisa menyembunyikan diri di tempat lain ?"

Sementara itu Nyoo Hong leng telah bertanya pula :

"Sudah berapa lama kau berdiam di dalam ruangan batu ini ?"

Kakek berbaju hijau itu termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian baru menjawab :

"Mungkin kurang lebih empat lima tahun lamanya." "Baru empat lima tahun ?"

"Mungkin lebih pendek lagi, sesungguhnya lohu tak ingin terlalu jelas, mereka hanya mengurungku di sini dan mengajarkan serangkaian perkataan kepadaku dan minta aku menyaru sebagai Buyung Tiang kim, siapa tahu pertanyaan yang kalian ajukan hari ini sama sekali di luar dugaan orang, oleh karena itu lohu tak sanggup menjawab pertanyaanmu itu, akhirnya rahasia penyaruanku pun terbongkar pula." "Apakah titik kelemahanmu adalah kau sama sekali tidak mengerti akan ilmu silat

?"

Kakek berbaju hijau itu manggut-manggut.

"Ehmm... selama hidup lohu tak pernah belajar ilmu silat, pada hakekatnya aku lemah tak bertenaga, sampai tenaga untuk membunuh seekor ayam pun tak punya."

"Mungkinkah karena tampang wajahmu hampir mirip dengan Buyung Tiang kim ?" "Benar, tampaknya kau si gadis muda pintar sekali"

"Bagaimanakah sikap mereka terhadap dirimu ?"

"Sewaktu baru datang, sikap mereka terhadap diriku cukup baik, setiap kali bersantap tentu dihidangkan sayur dan arak baik, tapi dua tahun belakangan ini segala sesuatunya telah berubah, kehidupanku sehari-hari tak ubah seperti para tawanan lainnya."

"Mungkinkah hal ini dikarenakan selama dua tahun belakangan ini, mereka sudah tidak memerlukan dirimu sebagai Buyung Tiang kim lagi ?"

Sesudah berhenti sejenak, dia melanjutkan : ( Bersambung ke jilid 31)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar