Jilid 12
Buyung Im Seng memandang dayang itu sekejap, kemudian pelan-pelan bertanya pula: "Giok long datang bukan untuk memetik bunga!"
Mendadak dayang berpakaian ringkas itu menghampiri Buyung Im Seng dengan langkah cepat, kemudian bisiknya: "Budak siap menerima perintah."
Diam-diam Buyung Im Seng merasa kagum sekali, pikirnya: "Orang-orang Li ji pang memang betul-betul sangat lihai, ternyata dia bisa menyelundupkan salah seorang anggotanya untuk menjadi dayang kepercayaan dari Giok hong siancu." Dalam hati ia berpikir demikian, diluaran katanya: "Nona, tahukah kau bagaimana caranya untuk membuka ruang rahasia yang terdapat di sini?"
"Ruang rahasia yang berada dibalik dinding ini dibuat oleh seorang tukang yang ahli, konon memerlukan waktu yang cukup lama sebelum ruang rahasia penyimpanan harta mestika itu selesai dibuatkan, untuk membukanya terdapat dua buah anak kunci, yang satu disembunyikan Giok hong siancu sedangkan yang lain selalu dibawa di sakunya."
"Kau sudah datang cukup lama ditempat ini, dipercaya lagi oleh Giok hong siancu, kenapa tidak kau usahakan sendiri untuk membuka pintu rahasia itu serta membantu perkumpulanmu untuk mendapatkan kembali kitab pusaka ilmu pedang itu?"
"Budak telah mempergunakan banyak pikiran dan akal untuk membuka pintu rahasia tersebut tapi anak kunci tersebut selalu dibawa oleh Siancu, susah bagiku untuk mendapatkannya."
"Mengapa kau tidak mencari si ahli pembuat ruang rahasia itu agar bisa dibuatkan sebuah anak kunci lagi?"
"Si tukang yang ahli membuat ruang rahasia itu telah dibunuh oleh Giok hong siancu. Dewasa ini, kecuali Giok hong siancu seorang, tiada orang kedua di dunia ini yang mampu membuka rahasia dinding itu, kecuali kau bisa berhasil mendapatkan kunci tersebut dari saku Giok hong siancu."
"Anak kunci itu disimpan dimana?"
"Di atas tali celana dalam yang dipakai Giok hong siancu, kecuali kau, sulit buat orang lain untuk mendapatkannya."
"Mengapa perkumpulan kalian menyerahkan racun itu kepadaku dan bukannya kepadamu, bukankah sama saja? Asal dia sudah dirobohkan maka kunci tersebut otomatis akan didapatkan? Kenapa musti menyuruh aku yang melakukan tugas ini?"
Gadis berbaju ringkas itu menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya. "Giok hong siancu adalah seorang yang sangat teliti dan banyak curiga, sekalipun dayang kepercayaannya juga tak mungkin bisa terlampau mendekatinya. Dihari-hari biasa, sayur dan arak yang kami hidangkan selalu musti dicicipi dahulu dihadapannya, bahkan setelah bersantap juga tak boleh segera meninggalkan tempat itu." "Kenapa?" tanya Buyung Im seng.
"Sebab dia hendak melihat apakah makanan itu ada racunnya atau tidak, oleh karena itu setiap orang haru berdiri beberapa waktu lebih dulu dihadapannya sebelum diijinkan untuk pergi."
"Ooo... rupanya dia begitu berhati-hati."
Dayang berbaju ringkas itu memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, lalu berkata. "Sekarang, agaknya kau sudah memperoleh kepercayaan penuh darinya, cuma bila kau hendak mempergunakan obat pemabuk nanti, lakukanlah dengan lebih berhati-hati."
Buyung Im seng mengangguk. "Akan kuingat selalu dan banyak terima kasih atas petunjukmu. Apakah dayang penjaga gudang mestika itu kalian yang bunuh?" Dayang berpakaian ringkas itu mengangguk, "Yaa, akulah yang melakukannya, tapi kami hanya menotok jalan darahnya belaka, siapa tahu ternyata pada saat itulah ada orang yang menyerbu masuk ke dalam lembah ini dan membunuh dayang2 penjaga gudang."
"Hal itu malah lebih baik lagi, dengan begitu bisa mengurangi pula rasa curiga mereka kepada kalian."
Dayang itu segera memberi hormat dan berkata. "Budak tak bisa berdiam terlalu lama di sini, semoga kongcu baik-baik menjaga diri, setiap saat aku akan berjagajaga di luar ruangan untuk menantikan perintah dari kongcu."
Seusai berkata, tanpa menantikan jawaban dari Buyung Im seng lagi dia lantas membalikkan badan dan mengundurkan diri dari situ.
Dengan hati-hati sekali Buyung Im seng mengeluarkan obat pemabuk yang disembunyikan dalam tubuhnya, kemudian melakukan persiapan, setelah itu menghapus pula semua bekas bekasnya. Ketika semua persiapan telah selesai, diapun berjalan hilir mudik di dalam kamar.
Lebih kurang seperminuman teh kemudian, tiba-tiba Giok hong siancu masuk dengan langkah terburu-buru. Dengan cepat Buyung Im seng menyongsong kedatangannya sambil tertawa, katanya. "Bagaimana? Sudah ditemukan pembunuhnya?"
Giok hong siancu menggeleng. "Belum ditemukan, tapi aku telah menitahkan segenap anggota lembah untuk melakukan pemeriksaan."
"Apakah memerlukan bantuanku?"
"Tak usah, aku sengaja memburu kembali ke sini karena hendak menemanimu..." Setelah tersenyum tegurnya, "Sudah mandi?"
"Belum, kau pergi melakukan pencarian terhadap musuh yang menyusup kemari, mana aku tega pergi mandi?"
Agaknya Giok hong siancu merasa terharu sekali, dia menghela napas panjang, "Aiiii... bila pada sepuluh tahun berselang kau dapat bersikap demikian, sekarang kita sudah mempunyai beberapa orang anak."
"Yah, sudah lewat biarkan saja lewat, yang akan datang masih bisa kita raih, marilah kita mulai dari sekarang."
"Betul!, mari kita mandi dulu!"
Sekarang Buyung Im seng sudah mempunyai persiapan yang cukup matang, tindak tanduknya sudah tidak gugup lagi seperti tadi, dia lantas memeluk dan membopong tubuh Giok hong siancu, kemudian dibawanya ke atas ranjang...
Giok hong siancu memejamkan matanya rapat-rapat, wajahnya memancarkan sinar kebahagiaan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Ketika mendekati pembaringan, tiba-tiba Buyung Im Seng menurunkan tubuh perempuan itu, lalu merangkulnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya dengan kecepatan luar biasa menotok jalan darah Cian cing hiat di atas bahu Giok hong siancu.
Mimpipun Giok hong siancu tidak mengira kalau dia bakal disergap orang ditengah buaian mesra yang penuh kehangatan itu, sehingga untuk sesaat lamanya dia menjadi tertegun.
Dengan cepat Buyung Im Seng merangkul tubuh Giok hong siancu lalu membaringkan ke atas pembaringan, setelah itu ujarnya.
"Siancu bila kau tak ingin mati, lebih baik jangan berteriak!"
Giok hong siancu segera menghela napas panjang, katanya. "Seharusnya dari dulu aku sudah tahu kalau kau bukan Giok long kun Ong Ciu, tapi aku sudah terpikat oleh kobaran cinta sehingga beberapa kali titik kelemahan yang kau perlihatkan sama sekali tidak ku tanggapi dengan serius, yaa... memang salahku sendiri kenapa terlalu gegabah, kesalahan yang kecil berakibat besar seperti ini..."
"Sayang keadaan sekarang sudah terlambat." kata Buyung Im Seng.
"Beri tahu kepadaku, siapa kau yang sebenarnya, apakah anggota Sam seng bun?"
"Aku tak ingin berbohong, tapi akupun tak dapat memberitahukan hal ini kepadamu."
Sesudah berhenti sebentar, terusnya. "Tapi ada satu hal aku ingin memohon kepada siancu!"
"Persoalan apa?"
"Tolong buka kan pintu rahasia di atas dinding ruangan ini, aku ingin mengambil dua macam benda dari situ."
"Tampaknya kau sudah mengetahui jelas keadaan didalam lembah Giok hong kok ini?"
Buyung Im Seng tersenyum. "Benar!" sahutnya, "aku sudah tahu mengenai pintu rahasia serta anak kunci itu, maka aku harap siancu mau diajak bekerja sama." "Coba katakanlah, anak kunci itu dimana?"
"Di atas tali celana dalammu!"
Giok hong siancu tampak agak tertegun, kemudian ujarnya sambil menghela napas. "Baiklah, tampaknya terpaksa aku harus bekerja sama denganmu, silahkan kau ambil sendiri anak kunci itu!"
Tanpa sungkan-sungkan Buyung Im Seng lalu menyingkap gaun Giok hong siancu, melepaskan pakaiannya dan mengambil anak kunci itu dari tali pengikat celana dalamnya.
Setelah itu diapun bertanya. "Bagaimana caranya untuk membuka pintu rahasia itu?"
Giok hong siancu segera tertawa ewa. "Tampaknya kau masih belum mengerti tentang seluk beluknya..."
"Aku bukan anggota lembahmu, sudah barang tentu aku tak begitu mengetahui tentang seluk beluk di tempat ini."
"Singkap kain tirai itu maka kau akan menyaksikan dinding itu yang warnanya agak tua, gunakan tenaga tanganmu untuk memutarnya tiga kali ke kanan, maka
di atas dinding tersebut akan terbuka sebuah lekukan yang dalamnya setengah inci dan panjangnya dua inci, setelah itu masukan anak kuncinya ke dalam dan memutarnya ke kiri sebanyak tiga puluh enam kali, pintu batu itu secara otomatis akan terbuka sendiri."
Buyung Im Seng menurut dan segera melakukan seperti apa yang dikatakan, benar juga, pintu rahasia itu segera membuka sendiri secara otomatis...
Tampak dalam ruangan kecil dibalik pintu rahasia itu terletak empat jilid kitab dan dua buah botol porselen.
Dua buah botol porselen itu mempunyai warna yang sama, entah apa isi kedua botol porselen itu.
Buyung Im Seng segera mengambil salah satu botol porselen itu dan dimasukkan ke dalam sakunya, kemudian mengambil pula ke empat jilid kitab tadi, setelah menutup kembali pintu rahasia itu, sambil menghembuskan napas panjang katanya.
"Sungguh tak kusangka kalau segala sesuatunya bisa berjalan dengan begini lancar."
"Apakah aku Giok hong siancu pandai bekerja sama?" tegur perempuan itu kemudian.
"Betul dan aku merasa berterima kasih sekali."
"Sekarang akupun ingin mengajukan satu permintaan kepadamu, entah bersediakah kau untuk mengabulkannya?"
Buyung Im Seng termenung sebentar, lalu menjawab, "Seandainya permintaan tidak terlampau menyusahkan aku, tentu saja akan kululuskan."
"Sebetulnya siapakah kau?"
Buyung Im Seng segera tertawa hambar. "Justru aku paling takut bila kau mengajukan pertanyaan ini..." katanya.
"Jadi kau enggan mengatakannya?"
"Aku enggan berbohong, tapi aku segan memberitahukan nama asliku, oleh sebab itu aku paling kuatir bila kau mengajukan pertanyaan itu..."
Sekalipun jalan darah Giok hong siancu sudah tertotok, namun sikapnya masih tetap tenang sekali, dia kembali tertawa ewa.
"Baik! Kalau begitu, mari kita berganti dengan suasana yang lain saja..." "Akupun hendak mengucapkan sepatah kata."
"Berada dalam suasana begini, tampaknya sekalipun tidak kuturuti juga tak dapat, baiklah coba kau katakan!"
"Sebelum siancu mengajukan pertanyaan, aku harap kau suka memikirkan dulu dengan seksama, bila aku bersedia menjawab, tentu akan kujawab dengan sejujurnya, tapi bila tak bisa kujawab, harap siancu jangan mengajukannya lagi." "Tampaknya aku tidak mempunyai banyak hak untuk berbicara, baiklah, mau menjawab atau tidak terserah padamu."
Setelah berhenti sebentar, diapun bertanya: "Siapa yang menyuruhmu datang kemari?"
Buyung Im Seng tertawa ewa, dia membungkam seribu bahasa. "Apakah Li ji pang yang mengundangmu datang kemari?" sambung Giok hong siancu lebih jauh.
Buyung Im Seng menjadi tertegun setelah mendengar pertanyaan itu, sahutnya kemudian.
"Tepat sekali dugaanmu itu."
"Selain Li ji pang, rasanya orang lain memang tak mungkin bisa meminta bantuanmu."
"Kenapa?"
"Sebab Li ji pang adalah suatu perkumpulan yang anggotanya terdiri dari gadisgadis tercantik di dunia, banyak sekali jago persilatan dari dunia ini yang terpikat oleh mereka dan bersedia untuk menyumbangkan tenaganya bagi mereka." "Aku membantu mereka lantaran alasan yang lain!" Buyung Im Seng menerangkan.
"Aku tak ingin tahu alasan apakah itu, tapi aku ingin bertanya apa yang hendak kau lakukan terhadap diriku?"
"Dimasa lalu kita tiada dendam, belakangan ini kitapun tak pernah berniat ingin mencelakai dirimu, tapi kau harus meluluskan sebuah permintaanku."
"Apa permintaanmu itu?"
"Lepaskan aku untuk meninggalkan Giok hong kok, jangan turun tangan menghalangi kepergianku."
"Seandainya aku tidak meluluskan?"
"Terpaksa aku harus mempergunakan kecerdasan serta kemampuanku untuk melindungi diri."
"Aku bisa saja meluluskan permintaanmu itu tapi akupun mempunyai sebuah syarat."
"Kalau urusan menyangkut perkumpulan Li ji pang, aku tak dapat mengambil keputusan."
"Permintaan ini tiada sangkut pautnya dengan Li ji pang, permintaanku hanya menyangkut persoalan pribadi.!"
"Bagus sekali kalau begitu, silahkan siancu utarakan!"
"Aku berharap bisa bersua lagi denganmu, lagi pula kau harus bertemu denganku dalam wajah aslimu."
"Didalam lembah Giok hong kok inikah?"
"Waktu dan tempat boleh kau tentukan sendiri, dan akupun bertekad akan pergi sendiri."
Buyung Im Seng segera tersenyum, dia tak berkata apa-apa. Tampaknya Giok hong siancu belum menyelesaikan kata-katanya, kembali dia melanjutkan.
"Kau boleh bersembunyi dibalik kegelapan untuk mengintipku, jika aku membawa seorang dayang saja, kau boleh tak usah menampakkan diri dan segera berlalu." Buyung Im Seng termenung sebentar, kemudian sahutnya. "Boleh saja, tapi bagaimanakah caraku untuk memberitahukan soal waktu dan tempat pertemuannya?"
"Gampang sekali, asal kau menulis sepucuk surat dan mengutus orang menyampaikannya ke lembah Giok hong kok, itu sudah cukup. Bila kau tidak lega, dalam surat itupun kau tak usah mencantumkan tempat dan waktunya, katakan saja harus menunggu kabarmu dimana."
"Tampaknya kau sangat menaruh perhatian kepadaku?" kata Buyung Im Seng sambil tersenyum.
"Selama hidup belum pernah mengalami kekalahan total seperti hari ini, kejadian tersebut segera membuat aku memahami akan suatu hal."
"Soal apa?"
"Aku baru meresapi sekarang bahwa cinta itu menyesatkan orang."
"Aku hendak pergi sekarang, bila siancu masih ada perkataan, kita perbincangkan di kemudian hari saja."
"Baik, pergilah!" Giok hong siancu manggut2.
"Dapatkah aku meninggalkan tempat ini dengan selamat?"
"Bila kuturunkan perintah, maka tiada orang yang akan menghalangi lagi." "Aku tetap merasa hal ini terlalu berbahaya."
"Aku harap kau bersedia mempercayaiku, tapi jika kau kurang percaya, aku toh mempunyai suatu cara yang lebih baik lagi."
"Coba kau katakan!"
"Gunakan aku sebagai sandera! Bawa aku serta sampai di luar lembah Giok hong kok, kemudian baru lepaskan aku kembali."
Sebenarnya Buyung Im Seng hendak mempergunakan obat pemabuk yang diserahkan Kwik Soat kun kepadanya untuk merobohkannya, setelah itu baru pergi. Tapi setelah mendengar perkataan itu, dia malah menjadi rikuh untuk mempergunakannya.
Sesudah termenung sejenak, diapun berkata: "Baiklah, aku akan mempercayai perkataan siancu untuk kali ini."
"Bagus sekali, di atas toiletku ada sebuah tanda perintah Leng pay, bawalah benda itu untuk digunakan bila perlu, andaikata ada orang yang memeriksamu, gunakan Leng pay tersebut, katakan kalau aku ada urusan penting yang menyuruhmu keluar dari lembah."
Buyung Im Seng segera mendekati toilet, benar juga di situ ada sebuah tanda Leng pay, setelah disimpan ke dalam saku, dia menjura seraya berkata. "Siancu, baikbaiklah menjaga diri."
Seusai berkata dia lantas melangkah menuju keluar ruangan. Setibanya di depan pintu, tiba-tiba dia berhenti seraya berpaling, lalu tanyanya: "Besok, apakah kau akan pergi memenuhi janjimu dengan pihak Sam seng bun...?"
"Pergi..." sesudah berhenti sejenak, dia melanjutkan, "Kelihatannya kau menaruh perhatian khusus terhadap perguruan Sam seng bun?"
"Oooh... aku tidak lebih cuma sembarangan bertanya saja."
"Lain kali, bila kita bersua kembali nanti, aku percaya banyak masalah tentang Sam seng bun yang bisa kuberitahukan kepadamu."
"Paling lambat dua bulan, paling cepat tujuh hari, aku pasti akan mengirim kabar sampai di sini."
"Moga-moga saja setiap perkataanmu itu bisa dipercaya, janganlah membuat aku menjadi kecewa!" Buyung Im Seng segera tersenyum.
Akupun berharap agar kau bisa memegang janjimu dengan baik, biarkanlah aku pergi meninggalkan lembah ini dengan selamat.
"Apakah kau masih merasa kuatir?"
"Yaa, berhubung kau terlampau bersedia untuk bekerja sama, membuat kelancaran kerjaku sedikit di luar dugaan, maka mau tak mau timbul juga curiga dalam hati kecilku."
Giok hong siancu segera tertawa hambar, katanya. "Aku adalah seorang perempuan yang jahat sekali, tahukah kau akan hal ini?"
"Tahu, namamu memang kurang begitu baik."
"Bila seorang jahat secara tiba-tiba berubah menjadi baik, maka kebaikannya akan jauh lebih baik daripada orang yang terbaik di dunia ini, bila seorang perempuan dingin dan hambar secara tiba-tiba terpengaruh oleh rasa cinta, maka luapan cintanya itu akan melebihi air sungai yang pecah bendungan atau letusan gunung berapi, kekuatan macam apapun jangan harap bisa menahan lagi.
"Soal ini, aku kurang begitu mengerti."
"Seandainya seseorang belum cukup berpengalaman, dia memang tak akan memahami perkataan itu, tapi pelan-pelan aku bisa membuatmu menjadi paham." Pelan-pelan Buyung Im Seng berjalan balik kembali, ke samping pembaringan, lalu memandang wajah Giok hong siancu sambil termenung dan membungkam dalam seribu bahasa.
"Apakah masih tidak percaya?" tanya Giok hong siancu kemudian.
"Yaa, orang persilatan kebanyakan licik dan banyak tipu muslihatnya, aku merasa sulit..."
Giok hong siancu manggut2, selanya. "Aku mempunyai dua cara yang bisa kau pilih satu diantaranya."
"Dua cara yang mana?"
"Pertama adalah membinasakan diriku, bila kau membuat begini, maka urusan akan beres sama sekali, bukan saja tiada orang yang akan menurunkan perintah terhadap dirimu lagi, bahkan di kemudian haripun tak nanti ada orang yang akan datang mencari balas kepadamu, aku rasa inilah cara terbaik yang bisa kau gunakan."
"Walaupun namamu didalam dunia persilatan kurang baik, tapi aku belum pernah menyaksikan kau melakukan perbuatan jahat, lagi pula kita tak pernah terlibat dalam ikatan dendam atau sakit hati, mana mungkin aku bisa turun tangan untuk membunuh dirimu?"
"Kalau begitu kau hanya bisa mempergunakan cara yang kedua, yakni menotok jalan darah bisuku!"
"Cara tersebut memang bagus sekali, nampaknya terpaksa aku harus menyiksamu sebentar."
Dia lantas menotok jalan darah bisu di tubuh Giok hong siancu, kemudian dengan langkah lebar berjalan keluar dari ruangan itu.
Tampak seorang dayang muda menyoren pedang dipinggang telah menanti ditempat kegelapan di luar pintu sana, begitu melihat pemuda itu menampakkan diri, dia lantas menegur. "Telah berhasil?"
"Yaa, suatu kesuksesan serta kelancaran yang sama sekali di luar dugaanku!" "Apakah memerlukan bantuan dari budak?"
"Yaa, aku memang sangat memerlukan bantuan nona!"
"Harap kongcu menyampaikan perintah." "Aku hendak pergi dari sini, tolong nona bersedia menyiapkan seekor kuda untukku."
"Sudah kupersiapkan sedari tadi, harap kongcu mengikuti diriku."
Dengan mengajak Buyung Im Seng menuju ke sebuah dinding bukit yang terjal, dia melanjutkan, "Sesudah melewati bukit sana, kau akan menjumpai seekor kuda.
Perlukan kuberitahukan kepada mereka semua agar berkumpul dan menghantarmu keluar dari lembah?"
"Tidak perlu!" sahut Buyung Im Seng sambil tersenyum.
"Asal Giok hong siancu belum sadar dari mabuknya, sepanjang perjalanan selalu ada saudara kami yang akan melindungi keselamatanmu, silahkan saja kau melanjutkan perjalanan dengan berlega hati."
"Tampaknya kekuatan dan pengaruh kalian Li ji pang didalam lembah Giok hong kok ini besar sekali, bukan begitu?"
"Ssst...! Jangan keras-keras..."
Buyung Im Seng tidak banyak bicara lagi, dia lantas membalikkan badan menuju ke arah dinding bukit.
Setelah melewati sebuah tikungan, benar juga dia saksikan ada seekor kuda di bawah pohon kecil di bawah tebing karang tersebut.
Buyung Im Seng segera melepaskan tali lesnya, melompat naik dan melarikannya keluar dari lembah.
Di luar dugaan, sepanjang jalan ia tidak menjumpai penghadang-penghadang menghalangi kepergiannya.
Sesudah keluar dari lembah Giok hong kok, dia membelokkan kudanya menuju ke arah bangunan rumah gubuk tersebut.
Baru sampai setengah jalan, tampak sesosok bayangan manusia berkelebat lewat dan muncul seseorang dari belakang sebatang pohon di pinggir jalan...
Orang itu mengenakan baju ringkas berwarna hitam, sambil menghadang di depan kuda, bisiknya. "Buyung kongcu kah?"
Buyung Im Seng segera mengenali suara itu sebagai suara Kwik Soat kun, sambil menarik tali les dan melompat turun, sahutnya. "Yaa, memang aku!"
"Tentu merepotkan kongcu!" buru-buru Kwik Soat kun membungkukkan badan sambil memberi hormat.
"Tampaknya perkumpulan Li ji pang telah mempersiapkan kekuatan yang besar sekali didalam lembah Giok hong kok, dimana saja aku tiba, di situ ada orang yang membantuku, itulah sebabnya aku tak sampai menyia-nyiakan harapan kalian." "Yang paling penting adalah berkat bantuan dari Kongcu yang berhasil menaklukan Giok hong siancu."
"Konon orang persilatan mengatakan Giok hong siancu adalah perempuan keji yang berhati buas, tapi setelah perjumpaanku dengannya, aku merasa bahwa perempuan itu sebenarnya tidak terlampau bahaya atau kejam, dia cukup baik."
Kwik soat kun segera tertawa, katanya. "Kami sudah mencari selama banyak tahun sebelum berhasil menemukan orang semacam kongcu tentu kemenangan ada ditangan kita."
Buyung Im Seng menghela napas, katanya. "Setelah kuambil kitab pusaka ilmu pedangnya aku kuatir kejadian ini akan memaksanya untuk menggabungkan diri dengan perguruan Sam seng bun."
"Jika kongcu tidak datang, diapun sama juga akan menggabungkan diri dengan perguruan Sam seng bun."
Pelan-pelan Buyung Im Seng merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan ketiga jilid kitab serta sebuah botol porselen yang berhasil diperolehnya itu, lalu katanya. "Benda mestika yang berada didalam ruang rahasia dibalik dinding kamar Giok hong siancu hanya terdiri dari beberapa jilid kitab dan porselen ini saja, silahkan nona menerimanya! Benda manakah yang merupakan benda milik Li ji pang?"
Kwik soat kun menerima kitab dan botol porselen itu, kemudian setelah diperiksa sebentar, dia lantas memberi hormat seraya berkata. "Terima kasih banyak kongcu!"
Buyung Im Seng tertegun, segera pikirnya. "Kenapa dia ambil semua? Masa botol porselen itupun tidak..."
Berpikir sampai di situ diapun termenung saja, tak sepatah katapun yang diutarakan.
Agaknya Kwik soat kun telah menduga suara hati dari Buyung Im Seng itu, sambil ketawa hambar katanya. "Kitab ilmu pedang dan ilmu pukulan tersebut tidak begitu kupahami maknanya, harus kulaporkan kepada pangcu serta dilakukan penelitian."
"Sebenarnya aku tak akan banyak bertanya tapi setelah nona memberi penjelasan, akupun ingin mengajukan satu pertanyaan kepadamu."
"Sudah pasti persoalan itu adalah suatu masalah yang tak sedap didengar." kata Kwik soat kun sambil tersenyum.
"Agaknya nona sudah mempunyai firasat?"
"Aku hanya menduga bahwa pertanyaanmu itu pasti tak sedap didengar, tapi tak bisa kuduga persoalan apakah itu."
"Beberapa jilid kitab itu hendak nona berikan pada pangcu kalian, apakah botol porselen itupun hendak kau serahkan juga kepada pangcu kalian?"
Kwik soat kun segera tertawa. "Kongcu, kalau toh kau telah membantu perkumpulan Li ji pang kami, mengapa tidak bersikap sedikit terbuka dan berjiwa besar?"
"Kurangkah kebesaran jiwaku ini? Senya benda yang kuperoleh telah kukeluarkan semua, tak sepotongpun yang kutinggalkan, bila berganti dengan orang lain, belum tentu ia bersikap seperti ini."
"Aku rasa pangcu kami sudah pasti akan membalas budi kebaikanmu itu..." Buyung Im Seng segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. "Ha.. ha.. itu mah urusan dari pangcu kalian!"
"Kongcu, bagaimana kalau kita jangan memperbincangkan persoalan semacam ini?" "Kenapa?"
oo(0)oo BAGIAN KE 18
"Sebab aku merasa mempunyai batasan-batasan tertentu hingga aku tak bisa memberikan janji apa-apa terhadap kongcu." kata Kwik soat kun.
Buyung Im Seng segera tersenyum. "Mungkin sewaktu perkumpulan kalian denganku sejak pertama kalian sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan diriku sebagai alat guna memenuhi harapan kalian, sebab itu pula orang-orang kalian berulang kali memberi bantuan kepadaku secara diam-diam.
Jadi bantuan yang kuberikan kali ini, kepada perkumpulan kalian pun hitunghitung sebagai suatu balas jasa dariku kepada kalian."
Kwik soat kun mengerdipkan matanya yang besar dan jeli itu, lalu berkata sambil tertawa. "Aku rasa bila pangcu sudah bersua dengan kongcu nanti, sudah pasti dia akan memberi sedikit pertanggung-jawaban kepadamu."
"Itu mah urusan di kemudian hari, biar kita bicarakan dilain saat saja, sekarang aku hendak mohon diri lebih dulu."
Mendengar perkataan tersebut, Kwik soat kun menjadi tertegun, lalu serunya. "Kongcu aku telah mempersiapkan satu perjamuan arak untuk merayakan keberhasilanmu..."
"Tidak perlu." tukas Buyung Im Seng, "cukup asal kalian bersedia memberi seekor kuda jempolan kepadaku saja, aku hendak segera berangkat melakukan perjalanan, karena aku mempunyai janji dengan seorang sahabatku, aku tak ingin dia menunggu terlalu lama..." "Apakah dengan Biau hoa lengcu?"
"Bukan."
"Apakah dengan sau pocu dari benteng keluarga Tong, Ton Thian hong?"
"Mata-mata dari perkumpulan kalian memang sungguh hebat dan luar biasa, mau tak mau aku harus merasa kagum sekali!"
"Perjamuan telah dipersiapkan, harap kongcu bersedia memberi muka untuk menghadirinya, besok pagi, aku pasti akan mengantar kongcu untuk berangkat melanjutkan perjalanan."
"Apakah pangcu kalian akan turut hadir didalam pesta arak untuk merayakan keberhasilanku itu?"
Kwik Soat kun termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian menjawab. "Soal ini, sulit bagiku untuk memberi jawaban, aku tak tahu apakah pangcu akan hadir disaat pesta perjamuan itu diselenggarakan atau tidak." "Bila pangcu kalian akan menghadirinya, akupun berharap bisa mengajukan
beberapa pertanyaan kepadanya dalam pesta perjamuan tersebut. Tapi bila pangcu kalian tidak menghadirinya, aku rasa akupun tak perlu untuk menghadiri pesta perjamuan tersebut."
Kwik Soat kun segera tertawa hambar. "Buyung kongcu" katanya. "selama ini kerja sama diantara kita berlangsung sangat baik, mengapa disaat saat terakhir justru terjadi peristiwa yang tidak menyenangkan hati semacam ini?"
"Aku tidak mengerti dimana letak ketidak-senangan hati tersebut...?" "Seandainya kongcu bersedia menghadiri pesta perjamuan yang kami
selenggarakan dan bergembira bersama dengan kami, tentu saja kerja-sama antara kongcu dengan kami kali ini berlangsung dengan baik dan penuh kegembiraan, sebaliknya bila kongcu tak mau menghadiri pesta perjamuan, hal ini membuktikan kalau kongcu pergi dengan marah, bagaimana mungkin hatiku bisa menjadi tenang dan aman...?"
Buyung Im Seng tertawa hambar. "Kalau begitu, nona memaksa aku untuk turut menghadirinya?" dia mengejek.
"Memaksa sih tidak berani, aku hanya memohon pada kongcu agar mau menghadirinya serta memberi muka kepada diriku."
"Baiklah!" kata Buyung Im Seng kemudian sambil tertawa hambar, "aku meluluskan permintaan nona, cuma aku berharap didalam pesta perjamuan itu aku bisa berjumpa muka dengan pangcu kalian."
"Aku akan berusaha dengan segala kemampuan untuk mewujudkan keinginan kongcu itu, baik bukan?"
"Kalau toh demikian, aku merasa rikuh untuk menampik lagi." Kata Buyung Im Seng kemudian.
"Aku akan membawa jalan buat kongcu!" sambil membalikkan badan dia lantas berlalu lebih dulu.
Terpaksa Buyung Im Seng harus mengikuti di belakang Kwik Soat kun, sambil berjalan tanyanya lagi dengan lirih. "Masih didalam rumah gubuk semula?"
Kwik soat kun segera menggelengkan kepalanya. "Tempat sejelek itu mana bisa dipakai untuk menyelenggarakan pest perjamuan untuk kongcu."
"Aaah, itu berarti kita akan ganti tempat lagi."
"Sampai waktunya, kongcu akan mengetahui dengan sendirinya."
Sementara pembicaraan masih berlangsung, mereka sudah membelok pada sebuah tikungan bukit, di situ tampaklah sebuah kereta sudah menunggu ditengah jalan. "Kongcu, silahkan naik kereta!" kata Kwik soat kun kemudian dengan lembut.
Buyung Im Seng memandang sekejap ke arah itu, kemudian menyingkap tirai dan melangkah naik.
Didalam ruangan kereta itu tampak seorang dayang berbaju hijau telah siap menanti. Dayang tadi segera menyingkir ke pinggir dan berbisik dengan suara lirih. "Buyung kongcu, tentunya kau merasa lelah sekali!"
Buyung Im Seng melihat jelas raut wajah dari nona itu, namun kalau didengar dari suaranya yang merdu bagaikan kicauan burung nuri, bisa diketahui kalau nona itu pasti menawan hati, sebab suara tersebut cukup menggetarkan perasaan bagi siapapun yang mendengarnya.
Terdengar suara yang merdu merayu itu kembali berkumandang. "Kongcu, apakah perlu makan sedikit?"
"Aku tak lapar!"
Nona itu tertawa, kembali tanyanya. "Kongcu merasa haus?"
"Aku tidak haus!" Buyung Im Seng menggeleng kepala beruang kali.
Nona itu segera menghela napas sedih, mulutnya membungkam dalam seribu bahasa dan tidak berbicara lagi.
Buyung Im Seng menjadi keheranan setelah menyaksikan kejadian itu, segera tegurnya. "Mengapa kau menghela napas panjang?"
"Budak tak pandai melayani orang, mungkin itulah sebabnya mengapa kongcu merasa tak senang hati."
"Kapan sih aku merasa tak senang hati?" kembali Buyung Im Seng bertanya keheranan.
"Kau tak mau minum, juga tak mau makan, bukan jelas kalau kau sedang marah pada budak?"
Buyung Im Seng segera tertawa lebar setelah mendengar perkataan itu, katanya. "Kalian orang2 Li ji pang memang betul2 sangat lihai, aku tidak lapar juga tidak dahaga, apakah hal ini berarti marah kepada nona? Kita tak pernah saling mengenal, sekalipun aku sedang marah juga takkan melampiaskan kemarahan tersebut pada diri nona!"
Sementara itu terdengar suara roda kereta bergema, dengan gerakan yang sangat cepat kereta itu sedang bergerak ke depan sana.
Tiba-tiba tampak cahaya api berkilat, tahu2 ruangan kereta itu sudah diterangi dengan sebuah lentera. Itulah sebuah lentera kecil yang digantungkan di atas kereta.
Di bawah cahaya lentera, tanpa sadar Buyung Im Seng telah berpaling dan memperhatikan sekejap wajah dayang tersebut. Dia baru berusia enam-tujuh belas
tahun, alisnya lentik, kulitnya halus, sekalipun paras mukanya tidak terhitung cantik, namun memiliki semacam daya tarik yang cukup mempesonakan hati orang yang melihatnya.
Dayang itu sedang berlutut sambil memasang lentera, setelah memadamkan api di tangannya, dia berkata sambil tertawa merdu. "Apa paras mukaku terlampau jelek?"
Buyung Im Seng tertawa ewa. "Apakah nona menginginkan beberapa patah kata pujian dariku?" dia balik bertanya.
Dayang itu segera mengangkat bahu. "Pujian sih tidak perlu, asal kongcu tidak terlalu muak kepadaku, hal ini sudah lebih dari cukup."
"Ooh... apakah nona mendapat peringatan dari pangcu kalian untuk melayani serta mendengar perkataanku?"
Gadis itu mengerdipkan matanya berulang kali, setelah termenung sejenak sahutnya. "Kalau benar kenapa, kalau tidak kenapa?"
"Kalau kau mendapat perintah dari pangcu kalian untuk melayani diriku, maka aku rasa hal ini tak perlu dilanjutkan."
"Seandainya atas dasar kehendak budak sendiri?"
"Maka nonapun tak perlu bersikap terlalu baik kepadaku."
Dayang itu segera menghela napas panjang. "Aiii... kongcu mengharapkan aku berbuat bagaimana?" tanyanya kemudian.
"Silahkan nona duduk lebih dulu, bila aku membutuhkan bantuan dari nona, sudah barang tentu akan kuminta bantuanmu nanti."
Dengan sepasang matanya yang tajam, gadis itu mengawasi paras muka Buyung Im Seng beberapa saat lamanya, kemudian berbisik lirih. "Kongcu benar-benar seorang lelaki sejati!"
Dia lantas duduk disamping kereta dan tak banyak bicara lagi.
Kereta itu meluncur dengan cepatnya ke arah depan, Buyung Im Seng segera memejamkan matanya dan bersandar di dinding kereta untuk beristirahat.
Entah berapa lama kemudian, tiba-tiba kereta itu berhenti. Menyusul kemudian dari sisi telinganya mendengar ada suara merdu lagi berbisik.
"Kongcu, bangun sudah sampai..."
Ketika Buyung Im Seng membuka matanya, tampak kalau tirai sudah disingkap dan Kwik Soat kun sudah menanti di depan kereta.
Setelah turun, tampaklah sebuah gedung yang tinggi besar terbentang di depan mata, pintu gerbang sudah terbuka lebar, dua orang gadis berbaju hijau dengan membawa lampu teng, berdiri dikedua belah sisi pintu.
Dengan suara lirih Kwik Soat kun lantas berkata: "Meja perjamuan telah dipersiapkan ditengah ruangan, silahkan kongcu menghadiri perjamuan akan segera dimulai!"
Sambil tertawa Buyung Im Seng manggut2, "Aku tidak lebih hanya seorang petualang dari dunia persilatan", katanya, "pemberian dan perhatian dari perkumpulan kalian terhadap diriku, sungguh membuat aku merasa amat tidak tenang."
Kwik soat kun tertawa. "Aaah, apa yang kami lakukan tak lebih hanya merupakan suatu tanda hormat kami kepada dirimu, pangcu kami pernah berujar, bila kongcu berhasil mendapatkan kembali kitab ilmu pedang itu, maka dia akan menyelenggarakan suatu perjamuan mewah yang tak pernah terjadi selama ini." "Soal ini, aku harap nona suka membantuku memberitahukan kepada pangcu kalian, lebih baik urungkan saja niatnya itu."
"Perjamuan mewah yang belum pernah terjadi selama ini merupakan suatu perjamuan yang luar biasa sekali, perkumpulan kamipun telah mempersiapkannya selama banyak waktu, soal itu adalah persoalan di kemudian hari, harap kongcu jangan menguatirkannya."
Sementara itu kedua orang sudah menaiki anak tangga dan masuk ke balik pintu gerbang.
"Blamm!" dua orang gadis berbaju hijau yang membawa lentera itu segera menutup rapat pintu gerbang dan mengundurkan diri ke dalam ruangan.
"Budak akan membawa jalan buat kongcu!" ujar Kwik soat kun kemudian.
Dia lantas maju selangkah mendahului Buyung Im Seng ke dalam ruangan lebih dulu.
Tiba di ruangan dalam, tampak cahaya lilin terang benderang menyinari seluruh ruangan, dalam ruangan yang lebah dan luas telah disiapkan lima buah meja perjamuan.
Delapan orang gadis cantik jelita bak bidadari dari kahyangan yang mengenakan baju biru, putih munculkan diri dari ruangan dan menyambut datangnya mereka. Kwik soat kun maju dua langkah ke samping sambil bisiknya lirih. "Inilah Buyung kongcu!"
Delapan orang gadis berbaju putih itu segera memberi hormat bersama sambil berkata. "Menjumpai kongcu!"
Dengan suara rendah, Kwik soat kun berkata. "Mereka adalah delapan bidadari yang menyelenggarakan nyanyian mereka maupun permainan musik mereka, boleh dibilang tiada taranya di dunia ini, setelah perjamuan diselenggarakan nanti, mereka akan memperlihatkan kebolehannya masing-masing untuk menghibur kongcu."
"Aku tak berani merepotkan kalian semua!" buru-buru Buyung Im Seng menjura. Delapan orang gadis berbaju putih itu segera balas memberi hormat, sahutnya. "Cukup memperoleh senyuman dari kongcu, kami yang rendah merasa amat bangga!"
Selesai berkata, mereka lantas mengundurkan diri dari kedua belah sisi ruangan.
Kwik soat kun dengan membawa Buyung Im Seng segera mengambil tempat duduk di meja perjamuan utama. Waktu itu Buyung Im Seng ibaratnya orang yang tak berpendirian lagi, dia hanya mendengarkan perkataan orang lain saja.
Sementara itu Kwik soat kun telah berseru dengan suara lantang. "Tamu agung telah tiba, dipersilahkan cici dan adik sekalian memasuki ruangan perjamuan." Irama musik segera bergema dan dari dua sisi ruangan pun tiba-tiba terbuka dua buah pintu kayu. Terasa pandangan mata menjadi silau, lalu muncullah dua baris gadis cantik yang pelan-pelan berjalan masuk ke dalam ruangan.
Ketika Buyung Im Seng mengalihkan sorot matanya ke depan, tampaklah dua gadis cantik yang munculkan diri itu semuanya bergaun panjang, berbadan indah dan berwajah cantik setiap baris terdiri dari dua belas orang yang langsung menuju ke ruang tengah dengan langkah lemah gemulai.
Ketika dua baris gadis-gadis cantik itu berjalan lewat di hadapan Buyung Im Seng, mereka segera menyingsingkan gaunnya untuk memberi hormat.
Sambil memberi hormat, kata Buyung Im Seng. "Nona Kwik, aku merasa dimanjakan, tolong nona suka memberitahukan kepada mereka agar langsung masuk ke perjamuan saja, tak perlu banyak adat lagi."
Kwik soat kun tersenyum. "Baiklah aku akan menuruti perintah kongcu!"
Dengan memperkeras suaranya, dia berseru. "Para cici dan adik sekalian, Buyung kongcu itu adalah seorang pendekar sejati yang tidak suka segala adat penghormatan, dipersilahkan kalian langsung memasuki meja perjamuan."
Dua puluh empat gadis-gadis cantik itu segera membagi diri dalam tiga meja perjamuan dengan tiap meja perjamuan terdiri dari delapan orang.
Delapan orang bidadari cantik yang merupakan rombongan penghibur itu menempati pula satu meja, dengan begitu meja utama saja yang dibiarkan kosong. "Kongcu, silahkan masuk ke meja perjamuan!" bisik Kwik soat kun dengan suara lirih.
Diam-diam Buyung Im Seng berpikir. "Tampaknya kedudukan Kwik soat kun dalam perkumpulan Li ji pang tidak rendah."
24 orang gadis dan 8 orang penyanyi berbaju putih hampir semuanya berwajah cantik jelita bagaikan bidadari dari kahyangan, mereka mengurung Buyung Im Seng ditengah arena.
Buyung Im Seng segera celingukan kesana kemari dengan perasaan agak melayang, timbul rasa tak tenang dalam hatinya.
Kwik soat kun mengangkat cawan arak dan tiba-tiba berkata. "Kongcu, kau telah membantu Li ji pang untuk mendapatkan kembali kitab pusaka ilmu pedang kami, atas jerih payah kongcu tersebut, kami segenap anggota Li ji pang dari pangcu sampai ke bawah semuanya merasa berterima kasih sekali, dengan secawan arak ini, aku ingin menyampaikan rasa terima kasih itu, kalau kongcu bersedia pula mengeringkan secawan..."
Oleh karena permintaan itu tak mungkin ditampik, terpaksa Buyung Im Seng mengangkat cawan araknya seraya berkata. "Nona, takaran arakku cetek sekali!" "Tak usah kuatir kongcu, hari ini kau boleh minum sampai mabuk, aku percaya dengan jumlah kami yang begitu banyak, masih sanggup untuk melindungi keselamatan kongcu..."
"Tapi aku masih harus melanjutkan perjalanan." "Apakah kau merasa pelayanan kami kurang baik?"
"Tidak, aku sudah merasa terlalu dimanjakan, sehingga bagaikan berada di surga loka saja."
"Semoga saja ucapanmu itu adalah ucapan yang sejujurnya." Dia lantas mengangkat cawannya dan meneguk isinya sampai habis.
Terpaksa Buyung Im Seng harus meneguk pula isi cawannya sampai kering. Terdengar suara yang ramai, ternyata kedua puluh empat gadis cantik itu telah berdiri sambil membawa cawan araknya masing-masing, kemudian dengan lemah gemulai berjalan mendekat.
Menyaksikan medan seperti itu, Buyung Im Seng merasa terperanjat sekali, segera pikirnya. "Kalau seorang secawan, berarti aku harus minum 24 cawan, kemudian kalau ditambah lagi dengan 8 bidadari dan Kwik soat kun, berarti jumlahnya akan 33 cawan, Oohh... dengan takaran minumku, sudah pasti aku akan dibikin mabuk hebat..."
Baru saja dia berpikir sampai di situ, mendadak seorang gadis cantik telah muncul di sebelah kirinya sambil berkata dengan merdu. "Dengan tulus hati dan maksud yang jujur aku ingin menghormat kongcu dengan secawan arak, harap kongcu bersedia memberi muka."
Buyung Im Seng menjadi serba malu dibuatnya, sambil mengangkat cawan araknya pelan-pelan dia berkata. "Nona takaran minumku tidak baik."
Perempuan cantik itu segera memberi hormat, katanya lagi. "Aku akan meneguk lebih dulu sebagai tanda hormat, apakah kongcu akan mengeringkan atau tidak, terserah pada kongcu sendiri."
Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa Buyung Im Seng mengangkat cawan araknya dan meneguk isinya sampai habis.
Kalau hanya secawan masih mendingan, tapi ke 24 gadis lainnya saling menyusul segera mengajaknya untuk mengeringkan cawan, setiap orang hadir semuanya mengemukakan alasan yang kuat, hal ini membuat Buyung Im Seng merasa sulit untuk menampiknya.
Ketika menghabiskan 24 cawan arak itu, Buyung Im Seng sudah mulai dipengaruhi oleh air kata-kata, di hadapan puluhan orang gadis cantik itupun Buyung Im Seng merasa kurang leluasa untuk menggunakan hawa murninya mendesak arak dalam perut, terpaksa dia haru bersabar sambil duduk ditempat.
Kwik soat kun tersenyum, katanya kemudian, "Kongcu, bagaimana rasanya sekarang?"
"Masih mendingan, masih mendingan!"
Kwik soat kun tertawa, kembali ujarnya. "Dengan membawa pengaruh arak menyaksikan gadis cantik menari ditambah pula irama musik merdu menghiasi ruangan, keadaan semacam ini benar-benar merupakan suatu keadaan yang menarik hati, tapi jika sudah keburu mabuk, sudah pasti keadaan tersebut hanya akan merusak suasana belaka."
"Aku belum mabuk!" kata Buyung Im Seng dengan cepat. "Kalau begitu bagus sekali."
Dia lantas memberi tanda sambil menambahkan. "Bagaimana kalau dimulai?" 8 orang gadis berbaju putih itu segera mempersiapkan alat musiknya dan mulai membawakan sebuah lagu yang indah.
Ditengah alunan musik yang merdu merayu 24 gadis cantik lainnya pun pelanpelan menuju ke tengah arena dan menari.
Buyung Im Seng hanya merasakan warna merah, hijau saling bertumpukan, untuk sesaat sulit baginya untuk membedakan paras muka gadis itu...
Kwik soat kun yang menyaksikan kejadian itu segera berkerut kening, bisiknya. "Kongcu, hebatkah mabukmu?"
Buyung Im Seng menggelengkan kepalanya berulang kali. "Masih baikan, masih baikan!"
"Mereka mendapat tugas untuk datang kemari menghibur kongcu, tinggal di sini satu dua hari lagi juga tak menjadi soal, bila kongcu merasa mabuk hebat, lebih baik beristirahat dahulu, besok akan kami selenggarakan lagi suatu pesta yang lebih meriah untuk menghibur hati kongcu."
"Aku belum mabuk..." seru Buyung Im Seng sambil berusaha untuk bangkit berdiri. Tiba-tiba ia merasakan kepalanya pusing sekali, seluruh jagat seolah-olah berputar kencang, kepala menjadi berat dan kaki terasa enteng, tak ampun lagi tubuhnya segera roboh terjengkang ke atas tanah.
Kwik soat kun segera berusaha untuk membimbing Buyung Im Seng bangun, serunya. "Kongcu kalau sudah mabuk, marilah pergi beristirahat!" dalam keadaan sadar, Buyung Im Seng merasa digotong masuk ke dalam sebuah ruangan yang sangat indah.
Entah berapa lama sudah lewat... ketika ia sadar kembali, tampak tubuhnya sedang berbaring di atas sebuah pembaringan yang sangat indah.
Dengan cepat dia mengalihkan sorot matanya untuk memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, ruangan itu serba putih, lantai ditutup dengan permadani berwarna putih, tirai juga berwarna putih, pokoknya di sana tidak nampak warna lain kecuali serba putih mulus...
Pemuda itu menjadi termenung dan mulai membayangkan kembali apa yang pernah dialaminya semalam, ketika teringat kalau dirinya sudah mabuk hingga tak sadar, dengan perasaan kaget pemuda itu segera melompat bangun.
Terdengar seseorang menegur sambil tertawa merdu. "Kongcu, apakah kau membutuhkan air?"
Kesadaran Buyung Im Seng segera pulih kembali seperti sedia kala, saat itulah dia baru menjumpai dirinya berada dalam keadaan setengah telanjang, kecuali sebuah celana pendek yang lainnya dalam keadaan bugil.
Dengan perasaan terkejut dia membaringkan dirinya kembali dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, setelah itu dia baru berpaling ke arah mana datangnya suara itu.
Tampak seorang gadis muda sedang berjalan mendekati pembaringannya dengan langkah pelan, kembali tegurnya. "Kongcu, masih ingat dengan diriku?" suaranya merdu bagaikan burung nuri, indah dan menarik sekali.
"Ya, masih ingat, masih ingat", sahut Buyung Im Seng, "kemarin kita pernah bersua didalam kereta."
Gadis itu tertawa genit, kembali bertanya. "Daya ingatan kongcu memang bagus sekali."
Buyung Im Seng segera celingukan dan memandang sekeliling tempat itu, kemudian serunya. "Kemana larinya baju dan sepatuku?"
Gadis itu tertawa ewa, sahutnya. "Ketika mabuk semalam, baju kongcu ternoda oleh arak, sekarang sedang dicuci dan belum kering, tapi beberapa orang saudara kami telah bekerja keras untuk membuat beberapa stel pakaian buat kongcu, cuma sayang pakaian itupun belum jadi."
"Kalau begitu harap nona suka mencarikan satu stel pakaian apa saja untuk kukenakan." Kata Buyung Im Seng dengan kening berkerut, "bagaimanapun juga aku toh tak bisa berada dalam keadaan begini terus..."
Gadis itu tertawa. "Kongcu berbaring sambil berbincang-bincang toh sama saja." "Tidak bisa!" seru Buyung Im Seng sambil menggelengkan kepalanya berulang kali, "bila aku tak berpakaian..."
Tiba-tiba tirai disingkap orang dan Kwik soat kun muncul dengan wajah serius. "Siau tin, mundur kau!" perintahnya.
Gadis itu segera memberi hormat dan mengundurkan diri.
Tidak menanti Buyung Im Seng buka suara, Kwik soat kun telah berkata lebih dulu. "Ada suatu kejadian yang berlangsung di luar dugaan."
"Peristiwa apa?"
"Mungkin temanmu Tong Thian hong telah memberitahukan kepada Biau hoa lengcu bahwa kongcu sedang mencari kitab pusaka ilmu pedang buat kami, dan kejadian ini tampaknya telah menimbulkan kesalah pahaman bagi Biau hoa lengcu, secara beruntun dia telah lukai dua belas orang murid Li ji pang kami."
"Aaah masa benar..?" seru Buyung Im Seng dengan suara terkejut, dia segera melompat bangun.
Tapi ketika teringat kalau dia hanya mengenakan sebuah celana pendek saja, buruburu ia membaringkan dirinya kembali. Kwik soat kun segera berkata. "Pangcu kami telah menurunkan perintah setiap anggota Li ji pang diwajibkan menghindar pertikaian dengan Biau hoa lengcu dan berusaha untuk menjauhinya, namun sahabat mu belum mau berhenti, dia masih terus menerus membunuh anggota kami dimana-mana."
"Kesalahan paham ini terlalu besar, cepat ambilkan pakaian dan sepatuku, aku harus memberi penjelasan lebih dulu kepadanya."
"Tapi dengan peristiwa ini, kitapun dapat memperoleh suatu kenyataan bahwa Biau hoa lengcu benar-benar amat mencintai kongcu."
"Aiii... sikap Nyo Hong leng kepadaku memang sangat baik, dan hal ini kuakui tapi dia cantik bagai bidadari dari kahyangan, aku merasa tak pantas untuk mendampinginya, hubungan kami selama ini adalah suatu persahabatan yang suci dan bersih. Lagi pula aku masih mempunyai dendam kesumat sedalam lautan, pembunuh orang tuaku belum ditemukan, apa yang kupikirkan sekarang tidak lebih dari menuntut balas bagi kematian orang tuaku."
Kwik soat kun manggut2, katanya. "Kongcu memang pintar, berjiwa besar dan amat berbakti kepada orang tua, kebijaksanaanmu sungguh mengagumkan siapapun, tapi kongcu tak perlu kuatir, peraturan dalam perkumpulan kami sangat ketat, setelah pangcu menurunkan perintah, tak nanti anak murid perkumpulan kami yang akan mencari gara-gara dengan dirinya."
"Aku cukup memahami watak Nyo hong leng, seandainya tidak dibujuk cepat-cepat, akhirnya hanya keadaan tragis saja yang akan terjadi..."
"Dengan cara apakah kongcu akan pergi mencarinya?" tanya Kwik soat kin sambil tertawa hambar.
"Perkumpulan kalian terkenal karena pendengarannya yang tajam, aku yakin kalian pasti tahu dimanakah Biau hoa lengcu berada, asal kalian bersedia memberi petunjuk kepadaku, aku percaya pasti dapat menemukan dirinya...
Kwik soat kun tertawa ewa, lalu katanya. "Aku rasa biarpun urusan sangat kritis, rasanya juga tak usah terburu sekali, seusai berpakaian nanti silahkan kongcu bersantap lebih dulu, setelah cukup beristirahat barulah pergi mencarinya." "Kalau begitu harap nona berikan pakaian kepadaku!"
"Silahkan kongcu beristirahat sebentar lagi baju baru akan segera selesai."
Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa Buyung Im Seng berbaring kembali di atas ranjang, dengan menutupi mukanya pakai selimut, dia tidak banyak bicara lagi. Kwik soat kun berdiri di depan pembaringan sambil memandang Buyung Im Seng yang menutupi wajahnya dengan selimut itu, setelah memandang sebentar, pelanpelan dia membalikkan badannya dan pergi.
Tak lama kemudian, Siau tin yang bersuara merdu bagai burung nuri itu telah muncul kembali membawa pakaian dan sepatu.
Buyung Im Seng mendengar suara langkah Kwik soat kun yang berlalu dari sana, juga dengar suara langkah Siau tin yang masuk ke kamar, tapi dia mengira Kwik soat kun telah balik kembali, maka anak muda itu sama sekali tidak berkutik.
Ternyata dia merasa dirinya telah dibodohi oleh Kwik soat kun, maka terhadap dirinya ia merasa sangat tidak puas.
Terdengar suara Siau tin yang genit berkumandang dalam ruangan. "Kongcu, pakaianmu telah datang!"
(Bersambung ke jilid 13)