Lembah Tiga Malaikat Jilid 03

Jilid 3

Buyung Im-seng menghela napas panjang.

"Asal... andaikata kita gagal untuk menyelidiki keadaan Sam-seng-bun yang sebenarnya, mungkin di kemudian hari akan susah untuk menemukan kesempatan sebaik ini lagi."

"Kita menempuh bahaya hanya ingin menyelidiki keadaan musuh untuk menambah pengetahuan kita dalam menyusun rencana besar kita bukan pergi untuk mengadu nyawa, maka kalian berdua mesti mengutamakan keselamatan diri terlebih dulu baru sial menaklukan musuh. Ingat perkataanku ini, nah mari kita pergi!"

Selesai berkata, Nyo Hong-ling lantas mengajak Ki Li-ji untuk buru-buru berangkat meninggalkan tempat itu.

Menanti bayangan tubuh kedua orang itu sudah lenyap dari pandangan mata, Tong Thian-hong dan Buyung Im-seng baru turun tangan untuk menyaru diri, kemudian mencari mayat kedua orang kusir itu, melepaskan pakaian mereka, menggeserkan mayatnya ke tempat lain dan memberi beberapa bacokan luka di tubuh sendiri.

Seusai menyaru dan memeriksa sekejap bahwa tiada titik kelemahan yang terdapat pada diri mereka, kedua orang itu baru membaringkan diri di atas tanah.

"Buyung-heng," bisik Tong Thian-hong, "tahukah kau mengapa nona Nyo suruh kita menyaru sebagai kusir dan bukannya disuruh menyamar sebagai Busu yang mengawal kereta?"

"Menurut pendapat saudara Tong?"

"Mungkin lantaran kedudukan seorang kusir kereta itu terlalu rendah, pengetahuan tentang persoalan dalam suatu kantor cabangpun amat terbatas,

maka lebih mudah mengatasi masalahnya daripada kedudukan yang lebih tinggi...!" "Siaute juga berpendapat demikian." 

"Lebih baik kita gunakan kesempatan yang amat singkat ini menganalisa dulu pertanyaan apa saja yang mungkin mereka ajukan, kemudian diatur jawaban yang paling baik agar rahasia kita jangan sampai ketahuan...!"

"Tong-heng, memang amat seksama, sungguh membuat siaute merasa sangat kagum!"

Dengan menggunakan kecerdasan masing-masing kedua orang itu mulai mendugaduga pertanyaan apa saja yang mungkin diajukan lawan, kemudian dicarikan pula jawabannya yang tepat.

Baru saja mereka selesai berunding, tiba-tiba terdengar suara derap kuda yang amat ramai berkumandang datang.

Tempat dimana mereka berdua berbaring dipilihnya tempat yang strategis, sekalipun mata dipentangkan lebar-lebar juga tidak gampang diketahui orang. Tampak dua ekor kuda dengan cepat menghampiri tempat kejadian itu, kemudian bersama-sama melompat turun dari kudanya.

Orang pertama adalah seorang pemuda berusia dua puluh lima-enam tahunan yang berjubah putih, dia bertangan kosong dan tampak seperti seorang pelajar.

Di belakangnya mengikuti seorang bocah berbaju hijau yang usianya antara enamtujuh belas tahunan.

Ketika pemuda berbaju putih itu melompat turun dari kudanya tadi, bocah baju hijau itu buru-buru ikut melompat turun dan menerima tali les kudanya, kemudian sambil menuntun dua ekor kuda itu dia berjalan mengikuti dibelakang pemuda berbaju putih itu.

"Tambatkan dulu kuda itu!" bisik pemuda berbaju putih itu dengan suara lirih. Bocah berbaju hijau itu segera mengiakan dan menambatkan kedua ekor kuda itu di sebatang pohon, kemudian dari atas pelana dia mengambil sebilah pedang dan kemudian menyusul pemuda tadi.

Dengan amat teliti pemuda berbaju putih itu memeriksa mayat-mayat tersebut satu demi satu, ada kalanya dia malah berjongkok sambil memeriksa luka dimulut mayat.

Lambat laun pemuda berbaju putih itu semakin mendekati dimana Buyung-Imseng berdua pura-pura menggeletak.

Setelah jarak kedua pihak makin mendekat, Buyung Im-seng baru menetapkan bahwa pemuda berbaju putih yang tampak halus itu sesungguhnya memiliki sinar mata yang tajam sekali. Justru karena sinar matanya yang tajam itu, maka pemuda berbaju putih itu kelihatan keren dan diliputi selapis hawa napsu membunuh yang amat mengerikan.

Diam-diam Buyung Im seng merasa terkejut segera pikirnya. "Orang ini jelas bukan manusia baik-baik!"

Sementara itu terdengar pemuda berbaju putih itu berkata dengan suara dingin. "Cara kerja pihak lawan sungguh amat keji, bila tusukan pertama tidak mematikan ternyata tusukan kedua menembusi tempat mematikan dari lawannya, aku sudah memeriksa sembilan sosok mayat, semuanya berada dalam keadaan demikian." 

Bocah berbaju hijau itu hanya mengiakan belaka, tak sepatah katapun yang diucapkan.

Mendadak sinar mata pemuda berbaju putih itu menatap ke wajahnya tajam-tajam, kemudian katanya "Di sana ada orang yang masih hidup, cepat bopong kemari!" Bocah berbaju hijau itu mengiakan dan buru-buru lari ke depan untuk membopong tubuh Buyung Im-seng.

Sementara itu Buyung Im Seng sudah menutup sebagian nadinya membuat pernapasan menjadi lemah, agar orang mengira dia sedang menderita luka yang parah.

Tiba di depan pemuda berbaju putih itu, pelan-pelan bocah berbaju hijau itu membaringkan tubuh Buyung Im Seng ke atas tanah.

"Agaknya di sana masih ada seorang yang masih hidup lagi, cepat bawa kemari juga orang itu!" kata pemuda baju putih itu lagi.

Bocah berbaju hijau itu segera mengiakan tak lam kemudian ia telah membopong Tong Thian hong kemari.

Pemuda berbaju putih itu hanya mengawasi kedua orang tersebut dengan pandangan dingin, lama sekali dia tidak berbicara.

Baik Buyung Im seng maupun Tong Thian hong sama-sama menyadari bahwa mereka telah bertemu dengan seorang musuh yang tangguh, diam-diam mereka mempersiapkan diri secara baik-baik, untung saja mereka sudah mengadakan janji lebih dulu sehingga masih bisa menahan diri.

Kurang seperminuman teh kemudian, pemuda berbaju putih itu baru menegur ketus. "Kalian adalah kusir kereta?"

"Benar!" jawab Tong Thian hong dengan suara yang lemas tak bertenaga. "Kau dapat bersilat?" "Cuma ilmu silat kasaran!" jawab Tong Thian Hong dengan suara yang lemas lagi.

Pemuda berbaju putih itu manggut-manggut, kemudian kepada bocah berbaju hijau itu katanya "Bantu dia dengan sedikit tenaga, aku masih akan menanyakan banyak persoalan kepadanya."

Bocah berbaju hijau itu mengiakan, dia lantas membangunkan Tong Thian hong dan menempelkan tangan kanannya di atas jalan darah Mia bun hiatnya.

Tong Thian hong segera merasakan adanya segulung hawa panas yang kuat menerjang masuk ke dalam tubuhnya, ia merasa amat terkejut, segera pikirnya. "Seorang bocah saja sudah berilmu setinggi ini, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya tuannya, entah siapakah manusia berbaju putih ini?"

"Sekarang kau sudah bisa berbicara banyak bukan?" tegur pemuda berbaju putih itu kemudian. Tong Thian hong manggut-manggut. "Ya, benar!"

"Baik, sekarang jawab semua pertanyaanku!" "Siapa kau?" Tong Thian hong cepat bertanya. 

"Kim Cok tak pernah membicarakannya denganmu?" "Tidak!"

"Pemuda berbaju putih itu segera tertawa dingin.

"Siapa pun diriku, yang pasti dalam sekali ayunan tangan saja aku sanggup merenggut nyawamu."

"Aku mengerti."

"Kalau sudah mengerti itu lebih bagus lagi, sekarang jawab siapa yang menghadang kalian? Mengapa seluruh orang mati terbunuh? Dan mengapa cuma kalian berdua yang dibiarkan hidup?"

Tong Thian hong segera berpikir: "Orang ini memiliki sinar mata yang tajam, jelas tenaga dalam yang dimilikinya amat sempurna, ucapannya juga tajam, ini membuktikan dia berotak cerdas dan jelas bukan seorang manusia yang gampang dihadapi..."

Berpikir demikian, dia lantas melirik sekejap ke arah Buyung Im seng yang berbaring di sisinya, kemudian menjawab.

"Mungkin lantaran mereka anggap hamba cuma seorang kusir kereta, maka mereka tak sampai melancarkan serangan yang mematikan." Pemuda berbaju putih itu termenung sejenak, kemudian sahutnya. "Siapa-siapa saja mereka itu? Apakah kau masih ingat?"

Ketika Tong Thian hong mendengar pemuda berbaju putih itu tidak mendesak lagi soal tidak terbunuhnya mereka berdua, hatinya menjadi agak lega, jawabnya segera.

"Semua penyerang menggunakan kain kerudung hitam, hanya sepasang mata mereka yang kelihatan, senjata yang dipakai adalah pedang. Ketika rombongan kami baru tiba di situ, mendadak mereka melompat keluar dari tempat persembunyian dia langsung menyerang kami, sejak awal sampai akhir mereka tak berkata apa-apa sehingga hamba sendiri tidak tahu siapakah mereka.

"Diantara kalian apakah ada yang berhasil melarikan diri?"

"Waktu itu hamba kena dihajar roboh dari atas kereta lalu terasa seperti kena sebuah tusukan pedang lagi, kemudian apa yang terjadi tidak hamba pahami, cuma..."

"Cuma kenapa?"

"Cuma jumlah rombongan kami kan terbatas, asal mayat yang ditemukan dijumlah semua, bila ada yang kurang itu berarti ada yang berhasil meloloskan diri." "Berapa orang jumlah rombongan kalian?"

Tong Thian hong segera menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Jika hamba tidak bisa mengetahui kedudukanmu lebih dulu, sekalipun kau bunuh aku juga tak akan banyak bicara."

Pemuda berbaju putih itu mengawasi wajah Tong Thian hong dekat-dekat, kemudian bertanya. 

"Kim Cok itu apa kalian?" "Toucu!"

"Ia yang bertemu dengan akupun akan tundukkan kepala dan munduk-munduk...!" Mendengar itu, Tong Thian hong terus berpikir. "Tampaknya kedudukan orang ini tinggi sekali, entah siapa namanya? Aku tak boleh berlagak pintar, dari pada ketahuan rahasianya."

Berpikir sampai di situ, pelan-pelan dia terus berkata: "Kedudukanmu sudah pasti amat tinggi, tapi hamba rendah kedudukannya, entah sebutan apa yang harus hamba gunakan?"

Di atas wajah sang pemuda yang dingin segera terlintas sekulum senyuman, sahutnya: "Hoat-lun-tong tongcu, pernah mendengarnya dari Kim Cok?"

Tong Thian hong pura-pura merasa terperanjat, segera serunya: "Oh... rupanya adalah seorang tongcu, hari ini hamba benar-benar terbuka matanya."

Dengan lagaknya itu, pemuda berbaju putih itu malah menjadi percaya penuh dengan kedudukannya, tidak menegur lagi, sambil tertawa tanyanya.

"Berapa orang rombongan kalian?"

"Dengan dipimpin sendiri oleh Kim dan Ong dua orang Tuocu, ada dua belas orang jago yang mengiringi, ditambah kami empat orang kusir kereta, jumlahnya menjadi dua belas orang."

Pemuda berbaju putih itu segera berpaling sekejap ke arah bocah berbaju hijau seraya berkata: "Coba kau periksa, ada berapa mayat ditemukan?" Bocah berbaju hijau itu mengiakan dan segera melaksanakan perintah tersebut.

Tak lama kemudian dia datang melapor: "Lima belas sosok mayat ditambah mereka berdua yang masih hidup, jumlahnya tujuh belas orang, ada seorang meloloskan diri."

"Siapakah yang melarikan diri?"

"Tidak nampak mayat Ong Thi san Ong toucu!" Tong Thian hong yang mendengar tanya jawab itu, segera berpikir kembali.

"Mereka kenal dengan Ong Thi-san berarti kenal juga dengan setiap orang yang berada dalam perkampungan Kim Cok, aku musti berhati-hati dalam menjawab semua pertanyaan selanjutnya."

Dalam pada itu, pemuda berbaju putih tersebut sudah memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian tanyanya lagi.

"Tinggalkan lambangku di sana, suruh mereka mengubur baik-baik semua jenasah tersebut, kemudian baru melacaki jejak dari Ong Thi san"

"Bagaimana dengan kedua orang ini?" tanya bocah berbaju hijau itu kemudian. Oran berbaju putih itu termenung sebentar kemudian jawabnya. 

"Aku masih harus menanyakan beberapa persoalan lagi, coba kau periksa apakah ke empat buah kereta itu masih ada yang beroda dan bisa dipakai lagi, masukkan dia ke dalam kereta dan kita angkut pergi dari sini."

Sekali lagi bocah berbaju hijau itu mengiakan dan pergi untuk membuat persiapan. Selang sejenak kemudian, bocah itu sudah muncul kembali sambil memberi laporan: "Ada sebuah kereta yang masih dapat dipergunakan!"

"Bagus! Masukkan mereka ke dalam kereta tersebut..." Tiba-tiba ia merendahkan suaranya dan berbisik.

Andaikata Tong Thian hong dan Buyung Im ceng mau mengerahkan tenaga dalamnya untuk menyadap pembicaraan tersebut, kendatipun bisikan orang berbaju putih itu amat lirih, dengan kemampuan dia yang sanggup menangkap suara jatuhnya daun dari beberapa puluh kaki itu tak sulit untuk menyadap pembicaraan tadi.

Akan tetapi mereka berdua tak berani berbuat demikian, sebab terhadap orang berbaju putih itu mereka menaruh kewaspadaan yang besar, mereka tak berani menyadap pembicaraan tersebut dengan mengerahkan tenaga dalam, sebab kuatir ketahuan rahasianya.

Usia bocah berbaju hijau itu belum terlalu besar, tapi tenaga yang dimilikinya sangat mengagumkan, dengan satu tangan mengempit sesosok badan, ia berjalan menuju ke arah kereta dan memasukkan kedua orang itu ke dalam ruang kereta.

Sesudah itu katanya: "Harap kalian berdua baik-baik menjaga diri, kalau ada permintaan yang mendesak harap memberitahukan kepadaku!"

Seusai berkata dia lantas menurunkan tirai di atas kereta.

Tong Thian hong dan Buyung Im seng saling berpandangan sekejap, kemudian tersenyum bersama.

Dengan ilmu menyampaikan suara, Buyung Im seng lantas berbisik.

"Saudara Tong, tampaknya mereka akan membawa kita menuju ke ruang Sengthong."

"Orang berbaju putih itu tidak gampang dihadapi" sahut Tong Thian hong dengan ilmu menyampaikan suara juga. "Sedangkan bocah berbaju hijau itupun seorang manusia licik yang susah dilayani, kita musti bersikap lebih berhati-hati, jangan terlalu gegabah, memanfaatkan kesempatan ini kita musti pelihara tenaga sebaikbaiknya, tak usah perdulikan lagi mau dibawa kemanakah kita ini."

"Ehm.. betul juga perkataan saudara Tong!" sahut Buyung Im-seng kemudian. Ia lantas memejamkan mata dan mengatur napas untuk mengumpulkan kembali tenaganya.

Betul juga, bocah berbaju hijau itu kerap kali mengintip lewat celah-celah tirai untuk memperhatikan gerak-gerik mereka berdua, tapi setelah menyaksikan tidur mereka yang begitu nyenyak dan tidak mirip seseorang yang berilmu silat, kewaspadaan mereka tampaknya agak mengendor. 

Entah berapa saat sudah lewat, ketika kereta itu berhenti berjalan, waktu senja telah menjelang tiba.

Bocah berbaju hijau itu tidak memperkenankan kedua orang itu turun dari keretanya, semua makanan dan minuman dihantarkan masuk sampai ke dalam kereta. Tak lama kemudian perjalanan kembali dilanjutkan, rupanya mereka bermaksud untuk melanjutkan perjalanan malam.

Kali ini Buyung Im-seng merasa bahwa kereta itu berjalan lebih cepat lagi, tak tahan dia lantas mengintip lewat balik tirai, ternyata kuda penghela kereta itu telah ditukar dengan tiga ekor kuda jempolan. Melihat kesemuanya itu dia lantas berpikir dihati. 

"Tak lama setelah berhenti, secara gampang mereka dapat menukar kuda, daya pengaruh dari Sam-seng bun ini betul-betul sudah meluas sampai di seantero jagat..."

Demikianlah, perjalanan kereta dilanjutkan siang malam, bukan kecepatannya semakin tinggi, baik Buyung maupun Tong Thian hong sama-sama tak tahu ke arah manakah mereka dibawa dan sudah berapa lama perjalanan dilakukan.

Suatu ketika hanya menangkap suara deburan ombak yang amat keras dari tepi sungai besar. Terdengar bocah berbaju hijau itu sedang berkata dengan dingin. "Luka yang kalian berdua derita tidak terlampau parah, setelah beristirahat sekian lama tentunya bisa melakukan perjalanan sendiri bukan...?"

00OO00

BAGIAN KE EMPAT

"Saudara ada urusan apa? Silahkan disampaikan!" Tong Thian hong segera berkata.

"Sekarang kalian boleh keluar!"

Tong Thian hong mengiakan dan menyingkap tirai melompat keluar dari ruangan kereta.

Dengan pandangan dingin, bocah berbaju hijau itu menatap Tong Thian hong sekejap, kemudian tegurnya lagi. "Mengapa dengan yang satunya?"

"Luka yang dideritanya jauh lebih parah dari pada luka yang ku derita, gerakgeriknya otomatis jauh lebih lamban." Buyung Im-seng yang masih berada dalam kereta dapat menangkap pembicaraan itu dengan amat jelasnya, pelan-pelan dia lantas merangkak turun dari kereta.

Ketika mendongakkan kepalanya, maka tampaklah sebuah perahu layar telah berlabuh di tepi sungai. Dengan suara dingin bocah berbaju hijau itu kembali berseru. "Sekarang berdiri dulu kalian di tepi kereta!"

Kemudian dengan langkah cepat dia berjalan menghampiri perahu layar tersebut. Selang sejenak kemudian, bocah berbaju hijau itu muncul kembali dengan membawa empat orang lelaki berbaju hitam, katanya "Dua orang itu orangnya!" 

Ke empat orang lelaki itu memperhatikan Buyung Im-seng dan Tong Thian hong sekejap kemudian orang yang pertama itu mengeluarkan dua buah handuk panjang berwarna hitam dan menutupi mata mereka berdua.

Setelah itu mereka dibopong naik ke atas perahu. Buyung Im seng kembali berpikir.

"Hingga saat ini mereka belum menaruh curiga terhadap kedudukan dan asal usul kami, tapi sikap mereka masih begitu teliti dan berhati-hati... aiii! Kelihatannya bukan suatu pekerjaan yang terlalu gampang untuk menyelidiki rahasia mereka." Ia merasa tubuhnya dibopong orang naik ke atas perahu dan diturunkan dalam ruangan, kemudian perahu itu menaikkan jangkar dan segera berlayar ke tengah sungai.

Buyung Im-seng maupun Tong Thian hong sama-sama tidak mengetahui apakah di sekitarnya ada orang yang sedang mengawasi mereka atau tidak, untuk menghindari segala hal yang tidak diinginkan, mereka tak berani membuka kain hitam yang menutupi matanya dan terpaksa cuma duduk tak berkutik saja di situ.

Kurang lebih satu jam kemudian, Buyung Im-seng dan Tong Thian hong kembali merasakan tubuhnya dibopong orang menuruni perahu itu.

Sampai detik itu, kain hitam yang menutupi mata mereka berdua belum dilepas, dengan sendirinya mereka pun tak dapat melihat pemandangan disekitar situ, tapi dalam perasaan mereka berdua, dapat dirasakan kalau tubuh mereka sedang dibawa menelusuri sebuah jalan setapak yang tinggi rendahnya tak menentu.

Lebih kurang sepertanak nasi kemudian, terasa mereka seakan-akan sedang memasuki sebuah bangunan rumah.

Menyusul kemudian badan mereka diturunkan di atas pembaringan. Terdengar seseorang berseru dengan suara dalam.

"Sekarang kamu berdua boleh beristirahat dulu sementara."

Seraya berkata, ia turun tangan melepaskan kain kerudung yang menutupi mata mereka.

Ternyata tempat itu adalah sebuah ruang rahasia yang sangat kokoh, selain sebuah jendela kecil dan sebuah pintu, tiada jalan lain yang bisa tembus keluar.

Setelah melepaskan kain kerudung hitam dari wajah Buyung Im-seng serta Tong Thian hong, kedua orang lelaki itupun tidak banyak bicara lagi, mereka segera membalikkan tubuh dan keluar dari ruangan itu sekalian merapatkan kembali pintu ruangan.

Waktu itu fajar belum menyingsing, tapi dalam ruangan tiada cahaya lentera sehingga suasana amat gelap.

Dengan suara rendah, Tong Thian-hong segera berbisik. "Mungkin lantaran kedudukan kita terlalu rendah, maka orang-orang itu merasa enggan untuk bercakap-cakap dengan kita."

"Hal ini menunjukkan kalau permainan sandiwara kita telah berhasil dengan sukses..." sahut Buyung Im seng, ia lantas bangkit dan melongok lewat jendela. 

Aneka bunga tumbuh di seputar ruangan tersebut, ternyata ruang rahasia itu dibangun dalam sebuah kebun bunga.

Pelan-pelan Tong Thian hong juga turun dari pembaringan dan berjalan menuju ke tepi pintu, setelah diamatinya sebentar dan tidak terdengar suara apa-apa, pelanpelan dia membuka pintu dan melongok sekejap keluar, tapi kemudian dengan cepat menutup pintu lagi dan membalik ke atas pembaringan.

"Saudara Buyung!" serunya lirih.

Buyung Im seng berjalan balik ke pembaringan dan duduk, lalu tanyanya keheranan.

"Ada apa?"

"Mari kira berbaring sambil berbincang-bincang!"

Dua orang itu segera membaringkan diri dan menarik selimut untuk menutupi badan.

"Menurut saudara Buyung, kita berada dimana sekarang?" tanya Tong Thian hong kemudian.

"Ditengah sebuah kebun bunga, lamat-lamat ada sebuah bayangan bukit dikejauhan sana, tapi jelas bukan bukit Toa-ho-san ditengah sungai...!"

"Sampai detik ini aku baru betul-betul merasa kagum atas kehebatan Sam-seng bun, mereka memang sangat luar biasa."

"Apa maksud perkataanmu itu?"

"Sam-seng bun telah menyembunyikan sebagian besar kekuatannya diantara kehidupan masyarakat, petani, nelayan dan perkampungan bahkan tempat-tempat semacam itupun kemungkinan besar adalah markas besar mereka... aaii. Jika ditinjau dari kesemuanya ini, aku jadi beranggapan bahwa letak Sang Chung sesungguhnya bukan sesuatu yang penting."

"Ucapan saudara Tong ada benarnya juga, cuma Sam-seng-tong adalah letak kepercayaan mereka semua, aku rasa ditempat itu pasti memiliki sesuatu kemampuan yang bisa menaklukan hati orang."

"Sekalipun perkataanmu betul, tapi kalau dilihat keadaannya jelas kita tak akan dikirim menuju ke Seng tong mereka, rupanya Sam seng bun tersebut bukan saja merupakan suatu organisasi yang sangat rahasia, tindak tanduk merekapun sangat hati-hati dan teliti, sekalipun terhadap orang sendiri, penjagaan juga dilakukan secara berlebihan. Aku rasa hal pertama yang harus kita lakukan adalah mencari tahu lebih dahulu dimanakah kita berada sekarang."

"Aku berpikir orang berbaju putih yang kita jumpai tadi adalah seorang Tongcu, dia mengirim kita kemari, itu berarti tempat ini sudah pasti bukan suatu tempat sembarangan."

"Makanya kita harus selidiki dulu."

"Tapi bagaimana caranya untuk melakukan penyelidikan itu?" 

"Dalam sekilas pandangan tadi, kusaksikan kebun bunga itu diatur secara rapi teratur sekali, ini membuktikan bahwa tuan rumah tidak saja bukan jago silat kasaran, ia juga seorang manusia yang cerdas dan pandai mempergunakan otaknya, sepintas lalu tempat ini seakan-akan tanpa penjaga, ada suatu yang diandalkan untuk menjaga keamanan di sini, sebentar kita boleh keluar untuk melihat-lihat kalau bisa ingat baik-baik letak kebun ini serta bisa menemukan bagian-bagian yang mencurigakan, sehingga bila melakukan operasi malam nanti, kita sudah mempunyai rencana yang baik."

"Sikap orang-orang itu terhadap kita berdua amat menghina dan memandang rendah, aku kuatir kita dilarang meninggalkan ruangan ini dan melihat lihat ke kebun."

"Kalau sampai demikian, terpaksa kita harus menghadapinya menurut keadaan!" "Sstt... ada orang datang!" tiba-tiba Buyung Im seng berbisik.

Tong Thian hong juga segera merasakan hal itu, buru-buru ia menutup mulut dan tidak berbicara lagi.

Terdengar suara langkah manusia berkumandang datang, menyusul kemudian pintu ruangan dibuka orang.

Seorang lelaki berbaju hijau memelihara jenggot kambing dan berdandan seorang congkoan, pelan-pelan masuk ke dalam, setelah memperhatikan mereka sekejap, katanya.

"Bagaimana dengan keadaan luka yang kalian derita?"

Suaranya lembut dan nadanya ramah, bahkan tiada hentinya manggut-manggut sambil tersenyum. Tong Thian hong tahu manusia yang termasuk dalam tipe manusia "siau-li-cong-to" (menyembunyikan golok dibalik senyuman) adalah manusia yang berbahaya sekali, mereka bisa membunuh orang sementara senyuman ramah masih menghiasi di ujung bibir.

Maka sahutnya dengan cepat.

"Luka yang hamba derita itu sudah sembuh." Orang berbaju hijau itu lantas berpaling ke arah Buyung Im seng kemudian tanya lagi.

"Bagaimana dengan keadaan lukamu?"

"Luka yang hamba derita agak parah, sampai sekarang belum sembuh sama sekali."

"Baik! Kalau begitu, tinggallah di sini untuk beristirahat dengan tenang...!"

Sorot matanya segera dialihkan ke wajah Tong Thian hong, kemudian katanya lagi. "Kau bisa turun untuk berjalan sendiri?"

"Kalau dipaksakan mah bisa!" "Kalau begitu, ikutlah aku!"

Tidak menanti jawaban dari Tong Thian hong lagi, dia lantas membalikkan badan dan berjalan keluar. 

Pelan-pelan Tong Thian-hong turun dari pembaringannya lalu mengikuti di belakang orang berbaju hijau itu menuju ke luar.

Dengan begitu dalam ruangan tersebut tinggal Buyung Im-seng sorang diri.

Lebih kurang setengah jam kemudian Tong Thian hong baru nampak pelan-pelan berjalan kembali, pintu lantas ditutup dan ia langsung naik ke atas pembaringan. "Saudara Tong, ada apa? Kenapa begitu lama?" Tegur Buyung Im seng kemudian. Dengan wajah serius Tong Thian hong segera menjawab.

"Bila dugaanku tidak salah, agaknya orang itu sudah menaruh curiga kepada kita, aaii Sam-ceng-bun betul-betul tak boleh dianggap enteng."

"Apa sih yang sebenarnya telah terjadi?"

Mereka telah memanggilku menghadap, di situ hampir setengah jam lamanya aku diperiksa dan ditanyai dengan pelbagai macam pertanyaan."

"Siapa yang memeriksa dirimu itu?" "Entahlah, aku juga tidak tahu."

"Apakah kau tak melihat si pemeriksa itu?"

"Tidak, tempat itu merupakan ruangan yang sangat besar dan lebar, ditengah ruangan terdapat sebuah kursi, orang berbaju hijau itu suruh aku duduk di atas kursi itu kemudian berlalu. Setelah itu dari belakang tirai gelap berkumandang suara pertanyaan, ia minta agar aku menjawab semua pertanyaannya, sayang tirai tersebut sangat tebal dan gelap sehingga susah untuk mengetahui orangnya." "Apa saja yang dia tanyakan?"

"Banyak sekali termasuk juga kisah sewaktu kita diserang dan juga keadaan didalam perkampungan Kim Cok-ceng wan!"

"Padahal banyak yang tidak kita ketahui, bagaimana caramu untuk menjawabnya?" "Tidak tahupun harus menjawab juga, ada sementara persoalan terpaksa harus kujawab secara samar-samar."

"Benarkah jawabanmu itu?"

"Entahlah orang itu cuma bertanya dan sama sekali tidak membantah sepatah katapun, jadi apakah jawabanku itu betul atau salah bahkan aku sendiripun tidak tahu."

"Kalau begitu kita musti bersikap lebih berhati-hati lagi."

"Betul mulai sekarang kita harus bersikap lebih berhati-hati lagi, malam ini kita keluar lebih dulu untuk melihat jalan keluar di depan sana, kita harus mempersiapkan dulu jalan mundurnya sehingga setiap saat bisa kabur dari sini." Buyung Im-seng manggut-manggut.

"Ucapan nona Nyo ada betulnya juga, kita memang tak boleh terlalu menyerempet bahaya." 

"Ssstt... ada orang datang lagi!" bisik Tong Thian ong tiba-tiba. Buyung Im seng cepat menutup mulut. Pintu didorong orang dan seorang dayang muda masuk sambil membawa rantang berisi makanan.

Mereka berdua tidak menyangka kalau orang yang mengirim nasi adalah seorang perempuan, untuk sesaat mereka menjadi tertegun dibuatnya. Pelan-pelan dayang itu meletakkan keranjang makanan ke meja kemudian katanya.

"Makanlah lebih dulu!" Kemudian ia membalikkan badan dan keluar dari sana. "Nona harap tunggu sebentar!" tiba-tiba Tong Thian hong berseru sambil melompat bangun.

Dayang itu berhenti sambil berpaling, tegurnya. "Ada apa?"

"Aku ingin menanyakan sesuatu kepada nona."

"Bukankah aku sudah berdiri di sini?" seru dayang itu dingin. "Kalau ada urusan cepat utarakan."

Tong Thian hong mendehem pelan, lalu katanya: "Nona mau mengirim nasi untuk kami, sesungguhnya hal ini membuat kami berdua merasa amat berterima kasih." Setelah mendengar perkataan ini, bukan saja dayang tersebut merasa sangat keheranan, sekalipun Buyung Im-seng juga merasa tidak habis mengerti pikirnya. "Bukankah sikapnya itu jelas tampak kalau tiada perkataan sengaja mencari perkataan?"

Betul juga, sambil tertawa dingin dayang itu segera menjawab. "Tak usah berterima-kasih, aku hanya mendapat perintah untuk mengantar makanan buat kalian."

"Apakah nona dapat perintah dari hujin?"

"Eeeh... apakah kau kenal dengan nyonya kami?" Sesungguhnya Buyung Im-seng sendiripun tak tahu permainan busuk apakah yang sedang dijalankan oleh Tong Thian-hong, terpaksa dia hanya berpeluk tangan saja.

Kedengaran Tong Thian hong berkata lagi. "Hamba mohon kepada nona agar juga menyampaikan kepada hujin, katakan bila secara tiba-tiba hamba telah teringat akan suatu persoalan yang sangat penting, tapi persoalan itu harus disampaikan sendiri di hadapan nyonya."

Dayang itu tampak termenung sejenak, lalu sahutnya. "Sayang hujin tak ada dirumah!"

"Cuma boleh saja kusampaikan pesanmu itu kepada nona kami."

"Baiklah bila nona bersedia menyampaikan pesan ini, seandainya cayhe membuat pahala nanti, nona pasti akan mendapat satu bagian."

Dayang itu kembali termenung beberapa saat, kemudian tanpa bicara lagi segera berlalu dari sana. Menanti si dayang sudah pergi jauh, Buyung Im seng baru berbisik, dengan suara lirih. "Saudara Tong sesungguhnya apa maksud dan tujuan dengan tindakan itu?" 

Tong Thian hong segera tersenyum.

"Sewaktu siaute mendapat pemeriksaan didalam ruangan tadi, secara lamat-lamat kurasakan suara si pemeriksa adalah suara seorang perempuan, akan tetapi berhubung nada suaranya waktu itu sangat rendah, siaute pun cuma mendengar sepatah maka aku tak berani terlalu memastikan, maka ketika kulihat dayang itu mengirim nasi buat kita, satu ingatan lantas melintas dalam benakku, maka sengaja ku pancing dirinya dengan kata-kata, ternyata dugaanku tidak meleset, di sini memang terdapat seorang perempuan yang memegang kekuasaan besar." "Oooh... Kiranya begitu!" sekarang Buyung Im-seng baru dibuat mengerti akan tujuan rekannya.

"Dewasa ini kebebasan kita telah dikendalikan orang, maka kita harus berusaha untuk membuka suatu suasana yang baru."

"Tapi bagaimana caranya?" Tong Thian hong segera menempelkan bibirnya di sisi telinga Buyung Im seng dan membisikkan sesuatu. Buyung Im seng tersenyum sesudah mendengar bisikan itu.

"Baiklah!" dia berseru. Tak lama kemudian, dayang itu benar-benar telah muncul kembali di situ seraya berkata.

"Nona kami mempersilahkan kalian berdua untuk menghadap."

Tong Thian hong segera bangkit berdiri, katanya: "Hamba sih masih bisa berjalan sendiri, tapi luka yang diderita saudara ini amat parah, harap nona bersedia untuk memayangnya."

Dayang itu segera mengalihkan sinar matanya ke tubuh Buyung Im seng, sesudah memperhatikannya beberapa kejap, dia menegur.

"Apakah kau tak bisa berjalan sendiri?"

"Untuk berjalan hamba merasa kurang leluasa!" sahut Buyung Im seng dengan cepat. Mendengar itu si dayang segera mengerutkan dahinya.

"Baiklah!" ia berkata kemudian. Ternyata wajah Buyung Im seng penuh berminyak campur debu, bajunya juga kotor oleh noda darah, dayang itu kuatir mengotori tangannya yang halus.

Buyung Im seng segera bangkit berdiri, tanpa sungkan-sungkan tangannya yang sebelah menekan di atas dayang tersebut, meski tak mengerahkan tenaga dalam, tapi hampir semua bobot badannya disandarkan ke atas badan dayang tersebut. Dayang itu memalingkan wajahnya yang halus untuk menengok Buyung Im seng sekejap, kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun berjalan menuju ke depan. Tong Thian hong segera mengikuti di belakang Buyung Im seng dengan ketat.

Tampaknya dayang itu merasakan amat jemu terhadap Buyung Im seng, selembar wajahnya ditengokkan jauh ke muka, seakan-akan kuatir kalau pipinya yang putih dan bersih itu sampai tersentuh badan Buyung Im seng yang kotor.

Dengan demikian justru telah memberi suatu kesempatan yang baik buat Buyung Im seng untuk memperhatikan di sekeliling tempat itu. 

Ternyata tempat itu adalah sebuah kebun bunga yang luas, di tengah kebun terdapat gunung-gunung dengan aneka bunga tumbuh di sekelilingnya, suasana sangat indah dan megah.

Dayang itu membawa mereka menelusuri jalan setapak menuju ke depan ruang tengah yang dibangun sangat megah, kemudian sambil menarik bahunya dan mengibaskan lengan Buyung Im seng yang bersandar di atas bahunya itu ia berkata dingin.

"Sudah sampai! Kalian tunggu sebentar di sini."

Dengan langkah pelan dia lantas masuk lebih dulu ke dalam ruangan megah itu. "Bersabar sedikit!" Tong Thian hong segera berbisik.

Buyung Im seng manggut-manggut sebagai tanda jawaban.

Tak lama kemudian dayang itu telah muncul kembali sambil berkata dengan dingin.

"Kalian boleh masuk!"

Tong Thian hong segera mengulur tangannya untuk memayang Buyung Im seng dan pelan-pelan berjalan masuk ke dalam ruangan.

Ruangan tersebut sangat luas dengan dekorasi serta perabot yang mewah dan indah, tirainya berwarna merah darah, empat buah pot bunga terletak ditengah ruangan, dua pot ditanami bunga berwarna merah dan dua yang lain berwarna putih, membuat suasana dalam ruangan tersebut tampak lebih nyaman.

Cukup dilihat dari dekorasi dalam ruang tersebut, bisa diketahui kalau rumahnya seseorang yang tahu akan seni.

Sambil menunjuk dua buah bangku yang diletakkan berjajar ditengah ruangan, dayang itu berseru.

"Kalian boleh duduk disitu!"

Tong Thian hong dan Buyung Im seng berdua segera mengiakan dan duduk dikursi yang ditunjuk.

Pelan-pelan dayang itu baru membalikkan badannya seraya berkata. "Lapor nona, kedua orang itu sudah tiba."

Tirai bergoyang-goyang, seorang gadis cantik berbaju hijau segera munculkan diri ke dalam ruangan.

TOng Thian hong dan Buyung Im seng segera mendongakkan kepalanya dan memandang wajah gadis itu sekejap, kemudian cepat-cepat kepalanya ditundukkan kembali.

"Kalian adalah anak buah Kim Cok?" suara teguran yang merdu segera berkumandang.

"Benar!" jawab Tong Thian hong sambil memberi hormat, "cuma sayang kedudukanku sangat rendah!"

Nona berbaju hijau itu manggut-manggut. 

"Siapa yang sedang kalian kawal pada waktu itu?" tanyanya kembali.

"Buyung kongcu serta seorang pelayannya dan dua orang Hoa-li dari perguruan Biau hoa-bun"

"Soal itu semua sudah ku ketahui, bukankah kau mengatakan masih ada urusan penting yang akan disampaikan kepadaku? Entah persoalan apakah itu?" "Tentang Buyung kongcu..."

"Kena apa dengan Buyung kongcu? Apakah sudah kau temui?" seru nona berbaju hijau itu gelisah.

"Sebenarnya Kim cengcu bisa menggusur Buyung kongcu kemari, siapa tahu ia ditengah jalan ditolong orang."

"Hmm! Aku tidak percaya dengan kepandaian silat yang dimiliki oleh Kim Cok serta Ong Thi san, mereka berhasil menangkap Buyung kongcu!" "Bagaimanakah macam bentuk wajahnya?"

Tong Thian hong berpaling dan memandang sekejap ke arah Buyung Im seng, kemudian menjawab.

"Wajahnya tampan sekali, ia duduk di atas keretanya, maka ia lebih jelas daripada hamba, bila nona ingin mengetahui yang lebih jelas lagi, silahkan bertanya sendiri kepadanya."

Betul juga, nona itu segera mengalihkan sinar matanya ke wajah Buyung Im seng. "Siapa namamu?" tegurnya kemudian.

"Hamba bernama Kim Hok!"

"Benarkah Buyung kongcu naik keretamu?"

Terpaksa Buyung Im seng harus menganggukkan kepalanya. "Benar!"

"Coba kau bayangkan bagaimanakah wajahnya!" Buyung Im seng merasa serba salah, tapi dalam keadaan begini terpaksa ia harus keraskan kepala sambil menjawab.

"Dia masih sangat muda, lebih kurang baru berusia dua puluhan tahunan..." "Konon ilmu silatnya sangat lihai, bagaimana cara majikan kalian menawannya?" "Hamba kurang jelas, mungkin mencampuri arak dan sayurnya dengan obat pemabuk!"

"Aku sudah tahu kalau Kim Cok dan Ong Thi san sudah pasti tak akan mampu menangkap Buyung kongcu bila harus mengandalkan ilmu silat yang mereka miliki." Sesudah berhenti sebentar terusnya. "Ketika kalian diserang orang ditengah jalan, apakah Buyung kongcu menderita luka?"

"Orang-orang itu memotong borgol dan melepaskan Buyung kongcu, kejadian selanjutnya kurang begitu jelas, sebab waktu itu hamba sudah kena dihajar sampai pingsan." 

Nona berbaju hijau itu manggut-manggut, sinar matanya dialihkan kembali ke wajah Tong Thian hong.

"Hanya soal-soal itukah yang hendak kau laporkan?" tegurnya.

"Selain itu juga akan hamba terangkan kemana Buyung kongcu telah pergi!" "Ia pergi kemana?"

"Waktu itu luka yang hamba derita kebetulan agak ringan, pendengaran hamba belum hilang sama sekali, dalam pembicaraan yang kemudian berlangsung, hamba dengar orang-orang itu hendak membawa Buyung kongcu menuju ke suatu tempat yang dinamakan Jit seng po (benteng tujuh bintang)..."

"Jit seng po? Dimana itu letaknya?" tanya si nona dengan kening berkerut. "Soal itu mah hamba kurang begitu jelas."

"Masih ada yang lain?"

Tong Thian hong segera menggeleng.

"Sudah tidak ada lagi, barusan hamba merasa hal ini sangat penting maka hamba berusaha untuk menghadap."

"Hmmm! Memang sangat penting, untuk sementara waktu jangan kau katakan soal itu kepada siapapun!"

"Akan hamba ingat selalu!"

"Kau perintahkan ke dapur untuk menyiapkan arak dan sayur yang baik agar mereka bersantap sekenyangnya, kemudian beri obat sian-hoat-wan untuk menyembuhkan luka mereka!"

Selesai berkata, dia terus membalikkan badan berjalan masuk ke balik tirai. Dayang itu segera memandang sekejap ke arah mereka berdua, katanya dingin. "Sekarang kalian boleh kembali ke ruangan!"

Tong Thian Hong segera bangkit berdiri sambil membimbing Buyung Im seng, katanya. "Saudara Kim, mari ku bimbing dirimu!"

Buyung Im seng segera bangkit berdiri, dengan dibimbing oleh Tong Thian hong mereka berlalu dari sana.

Sekembalinya ke dalam ruangan, Buyung Im seng bertanya dengan suara lirih. "Saudara Tong, dimana sih letaknya Jit-seng-po itu?"

"Sebenarnya apa yang telah terjadi? Semakin mendengar siaute merasa semakin tidak habis mengerti."

"Sengaja kuajukan sebuah persoalan sulit untuk mereka, ingin kulihat dengan cara apakah mereka akan mengatasi masalah itu."

"Maksudmu?"

"Siaute pernah mendengar ayahku membicarakan soal Jit-seng-po tersebut, konon di atas loteng itu tinggal seorang manusia aneh yang lurus tidak sesatpun tidak, ia bergelar Jit-seng-jiu (tangan sakti tujuh bintang) orangnya aneh dan suka hidup menyendiri, selama ini tak berhubungan dengan dunia persilatan, cuma sayang 

ketika ayahku membicarakan soal ini dengan beberapa orang temannya, siaute cuma tahu kepalanya tak tahu buntutnya. Tapi justru karena itu, siaute baru bisa berbicara dengan kata yang serius dan bersungguh-sungguh."

Buyung Im seng segera tersenyum setelah mendengar perkataan itu.

"Ide mu sih bagus, Ehmmm sayang kau telah mencelakai Jit-seng-jiu tersebut." "Bila seseorang hidup menyendiri dengan watak yang aneh serta tak pernah berhubungan dengan orang lain, dibalik kesemuanya itu tentu ada hal-hal yang mencurigakan, kalau dibilang orang itu adalah seorang manusia baik-baik aku rasa hal ini belum tentu."

"Paling tidak dia toh suka hidup menyendiri daripada bersekongkol dengan pihak Sam-seng-bun."

"Dalam sarang yang porak poranda tiada telur yang utuh, bila Jit-seng-jiu masih ingin hidup tenang dalam suasana dunia persilatan yang serba kalut ini, sudah sepantasnya kalau kita suruh dia mencicipi bagaimana rasanya bila dikunjungi tamu tak diundang."

Tiba-tiba Buyung Im seng merasa persoalan ini tidak baik dibicarakan lebih jauh, dia lantas mengalihkan pembicaraan kesoal lain, katanya.

"Saudara Tong, menurut pendapatmu apakah kedudukan nona berbaju hijau itu di sini?"

"Kalau dilihat dari keadaan tadi, tampaknya dia adalah adik dari tuan rumah." "Yaa, akupun berpendapat begitu."

"Aku lihat nona itu seperti menaruh perhatian khusus terhadap saudara Buyung." Buyung Im seng segera tertawa, katanya. "Mungkin pihak Sam seng bun telah mengumumkan hadiah besar bila bisa menangkap diriku, maka setiap orang ingin agar bisa membekuk hidup-hidup diriku."

"Orang takut menjadi ternama, Sam seng bun memang terlalu memandang serius diri Buyung heng, tapi otak dari kesemuanya ini tidak menyangka kalau perbuatannya itu justru telah menciptakan saudara Buyung menjadi lambang dari seorang ksatria, semua orang berusaha untuk menangkap dirimu dengan harapan bisa menaikkan derajat dan martabat mereka dimata masyarakat."

Kemudian sambil merendahkan suaranya, dia melanjutkan: "Seperti misalnya dengan nona itu, mungkin dihati kecilnya juga muncul keinginan untuk bisa menangkap dirimu, tapi dia lebih berharap bisa bersua muka denganmu, walau begitu dia tentu tak akan menyangka kalau Buyung kongcu yang sangat diharapkan itu justru telah berdiri di hadapan mukanya."

"Bagaimana jalan pemikiran orang, kita tidak bisa mencampurinya, yang paling penting sekarang adalah bagaimana caranya kita mengadakan kontak dengan nona Nyo, kemudian bagaimana pula caranya kita menyelusup masuk ke dalam Sengtong?" 

"Sekarang kita sudah berada dalam lingkungan musuh, sesungguhnya tiada peraturan khusus yang mengatur gerak-gerik kita, aku rasa lebih baik kita turun tangan lebih dulu dari tubuh si nona berbaju hijau itu."

"Tapi, bagaimana caranya turun tangan?"

"Aku sendiripun belum mendapatkan sesuatu akal yang bagus, dewasa ini terpaksa kita harus menghadapi keadaan menurut situasi saat itu."

Baru Buyung Im seng ingin bicara lagi, tiba-tiba di luar ruangan terdengar ada  suara langkah kaki manusia sedang berjalan mendekat, dengan cepat mereka tutup mulut.

Pintu segera dibuka orang dan dayang itu pun masuk ke dalam ruangan.

"Apakah nona ada sesuatu petunjuk?" Tong Thian hong segera melompat bangun sambil menegur.

Si nona yang selama ini bersikap dingin, tiba-tiba mengulum sekulum senyuman, sahutnya:

"Nona kami suruh aku menghadiahkan dua butir pil untuk kalian berdua, pil ini berharga sekali, dan paling mujarab untuk menyembuhkan segala macam penyakit."

Dari sakunya dia mengeluarkan dua butir pil dan segera diangsurkan ke depan. Sambil menyambut kedua butir pil itu, Tong Thian hong menyahut, "Terima kasih nona!"

"Setelah minum obat dan beristirahat barang dua jam, akan kukirim sayur dan arak untuk kalian berpesta pora, saat itu kesehatan kalian tentu akan pulih kembali seperti semula."

"Budi kebaikan nona tak akan kami lupakan untuk selamanya."

"Mungkin nona kami masih ada urusan lain hendak disampaikan kepada kalian berdua, sampai waktunya aku akan datang mengabarkan lagi kepada kalian." Seusai bicara, dia lantas membalikkan badan dan berlalu dari ruangan itu.

Tong Thian hong segera berpaling dan memandang sekejap ke arah Buyung Im seng, kemudian bisiknya. "Kelihatannya urusan telah mengalami perkembangan lain!"

"Ia menghadiahkan obat kepada kita dengan tujuan untuk cepat-cepat menyembuhkan luka yang kita derita, dengan kedudukan kita dalam Sam seng bun sekarang, seharusnya tak perlu mendapatkan perhatian khusus darinya, apakah kejadian ini tidak mencurigakan?"

Mendengar perkataan itu, tiba-tiba Buyung Im seng melompat ke depan secepat kilat, tangan kanannya segera menyambar ke muka melancarkan sebuah cengkeraman.

Terdengar keluhan tertahan, tahu-tahu dayang tadi sudah diseret masuk kembali ke dalam ruangan. 

Rupanya dayang tadi setelah pergi telah balik kembali kesana dan mencuri dengar pembicaraan mereka.

Tak disangka sama sekali, ternyata ilmu meringankan tubuh yang dimiliki dayang itu amat sempurna, hal mana mengakibatkan baliknya kembali dayang itu sama sekali tak terdengar oleh Buyung Im seng maupun Tong Thian hong.

Akan tetapi disaat tubuhnya berkelebat lewat dari celah-celah pintu itulah, bayangan tubuhnya tak berhasil lolos dari ketajaman mata Buyung Im seng. Dengan suatu gerakan yang amat cepat Buyung Im seng berhasil menangkap dayang itu dan menyeretnya masuk ke dalam ruangan.

Tong Thian hong yang menyaksikan kejadian itu diam-diam merasa terkejut bercampur kagum, pikirnya "Kalau dilihat dari kepandaian silatnya itu, agaknya dia masih jauh lebih tangguh daripada kepandaianku."

Ternyata sejak Buyung Im seng mempelajari ilmu pukulan dan ilmu pedang yang diwariskan ayahnya, kepandaian silat yang dimilikinya telah memperoleh kemajuan yang pesat, apalagi dibantu oleh Nyo Hong-ling yang lihai itu, menyebabkan ilmu silatnya bertambah pesat lagi majunya. Setelah diseret masuk ke dalam ruangan, dayang itu segera mendongakkan kepalanya dan memandang sekejap ke arah Buyung Im seng, kemudian berseru keras.

"Lepaskan aku!"

Buyung Im seng tertawa hambar.

"Nona berapa banyak yang berhasil kau sadap dari pembicaraan kami tadi?" tegurnya.

Dayang itu tidak menjawab pertanyaan yang diajukan Buyung Im seng, sebaliknya malah tanya.

"Siapa kau?"

"Jika nona masih ingin hidup, lebih baik jangan banyak bertanya kepadaku." "Aku tak percaya kalian benar-benar berani membunuhku!" "Kenapa kau tak percaya?" tanya Tong Thian hong.

"Sebab nona kami sudah tahu bahwa aku datang kemari untuk menyampaikan obat buat kalian, jika dalam seperminuman teh aku belum kembali juga, ia pasti akan curiga, dan waktu itu dia pasti akan datang kemari untuk melakukan

pemeriksaan."

Mendengar itu Tong Thian hong segera tersenyum: "Kiranya begitu, cuma nona sudah salah menghitung akan satu hal..."

"Soal apa?"

"Setelah jejak kami ketahuan, seandainya kami lepaskan nona, kami juga tak dapat melepaskan diri dari sini, tentunya kau bisa memahami bukan bagaimana jika seseorang sudah nekat karena cemas?"

Dayang itu menjadi termangu. 

"Kalau begitu, kalian bertekad akan membunuh diriku?" Serunya agak gemetar. "Itu mah belum tentu."

"Cepat kalian katakan, apa yang harus kulakukan?"

"Nona sendiri saja yang mencari akal untuk tidak membocorkan rahasia kami, asal akalmu itu dapat membuat kami menjadi percaya maka kamipun pasti tak akan mencelakai dirimu."

"Kalau aku sudah mengatakan tak akan bicara, yaa tak akan bicara, tapi kalau kalian tidak mau percaya juga, lantas apa yang harus kulakukan?" Selama ini Buyung Im seng tidak mengucapkan sepatah katapun, padahal dalam hatinya sedang berpikir bagaimana caranya untuk menghadapi dayang tersebut.

Pelbagai akal sudah dia pikirkan, akan tetapi tidak sebuahpun yang berkenan dihatinya, tanpa terasa dia lantas menghela napas panjang.

"Aaaiii... tampaknya, sekalipun kau tak akan kubunuh, paling tidak jalan darahnya juga musti ditotok!"

"Ya, sekalipun musti ditotok paling tidak juga lebih mendingan daripada mati", sahut dayang itu dengan sedih. Setelah manggut-manggut katanya lebih jauh. "Baiklah! Jika kalian tak mau percaya juga silahkan menotok jalan darahku!" "Kelihatannya nona pandai sekali untuk menyesuaikan diri." seru Tong Thian hong

kemudian. Sesudah berhenti sejenak dengan suara dingin: "Kami ingin mengajukan beberapa buah pertanyaan kepada nona, bila kau bersedia untuk menjawab dengan sejujurnya mungkin saja kami akan melepaskan diri nona."

"Baik, tanyalah!"

"Tempat manakah ini? Siapa nama tuan rumah di sini? Dan apa pula kedudukan nona berbaju hijau itu?"

"Tempat ini bernama Cing-hong-po (bentangan sejuk), kepala kampungnya bernama Im-hui, sedang nona kami adalah adik perempuan Im pocu...!"

"Apakah hubungan tempat ini dengan Sam seng po?" "Tempat ini adalah salah satu kantor cabang dari Sam seng bun!" "Siapakah nama nonamu?" "Mau apa kau menanyakan namanya?"

Tong Thian-hong segera merasakan paras mukanya menjadi panas dan agak memerah karena jengah, tapi segera sahutnya.

"Tentu saja aku mempunyai tujuan tertentu!" "Ia bernama Im Siau-gwat!" "Saudara Buyung, bagaimana kalau kita lepaskan dia?" tiba-tiba Tong Thian hong berkata.

Buyung Im seng tertegun kemudian sahutnya. "Ya, lepaskan!"

Seraya berkata dia lantas membebaskan dayang itu dari pengaruh totokan... "Nona, siapa namamu?" tanya Tong Thian hong lagi. "Aku bernama Ciu Peng!" "Nona aku ingin memberitahukan hal kepadamu." "Persoalan apakah itu?" 

"Seorang manusia hanya bisa mati satu kali, oleh karena itu aku harap nona bisa baik-baik menjaga diri!"

Ciu peng berpikir sebentar kemudian sahutnya: "Aku lagi heran kenapa kalian bersedia melepaskan aku dengan begitu saja, tanpa melakukan sesuatu di atas badanku?"

Sinar matanya segera menyapu sekejap wajah Tiong Thian hong dab Buyung Im seng, kemudian melanjutkan: "Apakah kalian berdua bersedia menerangkan asal usul kalian yang sesungguhnya?"

"Nona, besar amat nyalimu!" seru Tong Thian Hong dengan alis mata berkernyit. Ciu Peng segera tersenyum: "Bukankah kau yang berkata sendiri, seorang hanya bisa mati sekali...?" Sinar matanya segera dialihkan ke wajah Buyung Im seng, kemudian lanjutnya.

"Kepandaian silat yang kau miliki sangat lihai, jauh berbeda dengan kawanan persilatan biasa, bila dugaanku tidak salah, seorang diantara kalian berdua pasti merupakan Buyung kongcu."

Dengan satu lompatan kilat, Tong Thian hong menghadang di depan pintu ruangan, lalu katanya dingin.

"Nona terlalu cerdik, orang cerdik sukar berumur panjang."

Sikap Ciu Peng amat tenang, sama sekali tidak nampak gugup atau gelagapan, setelah menghembuskan napas panjang, kembali ujarnya.

"Jika dugaanku salah, kalian berdua tak akan marah dan gugup sekarang." "Justru karena dugaanmu benar, maka kau harus mati!" "Siapa yang merupakan Buyung Kongcu?" "Aku..." jawab Buyung Im seng dingin. Pelan-pelan tampak tangan kanannya diangkat ke udara.

Ciu Peng yang menyaksikan paras mukanya amat serius, lagi pula tangan yang diayun ke atas berat bagaikan ada bandulan seberat ribuan kati, segera mengerti, bila serangan itu diayunkan ke bawah, niscaya kekuatannya luar biasa sekali.

Buru-buru serunya dengan cepat.

"Budak mendapat perintah rahasia untuk menyambut kedatangan Buyung kongcu." Buyung Im seng agak tertegun setelah mendengar ucapan itu.

"Kau mendapat perintah dari siapa?" tegurnya. (Bersambung ke jilid 4)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar