Lambang Naga Panji Naga Sakti Jilid 21



 “SEWAKTU toako mengadakan perjamuan ditepi telaga Huan Yang, seorang pemuda muncul tanpa menimbulkan suara kemudian berlalu tanpa meninggalkan jejak waktu siauwte tidak terlalu ambil perhatian, kalau kupikir sekarang ada delapan bagian orang itu adalah sang pemuda yang telah Siauwte tolong…..”

Ia menghembuskan napas panjang, setelah merandek sejenak terusnya, “Siauwte merasa sangat menyesal dan main setelah keluar dari kota Kay Hong telah dibius orang kemudian dikurung dalam bangunan tersebut….,….”

“Inilah yang dinamakan Manusia punya maksud. Tuhan punya kuasa,” tukas Kwan Tiong Gak sambil tertawa hambar. “Ke Giok Lang telah menggunakan cara yang paling rendah untuk membius dirimu, tidak dapat disalahkan kau tak berhasil menghindarkan diri kaupun tak usah bersedih hati karena persoalan ini….”

Ia merandek sejenak, lalu terusnya.

 “Persoalan yang paling penting pada saat ini adalah kita harus berusaha mencari tahu apa maksud dari pemilik lambang naga sakti kalau ia pun ada maksud mencampuri urusan ini, aku rasa peta pengangon kambing ini adalah pemilik lambang naga sakti, aku rasa dia tiada beralasan untuk merebut kembali peta Pengangon Kambing tersebut.”

“Semoga saja demikian.” Ia sentak tali les dan melarikan kudanya bagaikan angin kearah depan.

“Toako,” kata Poei Ceng Yan dengan Suara berat. “Didepan ada perempatan, turun kan aku disana karena aku harus segera melanjutkan perjalanan. Namun dengan adanya peristiwa ini perjalananku akan terlambat satu atau dua malam.”

“Kau tak usah melakukan perjalanan lagi karena aku sudah berubah pikiran….”

kata Kwan Tiong Gak sambil melarikan kudanya cepat cepat. “Kita tak usah pulang keibu kota lagi, setibanya ke kota Cang Tek Hu nanti kita segera kirim utusan untuk kembali ke ibu kota mengumpulkan beberapa orang jago lihay untuk segera berangkat kemari, di samping itu kirim kabar pula keseluruh kantor cabang untuk sementara menghentikan semua usaha.”

“Toako jadi kau tidak jadi membubarkan perusahaan Hauw Wie Piauw kiok?”

“Urusan ini amat penting dan mempunyai sangkut paut yang besar dengan peristiwa Bu lim, aku rasa dalam waktu singkat susah memberi penjelasan kepada mereka. Untung sekali di dalam kantor cabang masih tersedia sejumlah harta,” ia mendongak tertawa terbahak, sambungnya, “Padahal cara, inipun merupakan suatu usaha yang terpaksa, dalam keadaan semacam ini

 mau tak mau kita harus berusaha untuk menghadapi segala perubahan.”

“Toako, menurut pandangan setelah Ke-Giok Lang mendapat peringatan tersebut dapatkah ia memusuhi kita lagi?”

“Ke Giok Lang tidak akan berpeluk tangan tapi berhubung nama lambang Naga Sakti terlalu besar ia tentu dibuat jeri. Saat ini hanya ada dua persoalan saja membuat aku masih kebingungan.”

“Persoalan apa?”

“Ke Giok Lang beritahu padaku bahwa didalam kamar nona Liuw Wan Jie ia telah menemui lambang Naga Sakti, maka dari itu usahanya mencuri di batalkan dan di ganti menghadiahkan sebutir pil mujarab, kemudian secara diam mengundurkan diri, soal ini apakah kau tahu?”

“Pertama kali Thian Lam Sah setelah membuka horden kereta yang di tumpangi nona Liuw dengan ketakutan ia mengundurkan diri, kedua kalinya Ke Giok Lang kembalikan peta pengangon kambing dan melarikan diri, kedua kalinya Ke Giok Lang menjalankan siasat memancing harimau turun gunung menyingkirkan diriku dari rumah penginapan dan ia sendiri menyelundup masuk menguasai seluruh anak buah perusahaan dan menerobos kedalam kamar Liauw Wan jie, tapi akhirnya iapun batalkan maksudnya, setelah menghadiahkan obat mujarab lantas mengundurkan diri.”

“Kalau begitu Lau Thian Sam Sah serta Ke Giok Lang telah menjumpai lambang Naga Sakti?”

 “Soal ini siauwte kurang jelas, aku serta Piauw tauw pernah melakukan penelitian sampai beberapa kali, namun semua usaha kami menjumpai kegagalan.”

“Kecuali lambang Naga Sakti dikolong langit rasanya tak ada barang kedua yang bisa mendatangkan kekuatan sebesar itu sehingga dapat memaksa barang yang ada ditangan dikembalikan lagi, namun di tinjau dari sudut ini rasanya dapat ditarik kesimpulan pemilik lambang Naga Sakti itu hanya bertindak. demikian demi Liuw Wan Jie”

Poei Ceng Yan termenung sebentar, lalu Ujarnya, “Seandainya Liuw Wan jie mempunyai pemilik Lambang Naga Sakti sebagai tulang punggungnya, bagaimana mungkin ia malah suruh ayahnya menyerahkan peta pengangon kambing itu?”

“Ehhmmmn….! Perkataanmu memang ceng li….” Ia mendehem ringan. “Apakah kau yakin Liuw Wan jie benar benar tak dapat ilmu silat?”

“Secara diam-diam siauw tee pernah melakukan pemeriksaan sebanyak beberapa kali. kecuali ia berpurapura sangat persis sehingga mataku bisa dikelabui, aku rasa ia benar-benar seorang gadis yang tidak mengerti akan ilmu silat.”

“Seorang gadis yang sama sekali tidak mengerti akan ilmu silat agaknya tidak mungkin bisa berkenalan dengan pemilik lambang Naga Sakti namun bila ditinjau dari nada ucapan Ke Giok Lang ia benar benar menjumpai lambang Naga Sakti tersebut. Liuw Wan jie adalah seorang putri pembesar, setiap hari ia bersembunyi di istana belakang, bagaimana ia bisa menjumpai Lambang Naga Sakti? Peristiwa ini benar benar membuat orang merasa sedikit tidak paham.”

 “Sungguh tidak kusangka, Lambang Naga Sakti yang tidak pernah muncul selama puluhan tahun bisa muncul kembali dalam dunia persilatan bahkan tersangkut paut dalam persoalan kita, hal ini membuat orang tak bisa menebak rejeki atau bencanakah yang bakal kita terima!”

Lari kuda jempolan yang mereka berdua tumpangi amat cepat sekali, walaupun dua orang berada diatas satu pelana namun tak mengurangi kecepatannya untuk bergebrak.

Tidak selang beberapa saat kemudian mereka telah melakukan perjalanan sejauh puluhan li dan tiba tiba di sebuah kota kecil.

“Kita harus bersantap dahulu sebelum melanjutkan perjalanan,” kata Kwan Tiong Gak sambil tertawa, ia segera loncat turun hari atas pelananya. Kemudian langsung berjalan masuk ke-dalam sebuah kedai arak.

Walaupun tempat itu hanya sebuah kota kecil, tapi berhubung merupakan urat nadi dari perdagangan maka tetamu yang singgah disanapun amat banyak, ruangan yang cukup besar saat ini boleh dikata hampir penuh.

Sang pelayan datang menyambut, sambil bongkok badan serta wajah penuh senyuman serunya, “Khek koan berdua silahkan duduk….”

Ia membawa kedua orang itu masuk kedalam ruangan, sinar mata berputar memeriksa apakah tempat duduk kosong, sedang pelayan lain segera menyambut tali les dari tangan Kwan Tiong Gak.

Melihat ruangan kedai itu sangat penuh, Kwan Tiong Gak ada maksud mengundurkan diri, namun sewaktu ditemuinya para tetamu yang ada disana sebagian besar adalah orang kangouw ia batalkan niatnya.

 Diatas jalan raya banyak berlalu lalang manusia, menjumpai seorang dua orang jaga kangouw  sebenarnya bukan merupakan suatu kejadian besar, tapi kali ini Kwan Tiong Gak telah menjumpai jago Kangouw yang hadir disana dalam jumlah sangat banyak.

Yang membuat Kwan Tiong Gak tidak paham adalah berpuluh-puluh orang jago kangouw itu rata rata mempunyai pikiran dalam hati, setiap orang dengan kepala tertunduk, alis berkerut dan wajah kesal menikmati hidangan masing masing.

Inilah yang menimbulkan rasa ingin tahu dalam hati Kwan Tiong Gak, ia berharap bisa menemukan sesuatu dari mereka.

Sementara itu dengan susah payah akhirnya sang pelayan berhasil mendapatkan dua buah ternpat kosong, buru-buru ia persilahkan kedua orang itu ambil tempat duduk.

“Yaya berdua hendak makan apa?” tanyanya.

“Sepoci arak bagus serta beberapa macam sayur yang paling lezat dari kedai kalian “

Sang pelayan mengiakan dan segera berlalu.

Tempat duduk Kwan Tiong Gak serta Poei Ceng Yan adalah sebuah meja kecil dekat jendela, disekeliling mereka duduk adalah para pelancong, kuli serta  berbagai ragam manusia.

Beberapa saat kemudian sang pelayan datang menghidangkan arak dan sayur yang dipesan.

Kwan Tiong Gsk memenuhi dahulu cawan mereka berdua, lalu bisiknya lirih, “Apakah kau sudah menemukan sesuatu?”

 Poei Ceng Yan mengangguk.

“Dalam kedai terdapat tidak sedikit jago kangouw….” “Orang orang ini berkumpul disatu tempat tapi bukan

melakukan perjalanan bersama, yang paling aneh setiap orang berwajah murung dsn kesal membuat orang lain merasa curiga.”

Mendengar perkataan itu Poei Ceng Yan ambil perhatian lebih seksama lagi, sedikitpun tidak salah ia temukan para jago yang ada dalam kedai rata rata berwajah murung dengan alis berkerut, ia jadi tercengang.

“Toako, apa sebenarnya telah terjadi?”

“Aku sendiripun tidak paham,” jawab Kwan Tiong Gak sambil meneguk isi cawannya. “Diantara para jago ini ada dari kalangan lurus ada pula dari kalangan sesat, tidak mungkin mereka berjumpa disini tanpa sengaja, aku rasa tentu apa suatu peristiwa yang mencurigakan hati.”

“Mungkinkah ada hubungannya dengan Lambang Naga Sakti?”

Kwan Tiong tercenung sejenak lalu mengangguk…. “Ada kemungkinan demikian,” Ditengah pembicaraan

mendadak terdengar suara derapan kaki kuda berkumandang datang, disusul munculnya dua ekor kuda berhenti pula didepan kedai.

Kwan Tiong Gak segera alihkan sinar matanya kedepan, tampak olehnya orang tersebut adalah dua orang kakek tua berjubah hijau berjenggot putih dan berusia diantara enam puluh tahunan.

Dandanan kedua orang itu mirip satu sama lainnya, yang berbeda adalah wajah mereka. Orang yang  berada

 dipaling depan berwajah pucat pasi bagaikan kertas dan sama sekali tidak kelihatan darah, sedang yang ada dibelakang berwajah hitam pekat bagaikan pantat kuali, alisnya tebal terlintas selapis hawa hitam, mereka bukan lain adalah Im Yang Siang Sah iblis tersohor dalam dunia persilatan.

Kedua orang itu setelah turun dari atas kuda lantas melangkah masuk kedalam kedai, terdengar seorang berwajah putih berkata dengan nada bejat, “Loo-jie, aku lihat kita minum dulu di sini sampai enam tujuh bagian, kemudian baru melanjutkan perjalanan lagi, bagaimana?”

“Aku dengarkan keputusan dari Loo-.toa.”

Kwan Tiong Gak tahu watak Im Yang Siang Sah amat keji terhadap orang orang dari kalangan Liok lim pun tidak pernah bersahabat, bahkan buas dan telengas, sepatah dua patah kata tidak cocok lantas turun tangan membunuh orang, hal ini menyebabkan jago kangouw baik dari kalangan Pek to maupun dari kalangan Hek to sama sama menaruh rasa jeri dan sungkan terhadap mereka.

Tetapi keadaan kali ini jauh berbeda, begitu banyak jago jago Bu-lim yang ada dalam kedai tak seorangpun yang menghindar atau bangun menyapa mereka.

Im Yang Siang Sah sendiri pun keadaannya tidak seperti biasa, setelah masuk kedalam kedai mereka mencari tempat duduk sendiri dengan mulut membungkam.

Ketika pelayan menghidangkan arak, mereka segera meneguk tanpa menggubris orang lain.

Keadaan yang lain dari pada yang lain ini mendatangkan  rasa  ingin  tahu  bagi  Kwan  Tiong  Gak

 serta Poei Ceng Yan, tanpa terasa merekapun perlambat tegukan araknya.

Tampak oleh mereka berdua, kebanyakan jago jago Bu-lim baru berangkat setelah mabok enam tujuh bagian, bahkan merekapun lebih sosial dari keadaan biasanya.

Orang terakhir yang berangkat adalah Im Yang Siang Sah, sikakek wajah pucat mengeluarkan sekeping emas dan diletakkan diatas meja kemudian berlalu.

Melihat emas itu bernilai diantara enam tujuh tahil sang pelayanan jadi melengak.

“Eeeei! Khek koan berdua, kalian berdua sudah memberi terlalu banyak, yang kalian letakkan dimeja adalah emas,” serunya tanpa terasa.

Sikakek berwajah putih tertawa hambar.

“Sisanya kuhadiahkan buat dirimu minum teh,” katanya.

“Terlalu banyak…. terlalu banyak….” seru pelayan itu berulang kali dengan tangan gemetar.

Namun Im Yang Siang Sah tidak ambil perduli lagi, mereka keluar dari kedai naik kuda dan berlalu.

Menanti Im Yang Siang Sah telah berlalu dan Kwan Tiong Gak merasa mereka adalah orang kangouw terakhir, segera ikut bangun membayar uang arak dan berkata, “Saudara Poei, bagaimana kalau kita pergi menonton apa yang mereka hendak lakukan?”

“Jikalau toako merasa tidak perlu terburu buru melakukan perjalanan, pergi menontonpun tiada halangan.”

Kwan Tiong Gak lantas ulapkan tangannya memanggil sang pelayan, katanya, “Kami mau beli kuda yang kuat

 dan bisa lari cepat, carikan! sedikit mahalpun tidak mengapa.”

“Aaakb….,….! kota kami terlalu kecil, tidak ada pasar kuda.” sahut sang pelayan dengan wajah serba susah. “Namun kalau kau butuh sekali, biarlah hamba pergi adu untung.”

Kwan Tiong Gak tersenyum, ia tidak menjawab dan memandang pelayan tadi berlalu

“Toako,” bisik Poei Ceng Yan sesudah pelayan itu berlalu. “Disini tak ada pasar kuda, mana mungkin bisa dapatkan kuda?”

“Tidak mengapa nasib pelayan itu sangat baik.”

Karena dari ucapan itu Poei Ceng Yan bisa menangkap Suatu maksud tertentu, maka ia membungkam.

Beberapa saat kemudian, pelayan itu muncul kembali, serunya, “Waach…. nasib kalian sungguh mujur, hamba telah mendapatkan seorang penjual kuda, hanya saja harganya sedikit mahal, dia minta dua puluh tahil perak,,”

“Benda ini rasanya cukup bukan.” ujar Kwan Tiong Gak sambil mengeluarkan sebuah daun emas. “Cepat siapkan pelana, kami segera akan berangkat melanjutkan perjalanan “

“Khek koan berdua silahkan menanti didepan pintu, hamba segera membawa kuda kesana.”

Satelah membereskan rekening, Kwan Tiong Gak dan Pui Ceng Yan berjalan keluar dari kedai itu.

Beberapa saat kemudian sang pelayan membawa dua ekor kuda jempolan dari Kwen Tiong Gak dan kuda yang

 lain adalah seekor kuda tinggi besar lengkap dengan pelananya.

“Khek koan berdua, kuda ini tidak jelek bukan” ujar sang pelayan sambil tersenyum.

“Saudara Pui, kita segera berangkat, “seru Kwan Tiong Gak sambil menerima tali les dan melarikan tunggangnya kedepan.

Pui Ceng Yang pun buru buru mencaplak kudanya membututi Cong Piauw tauw-nya setelah tiba disisi orang she Kwan serunya, “Toako, bagaimana kau bisa tahu kalau pelayan itu punya seekor kuda jempolan?”

“Tadi aku melihat seorang jago Bu lim tidak cukup untuk membayar uang araknya ia lantas menggunakan kudanya sebagai alat pembayaran, kalau ditinjau dari wataknya orang ini tidak mirip jago dari kalangan lurus, namun ia rela menggunakan kudanya untuk ditukar dengan santapan, ini menunjukkan dua persoalan, mereka sedang menghadapi Suatu peristiwa besar yang tak dapat di hindari lagi, dan mereka tak dapat menentukan nasib sendiri, maka dari itu mereka tak ingin ribut lagi dengan orang lain dan semua persoalan berusaha dikekang ….”

Sambil berpaling kearah Poei Cang Yan. sambungnya, “Soal kedua! kita dapat membuktikan, kalau tempat jauh mereka tuju tidak terlalu jauh dari kedai tersebut, maka tak usah menunggang kudapun bisa tiba pada saatnya.”

“”Entah mereka hendak pergi kemana?”

“Mungkin tidak akan terlalu jauh.” Mendadak ia menuding kearah depan dan sambungnya.

 “Coba lihat kedepan, kedua orang itu bukankah Im Yang Siang-sah? ini menunjukkan bahwa jalan yang kita tempuh tidak salah.”

“Kedua orang iblis tua itu tidak mudah dihadapi, lebih baik kita perlambat perjalanan kita.”

“Aaacchh-.aku rasa tidak perlu, coba lihat mereka pada tundukkan kepala dengan wajah lesu bagaikan sedang menuju ke jalan kematian saja. dalam keadaan seperti ini mereka tak akan ada gairah untuk mengumbar napsu, sekalipun dilewati juga tidak mengapa.”

Ia segera menpercepat lari kudanya, dalam sekejap mata mereka telah melewati Im Yang Siang Sah.

Kedua orang Iblis Im dan Yang ini dengan membawa mabok duduk mematung di atas kudanya, sekalipun Kwan Tiong Gak lewat dari sisinya mereka sama sekali tidak berpaling atau bergerak.

Kwan Tiong Gak segera menarik tali les menghadang jalan pergi kedua orang itu.

sebenarnya ia ada maksud membentak namun niatnya segera dibatalkan karena secara mendadak ia teringat akan watak Im Yang Siang Sah.

Agaknya Im Yang Siang Sah sama sekali tidak menggubris diri Kwan Tiong Gak. sambil ceplak kuda kedua orang itu melanjutkan perjalanan kedepan.

Melihat kejadian itu Poei Ceng Yan segera mengejar Cong Piauw Tauwnya.

“Toako, agaknya Im Yang Siang Sah sudah kehilangan semangat, entah apa sebabnya”

“Bukan cuma Im Yang Siang Sah saja, semua jago Bu lim yang kita jumpai disepanjang jalan tak seorang pun

 yang kelihatan segar dan bersemangat, mereka kelihatan lesu semua, keadaan ini sangat aneh kita harus mengejar kedepan dan melihat jalan apa sebetulnya yang telah terjadi.”

Terlihat Im Yang Siang Sah dengan berbareng telah berjalan memasuki sebuah hutan bambu yang lebat.

Melihat kedua orang itu sudah masuk ke-dalam hutan bambu. Kwan Tiong Gak serta Poei Ceng Yan segera mengejar.

Tampak hutan bambu itu sangat lebat, diantara pepohonan bambu terbentang sebuah jalan lorong yang lebarnya ada empat depa.

Jalan lorong itu kelihatan masih baru. jelas belum lama berselang digali.

Sekalipun begitu diatas tanah banyak membekas telapak kaki kuda….

Kwan Tioag Gak termenung, lalu melarikan kudanya menerobos masuk kedalam hutan.

Beberapa saat kemudian sampai mereka didepan sebuah pohon yang tumbuh berbagai macam pepohonan, diatas ranting tertambat berpuluh-puluh ekor kuda.

Diam diam Kwan Tiong Gak menghitung jumlah kuda tersebut tidak kurang tidak lebih berjumlah lima-enam puluh ekor banyaknya seandainya satu kuda satu orang maka paling sedikit ada lima enam puluh orang telah hadir disana.

 Tentu saja kalau ada diantara mereka tidak menunggang kuda maka jumlah yang hadir melebihi jumlah tersebut diatas.

Yang aneh hanya tertambat kuda kuda belaka, sesosok bayangan manusia pun tidak kelihatan

Disetiap pelana kuda tergantung berbagai macam senjanta, ini menunjukkan hawa orang itu bukan saja telah menampakkan kudanya disana  bahkan melepaskan pula seluruh senjata yang mereka bawa.

Beberapa puluh tombak didepan pepohonan, berdiri sebuah bangunan kuil yang megah dan kokoh.

“Saudara Poei” bisik Kwan Tiong Gak lirih “Orang itu telah masuk kedalam perkampungan tersebut, mari kita pergi menengok.”

Ia turun dari kuda, seperti pula yang lain menambatkan kudanya diatas sebuah ranting pohon.

Walaupun diluar Poei Ceng Yan membungkam iapun mengikuti tindakan Kwan Tiong Gak turun dari sedang dalam hatiyna berpikir, “Pemandangan disini sangat aneh dan menyeramkan…. aku harus berhati hati.”

Saking tak dapat menahan sabar segera ujarnya dengan nada lirih, “Toako siauw te sudah melakukan perjalanan selama puluhan tahun lamanya dalam dunia persilatan belum pernah kujumpai peristiwa seperti ini.”

Kwan Tiong Gak tertawa hambar.

“Akupun baru menjumpai peristiwa seperti ini untuk pertama kalinya.”

“Apakah perlu kita lepaskan senjata rahasia yang kita bawa. seperti halnya pula dengan mereka?”

 “Kemungkinan sekali kira telah berada disuatu markas perkumpulan rahasia yang ada dalam Bu lim. tempat ini tidak kelihatan ada orang yang menjaga, kalau mereka secara diam diam mengawasi gerak gerik kita, tentu sang majikan tempat ini sudah menaruh kepercayaan pada orang yang hadir tadi bakal berani melanggar peraturan tersebut. Aku duga kalau sampai ada yang berani melanggar tentu akan menjumpai hal yang tidak menguntungkan sama sekali tidak tahu akan peraturan disini lebih baik kita berlagak pilon saja dan tak uiah lepaskan senjata.”

Poei Ceng Yan mengiakan, setelah menambat kudanya ujarnya kembali.

“Toako biarlah siauwte berjalan lebih dulu.”

Dengan langkah lebar ia segera berjalan nenuju bangunan desa tersebut.

Kwan Tiong Gak pun merasa apa yang dijumpainya ini hari merupakan peristiwa aneh yang belum pernah dijumpai selama ini. ia segera berkencang langkah kakinya mengikuti dibelakang Poei Ceng Yan.

“Saudara Poei” katanya. “Kita harus berhati-hati, keadaan ditempat ini sangat aneh sehingga saking anehnya membuat orang susah menduga apa sebenarnya yang telah terjadi.”

Mendadak Poei Ceng Yan menghentikan langkahnya dan berpaling.

“Toako, kau bawa serta peta pengangon kambing itu?” tanyanya.

“Tidak mengapa, aku telah menyimpannya dengan sangat baik, lagipula dalam keadaan seperti ini aku rasa

 tiada sangkut pautnya dengan pengangon kambing tersebut.”

Ditengah pembicaraan, mereka telah berada didepan bangunan tersebut.

Pintu bangunan itu tertutup rapat, tetapi dalam halaman yang luas duduk banyak sekali jago Bu lim.

Tiada meja atau kursi tersedia disana masing masing jago yang hadir segera mencari tempat duduk diatas tanah.

Im yang Siang Sah yang namanya telah tersohor dikolong langitpun ikut duduk disatu ruangan.

Berpuluh puluh jago kangouw duduk berkumpul dalam halaman yang sama dengan sikap tenang, tak kedengaran suara berisik yang memecahkan kesunyian.

Poei Ceng Yan melongok sekejap ke-arah halaman ini, temukan orang kangouw itu tak ada yang menengok kearahnya, seolah olah mereka sudah tak bergairah lagi untuk mengurusi orang lain lagi.

“Ssst….saudara Pui”" bisik Kwan Tiong Gak lirih “Kelihatannya orang orang ini bagaikan tawanan yang telah dijatuhkan hukuman mati saja, seolah peristiwa yang ada di kolong langit sudah tidak memperoleh perhatian dari mereka lagi.”

“Perlu kita masuk kedalam? tanya Pui Ceng Yan. “Setelah tiba disini tentu saja harus masuk kedalam

lihat lihai keadaan, namun kita tak boleh bersikap teristimewa nanti kita harus duduk pula ditengah hadiah seperti halnya mereka sembari diam meninggali kaadaan.”

 Sementara kedua orang iiu kasak kusuk didepan pintu, para jago yang duduk dalam ruangan tak seorangpan yang berpaling atau memandang sekejap kearah mereka berdua.

Lambat lambat Pui Ceng Yan serta Kwan Hong Gak berjalan masuk kedalam halaman mencari tempat kosong dan duduk diatas tanah. Suasana dalam  halaman sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun, seketika secara diam diam Kwan Tiong Gak memperhatikan suasana disekeliling tempat itu, ia temukan orang orang itu seolah olah memiliki kesabaran yang luar biasa, dengan tenang dan mulut membungkam mereka duduk menanti. Sebaliknya Pui Ceng Yan memperhatikan keadaan bangunan tersebut, rumput alang alang tumbuh tinggi lagi lebat, jelas bangunan rumah ini sudah lama tidak dihuni atau diinjak manusia.

Kurang lebih sepertanak nasi kemudian, pintu ruangan yang tinggi besar dan tertutup rapat itu tiba terbentang lebar.

Kwan Tiong Gak segera alihkan sinar matanya kembali, namun ia tidak berhasil menemukan sesosok manusiapun yang membuka pintu tersebut.

Belum habis rasa tercengang di nati, serentetan suara yang dingin dan nyaring berkumandang keluar dari balik ruangan.

“Cuwi sekalian boleh masak ke dalam ruangan,  namun harus masuk satu persatu, tak boleh kacau balau tidak menurut aturan.”

Sepasang sinar mata Kwan Tiong Gak yang tajam dialihkan kedalam ruangan dan menyapu empat penjuru dengan seksama, namun agaknya orang orang barusan

 bicara ada maksud menghindarkan diri dari segala pengamatan, tak ditemui dimanakah ortng itu berada.

Tampaklah para jago yang semula duduk didepan halaman bersama sama bangkit berdiri, berbaris jadi satu barisan panjang dan lambat berjalan masuk kedalam ruangan.

Tiada seorang pnn yang berebut tempat, semuanya mengikuti aturan dengan bebas, secara bergilir masuk kedalam.

Melihat kejadian itu tak kuasa lagi Kwan Tiong Gak berpikir dalam hatinya, “Sebagian besar jago yang hadir disini merupakan jago-jago lihay dari kalangan Hek to, mereka sudah terbiasa mengumbar watak sombong, tinggi hati, jumawa dan susah di atur, untuk memaksa mereka berjalan dengan cara antri semacam ini benar beaar bukan suatu pekerjaan yang sangat gampang….”

Sementara hatinya sedang berpikir, ia-pun segera bangkit berdiri dan menggabungkan diri dengan barisan tersbut.

Setelah melalui pengamatan yang seksama selama beberapa saat, Kwan Tiong Gak merasa Im Yang Siang Sah merupakan jago kalangan Shia to yang memiliki kedudukan paling tinggi diantara jago jago lainnya, karena sebab itu sengaja ia beserta Poei Ceng Yan berbaris dibelakang Im Yang Siang Sah sembari mengamati perubahan selanjutnya.

Setelah masuk kedalam ruangan, tercium bau amis darah berhembus lewat membuat perut seketika merasa mual.

Agaknya sejak semula Im Yang Siang Sah sekalian sudah  mengerti  akan  peristiwa  tersebut,  mereka tetap

 melanjutkan langkahnya kedalam dengan lambat dan sama sekali tidak menunjukkan suatu pertanda aneh, sebaliknya Kwan Tiong Gak lah yang merasa hatinya sedikit terkesiap.

Ketika ia angkat kepala keatas, tampak disebuah ruangan yang lebar dan luas teratur puluhan buah meja yang diatur dan di jejerkan satu sama lainnya sehingga membentuk sebuah meja yang panjang.

Perabot yang ada dalam ruangan tersebut kecuali meja berjajar jejer yang membentuk sebuah meja panjang, tak kelihatan benda lain, bahkan sebuah kursipun tidak nampak.

Diatas meja panjang tadi tersusunlah batok kepala manusia dengan teraturnya, dalam pandangan Kwan Tiong Gak sekelebatan ia menaksir batok kepala manusia itu semuanya berjumlah tiga enam butir lebih.

Walaupin batok kepala itu sudah di-pancung sangat lama, namun mimik wajahnya sangat berbeda satu sama lainnya. Ada yang mati mata melotot gusar alis berkerut, ada yang mati dengan mata terpejam wajah tenang adapula yang mati dengan wajah berkerut murung. Tanda tanda ini bisa menunjukkan betapa tersiksanya saat mereka menemui ajalnya.

Dibawah setiap betok kepala manusia tadi tertindih secarik kain putih yang tertuliskan nama sang korban.

Kwan Tiong Gak yang berjalan mengikuti di belakang Im Yang Siang Sah mengelilingi meja panjang itu, dalam sekaligus pandangan ia cepat membaca nama nama korban yang tercantum diatas kain putih.

Ternyata mereka adalah “Sah Cap Lak Yauw Jien” atau  tiga  puluh  enam  orang  manusia  siluman  yang

 meurakan pentolan pentolan iblis kalangan Hek to paling kecil.

Ketika Piauw tauw she Kwan Ini meneliti warna darah yang masih ternoda diatas leher batok kepala tersebut, Ia menemukan bahwa warna darah tadi sama semua atau hal ini menunjukkan bahwa waktu kematian mereka boleh dikata hampir terjadi bersamaan waktunya.

Ini menunjukkan pula bahwa ketiga puluh enam manusia siluman ini tanpa berhasil melakukan perlawanan mati secara massal .dalam detik yang hampir berbareng.

Diam diam Kwan Tiong Gak merasa hatinya bergidik juga melihat keseraman suasana dalam ruangan, pikirnya “Seseorang usia mengumpulkan ketiga puluh enam orang manusia siluman disini lalu dalam waktu yang bersamaan membinasakan mereka secara berbareng, hal ini membuktikan bahwa orang itu harus melawan pula serangan gabungan dari ketiga puluh enam orang manusia siluman ini, kepandaian silat yang ia miliki tentu terhitung jago nomor wahid dalam Kolong langit saat ini …. .”

Haruslah diketahui ketiga puluh enam orang manusia siluman kendati bukan termasuk jago lihay dalam dunia persilatan, namun merekapun bukan manusia lemah dalam Bu-lim, terutama sekali ketiga puluh enam orang itu berkumpul jadi satu dengan sebuah barisannya yang sangat lihay.

Dengan barisan tersebut, pada beberapa tahun berselang mereka pernah mengalahkan tiga orang padri lihay dari Siaw lim pay karena peristiwa itulah nama mereka segera menanjak dikalangan Hek to maupun kalangan Pek to. Kebanyakan orang tidak berani mencari

 gara gara dengan ketiga puluh enam orang manusia siluman tersebut secara gegabah, hal ini membuat tingkah laku mereka semakin garang dan semakin sombong.

Tidak disangka, ternyata ini hari ketiga puluh enam orang manusia siluman itu sudah menemui ajalnya secara berbareng di tangan seseorang.

Sementara ia masih termenung, badan nya dengan mengikuti dibelakang Im Yang Siang Sah telah tiba disebelah ujung ruangan.

Agaknya orang orang yang masuk kedalam mangan itu sejak semula sudah ada perjanjian, setelah mengitari meja panjang tadi mereka bersama sama jalan keujung ruangan besar itu dan berdiri disana dengan teratur dan rapi.

Kwan Tiong Gak serta Poei Ceng Yan pun menggabungkan diri dalam barisan tersebut.

Dibelakang mereka berdua masih terdapat banyak sekali orang. beberapa saat kemudian semua orang sudah masuk kedalam ruangan dan berbaris membentuk sebuah kalangan yang teratur dan rapi. tak kedengaran sedikit suara berisikpun.

Enam tujuh puluh orang jago sana-sama berdiri tenang disana, tak kelihatan seseorang menunjukkan Suatu gerak gerik, kecuali suara, ringkikan kuda yang berkumandang tiada hentinya dari luar halaman ruangan.

Sepertanak nasi lamanya sudah lewat,, namun masih tidak kedengaran sedikit sunra pun.

“Saudara Poei!” tak tertahan lagi Kwei Tiong Gak bukan suara bebisik. “Kita tidak bisa berdiam terlalu lama disini, kita seharusnya segera berangkat….”

 “Pergi…. pergi kemana??” tanya Poei Ceng Yan tertegun.

Agaknya pikiran serta kesadarannya telah terpengaruh oleh suasana kematian yang meliputi seluruh ruangan itu.

“Meninggalkan tempat ini “

“Mungkin beberapa patah kata ini di tetapkan sehingga tanpa terasa Im Yang Siang Sah sama sama berpaling memandang sakejap kearah kedua orang itu.

Kwan Tiong Gak tahu kedua orang manusia ini paling susah dihadapi, ia segera berlagak pilon dan tidak menggubris mereka berdua.

Im Yang Siang Sah agaknya kenal dengan Kwan Tiong Gak, namun seolah olah baru sekarang mereka menjumpainya.

Terdengar salah seorang diantaranya tertawa hambar dan menegur, “Ooooouw…. kiranya Kwan Cong Piauw tauwpun datang!”

Sebetulnya Kwan Tiong Gak ingin menanyakan kejadian sebenarnya, tetapi setelah teringat akan watak Im Yang Siang Sah ia merasa jauh lebih baik tak usah banyak bicara dengan mereka berdua.

Sambil menahan diri Ia segera mengangguk. “Benar, siauwte pun ikut datang!”

Pada saat itulah tiba tiba terdengar suara teguran dingin berkumandang memenuhi seluruh ruangan, “Lun Tiong Sie Oh atau empat manusia jahanam dari Lun Tiong.”

 Dari antara gerombolan manusia segera terdengar suara sahutan empat orang dengan nada yang serak gemetar.

“Kami empat manusia telah datang memenuhi perintah.”

Kwan Tiong Gak segera mendongak di tengah ruangan entah sejak kapan telah muncul seorang manusia berjubah hitam dan duduk menghadap dinding membelakangi para jago.

Kalau ditinjau dari dandanannya, mirip sekali dengan pakaian Majikan Lambang Naga Sakti yang tersohor itu.

Terdengar suara tadi kembali membentak. “Keluar!” Empat orang lelaki kekar berwajah buas lammbat-

lambat berjalan keluar dari barisan-Sepasang kaki mereka berempat tiada hentinya gemetar, langkahnya kelihatan sangat berat seolah olah susah digerakkan karena memikul beban seberat ribuan kati.

Siorang berbaju hitam ini sama sekali tidak berpaling, namun bagaiKan dipunggungnya tumbuh sepasang mata saja ia segera membentak dingin.

“Cepatan dikit jalannya!”

Keempat orang itu sama sama mengia-kan namun suaranya lirih dan kedengaran gemetar keras. Walaupun dalam hati ada maksud berjalan lebih cepat namun sepasang kaki tidak mau turut perintah.

“Sekarang boleh berhenti!” kembali si orang berbaju hitam itu memerintah.

Empat manusia jahanam dari keresidenan Lun Tiong berhenti, namun badan mereka gemetar semakin keras,

 membuat ujung baju bergoyang tiada hentinya dan setisp orang dapat melihat hal tersebut dengan amat jelas.

Karena siorang berbaju hitam itu duduk membelakangi para jago, maka semua orang tak dapat melihat bagaimanakah perubahan air muka serta raut wajahnya, tentu saja kecuali suaranya yang dingin dan ketus itu.

Terdengar ia memerintah kembali, “Laporkan sendiri dosa dosa kalian!”

Lun Tiong Su Oh dengan menuruti deretan Kedudukan mereka berdiri berjejer dari kiri kekanan.

Terdengar Sung Loo toa berkata, “Kami empat bersaudara pernah merampas barang milik orang lain, pernah melanggar pantangan memperkosa, sepasang tangan penuh dengan darah dosa kami sudah bertumpuk-tumpuk ”

“Hm.! yang kutanyakan adalah peristiwa yang terjadi sewaktu bulan Tiong ciu tahun ini!” tukas si orang berbaju dingin ketus

Orang yang ada dipaling kiri segera menyambung. “Hari itu kami telah merampok sebuah kereta berdua,

melukai pemilik kereta, tua muda empat orang ditambah seorang kusir yang ada dalam kereta tersebut semuanya mati ditangan kami berempat….”

Siorang berbaju hitam tertawa dingin seketika Loo toa yang sedang mengaku semua dosanya membungkam dan berdiri terbelalak. Suara tertawa dingin itu sama sekali tidak istimewa, kedengaran menusuk telinga, tetapi berada dalam keadaan seperti ini mendatangkan suatu perasaan yang aneh membuat hati bergidik.

Loo toa dari empat manusia jahanam “Lun Tiong Sie On” membungkam dalam seribu bahasa, menanti suara

 tertawa dingin tadi sudah lenyap beberapa saat itu baru berkata kembali lambat lambat.

“Satelah peristiwa tersebut kami baru menemukan kalau diatas kereta tenebat terr….terr….terdapat See….selembar Lambang….lambang naga sakti….”

“Hmnm, apakah mata kalian sudah buta semua?” “Cayhe sekalian patut dihukum mati,” seru Lun Tiong

Sie On hampir berbareng.

“Bagus, sekarang kalian, harus mati, turun tanganlah sendiri, dengan demikian kalian masih bisa mempertahankan jenazah yang utuh.”

Diatas air muka Lun Tiong Sie Oh terlintas suata perasaan putar asa, mereka saling bertukar pandangan sekejap kemudian sama sama menggaplok ubun ubun sendiri. Empat sosok jenasah bersama sama roboh menggeletak diatas tanah.

Sementara Lun Tiong Sie Oh bunuh diri si orang berbaju hitam itu sama sekali tidak berpaling barang sekejappun. Kembali ia tertawa dingin.

“Oh Tiong Chie Hauw!” Tujuh orang lelaki setengah baya menyahut dan berjalan keluar dari barisan.

“Pindahkan dulu jenasah dari Lun Tiong Sie Oh kebawah meja panjang sebelah sana.”

Ketujuh orang itu tanpa membantah lagi bersama sama memindahkan jenasah Lun tiong Sie Oh ketempat yang dimaksud kemudian balik kedepan manusia berbaju hitam itu.

“Hmm! Kalian tahu dosa?”

Tujuh harimau dari Oh Tiong sama sama dibikin ketakutan, sahutnya berbareng, “Kami tahu dosa”

 Agaknya ketujuh orang itu sudah dibikin ketakutan sehingga sukmapun terasa hampir melayang, jawaban tadi diutarakan tidak bersamaan sehingga kedengaran sungguh lucu.

“Bagus, kalau kalian sudah tahu salah hal ini lebih bagus lagi, sekarang cepat turun tangan membereskan diri sendiri!”

Saking takutnya ketujuh harimau dari Keresidenan Oh Tiong ini tidak ada keberanian untuk membantah, dari dalam saku mereka mengambil keluar sebutir pil beracun kemudian ditelan kedalam perut.

Beberapa saat kemudian air muka mereka berubah menghijau dan menemui ajalnya karena keracunan.

Ternyata mereka bertujuh sudah mengadakan persiapan terlebih dahulu, dalam saku masing masing telah tersimpan sebutir pil beracun guna melakukan bunuh diri. Sungguh hebat sekali si orang berbaju hitam ini, hanya beberapa kata saja ia telah memaksa sebelas orang bajingan Liok lim menemui ajalnya.

Kwan Tiong Gak yang melihat kejadian itu diam-diam merasa bergidik pikirnya, “Orang orang itu masih punya tenaga dan ilmu silatnya sama sekali belum pernah, kenapa suaranya tidak berani membantah dan mandah saja melakukan bunuh diri? Sungguh aneh sekali.!”

“Lok Chiet Nio!” kembali terdengar siorang berbaju hitam itu berseru.

Seorang perempuan dengan suara yang merdu segera menyambut, “Aku ada disini!”

“Kau keluar dari barisan!”

 Dari antara barisan jago jago itu segera muncullah seorang perempuan muda berbaju biru yang kira kira berusia tiga puluh satu dua tahunan.

“Bagus sekali!” seru Kwan Tiong Gak dalam hatinya dengan hati tergetar keras

“Kiranya “Kiu Wie Hu” atau si rase berekor sembilan Lok Chiet Nio pun ada disini, perempuan ini sudah terlalu banyak melakukan kejahatan, ia paling banyak merayu jago jago dari perguruan dari kalangan lurus, setelah melakukan zinah lalu mengeluarkan ilmu hitamnya. Pihak Siauw lim serta Bu tong pay pernah mengirim jago-jago lihaynya untuk mengejar dia, namun jejaknya lantas lenyap tak berbekas. Orang ini benar benar luar biasa, bukan saja amat cabul bahkan permainan cintanya disertai ilmu hitam, walaupun usia nya makin menanjak namun setiap orang yang pernah melakukan perzinahan dengan dirinya selama hidup tak bisa melupakan dirinya lagi. Maka tidak sedikit orang suka mengorbankan jiwanya untuk berbakti kepada-nya.

Tampak Lok Chiet Nio dengan badan gemetar maju beberapa langkah kedepan. Serunya lirih, “Aku adalah orang perempuan….”

“Aku tahu!” tukas si orang berbaju hitam itu dengan nada ketus. “Maka dari itu aku mengijinkan dirimu untuk bunuh diri dengan menggantungkan diri!”

“Apakah aku harus mati?”

“Ehm….!! Dengan kecantikan wajah kau memancing banyak orang, dosa yang kau lakukan sudah bertumpuktumpuk….”

“Tetapi hal ini dikarenakan mereka punya keinginan sendiri,  mereka  tak  bisa  melupakan  diriku  dan  rela

 tunduk kepadaku” tukas Lok Chiet Nio dengan cepat. “Lain kali aku tak akan melanggar lagi dosa ini.kalau kau dapat mengampuni selembar jiwaku, mulai saat ini aku akan masuk kedalam biara cukur rambut sebagai nikouw, sepasang hidup tak akan berbuat dosa lagi….”

Lok Chiet Nio adalah seorang perempuan cabul yang sudah memiliki pengalaman banyak dalam hal bercinta, tingkah laku serta setiap ucapannya mendatangkan perasaan sayang serta mempersonakan bagi orang yang mendengar.

Namun si orang berbaju hitam itu sama sekali tidak terpengaruh oleh ucapan itu, kembali ujarnya dengan suara dingin, “Sejak lambang Naga Sakti muncul dalam duria persilatan, ia telah menetapkan peraturan yang harus dituruti oleh semua orang, walaupun kau sudah banyak melakukan perbuatan keji dan cabul, asalkan hal tersebut sama sekali tidak menyinggung nama baik Lambang Naga Sakti, akupun tak akan mengurusi dirimu. Namun kau berani pandang hina lambang Naga Sakti, dosamu ini tak bisa diampuni lagi. Mengingat kau adalah seorang perempuan aku biarkan kau mati dengan badan utuh, sekarang cepatlah pergi gantung diri untuk menebus dosa dosa tersebut.”

Air mata jatuh berlinang membasahi kelopak matanya, dengan suara keras ujar Lok Chiet Nio kembali, “Lambang Naga Sakti sudah ada puluhan tahun lamanya lenyap dari dunia persilatan. Sejak aku dilahirkan dalam kolong langit belum pernah terdengar berita tentang Lambang Naga Sakti itu lagi, pepatah Kuno mengatakan begini: Yang tidak tahu tidak berdosa sekalipun aku telah menjumpai lambang Naga Sakti tetapi aku tak mengenalinya “

 Mendengar perkataan itu Kwan Tiong Gak segera berpikir dalam hatinya.

“Walaupun Lok Chiet Nio bukan termasuk seorang manusia baik, tetapi apa yang di ucapkan memang amat ceng li!”

Namun si orang berbaju hitam itu sudah menegur dengan suara dingin.

“Kalau begitu, aku sudah salah menuduh dirimu “ “Seandainya kau suka bicara menurut cengli, tidak

seharusnya kau paksa aku uantuk melakukan bunuh diri.”

“Kenapa gurumu tidak beritahukan persoalan lambang Naga Sakti ini kepadamu?? sekalipun kau tidak berdosa namun peristiwa ini akan merembet keseluruh perguruanmu!”

“Sekalipun begitu, tetapi guruku yang menurunkan ilmu silat kepadaku sudah lama meninggal.”

Siorang berbaju hitam itu segera tertawa dingin.

“Lek Chiet Nio, kau tidak usah membantah lagi. sekalipun guru yang menurunkan ilmu silat kepadamu benar benar sudah mati, tetapi diantara perguruanmu tentu masih ada orang lain. Majikan lambang naga sakti bukan seorang manusia yang gampang ditipu, tetapi majikan lambang naga sakti pun bukan seorang manusia yang tidak pakai aturan, kau tetap tinggal disini, nanti aku bawa kau pergi keperguruan untuk mencari bukti. Tetapi kau harus tahu dulu, kalau kau bicara bohong maka aku akan menggunakan suatu cara yang paling keji untuk mencabut selembar jiwamu.”

Lok Chiet Nio sekatika dibikin tertegun.

 “Agaknya belum aku mati, hatimu belum mau terima?”

Ia lepas ikat pinggangnya dari badan lalu diikat diatas tiang ruangan dan membuat sebuah simpul hidup, setelah itu sambil mengucurkan air mata ujarnya.

“Apakah terhadap seorang perempuan-pun kau tidak mau melepaskan….”.

“Hm….! melepaskan dirimu bukankah sama arti telah melanggar pantangan Lambang Naga Sakti dalam menghukum mati sang pelanggar.?”

Perlahan-lahan Lok Chiet Nio menghela napas panjang.

“Dalam dunia persilatan banyak terdapat manusia keji, namun tak ada yang lebih keji.majikan Lambang Naga Sakti, tak ada se-orang korbanpun yang dilepaskan sebelum mereka semua dibinasakan.”

Kepalanya segera dimasukkan kedalam simpul hidup tadi, tangan dilepaskan dan ba ¦mpuu bergantung diatas tiang, beberapa saat kemudian ia telah menemui ajalnya

“Im Yang Siang Sah” suara pencabut nyawa dari siorang berbaju hitam itu kembali Berkumandang datang.

Im Yang Siang Sah yang tersohor akan kekejiannya segera mengiakan dan berjalan ke luar dari barisan.

“Kalian berdua tahu dosa??” “Kami tahu salah.”

“Bagus, kalian hendak turun tangan sendiri ataukah menanti aku yang turun tangan?”

Setelah kematian ada diambang pintu perasaan takut dan jeri yang semula meliputi kedua orang pentolan iblis ini malah lenyap tak berbekas, mereka jadi tenang sekali.

 Terdengar Im Sah Yang ada disebelah kiri tertawa kering, ujarnya, “Kami tidak ingin mati, harap kau orarg tua suka memberikan budi yang istimewa ke pada kami….”

“Lek Chiet Nio seorang wanita pun sama halnya harus mati. apalapi kalian berdua adalah lelaki sejati.

Sejak dahulu Im Yang Siang Sah berkelana dan mengembara berbareng, dalam menghadapi serangan musuhpun mereka sudah punyai hubungan batin yang erat, ketika Im Sah sedang berbicara tapi diam diam Yang Sah telah mengumpulkan hawa murninya ke seluruh badan.

Belum habis si orang berbaju hitam itu menyelesaikan kata katanya, Yang Sah telah turun tangan. Telapak kanannya diayun kedepan menghajar jalan darah “Ming Cun Hiat” pada punggung orang berbaju hitam itu.

Bersama waktunya pula Im Sah mengalunkan tangannya kedepan, segenggam cahaya keperak perakan segera meluncur kedepan.

Kalau dibicarakan dari kepandaian silat yang dimiliki Im Yang Siang Sah ditambah pula jarak yang demikian dekatnya, untuk menghadapi serangan telapak serta senjata Rahasia yang dilancarkan hampir berbareng bukanlah merupakan suatu pekerjaan gampang.

Terdengar si orang berbaju hitam itu tertawa dingin, sembari putar badan pedangnya membabat keluar, tampaklah serentetan cahaya tajam dengan menimbulkan desiran tajam meluncur keluar.

Terdengar dua kali suara dengusan berat berkumandang memecahkan kesunyian, Im  Yang Siang

 Sah hampir bersamaan waktunya tersambar pedang lawan dan roboh Keatas tanah.

Ujung pedang menembusi dada mereka hingga tembus kepunggung, tetapi menanti badan mereka berdua sudah roboh keatas tanah, darah segar baru mengucur keluar dari dada.

Gsrakan si orang berbaju hitam itu dalam putar, ayun pedang, boleh dikata dilakukan hampir dalam waktu bersamaan dan susah diikuti dengan pandangan mata.

Tak seorangpun dapat melihat bagaimanakah raut wajahnya, juga tak ada yang melihat ilmu pedang apa yang digunakan semua orang hanya merasa ia ayunkan tangannya kebelakang diikuti serentetan hawa pedang, yang tajam telah menyampok rontok jarum-jarum beracun yang meluncur datang.

Dalam sekejap mata suasana dalam ruangan berubah kembali jadi sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun.

Orang orang yang ada dalam ruangan itu tidak sedikit yang berharap bisa melihat kelihayan dari ilmu silat majikan Lambang Naga Sakti, namun tak seorangpun yang dapat memenuhi harapan tersebut.

Kiranya, gerakan si orang berbaju hitam dalam putar badan melancarkan serangan di lakukan dengan kecepatan luar biasa sehingga sukar diikuti dengan pandangan mata.

Sekalipun Kwan Tiong Gak sendiri yang sudah membentangkan sepasang matanya lebar lebarpun tak berhasil menemukan sesuatu apapun.

Melihat kelihayan si orang berbaju hitam dalam membinasakan   Im   Yang   Siang   Sah   hanya  dengan

 sebuah jurus serangan belaka hati semua jago bertambah menghormat dan kagum lagi.

Terdengar si orang berbaju hitam itu berseru kembali dengan suara dingin,

“Kalian semua datang kemari karena berani memandang rendah lambang naga sakti. aku tahu walaupun dalam hati kalian tidak menaruh hormat pada lambang tersebut, tetapi kalian tahu melanggarnya bukan suatu perbuatan baik. Mengingat kalian baru melanggar untuk pertama kalinya kali ini aku suka membuka satu kesempatan hidup buat kalian meminjam mulut kamu semua aku ingin agar peristiwa yang terjadi ini hari bisa tersiar dalam dunia persilatan….”

Ia merendek sejenak, kemudian terusnya, “Sekarang kalian boleh pergi semua.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar