Lambang Naga Panji Naga Sakti Jilid 16

MENDADAK pengemis itu berpaling dan memandang wajah Jen Pek To tajam. “Saudara yang bernama Jen Pek To?”

“Sedikitpun tidak salah!” Jen Pek To mengangguk setelah tertegun beberapa saat.

Kembali sipengemis itu tertawa hambar.

 “Aku si pengemis merasa wegah dan malas untuk banyak bersilat lidah dengan diri mu, selamat tinggal.”

Mendadak ia melayang ketengah udara, sekali loncat badannya mencapai sejauh dua tombak lebih dan berkelebat pergi.

“Kawan, kau hendak pergi kemana?” Bentak Jen Pek To keras.

Sembari berseru iapun enjotkan badan melakukan pengejaran dari arah belakang.

Pengemis itu tertawa, mendadak ia putar badan mengirim sebuah pukulan.

Jen Pek To bura baru salurkan hawa murninya seraya ayunkan tangan menyambut datangnya serangan tersebut dengan keras lawan keras.

“Braaaak…..!” di tengah suara bentrokan keras, sepasang telapak saling beradu satu sama lainnya, meminjam tenaga dorongan yang di pancar keluar dari telapak tangan Jen Pek To itulah secara kilat badannya menerobos ketempat kegelapan dan melenyapkan diri.

Sabaliknya Jen Pek To sendiri dipukul getar oleh tangannya serangan pengemis tadi sehingga badannya mundur dua langkah ke-belakang.

“Jen heng tak perlu kau kejar lagi.” Terdengar scara hiruk pikuk bercampur dengan suara dengusan berat berkumandang datang dari tempat kegelapan, diantara suara tersebut bahkan terdengar pula suara jatuh nya senjata-senjata tajam keatas tanah.

“Suara apakah itu?” tanya Kwan Tiong Gak dengan sepasang alis berkerut.

 “Cayhe telsh menyebarkan jebakan-jebakan serta pertahanan di sekitar tempat ini, mungkin mereka sedang turun tangan menghadang perjalanannya…”

“Aaaai….” Kwaa Tiong Gak menghela napas panjang. “Jen heng, aku lihat urusan makin lama semakin merepotkan.”

Jon Pek To termenung berpikir sebentar. “Apakah pengemis itu berasal dari perkumpulan Kay Pang?” tanyanya kemudian.

“Tidak, tidak mirip orang Kay pang.”

“Kalau begitu, mari kita bicarakan soal ini didalam istana saja!”

Kwan Tiong Gak pun tidak banyak bicara lagi, ia segera melangkah masuk kedalam istana Jendral mengikuti dari belakang Jen Pek To.

Jen Pek To membawa Kwan Tiong Gak masuk kedalam sebuah ruangan yang kecil mungil disisi sebuah kebun luas, ia penuhi sendiri cawan tetamunya dengan air teh lalu berkata:

“Kwan heng mari minum secawan air teh terlebih dahulu, siauwte masih ada urusan yang hendak dibicarakan dengan dirimu.”

“Jen heng!” kata Kwan Tiong Gak sambil menerima cawan air teh tersebut. “Kalau urusan itu menyangkut soal urusan istana Jendral kalian, siauwte tidak ingin campur setelah makan malam nanti siauwte segera akan membawa orang berangkat ke Utara.”

Mendengar ucapan itu Jen Pek To menghela napas panjang.

 “Kwan heng siauwte sangat jarang berhubungan dengan orang orang dunia persilatan, kali ini karena terdesak oleh keadaan….”

Kwan Tiong Gak segera ulapkan tangannya memotong ucapan Jen Pek To yang belum selesai, ujarnya:

“Kau punya Tok Say sebagai tulang punggung, jikalau bukan keadaan yang terlalu memaksa aku rasa orang Bu Lim tak akan berani mengganggu dan cari gara gara dengaumu.”

Jen Pek To kembali termenung beberapa saat lamanya.

“Aaaai….bicara pulang pergi juga dikarenakan peta lukisan pengangon kambing itu.”

“Apa yang kuucapkan barusan hanyalah menurut pandangan siauwte pribadi, tiada halangan Jen-heng pertimbangkan lagi.”

Sekali lagi Jen Pek To menghela napas lanjang. “Sianw te setuju usul Kwan heng dan akan

kuterangkan kepada Tok say agar beliau suka menyerahkan peta pengangon kambing itu, tapi kami sangat berharap Kwan heng bisa berdiam dua hari lagi dikota Kay Hong hingga urusan ini dibuat beres.”

Seketika Kwan Tieng Gak kerutkan dahinya.

“Sudah dua tiga kali aku terangkan kepada Jen heng bahwasanya aku tidak ingin mencampuri urusan ini, bahkan setelah menghadiri perjamuan yang diselenggarakan Tok-say malam ini siauwte segera akan berangkat balik ke Utara.”

 “Kwan heng.” kata Jen Pek To kemudian setelah termenung sebentar, “Siauw tak ingin di karenakan selembar peta pengangon kambing mengakibatkan seluruh istana Jenderal jadi kacau balau. Tapi akupun sangat jarang berkelana di dalam dunia persilatan, maksud nya siauwte ingin meminjam nama baik Kwan heng didalam dunia persilatan untuk mengundang seluruh jago yang ada disekitar kota Kay Hong kemudian dihadapan mereka akan kubakar peta pengangon kambing tersebut agar di kemudian nari mereka tak usah mengacau istana Jendral lagi.”

“Jadi kau ingin memusnahkan peta pengangon kambing itu?” tanya Kwan Tiong Gak sambil mendehem.

“Lukisan rahasia itu sudah menimbulkan badai besar didalam dunia persilatan, kalau dibiarkan tetap ada di kolong langit aku takut hal tersebut bakal menimbulkan suatu drama berdarah yang lebih mengerikan lagi.”

“Apakah Tok Say bisa menyetujui usulmu itu?” tanya Kwan Tiong Gak setelah termenung sebentar.

“Soal ini biarlah siauwte yang pergi membicarakannya, asalkan Tok-say tak setuju Siauwtepun tak akan menahan diri Kwan-Heng lagi, semisalnya Tok say setuju, aku sangat mengharap Kwan heng suka memenuhi harapan kami ini, karena berbuat demikian bukan saja telah membantu siauwte bahkan telah melakukan saatu perbuatan baik juga bagi dunia persilatan.”

Kembali Kwan Tiong Gak termenung. berpikir beberapa saat lamanya, akhirnya ia mengangguk.

“Baiklah! Jikaiau Jen-heng bisa mendapatkan persetujuan dari Tok say, siauwte tentu akan berdiam dua hari lagi disini.”

 “Perkataan Kwan heng berat bagaikan batu karang, setelah kau mengucapkan kata-kata tersebut siauwte pun bisa berlega hati.”

“Semoga saja perkataan Jen heng bisa menimbulkan hasil dan melenyapkan pertikaian Bu lim.”

Di tengah pembicaraan tersebut mendadak muncul seorang lelaki berbaju hitam berjalan mendekati dengan langkah lebar, ia langsung mendekati Jen Pek To dan segera menjura.

“Tok say mengundang Jen ya menghadap diruang indah di beranda tengah….”

“E h m . … “

” Ehmm.. sudah tahu.” ia merandek dan bangun berdiri, lalu terusnya.

“Kwan heng. silahkan!”

Demikianlah mereka berdua dengan jalan beriringan menuju keberanda tengah.

Saat ini udara malam sangat bersih, berlaksa bintang memancarkan sinar yang redup, angin dingin berhembus membawa bau bunga yang harum menambahkan samerbak nya suasana.

Di tengah tumbuhan beraneka warna bunga berdirilah sebuah bangunan loteng yang indah dan megah, lampu lentera dipasang di empat penjura menerangi sekitar sana membuat seluruh loteng terang benderang bagti siang hari saja.

Lampu lilin menerangi pula seluruh ruangan loteng, secara lapat lapas dapat tampak segala benda yang berada dibalik jendela.

 Ketika Jen Pek To tiba diatas anak tangga berbatu, pintu pagoda mendadak terpentang. Segulung hawa hangat berhembus keluar dari ruangan.

Jen Pek To berpaling, kepada Kwan Tiong Gak ujarnya seraya menjura.

“Kwan heng, silahkan masuk kedalam pagoda hangat.”

Tidak sungkan sungkan lagi Kwan Tiong Gak melangkah masuk kedalam pagoda dengan langkah lebar.

Ketika ia alihkan sinar matanya ketengah ruangan tampaknya Sang Tok-say dengan memakai jubah berwarna hijau duduk disebuah kursi kebesaran warna merah darah di tangannya nenyekal sebuah hun cwee bertangkai perak, dibelakangnya berdirilah seorang bocah tampan berusia lima enam belas tahunan.

Buru buru Kwan Tiong Gak melangkah maju kedepan dan jatuhkan diri berlutut.

“Rakyat jelata Kwan Tiong Gak menemui Tok say cayjien!”

“Tak usah banyak adat” Siorang berjubah hijau itu ulapkan tangan, “tempat ini adalah ruangan khusus yang aku orang gunakan untuk berbicara dengan pakaian preman silahkan duduk”

“Terima kasih atas kemurahan hati Thay jien!” sahut Kwan Tong Gak kemudian sambil bangkit berdiri dan duduk disamping.

Tok say segera angkat tangan kirinya, sang bocah yang berada dibelakangnya menerima Hun cwee tersebut dan diletakkaa di atas sebuah rak kayu.

 Kemudian setelah mengulet sang pembesar berjubah hijau itu berkata.

“Selama dua hari ini Pek To selain mengungkap soal dirimu dan memuji kepandaian silatmu luar biasa jadi orang bijaksana dan mulia. Oleh karena itu sengaja Pun say (membasmi diri sendiri buat seorang pembesar mengundang kau kemari untuk makan malam tahun baru disamping bercakap cakap.”

“Rakyat Bu lim yang pandai dua tiga gerakan kembangan sebagai alat mencari hidup, mana berani menerima pujian setinggi langit dari Thay jien!”

Ketika itu Jan Pek To pun sudah masuk kedalam pagoda hangat, pengawal segera merapatkan pintu pagoda membuat ruangan tersebut terasa semakin hangat lagi.

Dengan meminjam Cahaya yang menerangi seluruh ruangan, Kwan Tiong Gak dapat melihat wajah sang Tok say dengan sangat jelas, ia temukan orang ini mempunyai rsut muka empat persegi dengan jenggot panjang terurai kebawah, walaupun wajahnya di hiasi dengan senyuman tetapi secara lapat-lapat memancarkan satu wibawa yang menggidikkan.

Jen Pek To langsung berjalan mendekati meja dan menjura penuh rasa hormat “Menemui Tok Siy Thayjin!”

Pembesar berjubah hijau itu tersenyum “Pek To, kau duduklah, malam ini kita berbicara sembari bersantap sama sekali tidak mempersoalkan urusan dinas, kau pun tak usah mamandang diri sebagai seorang Tok Say……!”

Ia berpaling kearah bocah yang ada di-belakangnya lalu sambungnya lebih lanjut:

 “Sampaikan perintah untuk sediakan arak dsn sayur tak perlu banyak tapi harus ysng mewah dan lezat, arakpun harus arak wangi yang sengaja didatangkan dari Keresidenan Ci Kiang.”

Bocah itu mangiakan dan segera mengundurkan diri.

Diempat buah sudut ruangan terletaklah empat buah tungku dengan api yang membara, disanping tungku tertumpang sebuah poci yang amat besar api berkobar sangat membara, air dalam poci mendidih bergulung gulung mendatangkan rasa hangat diseluruh ruangan.

Setelah mengambil duduk, Jen Pek To lantas berkata: “Kwan-heng watak Tok Say sangar tegas. Ia

membedakan soal pribadi dan dinas, dengan nyata, malam ini adalah perjamuan pribadi dari Tok Say dari Kwan-heng tak usah terikat oleh tata kesopanan lagi “

“Benar!” sambung pembesar berjubah hijau itu, “Malam ini adalah perjamuan pribadi diantara kita, harap Kwan Cong Piauw tauw bisa bersikap lebih bebas sehingga menambah kemesraan diantara kita.”

Setelah tertawa terbahak bahak, sambungnya:

” Walau aku seorang pembesar negeri, yang memerintah empat keresidenan, tapi aku amat senang berkenalan dengan kawan, kebanyakan orang mereka menaruh rasa jeri dan hormat kepadaku, tidak berani bicara secara bebas dan blak blakan, sebaliknya Kwan Cong Piauw tauw adalah seorang Bu lim Hoo-han, aku harap kau jangan terlalu terikat segala peraturan den adat istiadat!”

“Tok say terlalu merendah,” seru Kwan Tiong Gak sambil berdiri.

 Mendadak ia putar badan, pergelangan kanan diayun dan serentetan cahaya keemas emasan berkelebat keluar.

Perubahan yang terjadi secara tiba tiba ini membuat Jen Pek To jadi tertegun

“Kwan heng, apakah ada orang?” tanya nya agak keheranan.

Sebelum Kwan Tiong Gak memberi jawaban, mendadak terdengar suara genta berkumandang datang.

Agaknya Tok say thay jien masih bisa mempertahankan ketenangan, air mukanya sama sekali tidak menunjukkan perasaan kaget.

bahkan sewaktu mendengar suara bunyi bel tersebut ia malah tersenyum.

“Oooouw…..dari mana datangnya suara bel itu?” “Lapor Tok say, suara bel itu berasal dari senjata

rahasia bel emas hamba.”

“Jikalau diatas senjata rahasiamu kau pasang bel emas, kenapa sewaktu dilepaskan tadi sama sekali tidak terdengar sedikit suara pun.”

“Kwan heng,” timbrung Cen Pek To pula dari samping. “Tentang soal ini bukan saja Tok say tidak paham sekalipun siauwte sendiripun tidak mengerti, apakah disebabkan caramu melepaskan senjata rahasia terlalu cepat maka pertama kelihatan dulu cahaya piauw kemudian baru mendengar suaranya.”

Kwan Tiong Gak tidak langsung menjawab pertanyaan dari kedua orang itu, setelah pasang telinga mendengarkan sebentar katanya:

“Aaakh…….ia berhasil melarikan diri.”

 Tok say thay jien saling berpandangan sekejap dengan Jen Pek To, lalu hampir berbareng tanyanya:

“Apa yang melarikan diri?” “Pembunuh gelap!”

“Pembunuh gelap,” seru Tok say thay-jien tertegun. “Penjagaan sekitar istana sangat ketat sangat rapat, secara bagaimana pembunuh gelap itu bisa menyelundup masuk,”

“Senjata rahasia kim leng piauw dari Sisuw beng adalah sebuah senjata rahasia yang sangat istimewa, setelah senjata rahasia tersebut dilepaskan dengan andalkan suara bel bisa diambil kesimpulan senjata tersebut berhasil mengenai sasarannya atau tidak”

“Akh. . , . .ternyata ada urusan seperti ini, menurut anggapanmu sambitan senjata rahasiamu tadi berhasil mengenai sasaran atau tidak.”

“Sekalipun berhasil mengenai sasaran, tapi luka yang diderita bukan suatu luka yang terlalu parah, ia telah melarikan diri dengan membawa luka …,!”

Tok-Say Thayjin mengelus jenggotnya dan tertawa tergelak.

“Beberapa patah perkataanmu itu apakah bisa dibuktikan T”

“Setiap sasaran yang terhajar oleh Piaw emas Siauw heng pasti akan mengucurkan darah, karena itu tentu akan ditemui noda darah disekelilingi tempat dimana ia terkena sambitan tadi.”

“Bisakah pun say meninjau kesana?”

“Diluar ruangan angin dingin berhembus bagaikan sayatan  pisau, lebih baik Tok  Say  jangan  pergi  sendiri

 biarlah siauw beng serta jen-heng pergi meninjaunya kemudian baru jen heng yang memberi laporan.”

“tidak lebih baik aku pergi sendiri untuk menambah pengetahuan.” kata Tok Say tay jien sambil bangun berdiri.

Tidak menanti jawaban lagi ia segera melangkah keluar.

Jen Pek To segera melepaskan sebuah jubah luar terbuat dari bulu binatang dikena kan diatas pundak Tok Say.

Dua orang lelaki berbaju hitam yang berjaga dibelakang pintupun masing membawa sebuah lentera berjalan dipaling depan.

Mengandalkan ingatan sewaktu senjata rahasia bel emasnya berbunyi Kwan Tiong Gak membawa beberapa orang itu menuju ke bawah sebuah pohon besar.

Pada waktu itu dedaunan sudah pada rontok dan tinggi ranting ranting gundul yang kering dan layu.

Pengawal berbaju hitam segera mengangkat lentera keatas Tok Say Thay jien mendongak dan memperhatikan sekejap pohon yang gundul itu lalu ujarnya ;

“Sedikitpun tidak Salah, diataS ranting pohon banyak terdapat noda salju, hal ini membuktikan kalau diatas pohon pernah di gunakan orang sebagai tempat persembunyian bahkan arahpun tepat searah dengan pagoda hangat.”

“Harap Tok say memeriksa , “

“!Tapi bukti ini belum bisa membuktikan kalau ia benar benar   terkena   sambitsn   senjata   rahasia   Kiem Leng

 Piauw mu,” kata Tok say kemudian sambil berpaling dan tertawa

“Silahkan Tak say memeriksa permukaan tanah.”

Dua orang lelaki berbaju hitam yang membawa lentera itu sessra menurunkan lenteranya kebawah.

Ketika semua Orarg mengalihkan sinar matanya maka terlihatlah diatas permukaan salju yang putih bersih ternoda oleh beberapa titik hitam.

Tak say menunjuk dan memeriksa titik-titik hitam ini beberapa saat lamanya, kemudian ia mengangguk.

“Sedikitpun tidak salah, titik hitam ini adalah noda daish, hanya saja telah membeku”

Ia mendongak berpaling sekejap, terusnya: “Disekeliiing istanaku Ini dibangun tembok-tembok

yang tinggi serta penjagaan yang ketat, kenapa mereka bisa pergi datang seenak nya tanpa diketahui penjaga penjagaku, cukup andalkan kepandaian silat ini sudah amat luar biasa„”

“Berjalan diatas atap melewati tembok pekarangan hanya merupakan suatu kepandaian kecil, tak bisa dipuji sebagai suatu kepandaiaa yang maha dahsyat.”

Malam senakin kelam dan hawa semakin dingin, “ada perkataan mari kita bicarakan didalam pagoda saja ” timbrung Jen Pek To secara tiba tiba.

Mendengar nasehat itu Tok Say tersenyum.

“Pek To, kau tak usah merasa kuatir buat diriku, selama beberapa tahun ini badanku masih kuat dan sehat, hanya sedikit hawa dingin sih aku masih sanggup menahannya.”

 Sinar mata kembali dialihkan kearah wajah Kwan Tiong Gak, sambungnya lebih jauh,.

“Pek To sering membicarakan sampat di manakah kehebatan ilmu silatmu, teras terang, saja kukatakan bahwa dalam hati aku masih tidak percaya, barusan kau telati pamerkan serangkaian kepandaian yang sangat luar biasa, kini aku ingin bertanya beber&pa persoalan kepadamu, entah boleh tidak?”

Buru-buru Kwan Tiong Gak menjura: “Silahkan Tok Say ajakan pertanyaan asal Siauw heng tahu tentu akan kujawab.”

“Coba katakan menurut pendapatmu selelah orang ini terkena senjata rahasia Kiem Ling Piauw mu. Ia melarikan diri kearah sebelah mana?”

Kwan Tiong Gak memperhatikan sekejap keempat penjuru, kemudian jawabnya:

“Ssharusnya ia lari menuju ke arah Timur hanya saja luka yang ia derita tidak terlalu parah mungkin saat ini sudah jauh melarikan diri, untuk dikejarpun percuma.”

“Bukan…….. aku sana sekali tidak tiada berminat untuk mengejar dirinya,” bura buru Tok say menerangkan.

Setelah merandek sejenak, serunya: “Ayoh jalan kita minum arak di dalam pagoda hangat.”

Tidak menanti jawaban ia segera berjalan lebih dahulu kembali kedalam ruangan.

Kwan Tiong Gak mengikuti dari belakangnya, sambil berjalan otaknya, berputar kencang, pikirnya ;

“Jen Pek To memiliki Serangkaian ilmu silat yang lihay tapi ia rela mengikuti kaum pembesar, saat ini aku masih

 merasa bahwa Tok say thayjien ini benar benar lain dan pada yang lain.”

Selagi ia masih berpikir, mereka telah tiba kembali didalam ruangan pagoda hangat.

Dua orang lelaki berbaju hitam itu meletakkan kembali lenteranya ketempat semula dan menutup pintu.

Waktu itu perjamuan telah dipersiapkan dalam ruangan, delapan macam sayur lezat serta satu guci araK wangi.

Tok say segera merebut poci arak dan memenuhi cawan Kwan Tiong Gak serta Jen Pek To, lalu sambil tertawa ujarnya:

“Aku adalah tuan rumah, mari aku hormati kalian dengan secawan arak.”

Kwan Tiong Gak serta Jen Pek To masing masing menghabiskan secawan arak.

Setelah meletakkan secawan araknya ke atas meja, sambil tertawa Tok lay berkata:

“Kwan Cong Piauw tauw, dengan Pek to bercerita kalian orang orang kangonw mempunyai satu peraturan Bu lim yang tak tercantum mengatakan bahwa orang Bu lim tidak diperkenankan mengadakan hubungan dengan kaum pembesar negeri, apakah betul ada kejadian semacam ini?”

“Aaaai… ! sedikitpan tidak salah, peraturan tersebut

kebanyakan merupakan pesan wanti wanti dari para cianpwee terdahulu dari perguruan serta partai dalam Bu lim dan lama sekali tiada peraturan yang tercantum diatas kertas, oleh karena itu secara resminya peraturan ini tidak terlalu mengikat… ”

 “Ehhhmm……..! apakah dibalik hal tersebut masih tersembunyi sebab tertentu?”

“Mungkin…, oleh karena itu aku harus mengumpulkan tenaga yang ada untuk sedia payung sebelum hurian…..”

Ia meluruskan tangannya, setelah merandek sebentar terusnya:

“Walaupun aku punya maksud berbuat demikian tapi sku mengerti kekuatanku tak bisa memenuhi harapan tersebut, karena untuk berjaga jaga membutuhkan banyak bantuan dari kaum patriot serta pendekar sejati, oleh sebab itu sering sekali aku membicarakan soal Bu Lim dengan diri Pek To dan berharap para patriot serta pendekar sejati Bu Lim suka melenyapkan peraturan yang menjauhksn hubungan antara pemerintahan dengan kaum orang gagah serta suka membantu cita citaku ini.”

Mendengar uraian tersebut, sepasang mata Kwan Tiong Gak berkilat.

“Sie Tok Say ada maksud melindungi negara dan rakyat, hamba merasa sangat kagum.”

Berbicara sampai disitu mendadak ia membungkam. Sie Si Cong tertawa hambar, ujarnya kembali: “Semisalnya saja seorang jago berkepandaian tinggi

macam Kwan Cong Piauw-tauw,asalkan kau suka membantu diriku untuk melenyapkan kelaliman, dan mempertahankan kejujuran dalam pemerintahan maupun rakyat, maka dunia tentu akan aman.”

Buru buru Kwan Tiong Gak bangun berdiri menjura. “Dapat memperoleh perhatian dari Tok Say Thayjien,

aku  orang  she  Kwan  merasa  sangat  berterima  kasih,

 hanya aaja aku orang she Kwan mempunyai kesusahanku sendiri yang tak bisa diceritakan sehingga sulit bagi ku untuk membantu Tok Say mencapai cita-cita tersebut”

“Manusia punya pendapat sendiri. Pun Say akan memaksa Kwan heng untuk menerima usulku ini. Mari kita minum secawan lagi.” Sie Tok Say sambil angkat cawannya, Dengan kedudukannya sebagai seorang pembesar tinggi yang memerintah empat keresidenan, ternyata ia sudi memanggil seorang Piauw tauw dengan sebutan saudara, seketika membuat Kwan Tiong Gak jadi terkejut.

Setelah termangu mangu beberapa saat serunya.

“Tok say terlalu menyanjung diriku, Siauw beng tiada berkepandaian apa apa, tidak berani membasmi saudara dengan diri Tok say.”

Melihat keadaan tersebut Sie Si Cong tertawa.

“Tadi sudah kukatakan bahwa perjamuan malam ini adalah pembicaraan pribadi tak terlalu mengindahkan soal sebutan maupun kedudukan”

“Tok say begitu menaruh perhatian, siauw beng akan turut perintah.” Sekali teguk ia menghabiskan isi cawannya.

Ucapan Sie Si Cong ternyata dipegang teguh, setelah berjanji tidak akan membicarakan lagi tentang permintaannya agar Kwan Tiong Gak berbakti pada pemerintah, ia benar benar tidak mengungkapnya kembali.

Ditengah pembicaraan sembari minum arak tanpa terasa satu poci araK wangi sudah dibikin ludes.

 Walaupun Sie Tok say belum sampai di bikin mabok, tapi saat ini ia telah membawa beberapa bagian mabok, kepada sang kacung buru buru serunya.

“Cepat pergi dan ambilkan arak pemberian Kaisar “Giok Ih Pek Hoa Siang” malam ini sebelum mabuk kita jangan berhenti “

Mendengar disebutkannya arak tersebut Kwan Tiong Gak terperanjat.

“Thayjian harap tunggu sebentar, dengarkan dulu sepatah kata siauw Beng, arak sudah cakup buat kami”

“Haaaa . . . . haa Kwan heng, kau sama sekali belum terpengaruh oleh air kata kata mana boleh berhenti ditengah jalan.”

“Terhadap soal arak Siauw heng hanya mengerti sedikit saja apalagi arak yang barusan kita minum adalah arak yang berusia seratus tahun keatas, kalau kita melanjutkan minum arak bukan saja Tok say segera akan mabok bahkan siauwheng serta Jen heng pun tak akan tahan dan segera akan roboh. Apa lagi pemberian kaisar mana boleh digunakan untuk menjamu rakyat kecil macam kami.”

Sie Si Cong tertawa.

“Budi Kaisar berlimpah limpah, kalian berdua harus minum secawan seorang agar bisa pula memiliki hati untuk menjaga negeri dan rakyat. Ambil Arak.”

Kwan Tiong Gak serta Jen Pek To hanya bisa saling berpandangan sekejap lalu membungkam diri.

Sekali lagi kacung buku itu menjura kemudian mengundurkan diri dari dalam ruangan.

 Beberapa saat kemudian ia muncul kembali dengan membawa seorang pembesar dengan berpakaian dinas.

Pembesar negeri ini menggotong sebuah nampan terbuat dari batu kumala putih, di atas nampan tersusun selapis kain berwarna Kuning, dan diatas kain kuning itu terdapat sebuah guci berwarna putih.

Sie Si Cong segera bangun berdiri, katanya“Walaupun kita sedang melakukan perjamuan pribadi,

tapi memberi hormat kepada Yang mulia tak boleh dilupakan.”

Ia segera bangun berdiri dan menjura kearah guci arak tersebut.

Karena melihat Tok-say thayjien telah memberi hormat, terpaksa Kwan Tiong Gak Serta Jen Pek To pun ikut memberi hormat.

Walaupun ditengah malam buta, pembesar itu memakai pakaian dinas lengkap dengan topi kebesaran, sepasang tangannya yang membawa nampan diangkat tinggi tinggi keatas.

Menanti ketiga orang itu sudah selesai memberi hormat, ia meletakkan nampan kumala tadi keatas meja dan mengundurkan diri dari dalam ruangan tersebut.

Lambat-lambat Sie Si Cong berjalan mendekati meja, membuka kain penutup guci, melepaskan tanda segel dan membuka penutupnya segulung bau harum segera tersiar menusuk hidung.

Walaupun Kwan Tiong Gak bukan seorang jago minum arak, tapi setelah tercium bau harum yang sangat menusuk hidung itu tak terasa lagi ia berseru memuji.

“Ooouw…… arak bagus! Arak bagus!”

 Mendengar pujian itu Sie Si Cong tersenyum.

“Menurut berita yang kudengar arak ini sudah disimpan selama tiga ratus tahun lama nya didalam gudang timbunan alang-alang di kota Mo Thay, akhirnya atas perintah Jendral penguasa daerah tersebut arak ini di kirim ke ibu kota dan dipersembahkan kepada yang mulia sebanyak tiga guci, salahkan kalian berdua ikut mencicipi bagaimanakah rasanya arak ini.

“Tidak usah kami cicipi, cukup mencium bau harum yang tersiar keluar dari guci pun sudah cukup membuktikan apabila arak ini adalah arak bagus yang kenamaan,” kata Kwan Tiong Gak.

Si kacung bocah tadi dengan langkah lebar segera berjalan mendekat, memenuhi sebuah poci arak dan menyegel kembali guci tersebut.

Ketiga orang itu duduk kembali ketempatnya semula dan mulai merasakan nikmatnya araK wangi ini.

Bau arak yang harum merangsang gairah orang untuk mencicipinya, tanpa terasa mereka bertiga sudah meneguk air kata kata melebihi takaran masing-masing.

Selama Kwan Tiong Gak melakukan perjalanan baik menuju keselatan maupun berada di Utara dan Seantero dunia boleh dikata Ia sudah mencicipi beraneka ragam arak wangi, tapi menjumpai arak sewangi ini boleh dikata baru untuk pertama kalinya.

Setelah meneguk beberapa cawan, Sambil menghela napas ujarnya:

“Sebelum menjumpai Tok say thayjien cayhe sana sekali tidak menyangka apabila Tok say sebenarnya adalah seorang pembesar yang begitu memperhatikan negara dan rakyat.”

 “Kwan-heng terlalu memuji…..”

Setelah menghela napas panjang, sambungnya Si Sie Cong lebih lanjut,

“Semoga saja Kwan heng suka membantu diriku agar aku bisa mententramkan hati rakyat empat keresidenan, mendapat berkah dari Kaisar dan memenuhi cita cita leluhurku.”

Kwan Tiong Gak termenung berpikir sebentar, kemudian ujarnya:

“Baru pertamakah Tok-say thayjien menJumpai aku orang she Kwan, ternyata perhatianmu terhadap diri siauw heng sudah begitu tebal, hal ini membuat aku orang she Kwan merasa sangat berterima kasih sekali tapi siauw heng sudah banyak tahun makan nasi dari kalangan kangouw, sebenarnya rada susah bagiku untuk berbakti dengan seorang pembesar negeri. Kendati begitu semisalnya dari Tok-say pribadi ada urusan atau perintah, perduli menerjang lautan api atau naik kegunung golok, aku orang she Kwan pasti tak akan menampik.”

Sie Si Cong mendongak tertawa terbahak bahak sehabis mendengar ucapan tersebut ta tanya:

“Setelah ada janjimu semacam ini maka setiap kali  aku melepaskan kedudukanku sebagai pembesar kita boleh dihitung sebagai sahabat karib.”

Mendadak Kwan Tiong Gak bangun berdiri, cawan arak yang berada di tangan kanan nya dengan berisi arak penuh secara tiba tiba di sambit keluar jendela.

“Siapa!?” bentaknya keras.

Bersamaan dengan sambitan cawan arak itu, dari luar jendela terdengar suara tawa tergelak dari seorang.

 “Haa haa liaaa terima kasih atas hadiah arak dari Kwan Cong piauw tauw. Ooouw…… sungguh arak bagus! Sungguh arak bagus….! “

Di tengah suara bentrokan keras, kedua belah pintu kayu dari pagoda hangat itu tahu tahu terpentang lebar oleh tenaga pukulan ssseorang.

Dengan cepat Jen Pek To meloncat bangun dan berdiri di hadapan Sie Si Cong dengan maksud melindungi keselamatan majikannya, sepasang telapak disilangkan didepakkan kepintu, tampaklah seorang pengemis di-dada melakukan persiapan.

Sebaliknya buat Sie Si Cong sendiri ternyata masih bisa bersabar, dengan suara rendah ujarnya:

“Jen Pek To, menyingkirlah sedikit keselamatanku, kalian orang-orang Bu lim hanya ingin membunuh kaum pembesar yang lalim, soal ini aku tak merasa takut karena aku percaya belum pernah menyeleweng dari tugas, apa lagi ada Kwan Tiong Gak tahu-tahu ada disini. Rasanya ia tidak akan berhasil melukai diriku.”

“Ucapan Thayjien sadikitpun tak salah.” Jen Pek To mengangguk.

Perlahan lahan ia mengundurkan diri ke samping, walaupun kelihatannya tidak bersiap sedia, padahal secara diam-diam ia terus mengawasi keadaan di sekeliling tempat itu.

Menanti sinar mata semua orang dialihkan kepintu,tampaklah seorang pengemis cilik yang berpakaian dekil, dengan rambut awut awutan serta wajah penuh berminyak telah munculkan diri disana.

Terdengar Kwan Tiong Gak tertawa dingin tiada hentinya.

 “Heeeheehee….kiranya Thian Liong atau si Naga Langit Pouw Cing dari Kay Pang, tidak aneh kalau ilmu meringankan tubuh yang kau miliki amat sempurna.”

“Kwan Cong Piauw tauw terlalu memuji.”

Dengan tangan sabelah mencekal cawan arak, sambungnya lebih lanjut:

” Cawan arak ini kukembalikan kepada si pemiliknya tanpa menderia cidera apapun, hanya saja arak yang ada didalam cawan telah aku, si pengemis cilik minum sedikit”

Tangan kanannya diangkat, secepat kilat cawan arak itu melayang kembali kearah Kwan Tiong Gak.

Sang Cong Piauw tauw dari perusahaan Ekspedisi Hauw Wie Piauw kiok dengan sebat ayunkan tangan kanannya kemudiam lambat lambat diletakkan kembali keatas meja ujarnya kembali”

“Menurut apa yang cayhe ketahui, orang orang dari pihak Kay-pang sangat jarang ada yang suka menyelundup masuk kedalam rumah tinggal lain. aku rasa kedatangan saudara ditengah malam buta kali ini tentu mempunyai alasan alasan tertentu.”

“Kwan Cong Piauw tauw,” seru sinaga langit Pouw Cing sambil tertawa hambar.

“Agaknya kau sangat hapal terhatap peraturan dari perkumpulan Kay Panga kami”

“Pangcu dari perkumpulan kalian mempunyai jodoh beberapa kali berjumpa dengan aku orang she Kwan, walaupun diantara masing-masing pihak tidak bisa dikatakan mampunyai hubungan persahabatan erat, tapi kami bisa saling mencocoki satu sama lain.”

 “Sungguh sayang, kali ini Pangcu kami tidka berada dikota Kay Pang”

“Aku orang she Kwan hanya menerangkan hubunganku dengan Pangcu kalian dan sama sekali tidak ada maksud meminjam kekuatan Pangcu kalian untuk menekan diri saudara,” tukas Kwan Tiong Gak cepat.

“Kalau Kwan Cong Piauw tauw tidak mempunyai niat demikian, hal itu semakin bagus lagi. dengan demikian aku si pengemis cilik pun bisa berbicara secara bebas.”

“Jikalau kedatanganmu adalah bermaksud ada urusan dengan aku, orang she Kwan maka aku berharap kita bisa bicarakan persoalan ini diluaran saja, tempat ini adalah rumah pribadi Tok say Thayjien, kita tak boleh menggunakannya sebagai tempat pembicaraan.”

“Walaupun urusan ini ada hubungannya dengan kau Kwan Cong Piauw tauw, tujuan ku yang terutama sudah bukan kau lagi melainkan si Tok say Thayjien ini.”

“Cuang su! seru Sie Si Cong kemudian, “Apabila pendekar bermaksud mencari diri Pun say, bagaimana kalau kita bicarakan soal ini sambil duduk.”

Bicara sampai disitu ia lantas berpaling Kearah sang kacung yang berdiri disisinya.

“Coba sediakan seperangkat sumpit serta Seawan buat pendekar ini.”

Pouw Ceng termenung sebentar, kemudian ujarnya: “Sewaktu  aku  si  pengemis  cilik  menemukan  Kwan

Cong Piauw-tauw pun berada disini, aku tahu kedatanganku malam ini hanya sia sia belaka dan seharusnya aku segera angkat kaki, tapi bau arak dari Thayjien terlalu merangsang gairahku untuk tetap tinggal

 disini. inilah akibat buruk yang langsung kuterima dari si pengemis tua, sewaktu aku si pengemis cilik sering berkelana dengan dirinya…….gemar minum arak tak bisa dihindari lagi.”

“Pemberian Kaisar tentu ssja bukan benda yang sembarangan,” Sela Sie Si Cong dari samping “Dalam guci masih terdapat banyak arak, kalau Cuang su memang suka minum, kenapa tidak secara terbuka mencicipinya?? ada urusan kita bicarakan setelah minum arak.”

Pada mulanya sinaga langit Pouw Cing agak tertegun, akhirnya ia menghela napas panjang.

“Aaaai……,kiranya kau adalah seorang pembesar bijaksana.”

“Kalau kau sudah paham, hal ini jauh lebih bagus lagi,” sambung Kwan Tiong Gak dingin.

Si naga langit Pouw Cing berpaling memandang sekejap kearah orang she Kwan itu lalu tertawa.

“Kwan Cong piauw tauw, agaknya kau menaruh rasa tidak senang terhadap aku si pengemis cilik?”

“Aku Orang she Kwan hanya merasa heran orang orang Kay Pang pada umumnya mengutamakan kejujuran, kebijaksanaan serta memegang teguh tata kesopanan, tidak di sangka kau berani menyelundup masuk kedalam rumah kediaman seseorang, apa maksudmu aku harap kau suka memberi jawaban.”

” Kelihatannya kalau aku si pengemis cilik tidak menerangkan maksud kedatanganku maka malam ini Kwan Cong Piauw tauw tak akan membiarkan aku si pengemis cilik meninggalkan tempat dalam keadaan selamat.”

 “Asal kau memberi alasan yang tepat dan tidak terlalu dibuat buat,tentu saja aku tak akan menyusahkan dirimu, tapi kalau kau tidak berhasil memberikan alasan yang tepat, maka aku berharap kau suka meninggalkan

,semacam barang, dikemudian hari aku akan minta pertanggungan jawaban dari Pangcu kalian.”

“Aaaa.,.. haaa…aku lihat agaknya Kwan Cong Tiauw telah menjadi pengawal pribadi dari Tok Say Thayjien ini.”

Air muka Kwan Tiong Gak kontan berubah hebat, ujarnya dengan nada dingin dan serius:

“Aku orang she Kwan paling tidak suka berbicara dan bergurau dengan orang lain, Aku harap kau sipengemis cilik bisa bicara sedikit tahu keadaan.”

Pada dasarnya ia memiliki wajah yang menyeramkan, ditambah lagi saat membawa beberapa bagian hawa gusar, wajahnya makin angker dan menggidikkan hati.

“Baik…. baiklah.” seru Pouw Cing kemudian setelah mendehem beberapa kali. “Biarlah aku si pengemis cilik terangkan keadaan sebenarnya……”

Ia merandek sejenak, lalu sambungnya

“Diantara barang kawalan perusahaan saudara kali ini ada terdapat sebuah lukisan pengangon kambing.”

“Sedikitpun tidak salah, memang ada sebuah lukisan pengangon kambing.” tukas Kwan Tiong Gak cepat. “Tidak kusangka pihak Kay Pang ternyata punya maksud untuk memilikinya.”

“Kwan Cong Piauw tauw! aku mengharap diantara perkataanmu janganlah membawa kata kata menyakiti pangcu kami, aku si pengemis cilik bisa sabar terhadap sindiran serta ejekan kau Kwan Cong Piauw tauw, kalau

 kau berani menghina seluruh perkumpulan Kay Pang kami atau Pangcu kami. sampai waktu itu kau jangan menyalahkan aku si pengemis cilik akan berlaku kurang sopan dan membuat dosa terhadap kau Kwan Tiong Piauw tauw.”

“Heee….. heee…. teruskan!” seru Kwan Tiong Gak tertawa dingin.

“Perbuatanku menyelundup masuk, ke dalam rumah kediaman Tok say thayjien malam ini adalah muncul dari niat aku sipengemis cilik sendiri, sama sekali tiada hubungannya dengan pangcu kami serta seluruh perkumpalan Kay Pang. Hanya saja kaupun harus tahu, kedatangan aku sipengemis cilik malam malam kemeri sama sekali bukan bertujuan untuk mencari atau mendapatkan peta pengangon kambing itu.”

“Kalau begitu coba kau terangkan apa maksud kedatanganmu malam-malam begini?”

“Ada Suatu persoalan mungkin Kwan Cong Piauw tauw masih belum tahu, berita tentang diserahkannya kembali peta pengangon kambing ketangan pihak Toksay telah tersiar diseluruh kota Kay Hong. kecuali aku sipengemis cilik, sudah banyak orang yang mempersiapkan diri akan menyelundup masuk kedalam istana pada malam ini….”

Sinar matanya menyapu sekejap kearah Jen Pek To, lalu terusnya kembali:

“Aku sipengemis cilik merasa tidak percaya apa bila orang orang didalam istana Tok say bisa melindungi keselamatan peta pengangon kambing itu, juga peta pengangon kambing itu tak boleh sampai terjatuh ketangan orang lain. maka dari itu aku si pengemis cilik menyelundup  masuk  kedalam  istana  Tok  say  dengan

 harapan semisalnya peta pengangon kambing itu sampai terjatuh ketangan orang jahat, maka aku si pengemis cilik akan turun tangan menghadang perjalanan mereka.”

“Ehhmm…..aku orang she Kwan percaya apa yang kau ucapkan adalah kata-kata sejujurnya.” Kwan Tiong Gak mengangguk.

“Apa yang aku sipengemis cilik katakan adalah katakata yang sejujurnya, Kwan Cong Piauw tauw mau percaya hal itu tentu saja jauh lebih bagus, kalau tidak percaya akupun tak bisa berbuat apa apa.”

Sie Si Cong tersenyum.

“Kalau begitu, agaknya Cu wi tidak memandang sebelah matapun terhadap penjagaan ketat yang diatur disekitar istana Tok say ini, dan kalian anggap seolah olah lapangan tanpa manusia saja.” serunya.

“Kalau ditinjau dari penjagaannya memang boleh dikata amat ketat, bagi Busu-busu kangouw kelas satu memang sulit untuk menembusinya.” kata Pouw Cing sambil tertawa. “Tapi bagi jago jago kangouw kelas wahid, langkah caturmu ini salah besar.”

“Asaai…. sebelum kejadian malam ini Pun say sama sekali tidak tahu kalau dalam dunia persilatan sebetulnya banyak terdapat Jago jago yang memiliki kepandaian silat-silat luar bissa…”

Ia lantas berpaling kearah sikacung buku yang berada disisinya.

“Penuhi cawan tamu dengan arak!”

Dengan cepat kacung itu mengiakan dan memenuhi cawan Pouw Cing dengan araK wangi.

 Agaknya Pouw Cing tidak ganti lagi, dengan cepat ia angkat cawan sendiri dan meneguk isinya hingga ludes.

Melihat kerakusan sang pengemis, Sie Si Bong tersenyum.

“Cuwi silahkan ambil duduk, mari kita kongkouw sambil minum arak…….”

Kwan Tiong Gak. Jen Pek To serta Pouw Cing sama sama menurut dan ambil tempat duduk, sedang kacung tadipun segera memenuhi kembali cawan Pauw Cing dengan arak.

Berturut turut Pouw Cing menghabiskan tiga cawan arak, kemudian sambil menguap mulutnya ia berkata:

“Aku sipengemis cilik telah mengikuti pengemis tua berkelana hampir meliputi seluruh daerah utara maupun selatan, arak wangi yang kucicipi sudah tiada terhingga banyaknya, tapi menjumpai arak sewangi ini baru untuk pertama kalinya.”

“Dalam guci masih terdapat banyak persediaan arak, Pouw Cuangcu silahkan menikmati arak sampai puas.”

Bicara sampai disitu sinar matanya segera dialihkan keatas wajah Jen Pek To dan terusnya.

“Pek To, sebenarnya pusaka apakah peta pengangon kambing itu, kenapa begitu banyak jago jago kangonw yang mengincar dan ingin mendapatkannya?”

Nada ucapannya amat sungkan dan ia sama sekali tidak mengurangi rasa hormatnya terhadap jago jago Bu lim.

Mendapat pertanyaan tersebut Jen Pek To menghela napas panjang.

 “Lapor Tok say rahasia apa sebenarnya yang terkandung didalam peta pengangon kambing teriebut hamba kurang mengerti tapi menurut dugaan hamba sendiri agaknya rahasia itu ada hubungannya dengan suatu ilmu silat yang amat lihay dan dahsyat serta sejumlah harta karun…..”

“Aaaaaii. . . . Ada kejadian seperti ini.” lekas Sie Si Cong berseru tertahan. “Harta karun apakah yang dimaksukan!? “

“Soal ini hamba kurang tahu, apakah rahasia itu besar menunjukkan sejumlah harta karun, hamba tak berani ambil kesimpulan dan memastikannya!”

“Sekarang, peta pengangon kambing itu berada ditangan siapa?”

“Disimpan dalam saku hamba.” “Keluarkan dan mari kita teliti bersama”

Jen pok To msngiakan dan dari dalam sakunya ia ambil keluar peta pengangon kambing tersebut.

Sie Si Cong segera membentangkan peta pengangon kambing itu diatas meja, ujarnya sambil tertawa.

“Kwan-neng, Pouw Can su, mari kita bersama sama menelitinya, bilamana Pun say merasa tidak paham harap kalian bardua suka memberi petunjuk-petunjuk.”

“Aaaakh! Tok say terlalu merendahkan diri. aku sipengemis cilik tidak berani menerimanya.” kata Pouw Cing cepat.

Walaupun diluaran ia bicara demikian sang badan tanpa terasa sudah bangun beridri dan berjalan ke sisi pembesar itu untuk ikut meneliti.

 Sie Si Cong segera alihkan sinar matanya keatas meja tersebut, tampak olehnya lukisan dari berbagai macam kambing yang tersebar dimana mana, sikap maupun gaya setiap kambing tersebut berbeda satu sama lainnya.

Kecuali ia merasa bahwa gaya lukisa pelukis tak bernama ini sangat hidup, tak ada keistimewaan lain yang berhasl ia temukan.

Sebaliknya kwan Tiong Gak yang memandang kearah lukisan itu agak terpesona dibuatnya. wajahnya menunjukkan sikap keren penuh wibawa.

Lain halnya dengan si Naga Langit Pouw Cing, sepasang alisnya berkerut kencang agaknya ia tidak begitu paham terhadap apa yang dilihatnya didepan  mata saat ini.

Akhirnya Sie Si Cong mendehm ringan.

“Pok to!” Serunya. “Aku sama sekali tidak menemukan titik titik rahasia istimewa, coba kau katakan tanda tanda mana yang menunjukkan ilmu silat dan tanda tanda mana yang menunjukkan harta karun?”

“Thayjien silahkan mulai meneliti dari kambing paling atas dan terutama lalu perlahan lahan menelitinya kebawah, perhatikan sikap serta gerak gerik lukisan tersebut.”

Sie si cong menurut dah ia meneliti kembali dari atas hingga kebawah, tapi yang ditemukan olehnya hanya terbatas pada lukisan yang hidup dari kawanan kambing tersebut serta sikap yang berbeda dari tiap ekor kambing yang dilukis, kecuali itu tak ditemukan kembali titik titik keanehan yang menunjukkan letak disimpannya sejumlah harta karun.

 Setelah memandangnnya sesaat belum juga berhasil menemukan sesuatu apapun, ia lantas menggulung kembali peta tersebut, katanya:

“Sewaktu aku mengejar balik peta pengangon kambing ini, sama sekali tak kuketahui bahwasanya diatas peta lukisan ini sebenarnya tersimpan rahasia letak sejumlah harta karun…….”

“Lukisan ini sebetulnya hak milik Liauw Tayjien, seharusnya dialah yang menyimpannya.” tukas Kwan Tiong Gak

“Jikalau di atas peta pengangon kambing itu benar benar menunjukkan suatu tempat disimpannya sejumlah harta karun yang terdiri dari emas, intan serta sebangsanya. Kendati dalam istanaku ini tak berani diletakkan menumpuK setinggi gunung, tapi bendabenda itu bukan termasuk benda yang aneh, maka dari itu, Pun sai menyimpan peta lukisan ini lagi.

Si Naga Langit Pouw Tian yang mendengar ucapan itu jadi tertegun.

“Jadi Tok say hendak menghadiahkan peta lukisan ini kepada orang lain?”

“Untuk dihadiahkan kepada orang sih pasti akan kuberikan, hanya saja peta lukisan ini bukan milikku, karenanya dihadiahkann kepada orang, bukan seharusnya muncul dari mulutku.”

“Peta lukisan ini agaknya mempunyai hubungan serta sangkut paut dengan orang orang Bu lim” Kata Kwan Tiong Gak memberi pendapatnya. “Kalau Thayjien menyimpan peta lukisan tersebut hanya akan mendapatkan  banyak  kerepotan  saja,  menurut  siauw

 heng, lebih baik diserahkan kepada orang lain saja sehingga bisa mengurangi banyak kerepotan.”

“Lalu menurut pendapat Kwan heng, peta lukisan ini harus diserahkan kepada siapa?” tanya Sie Si Cong sambil tertawa.

“Soal ini sih susah untuk dikatakan, paling sedikit Thayjien harus merasa bahwa orang yang diserahi peta lukisan ini harus punya kemampuan untuk melindungi peta lukisan ini.”

“Di dalam hati kecilku sih sudah ada satu pandangan, hanya aku takut jago lihay ini tidak mau menerimanya.”

“Siapa yang dimaksudkan Tok-say?”

“Kwan Tiong Ga. Cong Piauw-tauw dari perusahaan ekspedisi Hauw wie Piauw kiok.”

“Minta aku yang melindungi……” seru Kwan Tiong Gak.

“Sedikitpun tidak salah,” Sie Si Cong menukas. “Sebenarnya peta lukisan ini didapatkan kembali oleh Kwan heng, dan pada saat ini aku hanya kembalikan lagi ketanganmu. Dengan nama besar Kwan-heng serta banyaknya jumlah Piauwsu dalam perusahaan ekspedisi Hauw Wie Piauw kiok, aku rasa sudah cukup kuat untuk melindungi peta lukisan ini.”

Mendengar sampai disitu Kwan Tiong Gak tertawa getir.

“Perintah dari Thayjien, Siauw heng tak berani menampik, hanya saja aku berharap thayjien bisa menentukan batas batas waktu nya..”

“Batas waktu apa?”

 “Batas waktu menyimpan peta lukisan ini, setelah thayjien menentukan batas waktu aku orang she Kwan pun bisa menyusun rencana selanjutnya.”

“Batas waktu ini sukar untuk dikatakan nanti setelah aku bicarakan soal ini dengan Liaw thayjien, pesanku, kita bicarakan lagi batas batas waktu tersebut, bagaimana?”

“Setelah thayjien berkata demikian, siauw heng pun harus menyanggupinya….” Kwan Tiong Gak tertawa getir.

Setelah memperoleh pernyataan sanggup orang she Kwan tersebut, Sie Si Cong tersenyum.

“Kalau begitu simpanlah dulu peta lukisan ini.”

Air muka Kwan Tong Gak berubah amat serius, setelah menerima peta lukisan itu serunya sambil menjura:

“Aku orang she Kwan ingin minta waktu sebentar.” “Silahkan!”

Perlahan lahan Kwan Tiong Gak berjalan keluar dari ruang pagoda, sambil berdiri diatas permukaan salju ditengah halaman luar, ujarnya seraya menjura ke sekeliling tempat itu.

“Kawan kawan. Aku orang she Kwan memberi selamat tahun baru buat kalian. Sekaratng Tok Say Thayjien telah menyerahkan peta lukisan ini untuk disimpan dalam saku orang she Kwan untuk sementara jika Cu Wi sekalian ada maksud mendapatkan lukisan ini maka lebih baik carilah dulu aku orang she Kwan. Besok pagi adalah tanggal satu, dan aku orang she Kwan ingin menjamu kalian di hutan pohon liuw ditepi telaga Shen Yang Auw pada   kentongan   pertama   kalau   Cu   wi   ada urusan

 silahkan menghadiri perjamuan pada waktunya, saat itu aku orang she Kwan tentu akan memberi jawaban”

Perkataan ini di utarakan dengan suara keras, semua orang yang di dalam ruangan dapat mendengarnya sangat jelas.

“Apa yang sebenarnya telah terjadi?” tanya Sie Sie Cong sambil menyapu sekejap wajah Jen Pek To serta Si Naga Langit Pouw Cing.

“Perbuatan mulia Tok say Thayjien yang merisaukan negara serta rakyat telah menggetarkan hati Kwan Cong Piauw tauw.”

Pouw Cing pun menghela napas panjang katanya: “Kau adalah seorang pembesar baik, Kwan Cong

Piauw tauw sadah memikul tanggung jawab Hujan badai ini”

Sie Si Cong termenung berpikir sebentar. mendadak ia bangun berdiri dan berjalan keluar dari perkarangsn pagoda.

“Ia sedang berbicara dengan siapa?” tanyanya.

Si Naga Langit Pouw Cing memandang sekejap kearah Jen Pek To, mendadak ia berebut jalan lebih dahulu didepan Tok Say sedangkan Jen Pek To mengiringnya dari belakang serayasahutnya dengan suara lirih;

“Thayjien, disekeliling pagoda hangat ke mungkinaa Besar sudah tersembunyi banyak sekali Jago Jago bu lim. harap ThayJien suka berhati-hati, lebih baik jangan meninggalkan pagoda ini.”

“Pek To aku bukan orang yang terlalu menjaga keselamatan   diri   sendiri”   kata   Sie   Si   Cong  sambil

 tertawa. “ditengan pertempuran sengit dimana berlaksa tentara dan kuda saling bertempur,pedang tampak bagaikan lautan, anak panah berdesir bagaikan curahan hujanpun aku tidak takut mati, kenapa sekarang harus jeri? aku sama sekali tidak pernah memikirkan keselamatanku.”

Sembari berkata ia melanjutkan langkahnya ke luir dari pagoda hangat.

Mendadak serentetan cahaya tajam dengan membawa suara desiran keras meluncur ke arah Sie Si Cong.

“Thayjien, hati-hati!” bentak Jen Pek To cepat buruburu ia menyambut datangnya sambaran tajam tersebut.

Tapi ketika itulah si Naga Langit Pouw Cing sudah berkelebat keangkasa, serentetan cahaya putih menyambar lewat, sebatang anak panah pendek sudah tersampok jatuh ketanah.

Ketika Sie Si Cong mempehatikan dengan teliti, ditemuinya si Naga Langit Pouw Cing sedang memasukkan kembali sebilah golok pendek yang memancarkan cahaya tajam ke sakunya.

Golok tersebut berbentuk sangat aneh, panjangnya tidak lebih dari beberapa depa dengan lebar hanya empat jari, berhubung golok itu terlalu pendek maka setelah disembunyikan dalam saku seolah olah tidak membawa senjata lagi, orang yang tak tahu rahasia ini tentu tak akan menyangka sampai disitu.

Setelah Jen Pek To pun ikut menubruk kedepan. ia segera pungut panah baja tadi dan dimasukan kedalam saku kemudian berdiri di depan Sie Si Cong melindungi keselamatannya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar