Lambang Naga Panji Naga Sakti Jilid 15

 “Kwan-heng! Aku tahu kesulitanmu,” ujar Ke Giok Lang dengan wajah serius,”Cuma kalau aku Ke Giok Lang tidak terangkan persoalan ini terlebih dahulu aku takut hal ini akan semakin menyinggung perasaan Kwan Cong Piauw-tauw.”

“Urusan apa?”

“Lukisan pengangon kambing sudah jadi milik siauwte, kalau kita tidak berhasil menemukan urusan tak usah dibicarakan lagi, semisalnya bisa ditemukan menurut Kwan Cong Piauw-tauw peta lukisan pengangon kambing itu hendak diserahkan kepada siapa?”

“Tok say ingin menarik kembali peta tersebut,” sambung Jen Pek To.

“Ehmmm, cukup dalam persoalan ini kita sudah tak dapat berunding secara baik-baik.” teriak Ke Giok Lang.

 “Ke-heng!” ujar Kwan Tiong Gak, “Lukisan pengangon kambing pada mulanya memang bukan milikmu, apalagi daerah kekuasaan Tok Say meliputi empat karesidenan, kenapa Ke-heng tidak suka mengalah selangkah buat mereka?”

“Dagangan Kwan-heng terlalu besar, tentu saja takut urusan, tetapi aku orang she Ke tidak memandang persoalan ini terlalu serius, kalau api sampai berkobar akupun ingin berpesiar pula ke dalam istana kaisar.”

Ia tertawa terbahak-bahak sambungnya.

“Kalau mau bicara menurut aturan, peta itu sudah disanggupi oleh Liuw Thayjien untuk dihadiahkan kepada cayhe. Jikalau Tok Say ingin mendapatkan benda yang sama dengan mengandalkan kekuasaannya, bukankah ini berarti mereka hendak merampas barang milik rakyat, kalau atasannya saja berbuat demikian, mana mungkin hukum negara dapat ditegakkan dan dihormati setiap orang?”

“Kalau begitu Ke-heng sudah pastikan diri untuk menginginkan peta pengangon kambing itu?” tanya Jen Pek To dengan mata yang berkilat.

“Sedikitpun tidak salah, benda itu adalah milikku kenapa aku tidak boleh memintanya kembali?”

Mendengar percekcokan itu Kwan Tiong Gak menghela napas panjang.

“Jikalau peta pengangon kambing itu berhasil siauwte dapatkan kembali, apa yang hendak Ke-heng lakukan?”

Hoa Hoa Kongcu mengalihkan sinar matanya ke atas wajah Kwan Tiong Gak, setelah dipandangnya beberapa saat ia menjawab, “Bila kita berbicara menurut keadaan biasa, tindakan Kwan-heng yang plin-plan ini pasti akan

 diejek oleh orang-orang kangouw, tetapi keadaan lingkunganmu berbeda, siauwte bisa memahami kesulitan diri Kwan-heng.”

Ucapan ini benar-benar bernada tajam, selapis hawa gusar segera menghiasi wajah menambah kekerenan sikap orang ini, terdengar Kwan Tiong Gak tertawa hambar, “Setelah barang kawalan tiba ditempat tujuan, tugas kamipun telah selesai dan seharusnya tak usah ikut campur lagi dalam semua urusan, tapi cayhe belum pernah mengakui kalau peta pengangon kambing itu menjadi milik Ke-heng seperti pula apa yang Ke-heng ucapkan tadi, aku orang she Kwan adalah seorang  rakyat biasa tentu saja tak bisa dibandingkan dengan kau Ke Kongcu.”

Ke Giok Lang mendongak tertawa terbahak.

“Apa yang Kwan-heng maksudkan siauwte sudah paham dengan mengambil kesempatan ada Jen-heng di sini, kitapun harus membicarakan dulu persoalan itu sampai jelas.”

Ia merandek sejenak, sinar matanya dialihkan ke atas wajah Jen Pek To dan sambungnya, “Jen-heng, peta pengangon kambing itu adalah pemberian Liuw Thayjien kepada aku orang she Ke. Menurut keadaan seharusnya saat ini benda tersebut sudah menjadi milik aku orang she Ke dan kau sekarang Jen-heng ikut campur di dalam persoalan ini, sekalipun berhasil kau dapatkan kembali peta pengangon kambing yang lenyap itu aku orang she Ke tetap akan berusaha untuk menariknya kembali.”

“Kalau kau Ke-kongcu mempunyai kepandaian semacam ini, terpaksa aku orang she Jen akan mengaku kalah.” tukas Jen Pek To cepat. “Cuma Siauwte-pun ada beberapa  patah  kata  mau  tak  mau  harus diterangkan

 terlebih dahulu. Walaupun Siauwte berasal dari Bulim tapi sudah lama mengikuti Tok Say, terhadap orangorang kangouw aku orang she Jen jarang mengadakan hubungan, bilamana sampai persoalan ini jadi makin membesar, siauwte tidak berani bertanggung jawab apabila dari pihak pemerintah ikut campur pula di dalam persoalan ini.”

Ke Giok Lang tersenyum.

“Aku orang she Ke berani minta kembali peta pengangon kambing itu dari tangan kalian, terus terang saja sudah kupahami seberapa besar kekuatan yang dimiliki pihak Tok Say, memandang kau Jen-heng pun berasal dari orang Bu-lim, aku orang she Ke ingin menasehati sepatah dua patah kata kepadamu. Kalau orang lagi cemas ia akan mengadu jiwa, kalau anjing lagi gelisah ia akan melompat pagar, jikalau Tok Say Thayjien sampai berani turunkan perintah kesempatan keresidenan untuk menangkap aku orang she Ke maka aku menasehati ada baiknya ia lindungi dulu batok kepalanya, aku orang she Ke adalah gelandangan Bulim, mati hidup bukan jadi persoalan bagiku, sebaliknya Tok Say adalah seorang pejabat terhormat, jikalau sampai terjadi…..wah…urusan bukan kecil!”

“Oouuuw….. kau berani menyelundup masuk ke dalam istana untuk membunuh Tok Say kami?”

“Siapa yang bilang tidak berani?” jengek Ke Giok Lang sambil goyang-goyangkan kipasnya. “Cuma, belum tentu yang melakukan aku orang she Ke, beberapa orang kawan Bu-lim yang tidak takut matipun, tidak susah kita temukan, oleh sebab itu harap Jen-heng sekembalinya ke dalam istana suka menasehati majikanmu agar menimbang dulu berat entengnya persoalan ini.”

 Sinar matanya dialihkan ke atas wajah Kwan Tiong Gak lalu sambungnya, “Seorang lelaki sejati tidak akan sudi mengeluarkan ucapan buruk, agaknya hubungan cayhe dengan Kwan-heng hanya sampai disini saja, sejak kini hubungan putus apa yang hendak Kwan-heng lakukan aku tak mau tahu lagi, dan aku orang she Ke mohon diri terlebih dahulu.”

Setelah menjura, ia putar badan berlalu.

“Ke Kongcu, silahkan berangkat sendiri, maaf aku orang she Kwan tak bisa mengantarkan dirimu.”

“Tidak perlu.” Ke Giok Lang tertawa hambar. “Sekalipun diantar sejauh ribuan lie akhirnya pisah juga, kapan saja Kwan-heng bisa melepaskan diri dari persekongkolanmu dengan pihat pemerintah, kita tetap berdiri sebagai sahabat.”

Ia percepat langkahnya dan dalam sekejap mata sudah lenyap tak berbekas.

Menunggu hingga bayangan punggung Ke Giok Lang telah lenyap dari pandangan mata, Kwan Tiong Gak baru berkata, “Jen-heng, Ke Giok Lang adalah seorang manusia yang bisa berkata bisa berbuat, urusan ini kau Jen-heng harus pikirkan masak-masak.”

“Kwan-heng, kau suruh aku pikir apa?” tanya Jen Pek To setelah termenung sejenak.

“Keselamatan Tok Say Thayjien!”

“Kemungkinan sekali Ke Giok Lang benar-benar memiliki kepandaian silat yang tinggi tapi cayhe-pun telah mengatur persiapan serta penjagaan yang ketat dalam istana, setelah Ke Giok Lang berani bicara besar macam begini, cayhepun mau tak mau harus melakukan persiapan.”

 Ia tertawa hambar dan tambahnya.

“Bagaimanakah watak Tok Say, aku rasa Kwan-heng sudah menjumpainya, aku tidak berani mengatakan dia adalah seorang pejabat berhati jujur, paling sedikit ia bukan pembesar korup, seorang pejabat berhati serong, aku rasa di dalam persoalan ini akupun harus menantikan sikap dari Kwan-heng.”

“Jen-heng, kau bermaksud hendak menyuruh siauwte berbuat bagaimana?”

“Kalau dibicarakan menurut aturan Bu-lim agaknya aku orang she Jen tak dapat terlalu menyusahkan kau Kwan-heng, tetapi perkembangan persoalan ini telah berubah, dari peta pengangon kambing kini beralih ke dalam soal keselamatan sang Tok Say, setelah Kwanheng terjerumus ke dalam persoalan ini, aku rasa untuk menarik diri-pun rada susah.”

“Jen-heng, kalau mau bicara katakan saja secara terus terang, apa yang kau inginkan dari aku orang she Kwan?” seru Kwan Tiong Gak setelah termenung sebentar.

“Yang siauwte pikirkan hanya dua persoalan, pertama adalah soal keselamatan Tok Say dan yang kedua adalah mencari kembali peta pengangon kambing.”

“Kedua persoalan ini sama beratnya tetapi penyelesaiannya memang saling ada hubungan, siauwte tidak bisa selalu berada di dalam istana untuk melindungi keselamatan diri Tok Say.”

“Untuk menghadapi persoalan ini, kita harus mencari jalan yang baik untuk menghadapinya.”

 “Aku paham maksud Jen-heng bukankah kau ingin melakukan suatu gerakan sekalian menangkap Ke Giok Lang dan masukkan dia ke dalam penjara.?”

“Kalau perbuatan ini bisa mendatangkan keselamatan bagi Tok Say, maukah Kwan-heng membantu?”

“Sekalipun siauwte membantu belum tentu punya kekuatan sebesar itu!”

“Jadi Kwan-heng tidak ingin campur tangan dalam persoalan ini?”

“Dalam persoalan ini siauwte-pun tak bisa berpeluk tangan belaka” sambung Kwan Tiong Gak sambil menggeleng.

“Jika begitu Kwan-heng pun sudah mempunyai rencana bagus di dalam hatimu?”

“Maksud siauwte, peduli persoalan ini makin memburuk macam apapun, biarlah perusahaan kami Liong Wie Piauw-kiok yang memunculkan diri coba-coba menasehati Ke Giok Lang agar jangan berbuat sembarangan, kemudian menggunakan kemampuan masing-masing bersama-sama mencari dapat peta pengangon kambing, siapa yang menemukan peta itu terlebih dahulu siapa yang berhak untuk memiliki peta tersebut, dengan demikian masing-masing pihak tidak akan saling bermusuhan.”

Jen Pek To termenung sebentar lalu tanyanya, “Lalu apakah Kwan-heng punya pegangan untuk mendapatkan kembali peta pengangon kambing tersebut?”

Soal pegangan siauwte tidak berani mengatakan” sahut Kwan Tiong Gak tersenyum. “Tapi aku percaya kita bisa menemukan benda tersebut lebih dulu, kecuali luka yang diderita Thio Ci Jien adalah kesengajaan.”

 “Kagum, kagum ……!” seru Jen Pek To setelah melengak beberapa saat. “Dari keadaan luka yang ada di tubuh Thio Ci Jien, apakah Kwan-heng berhasil menemukan asal usul si pembunuh tersebut?”

“Siauwte hanya berhasil mengetahui ia terluka oleh pukulan macam apa, dengan berdasarkan penemuan ini rasanya tidak terlalu susah, untuk menemukan orangnya, hanya saja siauwte ingin mengirim seseorang untuk menjumpai dirinya terlebih dahulu!”

“Kwan-heng bicara demikian tentu kau sudah menjumpai kesulitan-kesulitan?” tanya orang she Jen kembali sesudah termenung.

Dengan cepat Kwan Tiong Gak menggeleng.

“Sampai detik ini kami belum berani memastikan seratus persen Thio Ci Jien terluka ditangannya, sebelum persoalan ada bukti yang nyata siauwte tidak ingin mencari gara-gara dengan dirinya……”

Dengan wajah penuh perasaan curiga Jen Pek To melirik sekejap ke atas wajah Kwan Tiong Gak, ia berusaha keras untuk mempertahankan ketenangannya.

Kwan Tiong Gak menghela napas, ujarnya kembali, “Di dalam hati aku duga Jen-heng tentu mempunyai banyak persoalan yang mencurigakan hatimu bukan? padahal aku orang she Kwan pun mempunyai banyak kesulitan yang susah sekali diutarakan, Jen-heng mengikuti Tok Say ini boleh dianggap bahwa kau adalah hamba negara, terhadap jago-jago kangouw yang  kukoay wataknya mau tak mau siauwte harus merahasiakan karena aku orang she kwan tak boleh membiarkan namaku hancur dengan dikatakan sebagai manusia tak berbudi oleh kawan-kawan Bulim.

 “Aku paham, cayhe ingin kembali dulu ke dalam istana mengatur penjagaan sedang mengenai pandangan Kwan-heng yang terlampau tinggi terhadap Ke Giok Lang, aku rasa orang ini tentu mempunyai hal-hal yang sangat luar biasa. Nah! Selamat tinggal dan besok pagi siauwte akan menjenguk kembali kemari.”

“Baik! Kita berjumpa besok pagi, maaf siauwte tidak mengantar.”

“Tidak berani!” ia putar badan dan berlalu.

Liem Toa Lek segera menghantar Jen Pek To keluar pintu, setelah mengunci kembali pintu depan ia balik kembali ke dalam ruangan tengah.

Suasana sunyi untuk beberapa saat lamanya memandang air muka Cong Piauw-tauw yang penuh keseriusan tak tertahan Phoa Ceng Yan berbisik lirih, “Toako, agaknya persoalan ini semakin lama semakin kacau, aku lihat karena peristiwa ini bakal menimbulkan badai besar di dalam dunia persilatan.

Kwan Tiong Gak menghembuskan napas panjang, ujarnya, “Kalau dua tahun berselang bisa menghentikan perusahaan Liong Wie Piauw-kiok ini maka tidak mungkin bisa terjadi kerepotan macam hari ini ….”

Ia berpaling dan memandang sekejap ke arah Liem To Lek, sambungnya, “Coba suruh mereka hitung keuntungan kita tahun ini dan siapkan uang tersebut.

Walaupun dalam hati merasa curiga Liem Toa Lek tidak berani banyak bertanya, ia segera menjura.

“Hamba akan segera memerintahkan mereka untuk melakukan hal tersebut….”

Dari dinding Kwan Tiong Gak mengambil goloknya dan digantung pada punggungnya, setelah  mengenakan

 jas hujan ia berkata, “Aku mau pergi keluar sebentar, paling lambat besok pagi pada kentongan kelima tentu kembali.”

“Toako!” seru Phoa Ceng Yan dengan cepat. “Biarlah mereka pergi bersamamu, agar kalau ada urusan mereka bisa membantu.”

Tapi dengan cepat Kwan Tiong Gak menggelengkan kepalanya.

“Tidak perlu…..”

Sembari melangkah keluar sambungnya.

“Siauw-heng hendak menggunakan waktu setengah harian ini untuk mencari kembali itu peta pengangon kambing, kalau besok bisa kita serahkan lukisan itu pada Jen Pek To maka itu hari juga kita segera berangkat pulang ke Peking dan kantor cabang Kay Hong pun ditutup sampai di sini saja, seluruh keuntungan bagikan kepada semua anggota kita.”

“Bagaimana dengan Liem Toa Lek?”

“Perintahkan dia dengan membawa beberapa orang piauwsu sesudah menyelesaikan persoalan di sini segera berangkat ke ibukota.”

“Toako bermaksud membubarkan kantor cabang Kay hong sejak ini?”

“Seluruh perusahaan Liong Wie Piauw-kiok sudah masanya untuk ditutup, aku berharap pada pertengahan tahun depan semua persoalan sudah selesai dan semua kantor cabang telah dibubarkan.”

“Hal inipun baik juga,” kata Phoa Ceng Yan sambil menghela napas panjang. “Dengan demikian toako-pun tidak usah lagi memikul tugas dan beban seberat ini.”

 Sewaktu pembicaraan berlangsung sampai disitu, mereka telah tiba di pintu depan.

Kwan Tiong Gak mendadak berhenti dan berpaling. “Kalian tak usah mengantar aku lagi, suruh mereka

baik-baik berjaga diri, jangan timbulkan persoalan lagi, dalam keadaan seperti ini jangan sekali-kali kita bikin keonaran.”

“Siauwte akan berusaha untuk menghindari hal tersebut, Toako-pun harus berhati-hati.”

Kwan Tion Gak tersenyum dengan langkah lebar ia segera berlari.

Menanti bayangan punggung dari Cong Piauwtauwnya sudah lenyap dari pandangan, Phoa Ceng Yan sekalian baru mengundurkan diri dari sana dan menutup pintu kantor.

Malam semakin kelam, inilah saat yang paling tepat bagi setiap keluarga untuk berkumpul sambil merayakan tahun baru.

Di dalam ruangan kantor cabang perusahaan Liong Wie Piauw-kiok pun dihangatkan oleh sebuah tungku dengan beberapa orang duduk berkerumun di sana, hanya saja mereka bukan sekeluarga yang merayakan malam tahun baru, melainkan sekelompok piauwsu yang bersenjata lengkap dengan wajah murung dan kesal.

Phoa Ceng Yan menghembus asap huncweenya ke angkasa, sambil menghela napas ia berkata.

“Tak ada gading yang tak retak, tak ada panglima yang takut mati dalam pertempuran, di bawah pimpinan Cong Piauw-tauw perusahaan Liong Wie Piauw-kiok kita sudah berkembang sangat pesat, kantor perusahaan cabang tersebar luas di enam karesidenan, kegagahan 

 dan kecemerlangan macam begini biasanya susah ditandingi oleh perusahaan manapun pada jaman apapun juga, selama dua puluh tahun di bawah kerja keras beberapa puluh orang kawan dengan taruhan jiwa dan tenaga berhasil mengangkat perusahaan kita dengan merek emas, tidak disangka kecuali kita harus menghadapi penjahat-penjahat dari kalangan Liok-lim, sekarang harus berurusan pula dengan orang pemerintahan, Aaai…..agaknya Cong Piauw-tauw merasa putus asa oleh persoalan.”“

“Hal inipun tak bisa disalahkan dirinya,” kata Nyoo Su Jan memberikan pendapatnya.

“Persoalan di dalam perusahaan Liong Wie Piauw-kiok kita makin hari semakin banyak di samping Cong Piauwtauw harus bertanggung jawab dalam melatih para anggota dengan ilmu silat banyak persoalan pula yang harus ia tangani sendiri, agaknya makin lama Cong Piauw-tauw merasa makin jemu dengan urusan pengawalan barang, selama beberapa tahun ini jarang sekali barang kawalan kita menjumpai persoalan, mungkin orang lain jeri dengan merek emas kita, padahal yang sebenarnya semua persoalan ini adalah hasil kerja Cong Piauw-tauw seorang….”

“Eeei….sebetulnya apa yang telah terjadi, Nyoo-heng kalau bicara yang jelas sedikit.” tukas Liem Toa Lek cepat.

Dengan andalkan kuda jempolannya yang setiap hari bisa menempuh perjalanan ribuan lie, kadang-kadang ia seorang diri menghajar habis-habisan musuh-musuh yang akan menghadang barang kita, semua orang hanya tahu mengiringi kereta barang berangkat ke selatan atau ke utara, siapa yang tahu kalau sepanjang jalan yang

 mereka lalui telah diamankan dahulu oleh Cong Piauwtauw.”

“Aaakh…..! Persoalan ini takkan kuketahui kalau tidak kau katakan saat ini,” teriak Phoa Ceng Yan tersentak kaget.

“Pada tahun yang lalu, kebetulan hamba sakit dan harus beristirahat beberapa bulan di rumah, sebab memandang tinggi hamba, Cong Piauw-tauw melarang aku mengawal barang setengah tahun lamanya, karena itulah sepanjang waktu aku selalu berada di dalam perusahaan, kadang-kadang sampai malam baru tidur, dan kadang-kadang berlatih silat di tengah malam buta, kebetulan sering sekali bertemu Cong Piauw-tauw dengan menunggang kuda seorang diri pergi keluar di tengah malam buta, pada perjumpaan yang pertama kali hamba tidak terlalu memperhatikan, tapi karena seringnya perjumpaan ini maka timbul rasa curiga dalam hatiku, diamkuperhatikan terus gerak-geriknya dan akhirnya kuketahui setiap kali pengawalan barang dalam jumlah besar berangkat maka pada malam harinya Cong Piauw-tauw tentu berangkat pula, orang-orang kantor hanya tahu urusan Cong Piauw-tauw sangat repot dan tidak ada di dalam kantor, padahal siapa yang tahu kesusahannya? “

“Demi nama baik perusahaan Liong Wie Piauw-kiok tiada jemunya ia menempuh bahaya seorang diri. Aaaaiii…. selama beberapa tahun ini kita sudah cukup menyusahkan dirinya.”

“Aaaii…….kita sebagai piauwsu perusahaan Liong Wie Piauw-kiok ternyata tidak dapat membantu COng Piauw-tauw dalam mengurangi kemurungannya, bila dipikir kita seharusnya merasa malu, “ seru Liem Toa Lek.

 “Maka dari itu akupun berharap ia cepat bisa menutup perusahaannya, sehingga sisa hidupnya bisa dilewatkan dengan hati tenteram selalu,” sambung Phoa Ceng Yan.

“Walaupun ucapan Hu COng Piauw-tauw tidak salah, tapi untuk menutup pintu perusahaan Liong Wie Piauwkiok kita yang sudah sedemikian besar, sedikit banyak hatiku ikut merasa susah juga.”

Phoa Ceng Yan tertawa hambar.

“Di kolong langit tak ada perjamuan yang tidak bubar, Cong Piauw-tauw pun tidak bisa susah payah sepanjang tahun, kalau kita harus berdiri dengan bersandar pada dia seorang siksaan ini sungguh luar biasa sekali, cuma selama beberapa tahun ini perusahaan kita sudah banyak beruntung, dengan watak Cong Piauw-tauw yang ridak memandang harta sewaktu membubarkan perusahaan, ia pasti tak akan merugikan cuwi sekalian, biaya hidup selanjutnya tentu terjamin.”

Malam itu dilewatkan beberapa orang itu dengan mengobrol mengelilingi tungku pemanas.

Menanti kentongan kelima telah tiba, mendadak di luar halaman terdengar suara ringan bergema datang.

“Siapa??” bentak Phoa Ceng Yan sambil mematikan lampu lilin yang ada di atas meja.

“Aku.”

“Suara itu jelas berasal dari mulut Kwan Tiong Gak.

Suara tersebut agak dikenal baik oleh Phoa Ceng Yan maupun siapa saja, buru-buru mereka bangun berdiri menyambut.

“Cong Piauw-tauw!”

 Waktu itu Liem Toal Lek sudah menyulut kembali lampu lilin di atas meja, di tengah sorotan cahaya Kwan Tiong Gak berjalan masuk ke dalam ruang tengah.

Pada dasarnya memang berwajah keren ditambah pula keseriusan yang diperlihatkan saat ini menambah keseraman bagi orang yang melihat.

Liem Toa Lek serta Nyoo Su Jan tidak berani banyak bicara diam-diam mereka mengundurkan diri ke samping.

Setibanya di tepi tungku Kwan Tiong Gak melepaskan goloknya dan mempersilahkan orang duduk.

Beberapa orang itu mengikuti ucapannya dan mencari tempat duduk. Phoa Ceng Yan yang ada di sisi Kwan Tiong Gak segera bertanya, “Toako! Apakah kau berhasil menemukan jejak peta pengangon kambing itu?”

“Belum,” sang Cong Piauw-tauw menggeleng. “Ia sudah lama meninggalkan kota Kay Hong.”

“Apakah ia muncul kembali di sini karena peta pengangon kambing itu ….?” tanya Nyoo Su Jan.

“Kalau benar demikian saat ini sudah terbang jauh ke angkasa, untuk menemukan kembali peta pengangon kambing rasanya bukan suatu persoalan yang terlalu gampang.”

Setelah termenung beberapa saat sambungnya kembali, “Ini hari adalah tanggal satu tahun baru, sekalipun kita tidak berhasil menemukan peta  pengangon kambing juga harus tetap berada di sini, aaai…, entah kita harus berada di sini sampai kapan?”

“Aku lihat untuk jelasnya kita harus melakukan penyelidikan terhadap diri Ke Giok Lang” kata Phoa Ceng Yan.

 Sewaktu mereka sedang bercakap-cakap mendengar suara langkah manusia berkumandang di luar pintu.

Liem Toa Lek melongok keluar jendela, hari baru saja terang tanah, dan ia segera bangkit.

“Entah keluarga mana yang pagi pagi yang sudah datang untuk mengucapkan selamat tahun baru?”

“Coba kau tengok, kalau tidak terlalu penting, jangan mengatakan kalau aku ada di sini.”

Liem Toa Lek mengiakan dan dengan langkah lebar ia berjalan keluar.

Beberapa saat kemudian dengan membawa sebuah kotak merah ia muncul kembali dalam ruangan, ujarnya, “Hu Cong Piauw-tauw, sahabat karibmu dari kota Kay Hong telah mengirimkan hadiah tahun baru untukmu.”

Mendengar ucapan itu Phoa Ceng Yan mengerutkan dahi, ia bangun berdiri menerima kotak itu, di atas sebuah kartu nama dituliskan bahwa kotak ini diperuntukkan Phoa Ceng Yan disertai kata-kata ucapan selamat tahun baru.

“Apa isi kotak itu?” tanya Kwan Tiong Gak sambil memandang sekejap kotak merah itu.

“Siauwte sendiri tidak tahu!”

“Siapa yang memberikan kepadamu?” “Siauwte sendiri juga tidak tahu.”

Kwan Tiong Gak segera mengambil kotak tadi dan diperhatikannya kotak tersebut.

“Waktu membuka kotak ini haruslah berhati-hati!”

 Phoa Ceng Yan mengiakan perlahan-lahan ia menuju ke pintu ruangan, setelah membuka kotak kain tadi muncullah sebuah kotak kayu yang sangat indah.

Di atas tutup kotak itu berukiran lukisan yang indah, hal ini membuat siapapun yang melihat dapat membayangkan kalau isi kotak ini tentu sebuah benda yang sangat berharga.

Phoa Ceng Yan tidak berani langsung membuka kotak itu, setelah digoyang-goyangkan sebentar dan tidak menemukan sesuatu suara ia baru membuka kotak tadi lambat-lambat.

Karena tidak tahu siapakah yang memberikan kotak tersebut, Phoa Ceng Yan tidak berani berlaku gegabah, seluruh hawa murninya disalurkan ke seluruh badan bersiap sedia terhadap segala kemungkinan.

Perlahan-lahan kotak dibuka, dan dari balik kotak tersebut tidak dijumpai sesuatu yang mencurigakan.

Perlahan-lahan Phoa Ceng Yan alihkan sinar matanya ke dalam kotak, tapi sebentar kemudian ia sudah menjerit tertahan dan berdiri termangu-mangu.

Kiranya isi dari kotak tersebut bukan lain adalah peta pengangon kambing yang lenyap tak berbekas.

“Hu Cong Piauw-tauw, apa isi kotak itu ??” tanya Nyoo Su Jan tak tertahan lagi.

“Peta pengangon kambing!”

“Apa peta pengangon kambing?” teriak Kwan Tiong Gak melengak.

“Benar, siauwte pernah melihat peta ini dan rasanya tidak salah lagi…..”

 Ia ambil peta tadi dalam kotak kemudian diangsurkan ke tangan Kwan Tiong Gak.

Cong Piauw-tauw dari perusahaan Liong WIe Piauwkiok ini menerimanya dan diperiksanya dengan seksama lukisan tersebut.

Sembari memeriksa tanyanya kembali.

“Saudara, coba kau pikir dari siapakah lukisan ini kau dapat?”

“Siauwte tak bisa menemukan orang itu.”

Agaknya perhatian Kwan Tiong Gak sudah terhisap oleh lukisan pengangon kambing itu, ia tidak bicara lagi dan menumpahkan seluruh perhatiaannya di atas peta tadi.

Walaupun cuaca sudah terang tanah, tapi suasana dalam ruangan masih gelap, di atas meja berdiri sebuah lilin merah yang memancarkan cahaya terang.

Tiba-tiba Kwan Tiong Gak menghantam meja seraya berseru, “Lukisan bagus! Lukisan bagus, tidak aneh kalau begitu banyak orang yang ingin memperebutkannya.”

“Haaa……..haaa……haaa….. Kwan-heng betul-betul naga di tengah manusia, siauwte betul-betul merasa kagum,” tiba-tiba terdengar suara tegoran seseorang berkumandang datang dari tempat luaran.

Dengan terkesiap semua orang alihkan sinar matanya ke depan, entah sejak kapan Jen Pek To dengan memakai pakaian ringkas warna hitam telah berdiri di depan pintu.

Mungkin disebabkan semua perhatian orang yang ada di   dalam   ruangan   telah   dihisap   lukisan  pengangon

 kambing maka tak seorangpun yang merasa akan kehadiran orang itu.

“Hmmm! Jen-heng, sungguh hebat ilmu meringankan tubuhmu!” jengek Phoa Ceng Yan sambil tertawa dingin.

Merah padam selembar wajah Jen Pek To.

“Siauwte datang terlalu pagi, karena pintu kantor belum buka maka siauwte masuk dengan meloncati pintu pagar.”

“Jen-heng, sungguh kebetulan sekali kedatanganmu!” seru Kwan Tiong Gak sambil tersenyum.

Ia masukkan peta tadi ke dalam kotak dan sambungnya lebih lanjut, “Jen-heng, pernahkah kau menjumpai lukisan peta pengangon kambing ini?”

“Siauwte belum pernah menjumpai!”

“Jadi ini berarti Jen-heng pun tidak bisa menentukan keaslian dari benda ini bukan.”

“Siauwte percaya dengan ketajaman mata Kwanheng tak bakal tertipu oleh orang lain.”

Perlahan-lahan Kwan Tiong Gak menutup kembali kotaknya dan menjawab, “Menurut pendapat siauwte, lukisan pengangon kambing yang ada di dalam kotak ini adalah benda yang asli, siauwte tidak berani mencari jauh, sebenarnya lukisan ini kudapatkan tanpa membuang banyak tenaga…”

Ia menarik napas panjang, sambungnya lebih jauh, “Perduli bagaimanapun juga, lukisan itu sudah kudapatkan kembali, aku rasa persoalan ini-pun telah selesai sampai di sini, harap Jen-heng suka membawa lukisan ini kembali ke istana untuk dilaporkan kepada Tok

 Say sedang aku orang she Kwan segera akan kembali ke ibukota.”

“Kwan-heng!” ujar Jen Pek To sambil menghela napas panjang. “Di tengah suasana tahun baru melakukan perjalanan apakah kau tidak merasa terlalu menderita?”

“Orang yang mencari sesuap nasi dengan mengawal barang, sudah terlalu biasa menanggung sengsara kena hujan dan kedinginan di tengah jalan, kekuatiran Jenheng biarlah siauwte terima dalam hati saja.”

“Sejak siauwte masuk ke dalam pintu hingga kini hanya bicarakan soal lain saja dengan Kwan-heng, siauwte selalu tidak ada kesempatan untuk bicara…..” tiba-tiba Jen Pek To berkata sambil menghela napas.

Tidak mengetahui apa yang dimaksudkan Kwan Tiong Gak tertegun.

“Apa yang hendak kau ucapkan?” tanyanya.

“Tok Say merasa punya jodoh dengan Kwan-heng, ia berharap bisa berjumpa sekali lagi dengan dirimu.”

“Soal ini aku rasa sudah tak perlu lagi.”

“Malam ini di istana Tok Say sedang mempersiapkan perjamuan, harap Kwan-heng suka memberi muka kepada kami.”

“Jen-heng!” ujar Kwan Tiong Gak setelah termenung sebentar. “Siauwte tidak lebih hanya seorang Piauw-tauw pengawal barang, bila hendak berhubungan dengan Tok Say Thayjien kami merasa tidak memadahinya.”

“Walaupun Tok Say adalah tiang tonggak negara, tapi watak pribadinya amat ramah dan suka bersahabat, dia sangat mengagumi diri Kwan-heng!”

 Tapi dengan cepat Kwan Tiong Gak sudah menggeleng, tukasnya, “Jen-heng, kami adalah orang kangouw yang mencari sesuap nasi dengan jual nyawa, bagi kami terlalu sering mengadakan hubungan dengan para pejabat pemerintahan malah tidak menguntungkan posisi kami.”

Jen Pek To tertawa hambar, dari dalam sakunya ia mengambil keluar sebuah kartu undangan warna merah dan diangsurkan ke depan.

“Kartu undangan ini khusus dibuat Tok Say untuk mengundang Kwan-heng, harap Kwan-heng suka menerimanya.”

Kwan Tiong Gak memeriksa sebentar kartu undangan tersebut, akhirnya ia tersenyum, “Baiklah! Sampai waktunya cayhe akan menghadiri perjamuan ini,” katanya terpaksa.

Setelah mendengar orang itu setuju, Jen Pek To baru alihkan sinar matanya ke arah kotak kayu tadi.

“Kwan-heng!” katanya. “Siauwte ingin minta petunjuk akan satu persoalan.”

“Silahkan Jen-heng utarakan.”

“Lukisan pengangon kambing bukan termasuk lukisan kenamaan, mengapa begitu banyak orang yang ingin memperebutkan benda-benda tersebut?”

“Jen-heng adalah pengawal kepercayaan dari Tok Say, tiada halangan engkau minta ijin dari Tok Say agar lukisan ini untuk sementara waktu Jen-heng yang simpan, coba kau perhatikanlah lukisan pengangon kambing ini dengan seksama, mungkin sekali kau akan dapat menemukan sesuatu.”

 Sembari berkata ia angsurkan kotak itu kepada Jen Pek To.

Jen Pek To menerima kotak itu dan mengangguk. “Kegagahan seorang enghiong hoohan memang

berbeda dengan manusia biasa. Setelah Kwan Cong Piauw-tauw menemukan apabila benda ini adalah sebuah benda yang sangat berharga, tiada timbul rasa rakus dan serakah cayhe betul-betul merasa kagum.”

Kembali Kwan Tiong Gak menghela napas panjang, ujarnya, “Benda ini memang bukan milikku, tentu saja cayhe tidak berhak untuk mengangkanginya, cuma akupun ingin menasehati Jen-heng dengan beberapa patah kata!”

“Baik! Silahkan Kwan-heng bicara, siauwte tentu akan mendengarkannya baik-baik.”

“Lukisan pengangon kambing ini adalah semacam mustika Bu-lim, tapi merupakan benda yang dapat menemukan bencana pula bagi pemiliknya, benda itu bisa memancing datang banyak jago Bu-lim yang ingin merampas benda itu, sekalipun di dalam istana ada beberapa ratus laksa prajurit, belum tentu bisa menahan terobosan seorang jago Bu-lim kelas wahid…”

“Ooouww….maksud Kwan-heng adalah Ke Giok Lang?”

“Ke Giok Lang hanya salah seorang diantaranya yang kumaksudkan adalah jago-jago lihay dari dunia persilatan kecuali ia tidak tahu peta pengangon kambing adalah benda mestika dan tidak tahu kalau lukisan itu berada di dalam istana Tok Say. Kalau sekali mereka tahu, aku rasa Jen-heng pun bisa membayangkan sekali walaupun kau mempunyai tenaga menaklukkan harimau meringkus

 naga-pun jangan harap bisa menghadapi kerubutan jago Bu-lim.”

“Nasehat Kwan-heng akan siauwte catat dalam hati, sekembalinya ke dalam istana tentu akan kusampaikan laporan ini kepada Tok Say agar ia ambil keputusan sendiri, bagaimanakah seharusnya dia perbuat untuk menyelesaikan masalah peta lukisan pengangon kambing ini!”

“Ucapan siauwte hanya terbatas sampai di sini saja.” ujar Kwan Tiong Gak sambil tertawa hambar. “Apa yang hendak kalian lakukan itu urusan Tok Say serta Jen heng sendiri!”

“Secara bagaimana Tok Say hendak menyelesaikan soal peta lukisan pengangon kambing ini, siauwte tentu akan mengirimkan laporan buat Kwan-heng….”

“Soal ini, aku rasa tidak perlu!”

“Terima kasih atas petunjuk Kwan-heng, siauwte mohon diri terlebih dahulu, nanti sebelum perjamuan siauwte akan datang menjemput.!”

“Tidak berani terlalu merepotkan Jen-heng, bila sampai waktunya aku orang she Kwan pasti akan datang!”

“Baiklah.” Jen Pek To tersenyum. “Mengikuti apa maksud Kwan-heng, sampai waktunya cayhe akan menantikan kehadiranmu di depan istana.”

Buru-buru ia putar badan dan berlalu.

“Jen-heng, tunggu sebentar!” tiba-tiba Kwan Tiong Gak berseru. “Aku orang she Kwan ada suatu persoalan hendak kuutarakan kepadamu!”

Jen Pek To berhenti dan berpaling.

 “Kwan-heng terlalu merendah, entah ada urusan apa lagi?”

“Di hadapan Tok Say aku berharap Jen heng suka mewakili aku minta diri!”

“Maksudmu??”

“Setelah selesai perjamuan malam ini, siauwte akan segera berangkat pulang ke ibukota, harap sejak ini hari Tok Say jangan mencari kami orang dari perusahaan Liong Wie Piauw-kiok lagi!”

Jen Pek To tidak langsung menjawab, ia termenung sejenak, baru kemudian ujarnya, “Kwan-heng, ada suatu persoalan siauwte-pun ingin menerangkan terlebih dulu, perjamuan yang diadakan malam ini adalah maksud dari Tok Say sendiri, siauwte sama sekali tidak memberi pendapat, cuma siauwte menyanggupi dirimu untuk menasehati Tok Say agar sejak ini hari tidak mencari kalian pihak perusahaan ekspedisi Liong Wie Piauw-kiok lagi.”

“Baik! Jen-heng suka menerima permintaanku ini, siauwte-pun boleh berlega hati.”

Jen Pek To mengangguk sambil tertawa, dengan langkah lebar ia berjalan keluar.

“Jen-heng baik-baik jaga diri, maaf aku orang she Kwan tak dapat mengantar terlalu jauh.”

“Tidak berani merepotkan dirimu.”

Sebentar kemudian ia sudah keluar dari pintu dan lenyap dari pemandangan.

Menanti Jen Pek To sudah lenyap dari pandangan, baru Phoa Ceng Yan geleng-gelengkan kepalanya.

 “Toako, aku rasa dalam persoalan ini ada sedikit tidak beres.”

“Eeei…. bagian mana yang kau anggap tidak beres?” “Aku  rasa  belum  tentu  Tok  Say  benar-benar  ada

maksud  minta  kembali  lukisan  pengangon  kambing ini

….”

“Maksudmu, Jen Pek To pura-pura menggunakan perintah Tok Say?” sambung Kwan Tiong Gak.

“Sekalipun bukan pura-pura, paling sedikit ia yang usulkan pendapat ini agar bisa diterima.”

Kwan Tiong Gak tertawa hambar.

“Apa yang tercantum di atas peta lukisan pengangon kambing memang cukup membuat orang terpesona, tapi benda itu bukan benda yang mendatangkan rejeki, walaupun Jen Pek To ada maksud meminjam kekuatan Tok Say, belum tentu ia bisa mempertahankan benda itu….” 

Sinar matanya dialihkan ke atas wajah Phoa Ceng Yan dan sambungnya lebih lanjut, “Justru yang membuat orang tidak paham adalah dari manakah benda ini bisa muncul? siapa yang mengirim benda itu untukmu?”

“Soal ini siauwte sendiri juga tidak tahu.” dengan cepat Phoa Ceng Yan menggeleng. “Aku sudah lama memikirkan persoalan ini, tapi tak terpikir olehku siapakah yang suka menghadiahkan peta lukisan itu untuk diriku.”

“Tiada angin tak akan menimbulkan ombak, bila kutinjau dari beberapa lukisan itu jelas dia adalah seorang yang kenal dengan dirimu atau paling sedikit

 pernah berjumpa dengan kau, coba pikirlah sekali lagi dengan cermat!”

Lama sekali Phoa Ceng Yan termenung, tapi akhirnya ia menggeleng dan tertawa getir.

“Siauwte tidak berhasil mengingat-ingat siapakah orang itu?”

“Saudara dari mana munculnya peta ini merupakan kunci utama dalam pemecahan persoalan ini” kata Kwan Tiong Gak sambil menepuk pundak Phoa Ceng Yan. “Coba pikir dengan perlahan-lahan, kalau kau tidak dapat menemukan orang itu di antara sahabat atau sanak keluargamu, tiada halangan membayangkan kembali kejadian-kejadian yang kau temui sepanjang perjalanan!!”

Mendengar ucapan yang terakhir ini, mendadak satu ingatan berkelebat di dalam benak orang she Phoa ini, kemudian ujarnya, “Kalau dicari hal-hal yang mencurigakan, rasanya hanya peristiwa itulah yang patut dicurigai.”

“Persoalan apa yang mencurigakan?”

“Di tengah jalan siauwte telah menolong seorang pemuda yang terhajar senjata rahasia beracun.”

“Bagaimana macamnya orang itu?” tukas Kwan Tiong Gak dengan cepat.

“Seorang pemuda tampan yang gagah dan menarik, tetapi sikapnya terhadap orang lain amat hambar, walaupun siauwte telah menolong jiwanya, ia sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun ucapan terima kasih, bahkan tanpa meninggalkan namanya telah berlalu!”

 “Orang itu mempunyai hal yang istemewa?” tanya Kwan Tiong Gak lebih lanjut.

“Ada! Ia mempunyai seekor kuda putih yang agaknya amat cerdik, ia tahu bagaimana caranya mencarikan pertolongan buat majikannya, mengucurkan air mata melihat nasib pemuda itu, kalau bukan kuda putih tadi amat cerdik mungkin orang ini sudah mati keracunan di tengah jalan dan mati terkurung di tumpukan salju.”

“Kuda jempolan memang bisa menolong majikannya.” Kwan Tiong Gak mengangguk.

“Aku duga pemuda ini tentu mempunyai asal usul yang terkenal.” ia merandek sejenak lalu tambahnya.

“Kecuali peristiwa ini apakah kau menjumpai sesuatu yang istimewa sepanjang perjalanan?”

“Tidak ada”

“Baik!” akhirnya Kwan Tiong Gak mengangguk. “Semalaman kita tidak tidur, setengah harian ini kita gunakan untuk tidur sejenak nyenyaknya, ada urusan sore ini kita bicarakan lagi.”

Tanpa menanti jawaban lagi ia segera berlalu.

Memandang bayangan punggung Kwan Tiong Gak yang berlalu, baik Phoa Ceng Yan maupun Liem Toa Lek, Nyoo Su Jan sekalian tak ada yang berani bersuara.

Menanti Cong Piauw-tauwnya sudah lenyap dari pandangan, Nyoo Su Jan baru berkata lirih, “Cuwi sudah melihatnya?”

“Melihat apa?” tanya Phoa Ceng Yan.

“Walaupun Cong Piauw-tauw berusaha untuk mempertahankan ketenangnannya, padahal ia sudah amat lelah.”

 “Siauwte pun berpendapat demikian,” sahut Liem Toa Lek sambil mengangguk. “Kemarin malam Cong Piauw tauiw tentu sudah melakukan pertarungan sengit.”

“Dengan kepandaian silat yang dimiliki Cong Piauwtauw, cukup duduk semedi setengah hari kelelahannya bisa dipulihkan kembali seperti sedia kala, mengambil kesempatan ini kitapun baik-baik beristirahat, dengan situasi yang kita jumpai saat ini sekalipun di luaran kelihatan amat tenang, padahal ombak sudah menggulung di permukaan air yang tenang, setiap saat pertarungan berdarah bisa berlangsung dengan serunya.”

“Silahkan cuwi kembali ke kamar untuk beristirahat, cayhe harus melayani dulu sahabat-sahabat yang datang mengucapkan selamat.”

“Kalau begitu kami merepotkan Liem-heng!”

Orang she Nyoo ini merandek dan berpaling ke arah Phoa Ceng Yan, sambungnya, “Hu Cong Piauw-tauw pun harus baik baik beristirahat!”

“Aaai…. Su Jan, agaknya situasi semakin lama semakin kacau dan rumit” seru Phoa Ceng Yan.

Perlahan-lahan iapun melangkah keluar dari ruangan. Nyoo Su Jan mengikuti dari belankang Hu Cong

Piauw-tauw ini keluar dari ruangan sambil jalan ujarnya lirih, “Hu Cong Piauw-tauw tidak perlu risau karena persoalan ini bila kita tinjau dari situasi saat ini banyak persoalan yang tidak dapat kita kuasai lagi, terutama sekali Jen Pek To orang ini benar benar keji dengan melibatkan perusahaan Liong Wie Piauw-kiok kita ke dalam kancah pergolakan ini sehingga membuat semua orang merasa tidak tenang.”

 “Aaaai! Karena sebuah lukisan pengangon kambing menimbulkan pergolakan sedemikian besarnya, sungguh tak kusangka sebelumnya, semoga saja malam ini COng Piauw-tauw melepaskan diri dari ikatan Tok Say dan kembali ke ibukota sehingga hati kitapun turut menjadi tenang.”

“Hu Cong Piauw-tauw, jangan murung lagi karena persoalan ini!” seru Nyoo Su Jan sambil ulapkan tangannya. “Silahkan kembali ke kamar untuk beristirahat!”

Setengah hari lewat dengan cepatnya siang hari telah lewat dan para jagoanpun telah berkumpul di tengah ruangan besar.

Kali ini Kwan Tiong Gak telah berganti baju dengan memakai sebuah jubah lebar warna biru, setelah memandang sekejap wajah para jago ujarnya.

“Kalau urusan lancar malam ini juga kita berangkat pulang ke ibukota….!”

Ia berpaling ke arah Liem Toa Lek dan tambahnya. “Tambah bahan makanan untuk kuda kuda itu, pada

kentongan kedua semua pelana harus siap.”

“Hamba turut perintah!” seru Liem Toa Lek sambil menjura.

Sinar mata Kwan Tiong Gak perlahan-lahan dialihkan ke diri Nyoo Su Jan, ujarnya kembali.

“Su Jan, beritahu kepada Too Hauw, Giok Liong sekalian dilarang berpesiar keluar, penjagaan dalam kantor harus diperketat!”

“Hamba tahu!”

 Dan kini Kwan Tiong Gak alihkan sinar matanya kepada Phoa Ceng Yan ujarnya sambil tersenyum.

“Saudara, kau tetap hadir di kantor, walaupun situasi yang kita lihat sangat gampang padahal amat kacau dan ruwet, setiap saat Ke Giok Lang bisa mencari gara-gara dengan pihak kita, si jago lihay yang menghadiahkan lukisan pengangon kambing kepadamu-pun kemungkinan besar bisa datang menjenguk dirimu, lebih baik kau tahan tamu terhormat itu agar aku bisa berjumpa dengan dirinya kalau ia bersikeras mau pergi dan tidak ingin menjumpai cayhe harap ia suka tinggalkan nama.”

“Siauwte akan berusaha menahan dirinya. “Baik….baiklah….”

Ia mengulangi beberapa patah kata ini sampai beberapa kali lalu tambahnya pula.

“Sebelum aku kembali dan Ke Giok Lang mengirim surat perjanjian kalian jangan ambil keputusan sendiri, tunggu sampai aku kembali baru berunding kembali.”

“Siauwte akan ingat sekali” jawab Phoa Ceng Yan mengangguk. Kwan Tiong Gak menghembuskan napas panjang.

“Perduli mereka memancing dengan cara apapun kalian jangan coba meninggalkan kantor perusahaan barang selangkahpun.”

“Toako boleh berlega hati.”

Di tengah pembicaraan perjamuan telah diatur dalam ruangan tersebut.

Kwan Tiong Gak duduk di kursi pertama disusul para jago-jago duduk disekelilingnya.

 Pertama-tama Kwan Tiong Gak menghormati dahulu setiap orang dengan secawan arak lalu ujarnya.

“Semoga Thian suka melindungi kita perusahaan Liong Wie Piauw-kiok bisa mempunyai nasib yang baik.”

Liem Toa Lek bangun berdiri, ujarnya.

“Sepeninggal Cong Piauw-tauw dari kota Kay Hong, aku segera bereskan uang kekayaan di sini dan bubarkan perusahaan, terutama sekali saat-saat tahun baru lebih membantu kita untuk mengurangi rasa berat di hati masing-masing.”

Sekali teguk ia habiskan isi cawannya.

“Kalau bicara, duduklah!” ujar Kwan Tiong Gak halus. Liem Toa Lek menurut dan duduk.

“Setelah kau bubarkan kantor cabang di kota Kay Hong, harap kau suka berangkat ke ibukota.”

“Hamba paham, setelah membubarkan kantor cabang di sini, hamba segera akan berangkat ke kantor pusat.”

Walaupun takaran arak Kwan Tiong Gak sangat  besar, tapi untuk mempersiapkan diri dalam menghadiri perjamuan malam nanti dalam istana Tok Say, ia tidak terlalu banyak minum arak.

Perjamuan ini akhirnya ditutup selesai lewat satu jam lamanya.

Sang surya lenyap di balik gunung dan malam haripun kembali menjelang datang, seluruh ruangan bermandikan cahaya lampu.

Kwan Tiong Gak segera bangun berdiri, ujarnya, “Sekarang  waktu  sudah  tiba,  kalian  teruskan santapan

 kalian, cuma lebih baik kurangi arak kalian sehingga setiap saat bisa mempertahankan kesegaran pikiran.”

“Toako boleh berlega hati! Siauwte bisa memberi peringatan kepada mereka,” sahut Phoa Ceng Yan ikut berdiri.

Dari dinding Kwan Tiong Gak mengambil topi kulitnya untuk dikenakan lalu melangkah keluar.

Para Jago mengantar Cong Piauw-tauw mereka hingga tiba di luar pintu kantor perusahaan.

Setelah berpamitan dengan anak buahnya, dengan langkah lebar Kwan Tiong Gak berlalu menuju ke kantor Jendral.

Ketika ia tiba kurang lebih setengah li dari istana dengan langkah lebar Jen Pek To datang menyambut.

“Merepotkan Kwan heng harus melakukan perjalanan.”

Buru-buru Kwan Tiong Gak menjura.

“Jen-heng jauh menyambut kedatanganku, aku orang she Kwan tidak berani menerimanya.”

“Saat ini Tok Say masih menjamu beberapa orang pembesar negeri, mari kita duduk sebentar dalam istana samping.”

Belum habis berkata mendadak terdengar suara langkah manusia berkumandang datang, disusul munculnya seorang pengemis berbaju compang-camping tergesa-gesa lewat di sisi mereka berdua.

“Berhenti!” mendadak Kwan Tiong Gak berseru dengan air muka berubah hebat.

 Mengiringi bentakan tersebut, badanpun ikut mengejar ke depan, sekali sambar ia mencengkeram punggung sang pengemis itu.

Siapa nyana pengemis tersebut ternyata amat lincah dan waspada, sewaktu serangan hampir di atas punggungnya mendadak ia menjatuhkan diri ke depan, dengan suatu gerakan yang amat tepat ia berhasil meloloskan diri dari datangnya cengkeraman tersebut.

Setelah berhasil meloloskan diri dari datangnya serangan itu, mendadak pengemis tersebut makin mempercepat langkah kakinya.

Ketika secara mendadak melihat Kwan Tiong Gak turun tangan menangkap pengemis itu, pada mulanya Jen Pek To merasa agak tertegun, tapi setelah menemukan apabila pengemis itu berhasil meloloskan diri dari datangnya serangan Kwan Tiong Gak dengan gerakan begitu mudah, hatinya baru bergerak, pikirnya.

“Si pengemis ini ternyata seorang jago yang memiliki kepandaian silat yang lihay, gerakannya untuk loloskan diri dari serangan barusan walaupun kelihatannya seolah-olah dilakukan secara tidak sengaja, jelas inilah suatu jurus yang luar biasa, kalau menemui orang yang sedikit gegabah, pasti penyaruan-nya tak bakal konangan.”

Ketika itulah terdengar Kwan Tiong Gak sedang berkata,

“Saudara, keadaanmu yang sebenarnya sudah konangan, aku rasa tiada berguna kau coba melarikan diri, kalau tidak mau berhenti lagi….Hmmm! Jangan salahkan aku orang she Kwan akan bertindak dengan menggunakan senjata rahasia Kiem Leng Hwie Piauw!”

 Setelah mendengar ancaman itu, sang pengemis baru mengiakan dan berhenti berlari, ujarnya sambil berpaling dan tertawa, “Kwan Toaya, senjata rahasia Kiam Ling Piauw mu sangat luar biasa, kalau benar-benar kau keluarkan bukankah sama artinya menginginkan selembar jiwaku??”

“Hmmm! Siapakah kau?”

Sembari mengajukan pertanyaan ia melangkah mendekat dengan gerakan cepat.

Buru-buru pengemis itu mundur dua langkah ke belakang.

“Manusia macam aku si pengemis peminta-minta bukan hanya seorang dua orang saja, di kolong langit ada puluhan ribu bahkan puluhan laksa orang.”

Pada waktu itu Kwan Tiong Gak telah mendekati sang pengemis sehingga mencapai empat lima depa jauhnya dan segera berhenti.

Sreet….! Mengambil kesempatan itulah Jen Pek To berkelebat dari sisi si pengemis itu kemudian menghadang jalan perginya.

Bersamaan itu pula ia bersuit nyaring.

Mendengar suitan itu sang pengemis tertawa dingin. “Oooouw……. saudara bermaksud hendak

mengundang keluar para anak buahmu yang bersembunyi di sekitar sini untuk membereskan aku si pengemis?”

Pada mulanya Jen Pek To melengak di susul kemudian tertawa hambar.

“Kawan, kiranya kau sudah lama mengawasi dan menyelidiki keadaan istana jendral”

 Sahut si pengemis itu dengan suara dingin.

“Cukup kutinjau dengan sekali pandangan saja dapat kuketahui apabila di sekitar tempat ini sudah dipasangi jebakan.”

“Ooooouw….. sungguh tajam pandanganmu kawan!” “Heee….heee……heee……. terlalu memuji, terlalu

memuji!”

Sinar mata Kwan Tiong Gak berkilat, ia pandang wajah si pengemis itu tajam-tajam lalu ujarnya, “Kawan, kau berasal dari perkumpulan Kay Pang?”

“Kwan Cong Piauw-tauw!” seru sang pengemis tertawa hambar. “Kau adalah seorang manusia yang memiliki nama serta kedudukan tersohor, tentu saja tidak kenal aku si pengemis yang berkedudukan paling rendah ini.”

“Kawan, kau suka munculkan diri, aku rasa tentunya ada petunjuk-petunjuk yang akan diberikan kepada aku orang she Kwan, bukan!”

“Aaakh! Tidak kusangka di dalam sepasang mata Kwan Cong Piauw-tauw tidak kemasukan sebutir pasir, petunjuk aku tak berani menerimanya, hanya saja ada sepatah dua patah kata hendak dipersembahkan kepadamu.”

“Cayhe pasti pentang telinga lebar-lebar untuk mendengarnya.”

Pengemis itu mendehem beberapa kali untuk menyaringkan tenggorokannya kemudian ujarnya, “Kwan Cong Piauw-tauw, kau adalah seorang jago yang namanya telah tersohor di kolong langit, orang-orang kangouw baik dari golongan Hek-to maupun dari kalangan      Pek-to      sama-sama      menaruh    hormat

 kepadamu. Kwan Cong Piauw-tauw, selama ini perusahaan ekspedisi Liong Wie Piauw-kiok bisa aman tentram tak pernah terjadi urusan pun separuh terghantung dari kelihayan anak buah COng Piauw-tauw yang rata-rata memiliki kepandaian silat tinggi, separuhnya lagi disebabkan kawan-kawan Bu-lim pada memandang hormat watak serta tindak-tandukmu dan banyak mengalah buat perusahaan Liong Wie Piauw-kiok kalian, oleh karena itu aku si pengemis berani mengucapkan beberapa kata yang agak kasar. Perusahaan ekspedisi Liong Wie Piauw-kiok tak perlu lagi menjadi pengawal rumah orang lain.”

Dengan cermat dan seksama Kwan Tiong Gak mendengarkan perkataan dari pengemis itu hingga selesai, kemudian perlahan-lahan jawabnya.

“Terima kasih atas petunjuk kawan, aku orang she Kwan merasa sangat berterima kasih, tapi perusahaan ekspedisi Liong Wie Piauw-kiok kami mempunyai garis pegangan untuk menjadi rakyat yang berkelakuan sopan, kami mempunyai kesusahan kami sendiri.”

“Kawan!” tiba-tiba Jen Pek To menimbrung dari samping. “Secara diam-diam kau mengawasi gerak-gerik istana jendral, kau tentu mempunyai persiapan untuk melakukan sesuatu pekerjaan.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar